PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA …

13
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL2020, 1-13 1 PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA LINTASAN HIJAU HALIMUN SALAK Marisca Wulansari 1 Indra Lestari Fawzi 2 ABSTRAK Penelitian ini menjelaskan tentang sebuah program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh Star Energy Geothermal Salak, Ltd bekerjasama dengan Yayasan KEHATI dalam program yang berjudul Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk pengorganisasian CSR, peran Yayasan KEHATI dalam implementasi CSR serta peluang, hambatan serta tantangan dalam Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian studi kasus yang menggunakan teknik pemilihan sampel purposif. Penggalian data dilakukan dengan wawancara mendalam semi terstruktur terhadap perwakilan Star Energy Geothermal Salak, Ltd, perwakilan Yayasan KEHATI, perwakilan Balai Taman Nasional Halimun Salak dan perwakilan salah satu penerima manfaat, Jarmaskor. Dari hasil penelitian didapati pengorganisasian CSR dijalankan dalam dua bentuk yaitu secara kolaboratif di fase pertama program (tahun 2011-2016) dan secara alih daya (outsource) secara filantropis di fase kedua ( tahun 2018-2021). Dalam Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak, Yayasan KEHATI berperan sebagai katalisator dalam kerjasama yakni dengan menyeimbangkan kepentingan perusahaan maupun taman nasional dalam kemitraan, menjadi mediator dengan menghubungkan perusahaan dengan NGO lokal yang mampu melakukan pekerjaan teknis restorasi, memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan stakeholder terkait demi keberlanjutan program serta brokering capacity dalam meningkatkan kapasitas teknis masyarakat dan membangun kapasitas keuangan NGO lokal dan kelompok masyarakat. Faktor pendukung KEHATI dalam kerjasama ini adalah pengalaman dan reputasi KEHATI sedangkan faktor penghambat dalam kerjasama ini adalah belum adanya platform kerjasama multipihak antara perusahaan, KEHATI, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pergantian Staf KEHATI yang tinggi dalam program ini serta perbedaan pandangan terkait pengelolaan proyek antara perusahaan dan KEHATI. KATA KUNCI : Corporate Social Responsibility, Kemitraan, NGO, Lingkungan ABSTRACT This study describes a Corporate Social Responsibility (CSR) program conducted by Star Energy Geothermal Salak, Ltd. in collaboration with the KEHATI Foundation in a program entitled Green Coridor Initatives Halimun Salak. This study aims to look at type of CSR governance, the role of the KEHATI in CSR activities as well as opportunities, obstacle and challenges in the Green Coridor Initiaves Halimun Salak. This is a qualitative research with a case study design using purposive sampling techniques. Data mining was carried out with a semi-structured in-depth interview with representatives of the Star Energy Geothermal Salak, Ltd., representatives of the KEHATI Foundation, representatives of the Halimun Salak National Park and representatives of one of the beneficiaries, Jarmaskor. The results of the study found that CSR governance is carried out in two forms, namely collaboratively in the first phase of the program (in 2011-2016) and outsourced through philanthropy in the second phase (2018-2021). In the Green Coridor Initiaves Halimun Salak Program, KEHATI acts as a catalyst in cooperation by balancing the interests of companies and national parks in partnerships, becoming a mediator by connecting companies with local NGOs that are able to carry out technical restoration work, facilitating community collaboration with relevant stakeholders for the sustainability of the program and brokering capacity in increasing the technical capacity of the community and building the financial capacity of local NGOs and community groups. KEHATI supporting factors in this collaboration are KEHATI's experience and reputation while the inhibiting factors in this collaboration are the absence of a multi-stakeholder collaboration platform between the company, KEHATI, and Mount Halimun Salak National Park, the high turnover of KEHATI staff in this program and differences in views regarding project management between company and KEHATI. KEY WORDS : Corporate Social Responsibility, Partnership, NGO, Community Development, Environment 1 Mahasiswa Program Magister Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. 2 Star Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia

Transcript of PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA …

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

1

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA LINTASAN HIJAU HALIMUN SALAK

Marisca Wulansari1 Indra Lestari Fawzi2

ABSTRAK

Penelitian ini menjelaskan tentang sebuah program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh Star Energy Geothermal Salak, Ltd bekerjasama dengan Yayasan KEHATI dalam program yang berjudul Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk pengorganisasian CSR, peran Yayasan KEHATI dalam implementasi CSR serta peluang, hambatan serta tantangan dalam Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian studi kasus yang menggunakan teknik pemilihan sampel purposif. Penggalian data dilakukan dengan wawancara mendalam semi terstruktur terhadap perwakilan Star Energy Geothermal Salak, Ltd, perwakilan Yayasan KEHATI, perwakilan Balai Taman Nasional Halimun Salak dan perwakilan salah satu penerima manfaat, Jarmaskor. Dari hasil penelitian didapati pengorganisasian CSR dijalankan dalam dua bentuk yaitu secara kolaboratif di fase pertama program (tahun 2011-2016) dan secara alih daya (outsource) secara filantropis di fase kedua ( tahun 2018-2021). Dalam Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak, Yayasan KEHATI berperan sebagai katalisator dalam kerjasama yakni dengan menyeimbangkan kepentingan perusahaan maupun taman nasional dalam kemitraan, menjadi mediator dengan menghubungkan perusahaan dengan NGO lokal yang mampu melakukan pekerjaan teknis restorasi, memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan stakeholder terkait demi keberlanjutan program serta brokering capacity dalam meningkatkan kapasitas teknis masyarakat dan membangun kapasitas keuangan NGO lokal dan kelompok masyarakat. Faktor pendukung KEHATI dalam kerjasama ini adalah pengalaman dan reputasi KEHATI sedangkan faktor penghambat dalam kerjasama ini adalah belum adanya platform kerjasama multipihak antara perusahaan, KEHATI, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pergantian Staf KEHATI yang tinggi dalam program ini serta perbedaan pandangan terkait pengelolaan proyek antara perusahaan dan KEHATI. KATA KUNCI : Corporate Social Responsibility, Kemitraan, NGO, Lingkungan

ABSTRACT This study describes a Corporate Social Responsibility (CSR) program conducted by Star Energy

Geothermal Salak, Ltd. in collaboration with the KEHATI Foundation in a program entitled Green Coridor Initatives Halimun Salak. This study aims to look at type of CSR governance, the role of the KEHATI in CSR activities as well as opportunities, obstacle and challenges in the Green Coridor Initiaves Halimun Salak. This is a qualitative research with a case study design using purposive sampling techniques. Data mining was carried out with a semi-structured in-depth interview with representatives of the Star Energy Geothermal Salak, Ltd., representatives of the KEHATI Foundation, representatives of the Halimun Salak National Park and representatives of one of the beneficiaries, Jarmaskor. The results of the study found that CSR governance is carried out in two forms, namely collaboratively in the first phase of the program (in 2011-2016) and outsourced through philanthropy in the second phase (2018-2021). In the Green Coridor Initiaves Halimun Salak Program, KEHATI acts as a catalyst in cooperation by balancing the interests of companies and national parks in partnerships, becoming a mediator by connecting companies with local NGOs that are able to carry out technical restoration work, facilitating community collaboration with relevant stakeholders for the sustainability of the program and brokering capacity in increasing the technical capacity of the community and building the financial capacity of local NGOs and community groups. KEHATI supporting factors in this collaboration are KEHATI's experience and reputation while the inhibiting factors in this collaboration are the absence of a multi-stakeholder collaboration platform between the company, KEHATI, and Mount Halimun Salak National Park, the high turnover of KEHATI staff in this program and differences in views regarding project management between company and KEHATI. KEY WORDS : Corporate Social Responsibility, Partnership, NGO, Community Development, Environment

1 Mahasiswa Program Magister Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. 2 Star Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)

2

PENDAHULUAN Pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development) telah membangun

kesadaran bahwa untuk menciptakan masa depan

yang lebih baik, semua permasalahan yang

dihadapi oleh umat manusia tidak dapat

diselesaikan sendiri oleh satu pihak melainkan

memerlukan kolaborasi berbagai pihak. Kesadaran

inilah yang membangun inisiatif kerjasama oleh

berbagai sektor dan salah satunya adalah kerjasama

antara dunia bisnis dan NGO. Kerjasama ini

dimungkinkan karena keduanya memiliki

sumberdaya yang saling melengkapi. Perusahaan

membutuhkan reputasi, keahlian teknis dan

legitimasi yang dimiliki NGO sedangkan NGO

membutuhkan sumber daya berupa kemampuan

organisasi dan pendanaan yang dimiliki

perusahaan (Yaziji and Doh 2009; Glasbergen and

Groenenberg 2001; Austin 1998; Kanter 1999

dalam Graf dan Rothlauf, 2012). Beberapa faktor

pendorong kerjasama antara perusahaan dan NGO

antara lain: adanya kecocokan dalam hal misi,

strategi dan nilai; Adanya hubungan dan koneksi

personal; adanya nilai baru yang ingin diciptakan

bersama (value creation), adanya harapan bersama

yang ingin dicapai melalui kerjasama; adanya

proses komunikasi yang baik (Austin dan

Hesselbein, 2000). Lebih lanjut, NGO dapat

menjadi mitra yang potensial dalam pengelolaan

isu lingkungan karena perannya untuk mengawal

perubahan iklim, pemanfaatan energi, pengelolaan

limbah, polusi, keanekaragaman hayati dan

penggunaan lahan (Asfaw, Botes dan Mengesha,

2017).

Sebenarnya peluang kerjasama antara

perusahaan dan NGO telah diidentifikasi sebagai

salah satu pola pelaksanaan CSR. Menurut Saidi

dan Abidin (2004:64-65) setidaknya ada empat

model pola pelaksanaan CSR yaitu: (1)

Keterlibatan langsung dimana perusahaan

menjalankan program CSR secara langsung

dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial

atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa

perantara. Biasanya CSR seperti ini dilakukan

oleh bagian corporate secretary atau Public

Relations. (2) Melalui yayasan atau organisasi

sosial yang didirikan oleh perusahaan sendiri.

Model CSR seperti ini merupakan model yang

lazim diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di

negara maju contohnya Yayasan Coca Cola

Company, Yayasan Dharma Bhakti Astra,

Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund (3) Bermitra

dengan pihak lain seperti melalui kerjasama

dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah

(NGO/ LSM), instansi pemerintah, universitas atau

media massa, baik dalam mengelola dana maupun

dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. (4)

Mendukung atau bergabung dalam suatu

konsorsium. Dalam model ini perusahaan turut

mendirikan atau menjadi anggota atau mendukung

suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan

sosial tertentu. Dibandingkan dengan model

lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian

hibah perusahaan yang bersifat “hibah

pembangunan” (Pujiyono, Wiwoho, Triyanto,

2016).

Pola pelaksanaan CSR atau CSR governance

mengacu pada pengorganisasian kegiatan CSR

yang mana aktivitas CSR yang efektif adalah

aktivitas CSR yang mampu menghasilkan dampak

sosial yang besar dengan biaya yang efisien. Dalam

kaitannya dengan hal ini setidaknya ada 3 pilihan

pengorganisasian CSR yaitu alih daya (outsource)

aktivitas CSR, internalisasi (in-house) aktivitas

CSR dan melakukan aktivitas CSR yang

kolaboratif (Husted, 2003). Pengorganisasian CSR

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

3

melalui alih daya dilakukan dengan “membeli”

atau menyediakan sejumlah pendanaan kepada

pihak lain dan sering kali hal ini dilakukan melalui

kegiatan filantropis kepada NGO.

Pengorganisasian CSR secara in –house biasanya

dilakukan oleh divisi CSR perusahaan sendiri atau

Yayasan yang dibentuk dan dimiliki oleh

perusahaan dan Pengorganisasian CSR secara

kolaboratif biasanya dilakukan dengan membentuk

proyek kolaboratif bersama NGO atau pemerintah

(Husted et al, 2010).

Kemampuan NGO untuk bekerja dengan

berbagai pihak termasuk juga perusahaan telah

mendorong beberapa penelitian untuk melihat

lebih mendalam peran yang dapat dijalankan oleh

NGO dalam kerjasamanya dengan perusahaan.

Dalam sebuah studi yang berjudul “Cross -Sector

Social Partnership for Social Change: The Roles of

Non Governmental Organization” (Yan, Lin dan

Clarke, 2018) ditemukan setidaknya ada 3

kelompok peran NGO dalam proses kemitraan

yaitu sebagai peran enabling, peran coordinating

dan peran sebagai fasilitasi perubahan. Dalam

penelitian lain tentang peran NGO dalam bisnis

inklusif ditemukan bahwa NGO setidaknya

menjalankan peran sebagai fasilitasi, co –design,

legitimasi dan enabling. (Nahi, 2017).

Fokus dari penelitian ini adalah kerjasama

antara Star Energy Geothermal Salak, Ltd (SEGS)

dengan Yayasan KEHATI dalam sebuah program

yang berjudul Prakarsa Lintasan Hijau Halimun-

Salak (Green Corridor Initiatives Halimun –

Salak). Kerjasama antara Star Energy Geothermal

Salak Ltd (SEGS) dengan Yayasan KEHATI ini

dijalankan dalam sebuah proyek yang berjudul

Restorasi Ekosistem Berbasis Masyarakat dan

Peningkatan Penghidupan Masyarakat di Koridor

Halimun Salak. Program ini berlangsung selama

dua fase. Fase pertama berlangsung selama lima

tahun yang dimulai dari 15 Desember 2011 sampai

dengan 15 Desember 2016 sedangkan fase kedua

berlangsung selama 3 tahun, yang dimulai dari

tahun 9 Juli 2018 sampai dengan 31 Juli 2021.

Lokasi intervensi utama program Prakarsa

Lintasan Hijau Halimun- Salak adalah hutan

koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

yang secara geografis terletak diantara 2 kabupaten

yaitu kabupaten Bogor dan kabupaten Sukabumi.

Hutan koridor Halimun-Salak merupakan hutan

yang menghubungkan dua kawasan konservasi

penting yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak.

Hutan koridor tersebut memiliki fungsi ekologis

yang khas dan penting bagi kelestarian Kawasan,

hutan ini menjaga konektivitas dan integritas

keseluruhan Kawasan konservasi Taman Nasional

Gunung Halimun Salak. Sebagai hutan

penghubung, hutan koridor merupakan saluran

pergerakan satwa dan penyaluran tumbuhan dari

hutan Gunung Salak menuju Gunung Halimun dan

sebaliknya, dengan kata lain hutan koridor

merupakan saluran bagi pertukaran genetik

(genetic flow) diantara species flora dan fauna yang

ada di kedua kawasan konservasi tersebut. Hutan

koridor juga berfungsi sebagai daerah penyangga

air, pencegah tanah longsor, dan penghasil oksigen

bagi masyarakat Jakarta, Bogor dan Sukabumi.

Bagi masyarakat sekitar, hutan koridor merupakan

penyedia air khususnya untuk air bersih dan

pertanian. Namun perubahan status kawasan,

pertambahan jumlah penduduk telah membuat

tekananan yang sangat besar bagi hutan koridor

maka tidak mengherankan jika hutan koridor

mengalami degradasi dan deforestrasi. Dalam

upaya untuk mengatasi kondisi koridor Taman

Nasional Gunung Halimun -Salak yang terus

mengalami degradasi dan deforestrasi maka pihak

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)

4

Taman Nasional Gunung Halimun Salak

mengeluarkan Rencana Aksi Restorasi Koridor

Halimun-Salak (2009-2013). Pada saat itu, pihak

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak

sangat menyadari bahwa upaya pemulihan koridor

Taman Nasional Gunung Halimun Salak tidak

dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah dan butuh

dukungan dari para stakeholder terkait. Salah satu

stakeholder di kawasan TNGHS adalah Star

Energy Geothermal Salak, Ltd yang memiliki

lokasi-lokasi tambang panas bumi (geothermal),

dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-

Salak.

Penelitian ini menarik untuk diteliti karena

konteks program CSR Prakarsa Lintasan Hijau

Halimun Salak ini dilakukan di lokasi yang

merupakan wilayah pemerintah yaitu kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Beberapa

penelitian sebelumnya tentang kegiatan CSR di

dalam kawasan Taman Nasional menunjukan

bahwa pengelolaan proyek CSR di dalam kawasan

taman nasional sering belum menunjukan adanya

keterkaitan antara CSR untuk masyarakat dan CSR

untuk lingkungan dan CSR lingkungan yang

dilakukan juga belum memperhatikan status dan

fungsi kawasan hutan (Utomo et al.,2010). Dalam

penelitian lainnya tentang CSR di daerah

penyangga Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango juga menunjukan bahwa CSR yang

dilakukan masih sekedar charity dan belum

adanya pendampingan masyarakat yang intensif

(Nurdianto et al, 2014). Yang membedakan

program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak

dengan proyek CSR lainnya adalah Program ini

dianggap sebagai salah satu praktek terbaik (best

practice) pengelolaan CSR di dalam kawasan

taman nasional (Meijaard et al.,2019). Program ini

juga berhasil menghantarkan Star Energy

Geothermal Salak, Ltd untuk mendapatkan Proper

Emas pada tahun 2012 dan 2015. Pencapaian yang

diperoleh program CSR ini mendorong peneliti

untuk mengetahui bagaimana program CSR ini

dijalankan? Untuk menjawab hal ini peneliti

menguraikan implementasi CSR melalui 3 aspek

yaitu bentuk pengorganisasian CSR yang

diterapkan perusahaan, peran yang dijalankan

NGO selaku rekan kerjasama implementasi CSR

serta faktor pendukung ,hambatan dan tantangan

dalam pelaksanaan CSR.

Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut

maka penelitian ini memiliki tujuan untuk ;

a. Menganalisa bentuk pengorganisasian CSR

yang dilakukan oleh Star Energy Geothermal

Salak, Ltd dalam kerjasamanya dengan

Yayasan KEHATI.

b. Menganalisa peran –peran Yayasan KEHATI

dalam program Prakarsa Lintasan Hijau

Halimun Salak

c. Menjelaskan faktor pendukung , hambatan-

hambatan serta tantangan dalam pengelolaan

program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun –

Salak.

METODOLOGI PENELITIAN

Peneliti menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif melalui desain penelitian studi

kasus (Case study). Studi kasus bertujuan untuk

menyediakan deskripsi dan analisis mendalam

tentang suatu kasus dan berusaha memahami kasus

secara menyeluruh (Ylikoski dan Zahle, 2019).

Teknis pengambilan sampel yang dilakukan adalah

melalui purposive sampling/judgemental sampling

sebagai tehnik pemilihan sampel. Pada dasarnya

dalam purposive sampling, pemilihan sampel

/partisipan dilakukan berdasarkan tujuan penelitian

dan sampel/ responden dipilih karena kualitas

tertentu yang dimilikinya. Ciri sampel dalam

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

5

sampel purposif meliputi: individu atau kelompok

individu yang kaya akan informasi dan

pengalaman serta memahami fenomena yang

dibahas dalam penelitian, bersedia untuk terlibat

dalam penelitian, mampu mengkomunikasikan

pengalaman dan pendapat dengan ekspresif

sekaligus reflektif (Ilker, Musa dan Alkassim,

2016). Pada penelitian ini, peneliti melakukan

wawancara mendalam semi terstruktur terhadap

perwakilan Star Energy Geothermal Salak Ltd

(SEGS),perwakilan Yayasan KEHATI, perwakilan

masyarakat penerima manfaat dan perwakilan

pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (BTNGHS). Pengambilan data sekunder

dilakukan dengan menganalisa laporan –laporan

yang pelaksanaan program Prakarsa Lintasan Hijau

Halimun Salak.

HASIL DAN PEMBAHASAN Star Energy Geothermal Salak, Ltd

(SEGS) merupakan salah satu perusahaan yang

memproduksi energi panas bumi yang memiliki

area kerja yang beririsan dengan area Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan

hal inilah yang membuat pihak Balai Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS)

menjadi salah satu stakeholder kunci bagi SEGS.

Kesadaran SEGS menjalankan bisnis yang

bertanggung jawab mendorong SEGS untuk

merespon kebutuhan BTNGHS untuk membantu

memulihkan hutan koridor Gunung Halimun Salak

melalui kegiatan restorasi dan pengembangan

masyarakat koridor.

SEGS sangat menyadari untuk mewujudkan

CSR yang berfokus pada lingkungan sekaligus

mengembangkan masyarakat diperlukan mitra

implementasi yang memiliki pengetahuan untuk

melakukan pemulihan hutan sekaligus melakukan

pengembangan masyarakat dan karenanya untuk

menjaring mitra potensial, SEGS melakukan

tender tertutup dengan mengundang organisasi-

organisasi yang dipercaya memiliki dua

kemampuan ini. Berdasarkan hasil penilaian dan

rekomendasi dari stakeholder kunci maka Yayasan

KEHATI yang terpilih sebagai partner

implementasi CSR Star Energy Geothermal

Salak,Ltd. Yang membedakan Yayasan KEHATI

dengan NGO lain dalam implementasi CSR adakah

karena Yayasan KEHATI merupakan grant-

making NGO, yang fokus utama kegiatannya

adalah menyalurkan hibah terutama bagi

konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Bagaimana bentuk pengorganisasian CSR

antara SEGS dan Yayasan KEHATI? Menurut

Husted (2010) pemilihan bentuk pengorganisasian

CSR dipengaruhi oleh centrality yang mengacu

pada keterkaitan antara aktivitas CSR dengan

tujuan, misi, sumber daya yang miliki serta

kompetensi utama perusahaan. Dalam proyek

Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak,

manajemen perusahaan memutuskan untuk

melakukan inovasi dengan melakukan restorasi

kawasan hutan. Restorasi merupakan upaya untuk

memulihkan kondisi hutan alam sebagaimana

sedia kala sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai

hutan baik ekonomis maupun ekologis. Sebagai

perusahaan energi panas bumi, SEGS tidak

memiliki kompetensi untuk melakukan restorasi

sehingga wajar jika manajemen perusahaan

memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak lain

untuk melakukan proyek CSR yang dalam hal ini

ada 2 kemungkinan bentuk pengorganisasian CSR

yang dipilih yaitu mengalihdayakan CSR melalui

kegiatan filantropis atau berkolaborasi.

Selama dua fase kerjasama antara Star

Energy Geothermal Salak, Ltd dengan Yayasan

KEHATI yaitu fase pertama pada tahun 2011-2016

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)

6

dan fase kedua pada tahun 2018-2021 terdapat

perubahan pengorganisasian CSR. Pada fase

pertama, pengorganisasian CSR dilakukan melalui

pengelolaan proyek kolaboratif. Pengelolaan

proyek kolaboratif ditandai dengan tingginya

tingkat negosiasi dan adaptasi diantara SEGS dan

Yayasan KEHATI. Salah satu buktinya adalah

adanya komitmen dana tambahan dari SEGS untuk

mendukung pembelian lahan untuk pembangunan

pusat pembelajaran (learning center). Pusat

pembelajaran ini berupa pembangunan aula

sebagai tempat pertemuan yang di dalam lahan

pusat pembelajaran tersebut akan dikembangkan

demplot pertanian terpadu dan pusat pembibitan

tanaman hutan. Dalam jangka panjang pusat

pembelajaran ini dibangun sebagai strategi

keberlanjutan (sustainability) program.

Gambar 1. Pusat Pembelajaran (Learning Center)

Sementara pada fase kedua,

pengorganisasian CSR dilakukan melalui

pengelolaan yang bersifat filantropis yang mana

kontrol administratif yang diterapkan SEGS ke

KEHATI sangat ketat khususnya dalam hal

pendanaan. Salah satu sumberdaya penting yang

diberikan perusahaan kepada NGO dalam sebuah

kerjasama CSR adalah dana sehingga kontrol yang

terlalu ketat atas pendanaan dapat membuat

terhambatnya proyek di tingkat lapangan karena

akan sulit bagi NGO untuk membiayai dulu

kegiatan di lapangan. Perubahan bentuk

pengorganisasian CSR ini disebabkan oleh

beberapa hal diantara perubahan strategi CSR

SEGS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak

SEGS diketahui di fase pertama prioritas CSR

adalah reputasi perusahaan dan CSR dijalankan

dalam bentuk investasi sosial melalui kemitraan

sementara di fase kedua prioritas CSR bergeser ke

social license to operate yang mana CSR yang

dijalankan lebih berfokus pada pemberdayaan

masyarakat secara langsung.

Pada kedua fase, peran yang dijalankan

KEHATI dalam CSR adalah sebagai pelaksana

kegiatan di lapangan atau implementator.

Meskipun demikian dari hasil wawancara

mendalam dan penggalian data melalui dokumen

didapati adanya perbedaan titik awal masuknya

keterlibatan KEHATI dalam aktivitas CSR. Pada

fase pertama, Yayasan KEHATI terlibat mulai dari

perencanaan program, eksekusi program dan

monitoring dan evaluasi program sedangkan di

fase kedua , Yayasan KEHATI lebih berperan

sebagai eksekutor program dan tidak terlibat dalam

perencanaan awal program.

Pada fase pertama, KEHATI terlibat

langsung dalam tahap perencanaan program

dengan mengorganisasikan beberapa lokakarya

dengan NGO lokal dan universitas untuk

mengidentifikasi kegiatan –kegiatan apa saja yang

dapat dilakukan di lokasi program. Pihak SEGS

hanya menentukan target program yaitu restorasi

seluas 500 Ha dan keluarga sasaran terdampak

sebanyak 250 kepala keluarga sementara KEHATI

diberi kebebasan untuk menentukan lokasi

kegiatan program. Dari hasil beberapa lokakarya

dan studi yang dilakukan, KEHATI kemudian

membuat logical framework dan Rencana Kerja

yang akhirnya menjadi panduan dalam

menjalankan program. Untuk menjalankan

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

7

program, selama 5 tahun program, KEHATI

menyalurkan dana hibah ke berbagai lembaga yang

terdiri atas NGO, KSM dan Universitas untuk

menjalankan kegiatan. Penentuan lembaga

penerima hibah dilakukan melalui proses seleksi

proposal yang mana proposal yang diajukan oleh

calon lembaga penerima hibah akan dinilai oleh

tim seleksi yang terdiri atas perwakilan dari

stakeholder program Prakarasa Lintasan Hijau

Halimun Salak yaitu SEGS, Balai Taman Nasional

Gunung Halimun Salak dan Yayasan KEHATI.

SEGS menyadari salah satu faktor

pendukung kerjasama di dalam sebuah kegiatan

multistakeholder adalah adanya keberadaaan

social capital (Mulia, Satria dan Pranadikusumah,

2019) dan sebagai grant-making NGO, KEHATI

memiliki linking social capital. Linking social

capital merujuk pada relasi antara individu-

individu dan kelompok yang memiliki perbedaan

strata sosial dalam sebuah hierarki dimana kuasa,

status sosial dan kekayaan diakses oleh beberapa

kelompok yang berbeda. (Healy and Cote 2001).

Bagi SEGS, social capital yang dimiliki KEHATI

ini merupakan katalisator penyeimbang

kepentingan perusahaan dan pemerintah

khususnya Taman Nasional dalam pengelolaan

hutan koridor, sebagaimana terungkap melalui

hasil wawancara “..itulah KEHATI, katalisatornya

maupun stabilisatornya juga . Kan gini bisa jadi

kayak tadi pemerintah melakukan ngga mau tapi

kan advokasi dilakukan oleh kehati akhirnya ya

udah di masyarakatnya tetap jalan akhirnya itu jadi

semacam katalis dan stabilisator nah..” (DM,

SEGS, 27/03/2020).

Sebagaimana yang telah disebutkan

sebelumnya, SEGS melakukan aktivitas CSR yang

berbeda jauh dengan kegiatan yang biasa

dilakukannya dan kenyataannya memang tidak

mudah bagi perusahaan ekstraktif di bidang panas

bumi untuk secara langsung harus mengurusi

restorasi hutan yang membutuhkan pengetahuan

spesifik sehingga adanya lembaga seperti KEHATI

membantu menghubungkan SEGS dengan NGO

lokal yang memiliki kapasitas untuk melakukan

pekerjaan restorasi diantaranya dengan RMI

(Rimbawan Muda Indonesia), YAPEKA (Yayasan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan

Konservasi Alam) dan Jarmaskor ( Jaringan

Masyarakat sekitar Hutan Koridor). Tidak hanya

itu jaringan kerja yang dimiliki KEHATI dengan

berbagai pihak juga berkontribusi menghubungkan

masyarakat dengan berbagai stakeholder program

untuk keberlanjutan kegiatan di masyarakat paska

berakhirnya program seperti Dinas Kehutanan

Sukabumi dan Dinas Pertanian Sukabumi. Dengan

melakukan hal ini, KEHATI menjalankan

perannya sebagai mediator dan fasilitator.

Dalam menjalankan program Prakarasa

Lintasan Hijau Halimun Salak, KEHATI

memberikan hibah tidak hanya kepada NGO tetapi

juga kepada Kelompok Swadaya Masyarakat

(KSM). Berbeda dengan NGO yang memiliki

kapasitas teknis dalam melakukan pekerjaannya di

lapangan, KSM sering kali tidak memiliki

kapasitas teknis, hanya saja keberadaannya

menjadi salah satu faktor penting untuk

memastikan keberlanjutan kegiatan di masyarakat.

Untuk memperlengkapi dan meningkatkan

kapasitas NGO ini, KEHATI memperlengkapi

KSM dengan berbagai mendatangkan beberapa

ahli pertanian dan peternakan untuk memberikan

pendampingan peningkatan kemampuan teknis

dalam hal pertanian, peternakan dan pertanian

terpadu. Perwakilan Jarmaskor mengungkapkan;

“..ibaratnya dengan tujuan akhirnya gitu jadi

lembaga KEHATI sangat memberikan kesempatan

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)

8

untuk masyarakat mengelola program secara

mandiri salah satu contohnya ya ke Jarmaskor.

Jarmaskor kan lembaga lokal yang ada ee. apa

disekitaran lingkungan Star Energy misalnya. Nah

diberi kesempatan untuk mengelola secara mandiri

gitu kan, secara lokal masyarakat. Nah kalo

lembaga lain kan tetap tidak diberikan… apa ya?

diberikan kegiatan yang sifatnya untuk berpikir

sendiri gitu. Masyarakat itu ya..artinya mereka

lembaga lain punya ..punya apa ya..punya

konsep..punya ..punya ee program yang mereka

bawa diimplementasikan bersama-sama dengan

masyarakat gitu aja sih mungkin bedanya mbak..”

(D, Jarmaskor, 27/03/2020).

Bagi SEGS yang dilakukan KEHATI ini

merupakan bentuk brokering capacity. KEHATI

memberikan akses kepada mitranya untuk

memiliki pengalaman bekerja sama dengan swasta

sekaligus menambah pengetahuan tidak hanya

pengetahuan terkait lingkungan tetapi juga

pengalaman mengelola dana hibah demi peluang

pendanaan di masa mendatang. Pada fase pertama

ini, KEHATI mampu menjalankan perannya secara

maksimal karena pengorganisasian CSR dengan

bentuk kolaboratif memungkinkan adanya

fleksibilitas dalam pengelolaan program.

Berbeda dengan fase pertama, di fase

kedua, KEHATI tidak terlibat di awal perencanaan

program sehingga KEHATI masuk ke dalam

program hanya sebagai pelaksana kegiatan. Dalam

fase kedua ini juga perusahaan lebih berfokus pada

social license to operate melalui upaya

pengembangan masyarakat langsung ditujukan ke

masyarakat di ring 1 maka tidak mengherankan

jika perusahaan kerap kali meminta KEHATI

melakukan kegiatan –kegiatan tambahan diluar

yang telah disepakati dalam perjanjian dan hal

inilah yang seringkali membuat KEHATI seperti

kontraktor. Perbedaan antara pengelolaan Program

Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak di fase

pertama dan kedua menunjukan bahwa peran yang

dijalankan sebuah NGO dalam CSR sangat

dipengaruhi oleh bentuk pengorganisasin CSR dan

tujuan dari CSR yang ditetapkan perusahaan dan

pilihan pengorganisasian perusahaan dapat

berubah dari waktu ke waktu.

Tiap kerjasama khususnya sebuah

program memiliki kisah dan tantangannya

tersendiri. Salah satu alasan kuat mengapa SEGS

memilih KEHATI sebagai implementor CSR

adalah karena reputasi dan pengalaman KEHATI.

Bagi SEGS, secara kapasitas teknis yang

membedakan KEHATI dengan NGO lain adalah

KEHATI dianggap memiliki pengelolaan

organisasi yang lebih baik dibanding NGO lain

ditandai dengan KEHATI merupakan lembaga

yang selalu diaudit dan bahkan KEHATI memiliki

sertifikat ISO 9001 terkait sistem manajemen

mutu. KEHATI juga memiliki reputasi sehingga

memudahkan SEGS berinteraksi dan

mempengaruhi stakeholder lain khususnya pihak

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hal lain yang merupakan pendukung dalam

kerjasama ini adalah pengalaman KEHATI selama

lebih dari 20 tahun telah membuat KEHATI

memiliki pengetahuan teknis yang memampukan

KEHATI memberikan masukan kepada SEGS

dalam merancang keberlanjutan program. Salah

satu perwakilan perusahaan mengatakan banyak

NGO dapat melakukan pekerjaan teknis di

lapangan namun hanya sedikit NGO yang dapat

memberikan masukan dan menjadi rekan berpikir

bagi perusahaan dalam merancang strategi

keberlanjutan.

Perjalanan kerjasama SEGS dengan

KEHATI juga menghadapi sejumlah tantangan dan

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

9

hambatan. Beberapa hambatan dalam kerjasama

ini adalah: Pertama, Pada dasarnya restorasi adalah

pekerjaan pemerintah dan saat pihak swasta

bersedia berpartisipasi melalui CSR dengan

pelibatan NGO maka kerjasama yang terjalin

harusnya kerjasama multipihak. Namun

kenyataannya perjanjian kerjasama sama yang

dibuat hanya parsial hanya antara SEGS dengan

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan

antara Balai Taman Nasional Gunung Halimun

Salak dengan Yayasan KEHATI. Ketiadaan

perjanjian bersama oleh ketiga pihak membuat

tidak terbangunnya mekanisme penyelesaian

konflik ketika ada beberapa pihak yang berselisih.

Salah satu bukti nyata adalah dipenghujung akhir

periode kerjasama tahap pertama, BTNGHS

memutuskan penghentikan kegiatan restorasi

akibat adanya konflik diantara salah satu staf

SEGS dengan Balai Taman Nasional dan juga

kesalahpahaman antara Balai Taman Nasional

Halimun Salak dengan KEHATI dan ketiadaan

perjanjian tiga pihak membuat tidak ada satu pun

pihak yang mampu menjadi penengah ditengah

kesalahpahaman. Selain itu pemerintah masih

memberlakukan birokrasi yang rumit terkait

pengelolaan kawasan hutan dan kerumitan

birokrasi ini terkadang mempengaruhi kecepatan

implementasi proyek.

Kedua adalah ketidakkonsistenan Yayasan

KEHATI dalam mengelola sumber daya manusia

di dalam program ini. Pada fase kegiatan kedua,

salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi

kinerja program adalah pergantian personel

KEHATI yang sangat tinggi. Perwakilan SEGS

mengungkapkan: “… orang di KEHATI ganti-

ganti jadi kalau kita udah build ganti orang, build

ganti orang jadi akhirnya ngga jadi –jadi build kan

karena bagaimana pun juga walaupun institusi,

yang menimbulkan saling kerjasama orangnya.”

(DM, SEGS, 27/02/2020). Hal ini sangat

berpengaruh karena bagi SEGS, pergantian

personel KEHATI yang berkali-kali dalam

program membuat terputusnya alur koordinasi dan

kesulitan membangun kepercayaan antara

perwakilan SEGS dan KEHATI. Hal yang sama

juga berdampak bagi masyarakat. Bapak D dari

Jarmaskor mengungkapkan “…Kalau di KEHATI

kan orangnya ganti-ganti ya Mbak, ganti-ganti

direktur, ganti-ganti staf lainnya, seringkali yang

datang tidak tahu karakteristiknya masyarakat,

tidak tahu perjalanan awalnya seperti apa, ya..main

masuk dan tanpa komunikasi yang jelas sehingga

itu juga menimbulkan apa ya..? tidak nyambung

informasinya tidak tersalurkan, tidak teruruslah

menurut saya, pola komunikasinya sehingga main

potong kompas, yang seharusnya tidak terjadi

kesalahpahaman berpotensi menjadi salah paham.”

(D, Jarmaskor,27/03/2020). Pergantian personel

KEHATI yang menangani program membuat

seringkali mematahkan kepercayaan yang sudah

dibangun di masyarakat. Dari hasil wawancara

mendalam dengan pihak SEGS dan KEHATI

didapati banyak kesalahpahaman akibat

komunikasi yang buruk dan komunikasi yang

buruk ini sangat dipengaruhi akibat tidak adanya

transfer informasi di dalam program ini.

Ketiga, perbedaan cara bekerja.

Perusahaan seperti SEGS dijalankan dalam sebuah

struktur project management yang ketat termasuk

dalam pengorganisasian kegiatan CSRnya.

Sayangnya NGO memiliki pemahaman project

management yang berbeda dengan pihak swasta.

Perbedaan ini membuat adanya perbedaan tafsir

terhadap perjanjian kerjasama dan sering kali

persyaratan-persyaratan administratif yang diminta

oleh perusahaan dipandang menyulitkan.

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)

10

Salah satu tantangan bagi SEGS dalam

program CSR ini adalah bagaimana nama

perusahaan dikenal oleh masyarakat. Sebenarnya

dalam setiap kegiatan –kegiatan yang dilakukan ke

masyarakat, KEHATI maupun NGO penerima

hibah selalu mencantumkan nama perusahaan

namun sayangnya bagi masyarakat yang mereka

kenal adalah orang yang memang terjun langsung

bekerja mendampingi mereka dan hal-hal seperti

ini sangat lazim terjadi apabila perusahaan tidak

terjun langsung melakukan pekerjaan

pendampingan masyarakat. Sementara bagi

KEHATI, tantangan terbesar adalah dalam segi

pendanaan. Sebagai grant-making NGO, KEHATI

mengelola beberapa program dari beberapa donor

namun pendanaan dari donor-donor ini biasanya

merupakan pendanaan yang restriktif dalam arti

uang yang diberikan kepada KEHATI hanya dapat

digunakan untuk mengelola proyek sesuai tujuan

donor. Selain itu praktek yang umumnya dilakukan

didalam pengelolaan hibah dengan NGO adalah

pembayaran dimuka artinya donor harus bersedia

memberikan dana di depan agar program berjalan

dan di fase kedua program Prakarasa Lintasan

Hijau Halimun Salak, SEGS melakukan perubahan

pola pembayaran yang semula pembayaran dimuka

menjadi pola kombinasi pembayaran di muka

dengan reimburse sehingga ketidaksepahaman

terkait pendanaan ini membuat beberapa aktivitas

di lapangan mundur.

KESIMPULAN Perusahaan seperti Star Energi Geothermal

Salak, Ltd bekerja dalam dunia bisnis yang tidak

statis dan kondisi masyarakat sebagai salah satu

stakeholder yang dikelola perusahaan juga kerap

kali berubah, tentu saja hal ini membuat

perusahaan kerap melakukan penyesuaian terhadap

pengorganisasian CSRnya. Dalam periode pertama

kerjasama antara SEGS dan Yayasan KEHATI,

program Prakarasa Lintasan Hijau Halimun Salak

diorganisasikan secara kolaboratif namun

perubahan kondisi politik lokal mendorong

perusahaan mengubah pengorganisasian CSRnya

di fase kedua menjadi pengalihdayaan ke NGO

dalam bentuk kegiatan filantropis. Yang menjadi

pembeda antara kedua bentuk pengorganisasian

CSR ini adalah kontrol administrative yang

diterapkan perusahaan ke NGO. Dalam

pengalihdayaan CSR , perusahaan menerapkan

kontrol administratif yang lebih tinggi.

Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun

Salak menunjukan ada berbagai peran yang dapat

dijalankan dalam NGO dalam CSR Perusahaan.

Dalam program ini KEHATI menjalankan peran

sebagai katalisator penggerak kerjasama antara

SEGS dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun

Salak. Pengalaman kerja KEHATI yang cukup

lama telah membuat KEHATI memiliki jaringan

baik dengan NGO lokal maupun stakeholder di

area Salak sehingga KEHATI menjadi mediator

dengan menghubungkan SEGS dengan NGO lokal

yang dapat melakukan pekerjaan di lapangan dan

bagi masyarakat KEHATI memfasilitasi

masyarakat untuk terhubung dengan berbagai

stakeholder yang dapat membantu pendanaan

masyarakat dan pada akhirnya dapat berkontribusi

bagi keberlangsungan kegiatan di masyarakat.

Salah satu peran penting lainnya yang dijalankan

oleh KEHATI adalah sebagai brokering capacity.

Hal ini dilakukan KEHATI dengan memfasilitasi

beberapa pelatihan untuk meningkatkan

pengetahuan masyarakat dalam pertanian,

peternakan dan pertanian terintegrasi KEHATI

juga memberikan keterampilan pengelolaan

pendanaan yang di masa yang akan datang dapat

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

11

menjadi modal bagi NGO dan KSM agar dapat

dipercaya calon pemberi dana.

Beberapa faktor pendukung program ini

adalah reputasi dan pengalaman kerja yang

dimiliki KEHATI. Pengalaman KEHATI selama

bertahun-tahun mengelola hibah dan bekerja

dengan berbagai donor membuat KEHATI

menyadari pentingnya menjadi lembaga yang

kredibel dan salah satu bentuk bukti KEHATI

melakukan pengelolaan dana yang transparan

adalah dengan secara rutin melakukan audit

keuangan dan mendaftarkan diri sebagai lembaga

yang dikelola melalui sistem manajemen mutu (

ISO 9001). Selain faktor pendukung, KEHATI

juga menghadapi beberapa hambatan diantaranya

birokrasi yang belum cukup jelas dan belum

adanya pengaturan kerjasama multipihak saat

harus bekerja sama dengan Balai Taman Nasional

Gunung Halimun Salak. Selain itu bagi SEGS dan

masyarakat , pergantian personel KEHATI yang

cukup tinggi juga membuat terputusnya koordinasi

dan kesulitan menjalin kepercayaan antara SEGS

dengan KEHATI maupun antara KEHATI dan

masyarakat. Faktor penghambat berikutnya adalah

perbedaan dalam implementasi project

management dan hal ini membuat KEHATI dan

perusahaan memiliki beberapa penafsiran yang

berbeda dalam menjalankan proyek.

Dalam pengorganisasian CSR ini, bagi

SEGS tantangan yang harus dihadapi adalah

bagaimana memastikan masyarakat mengenal

keberadaan perusahaan karena pada kenyataannya

masyarakat lebih mengenal KEHATI dan NGO

lokal mitra KEHATI karena memang lazimnya

masyarakat lebih mengenal pihak yang bekerja

langsung terjun ke masyarakat. KEHATI selalu

memastikan nama SEGS diperkenalkan dalam

setiap kegiatan di masyarakat namun memang

sangat sulit membuat perusahaan terekognisi di

masyarakat saat perusahaan hanya muncul sesekali

ke masyarakat. Faktor penghambat lainnya dalam

kerjasama ini adalah pendanaan. Sebagian besar

NGO adalah nirlaba yang memperoleh pendanaan

dari hibah dan akan cukup sulit bagi NGO jika

harus membiayai dahulu pekerjaan di lapangan.

REKOMENDASI Salah satu cita-cita ideal dari semua pihak

yang terlibat dalam Program Prakarsa Lintasan

Hijau Halimun Salak ini adalah keberlanjutan

namun keberlanjutan ini tidak dapat dicapai tanpa

adanya perencanaan yang baik dan pendanaan

berkesinambungan. Jika memang program ini

diharapkan dapat berkesinambungan maka Star

Energy Geothermal Salak,Balai Taman Nasional

Gunung Halimun Salak dan KEHATI harus duduk

bersama-sama dan saling mengkomunikasikan

harapan masing-masing sehingga semua pihak

memiliki kejelasan posisi dan peran yang harus

dijalankan untuk mencapai program Prakarsa

Hijau Halimun Salak yang berkelanjutan. Selain itu

semua pihak perlu juga mempersiapkan sedari

awal strategi pendanaan melalui penggalangan

dana (fund raising).

Pada dasarnya perjanjian kerjasama antara

perusahaan dengan NGO tidak pernah sekedar

kerjasama formal yang dituangkan dalam

perjanjian kerjasama dan ada pertukaran uang dan

jasa yang diberikan tetapi juga tentang hubungan

diantara manusia-manusia yang terlibat dalam

kerjasama sehingga adalah penting untuk

memastikan masing-masing pihak menempatkan

sumber daya manusia yang tepat dalam program

CSR yang dikerjakan bersama. Faktor manusia

menjadi sangat penting karena terkadang negosiasi

diantara perusahaan dan NGO tidak hanya terjadi

secara formal tetapi juga secara informal sehingga

PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)

12

penting untuk menjalin hubungan yang baik

diantara personel-personel yang mengelola

program maupun diantara top level manajemen

perusahaan dan NGO.

Salah satu faktor penting dalam

keberlanjutan sebuah NGO adalah keberlanjutan

pendanaan dan salah satu sumber pendanaan bagi

NGO adalah perusahaan. Jika NGO ingin

mengakses dana perusahaan maka NGO harus

memahami cara bekerja perusahaan dan

menyesuaikan diri dengan cara bekerja

perusahaan, salah satu caranya dengan

membangun sistem project management yang

lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA Austin, J. E. The Collaboration Challenge: How

Nonprofits and Business Succeed through

Strategic Alliances. San Francisco, CA:

Jossey-Bass, 2000.

Becker, Erick.2016. The Influence of

Environmental NGOs in the Global Society.

Butler

Chapter 2 in Andriof, J., Waddocl, S., Husted, B,

and Sutherland Rahman, S. 2003. Unfolding

Stakeholder Thinking 2: Relationships,

Communication, Reporting and

Performance. Sheffield: Greenleaf: 39-52,

2003University.

Conley, John M. and Williams, Cynthia A.,

Engage, Embed, and Embellish: Theory

Versus Practice in the Corporate Social

Responsibility Movement (March 23, 2005).

UNC Legal Studies Research Paper No. 05-

16. Available at SSRN:

https://ssrn.com/abstract=691521or

http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.691521

Etikan, Ilker. (2016). Comparison of Convenience

Sampling and Purposive Sampling.

American Journal of Theoretical and

Applied Statistics. 5. 1.

10.11648/j.ajtas.20160501.11.

Garriga, E. & Melé, D. Journal of Business Ethics

(2004) 53: 51.

https://doi.org/10.1023/B:BUSI.000003939

9.90587.34

Gray, Jennifer R. Grove, Susan K. Grove,

Sutherland, Suzanne. Burns and Grove's The

Practice of Nursing Research - E-Book:

Appraisal, Synthesis, and Generation of

Evidence, Ed8. Elsevier Health Sciences,

2016.

Glassbergen, P dan R.Groenenberg(2001).

Environmental Partnership in sustainable

energy. European Environment, 11(1).1-3

Healy, Tom. and Sylvain Cote. 2001. The Well-

Being of Nations : The Role of Human and

Social Capital. Organisation for Economic

Co-operation and Development.

Husted, Bryan. (2003). Governance Choices for

Corporate Social Responsibility: to

Contribute, Collaborate or Internalize?.

Long Range Planning. 36. 10.1016/S0024-

6301(03)00115-8.

Husted, B. W., Allen, D. B., & Rivera, J. E. (2010).

Governance Choice for Strategic Corporate

Social Responsibility: Evidence From

Central America. Business & Society, 49(2),

201–215.

https://doi.org/10.1177/0007650308315504

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13

13

Laporan Kemajuan Yayasan KEHATI untuk

disubmit kepada Chevron sampai dengan

Mei 2015.

Martens, K. VOLUNTAS: International Journal

of Voluntary and Nonprofit Organizations

(2002) 13: 271.

https://doi.org/10.1023/A:1020341526691

Mazurkiewicz, Piotr. 2004. Corporate

environmental responsibility : Is a common

CSR framework possible? (English).

Washington, DC: World Bank.

http://documents.worldbank.org/curated/en/

577051468339093024/Corporate-

environmental-responsibility-Is-a-common-

CSR-framework-possible

Meijaard, E., Dennis, R.A., Saputra, B.K.,

Draugelis, G.J., Qadir, M.C.A., and

Garnier, S. 2019. Rapid Environmental and

Social Assessment of Geothermal Power

Development in Conservation Forest Areas

of Indonesia. PROFOR, Washington, DC.

Nahi, T. Co‐creation for sustainable development:

The bounds of NGO contributions to

inclusive business. Bus Strat Dev. 2018; 1:

88– 102. https://doi.org/10.1002/bsd2.14

Nurdianto, Ahmad, et al. "Kajian

Implementasi Program Corporate Social

Responsibility (CSR) di Daerah

Penyangga Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango (Studi Kasus di

Kampung Sarongge Desa Ciputri

Kecamatan Pacet Kab. Cianjur)." Jurnal

Nusa Sylva, vol. 14, no. 1, 2014, pp. 20-

31

Saidi dan Abidin, 2004. Corporate Social

Responsibility „Alternatif bagi

Pembangunan Indonesia. Jakarta: ICSD.

T. S. Asfaw, V. Botes, & L. G. Mengesha. (2017).

The Role of NGOs in Corporate

environmental responsibility practice:

evidence from ethiopia.

Utomo, N.A., Limberg, G., Moeliono, M.M.,

Indriatmoko, Y., Mulyana, A., Iwan, R., &

Saparuddin (2010). Peraturan saja tidak

cukup: pelajaran dari program tanggung

jawab sosial dan lingkungan (CSR) di

Taman Nasional Kutai dan gagasan

perbaikan ke depan.

Wadham, Helen.2009. Talking across

boundaries:Business and NGO perspectives

on sustainable development and

partnership.

Weber, K. (2009). Michael Yaziji and Jonathan

Doh: NGOs and Corporations: Conflict and

Collaboration. Administrative Science

Quarterly, 54(4), 668–670.

https://doi.org/10.2189/asqu.2009.54.4.668

Yan, X.; Lin, H.; Clarke, A. Cross-Sector Social

Partnerships for Social Change: The Roles

of Non-Governmental Organizations.

Sustainability 2018, 10, 558.

Ylikoski, P., & Zahle, J. (2019). Case Study

Research in the Social Sciences. Studies in

History and Philosophy of Science Part A,

78, 1-4.