0
KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN
Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional
di Bidang Administrasi Negara
DISUSUN OLEH:
NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO
NDH : 12
ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I, ANGKATAN XXV
JAKARTA, 2013
i
Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional
di Bidang Administrasi Negara
Disusun Oleh:
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
NDH: 12
Disahkan
Jakarta, Mei 2013
Oleh Penguji:
( Sri Hadiati WK., SH.,MBA ) ( Sunari Sarwono, MA )
Penguji I Penguji II
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV
JAKARTA, 2013
LEMBAR PENGESAHAN
ii
Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional
di Bidang Administrasi Negara
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
NDH: 12
Disetujui untuk diseminarkan
Jakarta, Mei 2013
(DR. IR. TJUK SUKARDIMAN, M.SI)
Pembimbing
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV JAKARTA, 2013
LEMBAR PERSETUJUAN PENYAJIAN
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Deputi III bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang APOAN) memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi administrasi negara. Dalam menjalankan tugasnya ini, Deputi III masih menghadapi kendala baik internal maupun eksternal. Meskipun demikian, Deputi III memiliki komitmen penuh untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan bagi seluruh stakeholder. Sehubungan dengan hal tersebut, KPT-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara melalui peningkatan peran Deputi III. Dengan demikian, tujuan dari KTP-2 ini adalah Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning), sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini. Dari analisis yang dilakukan ditemukan adanya 14 (empat belas) situasi problematik yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Deputi III sehingga cita-cita mewujudkan sistem perundang-undangan/kebijakan yang berkualitas belum dapat diwijudkan secara optimal. Dari ke-14 kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) issu yakni issu institusional, networking, mindset, partisipasi masyarakat, dan kajian/litbang administrasi negara, sebagaimana digambarkan dalam rich picture. Setelah dirumuskan conceptual model-nya dan dibandingkan dengan real world, maka dapat diidentifikasikan 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level messo, dan level makro. Pada level mikro, transformasi atau perubahan yang diinginkan adalah meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara; pada level messo adalah menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk mewujudkan evidence-based policy atau research-based policy; sedangkan pada level makro adalah meningkatnya kualitas peraturan perrundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Selanjutnya analisis scenario planning telah menghasilkan 11 (sebelas) variabel atau driving forces yang mempengaruhi upaya untuk mewujudkan kualitas peraturan perundang-undangan/ kebijakan nasional di bidang administrasi negara pada masa mendatang, tepatnya 2025. Setelah dilakukan analisis keterkaitan antar driving forces dengan teknik non-linier menggunakan CLD, ditemukan 2 (dua) driving forces yang paling berpengaruh yakni tingkat egoisme sektoral yang masih tinggi, tingkat dukungan kajian yang masih rendah terhadap perumusan kebijakan.kedua leverage inilah yang digunakan untuk menyusun skenario. Dari ciri-ciri kutub kedua leverage tersebut dan kombinas sumbu positif dan negatif, telah ditemukan 4 (empat) skenario dengan karakeristik berbeda-beda. Untuk memudahkan pemahaman, maka setiap skenario diberi nama sebagai metafora skenario sebagai berikut:
iv
1. Skenario 1 (kuadran 1): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana; 2. Skenario 2 (kuadran 2): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksamana; 3. Skenario 3 (kuadran 3): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna; 4. Skenario 4 (kuadran 4): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka,
Dari keempat skenario diatas, maka rekomendasi kebijakan yang dipilih adalah Skenario 1, yakni Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana, dengan harapan dapat memperbaiki situasi pada 3 (tiga) kuadran lainnya. Dan agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka KTP-2 ini telah menuangkan dalam logika perencanaan strategis, paling tidak komponen-komponen utamanya. Dalam kaitan ini, telah dirumuskan pernyataan Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi (Values), serta Tujuan dan Sasaran sebagai strategi implementasi untuk mewujudkan cita-cita diatas.
v
KATA PENGANTAR
“Kasih sayang dan pertolongan Allah selalu lebih besar dari pada hambatan dan
cobaan yang membentang”. Atas dasar keyakinan seperti itulah, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2), sebagai kelengkapan administratif
dan akademis dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I
Angkatan XXV ini. Untuk itu, rasa syukur tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah Sang
Maha Pemurah dan Maha Berilmu, yang telah memberi setitik kemampuan bagi penulis untuk
berpikir, menyodorkan kosep, kemudian merajutnya dalam tulisan sederhana ini.
Selain sebagai syarat kelulusan mengikuti Diklatpim, KTP-2 ini tentu bukan hanya
formalitas belaka, itulah sebabnya, penulis mencoba semaksimal mungkin berdasarkan
kemampuan penulis untuk membuat karya ini lebih berarti, baik bagi diri pribadi penulis, tempat
kerja dan tempat mengabdi penulis di LAN-RI, serta bagi khalayak birokrat dan intelektual, serta
bagi bangsa negara Indonesia secara keseluruhan. Ide, konsep, maupun pemikiran rinci dari
karya tulis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Terselesaikannya KTP-2 ini tentu bukan hasil “keringat” penulis sendiri. Ini adalah
sintesa kasat mata maupun transendental dari berbagai pihak terkait yang memungkinkan
“takdir” ini terjadi. Oleh karenanya, wajib bagi penulis mempersembahkan rasa terima kasih
yang tulus kepada Bapak Kepala LAN, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA yang telah menugaskan
dan memberi kepercayaan yang besar kepada penulis untuk mengikuti Diklatpim Tingkat I
Angkatan XXV. Atas dasar kepercayaan itu pulalah, penulis mencoba untuk tidak
mengecewakan selama menjalankan kewajiban selaku peserta. Terima kasih juga penulis
haturkan kepada Bapak Deputi III, Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc, atasan langsung penulis,
yang telah memberi dukungan moril dan selalu menjadi mentor yang baik bagi penulis.
Demkian pula untuk para peneliti dan staf Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, penulis
menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya. Tanpa keberadaan Kapusnya di tempat,
ternyata tidak menyurutkan semangat untuk mengukir preastasi dan kinerja terbaik.
Kepada para penyelenggara Diklatpim I, dari Bapak Deputi Spimnas Bidang
Kepemimpinan, Prof. Dr. Ismail Sai, SH.,MH., Kapusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan,
Dra. Reni Suzana, MPPM, hingga pada tenaga administrasi yang telah memberikan pelayanan
siang malam dengan setulus hari, pak Parlan, mas Haris, mas Ari Noviono, mas Bambang
Setyo, dan lain-lain yang tidak dapat disebut satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih,
vi
dengan disertai doa semoga pengabdian bapak/ibu semua menjadi amal jariyah yang dibalas
dengan pahala tidak pernah terputus dari Allah SWT.
Kepada seluruh rekan-rekan peserta yang telah menjadikan waktu 11 minggu tidak
terasa lama dan penuh dengan aura positif, penulis sampaikan terima kasih, semoga
kebersamaan dan jalinan kekeluargaan yang telah terpatri dapat terus kita pelihara di hari-hari
mendatang. Tidak lupa pula kepada seluruh Tim Widyaiswara yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, khususnya kepada pembimbing KTP-2, Bapak Dr. Ir. Tjuk Sukardiman,
M.Si., penulis menghaturkan jutaan terima kasih atas segala ilmu yang dicurahkan, kesabaran
yang terus ditebarkan, serta kebijaksanaan (wisdom) yang diteladankan kepada seluruh
peserta.
Terakhir, untuk istri penulis tersayang, R. Kania Bratadiredja, dan anak-anak penulis
Teteh Syifa, Mbak Rara, Kakak Tria, Kang Mizan, dan Adik Nizam, karya tulis ini adalah
persembahan dan wujud dedikasi penulis untuk keluarga. Meskipun Kakak Tria, Kang Mizan,
dan Adik Nizam sakit-sakitan dalam 3 minggu terakhir, namun cinta yang terpancar dan
sentuhan-sentuhan kejiwaan dari istri dan kelima anak penulis jauh lebih besar dan membuat
penulis mampu menyelesaikan KTP-2 ini meski terpaksa agak terhambat dan tersendat.
Semoga Allah ar Rahman ar Rahiem al Kariem senantiasa melimpahkan segala kebaikan dan
keberkahan dari segala penjuru langit dan bumi untuk kemuliaan kalian semua.
Akhirul kalam, karya sederhana ini tentu menyimpan banyak kelemahan dan
kecacatan, dibalik ide-ide yang mungkin cukup orisinal dan baik untuk perbaikan institusional.
Adanya kebaikan sepenuhnya adalah hidayah Allah, dan keburukan yang ada sepenuhnya
adalah wujud kefakiran ilmu dari penulis. Untuk itu, penulis mengundang sidang pembaca untuk
memberi pengayaan dan pelurusan terhadap karya tulis ini.
Wassalamu’alaikum
Salam semangat tak pernah padam!
Jakarta, 14 Mei 2013
(Ultah Kakak Tria ke-6)
Tri Widodo W. Utomo
NDH 12
vii
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PUSAT DIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN
PAKTA INTEGRITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa
Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2) saya susun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Diklatpim Tingkat II yang seluruhnya merupakan hasil karya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan KTP-2 yang saya kutip secara
langsung atau tidak langsung dari hasil karya orang lain telah saya tuliskan sumbernya
secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian KTP-2 ini bukan karya tulis
saya sendiri, atau ada indikasi adanya plagiasi di bagian-bagian tertentu, saya bersedia
menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Pakta Integritas ini dibuat dengan sebenarnya, tanpa tekanan dari siapapun, dan Pakta
Integritas ini digunakan untuk seperlunya.
Jakarta, 14 Mei 2013
Tri Widodo Wahyu Utomo
NDH. 12
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………………….. i
Lembar Pengesahan …………………………………………………………………………… ii
Lembar Persetujuan Penyajian ………………………………………………………………… iii
Ringkasan Eksekutif …………………………………………………………………………….. iv
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………….. vi
Pakta Integritas ………………………………………………………………………………….. viii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………….. ix
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………………. xi
Daftar Gambar ……………………………………………………………………………………. xii
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ………………………………………………………………….. 1
B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia …………………………………………. 5
1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review) ..... 5
2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah ............................................ 7
3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan
(beschikking) ......................................................................................... 10
4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara .................................... 10
C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy …………………………………… 10
D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara
(HAN) …………………………………………………………………………….. 12
E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2 ………………………………………… 17
F. Metode dan Teknik Analisis …………………………………………………… 17
G. Sistematika Penulisan ………………………………………………………….. 18
Bab II Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM …………………. 20
A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan
Fungsi Instansi ………………………………………………………………….. 20
B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan ……………………….. 24
ix
C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas
Peraturan dan Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN ……… 25
D. Root Definition dan CATWOE Analysis ……………………………………… 27
E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real
World) ……………………………………………………………………………. 29
F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes) …… 32
G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi) ………………. 33
Bab III Penggambaran Masa Depan Sistem Peraturan/Kebijakan Dengan
Scenario Planning ………………………………………………………………… 35
A. Penetapan Focal Concern (FC) ……………………………………………….. 35
B. Identifikasi Driving Force (DF) …………………………………………………. 36
C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF) ………………………………. 36
D. Menyusun Matriks Skenario ……………………………………………………. 39
E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub …………………………………………………….. 40
F. Metafora dan Narasi Skenario …………………………………………………. 42
G. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………………………….. 45
Bab IV Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya ……………….. 46
A. Penetapan Visi dan Misi ……………………………………………………….. 46
B. Nilai-Nilai Organisasi (Values) ………………………………………………… 47
C. Tujuan dan Sasaran …………………………………………………………….. 48
D. Kebijakan dan Program …………………………………………………………. 50
Bab V Penutup ……………………………………………………………………………… 52
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………. 55
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan
Materinya ………………………………………………………………………… 6
Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) … 8
Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) …………………… 9
Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook
Ilmu Administrasi Negara ……………………………………………………… 14
Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning …… 18
Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic) ……… 25
Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition ……………………….. 28
Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World) ......... 31
Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan
Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi
Negara ........................................................................................................ 33
Tabel 3.1. Driving Forces (DF) ……………………………………………………………. 36
Tabel 3.2. Analisis Leverage ……………………………………………………………… 38
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun
Penyelenggaraan Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-
Outcome) ……………………………………………………………………….. 24
Gambar 2.2. Rich Picture …………………………………………………………………….. 27
Gambar 2.3. Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan
Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional Bidang Administrasi
Negara ………………………………………………………………………….. 30
Gambar 2.4. Perubahan yang Diinginkan ........................................................................ 32
Gambar 3.1. Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier ………… 37
Gambar 3.2. Matriks Skenario ……………………………………………………………… 40
Gambar 3.3. Metafora Skenario ……………………………………………………………… 42
Gambar 4.1. Peta Strategi Deputi III LAN …………………………………………………… 51
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Dilihat dari sejarahnya, Lembaga Administrasi Negara (selanjutnya disebut LAN)
didirikan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna administrasi negara. Hal ini bisa
disimak dari Pidato Perdana Menteri Djuanda tanggal 5 Mei 1958 pada saat pelantikan Prof.
Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai Direktur LAN, yang antara lain menegaskan sebagai
berikut:
“… telah menjadi kenyataan, terutama di negara-negara Asia, bahwa kelambatan dari usaha-usaha pembangunan ekonomi dan masyarakat disebabkan oleh struktur dan cara bekerja Administrasi Negara yang kurang berdayaguna.
Oleh sebab itu pula, … yang menjadi salah satu tugas pokok dari LAN adalah penyelidikan (research) di lapangan Administrasi Negara, baik yang bersifat induktif dan empiris (mengumpulkan bahan-bahan didalam negeri guna memperoleh kesimpulan yang akan dijadikan faktor penting untuk menentukan corak administrasi negara kita), maupun yang bersifat komparatif (mengumpulkan bahan-bahan keterangan sistem dan struktur administrasi di negara-negara lain guna dijadikan bahan perbandingan dan perbincangan didalam usaha-usaha menemukan dan menyusun suatu Administrasi Negara Indonesia yang berdayaguna).
Dan salah satu bagian di lapangan research dari LAN ini yang sangat penting adalah “Bagian Konsultasi” yang harus terdiri atas ahli administrasi dan manajemen … yang mampu memberikan advis-advis mengenai administrasi, organisasi, metode-metode, manajemen, dsb.”
Untuk dapat memahami lebih dalam tentang LAN, perlu juga disimak Pidato Prof.
Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai berikut:
“Keputusan Pemerintah untuk mendirikan LAN, yang berarti bahwa Pemerintah secara tegas hendak membangun Public Administration di Indonesia, adalah suatu titik perubahan pokok di dalam sejarah kenegaraan kita. Dengan keputusan tersebut kita meninggalkan azas Negara Hukum yang kita pelajari dari Belanda, dan dengan tidak meninggalkan hukum itu, kita sekarang sedang menuju ke suatu ”Negara Administratif” ...
Dengan mendirikan LAN ini, Pemerintah ingin mempercepat proses perubahan jiwa Pegawai-pegawai Negeri kita, yang pada masa ini masih selalu menjadi ejekan masyarakat, yaitu perubahan dari pegawai negeri yang ”hanya menjalankan peraturan” saja ke Pegawai Negeri Indonesia yang baru, yang mempunyai entrepreneurship dan leadership yang berjiwa sebagai ”managers
2
of the state” atau ”public managers” yang penuh inisiatif sendiri serta berjiwa dinamis, dan yang selalu berusaha untuk mempertinggi produktivitas kerja, produktivitas negara, produktivitas modal nasional, dan sebagainya ... ”
Pidato Perdana Menteri Djuanda diatas dapat dikatakan sebagai philosophische
grondslag (dasar filosofis) dari keberadaan LAN, dan senantiasa harus dijadikan sebagai
rujukan dalam mengkaji kinerja dan kebutuhan pengembangan organisasi LAN dimasa-
masa selanjutnya. Tanpa merujuk pada pola pikir dan semangat awal pendiriannya,
pembicaraan tentang LAN bisa terjebak pada siatuasi ahistoris, dimana perdebatan tentang
LAN tidak fokus dan mengakar pada cita-cita dan mandat yang diberikan oleh para
pimpinan negara waktu itu.
Dari penggalan pidato kedua pejabat diatas nampak jelas bahwa LAN tidak hanya
memiliki tugas dalam mendidik dan melatih PNS, namun juga mengemban fungsi penelitian
(kajian) dan perkonsultasian. Itulah sebabnya, dalam berbagai peraturan yang menjadi
payung hukum eksistensi LAN hingga saat ini, fungsi penelitian atau kajian masih tetap
dipertahankan. Dan mengacu pada Keputusan Presiden No. 103/2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen jo. Peraturan Presiden No. 64/2005, LAN pada prinsipnya adalah unit
pemikir (think tank) pemerintah untuk memperbaiki sistem administrasi negara dan
kualitas kebijakan publik, baik pada tataran nasional maupun daerah.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi LAN tersebut, Deputi III bidang Penelitian
dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang
APOAN). Deputi III memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi
administrasi negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Litbang APOAN
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Penyusunan telaahan kebijakan di bidang administrasi pembangunan, pengembangan
system informasi dan otomasi administrasi negara, kerjasama regional dan internasional
di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara,
2. Penyusunan agenda kajian kebijakan di bidang administrasi pembangunan,
pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara, kerja sama regional
dan internasional di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara,
3. Pengkajian administrasi pembangunan dan kerjasama regional,
4. Pengkajian dan pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara,
3
5. Pengkajian dan pengembangan hukum administrasi negara,
6. Pengembangan kerja sama internasional di bidang administrasi negara,
7. Pelaksanaan tugas lain yang terkait yang ditetapkan oleh Kepala.
Ketujuh fungsi Deputi Litbang APOAN diatas secara operasional dilaksanakan
oleh 3 (tiga) Pusat, yakni:
1. Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (PKHAN),
2. Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI),
3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Informasi dan Otomasi Administrasi
Negara (Puslitbang SIOAN).
Dalam melakukan tugas kajian/penelitian kebijakan tersebut, harus diakui LAN
masih menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, baik yang bersumber pada kondisi
internal maupun eksternal. Pada aspek internal, beberapa masalah yang sering dihadapi
adalah:
� Terbatasnya kapasitas (kuantitas dan kualitas) tenaga peneliti dibandingkan dengan
lingkup substantif kajian administrasi negara yang sangat luas serta issu-issu aktual dan
tuntutan publik yang semakin berkembang.
� Terbatasnya anggaran penelitian yang membatasi kebutuhan untuk penetapan
lokus/sampel penelitian, pencetakan laporan/publikasi, pengiriman diklat bagi peneliti,
dan sebagainya.
� Mekanisme perencanaan dan koordinasi kelitbangan antar unit-unit kajian yang belum
terpola secara baku.
Sementara itu, pada aspek eksternal terdapat masalah-masalah umum yang
berada diluar kewenangan LAN, misalnya sebagai berikut:
� Belum adanya forum koordinasi kelitbangan khusus Paguyuban PAN. Hal ini
mengakibatkan indikasi program kajian yang dilakukan Kantor Menpan, LAN, BKN,
ANRI, dan BPKP tidak saling memperkuat dan bahkan membuka kemungkinan tumpang
tindih, baik dalam hal judul kegiatan, substansi, maupun lokus penelitian.
� Forum kelitbangan yang ada saat ini, yakni FKK (Forum Koordinasi Kelitbangan) belum
optimal karena selain bersifat sangat umum (tidak fokus pada issu tertentu), juga tidak
terjadual secara rutin dengan agenda yang jelas dan tegas.
� Belum adanya penetapan dari instansi Pembina Jabatan Fungsional Peneliti, yakni LIPI,
tentang standarisasi kompetensi peneliti. Kalaupun ada, nampaknya masih cenderung
asal ada dan tidak mencerminkan kompetensi yang sesungguhnya.
4
Meskipun dihadapkan pada beberapa kelemahan, LAN memiliki komitmen penuh
untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan
bagi seluruh stakeholder. Komitmen ini antara lain ditandai dengan upaya melakukan
revitalisasi kelembagaan dalam rangka organizational development, restrukturisasi program
dan kegiatan untuk mempertajam output dan outcomes, serta menerapkan pola baru dalam
promosi dan mutasi pegawai.
Terlepas dari permasalahan umum diatas, perlu dikemukakan disini bahwa hasil
kajian/penelitian yang ada saat inipun sudah cukup menunjukkan kemanfaatan yang nyata.
Bentuk-bentuk kemanfaatan beragam dari pemanfaatan sebagai bahan bacaan, koleksi
perpustakaan, rujukan dalam menyusun pidato pejabat, rujukan dalam penulisan
skripsi/thesis/disertasi di berbagai Perguruan Tinggi, penggunaan sebagai bahan ajar
perkuliahan di Perguruan Tinggi atau diklat-diklat, pengembangan wawasan bagi aparat
pemerintah, hingga adopsi sebagai muatan (content) suatu kebijakan tertentu.
Beberapa kebijakan atau hukum positif yang merupakan kontribusi pemikiran LAN
antara lain Keppres No. 44 dan 45 Tahun 1974, Inpres No. 7/1999, PP No. 101/2000,
Permenpan No. 20, 25, dan 26 Tahun 2006, Permenpan No. 13/2009, dan sebagainya.
Draft perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 43/1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, juga tidak lepas dari rekomendasi yang dihasilkan
LAN. Di tingkat daerah, rekomendasi yang dihasilkan oleh PKP2A juga cukup banyak
mewarnai kebijakan di level Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Di tengah-tengah kendala yang ada serta kemanfaatan yang telah diraih, LAN juga
komit untuk melakukan pembenahan sistemik menuju manajemen kelitbangan yang lebih
berbobot dan professional. Pembenahan ini dilakukan sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasinya, yakni dengan mengoptimalkan fungsi unit-
unit kerja terkait. Pada saat yang sama, upaya membangun kompetisi yang sehat antar unit
kajian juga terus ditumbuhkan melalui berbagai program budaya kerja, salah satunya
melalui penyelenggaraan knowledge shared forum sebagai media pengembangan tradisi
akademik di unit litbang/ kajian.
Dari deskripsi tentang filosofi pendirian, mandat organisasi (tugas dan fungsi),
serta kendala dan kinerja yang dicapai tersebut diatas, dipandang perlu untuk lebih
memperkuat peran Deputi III Bidang APOAN untuk memperkokoh kedudukan dan kontribusi
LAN secara menyeluruh. Dan mengingat keragaman karakteristik tugas, fungsi, dan
departementasi Deputi III, maka dalam rangka rencana penulisan Karya Tulis Prestasi
5
Perseorangan (KTP2) ini akan difokuskan pada tugas dan fungsi yang berkaitan dengan
pengkajian Hukum Administrasi Negara.
B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia
Sebagaimana telah disinggung pada Bab sebelumnya, kinerja kebijakan
pemerintah secara umum kurang menggembirakan. Kebijakan pemerintah disini difokuskan
pada perumusan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang dan Peraturan Daerah),
penerbitan Keputusan, serta sengketa kewenangan antar lembaga negara.
1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review)
Dari sejumlah permohonan yang diajukan ke MK sejak 2003 hingga 2012, tercatat
1.166 perkara yang telah ditangani oleh MK. Dari jumlah tersebut, jika dipilah
berdasarkan kewenangan, terdapat 532 perkara (45%) Pengujian Undang-Undang
(PUU), 21 perkara (2%) Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, 116 perkara
(10%) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif dan Presiden/Wakil
Presiden, serta 497 perkara (43%) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan 2012).
Dari 532 perkara PUU yang ditangani sejak 2003 sampai 2012, MK telah
menyelesaikan 460 perkara. Jumlah penyelesaian ini terdiri dari 414 (90%) putusan dan
46 (10%) perkara melalui Ketetapan. Adapun jumlah untuk masing-masing amar
putusannya adalah 127 perkara (31%) dikabulkan, 154 perkara (37%) ditolak, dan 133
perkara (32%) tidak dapat diterima. Selebihnya, melalui ketetapan: 45 perkara (98%)
ditarik kembali dan 1 perkara (2%) tidak berwenang (MK, Laporan Tahunan 2012).
Sejak 2003 hingga 2012, tercatat 182 UU yang diuji ke MK. Dari jumlah ini,
terdapat 2 UU yang paling banyak diuji, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dengan frekuensi uji 36 kali, serta UU No. 8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jumlah uji 27 kali. Sedangkan jika
ditilik berdasarkan tahun pembuatan undang-undangnya, produk legislasi tahun 2004
paling banyak diuji ke MK. Tercatat 22 UU yang dibuat pada tahun ini telah diuji ke MK
sejak 2003 hingga 2012 (MK, Laporan Tahunan 2012).
Jika banyaknya perkara PUU mengindikasikan lemahnya kapasitas perundang-
undangan, maka kelemahan terburuk legislasi nasional terjadi pada tahun 2004 dimana
dilakukan pengujian sebanyak 22 UU; disusul secara berurutan tahun 2009 (19 UU);
6
2008 (18 UU); 2003 (17 UU); 2007 dan 2011 (12 UU); 1999 dan 2002 (11 UU). Adapun
jika frekuensi pengujian terhadap sebuah UU mencerminkan kualitas UU tersebut, maka
UU yang paling rendah kualitasnya adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah (36 kali pengujian); UU No. 8/1981 tentang KUHAP (27 kali); UU No. 10/2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (25 kali); UU No. 12/2008
tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (18 kali); UU
No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16 kali); UU No.
42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU No. 27/2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (15 kali); UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (12 kali); UU No. 20/2003 tentang Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (11
kali); serta UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 8/2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (10 kali).
Secara skematis, potret kualitas Undang-Undang berdasarkan hasil pengujian
material Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan
Materinya
No.
Pengujian Berdasarkan Tahun Pengundangan
Pengujian Berdasarkan Materi UU
Tahun Jml UU yg
Diuji Materi
Frek. Pe-ngujian
1 2004 22 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;
36
2 2009 19 UU No. 8/1981 tentang KUHAP; 27 3 2008 18 UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD; 25
4 2003 17 UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;
18
5 2007, 2011 12 UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
16
6 1999, 2002 11 UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
15
7 1992, 2001, 2006, 2012
5 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
12
7
8 2000 4 UU No. 20/2003 tentang Tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
11
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
10
Sumber: Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara: Laporan Tahunan 2012, MK, 2012 (diolah).
2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 136 mengatur bahwa
Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan,
serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas daerah. Perda dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selama ini, Pemerintah Pusat cq. Kementerian Dalam Negeri melakukan
pengawasan terhadap Perda, yang terdiri dari Klarifikasi dan Evaluasi Perda. Menurut
Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah, sebagaimana telah dicabut dengan Permendagri No. 53/2011 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian
terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah guna mengetahui apakah
peraturan daerah atau peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan evaluasi
adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan
peraturan kepala daerah untuk mengetahui apakah bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.1
Terkait dengan issu peraturan daerah ini, Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri
(2012, Issu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Dalam RUU Tentang
1 Selama ini dipahami secara luas bahwa evaluasi adalah bentuk pengawasan secara preventif, sedangkan klarifikasi adalah bentuk pengawasan secara represif. Namun perlu dicatat bahwa baik UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 27/2009 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, serta Permendagri No. 53/2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, tidak satu pasal dan ayat-pun yang menggunakan istilah ini. Satu-satunya produk hukum yang menyebut adanya istilah pengawasan represif adalah Keputusan Mendagri No. 41/2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah. Oleh karena itu, sebaiknya klarifikasi dan evaluasi tidak lagi dikait-kaitkan dengan pengawasan represif dan preventif karena bisa menimbulkan kebingungan hukum dan kesalahpahaman dalam interpretasi.
8
Pemerintahan Daerah, bahan paparan) menyebutkan adalah 6 (enam) masalah pokok
sebagai berikut:
• Banyak peraturan daerah yang bermasalah.
• Pengawasan preventif terhadap peraturan daerah tidak optimal.
• Pembatalan peraturan daerah bermasalah langsung oleh presiden tidak efisien
mengingat jumlah dan jenis peraturan daerah banyak dan beragam.
• Kecenderungan daerah tidak menyampaikan peraturan daerah yang telah
ditetapkan kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak dapat melakukan
klarifikasi atas peraturan daerah tersebut.
• Sulit diketahui jumlah dan jenis peraturan daerah sehingga pengawasan terhadap
peraturan daerah tidak optimal.
• Tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan peraturan daerah.
Dengan banyaknya permasalahan di sekitar peraturan daerah, maka wajarlah
jika selama ini kita dengar banyaknya peraturan daerah yang dibatalkan oleh
pemerintah Pusat. Dalam hal ini, pada periode 2002-2009 klarifikasi yang menghasilkan
keputusan berupa pembatalan peraturan daerah dapat disimak pada Tabel dibawah ini.
Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009)
TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH
2002 17 - 2 - 19
2003 95 3 1 6 105
2004 220 2 13 1 236
2005 118 1 4 3 126
2006 114 - - - 114
2007 161 1 4 7 173
2008 223 4 - 2 229
2009 831 11 5 29 876
Jumlah 1779 22 29 48 1878
Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012).
Keterangan: PDRD : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Mihol : Minuman Beralkohol SP3 : Sumbangan Pihak Ketiga Lain-lain: Perijinan, Air Tanah, Pelayanan Terpadu, Syariah, dan sebagainya.
9
Semenjak tahun 2010, Menteri Dalam Negeri masih terus melakukan klarifikasi
terhadap peraturan daerah, namun tidak lagi membatalkan perda-perda bermasalah.
Pembatalan peraturan daerah dilakukan langsung melalui Peraturan Presiden.
Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009)
TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH
2010 324 7 2 74 407
2011 265 12 69 5 351
2012 61 4 24 84 173
Jumlah 650 23 95 163 931
Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012).
Sementara untuk tahun 2013, sampai dengan Februari telah diklarifikasi 423
peraturan daerah, dengan 30 diantaranya dikategorikan sebagai perda bermasalah.
Jumlah total sebanyak 931 peraturan daerah (2010-2012) yang diklarifikasi ini sering
disebut dengan peraturan daerah yang bermasalah. Jika sebelum tahun 2010 peraturan
daerah bermasalah khusus terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibatalkan
langsung oleh Menteri Dalam Negeri, maka semenjak keluarnya UU No. 28/2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Menteri Dalam Negeri tidak berwenang lagi
membatalkan Perda tentang PDRD, dan kewenangan pembatalan langsung dipegang
oleh Presiden.
Adapun yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan adanya Perda
PDRD bermasalah adalah dengan menyampaikan hasil klarifikasi, dan meminta daerah
yang bersangkutan untuk melakukan review terhadap perda tersebut.
Dalam perspektif revisi UU Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai peraturan
daerah juga turut berubah. Dalam hal ini, arah pengaturan baru dalam RUU Pemda
untuk meminimalisir munculnya banyak Perda bermasalah adalah sebagai berikut:
• Perda harus mendapatkan nomor register sebelum diundangkan.
• Pemberian sanksi administratif bagi kepala daerah yang tidak menyampaikan Perda.
• Pengawasan preventif diterapkan untuk 8 (delapan) Raperda yakni RPJPD, RPJMD
APBD, perubahan APBD, pertanggung jawaban pelaksanaan APBD, Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, dan RUTR.
10
• Pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda.
• Mendagri berwenang membatalkan semua Perda Provinsi, dan Gubernur
berwenang membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan
kepentingan umum, kesusilaan atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
• Diberlakukannya mekanisme perbaikan kebijakan (peraturan) melalui executive
review.
• Sanksi bagi daerah, kepala daerah dan anggota DPRD yang masih memberlakukan
Perda yang sudah dibatalkan.
3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan (beschikking)
Selain rendahnya kualitas kebijakan berupa regeling atau peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang atau peraturan Daerah sebagaimana dikemukakan
diatas, indikasi lemahnya kebijakan juga bisa dilihat dari maraknya sengketa TUN (Tata
Usaha Negara) akibat dikeluarkannya beschikking atau keputusan. Dalam hal ini,
publikasi Mahkamah Agung dalam website-nya menyebutkan bahwa dari periode 2004
hingga 2012, terdapat 3272 putusan atas sengketa TUN.
4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Sejak 2003-2012 tidak banyak perkara SKLN yang dimohonkan ke MK, bahkan
pada 2003 tidak ada satupun perkara yang diregistrasi. Meskipun begitu, pada 2006 dan
2008 terdapat 5 perkara SKLN yang ditangani. Pada 2004, 2005, 2009, dan 2010
masing-masing hanya menangani 1 perkara SKLN dalam setahun. Di tahun 2011,
terjadi peningkatan jumlah perkara SKLN yang diperiksa oleh MK, yakni 7 perkara.
Adapun di tahun 2012, MK menangani 6 perkara. Untuk perkara SKLN sejak 2003
hingga 2012 seluruhnya telah diselesaikan oleh MK. Di mana terdapat 17 putusan dan 4
ketetapan. Jika berdasarkan amarnya, putusan tersebut yakni 1 perkara (6%)
dikabulkan, 3 perkara (18%) ditolak, dan 13 perkara (76%), tidak dapat diterima
(Mahkamah Konstitusi, 2012).
C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy
Berbagai macam kelemahan kebijakan diatas – untuk tidak mengatakan kegagalan
kebijakan serta dampak ikutan yang mungkin timbul bila tidak segera diperbaiki,
11
mengilustrasikan akan terjadinya symbolic policy dalam sistem penyelenggaraan
negara, khususnya dalam hal sistem peraturan perundang-undangan.
Konsep tentang kebijakan simbolik (symbolic policy) yang dipertentangkan
dengan kebijakan berbasis bukti-bukti (evidence-based policy), dikembangkan oleh
Michiel S. de Vries dalam papernya berjudul “Distinguishing symbolic and evidence-
based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education”
(International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011).
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa symbolic policy terjadi jika sebuah
kebijakan melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan kepada
pihak tertentu secara tidak seimbang; sementara evidence-based policy adalah
kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata sehingga
dapat meminimalisir kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan.
De Vries menjelaskan bahwa simbol sering digunakan oleh para pengambil
kebijakan untuk memperoleh dukungan meski kebijakan yang diambil tidak efektif
dalam mengurangi masalah. Selain itu, simbol juga berfungsi untuk mengurangi
kompleksitas suatu permasalahan sekaligus untuk menarik bagi media dengan cara
mengurangi argumen yang kompleks. Dengan kedua fungsi ini, maka symbolic
policy menurut de Vries dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) being propagandistic, with an emphasis on illusions and appearances; 2) not caring about the effectiveness of the policies regarding the problem at hand, but rather caring about the exposure thereof; 3) being morally disputable because such policies deceive citizens, conceal hidden agendas and undermine social trust in replacing substantial arguments by strategic arguments and manipulation (see Blu¨ hdorn, 2007: 258); 4) the fact that ‘tangible resources and benefits are frequently not distributed to unorganized political group interests’ (Edelman, 1964: 23).
Selanjutnya de Vries menyebutkan adanya 4 (empat) kriteria symbolic
policy yang membedakannya dari evidence-based policy, yakni: 1) Being simplistic in its
presentation (sederhana dalam penyajian); 2) Ignoring contextual features (mengabaikan
fitur kontekstual); 3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4)
12
Resulting in policies benefiting the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang
menguntungkan kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan).
D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN)
Sesuai dengan judulnya, KTP-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan
menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan
kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan
Keppres No. 103/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang mengamanatkan
bahwa LAN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang administrasi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 4).
Sayangnya, pemahaman tentang “administrasi negara” ini hingga saat ini masih
belum jelas.2 Ada pemahaman umum bahwa administrasi negara adalah administrasi
tentang negara, sehingga administrasi negara ada dan dipraktekkan di setiap
Kementerian/Lembaga dan di seluruh jenjang pemerintahan. Disisi lain, ada semacam
konvensi bahwa administrasi negara memiliki 3 (tiga) dimensi utama, yakni Kelembagaan,
Ketatalaksanaan, dan SDM Aparatur. Belum adanya kesamaan persepsi tentang ruang
lingkup administrasi negara ini semakin diperumit dengan adanya Pusat Kajian Hukum
Administrasi Negara, sehingga memunculkan pertanyaan baru, yakni bagaimana hubungan
antara SAN dengan HAN?
Dalam konteks memetakan ulang ruang lingkup administrasi negara tadi, penulis
memandang perlu adanya perubahan cara pandang tentang SAN dan HAN. Selama ini
terdapat kesan bahwa antara SAN dan HAN dianggap memiliki hubungan yang cukup jauh.
Namun bagi penulis, keduanya ibarat satu koin mata uang dengan dua sisi yang berbeda,
sehingga keduanya sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,
memahami Hukum Administrasi Negara akan lebih mudah jika didukung dengan
pemahaman yang baik terhadap Sistem Administrasi Negara; demikian pula sebaliknya.
2 Dalam khazanah akademik, definisi dan ruang lingkup administrasi publik atau administrasi negara juga masih terus diperbincangkan dan belum tercapai pemahaman yang seragam. James Fesler (1980), misalnya, mengatakan bahwa public administration has never achieved a definition that commands general assent. Senada dengan itu, Richard Stillman (1980) menulis sebagai berikut: … no one has produced a simple definition of the study of public administration … what constitutes the core values and focus of twentieth-century public administration provides lively debates and even deep divisions between students of the field. Dengan belum jelasnya definisi dan ruang lingkup administrasi publik tersebut, semakin menegaskan perlunya redefinisi administrasi publik/negara.
13
Dengan cara berpikir seperti ini, maka antara sarjana administrasi negara dengan sarjana
hukum administrasi negara tidak memiliki perbedaan kompetensi yang kontras.
Meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, namun tetap diperlukan
adanya pembatasan wilayah substansi yang tegas antara SAN dan HAN. Dalam hal ini,
salah satu pendekatan yang penulis pikirkan untuk membedakan keduanya adalah bahwa
SAN berhubungan dengan filosofi perlunya kebijakan, pelibatan seluruh aktor dalam
formulasi kebijakan, interaksi dan interdependensi dalam lingkungan kebijakan, serta
evaluasi dampak kebijakan. Sementara HAN berhubungan dengan soal kewenangan
lembaga/pejabat dalam perumusan kebijakan (bevoegdheid), benturan kepentingan atau
konflik antar lembaga dalam sistem kebijakan, serta upaya dan mekanisme penegakan
kebijakan. Sederhananya, SAN bicara soal substansi kebijakan (hukum material),
sedangkan HAN lebih menyentuh pada sisi beracaranya (hukum formil).
Disamping itu, redefinisi HAN sangat boleh jadi juga dibutuhkan. Dalam hal ini,
saya saya menawarkan gagasan bahwa HAN identik dengan Hukum Konstitusi. Artinya,
tugas utama HAN sesungguhnya adalah menjamin terwujudnya sinkronisasi antar hierarki
peraturan penundang-undangan. Sepanjang masih terjadi pertentangan antar aturan, maka
hal itu mencerminkan tidak bekerjanya HAN dengan baik.
Dalam konteks melakukan redefinisi HAN dan SAN ini, penulis mencoba
mengembalikan kepada “pakem” atau buku-buku teks (textbook) tentang SAN dan HAN.
Pada wilayah Sistem Administrasi Negara, paling tidak ada 11 buku referensi yang dapat
dijadikan sandaran untuk memahami sistem administrasi negara, sebagai berikut:
14
Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook Ilmu
Administrasi Negara
No. Pengarang & Judul
Buku Intisari Materi SAN
1 George E. Berkley, The Craft of Pubic Administration, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc., 1975
• Sistem Politik Amerika: Fragmentasi, Legalisme, Anti-Governmentalism;
• Anatomi Organisasi: Pyramids, Line and Staff;
• Psikologi Organisasi: Motivasi, Patologi; • Personalia: Prosedur, Unionism;
• Kepemimpinan: Kualitas & Teknik, Pengelolaan Staf; • Komunikasi: Formal & Informal, Alat & Metode;
• Penganggaran;
• Sentralisasi;
• Tantangan Perubahan;
• Hukum Administrasi dan Pengawasan Administrasi; • Masa Depan Administrasi.
2 William L. Morrow, Public Administration: Politics, Policy, and the Political System, 2nd Edition, New York: Random House, 1975
• Birokrasi Publik;
• Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Substantif;
• Teori Dasar Administrasi Publik: Max Weber, Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gulick, Teori Human Relations, Tradisi Sosial Politik;
• Public Policy: Group Model, Elite Model, Incremental Model, System Model;
• Organisasi: Lini dan Staf, Independent & Special Agency, Duplikasi Yurisdiksi & Misi, Reorganisasi;
• Perilaku Administrasi: Eksekutif dan Legislatif;
• Pelayanan Publik: Sistem Kepartaian, Karir vs Politis; Profesonalisme dan Sistem Merit, Reforming the Reform;
• Partisipasi Masyarakat;
• Penganggaran;
• Issu Kontemporer: Bahasa Perencanaan dan Pluralisme, Policy Leadership, Policy Reform.
3 Howard E. McCurdy, Public Administration: A Synthesis, Cummings Publishing Co., 1977
• Organisasi: Hirarki dan Otoritas, Spesialisasi, Prinsip Staf, Penganggaran dan Personalia, Management by Objectives;
• Perilaku Manusia dalam Organisasi: Komunikasi, Partisipasi, Pembuatan Keputusan, Konflik dan Kekuasaan, Kepemimpinan Institusional;
• Birokrasi: Sisi Informal, Patologi Birokrasi, Biaya Birokrasi;
• Politik Administrasi: Pluralisme, Pemerintah Daerah, Pengawasan Legislatif, Profesionalisme Pelayanan, Federalisme, Kepegawaian, Partisipasi Masyarakat;
• Analisis Kebijakan: Planning-Programming-Budgeting, Cost-Benefit Analysis, Teori Public Choice, Riset dan Evaluasi Program, Incrementalists’ Disclaimer;
15
• Kekuasaan Eksekutif; • Ilmu Manajemen: Cybernetic, Operation Research,
Mathematics, Simulation, Network Analysis;
• Pengembangan Organisasi (OD);
• Perbandingan Administrasi Publik: Masyarakat Prismatik, Ekologi Administrasi;
• Masa Depan: Regulated State, Postbureaucratic Forms of Organization, New Public Administration, Administrative Contingencies Model, Identity Crisis.
4 James W. Fesler, Public Administration: Theory and Practice, Prentice Hall, 1980
• The nature and study of Public Administration;
• Teori Organisasi: Pendekatan Struktural terhadap Organisasi Besar, Teori System, Tantangan Kelompok Pluralis dan Humanis;
• Organisasi Dalam Praktek: Anatomi Cabang Eksekutif, Reorganisasi, Masalah-Masalah Organisasi;
• Sistem Kepegawaian: Pegawai Pemerintah, Klasifikasi Jabatan, Staffing, Hak dan Kewajiban Pegawai;
• Jabatan Tingkat Tinggi: Elite, Jabatan Politis, Jabatan Eksekutif Senior;
• Pengambilan Keputusan Bidang Anggaran; • Model Pengambilan Keputusan: Rational, Case-to-
Case, Incremental, Participative;
• Implementasi: Sukses dan Gagal, Publik dan Privat;
• Pengawasan: Kongres, Peradilan.
5 Richard J. Stillman, Public Administration: Concepts and Cases, Houghton Mifflin, 1980
• Lingkungan Administrasi Publik: Konsep Birokrasi; Konsep Ekologi; Konsep Kekuasaan Administratif; Konsep Federalisme; Konsep Informal Gorup; Konsep Professional State;
• Fungsi Jamak Administrasi Publik: Pengambilan Keputusan (Konsep Public Choice); Komunikasi (Konsep Information Networks); Pengelolaan Pelayanan (Konsep Management by Objectives); Kepemimpinan Personalia; Perubahan Orga-nisasi Pemerintah (Teori Trade Offs dalam Reorganisasi); Penganggaran (Konsep Budgeting as Political Compromise and Strategy); Perencanaan Program (Konsep Policy Analysis);
• Hubungan Legislatif-Eksekutif (Konsep Details of Adminis-tration); Hubungan Atasan/Majikan-Bawahan/Pekerja (Konsep Economy of Incentives); Etika dan Pelayanan (Konsep Moral Ambiguities of Public Choice).
6 Stuart MacRae and Douglas Pitt, Public Administration: An Introduction, Massachusetts: Pitman Publishing Inc., 1982
• The Nature of Public Administration: Organisasi, Administrasi, Publik vs Privat;
• Lingkungan Sektor Publik: Kekuasaan, Kewenangan, Legitimasi;
• Setting Institusi: Pemerintah Pusat, Kabinet, Parlemen, Peradilan, Tirani Birokrasi, Kelompok Kepentingan, Akuntabilitas, Efisiensi, Responsivitas, Keterbukaan;
16
• Struktur Organisasi: Pusat dan Daerah, Birokrasi Lokal;
• Pembiayaan Sektor Publik; • Alokasi Sumberdaya;
• Lembaga Independen dan Agen Voluntir; • Keberlanjutan dan Perubahan (Continuity & Change).
7 Rayburn Barton and William L. Chappell Jr., Public Administration: The Work of Government, Scott Foresman and Co. 1985
• Lingkungan Administrasi Publik: Eksternal & Politik;
• Lembaga Publik: Tipe dan Struktur, Pusat dan Daerah; • Pembuatan Kebijakan;
• Administrasi Personalis;
• Penganggaran dan Administrasi Keuangan;
• Tanggungjawab Administrasi;
• Hubungan Antar Pemerintahan; • Studi Lembaga Publik: Teori Organisasi; Komunikasi,
Pengambilan Keputusan, Kepemimpinan.
8 Jong S. Jun, Public Administration: Design and Problem Solving, Macmillan Publishing Co., 1986
• Konteks Administrasi Publik: Masyarakat, Administrasi Demokratis, Bilai Publik vs Privat;
• Latar Belakang Administrasi Publik: Intervensi Pemerintah, Netralitas, Efisiensi, Sentralisasi vs Desentralisasi, Perbandingan Administrasi;
• Paradigma, Teori dan Pendekatan; • Administrasi Publik Sebagai Desain Sosial;
• Proses Pemecahan Masalah Publik;
• Birokrasi Publik: Konsep, Keterbatasan, Klientilisme;
• Dialektika Pemahaman Administrasi: Metode dan Bahasa, Dialog dan Pembelajaran Sosial, Action Research;
• Politik dan Kebijakan Publik;
• Tanggungjawab Administrasi: Kepentingan Publik, Dimensi Etika, Redesign Organisasi, Masa Depan Administrasi Publik (Transformasi).
9 Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, terjemahan Indonesia oleh Luciana D. Pontoh, Rajawali Press, 1988
• Paradigma Administrasi Negara: Birokrasi, Demokrasi, dan Legitimasi; Perkembangan 5 Paradigma Administrasi;
• Organisasi Negara: Teori & Konsep Organisasi; Model Manusia Administratif; Etika Birokrasi;
• Tennik-Teknik Administrasi Negara: Pendekatan Sistem; Evaluasi Program & Anggaran; Administrasi Kepegawaian;
• Urusan Masyarakat.
10 H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1997
• Administrasi Publik dan Givernance: Menemukan “Publik” dalam Administrasi Publik, Konteks Politik;
• Issu Keadilan: Diskresi Administrasi, Konsep Intergenerational Administrasi Publik;
• Etika, Kewarganegaraan, dan Kemurahhatian dalam Administrasi Publik.
17
E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2
Maksud dari penulisan KTP-2 ini adalah sebagai pemenuhan persyaratan
kelulusan dalam program Diklatpim I Angkatan XXV. Adapun tujuan-tujuan ideal yang lebih
spesifik dan ingin digapai dari karya tulis ini antara lain adalah:
1. Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum
dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian
dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning),
sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-
langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini;
2. Jika gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan tadi
dapat dihasilkan dengan baik, maka diyakini akan memberi kontribusi bagi penguatan
peran LAN pada umumnya dan Deputi III pada khususnya dalam peningkatan kualitas
peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.
F. Metode dan Teknik Analisis
Karya Tulis ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini
bertujuan untuk mengangkat fakta, situasi, peristiwa, dan fenomena, kemudian menyajikan
dan menganalisis apa adanya. Dalam penelitian ini, kedudukan penulis selaku peneliti
adalah instrumen utama sejak pengumpulan data hingga analisis, interpretasi, dan
penyimpulan.
Untuk membantu analisis dan interpretasi data hingga penyimpulan tersebut,
penulis akan menggunakan tools yakni SSM (soft system methodology) serta scenario
planning. Alasan yang mendasari pemilihan tools ini selain untuk menerapkan materi
pembelajaran yang diberikan dalam Diklatpim I, juga pertimbangan kecocokan tools
tersebut untuk mengurai dan menjelaskan masalah yang diangkat dalam karya tulis ini.
Khusus mengenai SSM, menurut Peter Checkland (Systems Thinking, Systems
Practice, John Wiley & Sons, 1999 pp. A15), ada empat tahapan utama dari SSM, yakni:
1. Finding out about a problem situation, including culturally/politically; 2. Formulating some relevant purposeful activity models; 3. Debating the situation, using the models, seeking from the debate both:
a. Changes which would improve the situation and are regarded as both desirable and (culturally) feasible, and
18
b. The accommodations between conflicting interests which will enable action-to-improve to be taken;
4. Taking action in the situation to bring about improvement.
Sementara menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 63-65), siklus baku dalam proses
SSM terdiri dari 7 (tujuh) tahap kegiatan yang dikelompokkan kedalam 2 (dua) ranah, yaitu
ranah dunia nyata, dan ranah berpikir serba sistem tentang dunia nyata. Dengan demikian,
secara singkat dapat dikemukakan tentang tahapan dari masing-masing tools (SSM dan
Scenario Planning), sebagai berikut.
Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning
SSM Scenario Planning
1. Problem situation considered problematic;
2. Problem situation expressed; 3. Root definition of relevan purposeful
activity systems; 4. Conceptual models of the systems
(holon) named in the root definition; 5. Comparision of models and real world; 6. Change: systematically desirable,
culturally feasible; 7. Action to improve the situation.
1. Menetapkan focal concern (FC); 2. Mengindentifikasi driving forces
(DF); 3. Menganalisis hubungan antar-DF
di satu pihak, dan antara DF’s dan FC;
4. Memilih DF yang paling berpengaruh.
5. Menyusun matriks skenario; 6. Menentukan ciri kunci tiap
skenario; 7. Menyusun narasi skenario.
G. Sistematika Penulisan
KTP-2 ini disusun menjadi 5 (lima) Bab, dengan perincian sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisi paparan tentang latar belakang historis dan mandat yang diberikan
oleh para pimpinan negara pada saat pendirian LAN pada tahun 1957, sampai
dengan perkembangan tugas dan kondisi umum organisasi hingga saat ini. Selain
itu, Bab ini mencoba memotret kinerja kebijakan di Indonesia untuk memberi
gambaran yang lebih komprehensif mengenai berbagai persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam mewujudkan sistem peraturan perundang-undangan
yang berkualitas. Selanjutnya, Bab ini juga memberikan sedikit teori tentang
Symbolic Policy vs. Evidence-based Policy serta hubungan dan karakteristik
Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara. Akhirnya, Bab ini
19
menyajikan tentang maksud dan tujuan penulisan, metode dan teknik analisis
yang digunakan, serta sistematika penulisan KTP-2.
Bab 2 Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM
Bab ini juga memberi deskripsi tentang permasaahan atau situation considered
problematic terkait pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, serta dampak yang
mungkin muncul jika situasi tadi tidak segera diatasi. Dari deskripsi ini selanjutnya
akan diterapkan metode soft system methodology dengan membuat rich picture
sebagai sebuah model untuk memahami keterkaitan antar situasi, disusul dengan
penetapan root definition, analisis CATWOE, serta pengembangan conceptual
model yang dibandingkan dengan kenyataan (real world). Terakhir akan
ditetapkan bentuk perubahan yang ingin dilakukan (desired changes) serta
langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki situasi problematik yang
dihadapi (action for improvement).
Bab 3 Penggambaran Masa Depan Peraturan/Kebijakan Dengan Scenario Planning
Bab ini akan melanjutkan analisis pada bab sebelumnya dengan mengaplikasikan
teknis scenario planning. Dimulai dengan menetapkan focal concern, kemudian
mengidentifikasi driving forces dan mencari keterkaitan antar driving force serta
antara driving force dengan focal concern. Dari sini akan dihasilkan matriks
skenario yang berisi tentang 4 (empat) gambaran situasi yang mungkin terjadi
pada masa depan beserta ciri-ciri skenarionya. Selanjutnya, dari cirri-ciri skenario
akan dikembangkan dengan metafora kebijakan dan narasi dari masing-masing
skenario hingga pemilihan skenario terpilih yang akan dijadikan sebagai kebijakan
yang direkomendasikan.
Bab 4 Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya
Bab ini berisi analisis lebih lanjut dari bab sebelumnya dengan mengaplikasikan
perencanaan stratejik sehingga ditemukan program yang dibutuhkan untuk
mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
Bab 5 Penutup
Bab ini berisi tentang simpulan dan catatan penutup.
20
BAB II
PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH MENGGUNAKAN SSM
A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan Fungsi Instansi
Indonesia dapat dikatakan sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Dalam
negara kesejahteraan ini, tugas utama pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan atau derajat hidupnya.
Tugas inilah yang diaktualisasikan dalam wujud fungsi pengaturan (regulatory functions).
Oleh karenanya, setiap kebijakan haruslah bermuara pada semakin membaiknya kondisi
kehidupan masyarakat pada berbagai dimensinya. Jika pelayanan tidak membaik dan
kesejahteraan juga tidak meningkat, dapat dikatakan ada kesalahan pada kebijakan
tersebut. Itulah sebabnya, kualitas kebijakan sangat menentukan kualitas pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam khazanah ilmu hukum dikenal adagium yang
berbunyi salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum
yang tertinggi).
Sayangnya, hingga saat ini kualitas kebijakan publik diindikasikan masih belum
optimal, yang antara lain diindikasikan dari beberapa hal sebagai berikut:
a. Kinerja (output dan outcomes) pembangunan makro yang masih tertinggal
dibanding negara tetangga, terlebih negara maju, yang dapat dilihat dari indikator
dibawah ini:
� Skor efektivitas (government effectiveness) Indonesia sebesar -0,43 pada tahun
2004 dan meningkat menjadi -0,29 pada tahun 2008. Perkembangan skor ini
memperlihatkan adanya kemajuan kapasitas birokrasi pemerintah meskipun belum
signifikan dan masih kalah jauh dibanding negara lain, termasuk negara-negara di
Asia Tenggara (Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance
Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008).
� Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia sebesar
0.734 pada tahun 2009, dan berada pada peringkat ke 111 dari 182 negara, atau
berada dalam kategori menengah seperti tahun sebelumnya (UNDP, Mengatasi
Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan, 2009).
� Peringkat doing business Indonesia cenderung membaik namun jika dibandingkan
dengan negara-negara tetangga, masih tertinggal cukup jauh. Jumlah hari yang
21
dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan waktu 5 (lima) kali lebih
lama dibanding dengan Malaysia. Pada tahun 2010 Indonesia berada di peringkat ke
122 dari 183 negara, membaik dari peringkat 129 di tahun sebelumnya (International
Finance Corporation, Bank Dunia, 2009).
b. Banyaknya kebijakan yang cenderung bermasalah, yang diindikasikan oleh data
dibawah ini:
� Banyaknya Perda dibatalkan (periode 2001-2008 sebanyak 1.121 Raperda
dievaluasi, 67% di antaranya dibatalkan);
� UUD 1945 banyak diterjemahkan secara keliru oleh Undang-Undang, yang
dibuktikan dengan banyaknya UU yang diuji materiil oleh MK, dan dikabulkan
Mahkamah Konstitusi. Pada periode 2003-2010, misalnya terdapat 325 gugatan,
dan 92 diantaranya dikabulkan;
� Banyaknya sengketa Tata Usaha Negara, dimana pada periode 2004-2009 terdapat
1857 kasus yang diputuskan Mahkamah Agung.
c. Selain kedua problematika diatas, ada juga problem kebijakan yang marak dalam sistem
administrasi negara di Indonesia, misalnya berkenaan dengan hubungan kewenangan
badan pemerintah yang tidak jelas dan membuka peluang terjadinya tumpang tindih
antar instansi, atau saling menghambat. Sebagai contoh, Kementerian PDT yang
mengkoordinasikan berbagai K/L dalam membangun daerah tertinggal, namun K/L yang
lain memiliki program, indikator, dan target tersendiri. Contoh lain, Pemprov Kaltim
sudah 10 tahun lebih tidak memiliki RTRW karena belum disetujui oleh Kementerian
Kehutanan. Kasus Kementerian PDT ini juga dialami oleh kementerian lain seperti
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial,
dan sebagainya. Demikian pula, kasus buruknya sinergi dan koordinasi seperti dialami
Pemprov Kaltim juga dihadapi provinsi lain dalam kasus yang sama maupun yang
berbeda. Hubungan kewenangan yang tidak jelas ini secara tersirat menggambarkan
adanya egoisme sektoral yang jelas-jelas menyulitkan upaya melakukan harmonisasi
kebijakan antar lembaga.
Rendahnya kualitas kebijakan publik dan kondisi carut-marut sistem kebijakan
diatas terjadi karena adanya indikasi pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan,
yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji
efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas
keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, para policy makers kurang mentradisikan atau
22
kurang menghargai policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making.
Dengan kata lain, para pengambil keputusan dan perumus kebijakan di Republik ini sangat
kurang memiliki budaya akademik dalam siklus kebijakan yang menjadi ruang lingkup
tugasnya.
Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation
failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak
berimbang. Situasi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan symbolic policy (de
Vries, 2010). Serupa dengan kondisi seperti ini, Riant Nugroho (Public Policy, Elex Media
Komputindo, 2012) memperkenalkan istilah Involusi Kebijakan, yakni suatu kebijakan yang
baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini
terjadi karena politisi atau birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra
tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik.
Disamping itu, faktor yang turut mempengaruhi kualitas kebijakan adalah
rendahnya kapasitas legislasi pada tingkat Pusat dan Daerah (Mahfud MD., Refleksi Kinerja
Mahkamah Konstitusi, 29-12-2009). Situasi ini lebih diperparah dengan fakta merebaknya
epentingan politik dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor, dan
lain-lain) di lingkaran perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis. Kasus
hilanya pasal-pasal atau ayat-ayat dalam sebuah Rancangan Undang-Undang, atau justru
munculnya pasal atau ayat tambahan yang tidak pernah dibahas sebeumnya dalam sidang
resmi, menunjukkan adanya “kudeta redaksional” dan “penyelundupan norma hukum” yang
dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.3
Dari sisi masyarakat sebagai pihak yang terkena langsung dampak dari sebuah
kebijakan, rendahnya kualitas sebuah peraturan perundang-undangan juga sebagai
konsekuensi dari rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat dalam
pembahasan hingga implementasi sebuah kebijakan. Selama ini, partisipasi masih bisa
3 Fenomena kudeta redaksional misalnya terjadi pada Bagian ke-17 Pengamanan Zat Adiktif, Pasal 113 RUU Kesehatan. Ketika ditetapkan paripurna DPR, ada tiga ayat dalam Pasal 113 tersebut. Namun, ketika ditandatangani Presiden dan disahkan sebagai lembaran negara, pasal tersebut hanya terdiri dari dua ayat. Sedangkan fenomena penyelundupan norma hukum, misalnya terjadi pada kasus RUU KUHAP, khususnya bagian yang mengatur tentang kewenangan penyadapan oleh KPK. Pada Pasal 84 RUU KUHAP dinyatakan bahwa penyadapan bisa dilakukan dalam keadaan mendesak tanpa izin hakim. Namun, kemudian, katup tersebut dibatasi lagi dengan memunculkan frase tambahan dalam Pasal 84, yang menyatakan bahwa penyadapan harus dilaporkan paling lambat dua hari sejak penyadapan dilakukan.pasal 83-84 ini berpotensi bertentangan dengan substansi Pasal 12 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga ini berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.Tentang kedua fenomena ini, baca: Saldi Isra, Penyelundupan Norma Hukum (Kompas, 1-4-2013);
23
dikatakan semu dan nominal belaka karena masih adanya fenomena pengabaian terhadap
aspirasi masyarakat (benign neglect). Padahal, pembentukan sebuah peraturan perundang-
undangan secara normative harus melibatkan partisipasi masyarakat. Ketentuan seperti ini
antara lain diatur pada pasal 53 UU 10/2004 Pembentukan Peraturan perundang-
Undangan, dan Psl 139 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan
bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, baik dalam
tahap penyiapan maupun pembahasan Rancangan UU dan Rancangan Perda”.
Mencermati berbagai hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya sebuah
perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan di masa mendatang.
Adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian (research-based policy), atau
kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based
policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan
hanya layak diimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian
yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat
dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata
lain, kedua hal ini diharapkan dapat menghindari merebaknya symbolic policy.
Atas dasar kondisi tersebut, kajian/penelitian di lingkungan LAN diarahkan pada
kajian kebijakan (policy research), yakni suatu proses yang dilakukan secara teratur dan
sistematis, berdasarkan pengetahuan, metode ataupun teknik tertentu yang menghasilkan
dokumen berupa saran kebijakan (policy recommendation), agenda kebijakan (policy action
plan), atau naskah kebijakan (policy draft), sebagai pertimbangan pengambil kebijakan
dalam merumuskan dan/atau menyempurnakan kebijakan yang telah ada. Dengan kata
lain, kegiatan kajian/penelitian di lingkungan LAN diharapkan mampu menciptakan link yang
kuat antara kebijakan publik dengan riset (research-based / analysis-based policy).
Dalam konstelasi sistem kebijakan seperti dipaparkan diatas, maka paling tidak
ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian serius oleh LAN, yakni: 1) pembenahan
manajemen kajian kebijakan; 2) peningkatan peran LAN sebagai policy think tank; dan 3)
jaminan tercapainya link and match antara kajian dengan kebijakan. Jika ketiga hal ini dapat
dilakukan, maka secara logis akan dapat diwujudkan 2 (dua) sasaran penting, yakni: 1)
kinerja kajian kebijakan yang makin baik dan unggul; serta 2) kualitas kebijakan publik di
Indonesia yang semakin handal. Dua sasaran ini, jika tercapai, akan memberi kontribusi
besar terhadap perbaikan sistem penyelenggaraan negara dalam arti luas.
24
Secara skematis, kerangka berpikir pembenahan kajian kebijakan LAN dalam
rangka membangun sistem penyelenggaraan negara yang lebih baik melalui perumusan
kebijakan yang berkualitas, dapat diilustrasikan pada model sebagai berikut:
Sumber: konstruksi penulis.
Gambar 2.1.
Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun Penyelenggaraan
Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-Outcome)
B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan
Sebagai institusi pemikir (think tank), LAN jelas merasa berkepentingan untuk turut
mengurai permasalahan diatas. Selain untuk membuktikan kontribusi secara institusional,
lebih penting lagi adalah untuk turut mengawal dan mempercepat pencapaian cita-cita
Konstitusi. Sebab, apabila situasi problematik diatas tidak segera diatasi, akan
menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan luas, antara lain:
• Kegagalan pencapaian tugas negara mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
dimandatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan sosial, ekonomi, politik,
maupun fisik, akan terancam mengalami kemandegan. Jika pembangunan pada
berbagai bidang ini terhambat, maka kesinambungan pemerintahan juga dapat
terancam. Kemungkinan kegagalan seperti ini bisa terjadi mengingat peraturan
perundang-undangan dan kebijakan publik merupakan instrumen negara kesejahteraan
(welfare state) untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya.
25
• Benturan antar peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik akan dapat
memacu konflik kewenangan antar lembaga, bahkan konflik sosial.
• Berbagai situasi problematik diatas juga akan menyebabkan hubungan antar lembaga
yang kurang harmonis dan menjadikan kurang fokus dalam pelaksanaan tugas
pokoknya.
Dampak ini sendiri bisa berkembang laksana bola salju (snowball effect) yang
merambah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara bagi LAN,
kegagalan kebijakan dan kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya akan
berkorelasi terhadap penurunan kredibilitas institusi serta penurunan ekspektasi dan
kepercayaan stakeholder, yang pada gilirannya akan menyebabkan kemanfaatan lembaga
dipertanyakan.
Oleh karena itu, LAN secara umum maupun Deputi III perlu melakukan introspeksi
dan evaluasi diri guna memetakan kembali problema yang dihadapi, potensi yang dimiliki,
tantangan dan peluang yang berkembang, serta peran-peran baru yang perlu dimainkan.
Dalam kaitan penulisan KTP-2 ini, maka peran LAN (cq. Deputi III) yang diharapkan adalah
melakukan pengkajian issu-issu aktual terkait situasi problematik tentang sistem dan hukum
administrasi negara, serta menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk mencegah
berulangnya situasi problematik dan dampak-dampaknya, sebagaimana dipaparkan diatas.
Secara ringkas, berbagai situasi problematik dan dampak yang mungkin timbul
apabila tidak segera dipikirkan solusi terbaiknya, dapat disederhanakan seperti pada Tabel
2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic)
1. Masih tingginya kadar involusi kebijakan, yakni suatu kebijakan yang baik secara
proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. 2. Kapasitas legislasi di pusat dan daerah yang rendah. 3. Kepentingan politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha,
lembaga donor). 4. Tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar
lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih. 5. Koordinasi antar lembaga yang lambat dan tidak efektif. 6. Harmonisasi peraturan yang sulit dilakukan karena adanya egoisme sektoral. 7. Keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan yang belum optimal. 8. Orientasi policy maker dalam perumusan kebijakan yang keliru dan seringkali lebih di-
drive oleh motif politik daripada pertimbangan teknokratik. 9. Pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru, dengan melihat kinerja kebijakan
sebagai kuantitas pembuatan peraturan perundang-undangan, bukan pada kemanfaatan bagi publik.
26
10. Budaya akademik dalam siklus kebijakan/pengambilan keputusan yang sangat lemah. 11. Dukungan dari kajian kebijakan yang belum optimal karena manajemen kelitbangan
yang juga terbatas. 12. Link and Match antara kajian dengan kebijakan yang belum terbangun sinergis. 13. Peran lembaga think tank yang masih harus terus ditingkatkan. 14. Rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat terhadap sebuah rancangan
peraturan perundang-undangan.
C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas Peraturan dan
Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN
Diantara ke-14 situasi problematik diatas, beberapa diantaranya memiliki saling
keterkaitan yang cukup kuat, sehingga dapat dilakukan penggabungan situasi problematik
berdasarkan kemiripan dan kedekatannya. Dalam hal ini, dapat diidentifikasikan 5 (lima)
klasifikasi situasi problematik sebagai berikut:
1. Faktor Institusional, berkaitan dengan kapasitas legislasi yang rendah; kepentingan
politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor);
serta tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar
lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih.
2. Faktor Networking, yakni situasi problematik yang berkenaan dengan koordinasi antar
lembaga lambat dan tidak efektif; harmonisasi peraturan sulit dilakukan; serta
keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan belum optimal.
3. Faktor Mindset, berhubungan dengan orientasi policy maker dalam perumusan
kebijakan yang keliru; serta pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru.
4. Faktor Litbang/Kajian Kebijakan (Policy Research), yakni menyangkut budaya akademik
dalam siklus kebijakan sangat lemah; dukungan dari kajian kebijakan belum optimal
karena manajemen kajian lemah; link & match antara kajian dengan kebijakan belum
terbangun sinergis; serta peran lembaga think tank masih terbatas.
5. Faktor Partisipasi, yakni rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat
terhadap sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.
Kelima kelompok inilah yang selanjutnya akan dituangkan ke dalam rich picture,
atau sering disebut sebagai problem situation expressed.4 Dalam analisis SSM, rich picture
4 Menurut Sudarsono Hardjosukarto (Soft System Methodology: Metode Serba Sistem Lunak, UI Press,
Jakarta: 2012, hal. 70), rich picture adalah alat yang lazim digunakan dalam SSM untuk pengungkapan (expressed) situasi dunia nyata yang dianggap problematik. Dengan mengutip Checkland (1999),
27
adalah langkah untuk memilah, mengelompokkan, dan menyederhanakan masalah yang
dikemukakan oleh para pemangku kepentingan tanpa menghilangkan inti dari
permasalahan tersebut. Adapun rich picture dari kompleksitas issu yang diangkat pada
KTP-2 ini dapat dimodelkan sebagaimana Gambar 2.2. dibawah ini.
Gambar 2.2.
Rich Picture
D. Root Definition dan CATWOE Analysis
Dalam konstelasi permasalahan yang digambarkan diatas, LAN (cq. Deputi III)
memiliki posisi dan peran strategis pada cluster ke-3, yakni Faktor Litbang/Kajian Kebijakan
(Policy Research). Dalam hal ini, LAN merupakan lembaga think tank yang harus memiliki
budaya akademik unggul, yang didukung dengan manajemen kajian yang efektif, serta
mampu mengkaitkan hasil kajian dengan perumusan kebijakan. Untuk itu, peran LAN
Sudarsono menjelaskan bahwa informasi yang dikumpulkan dalam rangka pembuatan dan penyajian rich picture meliputi struktur (structure), proses (process), hubungan antara struktur dengan proses tersebut, serta pokok perhatian (concerns).
28
(Deputi III) harus terus diperkuat dalam menjalankan fungsi kajian kebijakan dan hukum
administrasi negara agar mampu berkontribusi dalam upaya mewujudkan profil peraturan
perundang-undangan dan kebijakan nasional yang berkualitas.
Atas dasar hal ini, selanjutnya dilakukan analisis CATWOE sebagai upaya
memformulasi root definition sebagai berikut:5
Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition
Elemen CATWOE Deskripsi Aplikasi Untuk Analisis KTP-2
C (Costumer) Siapa yang dirugikan atau diuntungkan dengan adanya transformasi dari situasi problematik saat ini ke situasi yang diharapkan.
Masyarakat pengguna jasa layanan pemerintah.
A (Actor) Siapa yang bertanggungjawab untuk melakukan transformasi?
LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif (DPR, DPRD), Unsur Eksekutif (Presiden beserta Kementerian/Lembaga), Unsur Yudikatif (MA, MK).
T (Transformation) Apa input dan output dari transformasi tersebut?
Penguatan peran LAN (cq. Deputi III) untuk melaksanakan dan mempertajam Kajian Hukum Administrasi Negara
W (Weltanschauung,
World view)
Apa yang membuat transformasi bermakna secara kontekstual?
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara diyakini dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara
O (Owner) Siapa yang dapat menghentikan proses transformasi tersebut?
LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif (DPR, DPRD), Unsur Eksekutif (Presiden beserta Kementerian/Lembaga), Unsur Yudikatif (MA, MK).
E (Environmental Constraint)
Elemen diluar sistem mana yang baku (taken as given)
Suksesi Kepemimpinan Nasional 2014, Birokrasi Kelas Dunia 2025.
5 Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 89-91), root definition adalah deskripsi terstruktur dari sebuah sistem aktivitas manusia yang relevan dengan situasi problematis yang menjadi perhatian di dalam penelitian SSM yang berbasis tindakan, yang didalamnya tergambar proses (apa, mengapa, dan bagaimana) transformasi dalam organisasi. Root definition merupakan sebuah pernyataan yang jelas tentang aktivitas yang terjadi atau mungkin terjadi di dalam organisasi yang tengah diteliti.
29
Dari analisis CATWOE diatas dapat dirumuskan root definition sebagai berikut:
“Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara (P) Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang
Administrasi Negara (R)”
Analisis CATWOE sendiri juga merupakan alat uji atau alat bantu untuk mengingat
(mnemotic) apakah root definition yang disusun benar-benar dapat digunakan sebagai
dasar pembuatan model konseptual (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 96-97).
E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real World)
Setelah dirumuskan root definition, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan
model konseptual (conceptual mdoel). Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 103-104),
pembuatan model konseptual didasarkan pada root definition yang telah dipilih dan diberi
nama pada tahap sebelumnya. Posisi root definition berkenaan dengan what system is,
sedangkan model konseptual berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem
tersebut supaya menjadi seperti apa yang dinyatakan dalam root definition.
Model konseptual yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia
nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas
manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah
model yang relevan dengan situasi problematis Sudarsono Hardjosukarto (2012: 109).
Adapun konseptual model yang penulis kembangkan dari situasi problematis yang diangkat
pada KTP-2 ini adalah sebagai berikut.
30
Gambar 2.3.
Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan
Kebijakan Nasional Bidang Administrasi Negara
Selanjutnya dari model konseptual diatas dilakukan pembandingan antara situasi
dunia nyata dengan model konseptual. Tahap ini tidak dimaksudkan untuk menilai
kekurangan situasi problematis dunia nyata dibandingkan dengan model konseptual yang
”sempurna”. Pembandingan ini dapat dilakukan dengan diskusi informal, diskusi formal,
penulisan skenario, atau pemodelan dunia nyata (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 110-
112).
Adapun perbandingan model konseptual dengan dunia nyata dalam KTP-2 ini
dapat dielaborasi sebagaimana pada Tabel 2.3. dibawah ini.
31
Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World)
AKTIVITAS DALAM MODEL DUNIA NYATA / REAL WORLD
Melakukan pemetaan masalah rendahnya kualitas perundang-undangan secara kausalistik.
Belum ada pemetaan yang terintegrasi antar lembaga; setiap instansi memiliki peta masalah, rencana pengambangan, dan program yang terpisah satu dengan yang lain.
Menentukan prioritas pemecahan masalah.
Belum ada sistem prioritas nasional kajian kebijakan dan HAN. Selama ini banyak dokumen yang bisa ditafsirkan sebagai prioritas nasional, seperti Program Legislasi Nasional, atau RPJM Nasional.
Membangun sinergi, koordinasi, dan kemitraan dengan instansi terkait.
Masih kuatnya egosime sektoral dalam perumusan kebijakan serta tidak ada forum komunikasi kebijakan antar instansi pemerintah.
Merumuskan common platform peningkatan peraturan per-UU-an nasional.
Tidak ada dokumen besar (grand design, roadmap, atau blueprint) tentang pembangunan sistem kebijakan nasional. UU No. 12/2011lebih mengatur dari dimensi normative namun kurang memberi guidance tentang strategi dan program untuk mewujudkan kebijakan nasional yang berkualitas.
Menumbuhkan budaya akademik dalam proses perumusan kebijakan nasional.
Pendekatan politis lebih mendominasi pendekatan teknokratis dan akademis.
Merumuskan pedoman pelibatan masyarakat untuk menjamin kebijakan yang inklusif.
Masyarakat belum terlibat aktif dalam siklus penyusunan kebijakan. Selain belum ada peraturan yang “memaksa” masyarakat untuk berpartisipasi, juga ada indikasi kurangnya antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam perancangan hingga pelaksanaan kebijakan.peraturan.
Menyusun agenda kajian kebijakan berbasis kebutuhan dan evidence.
Agenda kebijakan baru sebatas disusun untuk kebutuhan individual lembaga tertentu, belum ada policy dialogue yang mempertemukan dan mengintegrasikan agenda lintas lembaga.
Membenahi manajemen kajian untuk meningkatkan peran lembaga.
Kajian kebijakan dan HAN masih menghadapi banyak kendala dilihat dari aspek SDM peneliti, anggaran yang tersedia, mekanisme perencanaan, dan sebagainya.
32
Melakukan kajian untuk menghasilkan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan.
Hasil kajian dan rekomendasi kebijakan sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan karena hasil kajian dan rekomendasi tersebut relatif kurang berkualitas.
Menjamin adanya link and match hasil kajian dengan peraturan per-UU-an dan kebijakan.
Kajian dan kebijakan seolah terpisah oleh ruang dan jarak yang sangat jauh. Selama ini belum ada “jembatan” yang menghubungkan dan mendekatkan keduanya.
Meningkatkan kualitas peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.
Kualitas peraturan perundang-undangan di berbagai level masih relatif rendah, sehingga kurang mampu mencapai tujuan pembentukannya.
F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes)
Dari rangkaian langkah yang telah dilalui semenjak mengidentifikasikan situasi
problematik, mengekspresikan situasi problematik dalam bentuk rich picture, menemukan
root definition, merumuskan model konseptual, hingga membandingkan model konseptual
dengan dunia nyata, maka langkah selanjutnya atau langkah keenam adalah menetapkan
perubahan yang diinginkan dan layak diperjuangkan. Dalam hal ini, penulis memandang
ada 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level
messo, dan level makro, sebagai berikut:
Gambar 2.4.
Perubahan yang Diinginkan
33
Ketiga perubahan tersebut bersifat unique. Pada satu sisi, ketiganya membentuk
hubungan sekuensial, yang berarti bahwa perubahan pada level mikro akan menentukan
berhasil tidaknya perubahan pada level messo, dan perubahan pada level messo akan
menjadi syarat mutlak bagi berubahnya situasi pada level makro. Namun pada sisi lain,
ketiga level perubahan ini juga dapat atau harus dilakukan secara simultan dan tidak dapat
saling menunggu, sehingga kegiatan yang dilakukan pada rencana aksi berkontribusi
secara terpisah atau secara bersama-sama membentuk perubahan pada ketiga level
tersebut. Perubahan pada level makro dapat pula dikatakan sebagai sasaran utama yang
diinginkan sebagai sebuah weltanschauung yang hendak diwujudkan melalui transformasi
pada level mikro dan messo.
G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi)
Memperhatikan berbagai analisis pada tahapan sebelumnya, maka penulis
mengajukan beberapa kegiatan yang dipercaya dapat meningkatkan situasi problematik
yang dihadapi selama ini. Adapun rincian usulan kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel
yang dimodifikasi sebagai berikut:
Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-
Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara
No. Sasaran Utama
Sasaran Antara
Kegiatan
1 Meningkatnya kualitas peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.
Meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara
• Penyusunan Renstra Kedeputian 2013-2017;
• Penajaman arah kebijakan, strategi, dan program kajian HAN;
• Penyelenggaraan forum knowledge enrichment dan konwledge shared forum untuk mengasah kompetensi teknis peneliti;
• Penguatan kapasitas peneliti melalui pengiriman dalam diklat-diklat yang relevan.
2 Menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk
• Audiensi dengan lembaga terkait seperti MA, MK, Komisi DPR-RI yang membidangi hukum, Kementerian Kumham (cq. Ditjen Perundang-Undangan, dst);
• Penyusunan Policy Brief untuk issu-issu kebijakan kontemporer;
34
mewujudkan research-based policy
• Penyelenggaraan forum komunikasi kebijakan untuk menjembatani kajian hukum dan kebijakan dengan para policy makers.
35
BAB III
PENGGAMBARAN MASA DEPAN SISTEM PERATURAN/KEBIJAKAN MENGGUNAKAN
SCENARIO PLANNING
A. Penetapan Focal Concern (FC)
Analisis pada Bab II dengan menggunakan piranti soft system methodology pada
hakekatnya penulis maksudkan untuk menghasilkan pemecahan masalah serta
rekomendasi berupa aktivitas untuk memperbaiki situasi problematik yang dihadapi. Dengan
demikian, dilihat dari kerangka waktunya (time frame), Bab II lebih dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek dan segera.
Sedangkan pada Bab III ini, penulis akan menggunakan piranti scenario planning
yang penulis maksudkan untuk menghasilkan gambaran di masa depan terkait issu atau
substansi yang dianalisis, yakni tentang kualitas peraturan perundang-undangan dan
kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Dengan demikian, kerangka waktunya
menjangkau sekitar 10 tahun kedepan, tepatnya tahun 2025. Pemilihan tonggak waktu 2025
ini sendiri didasarkan pada pertimbangan karena tahun tersebut merupakan akhir periode
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17/2007) dan akhir
periode dari Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Peraturan Presiden No.
81/2010).
Berakhirnya secara bersamaan dua dokumen besar tersebut memberi gambaran
bahwa tahun 2025 semestinya menjadi tahun pencapaian prestasi pemerintahan yang
sangat signifikan bagi bangsa Indonesia. Maka, melalui piranti scenario planning ini, penulis
ingin memaparkan gambaran atau deskripsi (bukan preskripsi) tentang kualitas peraturan
perundang-undangan dan kebijakan nasional di Indonesia pada tahun 2025. Dengan
memiliki deskripsi tentang kemungkinan masa depan ini, maka kebijakan, program, atau
kegiatan yang dilakukan pada jangka pendek akan mempunyai benang merah dan
kesinambungan dengan sasaran atau harapan pada jangka menengah atau panjang.
Adapun untuk mengawali analisis skenario ini, dimulai dengan menetapkan focal
concern. Dalam konteks KPT-2 ini, penulis menetapkan Focal Concern yakni: “Masa
Depam Sistem Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang
Administrasi Negara Tahun 2025”.
36
B. Identifikasi Driving Forces (DF)
Driving Forces pada hakekatnya adalah variabel-variabel yang menentukan
keberhasilan pencapaian Focal Concern. Dalam hal ini, agar terjadi konsistensi dalam
analisis, maka penulis memanfaatkan hasil analisis pada Bab II khususnya mengenai
situation considered problematic dan rich picture, yang dikonversi menjadi variabel
pendorong atau Driving Forces.
Tabel 3.1. Driving Forces
No. Diving Forces
1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi
2 Tingkat Egoisme Sektoral
3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga
4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan
5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan
6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan
7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi
Peraturan/Kebijakan
11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan
(SDM, Anggaran)
C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF)
Terhadap Driving Forces yang telah ditentukan diatas, dilakukan analisis
hubungan atau keterkaitan antar Driving Forces secara non-linier, yakni dengan cara
berpikir serba sistem (systems thinking) menggunakan piranti CLD (causal loops diagram).
Metode ini merupakan pergeseran pola pikir linier ke pola pikir baru yang bersifat sistemik,
37
holistik, saling terkait (inter-connectedness), serta mengkombinasikan antara berpikir
analitikal dengan berpikir sintetikal. CLD sendiri merupakan cara yang tepat dan efektif
untuk menggambarkan secara ringkas pernyataan penyebab (causes) dan
mengidentifikasikan proses-proses balikan (Sumber: LAN, Modul Diklatpim II).
Adapun evaluasi dan penilaian driving forces dengan teknik non-linier dapat dilihat
sebagai berikut:
Gambar 3.1.
Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier
Dari analisis CLD diatas kemudian dihitung jumlah loops yang mencerminkan
variabel pengungkit sebagai berikut:
TingkatKemampuan/Kapasitas
Legislasi
Tingkat Egoisme
Sektoral
EfektivitasKoordinasi/Komunikasi
Kebijakan Antar Lembaga
Efektivitas Harmonisasidalam Perumusan
Peraturan/Kebijakan
KetepatanPersepsi/Orientasi terhadap
Peraturan/ Kebijakan
Kadar Budaya AkademikDalam Siklus Kebijakan/Pengambilan Keputusan
Tingkat Dukungan
Kajian/Litbang Kebijakan
Efektivitas Lembaga
Kajian/Litbang Kebijakan
Keluasan Networking &Kerjasama Antar LembagaKajian/Litbang Kebijakan
Efektivitas Partisipasi Masyarakatdalam Perumusan hingga
Implementasi Peraturan/Kebijakan
Ketersediaan dan TingkatDukungan Sumber DayaKajian/Litbang Kebijakan
S
S
S
S
S
S
S
S
SS
SS
S
S
S
SS
O
S
R1
B1
S
O
B2
S
SR2
S
S
R3
R5
S
R4
SS R7
S
S
O
O
R6
S
R8
S
S
O
B3
38
Tabel 3.2. Analisis Leverage
No Driving Forces Jumlah &
Panjang Loops Ranking
1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi 34/122 5
2 Tingkat Egoisme Sektoral 42/142 1
3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga
33/123 6
4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan
36/129 3
5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan
– 9
6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan
35/118 4
7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan 37/126 2
8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 4/6 7
9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
4/6 7
10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi Peraturan/ Kebijakan
1/1 8
11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan (SDM, Anggaran)
1/1 8
Dari analisis perbandingan tersebut dapat ditemukan 5 (lima) driving forces yang
paling berpengaruh, yakni: 1) Tingkat Egoisme Sektoral, 2) Tingkat Dukungan
Kajian/Litbang Kebijakan, 3) Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan
Peraturan/Kebijakan, 4) Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/Pengambilan
Keputusan, serta 5) Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi. Selanjutnya, dari kelima
driving forces tersebut diambil 2 (dua) urutan teratas (driving forces utama) yang diyakini
merupakan faktor pengungkit kunci (key leverage) dalam mewujudkan masa depan
peraturan perundang-undangan dan lebijakan nasional bidang administrasi negara yang
berkualitas.
Jika digambarkan uses tree-nya, kedua faktor pengungkit tersebut dapat dilihat
pada skema dibawah ini.
39
Leverage 1: Tingkat Egoisme Sektoral
Leverage 2: Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
D. Menyusun Matriks Skenario
Kedua leverage diatas selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai sumbu axis (X) dan
ordinat (Y) dalam penyusunan matriks skenario. Prioritas pertama atau leverage tertinggi
yakni “Tingkat Egoisme Sektoral” akan ditempatkan pada sumbu X, sedangkan variabel
“Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan” akan berada pada sumbu Y, dengan masing-
masing memiliki titik ekstrim negatif (kiri, bawah) dan titik ekstrim positif (kanan, atas).
Tingkat Egoisme Sektoral
Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan(Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga
(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)
(Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan
(Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)
Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)
Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
(Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan)
Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)
Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi
(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/KebijakanEfektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga
Tingkat Egoisme Sektoral
Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan(Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan
(Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)
Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan(Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi
(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
40
Gambar 3.2.
Matriks Skenario
E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub
Dari matriks skenario diatas terdapat 4 (empat) titik ekstrem yang terletak pada
ujung kanan dan ujung kiri untuk variabel tingkat egoisme sektoral, serta ujung atas dan
ujung bawah untuk variabel dukungan kajian/litbang kebijakan. Adapun ciri-ciri setiap kutub
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kutub Kanan (Nihil Egoisme Sektoral), ciri-cirinya adalah:
• Jumlah aturan tidak banyak, cukup yang memiliki keterkaitan antar instansi atau
yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat;
• Perumusan kebijakan selalu dilakukan dalam sebuah forum kebijakan secara
inklusif;
• Dalam pembahasan rancangan peraturan, setiap instansi atau tokoh individual lebih
mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pribadi atau
golongan;
• Produk hukum atau regulasi yang dihasilkan cenderung tidak ada penolakan atau
perlawanan dari stakeholders yang terkena regulasi tersebut.
41
2. Kutub Kiri (Egoisme Sektoral Sangat Kuat), ciri-cirinya adalah:
• Banyak instansi berlomba menghasilkan produk hukum di berbagai level;
• Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dilakukan komunikasi kebijakan dengan
berbagai stakeholders sejak awal perumusannya;
• Kepentingan rakyat banyak cenderung diabaikan, dan agenda kebijakan banyak
diwarnai oleh kepentingan kelompok/instansi tertentu;
• Rawan terhadap munculnya konflik kewenangan antar lembaga, atau benturan
substansi antar peraturan;
• Pembahasan suatu aturan selalu menyita waktu yang panjang dibumbui perdebatan
yang berlarut-larut;
• Ketiadaan strong leadership yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan
kepentingan kedalam kepentingan nasional yang lebih besar;
• Energi nasional terbuang sia-sia tanpa menghasilkan manfaat yang signifikan.
3. Kutub Atas (Dukungan Optimal Kajian Terhadap Kebijakan), ciri-cirinya adalah:
• Pertimbangan politis dalam perumusan kebijakan relatif kecil, sementara
pertimbangan akademik dan teknokratik lebih menonjol;
• Kualitas peraturan/kebijakan jauh lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan diuji
materi atau direvisi dalam waktu singkat;
• Kebutuhan sosialisasi dan uji publik terhadap (rancangan) peraturan/kebijakan tidak
perlu dilakukan tersendiri, sehingga bisa menghemat sumber daya (anggaran);
• Para policy makers lebih confidence karena kebijakan yang diambil berdasarkan
pada bukti-bukti yang obyektif.
4. Kutub Bawah (Kebijakan Tanpa Dukungan Kajian), ciri-cirinya adalah:
• Peraturan/kebijakan sangat lemah baik secara filosofis, historis, sosiologis, maupun
teoretis;
• Kemungkinan gagalnya peraturan/kebijakan lebih besar yang melahirkan symbolic
policy atau involusi kebijakan;
• Inefisiensi program dan anggaran cukup besar karena perumusan kebijakan dan
pengkajian kebijakan memerlukan anggaran secara terpisah dan tidak reinforcing;
• Masyarakat tidak mendapatkan manfaat langsung dari fungsi pengaturan oleh
pemerintah;
• Kemungkinan uji materi dan revisi peraturan/kebijakan secara terus menerus sangat
besar.
42
F. Metafora dan Narasi Skenario
Kombinasi driving forces atau variabel tingkat egoisme sektoral dengan variabel
dukungan kajian/litbang kebijakan, telah menghasilkan 4 (empat) skenario dengan
karakeristik berbeda-beda. Dan untuk memudahkan pemahaman, maka setiap skenario
diberi nama sebagai metafora skenario. Adapun metafora untuk setiap skenario/kuadran
adalah sebagai berikut:
5. Skenario 1 (kuadran 1): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana;
6. Skenario 2 (kuadran 2): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksamana;
7. Skenario 3 (kuadran 3): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna;
8. Skenario 4 (kuadran 4): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka,
Gambar 3.3.
Metafora Skenario
43
Dari metafora tersebut, selanjutnya disusun narasi skenario sebagai berikut:6
1. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana – “Membela
Kebenaran” (Skenario 1).
• Wibisana adalah adik Rahwana yang menjabat sebagai patih Alengka. Dia
menasehati kakaknya agar mengembalikan Sinta, istri Rama, yang diculiknya, agar
tidak terjadi pertumpahan darah. Karena Wibisana terus menasehati, Rahwana
menjadi marah dan ingin menghabisi adiknya. Untung patih Prahasta datang untuk
meredam amarah Rahwana lalu meminta Wibisana agar cepat pergi dari istana
Alengka dan menemui ibunya yang sedang sakit. Ketika Wibisana bertemu Dewi
Sukesi, ibunya, ia disuruh untuk membantu Rama agar dapat menebus dosa-dosa
ibunya. Tiba-tiba Rahwana datang dan mendengar semua percakapan mereka
berdua, sehingga ia begitu marah dan dengan wajah yang menyeramkan langsung
menyerang adiknya hingga tak berdaya lagi, Rahwana langsung membuang
Wibisana kelaut yang dikira sudah meninggal. Wibisana yang ternyata masih hidup
pergi ke gunung Maliawan tempat Rama berada untuk memberi dukungan.
• Metafora ini melambangkan bahwa sistem peraturan perundang-undangan/kebijakan
di Indonesia sudah sangat berkualitas, baik dari sisi prosedural (proses
perumusannya) maupun materi atau substansi yang diaturnya. Peraturan/kebijakan
lahir semata-mata untuk memenuhi kebutuhan publik (by needs), bukan karena
dorongan egoisme yang sempit. Dengan adanya peraturan/kebijakan yang
berkualitas tinggi ini, maka akan tercipta hubungan antar instansi pemerintah, antara
pemerintah dan masyarakat, serta antar kelompok masyarakat secara tertib, yang
mengedepankan kepentingan kolektif diatas kepentingan individual, serta menjaga
keseimbangan hak dan kewajiban secara selaras dan harmonis. Harmoni dalam
hubungan bernegara dan bermasyarakat ini pada gilirannya akan menjadi faktor
yang mempercepat pencapaian tujuan nasional sebagaimana amanat UUD 1945.
2. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksmana – “Membela
Pemimpin” (Skenario 2).
• Laksmana adalah putra Prabu Dasarata, raja negara Ayodya dengan permaisuri
kedua Dewi Sumitra. Ia mempunyai empat orang saudara seayah lain ibu masing-
6 Untuk karakter Wibisana, Laksamana, Kumbakarna, dan Rahwana, lihat di http://wayang.wordpress.com/category/wayang-karakter/tokoh-ramayana/
44
masing bernama Ramawijaya (dari permaisuri Dewi Kusalya), dan Barata, Satrugna
serta Dewi Kawakwa ketiganya putra Prabu Dasarata dengan permaisuri Dewi
Kekayi. Ia seorang satria brahmacari (tidak kawin). Mempunyai watak halus, setia
dan tak kenal takut. Sejak kecil Leksmana sangat rapat dan sangat sayang kepada
Ramawijaya. Dengan setia Leksmana mengikuti Ramawijaya menjalani pengasingan
selama 13 tahun bersama Dewi Sinta. Ketika Dewi Sinta diculik Prabu Dasamuka
dari tengah hutan Dandaka dan disekap di taman Argasoka negara Alengka,
Leksmana membantu perjuangan Ramawijaya merebut dan membebaskan kembali
Dewi Sinta dari sekapan Prabu Dasamuka. Setelah berakhirnya perang Alengka,
dengan setia Leksmana tetap membantu Prabu Ramawijaya mengatur tata
pemerintahan negara Ayodya.
• Metafora ini melambangkan bahwa sistem peraturan perundang-undangan/
kebijakan di Indonesia akan semakin terfragmentasi karena hanya memperhatikan
kepentingan pimpinannya semata, tanpa melihat kepentingan yang lebih luas dan
strategis. Para pengambil keputusan dan perumus kebijakan hanya bekerja
berdasarkan “petunjuk” pimpinan (by order), bukan untuk menjalankan visi misi
organisasi. Dalam hal ini, sepanjang pimpinan insitusi tadi diisi oleh orang-orang
baik, maka masih dapat diharapkan akan lahir peratuan/kebijakan yang berkualitas.
Namun bila institusi dipimpin oleh orang yang berpikir picik, hanya mementingkan
diri sendiri dengan mengorbankan orang banyak, maka masa depan sistem
peraturan/kebijakan berada pada bahaya yang serius. Loyalitas adalah hal yang
sangat baik, namun jika hanya dipersembahkan kepada segelintir orang, maka
terlalu banyak orang yang tidak bisa mendapat manfaat dari kebijakan yang ada.
3. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna – “Membela
Institusi Meski Harus Melawan Kebenaran” (Skenario 3).
• Kumbakarna adalah adik Rahwana serta kakak dari Sarpakenaka dan Wibisana. Ia
rela berkorban demi membela tanah airnya dan mau membantu Rahwana meskipun
tahu bahwa kakaknya yang salah. Ia berperang bukan membela keangkaramurkaan
Prabu Dasamuka tetapi membela negara Alengka, tanah leluhurnya yang telah
memberinya hidup.
• Metafora ini melambangkan para pengambil keputusan dan perumus kebijakan yang
hanya bisa melihat kedalam (inward looking). Prinsip hidupnya yang penting berhasil
menjalankan tugas tanpa peduli dengan pihak/orang lain. Bagi mereka, adalah hal
45
yang lumrah bahwa untuk mencapai keberhasilan sendiri tadi, seringkali dibarengi
dengan pengorbanan kepentingan instansi lain. Benturan kewenangan, tumpang
tindih aturan, dan pertentangan kebijakan dianggap hal yang biasa asal memberikan
keuntungan bagi institusinya.
4. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka –
“Mengkhianati Kebenaran” (Skenario 4).
• Rahwana atau Dasamuka adalah Raja Alengka, anak dari Begawan Wisrawa dan
Dewi Sukesi, serta cucu dari Prabu Sumali. Karena keangkaramurkaannya,
Rahwana menculik Sinta, istri Rama, untuk memuaskan nafsunya akan kekuasaan
dan wanita. Rahwana tidak peduli meski tindakannya berarti mengorbankan rakyat
dan seluruh prajuritnya, bahkan dapat menghancurkan negaranya.
• Metafora ini melambangkan bahwa peraturan/kebijakan disusun tanpa ada
pertimbangan rasional sama sekali. Tidak ada analisis cost-benefit atau resiko resiko
dari sebuah peraturan/kebijakan. Sesuatu yang seharusnya diatur justru tidak dibuat
aturannya, sementara sesuatu yang tidak perlu diatur justru dibahas secara serius.
Kesepakatan antar pihak dalam perumusan kebijakan juga sering dikhianati oleh
pihak tertentu. Kualitas kebijakan/peraturan menjadi sangat rendah, sehingga hanya
menguntungkan sedikit orang namun mengakibatkan protes banyak orang lainnya.
Kemungkinan terjadinya policy failure sangat tinggi, sehingga kebijakan/peraturan
juga dengan sendirinya gagal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan
tujuan-tujuan lain yang dimandatkan oleh Konstitusi.
G. Rekomendasi Kebijakan
Terhadap 4 (empat) kuadran skenario atau metafora tersebut, tentu rekomendasi
yang dipilih adalah Skenario 1, yakni Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana,
dengan harapan dapat meminimalisir situasi pada 3 (tiga) kuadran lainnya.
Selanjutnya, skenario terpilih ini akan dianalisis atau dielaborasi lebih lanjut
dengan alur berpikir strategic planning yang dimulai dari penetapan visi dan misi hingga
dirumuskannya program dan rencana aksi untuk implementasi kebijakan agar terwujud cita-
cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul pada tahun 2025,
sebagaimana tertangkap pada Kuadran 1 (Skenario 1).
46
BAB IV
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN DAN RENCANA IMPLEMENTASINYA
A. Penetapan Visi dan Misi 7
Agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul
pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka perlu dituangkan dalam logika perencanaan
strategis, paling tidak komponen-komponen utamanya. Untuk itu, akan dikemukakan disini
komponen Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi (Values), serta Tujuan dan Sasaran.
Adapun Visi Deputi III dalam konteks membangun sistem kebijakan dan hukum
administrasi negara adalah:
Menjadi Policy Think Tank yang Handal dan Policy Partners yang
Terpercaya Dalam Membangun Sistem Kebijakan dan Hukum Administrasi
Negara Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)
Adapun Misi yang dirumuskan untuk dapat mewujudkan Visi diatas adalah:
7 Deputi III Bidang Litbang Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara saat ini telah
memiliki pernyataan visi, yakni “Menjadi institusi kajian dan litbang yang handal di bidang Administrasi Pembangunan, Hukum Administrasi Negara, Pengembangan Sosial Ekonomi, Peningkatan Kerjasama Internasional dan Pengembangan Teknologi Administrasi”. Untuk itu perlu ditekankan disini bahwa penetapan visi pada KTP2 tidak dimaksudkan untuk mengganti visi yang telah ada dan secara yuridis formal masih menjadi rujukan bagi perumusan program dan kegiatan di lingkungan Deputi III. Visi yang dirumuskan pada KTP2 ini lebih spesifik dan lebih sempit cakupannya karena penulis maksudkan hanya berhubungan dengan salah satu tugas Deputi III di bidang pengkajian Hukum Administrasi Negara.
Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (PK-HAN) sendiri juga sudah memiliki pernyataan visi yang dituangkan dalam Rencana Strategis 2010-2014 yakni “Menjadi Pusat Kajian yang handal dalam bidang Pengembangan Hukum Administrasi Negara dan Sosialisasinya Secara Nasional”. Maka, rumusan visi dan misi pada KTP2 inipun tidak dimaksudkan untuk serta merta menggantikan pernyataan visi yang telah ada, melainkan untuk menjadi pembanding khususnya dalam merumuskan visi yang baru, mengingat Renstra PK-HAN akan segera berakhir pada tahun 2014. Selain itu, perumusan visi dan misi pada karya tulis ini masih merupakan pemikiran pribadi, yang tentunya harus dikomunikasikan dengan seluruh staf dan para peneliti di PK-HAN beserta stakeholder-nya sebelum dijadikan sebagai visi baru untuk menggantikan visi yang masih berlaku saat ini.
47
� Menghasilkan kajian dan rekomendasi kebijakan yang sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan di bidang sistem kebijakan dan hukum administrasi negara;
� Menyelenggarakan fasilitasi dan advokasi kebijakan di bidang sistem kebijakan dan
hukum administrasi negara;
� Melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan di bidang sistem kebijakan dan hukum
administrasi negara;
� Mengembangkan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang sistem kebijakan dan hukum
administrasi negara;
� Membangun policy networking.
B. Nilai-Nilai Organisasi (Values)
Selain visi dan misi diatas, ada beberapa sistem nilai (values) yang memberikan
motivasi, inspirasi, dan panduan secara moral dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi. Beberapa nilai yang akan dan harus dipegang teguh tersebut adalah:
a. Kualitas, artinya seluruh elemen Deputi III khususnya PK-HAN selalu berusaha untuk
menghasilkan produk kajian berupa laporan penelitian, rekomendasi kebijakan, kertas
kebijakan (policy papaer), atau rancangan kebijakan sebaik mungkin dan mengurangi
sekecil mungkin kemungkinan kesalahan.
b. Obyektivitas, artinya seluruh elemen Deputi III khususnya PK-HAN tidak memiliki
dan/atau memperjuangkan kepentingan tertentu dalam pelaksanaan tugasnya, serta
mengambil kesimpulan berdasarkan data dan fakta, tidak semata-mata berdasarkan
opini dan judgement peneliti secara professional.
c. Profesionalitas, artinya dalam menjalankan tugasnya seluruh elemen Deputi III
khususnya PK-HAN selalu mengacu pada kaidah-kaidah atau norma akademis serta
berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para peneliti juga
berusaha untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya agar
dapat memberikan hasil yang terbaik untuk organisasi serta stakeholders yang dilayani,
bahkan untuk bangsa dan negara Indonesia.
d. Harmoni, artinya dalam menjalankan tugasnya seluruh elemen Deputi III khususnya
PK-HAN selalu berusaha tidak berpihak pada paham atau pendapat tertentu, serta tidak
memberikan prioritas dalam melayani stakeholders tertentu. Selain itu, para peneliti
48
selalu berusaha agar hasil-hasil kajian dan rekomendasi yang dihasilkan tidak hanya
memberi manfaat kepada sekelompok pihak dan tidak menyelesaikan masalah pada
satu bidang namun menimbulkan permasalahan pada bidang lain.
e. Networking, artinya dalam menjalankan tugasnya seluruh elemen Deputi III khususnya
PK-HAN menyadari sepenuhnya bahwa hasil kerja terbaik dan kemanfaatan optimal dari
hasil pekerjaan merupakan sintesa dari akumulasi kepercayaan (trust), kerjasama dan
dukungan (teamwork), serta rasa tanggungjawab bersama (shared responsibility) dari
seluruh pihak terkait, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya akan selalu diupayakan
terjadinya sinergi dan kolaborasi yang efektif dengan stakeholders terkait.
C. Tujuan dan Sasaran
Dalam rangka mewujudkan visi dan untuk melaksanakan misi, maka tujuan Deputi
III (organizational goals) dalam konteks membangun sistem kebijakan/peratuan yang
berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan dan menyediakan rekomendasi kebijakan pada bidang sistem kebijakan
dan hukum administrasi negara;
2. Menyelenggarakan dan menghasilkan kajian dan publikasi terkait di bidang sistem
kebijakan dan hukum administrasi negara; 8
3. Memberikan pelayanan perkonsultasian pada bidang sistem kebijakan dan hukum
administrasi negara;
4. Meningkatkan kapasitas kelembagaan (SDM, mekanisme/tata laksana kajian,
metodologi kajian, jaringan kerja, dan lain-lain) agar dapat menunjang pelaksanaan
tugas secara optimal.
Adapun sasaran Deputi III (organizational objectives) yang ditetapkan sebagai
indikator pencapaian tujuan (goals) diatas adalah:
8 Kajian kebijakan (policy research) adalah proses mencari kebenaran yang berorientasi pada policy
problem solving, dan tidak didominasi oleh pendekatan teoretik; menerapkan dan menghasilkan strategi yang cerdas, inovatif, dan aplikatif dalam menyikapi issu kebijakan (policy issues and questions); serta dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy).
49
1. Tersedianya dan terimplementasikannya rekomendasi kebijakan yang berkualitas bagi
instansi pusat dan daerah. Beberapa indikator kinerja yang dapat dipilih secara tunggal
maupun jamak dari sasaran ini adalah:
� Persentase kebijakan/peraturan di tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah yang disusun atau direvisi berdasarkan rekomendasi kajian, atau
� Persentase masalah aktual di tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah
yang dapat dipecahkan atau dikurangi berdasarkan rekomendasi kajian.
Tersusunnya dan terdistribusikannya laporan hasil penelitian/kajian serta publikasi
terkait di bidang sistem kebijakan dan hukum administrasi negara. Beberapa
indikator kinerja yang dapat dipilih secara tunggal maupun jamak dari sasaran ini
adalah:
� Jumlah laporan hasil kajian / policy paper / policy brief atau publikasi lainnya dalam
kurun waktu tertentu, atau
� Jumlah issu kebijakan yang dijadikan sebagai obyek kajian, atau
� Jumlah Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dan pihak lain baik secara
institusional maupun individual yang telah menerima laporan hasil penelitian dan
publikasi lainnya.
2. Terlaksananya perkonsultasian dan advokasi kebijakan. Beberapa indikator kinerja yang
dapat dipilih secara tunggal maupun jamak dari sasaran ini adalah:
� Jumlah Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah atau pihak lain yang memberi
umpan balik dan menyatakan keinginan untuk menjadi mitra LAN (cq. Deputi III)
dalam pembenahan administrasi negara di instansinya, atau
� Persentase peningkatan wawasan dan kemampuan analistis dan akademis SDM di
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, atau
� Persentase peningkatan program capacity building yang dilakukan Kementerian/
Lembaga/Pemerintah Daerah atas inspirasi dari kajian/rekomendasi LAN, atau
� Jumlah silaturahmi kelembagaan yang terjalin untuk memperkuat hubungan antar
lembaga dan mempertajam program kajian, seperti audiensi, studi banding,
kunjungan kerja biasa, praktek kerja lapangan dari perguruan tinggi, dan
sebagainya.
3. Tercapainya peningkatan kapasitas kelembagaan sebagai penunjang pelaksanaan
tugas. Beberapa indikator kinerja yang dapat dipilih secara tunggal maupun jamak dari
sasaran ini adalah:
50
� Jumlah forum diskusi (knowledge-shared atau knowledge-enrichment) yang
diadakan pada periode waktu tertentu, atau
� Jumlah program diklat yang diikuti oleh peneliti dan staf bidang kajian, atau
� Jumlah peneliti dan staf kajian yang dikirim untuk mengikuti program pengembangan
diri (seminar, konferensi, diklat, bimbingan teknis, dan sebagainya), atau
� Jumlah publikasi yang dihasilkan peneliti diluar laporan hasil penelitian, baik secara
mandiri maupun tim, atau
� Jumlah jurnal terakreditasi yang memuat hasil penelitian LAN dan makalah/artikel
para peneliti, atau
� Jumlah media lain selain jurnal terakreditasi (jurnal belum terakreditas, majalah,
buletin, koran, website, dan lain-lain) yang memuat hasil penelitian LAN dan artikel
para peneliti.
D. Kebijakan dan Program
Dalam dokumen Renstra PK-HAN 2010-2014 disebutkan bahwa arah kebijakan
dan strategi Deputi III LAN merupakan uraian sistematis yang meliputi cara untuk mencapai
tujuan dan sasaran kedeputian. Secara terstruktur uraian tersebut diilustrasikan dalam
sebuah peta strategi yang komprehensif. Peta strategi ini merupakan suatu proses
penggambaran atas dasar hubungan sebab akibat antara satu sasaran stratejik dengan
sasaran stratejik lainnya untuk menguji alur pikir suatu strategi. Peta strategi ini mempunyai
empat perspektif yaitu: 1) perspektif nilai tambah untuk LAN, 2) perspektif nilai tambah
stakeholder, 3) perspektif proses kerja internal, serta 4) perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan.
Secara lebih rinci, arah kebijakan dan strategi Deputi III LAN khususnya yang
berfokus pada kajian bidang Hukum Administrasi Negara tahun 2010-2014 adalah sebagai
berikut:
1. Pengkajian dan pengembangan Hukum Administrasi Negara bagi peningkatan
Penyelenggaraan Pemerintah yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme;
2. Pengkajian dan pengembangan Hukum Administrasi Negara bagi Peningkatan
Kapasitas dan Akuntabilitas Birokrasi.
Untuk mendukung arah kebijakan tersebut, strategi yang dikembangkan oleh
PKHAN selama periode tahun 2010-2014 adalah:
51
1. Perumusan kebijakan pengembangan Hukum Administrasi Negara;
2. Pembinaan pelaksanaan pengembangan Hukum Administrasi Negara;
3. Fasilitasi kegiatan pengembangan Hukum Administrasi Negara;
4. Standarisasi pelaksanaan pengembangan Hukum Administrasi Negara;
5. Supervisi pelaksanaan pengembangan Hukum Administrasi Negara.
Dalam rangka implementasi arah kebijakan diatas, maka telah ditetapkan dua jenis
program sebagai berikut:
1. Program Penerapan Hukum Administrasi Negara dalam Kebijakan Aparatur
Penyelenggara Negara;
2. Program Penerapan Instrumen Pengawasan dan Akuntabilitas Hukum Administrasi
Negara Kebijakan Aparatur Penyelenggara Negara.
Gambar 4.1. dibawah ini menjelaskan peta strategi yang mendeskripsikan empat
perspektif strategi yang terbagi dalam tiga level strategi yang terdiri dari: fulfilling
stakeholder expectation, strategic drivers dan intangible assets and resources.
Gambar 4.1.
Peta Strategi Deputi III LAN
52
BAB V
P E N U T U P
Dari paparan mulai pendahuluan hingga analisis menggunakan soft system
methodology dan scenario planning serta perencanaan strategis diatas, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada hakekatnya LAN adalah unit pemikir (think tank) pemerintah untuk memperbaiki
sistem administrasi negara dan kualitas kebijakan publik, baik pada tataran nasional
maupun daerah. Unit-unit kerja dalam LAN tentunya juga menjalankan fungsi selaku policy
think tank and policy partner bagi stakeholder-nya masing-masing. Dalam pelaksanaan
tugas selaku think tank tersebut, Deputi III LAN masih menghadapi banyak tantangan dan
kendala baik secara internal maupun eksternal. Aspek internal berhubungan dengan
keterbatasan kapasitas SDM, keterbatasan kapasitas sumber daya non brainware, serta
fungsi perencanaan dan koordinasi kelitbangan yang belum terintegrasi. Sedangkan aspek
eksternal berhubungan dengan minimnya forum koordinasi antar lembaga kajian dan forum
komunikasi kebijakan, serta belum mantapnya standarisasi kompetensi peneliti dari instansi
pembina.
2. Ditengah keterbatasan yang ada, LAN (cq. Deputi III) telah menunjukkan kinerja dan
kontribusi yang cukup baik terhadap stakeholder-nya, khususnya dalam upaya
mempengaruhi muatan (content) suatu kebijakan/peraturan tertentu, baik di pusat maupun
di daerah. Meskipun demikian, kebutuhan untuk peningkatan secara berkelanjutan
(continuous improvement) dipandang mutlak diperlukan untuk lebih memperkuat peran
Deputi III di masa mendatang.
3. Kebutuhan penguatan peran LAN (cq. Deputi III) ini semakin menonjol jika dilihat kinerja
kebijakan di Indonesia saat ini yang relatif masih sangat rendah. Dalam hal Pengujian UU
(PUU) atau sering dikenal dengan judicial review, misalnya, sejak 2003 hingga 2012,
tercatat 182 UU yang diuji ke MK. Dari jumlah ini, terdapat 2 UU yang paling banyak diuji,
yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan frekuensi uji 36 kali,
serta UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
jumlah uji 27 kali. Sedangkan jika ditilik berdasarkan tahun pembuatan undang-undangnya,
53
produk legislasi tahun 2004 paling banyak diuji ke MK. Tercatat 22 UU yang dibuat pada
tahun ini telah diuji ke MK sejak 2003 hingga 2012. Ini belum termasuk Sengketa
Kewenangan antar Lembaga Negara, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif
dan Presiden/Wakil Presiden, serta PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
4. Di tingkat daerah-pun, potret kebijakan tidak begitu menggembirakan, yang antara lain
ditunjukkan dengan data sebanyak 1878 perda dibatalkan pada periode 2002-2009.
Sedangkan mulai periode 2010 hingga sekarang, tidak lagi dilakukan pembatalan Perda
oleh Menteri Dalam Negeri, namun hanya dilakukan klarifikasi Perda sebanyak 931 Perda.
5. Atas dasar data-data diatas, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan atau regulasi di
Indonesia masih banyak yang mencerminkan sebagai symbolic policy dari pada evidence-
based policy. Itulah sebabnya, KPT-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan
menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan
kebijakan nasional di bidang administrasi negara melalui peningkatan peran Deputi III.
6. Hasil analisis yang menggunakan dua tools yakni soft system methodology (SSM) dan
scenario planning (SP). Aplikasi SSM ditemukan adanya empat belas situasi problematik
yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Deputi III sehingga cita-cita mewujudkan
sistem perundang-undangan/kebijakan yang berkualitas belum dapat diwijudkan secara
optimal. Dari ke-14 kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) issu yakni issu institusional,
networking, mindset, partisipasi masyarakat, dan kajian/litbang administrasi negara. Setelah
dirumuskan conceptual model-nya dan dibandingkan dengan real world, maka dapat
diidentifikasikan 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level
mikro, level messo, dan level makro. Pada level mikro, transformasi atau perubahan yang
diinginkan adalah meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi
Negara; pada level messo adalah menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-
based research untuk mewujudkan evidence-based policy atau research-based policy;
sedangkan pada level makro adalah meningkatnya kualitas peraturan perrundang-
undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.
7. Selanjutnya analisis scenario planning telah menghasilkan 11 (sebelas) variabel atau driving
forces yang mempengaruhi upaya untuk mewujudkan kualitas peraturan perundang-
undangan/ kebijakan nasional di bidang administrasi negara pada masa mendatang,
tepatnya 2025. Setelah dilakukan analisis keterkaitan antar driving forces dengan teknik
non-linier menggunakan CLD, ditemukan 2 (dua) driving forces yang paling berpengaruh
yakni tingkat egoisme sektoral yang masih tinggi, tingkat dukungan kajian yang masih
54
rendah terhadap perumusan kebijakan.kedua leverage inilah yang digunakan untuk
menyusun skenario. Dari skenario yang ada, ditetapkanlah salah satunya sebagai
rekomendasi kebijakan. Dan terakhir, agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan
yang berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran
jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka KTP-2 ini telah
menuangkan dalam logika perencanaan strategis, paling tidak komponen-komponen
utamanya. Dalam kaitan ini, telah dirumuskan pernyataan Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi
(Values), serta Tujuan dan Sasaran sebagai strategi implementasi untuk mewujudkan cita-
cita diatas.
55
DAFTAR PUSTAKA
Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008
George E. Berkley, 1975, The Craft of Pubic Administration, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.
H. George Frederickson, 1997, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Howard E. McCurdy, 1977, Public Administration: A Synthesis, Cummings Publishing Co.
James W. Fesler, 1980, Public Administration: Theory and Practice, Prentice Hall.
Jong S. Jun, 1986, Public Administration: Design and Problem Solving, Macmillan Publishing Co.
Kementerian Dalam Negeri, tanpa tahun, Isu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah (Dalam RUU Tentang Pemerintahan Daerah), bahan paparan, Jakarta: Biro Hukum Kemdagri.
Mahkamah Konstitusi, 2013, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara: Laporan Tahunan 2012, Jakarta: MK.
Michiel S. de Vries, 2011, “Distinguishing symbolic and evidence-based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education” (International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication.
Nicholas Henry, 1988, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, terjemahan Indonesia oleh Luciana D. Pontoh, Rajawali Press.
Peter Checkland, 1999, Systems Thinking, Systems Practice, John Wiley & Sons.
Rayburn Barton and William L. Chappell Jr., 1985, Public Administration: The Work of Government, Scott Foresman and Co.
Riant Nugroho, 2012, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Richard J. Stillman, 1980, Public Administration: Concepts and Cases, Houghton Mifflin.
Saldi Isra, “Penyelundupan Norma Hukum”, dalam Kompas, kolom opini, 1 April 2013.
Stuart MacRae and Douglas Pitt, 1982, Public Administration: An Introduction, Massachusetts: Pitman Publishing Inc.
Sudarsono Hardjosukarto, 2012, Soft System Methodology: Metode Serba Sistem Lunak, Jakarta: UI Press.
UNDP, Mengatasi Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan, 2009
William L. Morrow, 1975, Public Administration: Politics, Policy, and the Political System, 2nd Edition, New York: Random House.
56
Lain-lain:
Renstra Deputi III LAN 20102014
Renstra Pusat Kajian HAN 2010-2014
Berbagai sumber internet, khususnya yang berkenaan dengan karakter wokoh wayang pada epik Ramayana.
Top Related