Pemeriksaan Laboratorium pada
Imunodefisiensi Primer
Betty Agustina Tambunan
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Materi
1. Pendahuluan
2. Klasifikasi Primary
immunodeficiency disorder (PID)
3. Gambaran umum Pemeriksaan
Laboratorium PID
4. Pemeriksaan Lab Berdasarkan
penyakit
5. Simpulan
Pendahuluan
Primary immunodeficiency disorder (PID) merupakan kelompok kelainan heterogen yang
ditandai hilangnya fungsi satu komponen atau lebih sistem imun yang yang dapat
memicu individu lebih mudah atau sering terpapar infeksi, penyakit autoimun, inflamasi
dan malignansi.
Kecurigaan adanya PID pada anak dan dewasa ditandai dengan infeksi yang berulang, inflamasi
yang berat dan dapat pula berupa penyakit autoimun dan adanya sitopenia.
Warning signs pada Primary immunodeficiency disorder (PID) Anak dan Dewasa (Mccusker, Upton &
Warrington 2018).
Warning Signs in Children
1.≥ 4 new ear infections within 1 year
2.≥ 2 serious sinus infections within 1 year
3.≥ 2 months on antibiotics with little effect
4.≥ 2 pneumonias within 1 year
5.Failure of infant to gain weight or grow
normally
6.Recurrent, deep skin or organ abcesses
7.Persistent thrush in mouth or fungal
infections in skin
8.Need for IV antibiotics to clear infections
9.≥ 2 deep-seated infections including
septicaemia
10.A family history of PID
Warning Signs in Adults1. ≥ 2 new ear infections within 1 year2. ≥ 2 new sinus infections within 1 year, in the absence of allergy3. 1 pneumonias within 1 year4. Chronic diarrhea with weight loss5. Recurrent viral infections (cold, herpes, warts, condyloma)6. Recurrent need for IV antibiotics to clear infections 7. Recurrent, deep, abcesses of skin or internal organ 8. Persistent thrush or fungal infection or skin or elsewhere9. Infection with normally harmless tuberculosis-like bacteriaA family history of PID
Klasifikasi Primary immunodeficiency disorder (PID)
Gangguan Imun Adaptif (Mccusker, Upton & Warrington 2018)
Gangguan Imun Innate (Mccusker, Upton & Warrington 2018).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
• Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah tepi mengevaluasi adanya limfopenia, limfosityang abnormal.
• Pemeriksaan komplemen
• Immunoglobulin serum
• Proliferasi antigen, dan tes fagosit.
Pemeriksaan lainnya yang penting yaitu:
• pemeriksaan proliferasi limfosit,
• flowsitometri, enumerasi sel B, sel T, sel NK,
• evaluasi marker limfosit dan varian limfosit T,
dan pemeriksaan spesifik lainnya yang berhubungan dengan kelainan imun yang spesifik
Algoritme pemeriksaan untuk pasien yang diduga mengalami gangguan imunitas
humoral (Locke, Dasu & Verbsky 2014)
Immunodeficiency IgG IgA IgM IgG Subclass
SAD Normal Normal Normal Normal
IGGSD Normal Normal Normal ≥ 1 low
SIGAD Normal Absent Normal Normal
IgA deficiency with IGGSD Normal Absent Normal ≥ 1 low
Possible secondary, unspecified, or transient
hypogammaglobulinemia
Low Normal Normal N/A
Unspecified or transient hypogammaglobulinemia Low Normal or low Normal or low N/A
Hyper IgM syndrome Low Low Normal or high N/A
CVID Low Low Normal or low N/A
Agammaglobulinemia or severe CVID Absent Absent Absent N/A
Immunoglobulin class-switch defects Low Low High N/A
XLP1 prior to Epstein-Barr virus infection Normal or low Normal or high Normal or high ≥ 1 low
Abbreviations: CVID, common variable immunodeficiency; Ig, immunoglobulin; IGGSD, IgG subclass deficiency; N/A, not applicable; SAD, specific
antibody deficiency; SIGAD, selective IgA deficiency; XLP, x-linked lymphoproliferative disease.
Characteristics of Commonly Used Diagnostic Booster Vaccines:
Vaccine T-Cell Dependent
(Y/N)
Peak Antibody Levels Protective Level
Tetanus Yes 2-3 weeks after
initial series
0.15 units/mL
Pneumococcal conjugate Yes 4 weeks 1.3 mcg/mL
Pneumococcal polysaccharide No 4 weeks 1.3 mcg/mL
Haemophilus influenzatype B conjugate Yes 6 months (3-4 weeks
after third dose)
1 mcg/mL
Meningococcal conjugate Yes 2-4 weeks 2 mcg/mL
Meningococcal polysaccharide No 2-4 weeks 2 mcg/mL
Rabies Yes 21 days after third
dose
0.5 units
Select Primary Immunodeficiency Disorders Associated with
Humoral Defects
Reduced or Absent Protein Western Blot or Flow Cytometry
Staining Target
X-linked agammaglobulinemia BTK Monocytes or platelets
X-linked lymphoproliferative syndrome SAP
XIAP
Activated T cells and NK cells
CVID BAFF receptor
TACI
CD19
B cells
ICOS T cells
Wiskott-Aldrich syndrome WAS protein Lymphocytes
DOCK8 deficiency (type 2 hyper-IgE syndrome) DOCK8 Lymphocytes and myeloid cells
ZAP70 deficiency ZAP70 T cells
X-linked hyper-IgM syndrome CD40 ligand Activated CD4 T cells
CD40 Monocytes and B cells
LRBA deficiency LRBA B cells, T cells, NK cells, monocytes
Abbreviations: CVID, common variable immunodeficiency; DOCK8, dedicator of cytokinesis 8; Ig, immunoglobulin; LRBA, lipopolysaccharide-
responsive beige-like anchor; ZAP70, zeta chain-associated protein kinase 70.
Algoritme pemeriksaan untuk mengevaluasi kelainan imun selluler (Locke, Dasu & Verbsky
2014)
CBC: complete blood count, DTH: delayed-type hypersensitivity, TREC: Tcell receptor excision circles, CD40L:
CD40 ligand, WASp: Wiskott-Aldrich protein
Clue Adanya Primary immunodeficiency disorder (PID) dan Tes Diagnostik (M. Madkaikar 2013).
Tes Laboratorium Untuk Melihat Fungsi Imun (Bonilla et al. 2015).
Pemeriksaan Laboratorium Gangguan Imunodefisiensi Primer (Raje et al. 2016).
Common Variable Immunodeficiency
• Limfosit B matur mengekspresikan IgM dan IgD tetapi tidak
mengekspresikan CD27 dan CD38.
• Aktivasi limfosit B oleh antigen menstimulasi perubahan
CD27 menjadi sel B memori. Sel Bmemori dibagi menjadi yang
mengekspresikan IgD pada permukaannya (switched memory
B lymphocytes) dan yang tidak mengekspresikan IgD pada
permukaannya (unswitched memory B lymphocytes).
• Imunofenotiping sel B pada pasien CVID menunjukkan sel B
yang berubah menjadi sel B memori (CD27+, IgM-, IgD-)
sedikit.
• Sel T memori abnormal ditunjukkan dengan menurunnya
rasio CD4+/CD8+ dan menurunnya persentase se T CD4+
yang mengekspresikan CD45RA (Locke, Dasu & Verbsky
2014).
Gambar 2. Maturasi abnormal sel B pada common variable immunodeficiency
(Locke, Dasu & Verbsky 2014).
Whole blood dianalisis dengan antibodi terhadap CD19, IgD, dan CD27.(a).
Distribusi normal sel B naïve (IgD+ CD27), unswitched memory (IgD+ CD27+), dan
switch memory (IgD- CD27+) sel B (CD19+) pada individu sehat. (b) Penurunan
distribusi sel B, switch memory B tampak pada kasus CVID. CVID:common
variable immunodeficiency, IgD: immunoglobulin D.
Wiskott-Aldrich Syndrome (WAS)
• Wiskott-Aldrich Syndrome ditandai dengan Triad: Eczema,
trombositopenia dan imunodefisiensi.
• Perdarahan dapat terjadi pada 80% pasien dan dapat terjadi
perdarahan intracranial yang mengancam nyawa (2%)
• Gejala yang sering muncul sejak Infant: manifestasi
perdarahan (petechiae, purpura), diare bercampur darah,
infeksi yang berulang (sinopulmonary infections,
pneumocystis, infeksi CMV, HSV dan varicella).
• Sekitar 40% dapat terjadi AIHA dan vasculitis.
X-Linked Agammaglobulinemia
Penyebab yang paling sering congenital
agammaglobulinemia adalah kelainan genetik Xlinked
agammaglobulinemia (XLA) pada gen Bruton’s
Tyrosine Kinase (BTK).
Bruton’s Tyrosine Kinase (BTK) merupakan protein
tyrosine kinase yang dibutuhkan pada perkembangan
sel limfosit B, terjadi penghambatan perkembangan sel
B pada fase pre B.
Lebih dari 50% XLA muncul menjelang usia 1 tahun,
90% terdiagnosis sebelum usia 5 tahun (Locke, Dasu &
Verbsky 2014).
Pemeriksaan laboratrium menunjukkan kadar IgG, IgA,
dan IgM yang rendah dan titer antibodi pasca
imunisasi rendah atau negatif.
Flowsitometri dapat mengevaluasi ekspresi intraselluler
BTK pada monosit pasien dengan sel B yang tidak ada.
Gambar 3. Ekspresi BTK pada monosit untuk mengevaluasi Xlinked
agammaglobulinemia (Locke, Dasu & Verbsky 2014).
Whole blood dianalisis dengan memakai antibodi CD14 (marker monosit), CD 19
dan protein BTK. (a). Deteksi sel B pada specimen kontrol. (b). Populasi sel B
yang tidak terdeteksi pada pasien XLA. (c). Pengukuran ekspresi BTK pada
monosit, pasien XLA dibandingkan control. XLA: X-linked
agammaglobulinemia; BTK: Bruton’s tyrosine kinase.
Hyper IgE Syndrome (HIES)
• Ditandai dengan early onset eczematous dermatitis , abses berulang karena infeksi
staphylococcus, pneumonia berulang, candidiasis mukokutaneus, dan kelainan vaskuler
dan skeletal.
Pemeriksaan Lab:
• IgE >2000 IU/ml, eosinophilia. Th17 menurun
• CRP normal walaupun terdapat infeksi bacterial yang berat tanda spesifik
• IgG, IgA dan IgM, Limfosit T dan B juga NK sel normal
Ataxia-Telangiectasia
• Ataxia-telangiectasia (AT) ditandai dengan adanya ataxia serebellum, telangiektasis
kulit atau konjungtiva, dan infeksi yang berulang.
• Pasien ini khasnya didapatkan penurunan immunoglobulin, dan minimnya respons imun
selluler.
• Pemeriksaan flowsitometri menunjukkan peningkatan sel T γδ, dan ekspansi klonal sel T
yang tidak sempurna sehingga jumlah sel limfosit T CD4+/CD45RA+ rendah.
• Flowsitometri juga dapat mengkuantifikasi γ-H2AX pada T-cell line, lymphoblastoid cell
lines, dan peripheral blood mononuclear cells dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%
Defek Imun Seluler dan Kombinasi
• Defek yang mengakibatkan fungsi sel T terganggu dan sel limfosit B gagal memproduksi antibodi
akan mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi terutama infeksi yang dapat dikontrol dengan
antibodi.
• Sel limfosit T penting mengkontrol patogen intraselluler, virus, dan infeksi oportunistik.
• Jumlah limfosit absolut dapat dipertimbangkan sebagai skrining awal kelainan imun selluler.
• Jumlah limfosit absolut harus diinterpretasi berdasarkan umur., bayi baru lahir mempunyai jumlah
yang lebih besar dibandingkan orang dewasa.
• Jika didapati jumlah limfosit menurun, kemungkinan infeksi HIV harus dievaluasi. Pemeriksaan
Flowsitometri dapat menentukan sel T CD4, CD8, natural killer (NK), dan sel B yang secara khusus
dapat mendiagnosis severe combined immunodeficiency.
• Pemeriksaan lain yang tersedia untuk mengevaluasi kelainan fungsi sel T yaitu tes
delayed-type hypersensitivity (DTH). Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
menyuntikkan purified protein derivative (PPD) intradermal, kemudian dievaluasi
setelah 48-72 jam, apakah terdapat indurasi lebih dari 2 mm.
• Tes kemampuan sel limfosit T berproliferasi dengan Lymphocyte mitogen assays. Sel
limfosit distimulasi dengan mitogen beberapa hari, kemudian ditambahkan radiolabeled
thymidine, selanjutnya proliferasi DNA sel diukur.
• Mitogen yang umum dipakai: phytohemagglutinin (PHA), concanavalin (ConA), antibodi
anti-CD3, pokeweed (PWM), dan lipopolisakarida (LPS) Escherichia coli. PHA, ConA,
dan antibodi anti-CD3 menginduksi respons sel T, sedangkan LPS hanya menstimulasi
sel B, PWM dapat menstimulasi sel T dan sel B.
Severe Combined Immunodeficiency (SCID)
• Severe Combined Immunodeficiency (SCID) merupakan kombinasi defek imun yang
berat, yang muncul dengan kelemahan sel T dan sel B primer atau sekunder.
• Defek ini mengakibatkan sering terjadi infeksi yang berulang, diare kronik, gagal
tumbuh, dan berakibat kematian apabila tidak diterapi. Severe Combined
Immunodeficiency (SCID) terjadi 1 dari 50.000-10.000 kelahiran hidup.
• Konfirmasi adanya SCID membutuhkan analisis sekuensing gen, tetapi flowsitometri
membantu mendiagnosis SCID dengan bermacam abnormalitas gen yang memberikan
fenotip pada sel T, sel B, dan sel NK
Variasi Klinis Fenotip pada Severe Combined Immunodeficiency (SCID)(Locke, Dasu &
Verbsky 2014).
SCID severe combined immunodeficiency;
JAK3 Janus kinase 3; RAG recombination
activating genes; DCLRE1C DNA cross-link
repair 1C; LIG4 ligase 4, DNA, ATP-
dependent; DNA-PK DNA-dependent protein
kinase; PRKDC protein kinase, DNA-
activated, catalytic polypeptide; NHEJ1 non-
homologous end-joining 1; ADA adenosine
deaminase; PNP purine nucleoside
phosphorylase; AK2 adenylate kinase 2
Simpulan
• Menegakkan diagnosis Primary immunodeficiency disorder (PID) masih sulit karena
gangguan ini sangat heterogen.
• Dibutuhkan proses pengamatan yang teliti dan membutuhkan waktu, karena kecurigaan
adanya PID timbul karena penyakit yang berulang dan jarang terjadi pada kondisi umum.
• Pemeriksaan lab yang lebih lanjut sangat dibutuhkan, namun seringnya tidak tersedia
dan membutuhkan biaya yang tinggi.
• Pemeriksaan genetik dan flowsitometri sudah banyak mendeteksi kelainan ini, namun
perlu peralatan yang canggih dan keahlian khusus sehingga masih sangat terbatas yang
mampu melakukannya.