Diabetes Mellitus Tipe 2
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya
Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, sebagai berikut :
Tipe 1 Destruksi sel beta umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan
resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
Tipe lain Defisiensi genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan
dengan DM
Diabetes melitus
gestasional
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM yaitu poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan adanya keluhan
klasik
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL
Tatalaksana DM secara adekuat bertujuan untuk :
1. Menghilangkan keluhan dan tanda DM
2. Mempertahankan rasa nyaman dan mencapai target glukosa darah
(jangka pendek)
3. Mencegah serta menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati (jangka panjang)
Tatalaksana holistik DM adalah sebagai berikut :
1. Evaluasi medis terarah, meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
evaluasi laboratoris/penunjang lain (GDP dan GD 2PP, HbA1c, profil
lipid pada keadaan puasa, kreatinin serum, albuminuria, keton,
sedimen, dan protein urin, EKG, rontgen dada, serta rujukan.
2. Evaluasi medis berkala, meliputi pemeriksaan GDP, GD 2 PP, HbA1c
setiap 3-6 bulan, dan pemeriksaan fisik serta penunjang lainnya.
3. Pilar penatalaksanaan DM
Berikut adalah 4 pilar penatalaksanaan DM :
1. Edukasi.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Edukasi yang
diberikan antara lain pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat,
pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala
hipoglikemia beserta cara mengatasinya.
2. Terapi nutrisi medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir
sama dengan anjuran makanan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makanan dalam hal jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori
basal. Kebutuhan kalori ini besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,
ditambah, atau dikurangi tergantung dari beberapa faktor seperti jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
Karbohidrat : 45-64% total asupan energi (karbohidrat non-
olahan berserat tinggi dibagi dalam 3xmakan/hari)
Lemak : 20-25% kebutuhan kalori (batasi lemak jenuh dan
lemak trans, seperti daging berlemak dan whole milk, konsumsi
kolersterol <200 mg/hari)
Protein : 10-20% total asupan energi (seafood, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe)
Natrium : <3 g atau 1 sdt garam dapur, pada hipertensi
dibatas menjadi 2,4 g
Serat : ±25 g/hari (kacang-kacangan, buah dan syuran serta
karbohidrat tinggi serat)
Pemanis alternatif
3.Aktivitas fisik
Kegiatan jasmani yang dianjurkan adalah intensitas sedang (50-70% denyut
nadi maksimal) minimal 150 menit/minggu atau aerobik 75 menit/minggu.
Aktivitas dibagi dalam 3 hari per minggu dan tidak ada 2 hari berturut-turut
tanpa ada aktivitas fisik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien DM tipe 2
diedukasi untuk melakukan latihan resistensi sekurang-kurangnya 2
kali/minggu. Untuk penyandang DM dengan penyakit kardiovaskular, latihan
jasmani dimulai dengan intensitas rendah dan durasi singkat lalu secara
perlahan ditingkatkan. Aktivitas fisik sehari-hari juga dapat dilakukan,
misalnya berjalan kaki ke tempat kerja, menggunakan tangga.
4.Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diterapkan bersama-sama dengan pengaturan diet
dan latihan jasmani. Terapi farmakologis dapat berupa obat hipoglikemik
oral dan suntikan.
Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi
menjadi 5 golongan :
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta panreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
jangka panjang
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin : metformin dan tiazolidindion
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxysome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot
dan lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga gangguan
faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala
c. Penghambat glukoneogenesis(metformin)
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama digunakan pada penderita DM yang gemuk. Metformin dikontra
indikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5
mg/dl) dan gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya pada penyakit serebrovaskuler, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
d. Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping
yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai
penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-
amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional
dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat
DPP-4) atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-
1 agonis).
Suntikan untuk DM ada 2 jenis, yaitu
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis
laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM yang tidak
terkendali dengan perencanaan makanan, gangguan fungsi ginjal atau hati
yang berat, dan kontraindikasi dan/atau alergi terhadap OHO.
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni :
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin)
b. Agonis GLP-1/ incretin mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat berkerja sebagai
perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini atara lain rasa
sebah dan muntah.
Pemberian OHO dan insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar gula darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini.
Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination
dalam betuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok
yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat pula diberiksan kombiansi 3 OHO dari kelompok yang
berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien dengan alasan
klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi 3 OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar pukul 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan
diberikan terapi kombinasi insulin.
Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering yang
ditemukan pada diabetes melitus. Neuropati diabetik (ND) merupakan istilah
deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang
terjadi pada dieabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan
neuropati ini termasuk manifestasi somatik dan atau autonom dari sistem saraf perifer.
Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance gycosilation end
products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC).
Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah ND.
Patogenesis ND berdasarkan teori faktor metabolik adalah proses terjadinya ND
berawal hiperglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan
aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang
merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol
dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dalam sel saraf merusakl sel
saraf melalui mekanisme yang belum jelas, namun salah satu kemungkinanannya
adalah akumulasi sorbitol menyebabkan keadaan hipertonik intraselular, sehingga
menyebabkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakhibat terhambatnya
mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol
secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan merusak mitokondria dan
akan menstimulasi protein kinase C (PKC) yang akan menekan fungsi NaK-ATP-ase,
sehingga kadar Na intraselular menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya
mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal
pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH
saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif, karena NADPH
merupakan kofaktor untuk glutathion dan nitrit oxide synthase (NOS). Pengurangan
kofaktor tersebut membatasi kemampuan sel saraf untk mengurangi radikal bebas dan
penurunan produksi nitric oxide (NO). Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol,
hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation
end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh,
termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi
NO akan menurun dan mengakibatkan vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf
menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND.
Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulij dengan kendali
glikemik yang optimal. Tapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan
iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.
Patogenesis ND berdasarkan teori kelainan vaskular adalah penelitian membuktikan
bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular.
Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut
reactive oxygen species(ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular
dan menetralisir NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskuler.
Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana
basalis, trombosis pada arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan
berkurangnya deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran darah saraf dan
peningkatan resistensi vaskular, stasis aksonal, pembengkakakn dan demielinisasi
pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan
vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor kardiovaskular, yaitu kadar
trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok, dan hipertensi.
Patogenesis ND berdasarkan teori mekanisme imun adalah suatu penelitian
menunjukkan bahwa penyandang DM memiliki complement fixing antisciatic nerve
antibodies dan antineural antibodies. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung
dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan
imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan antibodi dan komplemen
pada berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan adanya kemungkinan peran
proses imun pada patogenesis ND.
Patogenesis ND berdasarkan teori peran nerve growth factor (NGF) adalah NGF
diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada
penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan
derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen substansi P dan calcitonin-
gen-regulated-peptide (CGRP). Peptida ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi,
motilitas intestinal, dan nosiseptif, yang seluruhnya mengalami gangguan pada ND.
ND merupakan kelainan yang heterogen, sehingga ditemukan ragam klasifikasi.
Secara umum ND bergantung pada dua hal, pertama, menurut perjalanan penyakitnya
(lama menderita DM), dan keduam menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi.
Menurut perjalanan penyakitnya, ND dibagi menjadi neuropati fungsional/subklinis,
neuropati struktural/klinis, dan kematian neuron/tingkat lanjut. Neuropati fungsional
yaitu gejala yang muncul sebagai akibat perubahan biokimiawi, yang pada fase ini
belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel. Neuropati struktural yaitu
gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf yang pada fase ini
masih ada komponen yang reversibel. Fase kematian neuron yaitu terjadi penurunan
kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron yang sudah ireversibel. Kerusakan
serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju proksimal, sedangkan proses
perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak
ditemukan, seperti polineuropati simetris distal.
Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi, ND dibagi menjadi neuropati difus dan
neuropati fokal. Klasifikasi ND berdasarkan anatomi serabut saraf perifer yang secara
umum dibagi atas 3 sistem, yaitu sistem motorik, sensorik dan otonom. Manifestasi
klinis ND bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis
serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal,
fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinis ND
menjadi bervariasi, mulai dari kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar,
seperti ditusuk, disobek, ditikam
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi menjadi 3
bagian. Strategi pertama adalah diagnosis ND sedini mungkin, diikuti strategi kedua
dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan strategi ketiga
ditujukan pada pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati diabetik setelah
strategi kedua dikerjakan.
Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat suatu terapi dapat
memperbaiki atau mencegah neuropati diabetik. Namun demikian, untuk mencegah
timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk neuropati, saat ini
sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya
komplikasi kronik diabetes, yaitu :
o Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan
sorbitol dan fruktosa.
o Penghambat ACE
o Neurotropin : nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor
o Alpha-lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal
hidroksil, superoksida, dan peroksil serta membentuk kembali glutation
o Penghambat protein kinase C
o Gangliosides, merupakan komponen utama membran sel
o Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekursor membran fosfolipid
o Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs
o Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologis
maupun non neurologik akibat penyakit autoimun
Untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk memahami
mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post sinaptik spinal cord dan
pengeluaran substansi P dari serabut saraf besar A yang berfungsi sebagai
neuromodulator nyeri. Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan
adalah :
o NSAID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x/hari)
o Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100
mg/hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/hari)
o Antikonvulsan (gabapentin 900 mg 3x/hari, karbamazepin 200 mg 4x/hari)
o Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)
o Topikal : capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1 mg 3x/hari, transcutaneous
electrical nerve stimulation
Gout Artritis/Artritis Pirai
Gout artritis kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat pada jaringan di
dalam cairan ekstraselular
Awitan serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum,
meninggi ataupun menurun. Pada kadar asam urat serum yang stabil, jarang mendapat
serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol yang menurunkan kadar asam urat
serum dapat mempresipitasi serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien
gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum. Penurunan urat serum
dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi
(crystal shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia
asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang
sebelumnya tidak pernah mendapatkan serangan akut. Terdapat peranan temperatur,
pH, dan kelaturan urat untuk timbulnya serangan gout akut. Menurunnya kelarutan
sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan,
dapat menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut.
Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsophalangel-1 (MTP-1)
berhubungan dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia ke
dalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam
cairan sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang
hari selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan
urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada
malam hari pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi
urat in vitro melalui pembentukan dari protonated solid phase. Walaupun kelarutan
sodium urat bertentangan dengan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini
meninggi, pada penurunan pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas
buffer pada sendi dengan gout, gagal untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi
pembentukan kristal MSU sendi. Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting
pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh
non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari
proses inflamasi adalah menetralisir dan menghancurkan agen penyebab, serta
mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas. Peradangan pada
artritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium
urat pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini
diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator
peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas komplemen (C)
dan selular.
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur
alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C1 tanpa peran
imunoglobulin. Pada kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui jalur
alternatif terjadi apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi C1q melalui jalur klasik
menyebabkan aktivasi kolikrein dan berlanjut mengaktifkan Hageman factor (faktor
XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi. Ikatan partikel dengan C3 aktif
(C3a) merupakan proses opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai peranan
penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang kemudian difagositosis dan
dihancurkan oleh neutrofil, monosit dan makrogfag. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta
pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan
pembentukan membrane attack complex (MAC). MAC merupakan komponen akhir
proses aktivasi komplemen yang berperan dalam ion channel yang bersifat sitotoksik
pada sel patogen maupun sel host. Hal ini membuktikan bahwa jalur aktivasi
“komplemen cascade”, kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui mediator
IL-1 dan TNF serta sel radang neutrofil dan makrofag
Pada artritis gout, berbagai sel dapat berperan dalam proses peradangan, antara lain
sel makrofag, neutrofil sel sinovial, dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium
merupakan sel utama dalam proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai
mediator kimiari antara lain IL-1, TNF, IL-6, dan Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor (GM-CSF). Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan
mengaktivasi berbagai sel radang. Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan
berbagai cara sehingga menimbulkan respon fungsional sel dan ekspresi gen. Respon
fungsional sel radang tersebut antara lain berupa degranulasi, aktivitas NADPH
oksidase ekpresi gen sel radang melalui jalur transduksi sinyal dan berakhir dengan
aktivasi faktor transkripsi yang menyebabkan gen berekspresi dengan mengeluarkan
berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain. Jalur transduksi sinyal melalui 2 cara
yaitu dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau dengan langsung
menyebabkan gangguan non spesifik pada membran sel. Ikatan dengan reseptor
(cross-link) pada sel membran akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan
sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan dengan imunoglobulin(Fc dan IgG) atau
dengan komplemen (C1q C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross link dengan
berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (integrin), non tyrosin kinase,
reseptor FC, komplemen dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan
second messenger akan mengaktifkan faktor transkripsi. Transkripsi gen sel radang
ini akan mengeluarkan berbagai mediator kimiari antara lain IL-1. Telah dibuktikan
neutrofil yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan mikrokristal
fosfolipase D yang penting dalam jalur transduksi sinyal. Pengeluaran berbagai
mediator akan menimbulkan reaksi radang lokal maupun sistemik dan menimbulkan
kerusakan jaringan
Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout, dan gout
menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat
deposisi yang progresif kristal urat.
Pada stadium artritis gout akut, radang sendi terjadi sangat akut dan timbul sangat
cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi
terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler
dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala
sistemik berupa demam, menggigil, dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada
MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat
terkena sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut, siku. Serangan akut ini
digambarkan oleh Sydenham sebagai : sembuh beberapa hari sampai beberapa
minggu, bila tidak diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan singkat dan
dapat mengenai beberapa sendi. Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan
dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Faktor pencetus serangan akut antara
lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi,
pemakaian obat diuretik atau penurunan dan peningkatan asam urat. Penurunan asam
urat darah secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat
menimbulkan kekambuhan.
Pada stadium interkritikal, terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara
klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan
kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun
tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali per tahun, atau dapat
sampat 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan
pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih sering
yang dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak
baik, maka keadaan interkritik akan belanjut menjadi stadium menahun dengan
pembentukan tofi.
Pada stadium artritis gout menahun, umumnya pasien yang mengobati sendiri (self
medication) sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter.
Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikuler.
Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, kadang dapat timbul infeksi
sekunder. Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya kurang
memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada cuping telinga, MTP-1 olekranon,
tendon Achilles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang disertai batu saluran kemih
sampai ginjal menahun
Penegakan diagnosis gout artritis didasarkan atas kriteria di bawah ini (American
College of Reumatology 1977) :
a) Ditemukan kristal monosodium urat pada cairan sendi, atau
b) Terdapat tofus berisi kristal monosodium urat yang dibuktikan melalui
pemeriksaan kimiawi atau mikroskopis cahaya terpolarisasi, atau
c) Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinis, laboratorium, maupun radiologi seperti
di bawah ini :
o Ditemukan lebih dari satu serangan artritis akut
o Inflamasi maksimal yang timbul dalam waktu 1 hari
o Serangan artritis monoartikular
o Kemerahan pada sendi
o Pembengkakan atau nyari yang timbul pada sendi metatarsofalangeal
pertama
o Serangan unilateral yang melibatkan sendi metatarsofalangeal pertama
o Serangan unilateral yang melibatkan sendi tarsal
o Massa yang dicurigai tofus
o Hiperurisemia
o Pembengkakan asimetris pada sendi yang dibuktikan melalui
pemeriksaan x-ray
o Kista subkortikal tanpa erosi yang terlihat melalui pemeriksaan x-ray
o Kultur negatif mikroorganisme dari cairan sendi saat terjadi inflamasi
sendi
Peningkatan kadar asam urat tanpa adanya manifestasi klinisi yang
khas, bukan kriteria diagnosis artritis gout. Kadar asam urat yang
normal juga tidak dapat menghindari diagnosis gout.
Secara umum penatalaksanaan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan
diet, istirahat sendi, dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak
terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada ginjal. Pengobatan
artritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan
dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat antiiflamasi non steroid (OAINS),
kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau
obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun pada pasien yang
telah rutin mendapat obat penurun asam urat, sebaiknya tatp diberikan. Pemberian
kolkisin dosis standar untuk artritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari
dengan dosis maksimal 6 mg. Dosis tergantung jenis OAINS yang dipakai. Di
samping efek antiinflamasi obat ini juga mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS
yang banyak dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah
150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu
berikutnya atau sampai nyeri/peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH
diberikan apabila kolkisin atau OAINS tidak efektif atau merupakan kontra indikasi.
Pemakaian kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau parenteral. Indikasi
pemberian adalah pada artritis hout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular).
Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan
kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar
asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat
alopurinol bersama obat urikosurik.