BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat ini ternyata dalam
menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan kemungkinan yang
bisa terjadi seakan-akan masyarakat Indonesia terlupa akan jati diri dan falsafah
negara Indonesia yang sebenarnya. Mereka hanya berpacu dengan waktu untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan penyesuaian terhadap apa yang masuk dari luar tanpa
adanya sikap untuk menyaring pengaruh yang sesuai dengan pancasila dan yang tidak
sesuai dengan pancasila. Penyerapan pengaruh utamanya dari luar dapat memberikan
pergeseran kehidupan masyarakat sehingga memungkinkan adanya rasa untuk jauh
dari kehidupan yang sesuai dengan pancasila. Selain dari hati, perlu kita ketahui
bahwa Pancasila bukan hanya sebagai filter namun lebih dari itu. Pancasila sebagai
falsafah dan Ideologi negara Indonesia. Dalam Pancasila kita dapat menemukan jati
diri bangsa menghadapi sekaligus menyesuaikan diri dengan era globalisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya ada kajian yang membahas
masalah ini guna adanya solusi yang tepat dalam menghadapi era globalisasi tanpa
melupakan Pancasila sebagai Falsafah dan Ideologi negara.
1.2 Perumusan Masalah
1. Pengertian Ideologi?
2. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Ideologi Dunia?
3. Pancasila dan Agama
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1. Untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara.
3. Untuk mengetahui asas-asas yang terkandung dalam Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ideologi
Kata “Ideologi” berasal dari bahasa Latin dari kata “idea” (daya cipta sebagai
hasil kesadaran manusia) dan “logos” (pengetahuan, ilmu faham). Istilah ini
diperkenalkan oleh filsuf Perancis A. Destut de Tracy (1801) yang mempelajari
berbagai gagasan (idea) manusia serta kadar kebenarannya. Pengertian ini kemudian
meluas sebagai keseluruhan pemikiran, cita rasa, serta segala upaya, terutama di
bidang politik. Ideologi juga diartikan sebagai falsafah hidup dan pandangan dunia
(dalam bahasa Jerman disebut Weltanschauung). Biasanya, ideologi selalu
mengutamakan asas-asas kehidupan politik dan kenegaraan sebagai satu kehidupan
nasional yang berarti kepemimpinan, kekuasaan, dan kelembagaan dengan tujuan
kesejahteraan1.
Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut : “The sum of
political ideas of doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi
ialah soal cita-cita politik atau dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau
sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan)2.
Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai
berikut : “A term used for any group of ideas concerning various politicaland
economic issues and social philosophies often appliedto a systematic schema of ideas
held by group classes” (suatu istilah yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita
mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi serta filsafat sosial yang
sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik tentang cita-cita yang
dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat). (Drs Ismaun, pancasila
sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri Anwari Ais,
Bunga Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37).“The term “isme” something used for
1 Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Rajawali Pers. Hal. 15
2 Ibid,.Hal 17
these system of thought” (istilah isme/aliran kadang-kadang dipakai untuk sistem
pemikiran ini.
Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu
pengetahuan sosial, dan tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political
sciences) sebagai anak cabangnya. Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita
menjamin disiplin ilmu politik3.
Selanjutnya menurut Setiady (2004) di dalam ilmu politik, pengertian ideologi
dikenal dua pengertian:
1. Pengertian ideologi secara fungsional:
Ideologi diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau
tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Secara tipologi
dapat dibagi dua :
a. Ideologi bertipe doktriner:
Suatu ideologi digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang
terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci
dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga masyarakat, dan
pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat
pemerintah, komunisme merupakan salah satu contohnya.
b. Ideologi bertipe pragmatis:
Suatu ideologi digolongkan pada tipe pragmatis, ketika ajaran – ajaran
yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara
sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsup-
prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan,
tetapi disosisalisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga,
sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik.
Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideologi
pragmatis.
2. Pengertian ideologi secara struktural :
3 Setiady Elly M. 2004 . Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta.PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 20
Ideologi diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan
formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh
penguasa.
2.2 Pancasila dan Ideologi Dunia
A. Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk
mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar atau Ajaran, yaitu :
1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup atau dilarang membunuh.
2. Jangan mengambil barang orang lain atau dilarang mencuri
3. Jangan berhubungan badan atau dilarang berzinah
4. Jangan berkata palsu atau dilarang berbohong atau berdusta.
5. Jangan minum yang menghilangkan pikiran atau dilarang minuman keras.
Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5 M = Madat atau Mabok, Maling atau
Nyuri, Madonatau Awewe, Maen atau Judi, dan Mateni atau Bunuh4.
B. Pengertian Pancasila Secara Etimologis
Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu
dalam Kitab Tripitaka dimana dalam ajaran Buddha tersebut terdapat suatu ajaran
moral untuk mencapai nirwana/surga melalui Pancasila yang isinya 5 J5.
C. Pengertian Pancasila Secara Historis
1. Pada tanggal 01 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai
rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara.
2. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan,
kemudian keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945
termasuk Pembukaannya dimana didalamnya terdapat rumusan 5 Prinsip
sebagai Dasar Negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah
4 Setiady Elly M. 2004. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 305 Ibid., Hal 31
Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi walaupun pada
Alinea 4 Pembukaan UUD 45 tidak termuat istilah Pancasila namun yang
dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah Pancasila hal ini
didasarkan interprestasi (penjabaran) historis terutama dalam rangka
pembentukan Rumusan Dasar Negara6.
D. Pengertian Pancasila Secara Terminologis
Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara RI untuk melengkapai
alat-alat Perlengkapan Negara PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus
1945 dan berhasil mengesahkan UUD 45 dimana di dalam bagian Pembukaan
yang terdiri dari 4 Alinea di dalamnya tercantum rumusan Pancasila. Rumusan
Pancasila tersebut secara Konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara RI
yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia
Pancasila berbentuk7:
1. Hirarkis (berjenjang);
2. Piramid.
Pancasila menurut Mr. Moh Yamin adalah yang disampaikan di dalam sidang
BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 isinya sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri Ketuhanan;
4. Peri Kerakyatan;
5. Kesejahteraan Rakyat
Pancasila menurut Ir. Soekarno yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, sebagai berikut :
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan;
3. Mufakat atau Demokrasi;
6 Setiady Elly M, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 307 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 20
4. Kesejahteraan Sosial;
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan;
Kelima prinsip dasar negara tersebut kemudian diperas oleh Soekarno menjadi
Trisila (tiga dasar), yaitu :
1. Sosionalisme (kebangsaan);
2. Sosiodemokrasi (mufakat);
3. Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila
atau Satusila yang intinya adalah Gotong Royong.
Pancasila menurut Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945
rumusannya sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan
perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia8;
Kesimpulan dari bermacam-macam pengertian Pancasila tersebut yang sah
dan benar secara Konstitusional adalah Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, hal ini diperkuat dengan adanya ketetapan MPRS NO.XXI/MPRS/1966
dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan,
penulisan dan Rumusan Pancasila Dasar Negara RI yang sah dan benar adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 19459.
8 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 239 Ibid., Hal 25
2.3 Pancasila Sebagai Ideologi
Ideologi merupakan suatu sistem nilai yang merupakan kebulatan ajaran yang
memberikan motivasi. Dalam Ideologi terkandung konsep dasar tentang kehidupan
yang dicita-citakan oleh bangsa. Keampuhan ideologi tergantung pada rangkaian nilai
yang dikandungnya yang dapat memenuhi serta menjamin segala aspirasi hidup dan
kehidupan manusia. Suatu ideologi bersumber dari suatu aliran pikiran atau falsafah
dan merupakan pelaksanaan dari sistem falsafah itu sendiri10.
Ideologi Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-
nilai dasar budaya bangsa Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan
utuh sehingga pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang
terkandung didalamnya11.
Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa
Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan serta gangguan yang dari luar atau dalam, langsung atau tidak langsung
dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara
Indonesia12.
Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi mental bangsa yang berlandaskan
keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
serta pengamalannya yang konsisten dan berlanjut.
Untuk memperkuat ketahanan ideologi perlu langkah pembinaan sebagai
berikut :
a) Pengamalan Pancasila secara obyektif dan subyektif.
b) Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu direlevansikan dan diaktualisasikan
agar mampu membimbing dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara.
10 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 3611 Ibid., Hal 3612 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. Loc.cit
c) Bhineka Tunggal Ika dan Wasantara terus dikembangkan dan ditanamkan
dalam masyarakat yang majemuk sebagai upaya untuk menjaga persatuan
bangsa dan kesatuan wilayah.
d) Contoh para pemimpin penyelenggara negara dan pemimpin tokoh
masyarakat merupakan hal yang sangat mendasar.
e) Pembangunan seimbang antara fisik material dan mental spiritual untuk
menghindari tumbuhnya materialisme dan sekularisme13.
Menurut Wahana (1993), dengan mendasarkan pada ketetapan MPR tersebut,
secara jelas dinyatakan bahwa kedudukan Pancasila dalam kehidupan bernegara
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Dasar Negara Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
Adapun makna pancasila sebagai dasar negara, yaitu sebagai berikut :
a) Sebagai dasar me-negara atau pedoman untuk menata negara merdeka
Indonesia. Artinya me-negara adalah menunjuk sifat aktif dari pada sekedar
bernegara.
b) Sebagai dasar untuk ulah atau aktivitas negara. Diartikan bahwa aktivitas dan
pembangunan yang dilaksanakan dengan negara berdasarkan peraturan
perundangan yang merupakan penjabaran dan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sebagai ideologi nasional dari negara kesatuan Republik Indonesia
Ideologi nasional mengandung makna ideologi yang memuat cita-cita
dan tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Ideologi Pancasila memenuhi syarat sebagai ideologi terbuka, karena
mempunyai cita-cita sebagai berikut
a. Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak berasal dari luar, melainkan
digali dan diambil dari moral dan budaya masyarakat itu sendiri.
13 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 38
b. Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil
musyawarah dan konsensus masyarakat
c. Bahwa ideologi itu tidak diciptakan oleh negara, melainkan digali dan
ditemukan dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat memiliki ideologi
pancasila
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun
bersifat reformatif, dinamis, dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi
Pancasila mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan,
dan teknologi, serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan
ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di
dalamnya, namum mengeksplisitkan wawasan secara lebih konkrit sehingga memiliki
kemampuan reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa
berkembang seiring dengan aspirasi rakyat14.
Menurut Suwarno (1993), pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung
nilai-nilai sebagai berikut :
1. Nilai Dasar
Yaitu esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal. Dalam nilai dasar,
terkandung cita-cita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar
tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena, Pembukaan memuat nilai-
Nilai Dasar Ideologi Pancasila, maka Pembukaan UUD 1945 merupakan norma
dasar yang menjadi tertib hukum tertinggi.
2. Nilai Instrumental
Yaitu eksplitasi penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi
Pancasila. Misalnya, dalam UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara
yang lima tahun senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman, aspirasi
masyarakat, undang-undang departemen-departemen sebagai lembaga pelaksana
dan sebagai pada aspek ini senantiasa dapat dilakukan perubahan (reformatif).
14 Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Hal. 50
3. Nilai Praktis
Yaitu nilai-nilai instrumental sebagai realisasi dengan pengalaman yang
bersifat nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti , bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dalam realisasi nilai praktis, penjabaran nilai-nilai Pancasila
senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan
(reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta aspirasi masyarakat15.
2.4 Ideologi Dunia
1. Liberalisme (Individualisme)
Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak
semua orang (individu) dalam masyarakat (kontraksosial). Liberalisme bertitik
tolak dari hak asasi yang melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun termasuk penguasa terkecuali atas persetujuan dari
yang bersangkutan. Paham liberalisme mempunyai nilai-nilai dasar (intrinsik)
yaitu kebebasan kepentingan pribadi yang menuntut kebebasan individu secara
mutlak. Tokoh: Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, Herbert Spencer,
Harold J. Laski16.
2. Komunisme (ClassTheory)
Negara adalah susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain.
Golongan borjuis menindas golongan proletar (buruh), oleh karena itu kaum
buruh dianjurkan mengadakan revolusi politik untuk merebut kekuasaan negara
dari kaum kapitalis dan borjuis, dalam upaya merebut kekuasaan atau
mempertahankannya, komunisme akan :
a) Menciptakan situasi konflik untuk mengadu golongan-golongan tertentu
serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
b) Atheis, agama adalah racun bagi kehidupan masyarakat.
c) Mengkomuniskan dunia, masyarakat tanpa nasionalisme.
15 Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Hal. 4216 Ibid., Hal. 45
d) Menginginkan masyarakat tanpa kelas, hidup aman, tanpa pertentangan,
perombakan masyarakat dengan revolusi17.
3. Paham Agama
Negara membina kehidupan keagamaan umat dan bersifat spiritual
religius. Bersumber pada falsafah keagamaan dalam kitab suci agama. Negara
melaksanakan hukum agama dalam kehidupan dunia18.
2.5 Pancasila dan Agama
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Oleh karena itu sifat dasar negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat
manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai
tujuan bersama. Oleh karena itu negara memiliki sebab akibat langsung dengan
manusia karena manusia adalah sebagai pendiri negara untuk mencapai tujuan
manusia itu sendiri (Subandi, 2003).
Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup
bersama,berkedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa. Sebagai makhluk pribadi ia dikaruniai kebebasan atas segala sesuatu
kehendak kemanusiaannya. Sehingga hal inilah yang merupakan suatu kebebasan
asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa. Sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi harkat
kemanusiaannya yaitu menyembah Tuhan yang Maha Esa. Manifestasi hubungan
manusia dengan Tuhannya adalah terwujud dalam agama. Negara adalah merupakan
produk manusia sehingga merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah
bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan
manusia memiliki hak-hak dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan dan
ketakwaanya terhadap Tuhannya, sedangkan dalam negara manusia memilik hak-hak
17 Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Hal. 4218 Ibid, Hal. 45
dan kewajiban secara horizontal dalam hubungannya dengan manusia lain (Subandi,
2003).
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah
dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus
menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua
sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu
sama lain karena keduanya saling membutuhkan.
2.6 Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Istilah Sekularisme
Sebelum ”membaca” sejauh mana pentingnya membangun agama
yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan
pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip sekularisme. Sekularisme sendiri
berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”,
namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah
timbulnya makna sekularisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos”
yaitu berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan
dengan masyarakat umum untuk dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh
agama). Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja
yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.
Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di
Prancis dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi)
agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran
agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di gereja-gereja.
Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh negara
yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu alam dan humaniora.
Dari pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil
kesimpulan bahwa ”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen)
bukanlah lawan dari pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya ia
menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral.”
Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika
nilai-nilai agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat.
Hal itu dikarenakan kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan
keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan
individu sebagai subjek yang mengelola negara. Dari hal ini dapat dilihat
bahwa agama adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.
2. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPKI
Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya
tidak saja berasal ketika rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI), tetapi sudah berlangsung jauh hari di antara para
pendiri bangsa. Namun tulisan ini hanya membahas mengenai perbedaan cara
pandang tersebut dalam rapat BPUPKI. Hal itu dikarenakan dalam sidang-
sidang BPUPKI tersebut telah ditemukan kesepakatan mengenai bagaimana
relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an
Indonesia.
Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPKI
membahas mengenai hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah
menguraikan mengenai dasar-dasar negara maka konsekuensinya perlu
dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari pada teori integralistiknya.
Menurut Soepomo soal-soal itu adalah :
1) perhubungan negara dan agama;
2) cara bentukan pemerintahan;
3) perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.
Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding
fathers and mothers) dan framers of constitution itu bukanlah berkaitan
dengan relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk
negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal itu
dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;
”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan
dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia
hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini
terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama,
yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan
anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah
negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan
Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”
Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara.
Karena itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang
beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam
menjalankan negara. Soepomo menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai
berikut;
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan
bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-
cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara
Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga
oleh agama Islam.
Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala
negara Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari
perkataan Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat
tidak akan selalu ”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.
Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan
tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa,
maka sangat tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai
agama dalam penyelenggaraan negara.
3. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945 serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama
dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan
kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan
di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang
Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan
persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan
terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah
“Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945,
tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara
persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-
tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan
persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama
yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan
bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa
prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara
bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam
melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara
oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga
berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai
satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini
dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa : Pancasila adalah
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang
berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan)
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan
sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini
berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang
Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu
mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan
kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus
dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan
menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena
itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29
ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya
menjamin kemerdekaan untuk beragama.
Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama
(atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak
membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal,
melainkan juga didakwahkan kepada orang lain
4. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara
Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap
manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik
yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau
berdimensi ibadah.
Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan
yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan,
pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam
sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama
seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga
kesinambungan alam itu sendiri.
Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan
kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil,
pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan
penyalahgunaan kekuasaan, seperti : pelanggaran hak asasi manusia, tindak
pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif
lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru
bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.
5. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa
yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We?The
Challenges to America’s National Identity (New York: Simon & Schuster, 2004)
bahwa: Betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik,
diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi,
tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di
dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih bertahan hari ini, punya
kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian yang dalam,
yaitu Etika Protestan.
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan
“kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti
Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke
dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True
Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa hubungan
negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan
legislasi.
Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar
kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau
tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara
juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga
agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti
prinsip mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin), untuk
terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus
dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling
memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam”
sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar
checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini,
kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak
represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai
ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh
penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara
di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai
sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan
diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis
yang dijamin dan dilindungi negara.
6. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam
beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29
ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:
a) Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk
agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk
agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai
dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama,
karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada
warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.
b) Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang
berlaku pada agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam
harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu
pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu,
dan lain sebagainya.
c) Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama
pemeluknya harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat memperteguh
persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan
sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.
7. Indonesia Merupakan Negara Agamis
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita
tidak cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan
”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Sebab
pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan
negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk
memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu :
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang
mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan
Indonesia.
2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah
menurut agamanya.
3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan
peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
4. Pasal 28 ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
yang demokratis.
5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui
pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit
mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan
Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang
secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU
Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain
sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang
menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa
Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang
Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran
agamanya masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan
semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus
keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama,
sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama,
negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia)
merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan
agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang
juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab
Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara
Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama
formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat
mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara
sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara agamis justru sebaliknya,
menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
8. Hubungan Islam dengan Pancasila dan Negara
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab
—kitab Nya, rasul-rasul Nya, Hari Akhir dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini
merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan
hukum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah
memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala
aspek kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya
negara. Firman Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam ssecara
keseluruhan” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).
“Apakah kamu akan beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar kepada
sebagian yang lainnya. Maka tidak adabalasan bagi yang mengerjakan itu di
antara kamu, melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari
Kiamat mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat pedih” (Qs. al-
Baqarah [2]: 85).
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus
diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah
Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara
sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan
negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan
agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang
positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat
diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat
yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama.
Agama tak dapat dipisahkan dari negara.
Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud
dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para
ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah
sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang,
atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah
perikehidupan manusia.
Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin
dipisahkan. Juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah
mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk
menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan
sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya
Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17 mendefinisikan Khilafah sebagai
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru
dunia.
Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) --
rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan
bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan
meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari
yang menindasnya.
BAB III
P E N U T U P
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
yaitu sebagai berikut :
1. Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam kehidupan bernegara Indonesia
adalah :
a. Sebagai Dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Sebagai ideologi Nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
a. Nilai dasar
b. Nilai instrumental
c. Nilai praktis
3. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila bisa menyelesaikan berbagai persoalan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun demikian, faktor manusia baik
penguasa maupun rakyat, sangat menentukan dalam mengukur kemampuan
sebuah ideologi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun
sebuah ideologi, tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik,
hanyalah angan-angan belaka.
4. Sebagai warga Negara yang baik sudah sewajarnya kita mengetahui apa
ideologi kita sebagai bangsa Indonesia oleh karena itu kita harus benar-benar
yakin dan percaya kepada Pancasila sebagai ideologi karena Pancasila tidak
membawa bangsa kita kedalam kehancuran namun masih mampu bertahan
mengahadapi kemajuan jaman.
3.2 Saran
1. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya,
diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat
yang ada di dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam
melaksanakan kegiatan beribadah.
2. Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan
agama, diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus
mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia
yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Rajawali Pers.
A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2003. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group.
Setiady Elly M, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 20
Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius
Top Related