Pancasila Sbg Ideologi Negara

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat ini ternyata dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan kemungkinan yang bisa terjadi seakan-akan masyarakat Indonesia terlupa akan jati diri dan falsafah negara Indonesia yang sebenarnya. Mereka hanya berpacu dengan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penyesuaian terhadap apa yang masuk dari luar tanpa adanya sikap untuk menyaring pengaruh yang sesuai dengan pancasila dan yang tidak sesuai dengan pancasila. Penyerapan pengaruh utamanya dari luar dapat memberikan pergeseran kehidupan masyarakat sehingga memungkinkan adanya rasa untuk jauh dari kehidupan yang sesuai dengan pancasila. Selain dari hati, perlu kita ketahui bahwa Pancasila bukan hanya sebagai filter namun lebih dari itu. Pancasila sebagai falsafah dan Ideologi negara Indonesia. Dalam Pancasila kita dapat menemukan jati diri bangsa menghadapi sekaligus menyesuaikan diri dengan era globalisasi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya ada kajian yang membahas masalah ini guna adanya solusi yang

description

tugas pancasila dan kewarganegaraan

Transcript of Pancasila Sbg Ideologi Negara

Page 1: Pancasila Sbg Ideologi Negara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat ini ternyata dalam

menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan kemungkinan yang

bisa terjadi seakan-akan masyarakat Indonesia terlupa akan jati diri dan falsafah

negara Indonesia yang sebenarnya. Mereka hanya berpacu dengan waktu untuk

memenuhi kebutuhan hidup dan penyesuaian terhadap apa yang masuk dari luar tanpa

adanya sikap untuk menyaring pengaruh yang sesuai dengan pancasila dan yang tidak

sesuai dengan pancasila. Penyerapan pengaruh utamanya dari luar dapat memberikan

pergeseran kehidupan masyarakat sehingga memungkinkan adanya rasa untuk jauh

dari kehidupan yang sesuai dengan pancasila. Selain dari hati, perlu kita ketahui

bahwa Pancasila bukan hanya sebagai filter namun lebih dari itu. Pancasila sebagai

falsafah dan Ideologi negara Indonesia. Dalam Pancasila kita dapat menemukan jati

diri bangsa menghadapi sekaligus menyesuaikan diri dengan era globalisasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya ada kajian yang membahas

masalah ini guna adanya solusi yang tepat dalam menghadapi era globalisasi tanpa

melupakan Pancasila sebagai Falsafah dan Ideologi negara.

1.2 Perumusan Masalah

1. Pengertian Ideologi?

2. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Ideologi Dunia?

3. Pancasila dan Agama

1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :

1.    Untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.

2.    Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara.

3.    Untuk mengetahui asas-asas yang terkandung dalam Pancasila.

Page 2: Pancasila Sbg Ideologi Negara

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ideologi

Kata “Ideologi” berasal dari bahasa Latin dari kata “idea” (daya cipta sebagai

hasil kesadaran manusia) dan “logos” (pengetahuan, ilmu faham). Istilah ini

diperkenalkan oleh filsuf Perancis A. Destut de Tracy (1801) yang mempelajari

berbagai gagasan (idea) manusia serta kadar kebenarannya. Pengertian ini kemudian

meluas sebagai keseluruhan pemikiran, cita rasa, serta segala upaya, terutama di

bidang politik. Ideologi juga diartikan sebagai falsafah hidup dan pandangan dunia

(dalam bahasa Jerman disebut Weltanschauung). Biasanya, ideologi selalu

mengutamakan asas-asas kehidupan politik dan kenegaraan sebagai satu kehidupan

nasional yang berarti kepemimpinan, kekuasaan, dan kelembagaan dengan tujuan

kesejahteraan1.

Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut : “The sum of

political ideas of doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi

ialah soal cita-cita politik atau dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau

sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan)2.

Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai

berikut : “A term used for any group of ideas concerning various politicaland

economic issues and social philosophies often appliedto a systematic schema of ideas

held by group classes” (suatu istilah yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita

mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi serta filsafat sosial yang

sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik tentang cita-cita yang

dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat). (Drs Ismaun, pancasila

sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri Anwari Ais,

Bunga Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37).“The term “isme” something used for

1 Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Rajawali Pers. Hal. 15

2 Ibid,.Hal 17

Page 3: Pancasila Sbg Ideologi Negara

these system of thought” (istilah isme/aliran kadang-kadang dipakai untuk sistem

pemikiran ini.

Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu

pengetahuan sosial, dan tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political

sciences) sebagai anak cabangnya. Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita

menjamin disiplin ilmu politik3.

Selanjutnya menurut Setiady (2004) di dalam ilmu politik, pengertian ideologi

dikenal dua pengertian:

1. Pengertian ideologi secara fungsional:

Ideologi diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau

tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Secara tipologi

dapat dibagi dua :

a. Ideologi bertipe doktriner:

Suatu ideologi digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang

terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci

dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga masyarakat, dan

pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat

pemerintah, komunisme merupakan salah satu contohnya.

b. Ideologi bertipe pragmatis:

Suatu ideologi digolongkan pada tipe pragmatis, ketika ajaran – ajaran

yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara

sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsup-

prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan,

tetapi disosisalisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga,

sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik.

Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideologi

pragmatis.

2. Pengertian ideologi secara struktural :

3 Setiady Elly M. 2004 . Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta.PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 20

Page 4: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Ideologi diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan

formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh

penguasa.

2.2 Pancasila dan Ideologi Dunia

A. Pengertian Pancasila

Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk

mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar atau Ajaran, yaitu :

1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup atau dilarang membunuh.

2. Jangan mengambil barang orang lain atau dilarang mencuri

3. Jangan berhubungan badan atau dilarang berzinah

4. Jangan berkata palsu atau dilarang berbohong atau berdusta.

5. Jangan minum yang menghilangkan pikiran atau dilarang minuman keras.

Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5 M = Madat atau Mabok, Maling atau

Nyuri, Madonatau Awewe, Maen atau Judi, dan Mateni atau Bunuh4.

B. Pengertian Pancasila Secara Etimologis

Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu

dalam Kitab Tripitaka dimana dalam ajaran Buddha tersebut terdapat suatu ajaran

moral untuk mencapai nirwana/surga melalui Pancasila yang isinya 5 J5.

C. Pengertian Pancasila Secara Historis

1. Pada tanggal 01 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai

rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara.

2. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan,

kemudian keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945

termasuk Pembukaannya dimana didalamnya terdapat rumusan 5 Prinsip

sebagai Dasar Negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah

4 Setiady Elly M. 2004. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 305 Ibid., Hal 31

Page 5: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi walaupun pada

Alinea 4 Pembukaan UUD 45 tidak termuat istilah Pancasila namun yang

dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah Pancasila hal ini

didasarkan interprestasi (penjabaran) historis terutama dalam rangka

pembentukan Rumusan Dasar Negara6.

D. Pengertian Pancasila Secara Terminologis

Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara RI untuk melengkapai

alat-alat Perlengkapan Negara PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus

1945 dan berhasil mengesahkan UUD 45 dimana di dalam bagian Pembukaan

yang terdiri dari 4 Alinea di dalamnya tercantum rumusan Pancasila. Rumusan

Pancasila tersebut secara Konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara RI

yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia

Pancasila berbentuk7:

1.   Hirarkis (berjenjang);

2.   Piramid.

Pancasila menurut Mr. Moh Yamin adalah yang disampaikan di dalam sidang

BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 isinya sebagai berikut :

1.   Peri Kebangsaan;

2.   Peri Kemanusiaan;

3.   Peri Ketuhanan;

4.   Peri Kerakyatan;

5.   Kesejahteraan Rakyat

Pancasila menurut Ir. Soekarno yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 di

depan sidang BPUPKI, sebagai berikut :

1.   Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia;

2.   Internasionalisme atau Perikemanusiaan;

3.   Mufakat atau Demokrasi;

6 Setiady Elly M, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 307 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 20

Page 6: Pancasila Sbg Ideologi Negara

4.   Kesejahteraan Sosial;

5.   Ketuhanan yang Berkebudayaan;

Kelima prinsip dasar negara tersebut kemudian diperas oleh Soekarno menjadi

Trisila (tiga dasar), yaitu :

1.    Sosionalisme (kebangsaan);

2.    Sosiodemokrasi (mufakat);

3.    Ketuhanan YME.

Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila

atau Satusila yang intinya adalah Gotong Royong.

Pancasila menurut Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945

rumusannya sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan

perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia8;

Kesimpulan dari bermacam-macam pengertian Pancasila tersebut yang sah

dan benar secara Konstitusional adalah Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan

UUD 1945, hal ini diperkuat dengan adanya ketetapan MPRS NO.XXI/MPRS/1966

dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan,

penulisan dan Rumusan Pancasila Dasar Negara RI yang sah dan benar adalah

sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 19459.

8 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 239 Ibid., Hal 25

Page 7: Pancasila Sbg Ideologi Negara

2.3 Pancasila Sebagai Ideologi

Ideologi merupakan suatu sistem nilai yang merupakan kebulatan ajaran yang

memberikan motivasi. Dalam Ideologi terkandung konsep dasar tentang kehidupan

yang dicita-citakan oleh bangsa. Keampuhan ideologi tergantung pada rangkaian nilai

yang dikandungnya yang dapat memenuhi serta menjamin segala aspirasi hidup dan

kehidupan manusia. Suatu ideologi bersumber dari suatu aliran pikiran atau falsafah

dan merupakan pelaksanaan dari sistem falsafah itu sendiri10.

Ideologi Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-

nilai dasar budaya bangsa Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan

utuh sehingga pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang

terkandung didalamnya11.

Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa

Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan

kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,

hambatan serta gangguan yang dari luar atau dalam, langsung atau tidak langsung

dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara

Indonesia12.

Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi mental bangsa yang berlandaskan

keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara

serta pengamalannya yang konsisten dan berlanjut.

Untuk memperkuat ketahanan ideologi perlu langkah pembinaan sebagai

berikut :

a) Pengamalan Pancasila secara obyektif dan subyektif.

b) Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu direlevansikan dan diaktualisasikan

agar mampu membimbing dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa,

dan negara.

10 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 3611 Ibid., Hal 3612 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. Loc.cit

Page 8: Pancasila Sbg Ideologi Negara

c) Bhineka Tunggal Ika dan Wasantara terus dikembangkan dan ditanamkan

dalam masyarakat yang majemuk sebagai upaya untuk menjaga persatuan

bangsa dan kesatuan wilayah.

d) Contoh para pemimpin penyelenggara negara dan pemimpin tokoh

masyarakat merupakan hal yang sangat mendasar.

e) Pembangunan seimbang antara fisik material dan mental spiritual untuk

menghindari tumbuhnya materialisme dan sekularisme13.

Menurut Wahana (1993), dengan mendasarkan pada ketetapan MPR tersebut,

secara jelas dinyatakan bahwa kedudukan Pancasila dalam kehidupan bernegara

Indonesia adalah sebagai berikut :

1.    Sebagai Dasar Negara Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

Adapun makna pancasila sebagai dasar negara, yaitu sebagai berikut :

a) Sebagai dasar me-negara atau pedoman untuk menata negara merdeka

Indonesia. Artinya me-negara adalah menunjuk sifat aktif dari pada sekedar

bernegara.

b) Sebagai dasar untuk ulah atau aktivitas negara. Diartikan bahwa aktivitas dan

pembangunan yang dilaksanakan dengan negara berdasarkan peraturan

perundangan yang merupakan penjabaran dan sesuai dengan prinsip-prinsip

yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2.    Sebagai ideologi nasional dari negara kesatuan Republik Indonesia

Ideologi nasional mengandung makna ideologi yang memuat cita-cita

dan tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3.     Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Ideologi Pancasila memenuhi syarat sebagai ideologi terbuka, karena

mempunyai cita-cita sebagai berikut

a.    Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak berasal dari luar, melainkan

digali dan diambil dari moral dan budaya masyarakat itu sendiri.

13 Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 38

Page 9: Pancasila Sbg Ideologi Negara

b.   Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil

musyawarah dan konsensus masyarakat

c.    Bahwa ideologi itu tidak diciptakan oleh negara, melainkan digali dan

ditemukan dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat memiliki ideologi

pancasila

Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun

bersifat reformatif, dinamis, dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi

Pancasila mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan,

dan teknologi, serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan

ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di

dalamnya, namum mengeksplisitkan wawasan secara lebih konkrit sehingga memiliki

kemampuan reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa

berkembang seiring dengan aspirasi rakyat14.

Menurut Suwarno (1993), pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung

nilai-nilai sebagai berikut :

1. Nilai Dasar

Yaitu esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal. Dalam nilai dasar,

terkandung cita-cita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar

tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena, Pembukaan memuat nilai-

Nilai Dasar Ideologi Pancasila, maka Pembukaan UUD 1945 merupakan norma

dasar yang menjadi tertib hukum tertinggi.

2. Nilai Instrumental

Yaitu eksplitasi penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi

Pancasila. Misalnya, dalam UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara

yang lima tahun senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman, aspirasi

masyarakat, undang-undang departemen-departemen sebagai lembaga pelaksana

dan sebagai pada aspek ini senantiasa dapat dilakukan perubahan (reformatif).

14 Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Hal. 50

Page 10: Pancasila Sbg Ideologi Negara

3. Nilai Praktis

Yaitu nilai-nilai instrumental sebagai realisasi dengan pengalaman yang

bersifat nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti , bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Dalam realisasi nilai praktis, penjabaran nilai-nilai Pancasila

senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan

(reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,

serta aspirasi masyarakat15.

2.4 Ideologi Dunia

1. Liberalisme (Individualisme)

Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak

semua orang (individu) dalam masyarakat (kontraksosial). Liberalisme bertitik

tolak dari hak asasi yang melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat

diganggu gugat oleh siapapun termasuk penguasa terkecuali atas persetujuan dari

yang bersangkutan. Paham liberalisme mempunyai nilai-nilai dasar (intrinsik)

yaitu kebebasan kepentingan pribadi yang menuntut kebebasan individu secara

mutlak. Tokoh: Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, Herbert Spencer,

Harold J. Laski16.

2. Komunisme (ClassTheory)

Negara adalah susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain.

Golongan borjuis menindas golongan proletar (buruh), oleh karena itu kaum

buruh dianjurkan mengadakan revolusi politik untuk merebut kekuasaan negara

dari kaum kapitalis dan borjuis, dalam upaya merebut kekuasaan atau

mempertahankannya, komunisme akan :

a) Menciptakan situasi konflik untuk mengadu golongan-golongan  tertentu

serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

b) Atheis, agama adalah racun bagi kehidupan masyarakat.

c) Mengkomuniskan dunia, masyarakat tanpa nasionalisme.

15 Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Hal. 4216 Ibid., Hal. 45

Page 11: Pancasila Sbg Ideologi Negara

d) Menginginkan masyarakat tanpa kelas, hidup aman, tanpa pertentangan,

perombakan masyarakat dengan revolusi17.

3. Paham Agama

Negara membina kehidupan keagamaan umat dan bersifat spiritual

religius. Bersumber pada falsafah keagamaan dalam kitab suci agama. Negara

melaksanakan hukum agama dalam kehidupan dunia18.

2.5 Pancasila dan Agama

Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama

sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk

sosial. Oleh karena itu sifat dasar negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat

manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai

tujuan bersama. Oleh karena itu negara memiliki sebab akibat langsung dengan

manusia karena manusia adalah sebagai pendiri negara untuk mencapai tujuan

manusia itu sendiri (Subandi, 2003).

Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup

bersama,berkedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan

yang Maha Esa. Sebagai makhluk pribadi ia dikaruniai kebebasan atas segala sesuatu

kehendak kemanusiaannya. Sehingga hal inilah yang merupakan suatu kebebasan

asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa. Sebagai makhluk Tuhan

yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi harkat

kemanusiaannya yaitu menyembah Tuhan yang Maha Esa. Manifestasi hubungan

manusia dengan Tuhannya adalah terwujud dalam agama. Negara adalah merupakan

produk manusia sehingga merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah

bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan

manusia memiliki hak-hak dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan dan

ketakwaanya terhadap Tuhannya, sedangkan dalam negara manusia memilik hak-hak

17 Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Hal. 4218 Ibid, Hal. 45

Page 12: Pancasila Sbg Ideologi Negara

dan kewajiban secara horizontal dalam hubungannya dengan manusia lain (Subandi,

2003).

Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah

dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus

menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua

sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu

sama lain karena keduanya saling membutuhkan.

2.6 Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

1. Istilah Sekularisme

Sebelum ”membaca” sejauh mana pentingnya membangun agama

yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan

pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip sekularisme. Sekularisme sendiri

berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”,

namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah

timbulnya makna sekularisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos”

yaitu berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan

dengan masyarakat umum untuk dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh

agama). Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja

yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.

Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di

Prancis dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi)

agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran

agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di gereja-gereja.

Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh negara

yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu alam dan humaniora.

Dari pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil

kesimpulan bahwa ”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen)

bukanlah lawan dari pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya ia

menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral.”

Page 13: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika

nilai-nilai agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat.

Hal itu dikarenakan kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan

keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan

individu sebagai subjek yang mengelola negara.  Dari hal ini dapat dilihat

bahwa agama adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.

2. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPKI

Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya

tidak saja berasal ketika rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan (BPUPKI), tetapi sudah berlangsung jauh hari di antara para

pendiri bangsa. Namun tulisan ini hanya membahas mengenai perbedaan cara

pandang tersebut dalam rapat BPUPKI. Hal itu dikarenakan dalam sidang-

sidang BPUPKI tersebut telah ditemukan kesepakatan mengenai bagaimana

relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an

Indonesia.

Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPKI

membahas mengenai hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah

menguraikan mengenai dasar-dasar negara maka konsekuensinya perlu

dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari pada teori integralistiknya.

Menurut Soepomo soal-soal itu adalah :

1)    perhubungan negara dan agama;

2)     cara bentukan pemerintahan;

3)     perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.

Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding

fathers and mothers) dan framers of constitution itu bukanlah berkaitan

dengan relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk

negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal itu

dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;

”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan

dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia

Page 14: Pancasila Sbg Ideologi Negara

hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini

terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama,

yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan

anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah

negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan

Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”

Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara.

Karena itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang

beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam

menjalankan negara. Soepomo menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai

berikut;

Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan

bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan

memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-

cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara

Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga

oleh agama Islam.

Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala

negara Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari

perkataan Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat

tidak akan selalu ”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.

Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan

tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa,

maka sangat tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai

agama dalam penyelenggaraan negara.

3. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 29 ayat (1)

UUD 1945 serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama

dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:

Page 15: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan

kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan

di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang

Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan

persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan

terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah

“Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945,

tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara

persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti,  tokoh-

tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan

persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama

yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.

Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan

bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa

prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara

bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.

Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam

melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara

oleh rakyat.

Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga

berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai

satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini

dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa : Pancasila adalah

(1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,

yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang

berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan

Page 16: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang

berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan)

yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan

beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-

Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang

berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan

sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan

beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini

berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan  Yang

Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu

mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan

kerakyatan.

Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus

dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan

menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena

itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan

untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran

Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29

ayat 2 UUD bahwa  “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya

menjamin kemerdekaan untuk beragama.

Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama

(atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak

membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal,

melainkan juga didakwahkan kepada orang lain

4. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara

Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap

manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai

pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik

Page 17: Pancasila Sbg Ideologi Negara

yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau

berdimensi ibadah.

Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan

yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan,

pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam

sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama

seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga

kesinambungan alam itu sendiri.

Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan

kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil,

pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan

penyalahgunaan kekuasaan, seperti : pelanggaran hak asasi manusia, tindak

pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif 

lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru

bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.

5. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara

Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa

yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We?The

Challenges to America’s National Identity (New York: Simon & Schuster, 2004)

bahwa:  Betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik,

diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi,

tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di

dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih bertahan hari ini, punya

kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian yang dalam,

yaitu Etika Protestan.  

Page 18: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan

“kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti

Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke

dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True

Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa hubungan

negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan

legislasi.

Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar

kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau

tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara

juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga

agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti

prinsip mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin), untuk

terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.

Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus

dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling

memberi. Dalam konteks ini,  agama memberikan “kerohanian yang dalam”

sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.

Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar

checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi).  Dalam konteks ini,

kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak

represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai

ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh

penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara

di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai

sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan

diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis

yang dijamin dan dilindungi negara.

Page 19: Pancasila Sbg Ideologi Negara

6. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila

Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam

beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang

bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29

ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan 

Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:

a) Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk

agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk

agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai

dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama,

karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada

warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.

b) Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang

berlaku pada agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam

harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu

pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu,

dan lain sebagainya.

c) Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama

pemeluknya harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan

Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat memperteguh

persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan

sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.

7. Indonesia Merupakan Negara Agamis

Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita

tidak cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan

”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Sebab

Page 20: Pancasila Sbg Ideologi Negara

pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara

berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan

negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk

memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.

Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah

negara agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan

Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu :

Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang

mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:

1.  Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat

Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan

Indonesia.

2.  Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah

menurut agamanya.

3.  Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan

peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.

4.  Pasal 28 ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada

pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-

nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

yang demokratis.

5.  Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa.”

6.  Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.

Page 21: Pancasila Sbg Ideologi Negara

7.  Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan

dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan

bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui

pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.

Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit

mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan

Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang

secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU

Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan  lain

sebagainya.

Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang

menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa

Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang

Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi

berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang

Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran

agamanya masing-masing.”

Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan

semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus

keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama,

sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama,

negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia)

merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Page 22: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan

agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang

juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab

Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara

Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama

formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat

mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.

Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara

sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara agamis justru sebaliknya,

menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan

berbangsa dan bernegara.

8. Hubungan Islam dengan Pancasila dan Negara

Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab

—kitab Nya, rasul-rasul Nya, Hari Akhir dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini

merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan

hukum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah

memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala

aspek kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya

negara. Firman Allah SWT :

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam ssecara

keseluruhan” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

“Apakah kamu akan beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar kepada

sebagian  yang lainnya. Maka tidak adabalasan bagi yang mengerjakan itu di

antara kamu,  melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari

Kiamat mereka akan  dikembalikan kepada azab yang sangat pedih” (Qs. al-

Baqarah [2]: 85).

Page 23: Pancasila Sbg Ideologi Negara

Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus

diterapkan  kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah

Islamiyah. Dan  karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara

sempurna kecuali  dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan

negara dalam Islam  adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan

agama-negara dalam  pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang

positif, dalam arti  bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat

diterapkan secara sempurna dan  bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat

yang akan menimbulkan reduksi dan  distorsi yang parah dalam beragama.

Agama tak dapat dipisahkan dari negara.

Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud

dalam  konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan

bernegara dan  bermasyarakat. Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para

ulama dan cendekiawan Islam yang  menegaskan bahwa agama-negara adalah

sesuatu yang tak mungkin terpisahkan.  Keduanya ibarat dua keping mata uang,

atau bagaikan dua saudar kembar  (tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah

perikehidupan manusia.

Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin

dipisahkan.  Juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah

mewajibkan umatnya  untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk

menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan

sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An  Nabhani dalam kitabnya

Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17 mendefinisikan  Khilafah sebagai

kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk  menegakkan

hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh  penjuru

dunia.

Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) --

rahimahumullah--  telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan

bahwa ummat Islam  wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan

Page 24: Pancasila Sbg Ideologi Negara

meninggikan syiar-syiar agama  serta menolong orang-orang yang tertindas dari

yang menindasnya.

Page 25: Pancasila Sbg Ideologi Negara

BAB III

P E N U T U P

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan

yaitu sebagai berikut :

1. Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam kehidupan bernegara Indonesia

adalah :

a.    Sebagai Dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

b.    Sebagai ideologi Nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung nilai-nilai sebagai berikut:

a.    Nilai dasar

b.    Nilai instrumental

c.    Nilai praktis

3. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila bisa menyelesaikan berbagai persoalan

yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun demikian, faktor manusia baik

penguasa maupun rakyat, sangat menentukan dalam mengukur kemampuan

sebuah ideologi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun

sebuah ideologi, tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik,

hanyalah angan-angan belaka.

4. Sebagai warga Negara yang baik sudah sewajarnya kita mengetahui apa

ideologi kita sebagai bangsa Indonesia oleh karena itu kita harus benar-benar

yakin dan percaya kepada Pancasila sebagai ideologi karena Pancasila tidak

membawa bangsa kita kedalam kehancuran namun masih mampu bertahan

mengahadapi kemajuan jaman.

3.2 Saran

1. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya,

diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat

Page 26: Pancasila Sbg Ideologi Negara

yang ada di dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam

melaksanakan kegiatan beribadah.

2. Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan

agama, diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus

memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus

mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia

yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di

dalamnya.

Page 27: Pancasila Sbg Ideologi Negara

DAFTAR PUSTAKA

Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Rajawali Pers.

A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2003. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group.

Setiady Elly M, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wahana, Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Kanisius. Yogyakarta. hal 20

Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius