BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang
ditandai pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur
tulang dan fragilitas tulang yang meningkat, sehingga resiko
fraktur menjadi lebih besar.
Para ahli tulang Indonesia sepakat bahwa dengan
meningkatnya harapan hidup rakyat Indonesia penyakit kerapuhan
tulang akan sering dijumpai. Sejak tahun 1990 sampai 2025 akan
terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia sampai 41,4% dan
osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik perempuan maupun
laki-laki, meskipun diupayakan pengobatan untuk mengobati
osteoporosis yang sudah terlambat dan upaya pencegahan dengan
mempertahankan massa tulang sepanjang hidup jauh lebih
dianjurkan.
1
Kerapuhan tulang yang disebut sebagai penyakit osteoporosis
adalah pengurangan massa dan kekuatan tulang dengan kerusakan
mikroarsitektur dan fragilitas tulang, sehingga menyebabkan
tulang rapuh dan mudah patah. Osteopenia menunjukkan bahwa
telah terjadi penurunan massa tulang.
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan
laki-laki dan merupakan problema pada wanita pascamenopause.
Osteoporosis di klinik menjadi penting karena problema fraktur
tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas maupun
fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas.(1,2)
I.2. Tujuan
Penulisan refrerat ini bertujuan untuk mengetahui tentang
penyakit osteoporosis yang meliputi definisi, etiologi, faktor
risiko, patogenesis, klasifikasi, diagnosis, pemeriksaan radiologis,
pengobatan dan juga pencegahan osteoporosis.
2
BAB II
OSTEOPOROSIS
2.1. Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya
tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi,
osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang
mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau
berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan
penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan
kerapuhan tulang.(1,13,21)
Menurut WHO pada International Consensus Development
Conference, di Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit
dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai
perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas
jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat
meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah
tulang.
3
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001
Osteoporosis adalah kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan
tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh
meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang
merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan
kualitas tulang .
Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh.
Tulang mempunyai struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik.
Bukan hanya memberi kekuatan dan membuat kerangka tubuh
menjadi stabil, tulang juga terus mengalami perubahan karena
berbagai stres mekanik dan terus mengalami pembongkaran,
perbaikan dan pergantian sel. Untuk mempertahankan
kekuatannya, tulang terus menerus mengalami proses
penghancuran dan pembentukan kembali. Tulang yang sudah tua
akan dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan kuat.
Proses ini merupakan peremajaan tulang yang akan mengalami
kemunduran ketika usia semakin tua.
4
Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akhil baliq
atau pubertas, ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang,
makin tebal, dan makin padat yang akan mencapai puncaknya
pada usia sekitar 25-30 tahun. Berkurangnya massa tulang mulai
terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah
diatas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan bertambahnya
usia, sepanjang hidupnya. Hal inilah yang mengakibatkan
terjadinya penurunan massa tulang yang berakibat pada
osteoporosis(1,2,3,14,22).
2.2. Epidemiologi Osteoporosis
Di negara maju seperti Amerika Serikat, kira-kira 10 juta
orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis dan hampir 34
juta dengan penurunan massa tulang yang selanjutnya berkembang
menjadi osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita osteoporosis
adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat
menderita osteoporosis, 14 juta mengalami penurunan massa
tulang yang menjadi risiko untuk osteoporosis. Satu dari 2 wanita
dan satu dari 4 pria diatas usia 50 tahun akan menjadi fraktur yang 5
berhubungan dengan fraktur selama hidup mereka. Di negara
berkembang seperti Cina, osteoporosis mencapai proporsi
epidemik, terjadi peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun. Pada
tahun 2002 angka prevalensi osteoporosis adalah 16,1%.
Prevalensi di antara pria adalah 11,5%, sedangkan wanita sebesar
19,9%.
Data di Asia menunjukkan bahwa insiden fraktur lebih
rendah dibanding populasi Kaukasian. Studi juga mendapatkan
bahwa massa tulang orang Asia lebih rendah dibandingkan massa
tulang orang kulit putih Amerika, akan tetapi fraktur pada orang
Asia didapatkan lebih sedikit.
Ada variasi geografis pada insiden fraktur osteoporosis.
Osteoporosis paling sering terjadi pada populasi Asia dan
Kaukasia tetapi jarang di Afrika dan Amerika populasi kulit
hitam(2,15,18,23).
6
2.3. Anatomi
Vertebrae Lumbal
Ukuran tulang vertebrae lumbal semakin bertambah dari L1
hingga L5 seiring dengan adanya peningkatan beban yang harus
disokong. Pada bagian depan dan sampingnya, terdapat sejumlah
foramina kecil untuk suplai arteri dan drainase vena.
Pada bagian dorsal tampak sejumlah foramina yang lebih
besar dan satu atau lebih orificium yang besar untuk vena
basivertebral. Corpus vertebrae berbentuk seperti ginjal dan
berukuran besar, terdiri dari tulang cortex yang padat mengelilingi
tulang medullar yang berlubang-lubang (honeycomb-like).
Permukaan bagian atas dan bawahnya disebut dengan endplate.
End plates menebal di bagian tengah dan dilapisi oleh lempeng
tulang cartilago. Bagian tepi end plate juga menebal untuk
membentuk batas tegas, berasal dari epiphyseal plate yang berfusi
dengan corpus vertebrae pada usia 15 tahun.
Lengkung vertebrae merupakan struktur yang berbentuk
menyerupai tapal kuda, terdiri dari lamina dan pedikel. Dari
7
lengkung ini tampak tujuh tonjolan processus, sepasang prosesus
superior dan inferior, prosesus spinosus dan sepasang prosesus
tranversus. Pedikel berukuran pendek dan melekat pada setengah
bagian atas tulang vertebrae lumbal. Lamina adalah struktur datar
yang lebar, terletak di bagian medial processus spinosus.
Processus spinosus sendiri merupakan suatu struktur datar, lebar,
dan menonjol ke arah belakang lamina. Processus transversus
menonjol ke lateral dan sedikit ke arah posterior dari hubungan
lamina dan pedikel dan bersama dengan processus spinosus
berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamen-ligamen yang
menempel kepadanya. Processus articular tampak menonjol dari
lamina. Permukaan processus articular superior berbentuk konkaf
dan menghadap kearah medial dan sedikit posterior. Processus
articular inferior menonjol ke arah lateral dan sedikit anterior dan
permukaannya berbentuk konveks.
8
Sendi facet disebut juga sendi zygapophyseal. merupakan
sendi yang khas. Terbentuk dari processus articular dari vertebrae
yang berdekatan untuk memberikan sifat mobilitas dan
fleksibilitas. Sendi ini merupakan true synovial joints dengan
cairan sinovial (satu processus superior dari bawah dengan satu
processus inferior dari atas). Manfaat sendi ini adalah untuk
memberikan stabilisasi pergerakan antara dua vertebrae dengan
adanya translasi dan torsi saat melakukan flexi dan extensi karena
bidang geraknya yang sagital. Sendi ini membatasi pergerakan
flexi lateral dan rotasi. Permukaan sendi facet terdiri dari cartilago
hyalin.
Pada tulang belakang lumbal, capsul sendinya tebal dan
fibrosa, meliputi bagian dorsal sendi. Capsul sendi bagian ventral
terdiri dari lanjutan ligamentum flavum.
Ruang deltoid pada sendi facet adalah ruang yang dibatasi
oleh Capsul sendi atau ligamentum flavum pada satu sisi dan
pertemuan dari tepi bulat permukaan Cartilago sendi articuler
superior dan inferior pada sisi lainnya, ruang ini diisi oleh
9
meniscus atau jaringan fibro adipose yang berupa invaginasi
rudimenter Capsul sendi yang menonjol ke dalam ruang sendi.
Fungsi meniscus ini adalah untuk mengisi kekosongan sehingga
dapat terjadi stabilitas dan distribusi beban yang merata(3,7,17,27).
Gambar 1. anatomi vertebrae
Pembuluh Darah Arteri10
Vertebra lumbal mendapatkan suplai darah langsung dari
aorta. Empat buah verterbra lumbal pertama suplai darah arterinya
berasal dari empat pasang arteri lumbal yang berasal langsung dari
bagian posterior aorta didepan corpus ke empat vertebrae tersebut.
Setiap arteri segmental atau lumbal bercabang dua sebelum
memasuki foramina sacralis. Pertama, cabang yang pendek
berpenetrasi langsung ke lumbal vertebrae. Kedua, cabang yang
panjang yang membentuk suatu jaringan padat di bagian belakang
dan tepi corpus vertebrae.
Beberapa cabang-cabang ini akan berpenetrasi di dekat
endplate, dan cabang lainnya membentuk jaringan halus diatas
ligamen longitudinal dan annulus. Arteri lumbal pada daerah
sedikit proximal dari foramen terbagi menjadi tiga cabang terminal
(anterior, posterior dan spinal). Cabang anterior memberikan
suplai kepada syaraf yang keluar dari foramen dan otot-otot batang
tubuh. Cabang spinal memasuki foramen dan akan terbagi menjadi
cabang anterior, posterior dan radicular. Cabang posterior akan
berjalan ke belakang, melewati pars interarticularis untuk berakhir
11
di dalam otot-otot spinal, tetapi sebelumnya memberikan dulu
percabangan pada sendi apophyseal dan berhubungan dengan
bagian posterior lamina. Di dalam canalis spinalis, cabang
posterior spinal membentuk jaringan halus pada permukaan
anterior lamina dan ligamentum flavum sementara cabang anterior
spinal terbagi menjadi cabang naik dan menurun, yang akan
beranastomosis dengan pembuluh yang ada diatas dan dibawahnya
membentuk sistem arcuata reguler. Sistem kiri dan kanan
dihubungkan pada setiap tingkatan dengan anastomosis transversal
yang berjalan dibawah ligamentum longitudinal posterior. Dari
anastomosis transversal, sistem arcuata dan pembuluh darah
external berjalan di bagian depan vertebra, arteri - arteri masuk ke
dalam corpus dan bergabung ke dalam saluran arterial di sentral.
Dari saluran ini, cabang-cabang akan naik dan turun menuju
akhiran permukaan tulang belakang dalam bentuk jaringan yang
halus dari pembuluh darah yang berjalan vertikal ke dalam tepi
vertebral membentuk capillary bed.
12
Lumbal lima, sacrum dan coccygeus diperdarahi oleh cabang
medial arteri superior gluteal atau hypogastric. Arteri ini akan
mengikuti kontur sacrum dan memberikan percabangannya kepada
setiap foramen sacralis anterior. Arteri ini akan memberikan suplai
pembuluh darah untuk canalis sacralis dan keluar dari foramina
sacralis posterior untuk memberikan percabangannya ke otot
punggung bawah.
13
Gambar 2. pembuluh darah vertebrae
14
Persyarafan Lumbosacral
Syaraf sinuvertebral dianggap merupakan struktur utama
syaraf sensoris yang mempersyarafi struktur tulang belakang
lumbal. Berasal dari syaraf spinal yang terbagi menjadi divisi
utama posterior dan anterior. Syaraf ini akan bergabung dengan
cabang symphatis ramus communicans dan memasuki canalis
spinalis melalui foramen intervertebral, yang membelok ke atas di
sekitar dasar pedikel menuju garis tengah pada ligamen
longitudinal posterior.
Syaraf sinuvertebral mempersyarafi ligamen longitudinal
posterior, lapisan superfisial annulus fibrosus, pembuluh darah
rongga epidural, duramater bagian anterior, tetapi tidak pada
duramater bagian posterior (duramater posterior tidak
mengandung akhiran syaraf), selubung dural yang melingkupi akar
syaraf spinal dan periosteum vertebral bagian posterior(3,7,11,16,19).
2.4. Etiologi15
Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu(3,6,20,30):
1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon
estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu
mengatur pengangkutan calsium kedalam tulang. Biasanya
gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75 tahun,
tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon
estrogen produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum
menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah menopause.
Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3%
dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.
2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan calsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang
(osteoclast) dan pembentukan tulang baru (osteoblastt). Senilis
berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas 70
16
tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering
kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain
atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal
kronis dan kelainan hormonal (terutama tyroid, paratyroid, dan
adrenal) serta obat-obatan (misalnya corticosteroid, barbiturat,
antikejang, dan hormon tyroid yang berlebihan). Pemakaian
alkohol yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk
keadaan ini.
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis
yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-
anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon
yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki
penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
2.5. Faktor Risiko Osteoporosis
17
Berikut ini faktor – faktor risiko osteoporosis yang dapat
dikendalikan.
Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola
hidup.
1. Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak
terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat
menurunnya kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan
melakukan olahraga teratur minimal tiga kali dalam seminggu (lebih
baik dengan beban untuk membentuk dan memperkuat tulang).
2. Kurang calsium
Calsium penting bagi pembentukan tulang, jika calsium tubuh kurang
maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil
calsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.
Kebutuhan akan calsium harus disertai dengan asupan vitamin D yang
18
didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D calsium tidak
mungkin diserap usus.
3. Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding
bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai
kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun
lebih cepat dibanding wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung
dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan
penggunaan calsium. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis
terjadi lebih cepat.
4. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding
lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh
kehilangan calsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan
massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.
19
5. Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan cafein (caffein).
Fosfor akan mengikat calsium dan membawa calsium keluar dari
tulang, sedangkan cafein meningkatkan pembuangan calsium lewat
urin. Untuk menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi
soft drink harus dibarengi dengan minum susu atau mengonsumsi
calsium extra.
6. Stres
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu cortisol
yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon cortisol yang
tinggi akan meningkatkan pelepasan calsium kedalam peredaran darah
dan akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga
meningkatkan terjadinya osteoporosis.
7. Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan
makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan
20
bermotor, dan limbah industri seperti organochlorida yang dibuang
sembarangan di sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh
termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan
membuat pengeroposan tulang(3,6,7,19).
2.6. Klasifikasi Osteoporosis
1. Osteoporosis Primer
a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca
menopause. Pada masa menopause, fungsi ovarium
menurun sehingga produksi hormon estrogen dan
progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam
proses mineralisasi tulang dan menghambat resorbsi
tulang serta pembentukan osteoclast melalui produksi
sitokin. Ketika kadar hormon estrogen darah menurun,
proses pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami
ketidak seimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih
dominan.
21
b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis
yang biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun.
Osteopososis terjadi akibat dari kekurangan calsium
berhubungan dengan makin bertambahnya usia.
c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan
osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui.
Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan pria yang
masih dalam usia muda yang relatif jauh lebih muda.
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya penyakit
tertentu yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan
gaya hidup yang tidak sehat. Faktor pencetus dominan
osteoporosis sekunder adalah sepeti di bawah ini:
a. Penyakit endokrin : tyroid, hiperparatyroid, hipogonadisme
b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi
calsium terganggu.
c. Penyakit keganasan ( kanker)
d. Konsumsi obat –obatan seprti corticosteriod
22
e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang
olahraga(3,11).
2.7. Patogenesis
-Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang
terus menerus. Pada osteoporosis, massa tulang berkurang, yang
menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang pasti melebihi laju
pembentukan tulang. Pembentukan tulang lebih banyak terjadi
pada cortex
A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Calsium
Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang
terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi mineral yang
paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta
sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan
Pb. Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti
osteoblast, osteosit dan osteoclast dan matrix tulang (98%)
terdiri dari collagen tipe I (95%) dan protein noncollagen (5%)
seperti osteocalsin, osteonektin, proteoglikan tulang, protein
morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang.
23
-Tanpa matrix tulang yang berfungsi sebagai rangka,
proses mineralisasi tulang tidak mungkin dapat berlangsung.
Matrix tulang merupakan makromolekul yang sangat bersifat
anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fixasi
kristal hidroksi apatit pada serabut collagen. Matrix tulang
tersusun sepanjang garis dan beban mekanik sesuai dengan
hukum Wolf, yaitu setiap perubahan fungsi tulang akan diikuti
oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal
dan penyesuaian external sesuai dengan hukum matematika.
Dengan kata lain, hukum Wolf dapat diartikan sebagai “bentuk
akan selalu mengikuti fungsi”.
24
Gambar 3. Pembentukan tulang
B. Patogenesis Osteoporosis primer
Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat,
terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga
insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal
meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan produksi
berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel
mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α yang berperan
meningkatkan kerja osteoclast, dengan demikian penurunan
kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi 25
berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoclast
meningkat.
Untuk mengatasi keseimbangan negatif calsium akibat
menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada
menopause, kadang - kadang didapatkan peningkatan kadar
calsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume
plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar calsium yang terikat albumin dan juga
kadar calsium dalam bentuk garam complex. Peningkatan
bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang
respirasi, sehingga terjadi relatif acydosis respiratoric.
26
Gambar 4. Patogenesis osteoporosis
C. Patogenesis Osteoporosis Sekunder
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang
spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar
58%. Pada dekade ke-8 dan 9 kehidupannya, terjadi
ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang
meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau
menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang,
perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko
fraktur.
Defisiensi calsium dan vitamin D juga sering didapatkan
pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan calsium dan
vitamin D yang kurang, anorexia, malabsorpsi dan paparan
sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan
menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan
karboksilasi protein tulang misalnya osteocalsin. Penurunan 27
kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan
menyebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah
mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang
mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti
pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan bertambahnya usia,
kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar
Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat.
Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen
dan testosteron membentuk complex yang inaktif.
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan
massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan
lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, immobilisasi
lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah
resiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan
orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural,
gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata(6,7,8).
28
2.8. Gambaran Klinis
Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa
dekade, hal ini disebabkan karena osteoporosis tidak
menyebabkan gejala fraktur tulang. Beberapa fraktur
osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian.
Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada
vertebra, pergelangan tangan, panggul, humerus, dan tibia.
Gejala yang paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah
nyeri pada punggung dan deformitas pada tulang belakang.
Nyeri biasanya terjadi akibat colaps vertebra terutama pada
daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya akut dan sering
menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri
dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya
berbalik ditempat tidur. Istirahat ditempat tidaur dapat
meringankan nyeri untuk sementara, tetapi akan berulang
dengan jangka waktu yang bervariasi. Serangan nyeri akut juga
dapat disertai oleh distensi perut dan ileus
29
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan
osteoporosis bila didapatkan :
Patah tulang akibat trauma yang ringan.
Tubuh makin pendek, kyphosis dorsal bertambah, nyeri
tulang.
Gangguan otot (kaku dan lemah)
Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang
khas(11).
2.9. Diagnosis
Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai,
karena tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi
walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanita-wanita
menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan
30
sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat defisiensi
estrogen. Masalah rasa nyeri jaringan lunak (wallaca tahun1981)
yang menyatakan rasa nyeri timbul setelah bekerja, memakai
baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi secara anamnesa
mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang
menunjang terjadinya osteoporosis seperti
Tinggi badan yang makin menurun.
Obat-obatan yang diminum.
Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi,
climakterium.
Jumlah kehamilan dan menyusui.
Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.
Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat
paparan matahari cukup.
Apakah sering minum susu, Asupan calsium lainnya.
Apakah sering merokok, minum alkohol
2.10. Pemeriksaan Fisik
31
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap
penderita osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita
osteoporosis, deformitas tulang, nyeri spinal. Penderita dengan
osteoporosis sering menunjukkan kyphosis dorsal atau gibbus
dan penurunan tinggi badan.
2.11. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah
penipisan cortex dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini
akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan
gambaran picture-frame vertebra(7,11).
2.12. Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)
Densitas massa tulang
Risiko terjatuh dan akibat kecelakaan (trauma) sulit
untuk diukur dan diperkirakan. Definisi WHO mengenai
osteoporosis menjelaskan hanya spesifik pada tulang yang
merupakan risiko terjadinya fraktur. Ini dipengaruhi oleh densitas
32
tulang. Kelompok kerja WHO menggunakan teknik ini untuk
melakukan penggolongan:
1 Normal : densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi
dibawah rata-rata wanita muda normal (T>-1)
2 Osteopenia : densitas tulang antara -1 standar deviasi dan
2,5 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (-
2,5<T<-1)
3 Osteoporosis : densitas tulang lebih dari 2,5 standar
deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (T>-2,5)
Definisi ini hanya diaplikasikan pada wanita. Review
terbaru menyarankan untuk mengaplikasikannya pada pria
berdasar pada angka pria normal. Sehingga juga akan
memiliki kegunaan yang sama meskipun hal tersebut tidak dapat
diterima secara umum.
T-Skor dan Z-Skor
33
Pengukuran densitas tulang biasanya dinyatakan dengan
T-skor, dimana angka dari standar deviasi densitas tulang
pasien bervariasi dari rata-rata densitas tulang pada subyek
normal dengan jenis kelamin yang sama. Pengukuran lain dari
densitas tulang adalah Z-skor, dimana angka dari standar deviasi
densitas tulang pasien bervariasi dari rata-rata densitas tulang
pada subyek dengan umur yang sama.
Meskipun berbagai kriteria densitometrik digunakan untuk
mendefinisikan osteoporosis, kriteria yang diajukan oleh WHO,
yang berdasarkan pengukuran masa tulang, umumnya paling
banyak diterima dan digunakan(9,11,12).
34
Gambar 5. Alat densitometri RS Jakarta
Gambar 6. Hasil pemeriksaan Densitometri Regio Antebrachii
35
Gambar 7. Hasil pemeriksaan Densitometri Vertebrae Lumbal
Gambar. 8. Hasil pemeriksaan seluruh badan pada anak
36
BAB III
OSTEOPOROSIS PASCA MENOPOUSE
3.1. Definisi Menopause
Menopause menurut WHO (2005) berarti berhentinya siklus
menstruasi untuk selamanya bagi wanita yang sebelumnya mengalami
menstruasi setiap bulan, yang disebabkan oleh jumlah folikel yang
mengalami atresia terus meningkat, sampai tidak tersedia lagi folikel,
serta dalam 12 bulan terakhir mengalami amenorea, dan bukan
disebabkan oleh keadaan patologis. Kini wanita Indonesia rata-rata
memasuki masa menopause pada usia 50 tahun. Tetapi sebagian ada
yang mengalami pada usia lebih awal atau lebih lanjut. Umur waktu
terjadinya menopause dipengaruhi oleh keturunan, kesehatan umum,
dan pola kehidupan.
Diagnosis menopause dibuat setelah terdapat amenorea
sekurang-kurangnya 12 bulan terakhir, kadar FSH > 30 mIU/ml dan
kadar E2 < 30pg/ml. Berhentinya haid dapat didahului oleh siklus haid
37
yang lebih panjang, dengan perdarahan yang berkurang. Faktor fisik
dan psikis mempengaruhi kapan terjadinya menopause. Demikian juga
dengan adanya penyakit tertentu, operasi indung telur, stres, obat-
obatan, dan gaya hidup merupakan contoh faktor yang mempengaruhi
cepat lambatnya terjadi menopause.
Menopause rupanya ada hubungannya dengan menarche.
Makin dini menarche terjadi, makin lambat menopause timbul,
sebaliknya, makin lambat menarche terjadi, makin cepat menopause
timbul. Pada abad ini umumnya nampak bahwa menarche makin dini
timbul dan menopause makin lambat terjadi, sehingga masa
reproduksi menjadi lebih panjang. Menopause yang artifisial karena
operasi atau radiasi umumnya menimbulkan keluhan yang lebih
banyak dibandingkan dengan menopause alamiah(14,24).
38
3.2. Klasifikasi Menopause
Menopause dapat di bedakan menjadi tiga yaitu (15,22,25):
a. Menopause alami adalah akhir proses biologi yang
dialami wanita berupa penurunan produksi hormone seks
perempuan, yakni estrogen dan progesterone dari indung
telur yang biasanya terjadi di usia 48-56 tahun.
b. Menopause dini adalah menopause sebelum usia 40
tahun, kemungkinan penyebabnya adalah factor
keturunan, penyakit autoimun, dan rokok.
c. Menopause buatan terjadi akibat campur tangan medis
yang menyebabkan berkurangnya pelepasan hormon oleh
ovarium. Campur tangan ini biasa berupa pembedahan
untuk mengangkat ovarium atau untuk mengurangi aliran
darah ke ovarium serta kemoterapi atau terapi penyinaran
pada panggul untuk mengobati kanker.
3.3. Etiologi Menopause39
Sejalan dengan pertambahan usia, ovarium menjadi kurang
tanggap terhadap rangsangan oleh LH dan FSH, yang dihasilkan oleh
hipofisis. Akibatnya ovarium melepaskan lebih sedikit estrogen dan
progesterone dan akhirnya proses ovulasi (pelepasan telur) berhenti.
Menopause dini adalah menopause yang terjadi sebelum berusia
40 tahun. Kemungkinan penyebabnya adalah factor keturunan,
penyakit autoimmun dan rokok.
Menopause buatan terjadi akibat intervensi medis yang
menyebabkan berkurangnya atau berhentinya pelepasan hormone oleh
ovarium. Intervensi ini bias merupakan pembedahan untuk
mengangkat ovrium serta kemoterapi atau radioterapi pada kanker.
Histerektomi (pengangkatan rahim) menyebabkan berakhirnya siklus
menstruasi, tetapi selama ovarium tetap ada hal tersebut tidak akan
mempengaruhi kadar hormon dan tidak menyebabkan
menopause(16,25,30).
3.4. Perubahan Metabolisme Hormonal Pada Menopause
40
Pada wanita dengan siklus haid yang normal, estrogen terbesar
adalah estradiol yang berasal dari ovarium. Di samping estradiol
terdapat pula estron yang berasal dari konversi androstenedion di
jaringan perifer. Selama siklus haid pada masa reproduksi, kadar
estradiol di dalam darah bervariasi. Pada awal fase folikuler kadar
estradiol berkisar 40-80 pg/ml, pada pertengahan fase folikuler
berkisar 60-100 pg/ml, pada akhir fase folikuler berkisar 100-400
pg/ml dan pada fase luteal berkisar 100-200 pg/ml. Kadar rata-rata
estradiol selama siklus haid normal 80 pg/ml sedangkan kadar estron
berkisar antara 40-400 pg/ml.
Memasuki masa perimenopause aktivitas folikel dalam ovarium
mulai berkurang. Ketika ovarium tidak menghasilkan ovum
dan berhenti memproduksi estradiol, kelenjar hipofise berusaha
merangsang ovarium untuk menghasilkan estrogen, sehingga terjadi
peningkatan produksi FSH. Meskipun perubahan ini mulai terjadi 3
tahun sebelum menopause, penurunan produksi estrogen oleh ovarium
baru tampak sekitar 6 bulan sebelum menopause. Terdapat pula
41
penurunan kadar hormon androgen seperti androstenedion dan
testosteron yang sulit dideteksi pada masa perimenopause.
Pada pascamenopause kadar LH dan FSH akan meningkat, FSH
biasanya akan lebih tinggi dari LH sehingga rasio FSH/ LH menjadi
lebih besar dari satu. Hal ini disebabkan oleh hilangnya mekanisme
umpan balik negatif dari steroid ovarium dan inhibin terhadap
pelepasan gonadotropin. Diagnosis menopause dapat ditegakkan bila
kadar FSH lebih dari 30 mIU/ml.
Kadar estradiol pada wanita pascamenopause lebih rendah
dibandingkan dengan wanita usia reproduksi pada setiap fase dari
siklus haidnya. Pada wanita pascamenopause estradiol dan estron
berasal dari konversi androgen adrenal di hati, ginjal, otak, kelenjar
adrenal dan jaringan adipose. Proses aromatisasi yang terjadi di perifer
berhubungan dengan berat badan wanita. Wanita yang gemuk
mempunyai kadar estrogen yang lebih tinggi dibandingkan wanita
yang kurus karena meningkatnya aromatisasi di perifer. Pada wanita
pascamenopause kadar estradiol menjadi 13-18 pg/ml dan kadar
estron 30-35 pg/ml(16,26,29).
42
3.5. Tahapan Menopause
Pada fase reproduksi, siklus menstruasi bervariasi sampai
regular karena FSH masih normal serta terjadi peningkatan pada fase
lanjut. Fase peralihan menopause dimulai dengan meningkatnya
variabilitas siklus menstruasi yaitu lebih dari 7 hari dengan
meningkatnya FSH. Fase ini berakhir dengan berakhirnya siklus haid.
Perimenopause dini dimulai setelah 5 tahun dari menstruasi terakhir.
Sedangkan posmenopause bervariasi dari lamanya perdarahan,
43
dimulai 5 tahun setelah menstruasi terakhir dan berlangsung sampai
kematian.
Masa peralihan menopause dapat dibagi menjadi beberapa tahap:
1) Premature menopause atau menopause dini
Adalah menopause yang terjadi sebelum usia 40 tahun, baik secara
alamiah ataupun induksi oleh karena tindakan medis. Wanita dengan
premature menopause mempunyai gejala yang mirip dengan
menopause alami, seperti
Hot flashes
Gangguan emosi
Kekeringan pada vagina
Penurunan gairah seksual
Untuk beberapa wanita dengan premature menopause, keluhan
ini dialami sangat berat. Disamping itu, wanita juga cenderung
mengalami kejadian keropos tulang lebih besar dibandingkan dengan
wanita yang mengalami menopause lebih lambat. Hal inilah yang
44
meningkatkan terjadinya osteoporosis, yang merupakan faktor resiko
patah tulang.
2) Perimenopause
Perimenopause ditandai dengan terjadinya perubahan ke arah
menopause, yang berkisar antara 2-8 tahun, ditambah dengan 1 tahun
setelah menstruasi terakhir. Tidak diketahui secara pasti untuk
mengukur berapa lama fase perimenopause berlangsung. Hal ini
merupakan keadaan alamiah yang dialami seorang wanita dalam
kehidupannya yang menandai akhir dari masa reproduksi. Penurunan
fungsi indung telur selama masa perimenopause berkaitan dengan
penurunan estrogen dan progesteron serta hormon androgen.
3) Menopause
Menopause adalah perubahan alami yang dialami seorang wanita saat
siklus menstruasi terhenti. Keadaan ini sering disebut “change of
life”. Selama menopause, biasa terjadi antara usia 45-55 tahun, tubuh
wanita secara perlahan berkurang menghasilkan hormon estrogen dan
progesteron. Dikatakan menopause, jika dalam 12 bulan terakhir tidak
45
mengalami menstruasi dan tidak disebabkan oleh hal patologis. Kadar
estradiol 10-20 pg/ml yang berasal dari konversi androstenedion.
4) Postmenopause
Masa setelah mencapai menopause sampai senium yang dimulai
setelah 12 bulan amenore serta rentan terhadap osteoporosis dan
penyakit jantung.
3.6. Patofisiologi Menopause
Pada wanita menopause, hilangnya fungsi ovarium secara
bertahap akan menurunkan kemampuannya dalam menjawab
rangsangan hormon-hormon hipofisis untuk menghasilkan hormon
steroid. Saat dilahirkan wanita mempunyai kurang lebih 750.000
folikel primordial. Dengan meningkatnya usia jumlah folikel tersebut
akan semakin berkurang. Pada usia 40-44 tahun rata-rata jumlah
folikel primordial menurun sampai 8300 buah, yang disebabkan oleh
adanya proses ovulasi pada setiap siklus juga karena adanya apoptosis
yaitu proses folikel primordial yang mati dan terhenti
46
pertumbuhannya. Proses tersebut terjadi terus-menerus selama
kehidupan seorang wanita, hingga pada usia sekitar 50 tahun fungsi
ovarium menjadi sangat menurun. Apabila jumlah folikel mencapai
jumlah yang kritis, maka akan terjadi gangguan sistem pengaturan
hormon yang berakibat terjadinya insufisiensi korpus luteum, siklus
haid anovulatorik dan pada akhirnya terjadi oligomenore.
Perubahan-perubahan dalam sistem vaskularisasi ovarium
sebagai akibat proses penuaan dan terjadinya sklerosis pada sistem
pembuluh darah ovarium diperkirakan sebagai penyebab gangguan
vaskularisasi ovarium. Apabila folikel sudah tidak tersedia berarti
wanita tersebut telah memasuki masa menopause. Pada usia
menopause berat ovarium tinggal setengah sampai sepertiga dari berat
sebelumnya. Terjadinya proses penuaan dan penurunan fungsi
ovarium menyebabkan ovarium tidak mampu menjawab rangsangan
hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid(16,27).
47
3.7. Gejala klinis Menopause
A. Perubahan pola haid
a) Siklus menjadi pendek (2-7 hari) :
- Siklus memanjang - Haid tak teratur
b) Perubahan bentuk perdarahan
- Mula-mula banyak (akibat siklus anovulatoar) kemudian menjadi
sedikit
- Spotting
- Perdarahan yang banyak, lama atau perdarahan intermenstrual
B. Ketidakstabilan vasomotor
- Hot flushes - Keringat malam - Gangguan tidur
C. Gangguan psikologis/kognitive
- Depresi - Irritabilitas
- Perubahan mood - Kurang konsentrasi, pelupa.
48
D. Gangguan seksual
Kejadian gangguan seksual pada wanita perimenopause
bervariasi dan meningkat dengan bertambahnya umur.
Berkurangnya lubrikasi vagina, menurunnya libido, dispareuni
dan vaginismus.
E. Gejala-gejala somatik
- Sakit kepala - Pembesaran mammae dan nyeri
- Palpitasi - Pusing
Tanda-tanda Fisik.
1. Indeks maturasi
Penilaian terhadap defisiensi estrogen vagina adalah evaluasi terhadap
indeks pematangan epitel vagina. Prosedur ini dilakukan dengan cara
pengambilan sel pada batas atas dan sepertiga tengah dinding samping 49
vagina menggunakan sikat. Dibuat slide dan dilakukan pengecatan
dengan tehnik Papanicolaou kemudian persentase dari sel parabasal,
intermediat dan superfisialis dihitung. Meskipun indeks maturasi
berubah secara bermakna setelah terapi pengganti estrogen, diagnosis
tidak dapat membandingkan indeks maturasi dengan karakteristik
siklus haid.
2. pH vagina
Beberapa peneliti mengatakan bahwa peningkatan pH vagina (6,0-7,5)
dimana tidak ditemukan bakteri patogen menjadi alasan adanya
penurunan kadar estradiol serum. Uji ini dilakukan secara langsung
dengan kertas pH pada dinding lateral vagina. Perubahan pH dapat
diakibatkan oleh berubahnya komposisi dari sekresi vagina yang
menyertai atropi.
3. Ketebalan kulit
50
Estrogen menstimulasi pertumbuhan epidermal dan promotes
pembentukan kolagen dan asam hialuronik sehingga turgor dan
vaskularisasi kulit bertambah. Selama klimakterik, berkurangnya
kadar estrogen mengakibatkan epidermis menjadi tipis dan atropi(17,29).
Uji laboratorium
a) Pengukuran FSH
Pengukuran kadar plasma FSH telah dilakukan untuk mencoba
mengidentifikasi wanita perimenopause dan postmenopause. Kadar
FSH yang tinggi menunjukkan telah terjadi menopause yang terjadi
pada ovarium. Ketika ovarium menjadi kurang responsif terhadap
stimulasi FSH dari kelenjar pituitari (produksi estrogen sedikit),
kelenjar pituitari meningkatkan produksi FSH untuk mencoba
merangsang ovarium menghasilkan estrogen lebih banyak.
Bagaimanapun, banyak klinikus dan peneliti meragukan nilai klinik
dari pengukuran FSH pada wanita perimenopause dimana kadar FSH
51
berfluktuasi considerably setiap bulan yang tergantung pada adanya
ovulasi.
b) Estradiol
Penelitian longitudinal akhir-akhir ini melaporkan bahwa wanita
dengan early perimenopause (perubahan dalam frekuensi siklus)
kadar estradiol premenopause terjaga sedangkan pada perimenopause
lanjut (tidak haid dalam 3-11 bulan sebelumnya) dan wanita
postmenopause terjadi penurunan secara bermakna dari kadar
estradiol. Estradiol dapat diukur dari plasma, urine dan saliva. Seperti
halnya FSH, kadar estradiol mempunyai variasi yang tinggi selama
perimenopause.
c) Inhibin
Inhibin A dan inhibin B disekresikan oleh ovarium dan seperti
estradiol, exert umpan balik negatif terhadap kelenjar pituitari,
menurunkan sekresi FSH dan LH. Kurangnya inhibin menyebabkan
peningkatan FSH yang terjadi pada ovarium senescence. Kadar
52
inhibin B menurun pada perimenopause sedangkan inhibin A tidak
mengalami perubahan. Inhibin A akan menurun pada saat sekitar haid
akan berhenti. Kadar inhibin biasanya diukur dari plasma. Ovarium
menghasilkan inhibin B lebih sedikit karena hanya sedikit folikel yang
menjadi matang dan sejumlah folikel berkurang karena umur(19).
3.8 Patofisiologi Osteoporosis Pasca Menopause
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam
remodeling tulang sehingga mengakibatkan kerapuhan tulang.
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah
dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel
osteoblas (sel pembentukan tulang). Keadaan ini mengakibatkan
penurunan massa tulang.
Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran
dengan pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang
baru pada permukaan luar korteks.
Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama : 53
1. Untuk memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang
rangka untuk mempertahankan kekuatan tulang rangka.
2. Untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk
mempertahankan kalsium serum.
Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang
sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan akut
kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas sebagaimana
juga transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan remodeling
tulang, dan kehilangan jaringan tulang secara keseluruhan.
Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang
bersirkulasi, termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon
paratiroid (PTH), demikian juga faktor pertumbuhan yang diproduksi
lokal seperti IGF-I dan IGF–II, transforming growth factor (TGF),
parathyroid hormone-related peptide (PTHrP), ILs, prostaglandin,
dan anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF). Faktor-faktor
ini secara primer memodulasi kecepatan dimana tempat remodeling
baru teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh
54
osteoklas, diikuti oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang
baru disintesis oleh osteoblas. Sitokin bertanggung jawab untuk
komunikasi di antara osteoblas, sel-sel sumsum tulang lain, dan
osteoklas telah diidentifikasi sebagai RANK ligan (reseptor aktivator
dari NF-kappa-B; RANKL). RANKL, anggota dari keluarga TNF,
disekresikan oleh oesteoblas dan sel-sel tertentu dari system imun.
Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktivasi
RANK oleh RANKL merupakan suatu jalur final umum dalam
perkembangan dan aktivasi osteoklas. Umpan humoral untuk
RANKL, juga disekresikan oleh osteoblas, disebut sebagai
osteoprotegerin. Modulasi perekrutan dan aktivitas osteoklas
tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh
tambahan termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan tingkat
aktivitas fisik.
Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas, sel-T teraktivasi,
fibroblas sinovial, dan sel-sel stroma sumsum tulang. Ia terikat ke
reseptor ikatan-membran RANK untuk memicu diferensiasi, aktivasi,
dan survival osteoklas. Sebaliknya ekspresi osteoproteregin (OPG)
55
diinduksi oleh faktor-faktor yang menghambat katabolisme tulang dan
memicu efek anabolik. OPG mengikat dan menetralisir RANKL,
memicu hambatan osteoklastogenesis dan menurunkan survival
osteoklas yang sebelumnya sudah ada. RANKL, aktivator reseptor
faktor inti NBF; PTH, hormon paratiroid; PGE2, prostaglandin E2;
TNF, tumor necrosis factor; LIF, leukemia inhibitory factor; TP,
thrombospondin; PDGF, platelet-derived growth factor; OPG-L,
osteoprotegerin-ligand; IL, interleukin; TGF-, transforming growth
factor.
Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh
jumlah yang seimbang jaringan tulang baru. Massa tulang rangka tetap
konstan setelah massa puncak tulang sudah tercapai pada masa
dewasa. Setelah usia 30 - 45 tahun, proses resorpsi dan formasi
menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih formasi.
Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang berbeda dan
bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda; ketidakseimbangan
ini terlebih-lebih pada wanita setelah menopause. Kehilangan massa
tulang yang berlebih dapat disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas
56
dan atau suatu penurunan aktivitas osteoblas. Peningkatan rekrutmen
lokasi remodeling tulang membuat pengurangan reversibel pada
jaringan tulang tetapi dapat juga menghasilkan kehilangan jaringan
tulang dan kekuatan biomekanik tulang panjang(20,28).
3.9. Penatalaksanaan Osteoporosis Pasca Menopause
Pasien osteoporosis yang memerlukan pengobatan umumnya
telah mengalami kehilangan massa tulang yang cukup berat
sehingga pada umumnya telah mengalami satu atau beberapa kali
fraktur tulang. Dengan demikian tujuan utama pengobatan
osteoporosis simtomatik adalah mengurangi rasa nyeri dan
berusaha untuk menghambat proses resorpsi tulang sampai di
atas ambang fraktur. Jika hal ini tidak dapat dicapai dengan
regimen terapeutik yang tersedia, maka harus selalu diusahakan
agar intervensi pengobatan yang diberikan sekurang-kurangnya
dapat menahan progresi kehilangan massa tulang sehingga
fraktur yang mungkin terjadi kemudian dapat dicegah.
57
Beberapa jenis hormon dan agen farmakologi yang umum
digunakan dalam pengobatan osteoporosis saat ini akan dibahas
di bawah ini(23,27,30).
Terapi Pengganti Hormonal
1. Estrogen
Istilah terapi pengganti hormonal atau hormon replacement
therapy (HRT) digunakan untuk terapi estrogen baik secara
tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan progestogen.
Estrogen memiliki sifat anti resorptif yang kuat pada sel
tulang dan penurunan kadar estrogen pada saat menopause
merupakan penyebab utama kehilangan massa tulang pada
wanita. Bagaimana mekanisme estrogen menghambat resorpsi
tulang hingga kini masih belum dapat dijelaskan dengan pasti.
Diduga hal ini terjadi karena:
1. Estrogen menurunkan sensitivitas tulang terhadap hormon
paratyroid (PTH).58
2. Estrogen meningkatkan produksi kalsitonin.
3. Estrogen meningkatkan produksi kalsitriol.
Walaupun memiliki sifat anti resorptif yang kuat, estrogen
tidak memiliki efek stimulatif terhadap proses formasi tulang.
Dengan demikian walaupun estrogen memiliki peran penting
dalam pencegahan kehilangan massa tulang, akan tetapi estrogen
tidak dapat memperbaiki gangguan arsitektur tulang yang telah
terjadi.
Respons peningkatan massa tulang pada penggunaan HRT
bergantung pada dosis dan lamanya pemberian estrogen. Pada
umumnya pengaruh estrogen baru dapat terlihat setelah
diberikan selama 5 tahun. Dalam pengobatan osteoporosis pasca
menopause estrogen harus diberikan selama 10 tahun atau
sampai usia 70 tahun, bergantung pada mana yang tercapai lebih
dahulu. Setelah 10 tahun HRT harus dievaluasi kembali untuk
menentukan apakah pengobatan selanjutnya akan tetap
bermanfaat dan aman untuk diteruskan. Pada wanita pasien
59
osteoporosis dengan kehilangan massa tulang yang berat,
estrogen sedapat mungkin harus diberikan seumur hidup selama
masih efektif dan tidak menimbulkan efek samping. Hal ini
disebabkan karena estrogen dapat menurunkan risiko fraktur
yang akan terus meningkat jika kehilangan massa tulang
berlangsung terus-menerus.
Efek samping estrogen meliputi retensi cairan, nyeri tekan
payudara dan sakit kepala. Efek samping ini umumnya jarang
dijumpai jika estrogen digunakan bersama progestogen. Efek
samping lainnya adalah nausea, kejang otot tungkai, dyspepsia
dan perdarahan uterus disfungsional.
2. Kombinasi Estrogen dan Progestogen
Walaupun dalam dosis yang amat tinggi progestogen dapat
menghambat resorpsi dan merangsang formasi tulang, akan tetapi
penggunaan kombinasi progestogen siklik pada HRT
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya efek samping estrogen
60
terutama perdarahan disfungsional uterus dan menekan
proliferasi atau keganasan endometrium.
Progestogen yang digunakan dalam HRT dapat
diklasifikasikan sebagai derivate 17-hidroksi progestogen seperti
medroksiprogesteron asetat serta derivate 19-nortestosteron
seperti noretisteron. Derivate 19-nortestosteron umumnya lebih
disukai untuk digunakan dalam HRT karena golongan ini
memiliki efek samping yang lebih ringan terhadap metabolisme
lipid dan fungsi hati. Efek samping progestogen sangat bervariasi
dan bergantung pada dosis, androgenisitas dan lama
penggunaannya.
Efek samping yang sering kali dijumpai pada wanita yang
menggunakan progestogen siklik adalah gangguan metabolisme
lipoprotein plasma, retensi cairan, nyeri payudara, sakit kepala,
perubahan mood dan akne vulgaris.
61
Kontra Indikasi HRT
Terdapat beberapa kontra indikasi penggunaan HRT pada
osteoporosis. Kontra indikasi ini dapat dibedakan menjadi kontra
indikasi absolut dan kontra indikasi relatif.
Kontra Indikasi Absolut
o Keganasan payudara aktif
o Keganasan endometrium aktif
o Kehamilan
o Perdarahan uterus idiopatik
o Penyakit hati berat dan aktif
Kontra Indikasi Relatif
o Hipertensi tidak terkontrol
o Migren
o Riwayat thrombosis vena
o Riwayat emboli paru
62
o Tromboflebitis superficial
o Varises
o Obesitas
o Diabetes mellitus
o Riwayat kelainan jantung iskemik
o Osteosklerosis
o Batu empedu
o Penyakit hati menahun
o Endometriosis
o Tumor fibroid
o Riwayat keganasan payudara
o Perokok berat
Pada keadaan dimana terdapat kontra indikasi absolut,
penggunaan HRT harus dihindarkan. Walaupun demikian HRT
masih dapat diberikan pada keadaan terdapatnya kontra indikasi
relatif jika pasien dapat mengerti risiko yang akan dihadapi dan
bersedia untuk mencobanya.
63
Testosteron
Testosteron merupakan hormon yang sangat penting untuk
memelihara integritas tulang pada pria sebagaimana halnya
estrogen pada wanita, karena sindroma hipogonadisme juga
dapat merupakan penyebab terjadinya osteoporosis baik pada
pria maupun pada wanita. Pada pria pasien sindroma
hipogonadisme pemberian testosteron terbukti dapat
meningkatkan massa tulang dengan merangsang proses formasi
tulang. Walaupun testosteron nyata dapat meningkatkan formasi
tulang, penggunaan testosteron pada wanita pasien osteoporosis
umumnya akan menimbulkan banyak efek samping androgenik.
Umumnya testosteron hanya digunakan pada wanita pasien
osteoporosis pasca menopause yang menunjukkan gejala
penurunan libido yang gagal diatasi dengan pemberian estrogen.
64
Steroid Anabolik
Steroid anabolik telah banyak digunakan dalam pengobatan
osteoporosis. Pemberian nandrolon dekanoat intramuscular
terbukti dapat meningkatkan massa tulang yang diduga terjadi
akibat stimulasi proses formasi tulang. Selain itu steroid anabolik
juga memiliki efek pencegahan resorpsi tulang. Karena steroid
anabolik memiliki efek samping androgenik yang tinggi,
umumnya obat ini jarang digunakan untuk wanita.
Penggunaan steroid anabolik jangka panjang juga diketahui
dapat menyebabkan gangguan fungsi hati sampai terbentuknya
keganasan hepatoselular. Karena itu penggunaan steroid anabolik
baik pada pria maupun wanita hanya dilakukan jika pasien tidak
menunjukkan perbaikan yang memuaskan dengan obat-obatan
yang lain dan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang telah
berpengalaman
65
Terapi Non-hormonal
Selain HRT, terdapat pula terapi non-hormonal yang dapat
digunakan untuk mencegah dan memperbaiki osteoporosis. Saat
ini telah diketahui beberapa agen farmakologis yang dapat
berpengaruh pada metabolisme tulang dan memperbaiki
osteoporosis seperti kalsitonin, bifosfonat dan calsium. Obat-
obatan ini dapat mencegah atau sekurang-kurangnya dapat
menghambat kecepatan kehilangan tulang pada pasien
osteoporosis senilis maupun pasca menopause.
Kalsitonin
Peran fisiologis kalsitonin dalam mencegah resorpsi tulang
dan regulasi homeostatis calsium pada manusia masih belum
diketahui dengan jelas. Diduga kalsitonin bekerja dengan
menghambat aktivitas, lama hidup,recruitment dan pembentukan
sel osteoclast baru.
66
Kalsitonin menghambat tesorpsi tulang sehingga menurunkan
kadar calsium plasma dengan cepat sehingga menyebabkan
terjadinya hiperparatyroidisme sekunder transien. Karena itu,
untuk mencegah terjadinya respons homeostatic tersebut,
kalsitonin umumnya diberikan bersama suplementasi calsium
dan vitamin D.
Kalsitonin diduga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
massa tulang, dengan menyebabkanuncoupling antara proses
resorpsi dan formasi tulang terutama selama masa dini
pengobatan. Kemungkinan hal ini disebabkan karena walaupun
resorpsi tulang telah terhambat akan tetapi formasi tulang masih
terus berlangsung pada lokasi resorpsi sebelumnya, sehingga
dapat diharapkan terjadinya peningkatan massa tulang.
Pengaruh kalsitonin pada osteoporosis tidak berlangsung
selamanya. Setelah tahun pertama pengaruh kalsitonin akan
menurun secara bertahap sampai akhir tahun kedua.
Berkurangnya efek kalsitonin pada penggunaan jangka panjang
67
diduga disebabkan karena terbentuknya atibodi terhadap
kalsitonin atau penurunan fungsi reseptor kalsitonin.
Kalsitonin terbukti dapat memberikan efek analgesik akibat
osteoporosis terutama pada fraktur kompresi vertebral. Efek
analgesik ini umumnya timbul segera dalam 1 atau 2 hari setelah
kalsitonin digunakan.
Efek samping kalsitonin yang paling sering dijumpai
adalah nausea yang umumnya terjadi segera setelah suntikan
diberikan. Nausea dapat diatasi dengan pemberian antiemetik
bersama kalsitonin yang keduanya diberikan pada waktu tidur.
Efek samping lainnya adalah flushing, muntah, diare dan nyeri
lokal pada lokasi suntikan.
Kalsitonin agaknya merupakan obat yang sangat aman dan
tidak berinteraksi dengan obat-obat lain yang diketahui. Selama
ini tidak terbukti bahwa kalsitonin bersifat toksik pada manusia.
68
Bifosfonat
Penggunaan bifosfonat pada pasien osteoporosis akan
menyebabkan penurunan resorpsi tulang. Hal ini sebagian
disebabkan karena bifosfonat akan terikat pada Kristal
hidroksiapatit dan mineral tulang lainnya, sehingga Kristal
tersebut menjadi lebih resisten terhadap proses hidrolisis
enzimatik. Hambatan resorpsi tulang pada penggunaan bifosfonat
juga terjadi akibat pengaruh bifosfonat pada sel osteoclast yang
dapat menyebabkan terjadinya:
Perubahan morfologi sel osteoclast.
Penurunan jumlah dan fungsi sel osteoclast.
Penurunan recruitment sel osteoclast ke arah
lokasi remodeling sehingga menurunkan kedalaman
kavitas yang terbentuk akibat erosi.
Penggunaan bifosfonat intermitten pada osteoporosis akan
menurunkan kecepatan turn over tulang dan mungkin dapat
menyebabkan terjadinya sedikit peningkatan massa tulang
terutama pada tulang trabekular. Secara klinis hal ini dapat 69
terlihat dari penurunan insidens fraktur vertebra dan peningkatan
kekuatan torsional tulang panjang pada pasien yang
menggunakan kalsitonin secara intermitten.
Pengaruh bifosfonat pada tulang dapat bertahan sampai 1
atau 2 tahun walaupun penggunaannya telah dihentikan. Belum
diketahui apakah penggunaan klodronat secara terus-menerus
akan memiliki khasiat yang lebih baik.
Efek samping bifosfonat yang paling sering dijumpai adalah
intoleransi intestinal. Hal ini dapat dicegah dengan membagi
dosis total hariannya dalam beberapa kali pemberian.
Calsium
70
Walaupun hubungan antara asupan calsium diet dan
kecepatan kehilangan massa tulang begitu jelas, akan tetapi
asupan calsium yang dalam jumlah yang dianjurkan akan dapat
meningkatkan kadar calsium plasma yang selanjutnya akan
meningkatkan sekresi kalsitonin, menurunkan kadar PTH,
kalsitriol serta menurunkan turn overdan kecepatan resorpsi
terutama pada tulang kortikal baik pada masa pra atau pasca
menopause. Pengaruh calsium akan tampak lebih jelas bila
pemberian suplementasi calsium juga disertai dengan
peningkatan aktivitas fisik.
Dengan demikian, walaupun manfaat calsium tidak sebaik
estrogen, calsium penting untuk diberikan kepada pasien yang
tidak dapat atau menolak untuk menggunakan estrogen karena
faktor umur, kontra indikasi atau efek sampingnya. Pada
osteoporosis yang telah berlangsung lama tanpa suplementasi
calsium, risiko fraktur terutama pada panggul akan meningkat
dengan bermakna setelah terjadinya fraktur yang pertama. Pada
71
pasien seperti itu suplementasi calsium sangat penting untuk
mencegah terjadinya fraktur berikutnya.
Efek samping calsium dalam dosis fisiologis seperti
meteorismus dan konstipasi umumnya jarang dijumpai dan dapat
diabaikan. Walaupun demikian, calsium sebaiknya tidak
diberikan pada pasien dengan peningkatan absorbsi calsium
intestinal, gangguan ginjal sedang atau berat, nefrolitiasis
hiperkalsiurik atau sarkoidosis.
Vitamin D dan Metabolitnya
Metabolit vitamin D, kalsitriol bekerja dengan meningkatkan
absorbsi calsium dan fosfat usus, kalsitriol juga meningkatkan
resorpsi calsium dari tulang. Selain itu, kalsitriol juga berperan
secara langsung pada sel osteoblast dalam sintesis osteocalsin
yang dibutuhkan dalam proses mineralisasi tulang melalui
regulasi pertumbuhan Kristal hidroksiapatit. Kalsitriol juga
72
diketahui dapat menurunkan sensitivitas osteoclast terhadap
PTH.
Defisiensi vitamin D akan menyebabkan terjadinya
hiperparatyroidisme sekunder yang meningkatkan turn
over tulang dan kehilangan massa tulang kortikal, menghambat
mineralisasi osteoid sehingga juga dapat menimbulkan
osteomalasia.
Pasien usila seringkali mengalami defisiensi vitamin D
ringan karena keengganan mereka untuk terpajan oleh sinar
matahari, menurunnya asupan makanan yang mengandung
vitamin D serta penurunan absorpsi intestinal vitamin D. Selain
itu pada usila, penurunan fungsi ginjal diduga menyebabkan
terjadinya hambatan sekresi enzim 1 α-hidroksilase ginjal,
sehingga terjadi hambatan pada konversi kalsitriol menjadi
kalsitriol.
Penggunaan kalsitriol sangat bermanfaat pada pasien
osteoporosis dengan malabsorpsi calsium, osteoporosis akibat
73
penggunaan corticosteroid jangka panjang, osteodistrofi ginjal
dan mungkin juga pada osteoporosis pasca menopause.
Tiasid
Tiasid telah diketahui dapat menurunkan ekskresi calsium
urin. Tiasid harus diberikan pada pasien dengan hiperkalsiuria.
Juga telah diketahui bahwa pasien usila yang menggunakan tiasid
memikiki risiko yang lebih rendah bagi terjadinya fraktur
femoral. Suatu penelitian pada pasien hipertensi pria yang
menggunakan hidroklorotiasid juga menunjukkan peningkatan
massa tulang jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diobati
dengan tiasid.
Pengobatan Osteoporosis Eksperimental
Saat ini sedang berjalan penelitian tentang manfaat beberapa
jenis obat dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis.
74
Beberapa obat yang masih dalam penelitian tersebut adalah
tibolon, fluorida, PTH, tamoksifen dan raloksifen.
Pendekatan Terapi Hormonal dan Farmakologis Osteoporosis
Saat ini terdapat bebagai pendekatan terapi hormonal dan
farmakologis bagi pasien osteoporosis yang telah terbukti
bermanfaat. Pada gambar 1 digambarkan pendekatan terapeutik
dari berbagai obat dan hormon yang digunakan dalam
pengobatan osteoporosis.
Terapi Pengganti Hormonal
Beberapa preparat yang umum digunakan dalam HRT adalah:
3.5. Estrogen
Estrogen terkonjugasi (Premarin, Wyeth Ayerst, tablet
0.625 mg dimulai dari ½ tablet yang kemudian
ditingkatkan secara bertahap setelah 2 atau 3 minggu
menjadi ¾ tablet sehari sampai mencapai 1 tablet/hari.75
Estradiol transdermal [Estraderm TTS, 25 (2mg), TTS
50 (4 mg) dan TTS 100 (8 mg), Ciba] dalam dosis 25
sampai 50 mg/hari yang dapat dicapai dengan
menggunakan Estraderm TTS patch 25 atau 50 setiap 3
atau 4 hari sekali.
Estradiol valerat (Progynova, Schering AG, tablet 2
mg), ½ sampai 1 tablet/hari.
Estimilestradiol (Lynoral, Organon, tablet 50 mg) ½
sampai 1 tablet /hari.
Dalam menentukan kecepatan peningkatan dosis, harus selalu
diperhatikan keluhan pasien. Jika peningkatan dilakukan terlalu
cepat, pasien akan mengalami nyeri pada payudara. Jika nyeri
payudara timbul, peningkatan dosis harus ditunda sementara atau
dosis diturunkan kembali ke dosis semula.
3.6. Progestogen
76
Pada wanita pasca histerektomi, estrogen dapat diberikan
secara terus-menerus, akan tetapi pada wanita yang masih
memiliki uterus umumnya estrogen diberikan bersama
progestogen. Jika progestogen dihentikan, umumnya wanita akan
mengalami withdrawal bleeding. Beberapa preparat progestogen
yang umum digunakan dalam hal ini adalah:
Noretisteron (Primolut N, Schering AG, tablet 5 mg).
Untuk perdarahan disfungsional uterus, noretisteron
diberikan dalam dosis ½ sampai 1 tablet sehari selama
3 minggu untuk kemudian dihentikan selama 1
minggu.
Medroksiprogesteron asetat (Provera, Upjohn, tablet
2,5 mg). Obat ini diberikan 2 atau 3x1 tablet selama
10, 12 atau 13 hari untuk setiap 21 atau 28 hari
estrogen.
3.7. Testosteron
77
Untuk mengatasi osteoporosis akibat sindroma
hipogonadisme, umumnya diberikan:
Ester testosteron (Sustanon, Organon, ampul 250
mg/ml), diberikan dengan suntikan intramuskular
dalam dosis 100-250 mg setiap 3 minggu.
Terapi Non-Hormonal
Agen farmakologis yang digunakan dalam pengobatan non-
hormonal pada osteoporosis adalah:
a. Steroid Anabolik
Nandrolon decanoat (Deca Durabolin, Organon, ampul
25 mg/ml). Untuk pengobatan osteoporosis umumnya
digunakan dalam dosis 50 mg setiap 2 atau 3 minggu.
b. Kalsitonin
78
Kalsitonin (Miacalcic, Sandoz, ampul 50 dan 100
IU, metered nasal spray 50 IU dan 100 IU/spray).
Dosis efektif kalsitonin SCT parenteral untuk
pengobatan osteoporosis berkisar 100 IU/hari, akan
tetapi efek analgesik SCT sudah dapat tercapai dalam
dosis yang lebih rendah. Kalsitonin umumnya
diberikan dalam dosis 50 sampai 100 mg sc/im selama
14 hari untuk kemudian dilanjutkan dengan
penggunaannasal spray 50 sampai 100 IU 3 kali
seminggu.
c. Bifosfonat
Klodronat (Ostac-Boehringer Manheim, Bonefos-
Leiras, kapsul 400 mg disodium klodronate, ampul
konsentrat untuk infuse 300 mg disodium klodronate).
Dalam pengobatan osteoporosis, dosis klodronat oral
umumnya adalah 400 mg selama 14 hari setiap 3
bulan. Pemberian klodronat harus disertai dengan
79
suplementasi calsium elemental dalam dosis 800
sampai 1200 mg/hari yang diberikan setiap hari.
d. Calsium
Calsium laktat glukonat + calsium karbonat
(Calcium, Sandaz Forte, mengandung 400 mg calsium
elemental.
Ossopan (Kenrose, mengandung 176 mg calsium
elemental). Sebagai suplemen nutrisi, calsium
elemental dalam dosis 800-1200 mg/hari umumnya
dapat menurunkan frekuensi fraktur pada wanita
dengan osteoporosis vertebral yang jelas.
e. Vitamin D
Alphacalcidol (One-Alpha, Kenrose/Leo, kapsul 0,25
mg dan 1 mg).
Rocaltrol (Kalsitriol, Roche, kapsul 0,25 dan 0,50 mg).
80
Untuk memelihara massa tulang dan mencegah fraktur pada
osteoporosis diperlukan alfakalsidol 1 mg/hari atau kalsitriol
dalam dosis antara 0.25 mg sampai 1 mg/hari yang diberikan
bersama calsium elemental 800 sampai 1200 mg/hari.
.
3.10. Pencegahan Osteoporosis
Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada
usia muda maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang
dapat mencegah osteoporosis, yaitu(22,26,30):
1. Asupan calsium cukup
Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat
dilakukan dengan mengkonsumsi calsium yang cukup. Minum 2
gelas susu dan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan
kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumya
tidak mendapatkan cukup calsium. Sebaiknya konsumsi calsium
setiap hari. Dosis yang dianjurkan untuk usia produktif adalah
1000 mg calsium per hari, sedangkan untuk lansia 1200 mg per
81
hari. Kebutuhan calsium dapat terpenuhi dari makanan sehari-
hari yang kaya calsium seperti ikan teri, brokoli, tempe, tahu,
keju dan kacang-kacangan.
2. Paparan sinar matahari
Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh
mengaktifkan pro vitamin D dibawah kulit yang dibutuhkan oleh
tubuh dalam pembentukan massa tulang. Berjemurlah dibawah
sinar matahari selama 20-30 menit, 3x/minggu. Sebaiknya
berjemur dilakukan pada pagi hari sebelum jam 9 dan sore hari
sesudah jam 4. Sinar matahari membantu tubuh menghasilkan
vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan
massa tulang.
3. Melakukan olahraga dengan beban
82
Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan
sendiri juga dapat berfungsi sebagai beban yang dapat
meningkatkan kepadatan tulang. Olahraga beban misalnya
senam aerobik, berjalan dan menaiki tangga. Olahraga yang
teratur merupakan upaya pencegahan yang penting. Tinggalkan
gaya hidup santai, mulailah berolahraga beban yang ringan,
kemudian tingkatkan intensitasnya. Yang penting adalah
melakukannya dengan teratur dan benar. Latihan fisik atau
olahraga untuk penderita osteoporosis berbeda dengan olahraga
untuk mencegah osteoporosis. Latihan yang tidak boleh
dilakukan oleh penderita osteoporosis adalah sebagai berikut:
• Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan
pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah
risiko patah tulang punggung karena ruas tulang punggung yang
lemah tidak mampu menahan beban tersebut. Hindari latihan
berupa lompatan, senam aerobik.
83
• Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan membungkuk
kedepan dengan punggung melengkung. Hal ini berbahaya
karena dapat mengakibatkan cedera ruas tulang belakang. Juga
tidak boleh melakukan sit up, meraih jari kaki, dan lain-lain.
• Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan menggerakkan
kaki kesamping atau menyilangkan dengan badan, juga
meningkatkan risiko patah tulang, karena tulang panggul dalam
kondisi lemah.
Berikut ini latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh penderita
osteoporosis :
• Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan sekitar 4,5 km/jam
selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini diperlukan untuk
mempertahankan kekuatan tulang. Jalan kaki lebih cepat (6 km/jam)
akan bermanfaat untuk jantung dan paru-paru.
84
• Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat
”dumbble” kecil untuk menguatkan pinggul, paha, punggung, lengan
dan bahu.
• Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kesigapan.
• Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat
dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan. Hal ini
dapat menguatkan otot-otot yang menahan punggung agar tetap tegak,
mengurangi kemungkinan bengkok, sekaligus memperkuat punggung.
Untuk pencegahan osteoporosis, latihan fisik yang dianjurkan adalah
latihan fisik yang bersifat pembebanan, terutama pada daerah yang
mempunyai risiko tinggi terjadi osteoporosis dan patah tulang. Jangan
lakukan senam segera sesudah makan. Beri waktu kira-kira 1 jam
perut kosong sebelum mulai dan sesudah senam. Dianjurkan untuk
berlatih senam tiga kali seminggu, minimal 20 menit dan maksimal 60
menit. Sebaiknya senam dikombinasikan dengan olahraga jalan secara
85
bergantian, misalnya hari pertama senam, hari kedua jalan kaki, hari
ketiga senam, hari keempat jalan kaki, hari kelima senam, hari
keenam dan hari ketujuh istirahat. Jalan kaki merupakan olahraga
yang paling mudah, murah dan aman, serta sangat bermanfaat.
Gerakannya sangat mudah dilakukan, melangkahkan salah satu kaki
kedepan kaki yang lain secara bergantian. Lakukanlah jalan kaki 20-
30 menit, paling sedikit tiga kali seminggu.dianjurkan berjalan lebih
cepat dari biasa, disertai ayunan lengan. Setiap latihan fisik harus
diawali dengan pemanasan untuk:
• Menyiapkan otot dan urat agar meregang secara perlahan dan
mantap sehingga mencegah terjadinya cedera.
• Meningkatkan denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh sedikit demi
sedikit.
• Menyelaraskan koordinasi gerakan tubuh dengan keseimbangan
gerak dan Menimbulkan rasa santai.
86
Lakukan selama 10 menit dengan jalan ditempat, gerakan
kepala, bahu, siku dan tangan, kaki, lutut dan pinggul. Kemudian
lakukan peregangan selama kira-kira 5 menit. Latihan peregangan
akan menghasilkan selama kira-kira 5 menit. Latihan peregangan akan
menghasilkan kelenturan otot dan kemudahan gerakan sendi. Latihan
ini dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan sampai
menyebabkan cedera. Biasanya dimulai dengan peregangan otot-otot
lengan, dada, punggung, tungkai atas dan bawah, serta otot-otot kaki
Latihan inti, kira-kira 20 menit, merupakan kumpulan gerak yang
bersifat ritmis atau berirama agak cepat sehingga mempunyai nilai
latihan yang bermanfaat. Utamakan gerakan, tarikan dan tekanan pada
daerah tulang yang sering mengalami osteoporosis, yaitu tulang
punggung, tulang paha, tulang panggul dan tulang pergelangan
tangan.Kemudian lakukan juga latihan beban. Dapat dibantu dengan
bantal pasir, dumbble, atau apa saja yang dapat digenggam dengan
berat 300-1000 gram untuk 1 tangan, mulai dengan beban ringan
untuk pemula, dan jangan melebihi 1000 gram. Beban untuk tulang
belakang dan tungkai sudah cukup memadai dengan beban dari tubuh
87
itu sendiri. Setelah latihan inti harus dilakukan pendinginan dengan
memulai gerakan peregangan seperti awal pemanasan dan lakukan
gerakan menarik napas atau ambil napas dan buang napas secara
teratur. Jika masih memungkinkan. Lakukan senam lantai kira-kira 10
menit.
Latihan ini merupakan gabungan peregangan, penguatan dan
koordinasi. Lakukan dengan lembut dan perlahan dalam posisi
nyaman, rilex dan napas yang teratur.
4. Hindari rokok dan minuman beralkohol
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting
dalam mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu
banyak minum alkohol juga bisa merusak tulang.
5. Deteksi dini osteoporosis
Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya
tidak diawali dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam
mencegah dan mengobati osteoporosis adalah pemeriksaan secara dini
88
untuk mengetahui apakah kita sudah terkena osteoporosis atau belum,
sehingga dari pemeriksaan ini kita akan tahu langkah selanjutnya.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang adalah sebagai berikut:
a. Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), menggunakan dua
sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada
bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian
yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya
mengizinkan sedikit sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan
metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang.
DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap
tahun.
Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi
dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingan dengan
metode ultrasounds.
89
b. Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA),
merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan
tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat
mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang
belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belakang dan
pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA tidak
diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi
sinar-X dengan dosis yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan
konvensional dibandingkan DEXA.
c. Dual photon absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif
untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral
tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar
dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama.
d. Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka
90
dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan
gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya
pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara
melalui udara dan sebagian lagi melalui air.
Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak
menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan
Ultrasounds tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang
berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds
juga lebih terbatas dibandingkan DEXA.
e. Quantitative computed tomography (QTC), adalah suatu model dari
CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu
model dari QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat
mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan
tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan
karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi, dan
kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, PDEXA,atau
DPA(1,2,3,7,10,11,12).
91
BAB IV
KESIMPULAN
1. Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang
secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang.
2. Dua penyebab osteoporosis adalah pembentukan massa
puncak tulang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya
pengurangan massa tulang setelah menopause.
3. Faktor resiko terjadinya osteoporosis, yaitu usia, genetik,
lingkungan dan faktur panggul.
4. Osteoporosis terbagi menjadi primer dan sekunder.
Osteoporosis primer adalah osteoporosis pasca menopause dan
sekunder biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
5. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada
vertebra, pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia.
6. Terapi osteoporosis memepertimbangkan 2 hal, yaitu
menghambat hilangnya massa tulang dan peningkatan massa
tulang.
92
7. Pencegahan osteoporosis adalah mengkonsumsi calsium yang
cukup, olahraga beban dan mengkonsumsi obat contohnya
estrogen.
93
DAFTAR PUSTAKA
1. Broto, R. 2004. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan
Osteoporosis. Dexa Media No. 2 Vol 17: 47 – 57
2. Dalimartha, S, 2002. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita
Osteoporosis. Penebar Swadaya. Jakarta.
3. Djokomoeljanto R, 2003. Postmenopausal osteoporosis.
Patofisiologi dan dasar pengobatan. Simposium Osteoporosis
Postmenopausal. Semarang: p.1-12
4. Hammett, Stabler CA, 2004. Osteoporosis from
pathophysiology to treatment. In: Washington American
Assosiation for Clinical Chemistry Press.p. 1-86
94
5. Hortono, M, 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis.
Puspa Swara. Jakarta.
6. Kaniawati, M., Moeliandari, F, 2003, Penanda Biokimia untuk
Osteoporosis.Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics
Educational Services. No 1: hal. 1–18
7. Lane NE. 2003. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
8. Sennang AN, Mutmainnah, Pakasi RDN, Hardjoeno, 2006.
Analisis KadarOsteocalsin Serum Osteopenia dan Osteoporosis.
Dalam Indonesian Journal of clinical pathology and medical
laboratory, Vol.12, No.2: hal 49-52
9. Tesar R, 2011. Perosi – ISCD Bone Densitometry Course For
Technologist With ISCD Certification. Editor: Tesar R, Caudill
J, Colquhon A, Krueger D. International Society for Clinical
Densitometry.
95
10.Sinnathamby, Hemanath. 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan
Dan Sikap Terhadap Osteoporosis Dan Asupan Calsium Pada
Wanita Premenopause Di Kecamatan Medan Selayang Ii.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
11.Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
12.Wirakusmah, E.S., 2007. Mnecegah Osteoporosis Lengkar
Dengan 39 Jus dan 38 Resep. Available at url :
http://books.google.co.id/books?
id=voPEmYEwjXwC&pg=PA1&dq=osteoporosis#PPP1M1.
[Diskses 23 Juni 2013]
13.Macdonald HM NS, Campbell MK, Reid DM. Influence of
weight and weight change on bone loss in perimenopausal and
early postmenopausal Scottish women. 2005:163–71.
96
14.Haussler B GH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D.
Epidemiology, treatment and costs of osteoporosis in Germany-
the BoneEVA Study. 2007:77–84.
15.Macdonald HM NS, Golden MH, Campbell MK, Reid DM.
Nutritional associations with bone loss during the menopausal
transition: evidence of a beneficial effect of calcium, alcohol,
and fruit and vegetable nutrients and of a detrimental effect of
fatty acids. 2004:155–65.
16.The Jakarta Post. How to Avoid the brittle bone problem. 2003;
Available from: http://the jakartapost.com.
17.Ross PD. Osteoporosis frequency, consequences and risk
factors: Arch. Internal Med.; 1996; 156(13):1399-411.
97
18.Johnell. Advances in osteoporosis: Better identification of risk
factors can reduce morbidity and mortality: J. Internal Med.;
1996. 239(4): 299–304.
19.T.V. Nguyen DS, P.N. Sambrook and J.A. Eisman. Mortality
after all major types of osteoporotic fracture in men andwomen:
An observational study. 1999:878-82.
20.Buttros Dde A N-NJ, Nahas EA, Cangussu LM, Barral AB,
Kawakami MS. Risk factors for osteoporosis in postmenopausal
women from southeast Brazilian. 2011. Juni; 33(6):295-302.
21.Fatmah. Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lansia Etnis
Jawa. 2008;43(2):57-67.
98
22.Tebé C DRL, Casas L, Estrada MD, Kotzeva A, Di Gregorio S,
Espallargues M. Risk factors for fragility fractures in a cohort
of Spanish women. 2011. 25(6):507-12 58
23.Lindsay R CFOIFA, Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL. Osteoporosis. In: Fauci AS Be, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al., editor.
Harrison’s principle of internal medicine 17 ed: Mc Grow-Hill
USA; 2008. p. 2397-408.
24.Cyrus Cooper SG, Robert Lindsay. Prevention and Treatment of
Osteoporosis: a Clinician’s Guide. New York: Taylor and
Francis; 2005.
25.Age Venture News Service. 2004; Available from:
http://www.demko.com.
99
26.Journal CM. Prevalence rate of osteoporosis in the mid- aged
and elderly in selected parts of China. 2002; 115: 773-5.
27.H M. Osteoporosis pada usia lanjut tinjauan dari segi geriatri.
Rachmatullah P GM, Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing ML,
editor. Semarang (Indonesia): Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2007. p. 126.
28.Juliet C. Disease of Skeleton: Osteoporosis. Oxford Text Book
of Medicine; 2003. P. 36-41.
29.Setiyohadi B. Osteoporosis. In: Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi,
Marcellinus Simadibrata, Siti Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p.
2650-76.
100
30.American Association of Clinical Endocrinologist Medical
Guidelines for Clinical Practice for the Prevention and
Treatment of Post Menopausal Osteoporosis: 2001 Editio, with
selected updates for 2003. Endocr Pract .Nov-Des
2003;9(6):544-64
101