I. TUJUAN PEMBELAJARAN
1.1. Tujuan Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Mata.
Pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pengertian profesi sendiri adalah suatu bidang pekerjaan yang menuntut keterampilan dan atau suatu keahlian, etika dan sikap kerja tertentu yang dihasilkan dari suatu proses pendidikan.
Pendidikan kedokteran merupakan salah satu program pendidikan profesi yang bertujuan untuk menghasilkan dokter yang mampu melaksanakan tugas profesinya dan senantiasa memiliki keinginan untuk meningkatkan dan mengembangkan diri sesuai dengan tuntunan profesionalitas seorang dokter. Melalui pendidikan kedokteran yang paripurna diharapkan dokter yang dihasilkan memiliki sikap dan dapat mengembangkan kepribadian yang diperlukan untuk menjalankan profesinya seperti integritas, rasa tangung jawab, dapat dipercaya sesuai dengan etika profesinya yang universal. Guna mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan metode pembelajaran serta dinamika tuntutan pelayanan kesehatan masyarakat, maka kurikulum ini juga bersifat dinamis, sehingga setiap penyelenggaraan program pendidikan profesi harus memperoleh evaluasi dan masukan secara terus-menerus tentang keberhasilan dan kegagalan dalam mencapai tujuan pendidikan profesi dokter.
Komponen lain yang sangat penting dari kurikulum ini adalah komponen normatif yaitu pendekatan untuk mengembangkan akhlak, budi pekerti, kepribadian, etika dan sikap mahasiswa didik. Komponen etika normatif ini menjadi dasar pengembangan komponen adaptif dan produktif sehingga mampu melahirkan sikap sekaligus keterampilan professional dokter yang beretika.
Kurikulum pada tahap pendidikan ini menekankan aspek keterampilan klinik, etika, sikap profesional (professional behaviour) dan evidence-based medicine untuk mencapai kompetensi yang terintegrasi, dimana proses pendidikan dijalankan dengan menerapkan prinsip pendidikan klinik, yaitu experiential, patient-based, preceptor-based, dan community- based. Pendekatan mastery learning dikembangkan berdasarkan pada prinsip belajar orang dewasa yang belajar lebih bersifat self-directed learning, partisipatif, relevan dan praktis. Aspek lain dari pendekatan ini adalah meniru perilaku (behaviour modeling), berdasarkan kompetensi dan menggunakan teknik pelatihan humanistik. Behaviour modeling merupakan gambaran yang sama dengan teori belajar sosial atau yang terjadi di dalam masyarakat, dimana dalam kondisi yang ideal, seorang calon dokter akan belajar lebih cepat dengan meniru apa yang diperbuat oleh orang lain dengan kata lain mencontoh atau belajar melalui observasi.
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Mata termasuk Kepaniteraan Klinik yang merupakan Program Profesi Dokter, kelanjutan Pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Unsri. Program ini bertujuan mendidik Sarjana Kedokteran untuk menjadi dokter sesuai dengan kurikulum sehingga memiliki cukup pengalaman dan ketrampilan klinik, mempunyai kemampuan memecahkan masalah serta bersikap profesional di bidang Ilmu Kesehatan Mata.
1
II. KOMPETENSI
2.1.Kompetensi Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Mata.Setelah menjalani kepaniteraan, mahasiswa diharapkan :
1. Terampil melakukan pemeriksaan fisik diagnostik dasar mata, yaitu:Pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, pemeriksaan low vision acuity, gerakan bola mata (versi dan duksi), keseimbangan otot bola mata (tes Hirschberg), tekanan bola mata palpasi, pemeriksaan eksternal dengan binocular loupe dan lampu senter.
2. Terampil menggunakan alat diagnostik tertentu, yaitu:
Trial frame dan slit lens untuk koreksi kacamata, tonometer Schiotz, oftalmoskop direk dan slit lamp.
3. Terampil melakukan pemeriksaan penunjang diagnostik tertentu, yaitu: Tes pin hole, tes proyeksi cahaya, mengukur jarak pupil, tes tutup, tes tutup-buka, tes fluoresen, tes sensibilitas kornea, tes warna Ishihara, tes konfrontasi.
4. Terampil mengambil anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik dan menggunakan alat diagnostik penunjang untuk menegakkan diagnosis, menentukan cara penatalaksanaan dan menentukan prognosis dari penyakit mata tertentu, seperti:Hordeolum, kalazion, kelainan refraksi, konjungtivitis akut, konjung vernalis, konjungtivitis fliktenularis, konjungtivitis purulenta, abrasi kornea, korpus alienum kornea, keratitis dendritika, keratitis pungtata superfisialis, keratitis numularis, ulkus kornea, pterigium, pinguekula, episkeritis, skleritis, uveitis anterior, endoftalmitis, panoftalmitis, katarak, glaukoma sudut tertutup akut.
5. Mengetahui persiapan pasien praoperasi dan perawatan pascaoperasi di ruangan.
6. Telah melihat sebagian besar tindakan operasi antara lain : Ekstirpasi pterigium, ECCE + IOL, Fako + IOL, penjahitan kornea, penjahitan sklera, trabekulektomi, enukleasi, eviserasi, eksenterasi, penjahitan palpebra, aspirasi hifema, ablasio retina.
7. Telah melihat sebagian besar tindakan operasi kecil di ruang tindakan emergensi, yaitu : Insisi hordeolum dan kalazion, mengambil benda asing di kornea, penjahitan palpebra, pengangkatan jahitan kornea.
8. Terampil melakukan tindakan tertentu di ruang tindakan emergensi, sesuai kewenangan dokter umum di bidang penyakit mata, yaitu : Irigasi permukaan bola mata pada trauma kimia, mengambil benda asing di konjungtiva bulbi dan konjungtiva tarsalis.
9. Dapat berpikir secara logis dan mempertahankan pendapatnya secara ilmiah di
bidang Ilmu Penyakit Mata.
2
III. PRASYARAT KEPANITERAAN
3.1.Prasyarat Mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Mata
1. Kepaniteraan klinik berlangsung selama 4 pekan.2. Mahasiswa di bagi tiap kelompok dengan jumlah maksimal 10 orang3. Jam kerja
Hari Senin-Kamis : jam 07.00 – 14.00 WIBHari Jum’at : jam 07.00 – 12.00 WIBHari Sabtu : jam 07.00 – 14.00 WIB
4. Mahasiswa wajib melakukan absensi pada saat datang dan pulang. Apabila tidak melakukan absensi maka mahasiswa dianggap tidak hadir.
5. Setiap ijin meninggalkan kepaniteraan harus sepengetahuan Koordinator Kepaniteraan. Apabila mahasiswa tidak dapat masuk harus memberikan surat ijin tertulis atau melampirkan surat sakit dari dokter, yang harus diterima oleh Koordinator Kepaniteraan pada hari yang bersangkutan tidak hadir.
6. Apabila mahasiswa tidak hadir selama 3 hari, akan mengulang masa kepaniteraan dengan alasan apapun.
7. Pelaksanaan kegiatan kepaniteraan di bimbing oleh satu orang konsulen pembimbing dan dibantu oleh residen senior (pendamping) per kelompok.
8. Setiap kelompok (maksimal 10 orang) akan dibagi kedalam beberapa group dan akan menjalankan rotasi seperti rotasi terlampir.
9. Semua kegiatan dibidang pendidikan, pelayanan, maupun evaluasi ditulis dalam daftar kegiatan dan ditandatangani oleh dokter yang membimbing.
10. Aktivitas kegiatan meliputi bimbingan konsulen, short case, bed side teaching, prosedural skill, phantom, telaah ilmiah dan long case.
11. Ujian kompetensi adalah ujian akhir dilakukan setelah dokter muda menjalani semua aktivitas di atas. Ujian terdiri dari dua tipe yaitu ujian tulis kompetensi dan ujian langsung ke pasien. Hasil ujian ini akan ditotalkan sebagai nilai akhir ujian.
3
IV. PROSES PEMBELAJARAN
4.1. Penjelasan Aktivitas Kegiatan
1. Bimbingan konsulenPembimbingan terhadap dokter muda untuk menyegarkan ilmu kesehatan mata yang telah diajarkan di pre klinik oleh para konsulen. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-1 kepaniteraan pada hari selasa sampai dengan sabtu.
2. Bed side teaching;Pembimbingan terhadap dokter muda langsung dengan pasien. Dokter muda diberikan sebuah kasus pasien di bangsal dan mereka melakukan suatu prosedur pemeriksaan terhadap pasien tersebut. Hasil pemeriksaan mereka tersebut didiskusikan. Aktivitas kegiatan dapan dilakukan secara lengkap mulai dari anamnesis sampai penatalaksanaannya atau juga dapat dilakukan hasil satu bagian prosedur pemeriksaan saja yang dianggap penting oleh pembimbing. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-2 kepaniteraan pada hari senin, selasa dan rabu.
3. Prosedural skill;Pembimbingan terhadap dokter muda langsung dengan pasien. Dokter muda diberikan sebuah kasus pasien di kamar tindakan dan kamar operasi. Mereka melakukan suatu prosedur tindakan terhadap pasien tersebut. Hasil pemeriksaan mereka tersebut didiskusikan. Aktivitas kegiatan dapan dilakukan secara lengkap mulai dari anamnesis sampai penatalaksanaannya atau juga dapat dilakukan hasil satu bagian prosedur tindakan saja yang dianggap penting oleh pembimbing. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-2 kepaniteraan pada hari kamis, jumat dan sabtu.
4. Short case;Pembimbingan terhadap dokter muda langsung dengan pasien. Dokter muda diberikan sebuah kasus pasien di poliklinik dan mereka melakukan suatu prosedur pemeriksaan terhadap pasien tersebut. Hasil pemeriksaan mereka tersebut didiskusikan. Aktivitas kegiatan dapan dilakukan secara lengkap mulai dari anamnesis sampai penatalaksanaannya atau juga dapat dilakukan hasil satu bagian prosedur pemeriksaan saja yang dianggap penting oleh pembimbing. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-2 kepaniteraan pada hari kamis, jumat dan sabtu.
5. Phantom;Pembimbingan terhadap dokter muda tidak langsung dengan pasien. Dokter muda seolah-olah diberikan sebuah kasus pasien dan mereka melakukan suatu prosedur pemeriksaan terhadap pasien tersebut. Hasil pemeriksaan mereka tersebut didiskusikan. Aktivitas kegiatan dapan dilakukan secara lengkap mulai dari anamnesis sampai penatalaksanaannya atau juga dapat dilakukan hasil satu bagian prosedur pemeriksaan saja yang dianggap penting oleh pembimbing. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-3 kepaniteraan pada hari senin, selasa dan rabu.
6. Long case;Pembimbingan terhadap dokter muda secara berkelompok untuk mengasah kemampuan ilmiah terhadap suatu kasus sesuai dengan kompetensi dokter umum. Pembuatan suatu kasus dilakukan dokter muda setelah diberi judul oleh pembimbing yang sesuai dengan kompetensi. Dokter muda tersebut akan berdiskusi dan mempresentasikan laporan kasunya dengan pembimbing dan hasil diskusi akan dinilai oleh pembimbing. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-3 kepaniteraan pada hari kamis, jumat dan sabtu.
7. Telaah ilmiah;Pembimbingan terhadap dokter muda secara individu untuk mengasah kemampuan ilmiah sesuai dengan kompetensi dokter umum. Pembuatan makalah ilmiah dilakukan dokter muda setelah diberi judul oleh pembimbing yang sesuai dengan kompetensi. Dokter muda tersebut akan berdiskusi dengan pembimbing dan hasil diskusi akan dinilai
4
oleh pembimbing. Kegiatan ini dilakukan pada minggu ke-4 kepaniteraan pada hari senin sampai dengan sabtu.
4.2. Formulir Kegiatan Kepaniteraan
4.2.1. Bimbingan Konsulen
Tanggal Hari Bahan Ajaran Nama Pembimbing* Selasa Anatomi & Fisiologi Mata
Selasa Pembuatan Status AwalSelasa Pemeriksan Segmen Anterior Rabu Pemeriksaan Refraksi dan Low VisionRabu Pemeriksaan Pterigium, Hordeolum,
Kalazion, dan lainRabu Pemeriksaan Segmen PosteriorKamis Pemeriksaan GlaukomaKamis Pemeriksaan KatarakJumat Strabismus dan Ambliopia Jumat Ulkus Kornea & Penyakit Infeksi pada
KorneaSabtu Pemeriksaan & Penyakit TumorSabtu Pemeriksaan Nervus OptikusSabtu Pemeriksaan dan Kelainan Penyakit
Retina*minggu ke-1**jadwal dosen pembimbing secara bergantian
4.2.2. Bed side teaching
No. Nama Hari/Tanggal Pembimbing1 Senin*
Selasa Rabu
**234 Senin
Selasa Rabu
567 Senin
Selasa Rabu
8910 Senin
Selasa Rabu
11
Ket:*minggu ke-2**jadwal dosen pembimbing secara bergantian
5
4.2.3. Short Case dan Prosedural skill
No. Nama Hari/Tanggal Pembimbing1 Kamis*
JumatSabtu
**234 Kamis
JumatSabtu
567 Kamis
JumatSabtu
8910 Kamis
JumatSabtu
11
Ket:*minggu ke-2**jadwal dosen pembimbing secara bergantian4.2.4. Phantom
No. Nama Hari/Tanggal Pembimbing1 Senin*
Selasa Rabu
**234 Senin
Selasa Rabu
567 Senin
Selasa Rabu
8910 Senin
Selasa Rabu
11
Ket:*minggu ke-3** jadwal dosen pembimbing secara bergantian
4.2.5. Long Case
No. Nama Judul Pembimbing1 Kamis*
JumatSabtu
**234 Kamis*
JumatSabtu
567 Kamis*
JumatSabtu
8910 Kamis*
JumatSabtu
11
*minggu ke-3** jadwal dosen pembimbing secara bergantian
4.2.6. Telaah Ilmiah6
No. Nama Judul Pembimbing1 Senin-sabtu* **234567891011
*minggu ke-4** jadwal dosen pembimbing secara bergantian
4.3. Formulir Kegiatan Kepaniteraan7
FORMULIR BED SIDE TEACHING
PENYAJI : ____________________________________________________PEMBIMBING : 1. __________________________________________________
2. __________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik
PROBLEM PASIEN/DIAGNOSIS : ________________________________________ Pasien : Umur :______ Jenis kelamin : ______ Baru : Follow up : Tingkat kerumitan: rendah sedang tinggiFokus : anamnesis pemeriksaan diagnosis terapi konseling
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. Kemampuan wawancara medis
Observasi Tidak diobservasi
2. Kemampuan pemeriksaan oftalmologis Observasi Tidak diobservasi
3. Kualitas humanistik/profesionalisme Observasi Tidak diobservasi
4. Keputusan klinis/diagnostik Observasi Tidak diobservasi
5. Kemampuan mengelola pasien Observasi Tidak diobservasi
6. Kemampuan konseling Observasi Tidak diobservasi
7. Kompetensi klinis keseluruhan Observasi Tidak diobservasi
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________
SARAN : ___________________________________________________________________________________________________________________________
Palembang, 20Tanda Tangan Penguji
( )
FORMULIR PROSEDURAL SKILL
8
JUDUL : ____________________________________________________ _______________________________________________________________________PENYAJI : __________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________PEMBIMBING : 1. __________________________________________________
2. __________________________________________________ 3. __________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. Menunjukkan pemahaman tentang indikasi,
anatomi yang relevan dengan teknik prosedur
2. Memperoleh informed consent3. Menunjukkan persiapan sebelum tindakan 4. Teknik aseptik antiseptik 5. Menunjukkan kemampuan teknis6. Manajemen post tindakan7. Kemampuan keseluruhan dalam melakukan
prosedurT O T A L N I L A I
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________
SARAN : ___________________________________________________________________________________________________________________________
Palembang, 20Tanda Tangan
( )
FORMULIR SHORT CASE9
(MINI CLINICAL EVALUATION EXERCISE/MINI CEX)
PENYAJI : ____________________________________________________PEMBIMBING : 1. __________________________________________________
2. __________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik
PROBLEM PASIEN/DIAGNOSIS : ________________________________________ Pasien : Umur :______ Jenis kelamin : ______ Baru : Follow up : Tingkat kerumitan: rendah sedang tinggiFokus : anamnesis pemeriksaan diagnosis terapi konseling
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. Kemampuan wawancara medis
Observasi Tidak diobservasi
2. Kemampuan pemeriksaan oftalmologis Observasi Tidak diobservasi
3. Kualitas humanistik/profesionalisme Observasi Tidak diobservasi
4. Keputusan klinis/diagnostik Observasi Tidak diobservasi
5. Kemampuan mengelola pasien Observasi Tidak diobservasi
6. Kemampuan konseling Observasi Tidak diobservasi
7. Kompetensi klinis keseluruhan Observasi Tidak diobservasi
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________
SARAN : ___________________________________________________________________________________________________________________________
Palembang, 20Tanda Tangan Penguji
( )FORMULIR PHANTOM
10
JUDUL : ____________________________________________________ _______________________________________________________________________PENYAJI : __________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________PEMBIMBING : 1. __________________________________________________
2. __________________________________________________ 3. __________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat. TIDAK semua kolom harus di isi.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik baik
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. PENYAMPAIAN MATERI
1. Suara cukup jelas dan berirama2. Kecepatan dan ketepatan sesuai3. Gaya penyajian menyenangkan4. Menerangkan inti masalah secara jelas
2. PENGUASAAN MATERI1. Kemampuan identifikasi pasien2. Kemampuan anamnesis pasien3. Kemampuan pemeriksaan fisik pasien4. Kemampuan pemeriksaan oftalmologis5. Kemampuan penegakan diagnosis6. Kemampuan diagnosis diferensial7. Kemampuan pemeriksaan penunjang8. Kemampuan penatalaksanaan9. Kemampuan membuat prognosis10. Mampu membuat suatu kesimpulan T O T A L N I L A I
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
SARAN : _____________________________________________________________________________________________________________________________________________
Palembang, 20Tanda Tangan Penguji
( )
FORMULIR LONG CASE(PRESENTASI KASUS/CASE BASE DISCUSSION)
11
JUDUL : ____________________________________________________ _______________________________________________________________________PENYAJI : __________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________PEMBIMBING : 1. __________________________________________________
2. __________________________________________________ 3. __________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. PERSIAPAN MAKALAH
1. Kejujuran2. Kreatifitas3. Ketekunan4. Tanggung jawab5. Kerjasama
2. PENYAJIAN MAKALAH1. Suara cukup jelas dan berirama2. Kecepatan dan ketepatan sesuai3. Gaya penyajian menyenangkan4. Menerangkan inti masalah secara jelas 5. Memperhatikan hadirin
3. PENGUASAAN MATERI1. Ketepatan dalam menjawab pertanyaan2. Objektif dalam menanggapi pertanyaanT O T A L N I L A I (Dibagi 12)
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________
SARAN : ___________________________________________________________________________________________________________________________
Palembang, 20Tanda Tangan Penguji
( )
FORMULIR TELAAH ILMIAH
12
JUDUL : ____________________________________________________ _______________________________________________________________________PENYAJI : __________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________PEMBIMBING : ____________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat. TIDAK semua kolom harus di isi.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. PERSIAPAN MAKALAH
1. Kejujuran2. Kreatifitas3. Ketekunan4. Tanggung jawab
2. PENYAMPAIAN MAKALAH1. Suara cukup jelas dan berirama2. Kecepatan dan ketepatan sesuai3. Gaya penyajian menyenangkan4. Menerangkan inti masalah secara jelas
3. PENGUASAAN MATERI1. Mampu menjelaskan latar belakang Dan tujuan makalah ilmiah2. Mampu menguasai anatomi di makalah Ilmiah3. Mampu menguasai fisiologi di makalah Ilmiah4. Mampu menguasai patofisiologi di makalah ilmiah5. Mampu menjelaskan cara pemeriksaan suatu kasus di makalah ilmiah6. Mampu menguasai penegakkan diagnosis diferensial di makalah ilmiah7. Mampu menguasai penegakkan diagnosis diferensial di makalah ilmiah8. Mampu mengetahui pemeriksaan penunjang9. Mampu menguasai penatalaksanaan di makalah ilmiah 10. Mampu menguasai kapan harus di rujuk11. Mampu menguasai prognosis di makalah ilmiah12. Mampu membuat suatu kesimpulan dalam makalah ilmiahT O T A L N I L A I
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
SARAN : _____________________________________________________________________________________________________________________________________________
Palembang, 20Tanda Tangan Penguji
( )FORMULIR UJIAN KOMPETENSI BAGIAN
13
JUDUL : ____________________________________________________ _______________________________________________________________________NAMA DR. MUDA : ____________________________________________________PENGUJI : 1. __________________________________________________
2. __________________________________________________
PETUNJUK : Isi nilai di kolom yang telah disediakan di bawah ini sesuai dengan pendapar sejawat.SKALA NILAI : < 41 : sangat kurang
41- 55 : kurang 56- 70 : cukup 71- 85 : baik 86 > : sangat baik
NO KEGIATAN NILAI (1-100) KETERANGAN1. STATUS PENDERITA
1. Anamnesis2. Pemeriksaan3. Diagnosis4. Diagnosis banding5. Pemeriksaan penunjang6. Penatalaksanaan7. Prognosis
2. PENGETAHUAN PENYAKIT LAIN1. Katarak2. Glaukoma3. EED4. Strabismus5. Retina6. Tumor7. Pediatrik oftalmologi8. Rekonstruksi dan trauma mata9. Neurooftalmologi10. RefraksiT O T A L N I L A I
KOMENTAR : ___________________________________________________________________________________________________________________________
HASIL = NILAI UJIAN TULIS + NILAI UJIAN PASIEN = 2
Palembang, 20Tanda Tangan Penguji
( )
V. NAMA-NAMA UNIT
14
Bagian Ilmu Kesehatan Mata memiliki beberapa subdivisi yaitu: 1. Subdivisi EED2. Subdivisi Uvea3. Subdivisi Refraksi4. Subdivisi Strabismus5. Subdivisi Neuroophthalmology6. Subdivisi Vitreoretina7. Subdivisi Tumor8. Subdivisi Rekonstruksi9. Subdivisi Glaukoma10. Subdivisi Lensa11. Subdivisi Pediatrik Ophthalmology
Dari masing-masing subdivisi ini ada yang merupakan kompetensi untuk dokter muda yang menjalani kepaniteraan klinik. Porsi kompetensi dari masing-masing subdivisi ini tidak sama besar karena mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
VI. NAMA-NAMA DOSEN
1. Dr. Linda Trisna, SpM(K) : subdivisi Strabismus2. DR. Dr. Fidalia, SpM(K) : subdivisi Glaukoma3. DR. Dr. Anang Tribowo, SpM(K) : subdivisi EED/Uvea4. Dr. Elza Iskandar, SpM(K) : subdivisi Rekonstruksi5. Dr. A.K. Ansyori, SpM(K)Mkes : subdivisi Vitreoretina6. Dr. Ibrahim, SpM : subdivisi Tumor7. Dr. Rusdianto, SpM(K) : subdivisi Pediatrik Oftalmologi8. Dr. Alie Sholahuddin, SpM : subdivisi Lensa9. Dr. Devi Azri Wahyuni, SpM : subdivisi Neurooftalmologi10. Dr. Ani, SpM : subdivisi Refraksi11. Dr. Ramzi Amin, SpM : subdivisi Vitreoretina12. Dr. Riani Erna, SpM : subdivisi Rekonstruksi
15
MODUL UNIT
I. TUJUAN PEMBELAJARAN
16
1.1.Tujuan Pembelajaran UmumSetelah mengikuti serangkaian kegiatan selama menjalani rotasi di bagian Ilmu Kesehatan
Mata diharapkan mahasiswa terampil dalam:1. Menganamnesis keluhan dan gejala yang ada dengan baik2. Menerangkan patofisiologi pada penyakit yang didapatkan3. Menginterpretasi dan menjelaskan gejala dan tanda penyakit yang ada4. Melakukan pemeriksaan klinis dan oftalmologikus dengan terampil5. Membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan tambahan.6. Memutuskan dan mampu menangani problem itu berdasarkan kompetensinya.7. Memiliki kepribadian dan akhlak yang baik dan santun terhadap sesama sejawat dan
pasien.
1.2.Tujuan Pembelajaran Khusus
Sesuai dengan masing-masing topik. II. AKTIVITAS PEMBELAJARAN
2.1.Hari Senin Minggu I ( dijalankan secara berurutan )(1) Mahasiswa membawa surat pengantar dari Bagian Akademik Fakultas Kedokteran Unsri
dan menyerahkannya kepada sekretariat bagian Mahasiswa dan menyerahkan data pribadi serta kelengkapan administrasi lainnya.
(2) Mahasiswa melapor kepada koordinator P3D yang akan diberikan penjelasan mengenai P3D di bagian mata secara umum. Koordinator P3D akan memberikan satu berkas Buku Panduan Kegiatan yang akan digunakan selama kepaniteraan di bagian mata. Koordinator Kepaniteraan juga akan memberi penjelasan mengenai tata tertib, pedoman kerja kepaniteraan, sistem pendidikan, penilaian, dan keterangan lainnya.
(3) Mahasiswa melapor kepada Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mata, yang akan memberi penjelasan tentang falsafah dan etika kepaniteraan. Bila Kepala Bagian tidak ada di tempat, langsung lanjutkan ke nomor 4 dst.
(4) Mahasiswa melapor kepada semua konsulen.(5) Mahasiswa bertemu dengan dokter Pembimbing dan dokter Pendamping.(6) Mahasiswa melakukan orientasi terhadap fasilitas di Bagian Mata.
2.2.Hari Selasa dan selanjutnya (sampai minggu III).(1) Rotasi pertama dimulai pada hari Selasa. Mahasiswa mulai bertugas di ruangan,
poliklinik/emergensi atau kamar operasi/video session sesuai jadwal rotasi.(2) Pengajaran yang terdiri dari:
a. Kuliah konsulen: pada minggu ke-1 mulai hari selasa sampai dengan sabtu b. Bed side teaching (BST): pada minggu ke-2 mulai hari senin sampai dengan rabuc. Short case dan prosedural skill: pada minggu ke-2 mulai hari kamis sampai dengan
sabtu d. Phantom: pada minggu ke-3 mulai hari senin samapi dengan rabu e. Long case: pada minggu ke-3 mulai hari kamis sampai dengan sabtu f. Telaah Ilmiah: pada minggu ke-4 mulai hari senin sampai dengan sabtuakan dilakukan sesuai jadwal dengan masing-masing sesi dilakukan dengan di pandu oleh pembimbing.
(3) Melakukan pemeriksaan mata dan pemeriksaan penunjang terhadap pasien-pasien rawat baru.
(4) Berlatih menggunakan alat diagnostik yang ada di ruangan yaitu : trial lens dan trial frame, tonometer Schiotz, slit lamp,oftalmoskop direk dan lain-lain.
17
(5) Mengetahui persiapan praoperasi pasien rawat.(6) Mengetahui cara evaluasi pasien pascaoperasi di ruangan.(7) Pedoman kegiatan di UGD:
a. Melakukan pemeriksaan dasar mata, pemeriksaan penunjang untuk membuat diagnosis dan rencana penatalaksanaan kasus penyakit mata di poliklinik. Sepuluh diantaranya dicatat di buku kegiatan.
b. Berlatih menggunakan alat diagnostik yang ada di poliklinik, yaitu : tonometer Schiotz, slit lamp, oftalmoskop direk.
c. Melihat tindakan operasi kecil di emergensid. Melakukan tindakan operasi kecil di ruang tindakan emergensi, sebatas kewenangan
dokter umum.e. Mengetahui indikasi rawat pasien-pasien penyakit mata.
(8) Pedoman kegiatan di poliklinik:a. Melihat dan mempelajari kasus-kasus yang ada.b. Mengetahui indikasi dan pengobatan kasus yang ditemui.c. Mencatat kasus-kasus yang dianggap penting untuk didiskusikan Pembimbing dan
Pendamping.
2.3.Materi bed side teaching, short case, procedural skill , phantom, long case dan telaah ilmiah
(1) Tumor kelompok mata dan Konjungtiva (jinak, ganas), pterigium, pinguekula(2) Infeksi Palpebra (hordeolum, chalazion, dakriosistitis)(3) Trauma Mata (ablasio, tidak tembus, tembus)(4) Konjungtivitis (purulenta, non purulenta)
a. Definisi konjungtivitisb. Etiologi konjungtivitis dan patofisiologinyac. Perjalanan penyakit konjungtivitisd. Diagnosa banding konjungtivitise. Komplikasi konjungtivitis
(5) Keratitis, ulkus kornea, endophthalmitis(6) Strabismus, ambliopia, low vision(7) Kelainan refraksi (miop, hipermetrop, presbiop)
a. Definisi visus dan kelainan refraksib. Pembagian kelainan refraksic. Pemeriksaan visus dasard. Koreksi kelainan refraksie. Resep kacamataf. Overview Astigmat
(8) Katarak (KSM, KSI)a. Definisi dan etiologi katarakb. Patofisiologi katarakc. Klasifikasi katarakd. Pemeriksaan dan deteksi katarak dengan alat sederhanae. Terapi katarak dan sistem rujukanf. Komplikasi pasca operasi katarakg. Penanganan komplikasi katarak dan sistem dan sistem rujukan.
(9) Glaukoma (primer, sekunder, kongenital)(10) Retina (ablasio, retinopati diabetika, retinopati hipertensi)(11) Skleritis, episleritis, uveitis(12) Xerophthalmia
2.4.Buku Acuan(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
18
(3) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.(4) Kansky. Ophthalmology.
III. NAMA-NAMA TOPIK
3.1.Daftar Topik BahasanNo. Subdivisi Kompetensi1 External Eye Disease Konjungtiva, foreing body
Konjungtiva, alergiKonjungtiva, viralKonjungtiva, bakteriSubkonjungtiva bleedingBlefaritisHordeolumKalazionSkleritis, episkleritisErosi korneaCorpus alienum korneaLuka bakarKeratitisKeratokonjungtivitis sikaEdema korneaDistropi korneaKeratokonus
2 Uvea EndophthalmitisHypemaHipopionIridocyclitis, iritis
3 Refraksi HipermetropiaMyopiaAstigmatismePresbyopiaAnisometropia
4 Strabismus AmblyopiaDiplopiaSuppression
5 Neuroophthalmology ScotomaHemianopsia, bitemporal dan homonymousLoss of visionOptic disc cuppingPapilloedemaOptic atrophyOptic neuropathyOptic neuritis
6 Vitreoretina Buta senjaAblasio retinaRetina, oklusi atau perdarahanDegenerasi maculaRetinopati diabetikaRetinopati hipertensi
7 Tumor Tumor iris8 Rekonstruksi Pterigium
Eyelid lacerationEntropionTrichiasisLagophtalmusEpicanthusPtosisEyelid retractionXantelasma DacrioadenitisDacryocystitisDacryostenosisLacrimal duct, laceration
9 Glaukoma Simple glaucomaGlaucoma akutGlaucoma sekunder
10 Lensa Katarak
19
AfakiaPseudofakiaDislokasi lensa
11 Pediatrik ophthalmology MicropthalmusBuphtalmus Glaukoma kongenital
3.2.Daftar Keterampilan Prosedural No. Subdivisi Kompetensi1 External Eye Disease Inspeksi kelopak
Inspeksi bulu mataInspeksi konjungtivaInspeksi scleraInspeksi apparatus lakrimal Palpasi nodul lymphInspeksi kornea
2 Uvea Inspeksi pupilInspeksi kamar okuli anteriorInspeksi iris
3 Refraksi Penilaian visusPenilaian refraksi objektifPenilaian refraksi subjektifMelihat pemeriksaan lensa kontak
4 Strabismus Posisi reflex korneaPosisi cover testPenilaian gerakan bolamataPenilaian binokularitas
5 Neuroophthalmology Penilaian lapang pandangPenilaian nervus optikus
6 Vitreoretina Amsler gridFunduskopi Penilaian pembuluh darah retinaMelihat pemeriksaan FFA
7 Tumor Pemeriksaan hertel8 Rekonstruksi Pemeriksaan pengukuran airmata9 Glaukoma Pemeriksaan tekanan bolamata dengan schiotz10 Lensa Inspeksi lensa
Pemeriksaan lampu celah11 Pediatrik ophthalmology Pemeriksaan tekanan bolamata dengan palpasi
pada anakPenilaian refraksi subjektif pada anak
3.3. Daftar Tindakan yang harus dikuasai No. Keterampilan1 Mampu melakukan penetesan obat tetes mata2 Mampu melakukan pemberian salep mata3 Mampu mengeluarkan korpus alienum pada konjungtiva4 Mampu mengeluarkan korpus alienum pada kornea
20
MODUL TOPIK
Modul Ilmu Kesehatan Mata
KONJUNGTIVITIS
21
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi konjungtivitis, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
1. Mampu menjelaskan gambaran klinis konjungtivitis
2. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus
konjungtivitis
3. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi
22
2. Kasus
3. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(5) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(6) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(7) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(8) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Konjungtivitis
Merupakan suatu peradangan yang terjadi pada konjuntiva. Insidensi konjungtivitis di Indonesia
berkisar antara 2-75%. Data perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10%
dari seluruh golongan umur penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain
menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua
(9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%).
Gejala Konjungtivitis
1. Rasa adanya benda asing
Rasa ini disertai dengan rasa pedih dan panas karena pembengkakan dan hipertrofi papil. Jika
rasa sakitnya berat, maka harus dicurigai kemungkinan terjadinya kerusakan pada kornea.
2. Rasa sakit yang temporer
Informasi ini dapat membentu kita menegakkan diagnosis karena rasa sakit yang datang pada
saat-saat tertentu merupakan symptom bagi infeksi bakteri tertentu, misalnya;
- Sakitnya lebih parah saat bangun pagi dan berkurang siang hari, rasa sakitnya (tingkat
keparahan) meningkat setiap harinya, dapat menandakan infeksi stafilokokus.
- Sakit parah sepanjang hari, berkurang saat bangun tidur, menandakan keratokonjungtiva
sisca (mata kering).
3. Gatal
Biasanya menunjukkan adanya konjungtivitis alergi.
4. Fotofobia
Tanda Penting Konjungtivitis
1. Hiperemi
Hiperemi pada konjungtivitis berasal dari rasa superficial, tanda ini merupakan tanda
konjungtivitis yang paling mancolok. Hiperemi yang tampak merah cerah biasanya menandakan
konjungtivitis bakterial sedangkan hiperemi yang tampak seperti kabut biasanya menandakan
konjungtivitis karena alergi. Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah
limbus disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Terdapat perbedaan
antara injeksi konjungtiva dan siliaris yaitu;
23
1. Lakrimasi
Diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata
yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca.
2. Eksudasi
Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada
konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang
biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari,
dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia.
3. Pseudoptosis
Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis
superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan
keratokonjungtivitis epidemika.
4. Khemosis (Edema Konjungtiva)
Ini terjadi akibat terkumpulnya eksudat di jaringan yang longgar. Khemosis merupakan tanda
yang khas pada hay fever konjungtivitis, akut gonococcal atau meningococcal konjungtivitis,
serta kerato konjungtivitis.
5. Hipertrofi Papil
Hipetropi papil merupakan reaksi non spesifik, terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau
limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk
substansi papila sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila
mirip jeruji payung.
6. Pembentukan Folikel
Folikel adalah bangunan akibat hipertrofi lomfoid lokal di dalam lapisan adenoid konjungtiva
dan biasanya mengandung sentrum germinotivum. Kebanyakan terjadi pada viral conjungtivitis,
chlamidial conjungtivitis, serta toxic conjungtivitis karena topical medication. Pada pemeriksaan,
vasa fecil bisa terlihat membatasi foliker dan melingkarinya.
7. Pseudomembran dan Membran
Pseudomembran adalah koagulum yang melapisi permukaan epitel konjungtiva yang bila lepas,
epitelnya akan tetap utuh, sedangkan membran adalah koagulum yang meluas mengenai epitel
sehingga kalau dilepas akan berdarah.
8. Adenopati Preaurikuler
Beberapa jenis konjungtivitis akan disertai adenopoti preaurikular. Dengan demikian setiap ada
radang konjungtiva harus diperiksa adalah pembebasan dan rasa sakit tekan kelenjar limfe
preaurikuler.
Pemeriksaan yang dilakukan :
Pemeriksaan Visus (L4 dewasa dan L3 anak-anak) dengan hasil normal Inspeksi (palpebra,
konjungtiva termasuk forniks, dan sklera. L4)
24
Pasien dengan keluhan utama mata merah
Keluhan Tambahan :Sangat Gatal
Sensasi benda asing
Keluhan Tambahan :Sedikit gatal
Mata lebih berairSensasi benda asing
Pemeriksaan fisikStatus generalis bisa dalam batas normalPemeriksaan visus
bisa normal, TIO normal
Inspeksi :, injeksi konjungtiva,
Pemeriksaan fisikStatus generalis bisa dalam batas normal
Pemeriksaan visus bisa normal, TIO
normalInspeksi : Mata berair,
injeksi konjungtiva
Konjungtivitis Alergika
Benda Asing di Konjungtiva
Anti Histamin
VIII. KOMPETENSI
25
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem
itu secara mandiri hingga tuntas.
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala, tanda konjungtivitis
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
3. Melakukan deskripsi kelainan konjungtivitis
4. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
BLEFARITIS
26
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi blefaritis, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
4. Mampu menjelaskan gambaran klinis blefaritis
5. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus blefaritis
6. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
4. Materi presentasi
5. Kasus
6. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
27
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
28
29
Pasien dengan kelopak mata yang radang
Pemeriksaan luar
A. riwayat
Tidak terkait kelainan
dermatologis
Plak skuamosa dan eritema
pada alis, kulit kepala,
jenggot , dan lipatan hidung
Telangiectasis dari kelopak mata, hidung, pipi, dahi, rhinophyma
Vesikel pada kelopak mata/ulserasi dengan disribusi berciri khas
Maserasi, kantus lateralis basah, angular blepharitis
Berwarna putih, nodul yang memiliki pusat pada kelopak mata, leher,
Molluscum contagiosum
Pikirkan:moraxella
Pikirkan:herpes simpleks, belpharoconjunctivitis, herpes zoster ophthalmicus
rosacea
Pikirkan:meibomitis
Dermatitis seboroik
Pikirkan: staphylococcal blepharoconjunctivitis
Pikirkan: blepharitis seboroik, mixed staphylococcal/seborrheic blepharoconjunctivitis, blepharitis seboroik terkait meibomitis
Pemeriksaan slit lamp
B. Staphylococcal blepharoconjunctivitis
C. Seborrheic blepharitis E. Primary meibomitis Pikirkan: phtirus pubis, veruccae demodex, fungus atopic, dermatitis kontak
D. Mixed staphylococcal/seborrheic blepharoconjunctivitis
G. Kompres hangat 5-10 menit, diikuti penggosokan kelopak mata dengan sampo bayi atau diikuti pemberian baitracin atau eritromisin alep mata 2-4x sehari sampai 2-8 minggu, lalu berikan steroid(dengan tapering) jangka pendekj untuk kondisi terkait respon hipersensitivitas
Kompres hangar 5-10 menit, diikuti pemijatan tarsusuntuk mengeluarkan isi kelenjar meibom, kemudian penggosokan kelopak, diikuti pemberian bacitracin atau eritromisin salep mata 2-4 lalu kurangi sampai hanya setiap pagi
Kompres hangat 5-10 menit, diikuti pemijatan tarsus, kemudian penggosokan kelopak, lalu bacitracin atau eritromisin salep mata 2-4x sehari lalu di kurangi sampai hanya setiap pagi hari
Kompres hangat 5-10 menit diikuti gosokan pada kelopak dengan sampo bayi 2-4x sehari, lalu di taper sampai setiap hari pada pagi hari
F.blepharitis seboroik terkait meibomitis
Gosok kulit kepala dengan sampo berisi selenium 1-2x sekali/mgg, konsultasi bagian kulit
Tetrasiklin, 250mg PO qid awalnya, lalu taper selama 3-4 bln, atau doksisiklin, 100mg bid awalnya, taper selama 3-4 bln, pasien dengan rosacea mungkin membutuhkan 250 mg PO qd long term eritromisin
Kasus refraksi
H.evaluasi semua kasus untuk kondisi terkait keratoconjunctivitis sicca dan obati sebagaimana mestinya
Peningkatan dan stabilisasi gejala dan tanda pasien
Singkirkan sebaceous gland carcinoma pada kasus asimetris, intraktabel
Kompetensi 3A
BLEPHARITIS
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
5. Mengenali gejala, tanda blefaritis
6. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
7. Melakukan deskripsi kelainan blefaritis
8. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
HORDEOLUM/KALAZION
30
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi hordeolum, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
7. Mampu menjelaskan gambaran klinis hordeolum
8. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus hordeolum
9. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
7. Materi presentasi
8. Kasus
9. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
31
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
32
VIII. KOMPETENSI33
Pasien dengan pembengkakan kelopak mata
inflamasi Tanpa inflamasi
A.Keterlibatan okuler Tidak ada keterlibatan okuler
Keterlibatan orbita
Tidak ada keterlibatan orbita
unilateral bilateral
Riwayat(anamnesis)
proptosis Pikirkan: penyakit konjungtiva, keratitis, skleritis
Pikirkan: hordeolum, kalazion, infeksi lokal, tumor atau pseudotumor
lokal difus Penyakit sistemik
E.pikirkan: blefaritis, edema alergi
F. pikirkan: pseudotumor, neoplasma, edema
Pikirkan: CT scan
biopsi
G. Pikirkan: edema toksik (bakterial,parasitic,viral,serum sickness erysipelas)
Tidak ada tanda-tanda infeksi
B. tanda-tanda infeksi
D.pikirkan: usia, kecepatan progresfitas penyakit, lokasi
Pikirkan ct scan
biopsi
C.viral
Monitor
Infeksi bakteri sekunder
Kompres hangat 5-10 menit, pemberian eritromisin salep mata 2-4x sehari, atau ditambah antibiotik sistemik: eritromisisn 250 mg POqid, dapat juga diberikan tetrasiklin. Pada nanah dari kantung ananh yang tidak dapat keluar dilakukan insisi, pada kalazion ekskokleasi.
Ct scan apabila tanpa perbaikan
bakterial
Tidak ada trauma kelopak sebelumnya ataupun operasi
Trauma atau operasi
unilateral bilateral
baru lamaH.pikirkan:tumor, lymphedema
H.penyakit sistemik atau pemaikaian obat
Tidak ada penyakit sistemik atau pemakaian obat
Pikirkan penyakit jantung,ginjal,endokrin, kehamilan, angioneurotiuc edema
Pikirkan: blefarochalasis, dematochalasis dengan protrusi lemak orbita
K.pikirkan:fraktur tengkorak
Pikirkan:lymphedema
Gejala: hordeolum(internum maupun eksternum): kelopak bengkak,sakit, mengganjal, merah, nyeri bila ditekan, kalazion: benjolan pada kelopak,tidak hiperemis, tidak ada nyeri tekan, pseudoptosis.Pada pemeriksaan fisik diperlukan kemampuan eversi palpebra
Kompetensi 3A
HORDEOLUM DAN KALAZION
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
9. Mengenali gejala, tanda hordeolum/kalazion
10. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
11. Melakukan deskripsi kelainan hordeolum/kalazion
12. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
EROSI KORNEA
34
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi erosi kornea, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
10. Mampu menjelaskan gambaran klinis erosi kornea
11. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus erosi kornea
12. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
10. Materi presentasi
11. Kasus
12. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
3535
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
1. EROSI KORNEA
Erosi kornea merupakan keadaan terlepasnya epitel kornea yang disebabkan trauma
tumpul ataupun tajam pada kornea
KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem
itu secara mandiri hingga tuntas.
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
36
Inspeksi : edema palpebra, blefarospasme (+), injeksi perikornea (+)
Pemeriksaan
Visus
TurunNormal
Pemulasan fluorescein: Defek epitel (+)
Erosi Kornea *
Rawat jalan Amoxicillin 500 mg 3x1 Asam mefenamat 500 mg 3x1 Vitanorm (vit. A) 2x1 Cendo Ulcori (Ciprofloxacin) diteteskan
pada mata yang sakit tiga kali sehari.
Anamnesis:mata merah, nyeri, berair, fotophobia, pandangan kabur
riwayat trauma, riwayat pemakaian lensa kontak
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
13. Mengenali gejala, tanda hordeolum
14. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
15. Melakukan deskripsi kelainan hordeolum
16. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
BENDA ASING (CORPUS ALIENUM)
37
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi korpus alienum, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
13. Mampu menjelaskan gambaran klinis korpus alienum
14. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus korpus
alienum
15. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
13. Materi presentasi
14. Kasus
15. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
38
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
. BENDA ASING (CORPUS ALIENUM) DI KORNEA
VIII. KOMPETENSI
39
Anamnesis:mata merah, nyeri, berair, fotophobia, pandangan kaburriwayat trauma, riwayat pemakaian lensa kontak
Pemeriksaan
Visus Inspeksi : palpebra edema, blefarospasme (+), injeksi perikornea (+), benda asing (+)
Normal Turun
Benda Asing di Kornea*
Semua benda asing harus diambil, dengan kapas basah atau jarum suntik 1 cc
Benda Asing di Konjungtiva
Benda Asing di intra okuler
Rujuk Spesialis Mata
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem
itu secara mandiri hingga tuntas.
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
17. Mengenali gejala, tanda korpus alienum
18. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
19. Melakukan deskripsi kelainan korpus alienum
20. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
\
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
LUKA BAKAR PADA MATA
40
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi luka bakar pada mata,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
16. Mampu menjelaskan gambaran klinis luka bakar pada mata
17. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus luka bakar
pada mata
18. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
16. Materi presentasi
41
Riwayat trauma
Mata merah
Nyeri
Mata berair
Fotophobia
Pandangan kabur
17. Kasus
18. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(9) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(10) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(11) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(12) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
LUKA BAKAR
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk pasien secepatnya ke spesialis yang
relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:42
Anamnesis:
Pemeriksaan :Inspeksi
Luka Bakar Fisik (thermal)
Luka Bakar Kimia
Ukur pH Irigasi permukaan kornea dan forniks konjungtiva dengan air mengalir atau
normal salin diteteskan melalui selang intravena standar sampai mencapai PH normal (7,3 -7,7)
Basa Asam
Visus Pemulasan fluorescein: Defek epitel (+)
Normal Turun
Rujuk ke spesialis mata
Antibiotik topikal Pembalut steril
21. Mengenali gejala, tanda luka bakar pada mata
22. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
23. Melakukan deskripsi kelainan luka bakar pada mata
24. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
KERATITIS
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
43
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi keratitis, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
19. Mampu menjelaskan gambaran klinis keratitis
20. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus keratitis
21. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
19. Materi presentasi
20. Kasus
21. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
44
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
KERATITIS
VIII. KOMPETENSI
45
PEMERIKSAAN
Terapi :Acyclovir topikal dan oral
Inkubasi 24 – 48 Jam.Infiltrat warna abu-abu Ulkus berbatas tegas cenderung meluas kesentral dengan cepat. (Ulkusserpigenosa)Mudah terbentuk hipopion
Laboratorium : Kuman diplo kokusgram (+)
Terapi:Penicilin G atau Vankomisin topikal dan sistemik, pilihan kedua : eritromisin
KERATITIS BAKTERIAL
Inkubasi kurang dari 24 jam (+ 6 – 8 jam ) Infiltrat warna kehijauan / kuning, nyeri hebat Cepat meluas (oleh enzim proteolitik)Kornea tampak “ luluh “ dan menonjol, Hipopion(++)
Laboratorium : Kuman bentuk batang gram negatif
Terapi : - Tobramisin - Gentamisin - Polimyxin BTerapi terbaru : Ciprofloxacin
Gambaran khas : Ulkus daerah jam 12,cepat perforasi meskipun kecil.
Laboratorium: diplokokus gram ( - ) Intra Seluler
Terapi : - Penicilin G - Vankomycin
Gambaran tidak khas Biasanya daerah sentral sekitar ulkus banyak infiltrat dan edem
Laboratorium : kuman kokus gram (+)berbentuk rantai.
Terapi : - Penicilin G - Vancomycin
Oral: Flukonazole 200–400 mg/hari atau ketokonazole 200–600 mg/hari.Terapi :
- Aclycovir oral 5 x 400 mg (10 hari).(3 hari sesudah ada makulo papula ) - Steroid topikal bila ada keratitis stromal / Uveitis
Sensibilitas kornea menurun, ulkus dendritik
Laboratorium : Multi Nukleus Giant CellsSerum anti HSV – 1, Antigen Immuno-FlEnzym Immuno Assay
Keratitis Herpes Simpleks
Pada daerah dermatom Nervus Oftalmikus (cabang pertama N.trigeminus) : lesi makulo papular
Herpes Zoster Oftalmikus
Tidak begitu sakit, warna infiltrat abu-abu Sering disertai hipopionLesi Satelit Khas : bercak di endotelbatas tak tegas pada dasar ulkus,
Laboratorium
Candida
Fusarium
Ampotericin B 0.15 %
Natamicin 5
Aspergillus
KERATITIS FUNGAL
KERATITIS VIRAL
Pseudomonas Aeruginosa
Pneumokokus Gonokokus Streptokokus Bhaemolitikus
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk pasien secepatnya ke spesialis yang
relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
25. Mengenali gejala, tanda keratitis
26. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
27. Melakukan deskripsi kelainan keratitis
28. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
KORNEAL EDEMA
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu46
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi kornea edema, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
22. Mampu menjelaskan gambaran klinis kornea edema
23. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus kornea
edema
24. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
22. Materi presentasi
23. Kasus
Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
47
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Kornea memiliki tiga lapisan penting: epitel, stroma, dan endotelium. Kelebihan air dalam hasil
epitel atau stroma edema kornea. Kadar air kornea tergantung pada keseimbangan antara
kekuatan pendorong air ke kornea dan yang mendorong air keluar. Kekuatan pendorong air ke
dalam kornea termasuk tekanan pembengkakan stroma dan tekanan intraokular. Faktor-faktor
yang menjaga kornea dari pembengkakan adalah fungsi penghalang dan pompa metabolik
endotelium. Faktor yang kurang penting adalah penghalang epitel dan penguapan dari
permukaan kornea. Jika faktor ini tidak fungsional atau rusak, edema kornea dan ketebalan
kornea meningkat dapat mengembangkan, dengan keluhan penglihatan kabur yang paling parah
di pagi hari dan membaik seiring berjalannya hari. Sebagai memburuk edema, microcyst epitel
dan bula dapat terbentuk, menyebabkan tajam, menusuk nyeri, fotofobia, dan kemerahan. Edema
berkepanjangan dapat menyebabkan jaringan parut membran Bowman dan stroma, serta
vaskularisasi pannus dan stroma.
A. Peningkatan TIO tidak langsung merusak endotelium tetapi mengganggu keseimbangan
kekuatan transportasi di seluruh kornea. Glaukoma kongenital dapat hadir dan meningkatkan
ketebalan kornea, diameter kornea, dan menghasilkan air mata linier horizontal membran
Descemet itu.
B. glaukoma akut dapat didiagnosis jika ada edema epitel, nyeri, sudut ruang tertutup, dan murid
middilated tetap. Biasanya tekanan adalah> 60mm Hg. Pasien melihat lingkaran cahaya di
sekitar objek terang. Begitu tekanan diobati, gejala umumnya jelas. Namun, tidak diobati,
tekanan yang meningkat menyebabkan kerusakan ireversibel endotel dan edema kronis.
C. Distrofi endotel adalah penyakit turun-temurun dari endotelium. Beberapa tampak pada saat
lahir, yang lainnya muncul kemudian dalam hidup. Anomali Petrus diakui oleh leukoma kornea
bilateral pusat, dengan edema di daerah yang terkena, yang disebabkan oleh cacat pada posterior
stroma, membran Descemet, dan endotelium. Endotel distrofi kongenital herediter (CHED) dapat
memiliki dua bentuk: dominan dan resesif. Resesif tersebut diakui pada saat lahir sebagai difus,
edema kornea bilateral simetris dan umumnya tidak maju. . Bentuk dominan tidak terlihat pada
saat lahir. Edema berkembang pada tahun pertama dan dapat maju dalam hidup kemudian untuk
edema parah, keratopathy band, dan erosi epitel. Distrofi Fuch endotel yang terjadi di kemudian
hari dan dapat didiagnosis jika disertai edema kornea kornea guttae banyak dilihat posterior
membran Descemet itu. Guttae kornea yang fokal, deposito kolagen bias. Dalam distrofi
polymorphous posterior (PPD), lesi kecil yang dikelilingi oleh lingkaran cahaya beberapa samar
atau kurang besar, lesi blisterlike dengan lingkaran cahaya padat terlihat pada membran
Descemet itu. Guttae kornea yang tidak hadir. Sindrom endotel Iridocorneal (ICE) adalah
48
spektrum gangguan utama proliferasi endotel, termasuk iris nevus sistem Cogan-Reese, sindrom
Chandler, dan atrofi iris esensial. Gangguan ini ditandai dengan endotelium dilemahkan, lapisan
kolagen yang luas posterior, dan pengembangan membran basement ektopik atas iris.Meskipun
penyakit penyakit bentuk spektrum, mereka dapat dikenali secara individual. Dalam sindrom
nevus iris, jaringan stroma iris herniates melalui membran basement ektopik. Dalam sindrom
Chandler lapisan kolagen posterior berhubungan dengan edema kornea difus. Atrofi iris esensial
ditandai oleh lapisan kolagen abu-abu posterior, sinekia anterior perifer, murid terdistorsi, dan
lubang di iris.
D. Endotelium mungkin rusak selama atau setelah operasi. Intraoperatif kerusakan mungkin
disebabkan oleh kontak dengan instrumen bedah kornea atau lensa intraokular atau efek toksik
obat intraokular, pengawet, atau solusi mengairi. Kerusakan pasca operasi dapat disebabkan oleh
perdarahan intraokuler, peningkatan TIO, dan kontak lensa-diinduksi hipoksia, serta melalui
kontak endotel kornea dengan vitreous, lensa intraokular, atau jahitan nya.
E. Perforasi kornea oleh benda asing dapat menyebabkan kerusakan endotel dan mengurangi
jumlah sel, menghasilkan edema kornea. Kontak kuat dari badan asing dengan kornea dapat
menyebabkan 0,5-0,1 mm berbentuk cincin berdiameter opacity pada permukaan kornea
posterior. Cincin ini disebabkan oleh fibrin dan leukosit deposito dalam endotelium kornea dan
menghilang dalam beberapa hari.
F. Pada pasien dengan keratoconus maju, membran Descemet bisa istirahat terpusat. Aqueous
humor bisa masuk dan menyebabkan edema. Namun, sel-sel endotel tumbuh, dan luka segera
sembuh sehingga edema reda dalam beberapa bulan. Semua yang bertahan adalah bekas luka
kecil.
G. Pemecahan pada membran Descemet bisa terjadi pada kelahiran dari cedera tang dan biasanya
muncul dalam orientasi vertikal atau miring. Tergantung pada luasnya cedera, edema kornea bisa
jelas dan berulang di kemudian hari.
H. Neuropati sensorimotor trigeminal, dari prosedur bedah, neoplasma, dan proses lainnya, dapat
mempengaruhi hidrasi kornea dan mengakibatkan edema kornea selama paparan suhu
lingkungan yang rendah.
I. Keratopathy Diebetic dapat terjadi setelah operasi stres yang tidak semestinya intraokular atau
fotokoagulasi. Endotelium kornea dari diabetes pameran kelainan pada morfologi sel, edema
kornea sehingga cenderung untuk bertahan setelah operasi.
J. Beberapa laporan telah menggambarkan kasus dekompensasi kornea setelah trauma kantong
udara. Mikroskop elektron scanning mengungkap wilayah lokal dari kerusakan endotel yang
lengkap terkait dengan bidang jumlah sel endotelium <1000 cells/mm2. Beberapa edema kornea
persisten mungkin gagal untuk menyelesaikan, membutuhkan transplantasi kornea.
K. Uveitis adalah peradangan dari setiap bagian dari saluran uveal mata, termasuk iris, ciliary
body, dan koroid. Radang iris dan tubuh ciliary, juga disebut uveitis anterior, biasanya
menyakitkan dan dapat menyebabkan gangguan penglihatan, kadang-kadang kebutaan.
Meskipun hubungan tidak jelas, edema kornea sering menyertai uveitis. Uveitis dapat
49
didiagnosis jika photomicroscopy specular menunjukkan daerah gelap pada endothelium. Ini
daerah gelap dapat disebabkan oleh keratitic presipitat atau edema endotel lokal. Kerusakan ini
disebabkan oleh mikroba menyerang dan oleh sel dari sistem kekebalan tubuh. Edema kornea
adalah sekunder untuk respon kekebalan.
Edema stroma dan biasanya adalah bermata. Organisme yang mampu menggalang respon ini
termasuk herpes simpleks dan virus herpes zoster, beberapa bakteri, dan beberapa jamur.
L. Setelah cangkok kornea, limfosit dapat bermigrasi pada endotel dan membentuk garis yang
bergerak menuju pusat, menghancurkan sel-sel endotel di jalan. Dengan sekitar 3 bulan setelah
korupsi, garis telah hilang dan kerusakan terlihat sebagai presipitat banyak keratic dan edema
korupsi seragam.
M. Edema kornea reversibel telah dikaitkan dengan keratitis selama pengobatan dengan
levodopa. Perfluorodecalin adalah cairan digunakan intraoperatively dalam operasi ablasi retina.
Jumlah sisa dapat disimpan dalam ruang anterior di kontak dengan endotelium, menyebabkan
dekompensasi kornea.
50Pemeriksaan Slit-lamp
Peningkatan IOP Tanpa inflamasi Inflamasi
Onset dewasa Tanpa trauma (K) Uveitis
(L) Penolakkan korneal graftTrauma (M) Medication
(B) Glukoma ruang terbuka
AkutGlukoma ruang
tertutup(C) Distrofi endotelial
Kongenital
Onset dewasa(D) Mekanik farmako bedah
(F) Ruptur Keratokonus Descemet’s
Pertimbangan:Sindrom ICE
Distrofi Fuchs’sPPD
Trigeminal nerve palsy
(E) Benda asing
Pertimbangan:CHED
Peter’s anomaly
(I) Diabetes
(H) Neuropati trigeminal
(G) Cedera forsep
(J) Kantong angin
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
29. Mengenali gejala, tanda korneal edema
30. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
31. Melakukan deskripsi kelainan kornea edema
51
Kongenital
(A) Glukoma kongenital
32. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
KORNEAL EPITELIAL DISTROFI
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas Waktu 30 menit
52
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi distropi epitel kornea,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
25. Mampu menjelaskan gambaran klinis distropi epitel kornea
26. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus distropi
epitel kornea
27. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
24. Materi presentasi
25. Kasus
26. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
53
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Corneal Epithelial Dystrophy
Para distrofi epitel terdiri dari kelainan pada membran basal epitel dan, dalam beberapa kasus,
lapisan Bowman. Mereka mudah didiagnosis oleh sejarah dan menyeluruh celah-lampu
pemeriksaan. Sejarah keluarga dan celah-lampu pemeriksaan anggota keluarga membantu
menjelaskan pola genetik dan membantu dalam klasifikasi.
A. Microcysts intraepithelial dapat terjadi confluently atau terisolasi, baik secara sepihak atau
bilateral, tergantung pada penyebab yang terkait. Mereka dapat berhubungan dengan daerah
lokal penyembuhan erosi epitel atau berulang.Ruang kistik dapat terjadi pada epitel dengan atau
tanpa edema kornea. Biasanya, pewarnaan tidak terjadi dengan fluorescein. Microcysts adalah
respon nonspesifik epitel dan terjadi dengan memakai lensa kontak jangka panjang dan
penggunaan narkoba. Biasanya, tidak ada gejala terjadi kecuali ada erosi epitel aktual dari
microcyst tersebut. Pengobatan terdiri dari menyelesaikan kondisi yang terkait. Distrofi epitel
Meesmann (juga disebut distrofi Stocker-Holt) adalah dominan mewarisi kecerdasan penetrasi
lengkap dan jelas dalam beberapa bulan pertama kehidupan.Pasien tidak menunjukkan gejala,
menunjukkan kista epitel anterior, yang pada laminasi tersebut, muncul sebagai kecil, jelas abu-
abu putih tanda baca presipitat.Mereka tidak noda dengan fluorescein. Kista telah terbukti
mengandung bahan selular degerate, "aneh" substansi, yang PAS positif. Pengobatan tidak
diperlukan kecuali iritasi atau penurunan penglihatan terjadi.
B.Distrofi kornea pusaran mungkin gangguan degeneratif, di mana berpigmen ulir berbentuk
garis yang terlihat pada jaringan epitel dan subepitelial. Ini telah di penyakit Fabry, dalam
keratopathy beracun, dan pada pasien yang mengambil berbagai obat sistemik seperti klorokuin,
amiodaron, fenotiazin, atau indometasin. Striate melanokeratosis juga dapat meniru distrofi
pusaran.Melanotik sel tumbuh dari limbus, terutama di Afrika-Amerika, juga dapat menembus
kornea sentral sebagai respon terhadap berbagai rangsangan yang berbahaya. Pengobatan jarang
diperlukan.
C.Epitel membran basement distrofi anterior juga disebut peta-dot-sidik jari distrofi, distrofi
basement membran anterior, dan distrofi microcystic Cogan itu.Ini adalah bilateral dan epitel
dan ditandai oleh berbagai pola dari titik-titik, garis, dan penyimpangan. Hal ini terjadi lebih
umum pada wanita setelah dekade keempat dan autosomal dominan dengan ekspresi tidak
lengkap. Studi patologis menunjukkan membran basement menebal memperluas ke dalam, sel-
sel epitel epitel abnormal dengan microcyst, dan bahan urat saraf antara membran basal dan
lapisan Bowman. Kebanyakan pasien asimtomatik. Ketika gejala yang hadir, mengaburkan visi
dan sensasi benda asing yang umum. Erosi rekuren dapat terjadi, biasanya di pagi hari, ketika
pasien terbangun dan memiliki rasa sakit menusuk tajam. Pengobatan diperlukan hanya ketika
54
erosi berulang terjadi.
D. Erosi kornea berulang biasanya mengikuti trauma kornea yang melibatkan epitel dan distrofi
basement membran epitel. Hasil gangguan dari cacat dalam penyembuhan membran basement
atau gagal ed produksi rusak oleh membran basement.Gejala dapat terjadi hari sampai tahun
setelah cedera. Pengobatan ditujukan untuk mendorong re-epitelisasi dan mencegah kekambuhan
dan. Erosi akut diobati dengan antibiotik topikal, tetes cycloplegic, dan patch tekanan.Kadang-
kadang, natrium klorida 5% dapat membantu mendorong kepatuhan dari sel-sel epitel ke
jaringan yang mendasari untuk meminimalkan edema epitel. Salep pelumas tanpa presenvatives
sangat membantu, terutama pada pasien dengan lagophthalmos. Pengobatan harus terus
meminimalkan kekambuhan dan memungkinkan perbaikan membran basal normal.Jika kambuh
bertahan, lensa kontak dapat membantu. Tusukan stroma anterior juga telah direkomendasikan
pada pasien yang modus lain dari terapi yang gagal. Debridemen epitel yang abnormal kadang-
kadang mungkin efektif bila disertai dengan menggunakan bur berlian pada permukaan yang
tidak teratur dari membran basal anterior.
E. Distrofi Reis-Buckler adalah sebuah distrofi autosomal dominan yang mempengaruhi kornea
superfisial membran Bowman. Distrofi adalah bilateral simetris dan menjadi jelas dalam dekade
pertama atau kedua dari kehidupan, dengan erosi dan penurunan berulang visi.Para kekeruhan
cadang 2 mm perifer kornea. Celah-lampu pemeriksaan menunjukkan epitel tidak teratur dengan
jaringan fibrosa subepitelial di wilayah lapisan Bowman. Kekeruhan tampaknya retikular dalam
pola.Pengobatan serupa dengan erosi berulang. Prosedur bedah pilihan adalah diseksi berserat
subepitel dari kornea superfisial. Kadang-kadang, sebuah keratoplasty lamelar atau keratoplasty
menembus dapat dilakukan setelah pembedahan lapisan jaringan fibrosa subepitel jika visi tidak
memuaskan.Kekambuhan yang mungkin.
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter mampu merujuk pasien
secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala, tanda distropi epitel kornea
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
3. Melakukan deskripsi kelainan distropi epitel kornea
4. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
55
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
KORNEAL STROMAL DISTROFI
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
56
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi korneal stromal distrofi,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
28. Mampu menjelaskan gambaran klinis korneal stromal distrofi
29. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus hordeolum
30. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
27. Materi presentasi
28. Kasus
29. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(13) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(14) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course
57
VII.GAMBARAN UMUM
Corneal Stromal Dystrophies
Corneal stromal dytrophies generally involves a genetically transmitted metabolic defect, which
results in the deposition of an excessive amount of some metabolic product in the keratocytes.
The accumulation of these deposits causes signs and symptoms ranging from essentially
asymptomatic opacities to complete functional visual impairment. Accurately diagnosing a
spesific dystrophy early in its course better prepares both the physician and patient to manage the
condition as it progresses.
A. Present at birthday, congenital hereditary stromal dystrophy is an autosomal-dominant
disorder manifested by bilateral, symmetric, nonprogressive, cloudy opacification of the cornea.
The flaky or feathery opacities are more dense in the superficial central stroma, becoming
progressively less dense in the deep peripheral regions. The early visual impairment may result
in nystagmus, esotropia, and amblyopia. Very early penetrating keratoplasty should be
considered.
B. In granular dystrophy, white breadcrumb-like opacities develop in the superficial central
corneal stroma during the first decade. The opacities enlarge, coalesce, increase in number, and
extend into the deeper stroma as the disease progresses through the fifth decade. At that time, a
diffuse ground-glass haze appears in the intervening stroma, resulting in the onset of visual
impairment. A 2- to 3-mm paralimbal zone remains clear, and epithelial erosions are rare. The
opacities consist of a hyaline substance and are bilateral and symmetric. Penetrating keratoplasty
may be necessary late in the disease, and opacities tend to recur in the donor graft.
C. In central crystalline dystrophy, minute polychromatic crystals, arranged in a discoid or ring
configuration, appear in the central superficial stroma during the first year of life. Patients (80%)
develop a limbal girdle and a dense corneal arcus by the fourth decade. Treatment is rarely
indicated because visual acuity is seldom severely impaired. The crystals consist largely of
cholesterol, and the disorder is often associated with hyperlipidemia and genu valgum. Therefore
evaluate serum cholesterol and triglyceride levels in these patients.
D. Patients with gelatinous droplike dystrophy complain of photophobia, lacrimation, foreign
body sensation, and impaired visual acuity in the first decade as result of protuberant, opaque,
subepithelial mounds that are located centrally and give the cornea a “mulberry-like,” irregular
surface. Amyloid deposits are present in the epithelial basal cells. Sporadic and autosomal-
recessive patterns have been observed. Total deep lamellar keratoplasty is the treatment of
choice; recurrences are common.
E. In lattice dystrophy a branched lattice network of refractile lines, white punctate opacities, and
a diffuse central superficial stromal haze appears during the first and second decades. Recurrent,
painful epithelial erosions also occur. Visual acuity deteriorates progressively through the fourth
and fifth decades as central subepithelial opacities develop. Penetrating keratplasty is often
necessary, and recurrences of the disease with donor grafts are common. The inheritance pattern
is autosomal dominant. The opacities contain amyloid deposits. The lattice lines fluoresce under
58
58
cobalt blue (365 nm) ultraviolet light in advanced cases. Lattice dystrophy type 2 is associated
with systemic amyloidosis and a more favorable visual outcome. Type 3 and 3A have recently
been described.
F. Progressive corneal dystrophy of Waardenburg, a variant of granular dystrophy, is
characterized by an earlier onset, a more rapid progression of opacification, more frequent
epithelial erosions, and a poorer visual prognosis.
G. In macular dystrophy, diffuse, central, superficial, stromal cloudiness develops during the first
decade. During the second decade, this diffuse ground-glass opacification extends to involve the
posterior and peripheral stroma as well. Focal, irregular, white opacities develop by the third
decade. Later in the disease, irregularities of Descemet’s membrane and painless epithelial
erosions are common. Visual acuity is often significantly impaired by the fourth decade.
Penetrating keratoplasty is often necessary by 30 years of age. Recurrences with donor grafts are
less common than in granular and lattice dystrophies. The inheritance pattern is autosomal
recessive, and the primary defect is accumulation of excess acid mucopolysaccharides in the
keratocytes.
H. In central cloudy dystrophy, small, indistinct, ovoid opacities-most dense posteriorly and
restricted to the central third of the cornea- are the classic findings. Visual acuity is rarely
impaired, and the opacities are usually incidental findings.
I. Fleck dystrophy is a benign disorder in which discrete, flat, white, dandrufflike flecks are
present throughout all stromal layers, involving both central and peripheral regions. These
opacities may be congenital, and the inheritance pattern is autosomal dominant. This disorder has
been associated with cortical lens opacities in certain families. Visual acuity remains normal.
J. Polymorphic stromal dystrophy is probably a degenerative disorder featuring gray-white
punctate and filamentous opacities involving the entire cornea. Onset is after 50 years of age, and
visual acuity is spared.
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
1. Mengenali gejala, tanda korneal stromal distrofi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
3. Melakukan deskripsi kelainan hordeolum
4. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI59
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
REFRAKSI
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
60
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi kelainan refraksi, menginterpretasikan
dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
31. Mampu menjelaskan gambaran klinis kelainan refraksi
32. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus kelainan
refraksi
33. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
30. Materi presentasi
31. Kasus
32. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
61
(15) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(16) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(17) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(18) Kansky. Ophthalmology.
VII. GAMBARAN UMUM
1. HYPEROPIA
Hyperopia merupakan suatu kondisi optikal dimana objek benda pada jarak tak terhingga
terfokus di belakang retina. Mata dengan hyperopia cenderung menjadi lebih kecil dan
pendek. Sebagai konsekuensi, sistem optikal harus lebih memusatkan sinar daripada mata
dengan myopia (lebih besar dan panjang) jika cahaya terfokus di depan retina. Dengan kata
lain sistem optikal pada mata hypermetropia tidak cukup kuat dan harus diberikan kekuatan
(lensa +) untuk memfokuskan objek. Karena mata mampu berakomodasi sampai dewasa,
hyperopia dapat menjadi lebih mudah terjadi selama beberapa tahun dan mungkin tidak
terdiagnosis sampai usia dewasa. Pada awal kehidupan, akomodasi tambahan yang didapatkan
untuk membaca dan latihan lain pada jarak dekat dapat menjadi lebih mudah ditunjukkan.
Semakin tua pasien, kemampuan akomodasi menurun. Mata dengan emetropik (tidak hanya
hyperopik tetapi juga myopik) biasanya kehilangan kemampuan akomodasi pada usia 40
tahun yang dengan akomodasi 3D untuk membaca tidak lebih mampu untuk berakomodasi
sendiri. Laporan pasien yang mengalami kesulitan melihat dengan jarak dekat, harus
diresepkan kacamata baca. Pasien dengan hyperopia, karena kebutuhan nya untuk
berakomodasi terhadap hyperopia mereka sebaik mungkin untuk jarak dekat, mungkin
mengalami gejala presbiopia lebih awal.
A. Pada evaluasi hyperopia, cerita pasien harus menimbulkan apakah ini mempengaruhi
pengelihatan dekat atau jauh. Pada presbiopia, pengelihatan dekat dipengaruhi secara
selektif. Pemeriksaan untuk reaksi pupil normal penting untuk menegakkan gangguan
akomodasi yang disebabkan gejala hyperopia. Refraksi cycloplegik harus dilakukan
untuk menegakkan hyperopia laten.
B. Jika tidak ada trauma surgikal maupun non-surgikal dan setelah masalah akomodasi
disingkirkan, lakukan pemeriksaan okular,orbital dan sistemik untuk menyingkirkan
alasan okular sebagai penyebab hyperopia. selain itu choroidopathy serosa sentral,
retinal detachment sekunder, tumor intraokular dan inflamasi okular posterior serta
edema retina dapat dipikirkan menjadi penyebab terjadinya hyperopia. lesi orbital
yang menekan dinding okular posterior mungkin menyebabkan efek yang sama.
Kondisi sistremik juga dapat menyebabkan edema makular menyebabkan hyperopia
dini, walaupun di kemudian hari retina yang edema tersebut juga menyebabkan
pengelihatan kabur.
62
Penyebab umum lain nya yang menyebabkan akomodasi berkurang adalah kurang
hati-hatinya gesekan atropin-substansi yang masuk ke mata, yang sering terjadi di
C. kalangan medis. Antikolinergik agent yang digunakan pada penatalaksanaan
gangguan gastrointestinal, gangguan respirasi, penyakit Parkinson atau dismenore
juga dapat menyebabkan paresisakomodasi. Efek yang sama juga dapat ditimbulkan
oleh ergotamine (sering digunakan untuk mempercepat aborsi) dan penicillamine.
D. Sesekali obat-obatan dapat disingkirkan sebagai penyebab penurunan tenaga yang
dapat menyebabkan insufisiensi akomodasi dinamik dan biasanya terjadi pada orang
asthenikus, keracunan makanan khususnya botulism. Dan juga dapat disebabkan oleh
penyebab neurologik dari lesi nukeus parasimpatis di otak tengah yang diakibatkan
oleh enchepalitis atau tumor di corpus pineal.
E. Operasi pelepasan lensa juga dapat menyebabkan hyperopia dan kehilangan
akomodasi
F. Cidera yang mengenai atau langsung merobek iris atau badan siliar mungkin
menyebabkan paresis akomodasi yang bisa menyebabkan hyperopia. edema retina
atau kompresi okular dari perdarahan retrobulbar/fraktur orbital juga sangat
mempengaruhi pendeknya jalur optikal yang dapat menyebabkan hyperopia.
Kompetensi Dokter Umum
3A. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-
ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis
yang relevan (bukan kasus gawat darurat)
Keterampilan Klinis Yang Harus Dimiliki
Tingkat kemampuan 4 mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep,
teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama
pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah
menerapkan keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki pengalaman
63
untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter
secara mandiri. Keterampilan klinis tingkat 4 yang harus dimiliki untuk kasus hyperopia
antara lain :
Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan
refraksi subjektif,
Algoritma diagnosis hyperopia
2. MYOPIA
Ada empat faktor yang menentukan tingkatan refraksi okular : kekuatan optikal kornea,
kekuatan optikal lensa, jarak antara keduanya (contoh: kedalaman ruang depan), dan panjang
aksial. Akomodasi untuk pengelihatan dekat dan skleral resistance versus IOP berperan dalam
pembentukan myopia dan juga genetik dan diduga juga dipengaruhi oleh lingkungan.
64
Pasien dengan hyperopia
Hyperopia presbyopia Intervensi lain terhadap akomodasi
pembedahan trauma
Pemeriksaan mata
Kacamata baca
Riwayat penggunaaan obat
Mungkin: Aphakia Penebalan
kornea
Mungkin: Paralisis
badan siliar
Penebalan corneal
Subluksasi lensa (p272)
Edema retina
Kompresi okular
AnamnesisPemeriksaan fisik:Reaksi pupilRefraksi cyclopegik
A
B
C
E F
kongenital didapat
ocular orbital sistemik
Mungkin: Central
serous choroidopathy
Choroidal hemangioma (p 326)
Scleritis (p348)
Mungkin: Tumor Penyeba
b lain proptosis (p132)
OcularMungkin: Diabetes Penyakit
ginjal Lupus Penyeba
b edema retina lain nya
Berhubungan dengan obat
spontan
Mungkin: Penyebab
neurologik debilitasi
D
Myopia merupakan anomali okular yang paling banyak ditemui di negara berkembang.
Kebanyakan berupa simple myopia. Di United States 15%-25%dari populasi mengalami jenis
myopia ini. Pada kebanyakan orang kelainan refraksi menimbulkan manifestasi antara usia 7
tahun dan 13 tahun, menjadi lebih stabil pada usia sekitar 17 tahun. Pada beberapa kelompok
kecil, hampir semua mahsiswa menjadi myopia pada usia dewasa muda.
Kedua, sebagian sindrom dan penyakit keturunan berhubungan degan myopia. Contoh
sindrom Marfan, Ehlers-Danlos, Sticker, Sindrom Down dan retinitis pigmentosa.
Diagnosispasti bukan tergantung dari ditemukan nya myopia.
Pada kelompok pasien myopia ketiga merupakan kelompok yang sebagian besar
menunjukkan gejala. Ini yang akan dibicarakan dalam bab ini. Hal ini penting untuk membagi
pasien berdasarkan usia dan beranggapan struktur anatomi berkembang menjadi faktor
penyebab terbentuknya myopia (contoh kornea, lensa, otot-otot badan siliar, dan ukuran
vitreus (panjang aksial).
A. Sampai usia 3 tahun kekuatan korneal dan kekuatan lensa masih dihubungkan dengan
perbedaan peningkatan panjang axial. Hasil nya >95% mata berakhir dengan refraksi
tertutup sampai emmetropia (antara +4D dan -4D dari kesalahan refraktif). Faktor-
faktor yang menyebabkan nya masih banyak belum dimengerti.
B. Megalocornea dihubungkan dengan myopia karena cornea lebih curam daripada
normal. Telah dilaporkan bahwa hal ini diturunkan dan ketiga pola keturunan dari
Mendelian terkena. Kondisi ini jarang terjadi tetapi dapat dihubungkan dengan
glaucoma juvenil atau ectopia lentis.
C. Ectopia lentis dapat menyebabkan myopia yang signifikan sebagai hasil dari
kemiringan lensa. Pada beberapa tipe (sindrom Marfan, autosomal-resesive ectopia
lentis et pupillae) panjang axial juga meningkat. Fluktuasi refraksi yang umum terjadi
dihubungkan dengan perpindahan posisi lensa dan pasien mungkin akan menjadi
myopia hingga hyperopia jika dislokasi lensa sempurna dan menhhilangkan axis
visual.
D. Lentiglobus posterior merupakan deformasi axial dari aspek posterior lensa. Ini dapat
menyebabkan myopia melalui tengah lensa, walaupun perifernya bisa jadi
emmetropik.
E. Pembesaran diameter corneal dan peningkatan panjang axial melebihi pertumbuhan
normal pada infant harus dicurigai kemungkinan adanya glaukoma kongenital. Gejala
lain biasanya menunjukkan adanya pembesaran cup optik dan edema corneal.
F. Pada retinopathy cicatrical sedang pada prematuritas, menunjukkan pigmentasi retina
dan tarikan pembuluh darah retina dan makula, hampir selalu dihubungkan dengan
myopia.
Penelitian pada hewan dan penemuan pada pasien dengan hemangioma, ptosis yang
parah, plexiform neurofibroma telah dilaporkan sebagai penyebab amblyopia yang
Kompetensi Dokter Umum
65
3A. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-
ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis
yang relevan (bukan kasus gawat darurat)
Keterampilan Klinis Yang Harus Dimilki
Tingkat kemampuan 4 mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan
pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah menerapkan
keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki pengalaman untuk
menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter secara
mandiri. Keterampilan klinis tingkat 4 yang harus dimiliki untuk kasus myopia antara lain :
Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan
refraksi subjektif.
3. ASTIGMATISMA
Mata astigmat atau mata silindris adalah suatu keadaan dimana sinar yang masuk ke dalam
mata tidak terpusat pada satu titik saja tetapi sinar tersebut tersebar menjadi sebuah garis.
Astigmatisma merupakan kelainan pembiasan mata yang menyebabkan bayangan penglihatan
pada satu bidang fokus pada jarak yang berbeda dari bidang sudut. Pada astigmatisma berkas
sinar tidak difokuskan ke retina di dua garis titik api yang saling tegak lurus. Kelainan refraksi
ini ditandai dengan anomali kurvatura media refrakta, bisa diakibatkan ulkus kornea, jaringan
parut pada kornea, kertoconus, katarak, lenticonus
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pada pemeriksaan refraksi dan gambaran klinis yang
tipikal. Penderita akan melihat benda tidak beraturan bentuknya atau berubah bentuk. Astigmat
bisa diperiksa dengan cara pengaburan (fogging technique of refraction) yang menggunakan
kartu snellen, bingkai percobaan, sebuah set lensa coba, dan kipas astigmat. Pemeriksaan juga
bisa menggunakan keratoskop placid, videokeratoskop, Helmholtz atau Javal ophthalmometer.
Deteksi dini dan koreksi yang segera sangat penting terutama pada penderita anak. Astigmatisma
yang tidak terkoreksi dapat mengakibatkan ambliopia karena bayangan yang tajam tidak
terproyeksikan ke retina. Koreksi untuk astigmatisma menggunakan lensa silinder.
Kompetensi Dokter Umum
3A. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-
ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis
yang relevan (bukan kasus gawat darurat)
Keterampilan Klinis Yang Harus Dimilki66
Tingkat kemampuan 4 mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan
pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah menerapkan
keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki pengalaman untuk
menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter secara
mandiri. Keterampilan klinis tingkat 4 yang harus dimiliki untuk kasus astigmatism antara
lain :
Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan
refraksi subjektif.
Bagan algoritma pada mata astigmatisma
4. PRESBIOPIA
Presbiopia merupakan bagian dari proses penuaan yang secara alamiah dialami oleh
semua orang. Penderita akan menemukan perubahan kemampuan penglihatan
dekatnya pertamakali pada pertengahan usia empat puluhan. Pada usia ini, keadaan
lensa kristalin berada dalam kondisi dimana elastisitasnya telah banyak berkurang
sehingga menjadi lebih kaku dan menimbulkan hambatan terhadap proses akomodasi,
67
Pasien dengan astigmatismaAnamnesisPemeriksaan refraksi: Pengaburan Keratoskop placid Videokeratoskop Helm Holtz atau Javal
ophthalmometer
kornea lensa
Ulkus Jaringan parut keratoconus
Katarak lenticonus
Catatan : tulisan yang ditebalkan menandakan batas kompetensi 3A
67
karena proses ini utamanya adalah dengan mengubah bentuk lensa kristalin menjadi
lebih cembung. Organ utama penggerak proses akomodasi adalah muskulus siliaris,
yaitu suatu jaringan otot yang tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, dan
radial. Fungsi serat-serat sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat
zonula, yang merupakan kapsul di mana lensa kristalin barada di dalamnya. Otot ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai
fokus baik untuk objek
berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Jika elastisitas lensa
kristalin berkurang dan menjadi kaku (sclerosis), maka muskulus siliaris menjadi terhambat atau
bahkan tertahan dalam mengubah kecembungan lensa kristalin. Presbiopia dapat dikoreksi
dengan menggunakan kacamata monofocal maupun bifocal, fungsi kacamata monofocal hanya
untuk kacamata baca, sedangkan kacamata bifocal dapat untuk mengkoreksi saat proses
akomodasi.
Kompetensi Dokter Umum
3A. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-
ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis
yang relevan (bukan kasus gawat darurat)
Keterampilan Klinis Yang Harus Dimiliki
Tingkat kemampuan 4 mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep,
teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama
pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah
menerapkan keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki pengalaman
untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter
secara mandiri. Keterampilan klinis tingkat 4 yang harus dimiliki untuk kasus presbyopia
antara lain :
Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan
refraksi subjektif,
Bagan algoritma pada penderita presbiopia
68
Pasien dengan presbiopia
Proses penuaan
Anamnesis:keluhan pada pengelihatan dekatPemeriksaan refraksi: Subjektif objektif
5. ANISOMETROPIA
Anisometropia merupakan keadaan dimana didapatkan perbedaan refraksi yang besar, pada
kedua mata.
(1) Amblyopia is defined as unilateral or bilateral decrease of visual acuity for which no organic
cause can be detected on physical examination of the eye and which in appropriate cases is
reversible by therapeutic measures. This algorithm is based on the assumption that visual acuity
has been found to be decreased and cannot be improved by corrective lenses.
69
Kekerasan lensa Pengurangan kontraksi otot siliar
Lensa sulit mengubah bentuk Pengendoran zonula zinii tidak sempurna
Catatan :huruf yang bercetak tebal merupakan kompetensi 3A
(2) A negative cover test result rules out a manifest heterotropia. At this point in the
examination, the examiner must establish that there is no history of previous strabismus that may
have improved spontaneously with glasses or after surgery. If this history is positive, strabismic
amblyopia must be suspected
(3) A refraction establishes whether anisometropic amblyopia is present. A fundus examination
rules out organic causes for the decrease in visual acuity. A functional (i.e., reversible)
amblyopia may be superimposed on a lesion of the optic disc or the macula (relative
amblyopia). The fixation behavior must be checked in all cases of suspected unilateral
amblyopia. This test is performed with a modified ophthalmoscope that contains a fixation
target that is projected on the fundus and is seen by both examiner and the patient The 4 diopter
base-out prism test is positive in anisometropic amblyopia.
(4) The exact refractive difference between the eyes that causes amblyopia is unknown.
However, most clinicians agree that a spherical equivalent of more than 1.5 diopters between the
eyes may be amblyopiogenic.
(5) In the absence of a positive cover test result, a history of strabismus or of anisometropia, the
examiner should question the patient or the parents carefully for a history of unilateral occlusion
during infancy and early childhood. Causes for unilateral visual deprivation include a unilateral
ptosis, cataract, orbital cellulitis with swelling of the lids, and prolonged wearing of an occlusive
patch.
(6) In the absence of a positive cover test result, of anisometropia, a history of strabismus or of
visual deprivation, an idiopathic amblyopia (i.e., an amblyopia without known cause) may be
present.59
(7) Anisometropia is fairly common in a strabismic population. It is not always possible to
ascertain whether the amblyopia in such patients is caused by the strabismus, the anisometropia,
or a combination of both. Strabismus may also occur as a result of decreased vision in one eye,
for instance, a macular retinoblastoma. A careful examination of the fundus is therefore
indicated in all cases of amblyopia associated with strabismus. The fixation behavior is recorded
as foveolar, parafoveolar, or peripheral.58, p.219
(8) Uncorrected high bilateral hypermetropia of an equal degree may cause bilateral visual
deprivation amblyopia. The patient makes no effort to accommodate and grows up with
chronically blurred retinal images (bilateral visual deprivation). A manifest congenital
nystagmus may have a similar effect on the development of normal visual acuity.
(9) When there is no detectable cause for bilaterally reduced visual acuity, special tests are
indicated to rule out rare diseases such as cone deficiency disorder.
70
Kompetensi Dokter Umum
3A. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
yang diminta oleh dokter (misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter
dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan
(bukan kasus gawat darurat
Keterampilan Klinis Yang Harus Dimilki
Tingkat kemampuan 4 mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan
pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah menerapkan
keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki pengalaman untuk
menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter secara
mandiri. Keterampilan klinis tingkat 4 yang harus dimiliki untuk kasus anisometropia antara
lain :
Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan
refraksi subjektif.
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
33. Mengenali gejala, tanda hordeolum
34. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
35. Melakukan deskripsi kelainan hordeolum
36. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation71
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
72
AMBLYOPIA
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi infeksi dan radang saluran lakrimalis,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
34. Mampu menjelaskan gambaran klinis amblyopia
35. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus amblyopia
36. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penangannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
73
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
33. Materi presentasi
34. Kasus
35. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(19) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(20) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(21) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(22) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Ambliopia adalah gangguan mata berupa penurunan tajam penglihatan akibat adanya
gangguan perkembangan penglihatan selama masa kanak-kanak. Keadaan ini juga dikenal
dengan istilah lazy eye atau “mata malas”. Bila salah satu mata memiliki tajam penglihatan yang
baik sedangkan mata yang lainnya tidak, maka mata dengan tajam penglihatan yang lebih buruk
akan mengalami ambliopia. Umumnya hanya satu mata yang mengalami ambliopia, namun tidak
menutup kemungkinan gangguan ini bisa terjadi pada dua mata sekaligus. Ambliopia sering
ditemukan dan dapat mengenai 2 hingga 3 orang dari 100 pasien. Masa terapi ambliopia yang
paling baik adalah selama masa bayi dan awal masa anak-anak. Ambliopia disebabkan oleh
berbagai macam kondisi yang mempengaruhi perkembangan penglihatan. Umumnya kondisi ini
bersifat diturunkan. Ada 3 penyebab utama ambliopia, yaitu:
Strabismus (Juling)
Ambliopia umumnya muncul pada mata yang mengalami strabismus (juling). Mata juling
terjadi untuk menghindari penglihatan ganda (double) oleh anak tersebut. Anak juga
biasanya lebih senang memakai mata sebelahnya dengan tajam penglihatan yang lebih
baik. Mata yang juling adalah mata dengan tajam penglihatan yang lebih buruk.
Kelainan refraksi yang tidak seimbang antar kedua mata
Kelainan tajam penglihatan bisa diatasi dengan kaca mata. Namun, ambliopia bisa
muncul bila salah satu mata tidak fokus oleh karena ukuran minus, plus, atau silinder
yang lebih besar bila dibandingkan dengan mata sebelahnya.
74
Ambliopia juga bisa muncul pada dua mata sekaligus bila tajam penglihatan pada kedua
mata sangat buruk. Keadaan ini muncul pada penderita minus, plus atau silinder tinggi.
Kekeruhan pada jaringan mata yang normalnya jernih Katarak (kekeruhan pada lensa
mata) dapat menimbulkan ambliopia. Setiap kondisi yang mencegah masuknya bayangan
objek ke dalam mata bisa menyebabkan ambliopia. Keadaan ini adalah penyebab
ambliopia yang paling buruk.
Ambliopia dapat dideteksi dengan menemukan perbedaan tajam penglihatan antara kedua mata
atau ditemukan tajam penglihatan yang sangat buruk pada kedua mata. Karena memeriksa tajam
penglihatan pada anak-anak yang lebih kecil sangat sulit, dokter mata dapat menilai tajam
penglihatan anak-anak ini dengan melihat reaksi bayi mengikuti suatu benda. Pemeriksaan
dilakukan pada masing-masing mata yang ditutup secara bergantian (patch). Jika salah satu mata
ambliopia dan mata yang tajam baik ditutup, maka bayi akan memberikan reaksi berupa
mengintip dari balik patch, berusaha membuka patch, atau menangis. Tajam penglihatan yang
lebih buruk pada salah satu mata tidak selalu berarti anak menderita ambliopia. Seringkali, tajam
penglihatan ini masih bisa diatasi dengan memberikan kacamata pada anak tersebut.
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
37. Mengenali gejala, tanda ambliopia
38. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
39. Melakukan deskripsi kelainan ambliopia
40. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
75
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
76
DIPLOPIA
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi diplopia, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
37. Mampu menjelaskan gambaran klinis diplopia
38. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus diplopia
39. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
77
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
36. Materi presentasi
37. Kasus
38. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(23) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(24) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(25) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(26) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Diplopia atau penglihatan ganda adalah suatu gangguan penglihatan yang mana obyek terlihat
dobel atau ganda. Diplopia berasal dari bahasa Yunani, diplo = dobel atau ganda, opia =
penglihatan. Diplopia secara umum dibagi menjadi dua yaitu :
1. Diplopia binokular yaitu penglihatan ganda terjadi apabila si pasien melihat dengan
kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Kondisi ini disebabkan antara
lain oleh gangguan pergerakan otot bola mata sehingga sudut kedua mata tidak sinkron
(tahap awal seseorang yang akan menjadi juling atau strabismus). Penyebab lainnya
adalah kerusakan saraf yang melayani otot otot bola mata. Kerusakan saraf ini
disebabkan oleh stroke, cidera kepala, tumor otak dan infeksi otak. Diplopia binokular
juga bisa terjadi pada pasien diabetes, miastenia gravis, penyakit graves, trauma atau
cidera pada otot mata dan kerusakan pada tulang penyangga bola mata.
2. Diplopia monokular yaitu diplopia yang hanya terjadi pada satu mata. Penglihatan ganda
muncul saat salah satu mata ditutup. Gangguan ini dapat terjadi pada pasien dengan
astigmat, gangguan lengkung kornea, pterigium, katarak, dislokasi lensa mata, gangguan
produksi air mata dan beberapa gangguan pada retina.
Karena bukan merupakan penyakit secara khusus atau dengan kata lain diplopia merupakan
gejala yang bisa terjadi pada beberapa penyakit yang saya sebutkan diatas maka pengobatan
diplopia tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya diplopia.
78
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
41. Mengenali gejala dan tanda diplopia
42. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
43. Melakukan deskripsi kelainan diplopia
44. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
79
Pasien dengan pengelihatan ganda
Pengelihatan ganda muncul saat pasien melihat dengan kedua mata dan menghilang bila salah
satu mata ditutup
Pengelihatan ganda muncul saat salah satu mata ditutup
binokularmonokular
Penyakit sistemik
diabetes
Gangguan pergerakan
otot bola mata
strabismus
Kerusakan syaraf yang
melayani bola mata
stroke Cedera kepala
Tumor otak Infeksi otak
astigmatisme Gangguan lengkung kornea
pterigium katarak
Terapi penyebab
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
80
DEFEK LAPANG PANDANG
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi defek lapang pandang,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
40. Mampu menjelaskan gambaran klinis defek lapang pandang
41. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus infeksi dan
peradangan pada apparatus lakrimalis
42. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:81
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
39. Materi presentasi
40. Kasus
41. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
HEMIANOPSIA BITEMPORAL
Hemianopsia bitemporal adalah hilanganya setengah lapangan pandangan temporal kedua
mata yang merupakan tanda khusus kelainan kiasma optik, dapat juga akibat meningitis
basal, kelainan sfenoid, dan trauma kepala.
HEMIANOPSIA HOMONYMOUS
Hemianopsia homonymous adalah hilangnya lapangan pandang pada sisi yang sama pada
kedua mata yang dapat terlihat pada lesi temporal
SKOTOMA
Skotoma terbagi atas skotoma busur (arkuat) dan skotoma sentral. Skotoma busur
(arkuat) adalah skotoma yang dapat terlihat pada glaukoma, iskemia papil saraf optik,
dan oklusi arteri retina sentral. Skotoma sentral adalah skotoma yang terlihat pada retinis
sentral.
82
83
Pasien dengan defek lapangan pandang
Skotoma parasentral,
sentral
Skotoma cecocentral
Skotoma temporal
Skotoma pada area Bjerrum’s
Altitudinal defect
hemianopsia
Penyakit koroid atau retina atau lesi saraf
optik
Defek bundle makulopapilary
Perluasan desakan
bintik buta
Scimitar-shaped scotoma
Bundle serat nervus arkuata
Bjerrum’s scotoma
Comma-shaped
extention of blind spot
Bagian proksimal
dari bundle serat saraf
arkuata
Seidel’s scotoma
Nasal step
Bagian distal dari
bundle serat saraf
arkuata
Isolated scotoma
Bagian tengah dari
bundle serat saraf
arkuata
Defek bundle serat saraf arkuata
monocular binocular
incongruous congruous
Defek retina, oklusi cabang
a.retina superior atau inferior, perlepasan
eksudat retina
Optic disk, a.siliari
posterior, oklusi,
koloboma
Nasal step yang besar dengan
kerusakan perifer temporal
inferior
Lesi suprakiasmik
Superior dan inferior
altitudinal hemianopsia
Lesi dibawah
kedua lobus oksipital
atau di atas fisura kalkari
monocular binocular
Defek quadrantanopic
superior
Junctional scotoma
heteronymous homonymous
bitemporal binasal incongruous congruous
Lesi jaras optik
Densest superiorly
(“pie in the sky”)
Lesi lobus temporal
Densest inferiorly
lengkap Hanya lapangan
sentral
Sparing temporal crescent
Lobus parietal
Lobus oksipital
Ujung lobus oksipital
Lesi kiasma
optikum (kompresi
sentral)
Lesi kiasma
optikum (kompresi kedua sisi)
Defek bundle serat saraf
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
45. Mengenali gejala, tanda defek lapang pandang
46. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
47. Melakukan deskripsi kelainan defek lapang pandang
48. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
84
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
KEHILANGAN PENGLIHATAN
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi penghilangan penglihatan,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
43. Mampu menjelaskan gambaran kehilangan penglihatan
44. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus dengan
penghilangan penglihatan
45. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penangannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
85
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
42. Materi presentasi
43. Kasus
44. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(27) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(28) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(29) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(30) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Pengelihatan adalah indera yang paling berharga, sehingga kehilangan pengelihatan
membutuhkan perhatian yang serius. Tidak dapat diterapi dan bersifat permanen, itu adalah
perubahan pada hidup pasien yang signifikan, khususnya bila terjadi pada kedua mata.
A. Jika kehilangan pengelihatan secara tiba-tiba dan tanpa penyebab yang nyata (misalnya
trauma), adanya kehilangan pengelihatan yang tiba-tiba pada satu mata atau dua mata
dapat mengindikasikan oklusi a.retina pada kasus gawat darurat. Dokumentasi yang cepat
pada kondisi ini (pemeriksaan pengelihatan, pupil, dan retina) dilakukan dalam 2 jam
setelah gejala terjadi, dapat menghasilkan terapi dini yang sukses pada
kegawatdaruratan, dimana terapi tersebut terdiri dari massage okular, parasentesis kornea
untuk menurunkan tekanan okuler dan meningkatan perfusi, injeksi dengan pemberian
vasodilator, dan breathing of CO2. Setelah 90 menit, oklusi sentral dari a.retina menjadi
lengkap, retina akan rusak secara permanen dan tidak dapat disembuhkan.
B. Pendarahan vitreous non-traumatik biasanya disebabkan oleh perlepasan vitreous.
Pendarahan dapat murni berasal dari adhesi vitreous ke struktur vaskular di atas
permukaan retina, seperti pada pembuluh darah diskus atau neovaskularisasi dari
berbagai penyebab dan dari pembuluh darah retina ketika terjadi robekan retinaa.
Pendarahan vitreous yang kecil dapat dibersihkan dengan cepatdari aksis visual dengan
gravitasi, jadi pasien tidak berada dalam bahaya. Melakukan pemeriksaan retina yang
teliti pada semua pasien yang mengalami pendarahan vitreous pada berbagai jumlah
dapat menyingkirkan robekan retina dan dapat mengkonfirmasi perlepasan vitreous.
Terapi gejala dari robekan retina yang berbentuk tapal kuda adalah untuk mencegah
perlepasan retina. Oklusi vena dapat menyebabkan edema makula yang dapat sembuh 86
dalam beberapa minggu datau bulan. Oklusi sentral atau cabang dari aa.retina biasanya
bersifat emboli dan dapat menghasilkan gejala yang sementara ketika embolus pindah ke
hilir atau bagian bawah. Terapi biasanya diatur saat ini terjadi dengan cara membuat
vasodilatasi yang tiba-tiba. Beberapa gangguan makula menghasilkan gejala gangguan
pengelihatan yang sementara. Central Serous Choroidopathy hampir dapat sembuh
sempurna dalam 6 minggu sampai 6 bulan. Beberapa kondisi inflamasi seperti idiopathic
stellate neuroretinopathy dan acute multifocal punctate pigment epitheliopahty (AMPPE)
sembuh dalam beberapa minggu seperti pendarahan dibeberapa degenerasi makula
(misalnya age-related atau angioid streaks). Ketika penyakit ini jelas, penglihatan
mungkin dapat sampai ke penyebab dasara yang persisten dan pada akhirnya mengarah
pada hilangnya pengelihatan yang permanen. Edema makula akibat solar burn setelah
melihat gerhana atau memandang matahari sering memberikan penyembuhan yang
mengejutkan. Kelaina yang parah khususnya kelaina sistemik, terutama kelaina yang
menyebabkan hipertensi (misalnya idiopatik, eklampsia, atau ketidakseimbangan
metabolik yang parah seperti gagal ginjal akut) mungkin dapat menyebabkan kehilangan
pengelihatan yang sementara sampai penyebab utama disembuhkan, biasanya akibat
edema makula atau perlengketan retina sekunder.
C. Trauma tumpul pada kepala jarang menyebabkan kehilangan pengelihatan dibandingkan
trauma langsung pada mata dan rongga mata, tetapi trauma tumpul pada kepala dapat
menyebabkan brain injury, khususnya pada korteks oksipital, dan saraf optik contrecoup
dan kerusakan retina. Jika diduga terjadi kontusio saraf optik, maka dipertimbangkan
pemberian steroid dosis tinggi secara sistemik. Trauma langsung dapat muncul dalam
berbagai bentuk. Trauma tumpul dapat menyebabkan kehilangan pengelihatan melalui
mekanisme dari edema kelopak mata yang parah sampai avulsion saraf dan termasuk
fraktur orbital, pendarahan okuler, katarak, kerusakan retina. Pemeriksaan pupil untuk
mendapatkan defek pupil yang aferen (Marcus Gun) sangat menolong untuk menentukan
kerusakan pengelihatan pada jalur pengelihatan. Echography adalah cara yang mudah,
murah, dan non-invasif untuk menyingkirkan kondisi yang patologis. CT Scan dan MRI
dapat membantu khususnya dalam menentukan fraktur orbital dan saraf optik dan
kerusakan otak. Pada trauma langsung yang parah selalu diduga perforasi okuler.
Hipotoni yang parah, kemosis, dan kehilangan pengelihatan adalah dugaan utama.
Echography khususnya A-scan yang sudah distandarisasi dapat membantu pemeriksaan.
Perforasi okuler biasanya sering disebabkan oleh potongan baja, biasanya bersifat
magnet, yang biasa masuk ke mata saat pasien menggunakan palu pada objek metal.
Karena baja sangat kecil dan tipis, baja membuat perforasi dengan mudah melalui jalan
masuk luka, sehingga membuat sulit ditemukan. Riwayat trauma mata harus ditanya
secara lengkap termasuk bagaimana cara trauma mata itu terjadi. Membuat plain film dari
rongga mata harus rutin dilakukan pada dugaan trauma. Benda-benda berujung tajam
(misalnya anak panah, pensil, jarum) yang menyebabkan luka pada mata, walaupun
87
nampaknya hanya menyebabkan perforasi pada bagian anterior, tetapi sering
meninggalkan perforasi ganda. Echography dapat membantu menyingkirkan hal ini.
D. Setelah operasi, kehilangan pengelihatan dapat terjadi dari sebagian besar komplikasi
nyata pada okuler (misalnya hifema). Namun, setelah pembedahan okuler, pendarahan
orbital, kerusakan saraf optik, perforasi okuler, dan injeksi intravaskuler selama anatesi
retrobulbar harus dipikirkan.
E. Kehilangan pengelihatan mendadak menetap yang idiopatik, bersifat bilateral, sering
merupakan akibat dari penyakit non-okuler. Namun, beberapa pasien yang hilang
pengelihatan bilateral, awalnya terjadi unilateral, dan mata kedua menjadi buta karena
kelainan yang sama. Semua kasus kehilangan pengelihatan harus dianggap sebagai kasus
gawat darurat sampai pemeriksaan dilakukan. Kehilangan pengelihatan monokuler pada
pasien tua biasanya akibat artritis temporak (kranial). Peningkatan sedimentasi membantu
dugaan diagnosis, pada waktu tertentu steroid harus diberikan secepatnya untuk
mencegah keterlibatan mata lainnya. Biopsi a.temporalis dapat mengkonfirmasi
diagnosis, dan hasil akan abnormal pada beberapa hari setelah terapi steroid dimulai.
F. Kehilangan pengelihatan akibat racun dan mungkin dapat disebabkan oleh keracunan
alkohol metil kuinin. Akhir-akhir ini, alkohol metil kuinin digunakan sebagai obat-obatan
terlarang, sehingga sulit untuk mengumpulkan riwayat pasien mengenai ini kecuali sudah
disingkirkan secara spesifik.
VIII. KOMPETENSI
88
Pasien dengan kehilangan pengelihatan
sementaramenetap
Pemeriksaan retina
Riwayat tambahanPemeriksaan mata
normal (B) abnormal
(E) spontan(D) setelah operasi(C) traumatik
Pemeriksaan X-Ray, CT, MRI
Pertimbangkan : Pendarahan vitreous Oklusi vaskularisasi
retina Gangguan makula Kondisi sistemik
Pertimbangkan : Penyebab
neurologis Glaukoma akut
terapi
terapi
Ditemukan abnormalitas
Tidak ditemukan
abnormalitas
terapi
Pertimbangkan : Keracunan Keganasan Histeria
(A) Ketajaman pengelihatan Riwayat temporal
86
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-Ray). Dokter
dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan
(bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
49. Mengenali gejala, tanda kehilangan penglihatan
50. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
51. Melakukan deskripsi kelainan penglihatan
Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu dan
optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
89
PAPIL EDEMA
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi papil edema, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
46. Mampu menjelaskan gambaran klinis papil edema
47. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus papil edema
48. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
90
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
45. Materi presentasi
46. Kasus
Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(31) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(32) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(33) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(34) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Papil edema disebabkan oleh banyak proses. Pertanyaan yang paling penting adalah
apakah penglihatan dipengaruhi. Gangguan penglihatan mengindikasikan adanya edema yang
terjadi tidak pasif tetapi lebih signifikan proses aktif mempengaruhi saraf optik. Gejala
kerusakan lapangan pandang dapat lebih membantu untuk menentukan untuk menentukan suatu
proses yang alamiah. Pertimbangan diagnosis adalah sama untuk edema diskus unilateral dan
bilateral dengan kekosentral skotoma.
A. Pada pasien dengan edema diskus bilateral, pertama harus mempertimbangkan
adanya peningkatan tekanan intrakranial kecuali jika bagian lain dari pemeriksaan klinik
menggambarkan sebaliknya contohnya uveitis.
B. Optik neuropati terdiagnosis dengan adanya suatu kerusakan pupilary afferent,
penurunan visus warna dan kerusakan lapangan pandang neuropatik (altitudinal, arcuate,
kekosentral atau konsriktif). Kehilangan lapangan pandang yang non neuropatik tidak memiliki
gambaran seperti diatas ( contohnya macular).
C. Kebutaan bilateral akut dengan edema diskus mungkin terlihat pada pasien
dengan keracunan metanol. Optik neuritis bilateral biasa terjadi pada anak-anak dan jarang
terjadi pada orang tua. Unilateral, sentral skotoma akut dengan edema pada dewasa lebih
mungkin disebabkan oleh oklusi vena sentral, yang mana menunjukkan perdarahan retinal
diffuse. Onset yang subakut dalam hitungan hari mengindikasikan adanya optik neuritis.
Singkirkan terlebih dahulu proses infeksi kronik seperti lues, fungi, dan tuberkulosis; proses
infiltrative seperti leukimia dan limfoma dan proses inflamatory kronik seperti sarkoid dan 91
penyakit kolagen vaskular sebelum membuat diagnosis demielinisasi optik neuritis. Suatu onset
subakut dalam hitungan minggu menunjukkan adanya neuropaty optik kompresif. Jika neuropati
adalah bilateral, pertimbangkan adanya glioma saraf optik atau lapisan saraf meningioma;
kompresif saraf optik unilateral dan edema diskus mungkin disebabkan oleh hal tersebut atau lesi
masa ekstrinsik, termasuk aneurisma.
D. Edema diskus dan suatu kerusakan lapangan pandang altitudinal adalah secara tinggi
merupakan sugestif iskemia dari diskus optikus pada situasi klinik yang sesuai. Banyak kasus
neuropati optik iskemia adalah idiopatik, tetapi temporal artritis atau arteritis giant sel dapat
diobati dan harus dikeluarkan. Bilateral, neuropati optik iskemik simultaneus adalah lebih sering
disebabkan oleh arteritis temporal.
E. Edema diskus monocular dengan penglihatan yang masih terpelihara dapat juga
ditemukan uveitis, sebagaimana pada kasus seldarah putih yang harus ada pada vitreus dan bilik
mata depan. Edema diskus dihubungkan dengan kongesti vena yang prominent dilengkapi
dengan inflamasi vena atau papiloplebitis pada pasien muda atau oklusi vena retinal sentral
sebagian , kadang-kadang disebut venous stasis retinopati pada pasien yang tua.
F. Unilateral edem diskus dari hipertensi intrakranial biasanya tidak umum tetapi biasanya
menjadi bilateral dalam waktu seminggu atau bulan. Gejala lain mungkin digunakan untuk
menentukan kebutuhan untuk kemajuan aditional studi.
92
Pasien dengan Papiledema
Bilateral Unilateral
Gangguan visus
Non neuropatik Optik Neuropaty
Gejala edema makula/ uveitis
Skotoma sentral akut Reaksi toksik akutOptik neuritisPenekanan pada saraf optik
Optik iskemikNeuropatyInflamasiInfeksiusPenekanan pada saraf optik
Visus normal
edema diskus optik yang terisolasiPerubahan vaskular retina
Papiledema karena peningkatan tekanan intrakranialDiabetik papilopati, diabetik retinopati, HTN retinopati
Gangguan visus Visus normal
Tidak ada inflamasi intraokuler
Diskus anomalyPerubahan vaskularisasi retina
Oklusivena sentral retinaSindrom iskemia Papilitis benignPapiledema awalneuroimaging
Normal Lesi kompresif
Pungsi lumbal
Penigkatan TIK
Anomali diskus optikusDisfungsi hormon paratiroid Neuritis perioptik
Normal TIK
Non neuropatik Optik Neuropaty
Gejala patologi makular
Konsentral skotoma Kerusakan lapagan pandang altitudinal
Edema diskus terisolated Edema diskus dengan :
Optik neuritis
neuroimaging Pendarahan retina CRVOneuroretinitis
Gejala uveitis
Kompetensi dokter umum (3A)
Kompetensi dokter umum (3A)
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
93
91
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
52. Mengenali gejala, tanda papil edema
53. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
54. Melakukan deskripsi kelainan papil edema
55. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
NEUROPATI OPTIK94
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi neuropati optik, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
49. Mampu menjelaskan gambaran klinis neuropati optik
50. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus neuropati
optik
51. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
95
47. Materi presentasi
48. Kasus
Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(35) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(36) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(37) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(38) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Neuropati optok terdiagnosis ketika gejala penurunan visus diikuti dengan dengan
gangguan warna, kerusakan pupil aferen, dan kerusakan lapangan pandang. Abnormalitas
subjektif juga termasuk penurunan saturasi warna dan kecerahan warna pada mata yang terlibat.
Penampakan diskus optik bervariasi tergantung proses durasi. Penyakit akut secara anterior
memproduksi edema diskus, tetapi penyakit akut dalam saraf optik retrobulbar tidak akan
mengubah penampakan diskus optikus. Penyakit saraf optik dari yang lebih kronik biasanya
menyebabkan atropi, meskipun lesi kompresif akan memproduksi edema diskus selama beberapa
bulan sebelum terjadi perkembangan atropi.
A. Melakukan tes lapangan pandang di kedua mata. Kerusakan yang
menggambarkan vertikal meridian mengindikasikan bahwa proses penyakit adalah intrakranial
pada anterior kiasma dan nerve optik jungsion. Karena banyak lesi kiasma disebabkan oleh lesi
masa, perbedaan ini kritis dalam membuat diagnosis kerja.
B. Profil temporal dari penurunan penglihatan adalah indikator paling dipercaya
sebagai penyebab dan memungkinkan pemeriksaan dan diagnostik terhadap banyak
kemungkinan diagnosis.
C. Atropi optik bilateral, kronik dan progresive biasanya disebabkan oleh atropi
optik heriditar, suatu nutrisional atau keadaan defisiensi atau faktor lingkungan atau obat-obatan.
Kerusakan lapangan pandang pada kondisi tersebut biasanya biasanya kekosentral. Untuk
memastikan bahwa tidak ada kemungkinan diatas maka membutuhkan pemeriksaan dari orang
tua dan saudara kandung dan juga untuk mengkonfirmasi data historis sweperti alkohol dan
tembakau dan kebiasaan diet. Jika kondisi tersebut tidak dapat terdiagnosis, pencitraan adalah
penting untuk menyingkirkan masa lesi yang secara simultan melibatkan dua saraf optik.
D. Pasien muda dengan kehilangan penglihatan akut atau subakut dan edema diskus lebih
sering memiliki proses inflamasi yang melibatkan diskus optikus. Neuritis optik idiopatik adalah
lebih sering terjadi, tetapi riwayat dan hasil laboratlorium sebaiknya digunakan untuk
menyingkirkan kondisi infllamasi dan infiltratif yang lebih spesifik dan lebih dapat diterapi.
96
E. Kepala saraf optik dapat mengalami pembengkakan dengan uveitis yang melibatkan
globus posterior atau dengan episkeliritis posterior. Kehilangan visus mungkin atau tidak
mungkin muncul ketika saraf edema dalam hubungannya dengan uveitis; pada saat muncul ,
kehilangan penglihatan munhgkin disebabkan oleh inflamasi dari saraf atau dengan efek uveitis
pada makula.Kehilangan penglihatan dengan onset yanng tiba-tiba biasanya karena vaskular itu
sendiri dan pada orang tua mengindikasikan adanya oklusi vaskular retina atau jika terdapat
edem diskus , neuropati optik iskemik. Kebanyakan neuropaty optik iskemik dihubungkan
dengan
A. arterosclerosis dari arteriol kecil. , faktor mekanikal dihubungkan dengan ukuran diskus
yang kecil atau kombinasi dari itu semua. Meskipun begitu. Temporal arteritis juga
menyebabkan neuropaty optik iskemik, dan penanganan awal adalah penting untuk
mencegah kehilangan visus lebih jauh. Gejala yang menggambarkan adanya artritis
adalah sakit kepala yang progresif atau nyeri kepala pada onset awal, kejang otot pada
dagu, demam pada malam hari atau demam berulang yang tidak diketahui sebabnya
dan rematik polimialgia. Pada umur lebih dari 70 tahun dan neuropati optik iskemik
bilateral simultaneus, terutama dengan kehilangan penglihatan, juga menandakan
adanya temporal arteritis. Hasil ESR biasanya meningkat. Diagnosis klinik yg kuat
dengan peningkatan ESR secara signifikan mungkin cukup untuk membuat diagnosis
tanpa biopsi arteri temporal.
B. Neuropati optik akut dengan normal diskus optikus mengindikasikan abnormalitas
dalam saraf optik retrobulbar. Pertimbangan diagnosis sama dengan pasien dengan optik neuritis.
Pituitary apoplexy dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang akut secara bilateral dan
biasanya dihubungkan dengan pusing yang berat dan gangguan gerakan mata. Pada pasien yang
lebih tua dengan riwayat kanker dapat menderita meningeal carcinomatosis yang mana
melibatkan saraf optik bilateral dalam persentasi pasien yang besar.
Atropi optik yang progregsif pada satu mata memungkinkan untuk mengindikasikan lesi
kompresi, baik neoplastik ataupun aneurisma.
97
Pasien dengan neuropati optik
Bilateral unilateral
Lapangan pandangKerusakan temporal pada salah satu mata atau homonim karakterKerusakan kiasmaLapangan pandang Kerusakan temporal pada mata lainnya
Hanya kerusakan lapangan pandang neuropatik
Menilai kecepatan dari penurunan visus
Tidak ada bukti kerusakan kiasmaCT/MRI
Edema pituitari KranioparingiomaIntrakranial meningiomaKiasma gliomaMetastasesaneurisma
Penurunan visus yang progresif
Cupping diskus tanpa pallorAtropi optik atau edema diskus
Glaukoma Lesi kompresif
CT/MRIKehilangan visus akut
progresif
Atropy dengan atau tanpa cuppingCupping diskus
Evaluasi neurologisEvaluasi neurologis
Akut/subakut
Edema diskus Normal diskus
Bukan uveitis glaukoma Inflamasi intraokular
Uveitis posterior, skleritis
Neuropati optik iskemik
Evaluasi neurologis:Arteritis temporal, hipertensi, diabetes
Retrobulbar neuritis optik
CT/MRI
VaskulitisInflamasi granulomatos :Tuberkulosis, sarcoidosis, sifilis, fungi.Infiltrasi:Limfoma,leukimiaAmut meningitis
Riwayat makanan: B12 defisiensi/anemia
Neuropati optik toksikneuropati otik nutrisional
Tidak ada riwayat toksik/metabolik atau neuropati optik herediter
CT/MRI
Meningioma Saraf bilateral Glioma saraf optik bilateralGlioma kiasmaMeningioma planum sphenoidaleLesi sinus spenoid
Riwayat pekerjaan, obat-obatan, alkohol
Kompetensi dokter umum
Kompetensi dokter umum
98
VIII. KOMPETENSIMampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
56. Mengenali gejala, tanda neuropati optik
57. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
58. Melakukan deskripsi kelainan neuropati optik
59. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
99
RABUN SENJA
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi rabun senja, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
52. Mampu menjelaskan gambaran klinis rabun senja
53. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus rabun senja
54. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
49. Materi presentasi
50. Kasus
51. Peralatan diagnostik
100
VI.REFERENSI(1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(3) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(4) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Riwayat pasien dengan masalah pengelihatan pada malam hari dikenal sulit dipercaya. Pada
kasus sensitivitas adapatasi gelap yang sangat rendah, penurunan pengelihatan pada malam hari
bukan merupakan keluhan pasien. Banyak keluhan dari masalah pengelihatan pada malam hari
berhubungan dengan sensitivitas dari cone yang lebih daripada rod karena kemampuan iluminasi
pada lingkungan yang kurang pencahayaan jarang ditemukan.
Adaptasi gelap diperiksa dengan adaptometer Goldmann-Weekers. Pupil berdilatasi dan
keseluhan lapangan bola mata beradaptasi selama 7 menit dengan perkiraan iluminasi 2000
lumen/m2 dari sebagian anterior yang digunakan sebagai lapangan adaptasi dan proyeksi
perimeter. Adaptasi cahaya ditidakaktifkan, dan pemeriksaan cahaya dilakukan pada area pusat
dengan sudut 15º dari titik fiksasi cahaya. Intensitas dari interval tersering menurun dan
meningkat dalam kumpulan nilai yang hanya dilihat untuk pasien. Tes warna cahaya dapat
digunakan untuk menentukan kontribusi relatif dari rod dan cone, dan posisi fiksasi cahaya dapat
bervariasi pada tes bagian lain dari lapangan pandang.
Elektroretinogram (ERG) adalah alat elektronik yang berespon terhadap hasil respon retina
dengan kilatan cahaya atau berbagai jenis stimulus yang dapat terlihat. Secara klinis ERG dapat
digunakan untuk menentukan perbandingan rod dan cone, perbandingan bagian luar dan dalam
retina, juga bagian lateral.
Lokalisasi area abnormal pada retina biasanya dapat dilihat dari pemeriksaan fundus seperti pada
lesi korioretina atau perubahan pigmen.
Abnormalitas korioretina digunakan untuk mengetahui kelainan yang luas. Hal ini penting juga
untuk menentukan perbedaan mengenai progresivitas dan keseimbangan alami dari penyakit. Hal
ini ditentukan dari riwayat penyakit, namun ERG dapat membantu menentukan tipe dari
diagnosis penyakit.
Penemuan fundus sangat penting dalam menentukan komponen fundus albipunctatus dan
penyakit Oguchi. Adaptasi baik dari cone dan rod mengalami keterlambatan pada fundus
albipunctatus dimana berhubungan dengan melambatnya gerakan fotopigmen dari cone dan rod.
Pada penyakit Ogutci hanya adaptasi dari rod yang terlambat. Terlambatnya waktu adaptasi dari
cone dan rod juga dapat ditemukan pada disfungsi pigmentasi epitel retina, seperti fundus
flavimaculatus dan dominant drusen. Beberapa penyakit hanya mempengaruhi fungsi cone. Pada
akromatopsia komplit atau monokromatisme rod terjadi penurunan pengelihatan dan tida ada
ERG dari cone atau cabang cone selama adaptasi gelap, tetapi rod masih berfungsi normal.
101
Retinis pigmentosa (RP) dan degenerasi dari cone-rod adala 2 fotoreseptor distropi utama yang
bersifat progresif yang berhubungan dengan penurunan pengelihatan pada malam hari.
Perbedaan yang nyata dari kedua hal tersebut adalah elevasi dari rod dimana degenerasi cone-rod
<100-fold dan degenerasi dari rod-cone >100-fold. Selain degenerasi cone-rod terjadi juga
gangguan pengelihatan warna dan fotophobia adalah keluhan utamanya. ERG dan adaptasi gelap
dapat normal pada distropi total dimana dapat dideteksi pada perubahan fundus, ketajaman
pengelihatan, dan atau pengelihatan warna. Selain itu ada juga bentuk herediter dari atropi koroid
seperti koroideremia dan sklerosis koroid, dimana menyebabkan sebuah distropi fotoreseptor
sekunder dan berakhir pada penurunan pengelihatan dimalam hari yang lebih dini. Avitaminosis
bukan merupakan masalah makanan pada negara berkembang, tetapi biasanya terjadi sindrom
malabsopsi. Kondisi yang diakibatkan oleh defisiensi zinc (seperti sirosis alkoholik, pankreatitis
kronik) berhubungan dengan masalah pengelihatan pada malam hari. Sebagai tambahan,
beberapa penyakit sistemik berhubungan dengan degenerasi retina yang berhubungan dengan
masalah pengelihatan pada malam hari adalah abnormalitas lemak (seperti sindrom Bassen-
Kornzweig atau abetalipoproteinemia) sebagai akibat dari rendah level vitamin A dan E dalam
plasma. Glaukoma dapat menyebabkan kehilangan sebagian kecil sensitivitas adaptasi gelap,
dimana jumlah rod lebih banyak daripada cone pada area luar pengelihatan. Pemeriksaan fundus
dan angiografi flouresens berguna untuk membedakan abnormalitas retina.
Permasalahan sekunder termasuk silau dari media opasitis; miopia malam hari, dimana pada
keadaan gelap akomodasi titik tengah tidak sesuai: dan miosis karena usia dan obat-obatan.
Beberapa pasien menunjukkan penurunan sensitivitas yang berlebih-lebihan pada cabang rod
dari adaptasi gelap yag dideteksi dari sebuah stimulus kilatan merah. Pasien-pasien dengan
penyakit ini biasanya memiliki keluhan berupa masalah saat berkendaraan malam hari.
102
Pasien dengan kesulitan melihat pada malam hari
(A) riwayat
(B)Pemeriksaan adaptasi gelap
abnormal normal
(C)ERG ERG
99
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
60. Mengenali gejala, tanda rabun senja
61. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
62. Melakukan deskripsi kelainan rabun senja
63. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
103
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
PTERIGIUM
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
104
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi pterigium, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
55. Mampu menjelaskan gambaran klinis pterigium
56. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus pterigium
57. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
52. Materi presentasi
53. Kasus
Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(39) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
105
(40) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(41) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(42) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan jaringan konjungtiva yang bersifat degeneratif.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak mata bagian dalam ataupun luar
konjungtiva yang meluas sampai daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
daerah sentral atau kornea. Pterygium dapat mengenai kedua mata. Penyakit ini mudah meradang
dan bila terjadi iritasi maka bagian pterygium tersebut akan berwarna merah.
Keadaan ini diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan
lingkungan dengan angin banyak, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar
hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Pterygium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, merah,
dan mungkin menimbulkan astigmatisme yang akan memberikan gangguan tajam penglihatan.
Pengobatan tidak diperlukan karena sering bersifat rekuren/kambuh, terutama pada pasien yang
masih muda ( < 40 tahun ) tingkat kekambuhan dapat mencapai 50%. Bila pterygium meradang
dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Bila pterygium meluas sampai
menutup pupil maka harus dilakukan pembedahan dengan mengangkat jaringan pterygium
tersebut beserta sebagian kecil lapisan kornea bagian atas yang melewati daerah pelanggaran ini.
Untuk mencegah kekambuhan khususnya pada orang yang bekerja di luar, yang bersangkutan
harus memakai kaca mata pelindung.
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
64. Mengenali gejala, tanda pterigium
65. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
66. Melakukan deskripsi kelainan pterigium
67. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
106
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
ENTROPION
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
107
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi entropion, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
58. Mampu menjelaskan gambaran klinis entropion
59. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus entropion
60. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
54. Materi presentasi
55. Kasus
56. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(43) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
108
(44) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(45) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(46) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Entropion
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter mampu merujuk pasien
secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya
109
Pasien dengan tepi kelopak terlipat ke arah dalam
Inflamasi kelopak atau ada edema Tidak ada inflamasi atau edema
A. Entropion spastik
Atasi penyebab inflamasi (RUJUK KE SPESIALIS MATA)
B. nilai dengan eversi kelopak
Mudah dieversi Sulit atau tidak bisa dieversi
Riwayat: trauma, operasi, infeksi, inflamasi atau gangguan auto imun
Evaluasi konjungtiva
normal Perubahan sikatrik
d. cicatricial entropion
Rotasi marginal dengan atau tanpa graft posterior lamellar
c. involutional entropion
Nilai struktur kelopak
kelemahan kelopak horizontal
Pengencangan retraktor kelopak bawah
Overriding preseptal orbicularis
Refixate preseptal orbicularis
Imbrication of lower lid retractors
Horizontal lid tightening
KOMPETENSI 2, RUJUK KE
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
68. Mengenali gejala, tanda hordeolum
69. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
70. Melakukan deskripsi kelainan hordeolum
71. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
TRIKIASIS
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
110
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi trikiasis, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompeteni.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
61. Mampu menjelaskan gambaran klinis trikiasis
62. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus trikiasis
63. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
57. Materi presentasi
58. Kasus
59. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
(47) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
111
(48) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(49) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(50) Kansky. Ophthalmology.
(51) VII.GAMBARAN UMUM
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
VIII. KOMPETENSI
112
Gangguan arah bulu mata ke arah bola mata
Apakah pasien merupakan ras asia (epiblepharon: gangguan kongenital dimana [retarsal orbicularis dan kulit menempati margin kelopak, sehingga bulu mata menjadi vertikal dan sering menyentuh kornea, apakah passien pernah mengalami infeksi mata berat atau pernah mengunjungi wilayag yang umum terdapat trachoma?, apakah pasien memiliki riwayat herpes zoster ophthalmicus, apakah terdapat riwajat SJS atau luka bakar kimia pada mata?, pakah ada riwayat trauma, operasi,alergi
Periksa kelopak atas dan bawah, untuk melihat arah bulu mata. Pemeriksaan ini mungkin memerlukan slitlamp apabila bulu mata yang mengarah ke bola mata fokal., lihat apakah ada simblepharon, involution
Penatalaksaanaan primer untuk trichiasis adalah operasi, namun secara suportif dapat juga diberikan lubrukan seperti salep mata atau air mata buatan untuk mengurangi iritasi dari sentuhan bulu mata, jika penyebanya adalah pephigoid atau sjs, terapi harus diarahkan pada penyakit tsb, Kompetensi dokter umum 2, rujuk ke ahli mata bila kausanya memang di bidang mata
Terapi definitifnya adalah operasi yang dapat t dikategorikan:1. Lash and follicle destruction
Biiasanya untuk trikchiasis segmental atau fokal - Simple epitation- Electrolysis of lashes- Cryosurgery- Radiofrequency ablation of lashes
2. Lash/follicle repositioningDiarahkan ke penyebab anatomi dari masalah-entropion: lower lid retractor reattachmentPosterior lamella scarring: graft, tarsoconjunctival advancementSurgery of conjunctivaRepositioning anterior lamella
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter mampu merujuk pasien
secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
72. Mengenali gejala, tanda trikiasis
73. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
74. Melakukan deskripsi kelainan trikiasis
75. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
APPARATUS LAKRIMAL
113
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi infeksi dan radang saluran lakrimalis,
menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan sesuai kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
64. Mampu menjelaskan gambaran klinis peradangan pada apparatus lakrimalis
65. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus infeksi dan
peradangan pada apparatus lakrimalis
66. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penangannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
60. Materi presentasi
61. Kasus
62. Peralatan diagnostik
VI.REFERENSI
114
(60) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of
Ophthalmology. San Fransisco.
(61) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15 th
Connecticut: Prentice Hall int.
(62) American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course.
(63) Kansky. Ophthalmology.
VII.GAMBARAN UMUM
Sistem lakrimalis yang mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi dan
drenase air mata. Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur
pembentuk air mata. Duktus nasolakrimalis merupakan unsur ekskresi sistem ini yang
mencurahkan kedalam hidung. Cairan mata disebarkan atas permukaan mata oleh kedipan mata.
Radang kelenjar akut lakrimal adalah keadaan langka yang paling sering terdapat pada
anak-anak sebagai komplikasi parotitis epidemika, campak, atau influenza dan pada orang
dewasa sehubungan dengan goonore. Dakriodenitis menahun mungkin merupakan akibat dari
infiltrasi limfositik jinak, limfoma leukimia, atau tuberkulosis. Keadaan ini sering bilateral
sebagai manifestasi sarkoidosis. Bila menyertai pembengkakan kelenjar parotis disebt sindrom
Mikulicz. Nyeri hebat, pembengkakan dan pelebaran pembuluh darah terjadi diaspe temporal
palpebra superior sering menampakkan kurva berbentuk S. Jika terdapat infeksi bakteri, berikan
antibiotik sistemik, jarang sampai diperlukan drenase untuk infeksi secara bedah.
a. Dakrioadenitis
Peradangan kelenjar lakrimal atau dakrioadenitis merupakan penyakit yang jarang
ditemukan dan dapat dalam bentuk unilateral ataupun bilateral.
Dakrioadenitis dapat berjalan akut ataupun kronis. Infeksi akut dan kronis dapat terjadi
akibat infeksi :
- Virus : parotitis, herpes zoster, virus ECHO, dan virus sitomegali. Pada anak dapat
terlihat sebagai komplikasi infeksi air liur, campak, influenza.
- Bakteri : Staphylcoccus aureus, streptokok gonokok. Dakioadenitis dapat terjadi
akibat infeksi retrograd konjugtivitis. Trauma tembus dapat menimbulkan reaksi
radang pada kelenjar lakrimal ini.
- Jamur : histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, norkadiosis dan sporotrikosis.
- Sarkoid dan idiopati.
Dakrioadenitis menahun sekunder dapat terjadi akibat penyakit hodgkin, tuberkulosis,
mononukleosis infeksiosa, leukemia limfatik dan limfosarkoma.
Pasien dakrioadenitis akut umunya mengeluh sakit di daerah glandua lakrimalis yait
bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata yang bengkak,
konjungtiva kemotik dengan belek. Pada infeksi akan terlihat bila mata bergerak akan
memberikan sakit dengan pembesaran kelenjar preaurikel.
115
Dakrioadenitis akut perlu dibedakan dengan selulitis orbita, dengan melakukan biopsi
kelenjar lakrimal. Bila kelopak mata dibalik tampak pembengkakan berwarna merah
dibawah kelopak mata atas temporal. Pada keadaan menahun terdapat gambaran yang
hampir sama dengan keadaan akut tetapi tidak disertai rasa nyeri. Apabila pembengkakan
cukup besar, bola mata terdorong ke bawah nasal tetapi jarang terjadi
proptosis.Pengobatan pada dakrioadenitis biasanya dimulai dengan kompres hangat,
antibiotik sistemik dan bila terlihat abses maka dilakukan insisi. Bila disebabkan oleh
radang menahun maka diberikan pengobatan yang sesuai.
Diagnosis banding akrioadenitis adalah kalazion, konjungtivitis adenovirus, selulitis
preseptal, selulitis orbita, dan keganasan kelenjar lakrimal. Penyulit dakrioadenitis akut
dapat meyebabkan fistula pada kelenjar lakrimal.
ALOGARITMA
b. Dakriosisitis
116
Infeksi dari sakus lakrimalis adalah penyakit umum yang biasanya terdapat pada bayi atau pasca-
menapause. Paling sering unilateral dan selalu sekunder terhadap obstruksi duktus
nasolakrimalis. Pada banyak kasus dewasa, penyebab obstruksi itu tidak diketahui. Dakriosisitis
jarang terdapat pada golongan usia pertengahan kecuali sesudah trauma atau disebabkan sebuah
dakriolit. Penyembuhan spontan terjadi setelah dakrolit terlepas, namun biasanya kambuh lagi.
Pada bayi, infeksi menahun menyertai obstruksi duktus nasolakrimalis, namun dakrosisitis akut
jarang terjadi. Dakrosisitis akut pada anak-anak seringkali adalah akibat infeksi Haemophilus
influenza. Harus segera diterapi secara agresif karena risiko timbulnya selulitis orbital.
Dakrosisitis akut pada orang dewasa biasanya disebabkan Staphylococcus aureus atau kadang-
kadang Streptococcus β hemolyticus. Pada dakriosisitis menahun, organisme dominan adalah
Streptococcus pneumonia dan Candida albicans – infeksi campur tidak dijumpai. Agen infeksi
dapat ditemukan secara mikroskopik dengan memulas hapus konjungtiva yang diambil setelah
memeras sakrus lakrimalis.
Temukan klinik
Gejala utama dakrosisitis adalah berair mata dan belekan (bertahi mata). Pada bentuk
akut, didaerah saks lakrimalis terdapat gejala radang, didaerah sakus lakrimalis terdapat
gejala radang, sakit, bengkak, dan nyeri tekan. Materi purulen dapat diperas dari sakus.
Pada yang menahun, tanda satu-satunya adalah berair mata. Materi mukoid biasanya
dapat diperas dari sakus. Yang menarik adalah bahwa dakriosisitis jarang dipersulit oleh
konjungtivitis, walaupun sakus konjungtiva secara menetap bermandikan pus (nanah)
yang keluar dari punctum lacrimale. Kadang-kadang timbul ulkus kornea setelah trauma
ringan pada kornea pada dakriosisitis pneumonia.
Terapi
Dakrosisitis akut biasanya berespons terhadap antibiotika sistemik yang memadai, dan
bentuk menahun sering dapat dipertahankan agar laten dengan tetesan antibiotika.
Meskipun behgitu, menghilangkn obstruksi adalah penyembuhan satu-satunya
Pada orang dewasa adanya molekul adalah pertanda bahwa tempat obstruksi adalah di
duktus nasolakrimalis dan bahwa diindikasikan tindakan dakriosistorinostomi.
Pada dakriosistitis infantil, tempat stenosis biasanya pada valvula Hasner. Tiadanya
kanalisasi adalah kejadian umum (4-7% dari neonatus), namun biasanya duktus itu
membuka secara spontan daam bulan pertama. Sakus lakrimalis yan ditekan kuat-kuat
dapt robek membran sehingga terbuka. Jika stenosis menetap lebih dari 6 bulan atau jika
timbul dakriosisitis maka diindikasikan pelebaran dukts dengan probe. Satu kali tindakan
efektif pada 75%kasus. Sisanya hampir selalu dapat disembuhkan pada tindakan ulangan.
Dengan merusak konka inferior ke dalam, atau dengan bidai lakrimal silikon temporer.
Tindakan pelebaran jangan dilakukan bila ada infeksi akut.
Karena tindakan ini kurang berhasil untuk dewasa.
ALOGARITMA
117
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter mampu merujuk pasien
secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya.
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
76. Mengenali gejala, tanda infeksi dan peradangan pada apparatus lakrimalis
77. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
78. Melakukan deskripsi kelainan infeksi dan peradangan pada apparatus lakrimalis
79. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
118
Pasien dengan Dakriosisitis
KronisAkut
Haemophilus influenza
Streptococcus β hemolyticus
Staphylococcus aureusCandida albicans
Streptococcus pneumonia
Bayi, anak- dewasa
berair mata dan belekan (bertahi mata)Akut : Didaerah saks lakrimalis terdapat gejala radang, didaerah sakus lakrimalis terdapat gejala radang, sakit, bengkak, dan nyeri tekan. Materi purulen dapat diperas dari sakus.
Kronis: tanda satu-satunya adalah berair mata. Materi mukoid biasanya dapat diperas dari sakus
Penatalaksanaa : ANTIBIOTIKADewasa obstruksi dakriosistonosmoniInfantil tempat stenosis pada vulva Hasner kanalisasi menetap 6 bln dakriosisitis indikasi pelebaran duktus probe 75% efektif lalu dibutuhkan pengulangan.
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
GLAUKOMA
119
I.WAKTU/ SESI PERTEMUAN
Mengembangkan Kompetensi Kepaniteraan dilakukan selama 4 minggu
Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Waktu 30 menit
Waktu 30 menit
II.TUJUAN UMUM
Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi glaukoma, menginterpretasikan dan
menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai
kompetensi.
III.TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil:
67. Mampu menjelaskan gambaran klinis glaukoma
68. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus glaukoma
69. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya
IV. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tujuan 1
Metoda:
Kuliah interaktif
Bed side teaching
Telaah ilmiah
Tujuan 2
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, prosedural skill, short case
Telaah ilmiah
Tujuan 3
Metoda:
Kuliah interaktif
Demonstrasi, long case, phantom
Telaah ilmiah
V.PERSIAPAN SESI
63. Materi presentasi
64. Kasus
65. Peralatan diagnostik
VII. GAMBARAN UMUM
120
A. Definisi
Glaukoma berasal dari bahasa Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.
Glaukoma adalah suatu bentuk kelainan mata yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bila
mata, atrofi papil saraf optik dan menurunnya lapanganm pandang.
B. Faktor risiko
- Umur, Resiko akan meningkat pad umur 40 ahun keatas (1%) dan pada 65 tahun keatas 5
%
- Ras, risiko sangat tinggi pad ras Afrika
- Riwayat keluarga.
- Miopia. Penderita rabun jauh terutama dengan minus besar mempunyai kecenderungan
terjadinya Glaukoma kronik.
- Diabetes mellitus
C. Gejala Klinis
- Episodic eye pain
- Mata kemerahan
- Pandangan kabur
- Tampak bayangan halo saat melihat cahaya terang
- Sakit kepala
D. Klasifikasi Glaukoma
1. Glaukoma primer
– Glaukoma sudut terbuka/Primary Open Angel Glaukoma (POAG)/ glaukoma
simpleks
– Glaukoma sudut sempit/Primary Narrow Angel Glaukoma (PNAG).
2. Glaukoma congenital
3. Glaukoma sekunder
– Akibat perubahan lensa (pada katarak/phacomorphic glaukoma)
– Kelainan uvea
– Trauma
– Bedah
– Penggunaan steroid
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis glaukoma membutuhkan identifikasi kerusakan saraf optik. Jika terdapat atropi
disc, cupping dan/atau serabut-serabut saraf sedang sampai berat, berhubungan dengan adanya
defek lapangan pandang, maka diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti. Ketika gejala tidak
terlalu menonjol, diagnosis pasti dengan satu pemeriksaan sulit ditegakkan karena adanya
gambaran kerusakan saraf optik yang bervariasi dan tekanan intraokuler yang tinggi di populasi
normal.
121
A. Selama anamnesis dan pemeriksaan oftalmoskopi, identifikasi faktor yang dedua jenis
galukoma, baik glaukoma sudut terbuka dapat meningkatkan risiko individu mengalami
glaukoma dengan kerusakan saraf optik. Riwayat keluarga dengan glaukoma sudut terbuka
(POAG), terutama pada keturunana pertama, berhubungan dengan peningkatan risiko
berkembangnya penyakit. Prevalensi kedua jenis glaukoma, bauk glaukoma sudut terbuka
(POAG) maupun galukoma sudut sempit (PNAG) sekitar empat kali lebih banyak pada ras
Afrika dibandingkan Kaukasia. PNAG lebih banyak terjadi pada ras Asia. Individu dengfan
diabetes dan myopia berhubungan dengan peningkatan risiko mengalami PNAG. Periksa
sudut bilik mata untuk identifikasi adanya peripheral anterior synechia (PAS).
B. Pengukuran TIO merupakan metode yang buruk untuk skrining glaukoma. Berdasarkan
pemeriksaan TIO saja, sekitar sepertiga individu dengan galukoma memiliki TIO yang
normal, dan kebanyakan pasien glaukoma secara bertahapa mengalami penurunan TIO.
Selain itu pada individu yang secara statistic memiliki TIO yang tinggi tidak menunjukkan
danya gejala kerusakan saraf optik. Karena adanya keragaman TIO pada individu di setiap
waktu dan terdapat perbedaan kerentanan terhadap tekanan intraoptikal yang dapat
menimbulkan kerusakan saraf optik dalam suatu populasi. Sehingga pemeriksaan
oftalmoskopi yang lengkap dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis glaukoma. Meskipun
glaukoma dapat terjadi pada berbagai level TIO, namun TIO juga penting untuk menentukan
subtype dan target awal dari terapi medis dan pembedahan.
C. Ketika sudut bilik mata depan terbuka dan TIO normal, glaukoma dapat dipertimbangkan
jika ada gambaran kerusakan saraf optik. Glaukoma dengan penurunan serabut-serabut saraf
menyebabkan penipisan lapisan neuroretina dengan peningkatan ukurab cup dan disc. Karena
mata normal dengan sarf optik yang kecil mengarah pada rasio cup/disc yang lebih kecil
juga, pertimbangkan hubungan antara rasio cup disc dengan ukuran saraf optik. Untuk
ukuran saraf optik yang normal, rasio cup/disc sekitar 0,6, atau jika lebih besar dari itu dapat
dipertimbangkan kerusakan awal akibat glaukoma. Pada mata dengan disc yang kecil,
mungkin ada glaukoma dengan rasio cup/disc yang kecil. Pemeriksaan lapisan serabut saraf
retina dapat menjadi klu awal adanya kerusakan diskus optikus akibat glaukoma sebelum
munculnya perubahan diskus optikus dan lapangan pandang lebih lanjut. Meskipun
kerusakan karena glaukoma bersifat difus, sering terjadi kerusakan asimetris di kedua mata
yang berhubungan dengan hemiretina atas dan bawah di satu mata. Namun, identifikasi
asimetrisitas saraf optik dan lapisan saraf vertical atau kontralateral merupakan evaluasi yang
penting pada individu yang diduga mangalami glaukoma .
D. Jika terjadi kerusakan saraf optik dan hilangnya lapangan pandang dengan TIO yang normal,
pertimbangkan adanya peningkatan TIO yang intermiten sebagai bagian dari evaluasi
diagnostic untuk low tension glaukoma. Hilangnya lapangan pandang yang tidak
berhubungan dengan kerusakan saraf optik dapat dipertimbangkan sebgai diagnosis
alternatif.
122
118
E. Jika tidak ada abnormalitas saraf optik atau lapangan pandang , dibutuhkan evaluasi klinis
secara periodik dengan serial stereo disc photographs dan pemeriksaan lapangan pandang.
Jika ada bukti perubahan gambaran pada saraf optik, perkembangan defek lapangan pandang
atau peningkatan TIO maka dibutuhkan suatu tatalaksana.
Algoritma 1. Diagnosis Glaukoma
Peningkatan tekanan intraokuler (TIO)
123
Anamnesis : Pandangan kabur, episodic eye pain, mata merah, melihat bayangan halo, sakit kepala
Pemeriksaan TIO
- Digital palpasi- Tonometri Schiotz- Tonometri aplanasi- Tonometri non-kontak
Pemeriksaan oftalmologi:- Palpebra- Konjungtiva- Kornea- BMD- Iris- Pupil - Lensa - Retina (oftalmoskopi)
Normal Tinggi
Gonioskopi Lihat algoritma 2
Sudut terbuka Sudut tertutup
Kelainan anatomiPemeriksaan lapangan pandang
Pemeriksaan funduskopi
Glaukoma dengan kerusakan saraf optik
Normal
ObservasiLow tension glaukoma
Peningkatan tekanan intraokuler (TIO) merupaka faktor risiko yang penting untuk
berkembangnya kerusakan saraf optik. Semua pasien dengan peningkatan TIO (TIO ≥ 22 mmHg,
membutuhkan evaluasi yang cermat untuk mengetahui penyebab peningkatan TIO dan adanya
serta perkembangan kerusakana saraf optik.
A. Langkah awal adalah menentukan mekanisme peningkatan TIO melalui anamnesis riwayat
penyakit dan pemeriksaan slit lamp. Pasien mungkin enggan untuk menceritakan mengenai
riwayat trauma atau inflamasi dengan pertanyaan yang spesifik. Pemeriksaan dengan slit
lamp penting untuk menentukan peningkatan TIO sekunder yang membutuhkan observasi
cermat dari dokter.
B. Glaukoma primer sudut terbuka (POAG) merupakan bentuk yang paling umu terjadi di
Amerika Serikat. Selain adanya sudut bilik mata depan yang terbuka pada gonioskopi,
diagnosis POAG membutuhkan eksklusi dari banyak penyebab yang mendasarinya. TIO
yang asimetris di kedua mata dapat mengarah pada bentuk glaukoma sekunder. Meskipun
begitu, peningkatan TIO unilateral juga dapat terjadi pada POAG. Sehingga evaluasi untuk
glaukoma sudut terbuka tetap sama pada individu yang memiliki TIO simetris di kedua mata.
C. Pada PNAG, sudut bilik mata depan yang sempit atau tertutup mungkin sulit untuk
mendapatkan gambaran perlengketan anterior perifer (PAS) sampai kompresi gonioskopi
terjadi. Sebelum diagnosis PNAG ditegakkan, berbagai penyebab sekunder peningkatan TIO
juga harus dipertimbangkan. Iridosiklitis dan glaukoma neovaskuler dapat menyebabkan
glaukoma sekunder sudut terbuka maupun sudut tertutup, tergantung apakah terdapat
perkembangan PAS. Asimetrisitas perbandingan dari kedua sudut bilik mata depan dapat
mengarahkan pada kondisi patologis dari segmen posterior seperti efusi koroid (akibat
panretinal photocoagulation) atau tumor.
D. Jika ada blok pupil pada sudut bilik mata depan yang sempit atu tertutup, diindikasikan
untiuk laser peripheral iridotomy. Prosedur ini dibutuhkan pada semua kasus PNAG.
Gonioskopi ulang setelah laser untuk konfirmasi bahwa sudut bilik mata depan terbuka dan
dapat didiagnosis iris syndrome. Laser iridotomy juga berguna ketika blok pupil
menyebabkan peningkatan TIO, seperti pada phacomorphic glaukoma atau ketika iridosiklitis
menimbulkan pergeseran iris. Jika terdapat blok pupil sekunder tatalaksana terutama untuk
mengatasi faktor penyebab. Untuk glaukoma phacomorfic, ekstraksi katarak dengan atau
tanpa pembedahan filtrasi merupakan terapi definitive. Pada glaukoma uveitis, tatalaksana
untuk mengatasi proses inflamasi merupakan hal yang penting.
E. Pemeriksaan lapangan pandang dan funduskopi dibutuhkan untuk menentukan apakah
peningkatan TIO telah menimbilakan kerusakan pada saraf optik. Pada kasus glaukoma
primer sudut tertutup pemeriksaan funduskopi dengan pelebaran pupil tidak boleh dilakukan
sampai dilakukan laser iridotomy untuk mencegah eksaserbasi akut peningkatan TIO.
F. Jika tidak ada bukti kerusakan saraf optik, menetukan level TIO dan adanya faktor risiko
lebih lanjut yang dapat menyebabkan kerusakan saraf optik merupakan hal penting dalam
124
120
tatalaksana. Karena risiko berkembangnya glaukoma meningkat dramatis jika TIO > 30
mmHg maka terapi medis awal dibutuhkan untuk kasus ini. Terapi medis awal biasanya
terdiri dari ß bloker topical apapun penyebabnya. Jika TIO < 30 mmHg, observasi tanpa
terapi medis, terutama jika tidak ada faktor risko untuk berkembangnya glaukoma yang
progresif. Faktor risiko tersebut seperti riwayat keluarga (terutama jika ada yang mengalami
kebutaan karena glaukoma) dan kecurigaan adanya kerusakan saraf optik berdasarkan rasio
cup/disc dan asimetrisitas disc. Faktor sosial seperti kemungkinan hipertensi okuler yang
tidak diobati dan tindak lanjut yang memungkinkan harus dilakukan. Peningkatan TIO akibat
pseudoexfoliation atau disperse pigmen mungkin menyebabkan perubahan dramatis pada
TIO dalam waktu singkat.
G. Pasien dengan kerusakan saraf optik membutuhkan terapi medis untuk menurunkan TIO
sampai level yang aman yang tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Penurunan TIO
yang signifikan setelah laser iriotomy pada psien dengan PNAG terutama jika tidak
pembentukan PAS yang luas. Meskipun begitu kebanyakan pasien tetap membutuhkan terapi
medis untuk mencapai target TIO.
H. Jika target TIO tercapai, lapangan pandang dan saraf optik harus terus dimonitor untuk
mencegah kerusakan. Jika kerusakan progresif terjadi, dapat dipilih target TIO yang baru
sehingga dibutuhkan terapi tambahan. Terapi medis PNAG berbeda dengan terapi medis
POAG yang bertujuan meningkatkan aliran humor aquous (pilocarpin). Terapi ini tidak
efektif jika terdapat perluasan PAS. Pilihan untuk terapi medis PNAG dengan PAS yang
meluas secara umum yaitu untuk menurunkan produksi humor aquous termasuk ß bloker, α2
agonis dan karbonik anhidrase inhibitor.
Algoritma 2. Diagnosis dan Tatalaksana Glaukoma
125
↑ TIO
121
Ket. * :
- Pilocarpin
- Carteolol
126
gonioskopi
Glaukoma Sudut terbuka (glaukoma simpleks)
Glaukoma sudut tertutup
Asimetris Simetris
- Glaukoma sekunder sudut terbuka
- Trauma- Penggunaan
steroid- Iridosiklitis- Phacolitic
glaukoma - Dispersi pigmen
- Glaukoma sekunder sudut tertutup
- Phacomorfic glaukoma- Iridosiklitis- Neurovaskuler glaukoma- Tumor
Laser iridotomi
Pemeriksaan lapangan pandang (kampimetri, tes konfrontasi)
Pemeriksaan funduskopi
Tidak ada tanda-tanda kerusakan saraf Tanda-tanda kerusakan saraf
Observasi ulang TIO
TIO < 30 mmHg TIO >30
Tanpa FR Ada FR
Observasi Terapi medis*
Terapi medis*
Target IOP (lihat algoritma
Monitor : - TIO, lapangan pandang, saraf optik
- Betaxolol
- Latanoprost
- Timolol
- Argon Laser Trabeculoplasty (ALT)
- Apraclonidine
- Dipiverine
Glaucoma primer sudut terbuka (glaucoma simpleks)
Setelah diagnosis POAG ditegakkan, terapi medis dapat diberikan untuk mencegah
kerusakan saraf optik yang progresif. Pengobatan dengan dosis rendah yang dapat menurunkan
TIO mencapai target dan mencegah kerusakana saraf optic dan lapisan serabut-serabut saraf
lebih dipilih karena dosis yang lebih rendah memiliki risiko efek samping yang minimal juga.
Semua pengobatan yang digunakan untuk glaucoma berpotensi menimbulkan bahaya, sehingga
dokter yang mengobati glaucoma harus memahami farmakologi dan efek samping obat yang
diberikan.
Beberapa pilihan terapi penting karena efek terapi yang diberikan dapat berkurang seiring
berkurangnya efek obat atau memburuknya penyakit. Pengobatan lain atau kombinasi beberapa
obat berguna untuk beberapa pasien, namun terapi tetap harus memperhatikan kondisi pasien
secara individu.
A. Level TIO sebelum terapi dimulai harus diketahui untuk membantu menentukan target TIO
yang aman bagi pasien.
B. Pengumpulan data dari penelitian jangka panjang dan pengalaman klinis ahli oftalmologi
menyatakan penggunaan ß bloker topical sebagai terapi awal untuk POAG. Beberapa ß
bloker nonselektif terdapat di Amerika Serikat. Obat golongan ini dikontraindikasikan pada
pasien dengan AV blok derajat 1 dan ganggguan bronkospastik dan sebaiknya digunakan
secara hati-hati pada pasien dengan DM dan CHF. Karena aktivitas simpatomimetik
intrinsik, carteolol jarang menyebabkan bradikardia dan tidak terlalu mempengaruhi profil
lipid dibandingkan golongan ß bloker lainnya. Betaxolol, ß1 adrenergic antagonis selektif
berhubungan dengan efek samping pulmonal yang ringan daripada ß bloker non selektif
tetapi sebaiknya tetap dihindari pada pasien dengan gangguan bronkospastik.
Karena TIO yang selalu berfluktuasi, efisiensi pengobatan POAG dengan ß bloker atau obat
lain sulit ditentukan jika pengobatan dimulai bilateral. Pengobatan pada 1 mata saja saat
permulaan pengobatan dapat meningkatkan kemampuan klinisi untuk menentukan efisiensi
pengobatan. Pengobatan yang tidak efektif dapat dihentikan sehingga potensi efek samping
dari pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dihindari.
C. Kemajuan terbaru dalam pengobatan glaucoma mengarah pada sejumlah besar pilihan terapi
untuk pasien yang dikontraindikasikan untuk ß bloker atau pengobatan dengan ß bloker yang
127124
tidak efektif.jika ß bloker efektif tetapi sulit untuk mencapai target TIO, kombinasi
pengobatan dapat digunakan.
Latanoprost merupakan analog prostaglandin F2α yang telah menunjukkan keefktifan seperti
timolol dalam menurunkan TIO pada pasien denga POAG dan hipertensi okuler.
Efektivitasnya dalam menurunkan TIO pada individu dengan glaucoma bentuk lain masih
belum dievaluasi. Latanoprost menurunkan TIO dengan cara meningkatkan aliran
uveoskleral, mekanisme yang berbeda dengan obat glaucoma lainnya. iritasi konjungtiva dan
peningkatan pigmentasi iris mungkin terbatas pada beberapa pasien.
Meskipun karbonik anhidrase inhibitor (CAIs) oral efektif dalam menurunkan TIO, efek
samping sistemik jarang terjadi. Baru-baru ini, diperkenalkan CAI dorzolamide, yang efektif
dengan pemberian topical dan efek samping sistemik yang minimal sudah digantikan dengan
pemberian secara oral untuk pengobatan jangka panjang.
D. Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) secara tradisional digunakan untuk mengatasi glaucoma
simpleks yang tidak terkontrol. Penelitian yang mengevaluasi ALT sebagai terapi alternatif
dalam terapi medis awal untuk pasien yang baru didiagnosis POAG menunjukkan efektivitas
50% dalam mengontrol TIO tanpa obat lain selama 2 tahun. Meskipun kebanyakan klinisi
melanjutkan penggunaan obat-obatan sebagai terapi awal POAG, banyak juga yang memilih
ALT lebih awal, terutama bagi individu dengan efek samping pengobatan yang berat.
E. α2 agonis seperti apraclonidine paling sering digunakan sebagai profilaksis peningkatan TIO
post laser. Meskipun begitu, obat-obat ini juga menunjukkan efektivitas pada beberapa
individu dengan glaucoma yang tidak terkontrol dengan pengobatan lain. Namun dibatasi
dalam penggunaan jangka panjang karena menyebabkan alergi pada beberapa pasien.
Pilocarpin dan agen parasimpatomimetik lain menurunkan TIO dengan meningkatkan aliran
trabekular. Miosis, induksi akomodasi dan spasme siliaris menimbulkan efek samping yang
jelas pada beberapa individu. Pada pasien yang masih muda atau katarak sedang sulit
mentoleransi obat ini. Epinefrin kurang efektif pada beberapa pasien dan memiliki efek
samping yang signifikan, termasuk iritasi permukaan bola mata, blefarokonjungtivitis, dan
cystoids macular edema pada pasien aphakik dan pseudoaphakik. Dipiverine, prodrug yang
diubah menjadi epinefrin di mata, kurang menyebabkan iritsi tapi tetap memiliki efek
samping yang sama dengan epinefrin.
F. Jika glaucoma berkembang progresif meskipun pemberian obat sudah maksimal dan ALT,
diindikasikan untuk pembedahan invasive. Trabeculectomy secara tradisional ditunda karena
komplikasinya yang dapat menimbulkan kebutaan. Penelitian terbaru mengevaluasi risiko
dan manfaat potensial dari terapi bedah di awal pengobatan sebagai alternative untuk
pengobatan medis. Sampai risiko ini dipahami lebih lanjut, pembedahan masih menjadi
terapi cadangan setelah pengobatan medis yang lain.
128
G. Jika target TIO telah tercapai, pemeriksaan lapangan pandang dan saraf optic harus selalu
dimonitor untuk mencegah perburukan . jika kerusakan progresif terjadi, ditentukan target
TIO yang lebih rendah dan terapi tambahan lainnya.
Algoritma 3. Tatalaksana Glaukoma
F. Keterampilan klinis bagi dokter umum untuk kasus glaukoma
- Pemeriksaan visus (4)
- Pemeriksaan lapangan pandang dengan Donder confrontation test (3)
- Inspeksi konjungtiva (4)
- Inspeksi pupil (4)
- Inspeksi kornea (4)
- Pemeriksaan funduskopi (3)
- Pemeriksaan TIO dengan palpasi (4)
- Pemeriksaan TIO dengan tonometer Schiotz (3)
129
TIO > TIO target
Glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma simpleks)
Pemeriksaan saraf optikPemeriksaan lapangan pandang
ß blocker atau Brimonidine
TIO > target
Latanoprost Dorzolamide Pertimbangkan ALT (Argon laser
Trabeculoplasty
TIO > Target
Apraclonidine Parasimpatomimetik Epinefrin/Dipiverine
Oral CAI
TIO >Target
POAG yang tak terkontrol dengan terapi
medis
Pembedahan
TIO ≤ target Monitor:
- TIO- Lapangan pandang- Saraf optik
VIII. KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan,
serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
IX. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu:
80. Mengenali gejala, tanda hordeolum
81. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus
82. Melakukan deskripsi kelainan hordeolum
83. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu
dan optimal.
X. EVALUASI
Kognitif
Pre test
Essay
MCQ
Lisan
Self assessment dan peer assisted evaluation
Diskusi
Psikomotor
Self assessment dan peer assisted learning
Peer assisted evaluation
Penilaian kompetensi
Task-based medical education
Kognitif dan psikomotor
OSCE
Ujian kompetensi
Ujian profesi
XI. INSTRUMEN PENILAIAN
Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
Kuisioner
Penilaian peragaan keterampilan
130
Top Related