BAB I
PENDAHULUAN
Di kehidupan ini banyak kita temukan beragam manusia dengan warnanya
masing-masing. Warna-warna ini menggambarkan emosi yang dimilikinya dan
emosi ini mempunyai pengaruh terhadap pengadaan motivasi. Seperti kita
ketahui, emosi dan motivasi adalah penting bagi manusia. Dalam mencapai
sebuah tujuan, manusia membutuhkan motivasi dan motivasi dihasilkan dari
emosi.
Dalam menangani masalah-masalah klien, kita perlu mengetahui emosi
dan motivasi yang dimilikinya. Hal ini berguna untuk menentukan pendekatan
seperti apa yang cocok untuk diterapkan dalam menanganinya. Dalam tulisan ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai emosi dan motivasi. Mulai dari pengertian
emosi dan motivasi, teori-teori tentang emosi dan motivasi, komponen emosi, dan
kaitan emosi terhadap tingkah laku.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PENGERTIAN EMOSI DAN MOTIVASI
II.1.1 Pengertian Emosi
Pada dasarnya, manusia memiliki perasaan-perasaan yang menyertai
tindakannya yang disebut warna. Emosi merupakan warna-warna kuat dan terarah
dalam diri manusia. Contoh-contoh emosi, misalnya marah, gembira, sedih, dan
banyak lagi.
II.1.2 Pengertian Motivasi
Motivasi berkaitan dengan mengapa manusia bertingkah laku, berfikir,
dan merasakan apa yang mereka ingin kerjakan. Motivasi mempunyai arah dan
berkelanjutan.
II.2 TEORI-TEORI MOTIVASI DAN EMOSI
II.2.1 Teori Emosi
Dalam garis besar, teori-teori mengenai emosi dapat dikelompokkan ke
dalam dua kelompok. Pertama, teori nativistik yang menganggap bahwa emosi itu
pada dasarnya merupakan faktor bawaan, dan salah satu penganut paham
nativistik adalah Rene Descartes yang menyatakan bahwa manusia sejak lahirnya
telah mempunyai enam jenis emosi dasar, yaitu: cinta, kegembiraan, keinginan,
benci, sedih, dan kagum. Kedua, teori empiristik yang yang menganggap bahwa
emosi terbentuk dari proses belajar.
Terdapat beberapa contoh teori dari kelompok empiristik, seperti William
James dan Carl Lange, Walter Cannon dan Philip Bard, Stanley Schachter dan
Singer, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Teori Emosi James-Lange
Teori ini menganggap bahwa emosi dihasilkan dari keadaan psikologi
yang disebabkan oleh suatu stimulus yang berasal dari lingkungan dan emosi
terjadi setelah reaksi psikologi. Ini dapat digambarkan dalam suatu diagram:
Untuk menjelaskan diagram di atas, kita dapat mencontohkan situasi
dimana seorang mahasiswi sedang berjalan dan kemudian muncul tiga orang
pemabuk. Situasi tersebut merupakan situasi yang dapat memunculkan perasaan
takut bila situasi tersebut di anggap sebagai suatu situasi bahaya (tetapi tidak
memunculkan perasaaan takut bila situasi tersebut dianggap sebagai situasi yang
biasa saja, seperti halnya orang biasa lewat begitu saja). Dalam situasi seperti itu
mahasisiwi tersebut memunculkan aktivitas tubuh yang khas, seperti denyut
jatung berdetak lebih keras, keluar keringat dingin, dan berdiri bulu romanya.
Setelah reaksi tubuh tersebut muncul, maka barulah ia mempersepsikan bahwa hal
tersebut adalah perasaan takut.
Dalam pandangan James-Lange, seseorang mengalami jantung berdetak
lebih keras dan berdiri bulu romanya terlebih dahulu baru kemudian ia merasa
takut dan bukan sebaliknya. Rasa takut itu muncul dari belajar atau pengalaman
karena sejak kecil seorang manusia sudah belajar memahami berbagai emosi.
2. Teori Cannon-Bard
Teori ini menganggap bahwa emosi dan reaksi-reaksi psikologis terjadi
secara simultan dan berdiri sendiri-diri, bukan karena sebab akibat. Dibandingkan
teori James-Lange, teori ini menjelaskan bahwa tubuh memainkan peranan yang
kurang penting dan di sinilah letak perbedaan antara kedua teori tersebut. Hal ini
dapat dijelaskan dalam sebuah diagram:
Persepsi dari pola aktivitas tubuh terhadap emosi yang dirasakan dan hal ini bisa berbeda-beda sesuai dengan aktivitas atau reaksi tubuhnya.
Reaksi terhadap situasi di atas, dengan pola aktivitas tubuh yang khas.
Persepsi terhadap suatu situasi lingkungan yang dapat menghasilkan emosi.
Dalam diagram tersebut Cannon-Bard melihat perlu adanya persepsi
terhadap situasi yang akan memunculkan emosi tertentu, seperti apa yang telah
dikemukakan oleh James-Lange. Misalnya saja seperti contoh mahasisiwi di atas.
Pada tahap kedua dan seterusnya, Cannon-Bard memberikan penjelasan yang
berbeda dengan James-Lange. Cannon-Bard pada tahap kedua, melihat akan
muncul reaksi pada hipothalamus(nama salah satu bagian dari otak , yang terletak
pada bagian bawah pada struktur otak manusia, yang merupakan pusat integrasi
susunan syaraf otonom). Kemudian pada tahap ketiga, output yang keluar dari
hipothamalus tersebut dikirimkan kepada dua arah, (1) ke organ tubuh dan otot-
otot eksternal yang terkait dengan saraf otonom yang nantinya akan
mengekspresikan emosi tersebut(misalnya pada mimik wajah). (2) ke cerebal
cortex di mana pola tersebut muncul sebagai felt emotion (emosi yang dirasakan).
Misalnya dalam contoh mahasiswa tersebut, emosi yang muncul adalah perasaan
takut. Dari hal tersebut terlihat perbedaan antara James-Lange dan Cannon-Bard,
yaitu dalam penekanan pada keindependenan hubungan antara aktivitas tubuh dan
emosi yang dirasakan.
3. Teori Dua Faktor Emosi (The Two-Factor Theory of Emotion)
Teori ini dikembangkan oleh Stanley Schachter dan Jerome Singer, yang
mengemukakan bahwa emosi itu ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu
Pola dari aktivitas tubuh yang mengekspresikan emosi.
Pola yang dihasilkan oleh otak bagian bawah dipersepsikan oleh cerebal cortex sebagai emosi yang dirasakan.
Pola aktivitas yang dihasilkan oleh otak bagian bawah (seperti hipothamalus.
Persepsi terhadap situasi lingkungan yang dapat menimbulkan suatu emosi tertentu.
kemunculan aspek psikologis (physiological arousal) dan kesadaran pemberian
label (cognitive labeling). Teori ini memfokuskan pada kenyataan bahwa emosi
merupakan interpretasi dari bodily arousal, di mana setelah situasi yang
memungkinkan munculnya suatu emosi tertentu maka keadaan tubuh dari
permunculan dari suatu emosi tertentu itu hampir sama untuk berbagai emosi
yang kita rasakan. Meskipun ada perbedaan fisiologis pada pola reaksi masing-
masing orang, tetapi kita tidak dapat mempersepsikannya. Hal ini digambarkan
dalam sebuah diagram:
Urutan kejadian yang menimbulkan emosi diawali dalam beberapa tahap.
Pertama, mempersepsikan situasi yang dapat memunculkan suatu emosi tertentu.
Kedua, memunculkan atau mengembangkan keadaan tubuh yang merupakan hasil
dari persepsi tersebut. Ketiga, penginterpretasian dan pemberian label terhadap
keadaan tubuh yang sesuaik dengan situasi tersebut.
Seperti pada contoh sebelumnya, mahasiswi tersebut setelah
mempersepsikan situasi yang ia hadapi sebagai situasi yang berbahaya, maka ia
akan memunculkan keadaan tubuh yang umum untuk situasi seperti itu.
Munculnya keadaaan tubuh adalah hasil dari persepsi yang ia lakukan. Kemudian
mucullah proses penginterpretasian dan pemberian label terhadap emosi yang ia
rasakan sesuai dengan situasi tersebut, misalnya perasaan takut.
Generalisasi dari bodily arousal (pemunculan aspek ketubuhan)yang dipersepsikan atau dirasakan.
Emosi yang dirasakan tergantung pada alasan munculnya keadaan arousal tersebut.
Interpretasi alasan-alasan munculnya keadaan arousal tersebut.
Persepsi terhadap situasi lingkungan yang dapat mengahasilkan suatu emosi.
Dari semua teori tersebut, keadaan tubuh yang muncul akibat suatu situasi
yang memuculkan emosi adalah muncul tanpa kita sadari, karena diatur oleh
sistem syaraf otonom yaitu sistem syaraf yang mengatur bekerjanya alat tubuh di
luar kemauan individu, seperti denyut jantung, gerakan usus dll. Dan bukan oleh
sistem motorik yaitu sistem saraf yang menggerakan anggota tubuh ataupun
sistem sensorik yaitu sistem saraf yang mengatur panca indera.
II.2.2 Teori Motivasi
Terdapat berbagai pengelompokkan motif yang dilakukan oleh para ahli
psikologi, yang mana semua itu bertujuan untuk mempermudah dalam
mempelajari motivasi yang dimiliki seseorang. Berikut adalah pengelompokkan
yang dilakukan oleh W.I. Thomas:
1. Motif Rasa Aman
Motif ini adalah motif pokok yang meliputi rasa aman dan jauh dari
bahaya, dan motif ini didasari oleh beberapa kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan Fisiologis, seperti rasa lapar, haus, dan kebutuhan seksual.
Kebutuhan ini tidak mengganggu secara kronis, melainkan hanya timbul
sewaktu-waktu dan jika sudah terpenuhi maka akan reda.
b. Kebutuhan akan keselamatan, adalah kebutuhan untuk mendapatkan
perlindungan dari adanya bahaya, baik yang datang dari dalam diri
ataupun dari luar.
c. Kepercayaan dan Penyesuaian Diri dengan Lingkungan, kebutuhan ini
muncul karena adanya keterbatasan manusia dalam memahami dan
mengahadapi fenomena lingkungannya.
2. Motif Respons
Motif ini berasal dari kebutuhan akan keselamatan, dan perwujudan dari
keinginan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya secara lebih intim dan
bersahabat, yang bersifat terus-menerus. Misalnya kasih sayang, cinta romantis,
dan sosialitas.
3. Motif Pengalaman Baru
Motif yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Variasi Seksual, adalah motif yang mendorong manusia untuk mencari
variasi dalam kegiatan seksual. Misalnya gonta-ganti pacar, istri lebih dari
satu dll.
b. Keingintahuan adalah motif yang mendorong seseorang untuk mengetahui
atau menyelidiki hal baru bagi dirinya.
c. Peryataan diri adalah kebutuhan untuk medapat pengalaman baru melalui
tingkah laku yang tidak biasa dan tidak mau dipengaruhi oleh pendapat
lain.
d. Motif untuk menyimpang dari rutinitas kehidupan, misalnya liburan dan
rekreasi.
e. Dominasi, adalah motif untuk mengungguli atau bahkan menguasai orang
lain.
4. Motif Penguasaan Diri
Motif ini didasarkan oleh kebutuhan untuk dipandang oleh masyarakat
sebagai orang yang mempunyai kepribadian, pandangan, dan nilai-nilai tersendiri.
Berikut yang termasuk kelompok ini:
a. Harga Diri, adalah penghargaan atau penilaian orang lain terhadap dirinya.
b. Status, adalah wujud kebutuhan akan posisi tertentu dalam masyarakat,
yang sesuai dengan peran atau tugasnya.
c. Prestise, adalah kebutuhan untuk dipandang dan dihargai oleh masyarakat
sesuai dengan statusnya.
Kemudian Pengelompokkan menurut Abraham Maslom atau disebut juga
Hirearki Motivasi Maslow,adalah berdasarkan kebutuhan yang lebih rendah harus
terpenuhi terlebih dahulu sebelum beranjak kepada kebutuhan yang lebih tinggi.
Pengelompokkan yang dikemukakan oleh Maslow adalah:
1) Kebutuhan Fisilogis, kebutuhan akan udara, air, makanan, seks, dan lain-
lain.
2) Kebutuhan Rasa Aman, seperti keamanan, stabilitas, dan keraturan.
3) Kebutuhan akan cinta kasih dan Kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki.
4) Kebutuhan akan penghargaan, seperti prestise dan penggargaan.
5) Aktualisasi Diri, kebutuhan untuk bebas bertingkah laku tanpa adanya
hambatan dari luar, untuk menjadikan diri sesuai dengan citra dirinya.
Pembagian menurut Morgan, King, Weisz, dan Schoplar yang membagi
motivasi ke dalam tiga besar kelompok, yaitu:
1) Motivasi Biologis, mencakup motivasi lapar, motivasi haus, dan motivasi
seks.
2) Motivasi Sosial, mencakup motivasi pencpaian dan motivasi kekuasaan.
3) Motivasi Aktualisasi Diri dan Motivasi untuk bertindak efektif.
McClelland dan Winter mencoba merumuskan orang dalam hal
karateristik terhadap sebuah pencapaian yang lebih tinggi. Rumusannya sebagai
berikut:
1) Orang yang lebih menyukai pekerjaan yang memberikan tantangan dan
kesuksaan dan tidak menyukai kebalikannya.
2) Orang yang menyukai sebuah pekerjaan yang dapat dibandingkan dengan
hasil kinerha teman-temannya yang lain.
3) Orang yang cenderung memilih pekerjaan yang menjajikan peningkatan
karir.
4) Orang yang jika mendapat kesuksesan, cenderung meningkatkan taraf
aspirasinya secara realistik, kemudian berpindah ke tugas yang lebih sulit
dan menantang.
5) Orang yang lebih suka pekerjaan di mana mereka bisa mengontrol hasil
pekerjaan mereka.
II.3 KOMPONEN EMOSI
Dimensi Biologis
Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang emosi, sebelumnya akan
dijelaskan mengenai beberapa hal berikut:
The Autonomic Nervous System
Autonomic Nervous System (ANS) mengirim pesan kepada dan dari organ-
organ dalam tubuh manusia, memonitor proses seperti bernapas, detak jantung,
pencernaan, dll. Autonomic Nervous System dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Sympathetic Nervous System (SNS) dan Parasympathetic Nervous System (PNS).
SNS adalah termasuk kedalam body’s arousal (aspek ketubuhan) yang
berpengaruh menyebabkan tubuh menjadi agresif dan dalam keadaan stress. SNS
menyebabkan naiknya tekanan darah, semakin cepatnya manusia bernapas, dan
mempercepat peredaran darah ke otak dan ke bagian-bagian otot tubuh yang
penting. Perubahan ini semua mempersiapkan kita untuk bertindak. disaat yang
sama ketika tubuh kita berhenti mencerna makanan, karena ini tidak sesuai untuk
tindakan yang akan dilakukan dalam waktu dekat (contohnya dapat dijelaskan
mengapa seoang mahasiswa yang akan mengikuti ujian biasanya tidak merasa
lapar)
PNS merupakan sistem biologis yang berlawanan dengan SNS, yaitu
sistem yang membuat tubuh merasa lebih tenang. PNS menyebabkan turunnya
detak jantung dan tekanan darah, naiknya aktivitas lambung dan pencernaan, serta
melambatnya pernapasan.
PNS dan SNS sangat penting untuk memahami emosi manusia. Beberapa emosi
lebih aktif daripada emosi yang lain. contohnya, ketika kita marah, tubuh kita
bersiap-siap untuk berkelahi. Jadi kemarahan berhubungan dengan kenaikan
aktivitas SNS seperti kenaikan tekanan darah, dan detak jantung. Dengan cara
yang sama kebahagiaan dan kesenangan secara umum berhubungan dengan
penurunan aktivitas SNS.
Arousal & Performa
Baru-baru ini, dua psikolog mendeskripsikan tentang peran aspek
ketubuhan di dalam performa manusia. Hukum Yerkes-Dodson mengatakan
bahwa performa yang paling baik adalah performa dimana kondisi arousal berada
pada taraf yang cukup, dibandingkan dengan performa dimana kondisi arousal
pada taraf rendah atau tinggi. Taraf arousal yang tinggi dapat menyebabkan suatu
individu melakukan suatu kesalahan akibat tidak dapat berkonsentrasinya tubuh
dengan tindakan yang dilakukan. Pada taraf arousal yang rendah, individu akan
memiliki daya juang dan semangat yang rendah sehingga menghambat performa
dari aktivitas individu tersebut.
James-Lange and Cannon-Bard Theories
James-Lange Theory mengatakan bahwa emosi adalah hasil dari keadaan
fisiologis yang dipicu dari stimulus lingkungan. Emosi mengikuti reaksi
fisiologis. Contohnya ketika seseorang dimarahi karena kesalahannya, jantungnya
berdebar-debar, keringat bercucuran, yang kemudian ia mengartikannya sebagai
emosi “takut”, dan “malu”.
Namun Cannon-Bard Theory mengatakan bahwa emosi dan reaksi fisiologis
terjadi yang disebabkan oleh stimulus-stimulus. Emosi dan reaksi fisiologis adalah
dua hal yang masing-masing berdiri sendiri, bukan reaksi sebab akibat.
Neural Circuits and Neurotransmitters
Berangkat dari masa-masa awal teori emosi, para peneliti emosi lebih
tertarik memetakan neural circuitry of emotions, khususnya emosi yang lebih
spesifik seperti ketakutan, dan menemukan peran dari neurotransmitters pada
emosi. pada padangan biologis kontemporer, neural circuits dan
neurotransmitters semakin bertambah penting. Amygdala secara khusus
memainkan peranan yang penting pada sirkuit ini. Syaraf neural dari salah satu
emosi (contoh : ketakutan) telah dipetakan secara baik (di otak). ketika individu
menerima sebuah stimulus eksternal, pesan dari neural dikirimkan kepada
thalamus. Dari sini, informasi tersebut berpindah melalui dua tahap : (1) menuju
cerebral cortex dimana proses informasi yang lebih luas mengambil peran atau
(2) secara langsung menuju ke amygdala. Rute dari thalamus menuju amygdala
tidak memerlukan proses cortical yang lebih tinggi. Rute tersebut cepat, otomatis
dan didalam bawah sadar.
Jadi, amygdala muncul sebagai struktur yang penting dalam neural
circuitry pada emosi melalui hubungan-hubungan dengan beberapa daerah pada
otak.
Dalam hal untuk memetakan struktur pokok otak terkait dalam syaraf
neural pada emosi, para peneliti juga tertarik dengan peran bahwa
neurotransmitters berperan dalam syaraf-syaraf ini. Endorphins dan dopamine
mungkin terkait dalam emosi-emosi yang positif seperi bahagia, dan
norepinephrine mungkin berfungsi dalam mengatur arousal.
Banyak yang telah kita kemukakan tentang emosi terfokus pada dasar
fisiologisnya. Ketika faktor fisiologis memainkan peranan penting pada emosi,
proses kognitif sedang bekerja dengan baik.
Dimensi Kognitif
Apakah emosi bergantung pada pikiran? Apakah kita merasakan senang
hanya ketika kita berpikir bahwa kita sedang senang? Teori-teori kognitif terhadap
emosi mengacu pada poin yang sangat penting, yaitu emosi selalu mempunyai
komponen kognitif. Salah satu teori kognitif yang mendukung pernyataan tersebut
adalah dengan adanya teori bahwa kinerja otak dan tubuh berpengaruh dalam
membentuk suatu emosi.
The Two-Factor Theory of Emotion
Stanly Schachter dan Jerome Singer (1962) mengembangkan sebuah teori
tentang emosi yang membuat kognitif memiliki peran yang lebih besar di dalam
pembentukan emosi. Ada dua faktor bertahap yang dijelaskan mereka berdua,
yaitu Physiological Arousal dan Cognitive Labeling. Sebagai contoh, jika anda
merasa senang setelah seseorang memuji anda, maka anda akan menyebut
perasaan tersebut sebagai “senang”. Dalam contoh tersebut, tahap Physiological
Arousal adalah ketika anda merasa senang setelah dipuji, dan cognitive labeling
adalah saat anda mengganggap perasaan tersebut sebagai senang.
Untuk menguji teori mereka pada emosi, Schachter and Singer (1962)
menginjeksi beberapa orang dengan epinephrine, sebuah obat yang menghasilkan
respon arousal yang tinggi. Setelah sukarelawan tersebut diberi obat, mereka
memerhatikan perilaku seseorang dengan cara yang ekstrim (melemparkan kertas-
kertas ke tempat sampah) atau dengan cara marah (membanting pintu keluar
ruangan). Seperti yang telah diperkirakan, cara ekstrim dan perilaku marah
tersebut mempengaruhi interpretasi kognitif orang-orang tersebut terhadap aspek
ketubuhan mereka (arousal). Ketika mereka sedang dengan orang yang senang,
mereka menilai diri mereka sebagai “senang”, ketika mereka dengan orang yang
marah, mereka mengatakan bahwa mereka sedang marah. Tetapi efek tersebut
hanya ditemukan jika orang-orang tersebut tidak diberitahu tentang efek
sebenarnya dari obat tersebut. ketika orang-orang tersebut telah diberitahu bahwa
obat tersebut akan menaikkan detak jantung mereka dan membuat mereka gugup,
mereka mengatakan bahwa alasan dari arousal mereka merupakan hasil dari obat
tersebut, bukan dari perilaku orang lain.
The Primacy Debate : Cognition or Emotion?
Richard Lazarus (1991) percaya bahwa aktivitas kognitif adalah sebuah
prasyarat untuk emosi. ia mengatakan kita secara kognitif menilai diri kita dan
keadaan sosial kita. Penilaian, dimana termasuk kedalamnya nilai, tujuan,
komitmen, kepercayaan, dan ekspetasi, menentukan emosi kita. Seseorang
mungkin merasa senang karena mereka memiliki komitmen relijius yang dalam,
atau ketakutan karena mereka menyangka bahwa mereka gagal dalam sebuah
ujian.
Robert Zajonc (1984) tidak sependapat dengan Lazarus. Ia mengatakan
bahwa emosi lah yang utama, dan pikiran kita adalah hasil dari emosi. mereka
berdua benar. Lazarus lebih mengutamakan ke sebuah kelompok yang merupakan
kejadian yang berhubungan, yang terjadi pada waktu yang lebih lama, dimana
Zajonc mendeskripsikan sebuah kejadian atau sebuah pilihan lain yang lebih
sederhana untuk sebuah stimulus daripada yang lain. lazarus berbicara tentang
cinta yang mengalir berbulan-bulan bahkan tahunan, sebuah rasa komitmen
terhadap komunitasnya, dan merencanakan pengunduran diri; Zajonc
membicarakan tentang sebuah kecelakaan mobil, dsb. Beberapa dari reaksi
emosional adalah terjadi secara instan dan kemungkinan bukan merupakan
penilaian kognitif. Keadaan emosional yang lain, khususnya yang terjadi pada
waktu yang lama, seperti depresi atau kemarahan kepada teman, lebih termasuk
pada penilaian kognitif.
II.4 HUBUNGAN EMOSI DAN TINGKAH LAKU
Definisi dalam emosi tidak hanya termasuk dalam komponen psikologis
dan kognitif, tetapi juga komponen tingkah laku. Komponen dalam tingkah laku
dapat berupa tingkah laku verbal dan nonverbal. Dimensi tingkah laku dalam
emosi lebih memfokuskan perhatian pada tingkah laku nonverbal, yaitu ekspresi
wajah. Para peneliti emosi telah terpesona pada kemampuan manusia untuk
mendeteksi emosi seseorang melalui ekspresi wajah orang tersebut. Menurut
penelitian Paul Ekman dan rekannya, pada umumnya manusia dapat mendeteksi
enam emosi dasar, yaitu: bahagia, marah, sedih, terkejut, jijik, dan takut.
Ekspresi wajah tidak hanya mencerminkan emosi seseorang, tetapi juga
dapat mempengaruhi emosi orang tersebut. Facial Feedback Hypothesis
menyatakan bahwa ekspresi wajah dapat mempengaruhi emosi sebaik
merefleksikannya. Dalam pandangan ini, otot wajah mengirim sinyal ke otak,
yang membantu seseorang mengenali emosi yang sedang mereka rasakan.
Contohnya kita merasa lebih senang jika kita tersenyum dan merasa lebih sedih
saat mengerutkan dahi.
Dimensi Sosiokultural
Budaya dan Pengekspresian Emosi Darwin berpendapat bahwa ekspresi
wajah pada manusia adalah bawaan sejak lahir. Sampai sekarang para psikolog
masih percaya bahwa emosi, terutama ekspresi wajah, memiliki ikatan yang kuat
dengan hal biologis. Universalitas ekspresi wajah dan kemampuan seseorang dari
kebudayaan yang berbeda untuk memberi label emosi yang berada dibalik
ekspresi wajah telah diteliti secara luas oleh Paul Ekman. Penelitian Paul Ekman
mengungkapkan bahwa banyaknya ekspresi emosi pada wajah tidak memiliki
perbedaan yang signifikan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.
Berbeda dengan ekspresi wajah yang bersifat universal, kebiasaan yang
ditunjukkan dalam emosi tidak sama dalam semua budaya. Kebiasaan yang
ditunjukkan atau display rules adalah standar sosiokultural yang menetapkan
kapan, di mana dan bagaimana emosi seharusnya ditunjukkan. Contohnya,
bahagia adalah ekspresi emosi yang bersifat universal, namun kapan, di mana dan
bagaimana bahagia itu ditunjukkan dapat berbeda antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan lain.
Tambahan dalam ekspresi wajah, emosi juga diekspresikan dalam dalam
banyak sinyal nonverbal seperti gerak tubuh, posisi tubuh dan isyarat. Beberapa
sinyal standar nonverbal merupakan indikasi universal dari emosi tertentu, sama
seperti ekspresi wajah. Contohnya jika seseorang depresi, Ia tidak hanya
menunjukkan ekspresi wajah sedih, tetapi juga gerakan tubuhnya lambat,
kepalanya yang tertunduk, dan posisi tubuhnya yang seperti merosot. Tetapi
banyak sinyal emosi nonverbal lainnya yang berbeda antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lain. Contohnya ciuman antara laki-laki dengan laki-laki
adalah hal yang wajar dalam beberapa kebudayaan, seperti di Yaman, tetapi tidak
wajar dalam kebudayaan lain, seperti di Amerika Serikat.
Pengaruh Gender Para peneliti menemukan bahwa perempuan dan laki-laki
lebih sering memiliki cara yang sama dalam mengalami emosi dibandingkan
dengan stereotype utama yang selama ini kita yakini. Perempuan dan laki-laki
sering kali menunjukkan ekspresi wajah yang sama, menggunakan bahasa yang
sama dan menunjukkan perasaan yang sama tentang pengalaman hidup mereka.
Hal ini menunjukkan stereotype utama, yaitu perempuan merupakan makhluk
yang emosional sedangkan laki-laki tidak, bukan merupakan gambaran
menyeluruh karena sesungguhnya emosi perempuan dan laki-laki jauh lebih
kompleks. Dalam banyak pengalaman emosi, peneliti tidak menemukan banyak
perbedaan antara perempuan dan laki-laki−keduanya sama-sama mengalami cinta,
cemburu, cemas dalam situasi sosial baru, marah saat dihina, merasa sedih saat
hubungan yang dekat berakhir, dan merasa malu saat melakukan kesalahan di
depan umum (Tavris & Wade, 1984).
Ketika kita keluar dari stereotype utama dan mempertimbangkan beberapa
pengalaman emosional yang spesifik dan kepercayaan tertentu mengenai emosi,
jenis kelamin adalah masalah utama dalam memahami emosi. Kemarahan
misalnya, laki-laki lebih sering memperlihatkan kemarahannya apabila ditantang
dan lebih terlihat agresif dibanding perempuan.
Perbedaan perempuan dan laki-laki dalam masalah emosi lebih sering
terlihat di dalam peranan sosial yang menonjol atau di dalam suatu hubungan.
Contohnya, perempuan mungkin lebih sering menceritakan tentang perasaannya
dalam suatu hubungan dari pada laki-laki dan perempuan lebih sering
mengekspresikan rasa takut dan sedihnya dibanding laki-laki terutama kepada
teman dan keluarganya
Pengklasifikasian Emosi
Emosi adalah hal yang kompleks dan bervariasi. Salah satu cara dalam
mengklasifikasikan emosi adalah the wheel model.
The Wheel Model Beberapa psikolog telah mengklasikikasikan emosi yang
kita rasakan dengan menempatkannya dalam sebuah roda (wheel). Salah satu
modelnya diciptakan oleh Robert Plutchik (1980). Dia meyakini bahwa emosi
memiliki empat dimensi:
1) Bersifat positif atau negatif
Gembira dan antusiasme merupakan emosi positif, sedangkan sedih dan marah
adalah emosi negatif.
2) Bersifat dasar atau tercampur
Plutchik juga meyakini bahwa emosi bersifat seperti warna. Setiap warna dalam
spektrum dapat dihasilkan dengan mencampurkan warna dasar. Mungkin saja
beberapa emosi merupakan emosi dasar dan jika dicampurkan, mereka bergabung
membentuk semua emosi lainnya. Bahagia, jijik, terkejut, sedih, dan takut adalah
emosi dasar. Penggabungan emosi-emosi dasar yang berdekatan satu sama lain
akan menghasilkan emosi lainnya.
3) Banyak yang bersifat bertentangan.
Seperti kasih sayang dan kebencian, optimisme dan kekecewaan.
4) Bervariasi dalam intensitasnya
BAB III
PENUTUP
Pada dasarnya setiap manusia memiliki emosi, emosi tersebut mempunyai
kaitan dengan motivasi yang memengaruhi tingkah laku manusia dalam
kehidupannya. Pada prakteknya tujuan mempelajari emosi dan motivasi berkaitan
dengan bidang psikologi bagi praktisi kesejahteraan sosial berimbas pada analisis
tingkah laku dalam intervensi mikro.
Pengetahuan mengenai emosi dan motivasi berkaitan erat dengan
kemampuan menjalin hubungan dengan individu, kelompok, atau individu dalam
kelompok. Emosi dan motivasi juga terkait dengan isu-isu perkembangan,
hubungan antarpribadi, dan kehidupan sosial antara pekerja sosial dengan klien
dan memerlukan pemahaman mengenai konteks dalam pekerjaan sosial baik di
tingkat mikro, maupun di tingkat makro.
Ketika praktisi kesejahteraan sosial mendapatkan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial, maka ia bisa menerapkan metode motivasi dan emosi
dalam menangani individu tersebut sehingga dapat berfungsi kembali sesuai
dengan tuntutan lingkingan padanya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu
Pekerjaan Sosial : Dasar-dasar Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Santock, John W. 2000. Psychology. NY: McGraw Hill Companies, Inc.
Top Related