1. Definisi
Miometrium adalah yang paling tebal dan merupakan otot polos berlapis tiga; yang
sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, yang antara kedua lapisan ini
beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat berkontraksi dan
berelaksasi (Prawirohardjo, 2007). Tumor jinak yang berasal dari sel otot polos dari
myometrium disebut leiomioma. Tetapi kerana tumor ini berbatas tegas maka
sering disebut sebagai fibroid. (Kumar, Abbas, Fausto dan Mitchell, 2007).
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau
multipel.Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri,
atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga
berhubungan dengan keganasan. Uterus miomatosus adalah uterus yang ukurannya
lebih besar daripada ukuran uterus yang normal yaitu antara 9-12 cm, dan dalam
uterus itu sudah ada mioma uteri yang masih kecil. (Suwiyoga K, 2003, Sutoto J. S.
M., 2005)
Mioma uteri adalah suatu pertumbuhan jinak dari sel- sel otot polos, sedangkan
untuk otot- otot rahim disebut dengan miometri uteri (Achadiat, Chrisdiono M,
2004).
Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat
sehingga dalam kepustakaan disebut juga leimioma, fibromioma, atau fibroid
(Mansjoer, Arif, 2001).
2. Epidemiologi
Insidens terjadinya mioma uteri sebesar 4 – 11% dari seluruh wanita. Mioma uteri
berkembang pada usia reproduksi sehingga wanita pada usia 30 an tahun mempunyai
insidens 20 – 25% dan akan meningkat menjadi 40 – 50% pada usia 40 – 50 an. Hanya
0.13% yang terus berkembang pada usia menopause dimana harus dipikirkan adanya
keganasan. Insidens di Indoensia 2,93 – 11,7%. Selain itu pada ras kulit hitam insidens
ini akan meningkat 3 – 9 kali disbanding ras kulit putih.
Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 - 45 tahun (kurang lebih
25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering
melahirkan, sedikit kemungkinannya untuk perkembangan mioma ini dibandingkan
dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan
60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil
satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan dan
nullipara. (Schorge et al., 2008).
Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai
sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri
belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah menopause
hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Di Indonesia mioma uteri
ditemukan 2,39- 11,7% pada semua penderita ginekologik yang dirawat. Selain itu
dilaporkan juga ditemukan pada kurang lebih 20-25% wanita usia reproduksi dan
meningkat 40% pada usia lebih dari 35 tahun. (Joedosapoetra, 2005)
3. Klasifikasi
a. Mioma uteri submuka
Terletak di bawah endometrium. Dapat pula bertangkai maupun tidak. Mioma
bertangkai dapat menonjol melalui kanalis servikalis, dan pada keadaan ini mudah
terjadi torsi atau infeksi. Tumor ini memperluas permukaan ruangan rahim.
Dari sudut klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti yang lebih penting
dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri subserosa ataupun
intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi sering kali memberikan keluhan
yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis submukosa walaupun hanya kecil selalu
memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit untuk dihentikan
sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi.
b. Mioma uteri subserosa
Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat
pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.
Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut
sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga
peritoneal sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau
mesenterium di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari
tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga
mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga
peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik.
c. Mioma uteri intramural
Disebut juga sebagai mioma intraepitelial. Biasanya multipel apabila masih kecil
tidak merubah bentuk uterus, tetapi bila besar akan menyebabkan uterus
berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan berubah bentuknya. Mioma sering
tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya
massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor tumbuh sebagai
mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot
rahim dapat besar, padat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim
dominan).
d. Mioma pedunculata
Yaitu mioma yang melekat ke dinding uterus dengan tangkai yang bisa masuk ke
peritoneal atau cavum uteri.
4. Patofisiologi
(terlampir)
5. Faktor resiko
Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa faktor yang diduga kuat
sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :
a. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35 – 50 tahun yaitu
mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun.
Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan (Wiknjosastro,
2005). Pada usia sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada
usia reproduksi, serta akan turun pada usia menopause (Ganong, 2008). Pada
wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10% (Jodosapoetro, 2005).
b. Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanirta yang relatif infertil, tetapi
sampai saat ini belum diketahui apakan infertilitas menyebabkan mioma uteri atau
sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan
ini saling mempengaruhi.
c. Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan
wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri (Parker, 2007).
d. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin berhubungan
dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase di
jaringan lemak (Djuwantono, 2005). Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen
tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan
prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri (Parker, 2007).
e. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan
ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi
mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya
vaskularisasi ke uterus (Scott, 2002). Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat
mempercepat pembesaran mioma uteri (Manuaba, 2003). Kehamilan dapat juga
mengurangi resiko mioma karena pada kehamilan hormon progesteron lebih
dominan.
f. Kebiasaan merokok
Merokok dapat mengurangi insidensi mioma uteri. Banyak faktor yang bisa
menurunkan bioavalibiltas hormon estrogen pada jaringan seperti: penurunan
konversi androgen kepada estrone dengan penghambatan enzim aromatase oleh
nikotin (Parker, 2007).
g. Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma,
dimana mioma uteri muncul setelah menarke, berkembang setelah kehamilan dan
mengalami regresi setelah menopause. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama
sehingga terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen
pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh
estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti
peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan
insulin-like growth factor yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah
mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak
pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada
perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan karena tumor
ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause sebagaimana yang
disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah
menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.
h. Diet makanan
Ada studi yang mengaitkan dengan peningkatan terjadinya mioma uteri dengan
pemakanan seperti daging sapi atau daging merah atau ham bisa meningkatkan
insidensi mioma uteri dan sayuran hijau bisa menurunkannya. Studi ini sangat sukar
untuk diintepretasikan kerana studi ini tidak menghitung nilai kalori dan
pengambilan lemak tetapi sekadar informasi sahaja dan juga tidak diketahui dengan
pasti apakah vitamin, serat atau phytoestrogen berhubung dengan mioma uteri
(Parker, 2007).
i. Ras dan etnik
Dari studi yang dijalankan melibatkan laporan sendiri oleh pasien mengenai mioma
uteri, rekam medis, dan pemeriksaan sonografi menunjukkan golongan etnik Afrika-
Amerika mempunyai kemungkinan risiko menderita mioma uteri setinggi 2,9 kali
berbanding wanita etnik caucasia, dan risiko ini tidak mempunyai kaitan dengan
faktor risiko yang lain. Didapati juga wanita golongan Afrika-Amerika menderita
mioma uteri dalam usia yang lebih muda dan mempunyai mioma yang banyak dan
lebih besar serta menunjukkan gejala klinis. Namun masih belum diketahui jelas
apakah perbedaan ini adalah kerana masalah genetik atau perbedaan pada kadar
sirkulasi estrogen, metabolisme estrogen, diet, atau peran faktor lingkungan.
Walaubagaimanapun, pada penelitian terbaru menunjukkan yang Val/Val genotype
untuk enzim essensial kepada metabolisme estrogen, catechol-O-methyltransferase
(COMT) ditemui sebanyak 47% pada wanita Afrika-Amerika berbanding hanya 19%
pada wanita kulit putih. Wanita dengan genotype ini lebih rentan untuk menderita
mioma uteri. Ini menjelaskan mengapa prevalensi yang tinggi untuk menderita
mioma uteri dikalangan wanita Afrika-Amerika lebih tinggi (Parker, 2007).
6. Manifestasi Klinis
Gejala klinik terjadi hanya pada sekitar 35 % – 50% dari pasien yang terkena.
Adapun gejala klinik yang dapat timbul pada mioma uteri:
Perdarahan abnormal, merupakan gejala klinik yang sering ditemukan (30%).
Bentuk perdarahan yang ditemukan berupa : menoragi, metroragi, dan
hipermenorrhea. Perdarahan dapat menyebabkan anemia defisiensi Fe. Perdarahan
abnormal ini dapat dijelaskan oleh karena bertambahnya area permukaaan dari
endometrium yang menyebabkan gangguan kontraksi otot rahim, distorsi dan
kongesti dari pembuluh darah di sekitarnya dan ulserasi dari lapisan endometrium.
Penekanan rahim yang membesar :
o Terasa berat di abdomen bagian bawah.
o Gejala traktus urinarius: urine frequency, retensi urine, obstruksi ureter dan
hidronefrosis.
o Gejala intestinal: konstipasi dan obstruksi intestinal.
o Terasa nyeri karena tertekannya saraf.
Nyeri, dapat disebabkan oleh :
o Penekanan saraf.
o Torsi bertangkai.
o Submukosa mioma terlahir.
o Infeksi pada mioma.
Infertilitas, akibat penekanan saluran tuba oleh mioma yang berlokasi di cornu.
Perdarahan kontinyu pada pasien dengan mioma submukosa dapat menghalangi
implantasi. Terdapat peningkatan insiden aborsi dan kelahiran prematur pada
pasien dengan mioma intramural dan submukosa.
Kongesti vena, disebabkan oleh kompresi tumor yang menyebabkan edema
ekstremitas bawah, hemorrhoid, nyeri dan dyspareunia.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan.
7. Pemerisaan Diagnostik
a. Pemeriksaan fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis
mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih
massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus.
b. Pemeriksaan laboratorium
Meliputi darah lengkap, urine lengkap, gula darah, tes fungsi hati, ureum, kreatinin
darah.
Haemoglobin : turun
Lekosit : turun/meningkat
Eritrosit : turun
Albumin : turun
c. Biopsi
Untuk mengetahui adanya keganasan.
d. Vaginal toucher
Didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa, konsistensi dan ukurannya.
e. Imaging
USG
Untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometriium dan
keadaan adnexa dalam rongga pelvis. Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi)
transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma
uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil.
Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi
transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi
yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.
Histeroskopi
Digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika mioma kecil serta
bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan likasi mioma tetapi
jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas
dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil
3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma (Goodwin, 2009).
Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai
fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
Histerografi dan histeroskop
Untuk menilai pasien mioma submukosa disertai dengan infertilitas.
Laparaskopi
Untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
8. Penatalaksanaan Medis
Penanganan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu penanganan secara
konservatif dan penanganan secara operatif.
A. Penanganan konservatif
Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
Pemberian zat besi.
Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi
setiap minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor
dan menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan
menciptakan keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan pada
periode postmenopause. Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor
diobservasi dalam 12 minggu. Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan
sebelum pembedahan, karena memberikan beberapa keuntungan: mengurangi
hilangnya darah selama pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan akan
transfusi darah. Namun obat ini menimbulkan kahilangan masa tulang
meningkat dan osteoporosis pada wanita tersebut.
Catatan : Baru-baru ini, progestin dan antipprogestin dilaporkan mempunyai
efek terapeutik. Kehadiran tumor dapat ditekan atau diperlambat
dengan pemberian progestin dan levonorgestrol intrauterin
B. Penanganan operatif
Dilakukan bila :
Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12 – 14 minggu.
Pertumbuhan tumor cepat.
Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
Hipermenorea pada mioma submukosa.
Penekanan pada organ sekitarnya.
Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa :
a. Enukleasi Mioma
Dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan anak atau
mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas. Sejauh ini tampaknya aman,
efektif, dan masih menjadi pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila
ada kemungkinan terjadinya karsinoma endometrium atau sarkoma uterus, juga
dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor
dengan tangkai dan jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila
miomektomi menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan
endometrium, kehamilan berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea.
Kriteria preoperasi menurut American College of Obstetricians Gynecologists
(ACOG) adalah sebagai berikut :
Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab kegagalan kehamilan dan
keguguran yang berulang.
b. Histerektomi
Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang
memiliki leiomioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria ACOG
untuk histerektomi adalah sebagai berikut:
Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari
luar dan dikeluhkan olah pasien.
Perdarahan uterus berlebihan :
- Perdarahan yang banyak bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama
lebih dari 8 hari.
- Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi :
- Nyeri hebat dan akut.
- Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis.
- Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulang dan tidak
disebabkan infeksi saluran kemih.
Menurut Thompson, JD dan Warshaw J (1997) dalam Hadibroto, B (2005),
histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal
hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal hysterectomy (SAH). Pemilihan jenis
pembedahan ini memerlukan keahlian seorang ahli bedah yang bertujuan untuk
kepentingan pasien. Masing-masing prosedur hysterektomi memilki kelebihan dan
kekurangan.
Total Abdominal Hysterectomy (TAH) Subtotal Abdominal Hysterectomy (STAH)
Kekurangan
- Pada TAH, jaringan granulasi yang
timbul pada tungkul vagina dan
perdarahan paska operasi dimana
keadaan initidak terjadi pada pasien
yang menjalani STAH.
Kelebihan
- Dilakukan untuk menghindari resiko
operasi yang lebih besar, seperti
perdarahan yang banyak, trauma
opersai pada ureter, kandung kemih
dan rectum.
- Ketika serviks ditinggalkan,menurut
penelitian Kilkku, 1983 di dapat data
bahwa terjadinya dyspareunia akan
lebih rendah disbanding yang
mengalami TAH, sehingga tetap bisa
menjalani fungsi seksual.
Kelebihan
- Dengan TAH, seluruh abdomen dan
pelvis dapat dikaji, hal ini baik bagi
perempuan dengan kanker sebab
dapat membantu mengkaji seberapa
besar pertumbuhan kankernya.
Kekurangan
- Pada STAH, serviks masih tetap
ditinggalkan, sehingga kemungkinan
timbulnya karsinoma serviks dapat
terjadi.
- TAH berguna bila fibroid atau kanker
yang akan dioperasi berukuran besar.
c. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan mioma saja tanpa pengangkatan uterus.
Apabila wanita sudah dilakukan miomektomi kemungkinan dapat hamil sekitar
30 – 50%. Dan perlu disadari oleh penderita bahwa setelah dilakukan
miomektomi harus dilanjutkan histerektomi.
Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Dewasa ini ada
beberapa pilihan tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran
dan lokasi dari mioma. Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan
laparoktomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi (Namnnoun, AB (1997);
Falcone, T, dkk (2002) dalam Hadibroto, B (2005)).
Pada laparoktomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk
mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan miomektomi adalah
lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap
perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat
ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara laparoktomi resiko
terjadi pelengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas
pada pasien. Disamping itu masa penyembuhan pasca operasi juga lebih lama,
sekitar 4 – 6 minggu (Thomson, JD (1997); Falcone, T (2002) dalam Hadibroto, B
(2005)).
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma
submukosum yang terletak pada cavum uteri. Pada prosedur pembedahan ini
ahli bedah memasukkan alat histeroskop melalui serviks dan mengisi kavum
uteri dengan cairan untuk memperluas dinding uterus. Alat bedah dimasukkan
melalui lubang yang terdapat pada histeroskop untuk mengangkat mioma
submukosum yang terdapat pada cavum uteri. Keunggulan teknik ini adalah
masa penyembuhan paska operasi (2 hari). Komplikasi operasi yang serius
jarang terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus,
ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan (Tulandi (1996) dalam Hadibroto,
B (2005).
Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar cavum uteri dapat diangkat dengan mudah
secara laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan
uterus juga dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Tindakan
laparoskopi dilakukan dengan ahli bedah memasukkan alat laparoskopi ke
dalam abdomen melalui insisi yang kecil pada dinding abdomen. Keunggulan
laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi yang lebih cepat antara
2-7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan laparoskopi termasuk
perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium, rektum
serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan
prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksinya (Falcone, T (2002); Tulandi (1996) dalam
Hadibroto, B (2005))
d. Penanganan Radioterapi
Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga penderita
mengalami menopause, radioterapi ini umumnya hanya dikerjakan kalau
terdapat kontraindikasi untuk tindakan operatif. Radioterapi hendaknya hanya
dikerjakan apabila tidak ada keganasan pada uterus. Maksud dari radioterapi
adalah untuk menghentikan perdarahan (Prawirohardjo, Sarwono, 1999).
Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient).
Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
Bukan jenis submukosa.
Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum.
Tidak dilakukan pada wanita muda, sebab dapat menyebabkan
menopause.
9. Askep
1) Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Riwayat Penyakit Sekarang
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pernah mengalami infeksi pada organ reproduksi atau tidak.
- Pernah dilakukan pembedahan contohnya miomektomi atau tidak.
- Pernah dilakukan kuretase atau tidak.
4. Riwayat kehamilan
a. Gravida: jarang atau tidak pernah hamil.
b. Partus: multipara / nulipara.
c. Abortus: apakah terdapat riwayat abortus atau tidak.
d. Prematur: apakah pernah terjadi persalinan prematur ataukah tidak.
5. Riwayat hormonal
Apakah pasien mengkonsumsi obat hormonal atau tidak sehingga ada
peningkatan estrogen.
6. Riwayat menstruasi
Adakah gangguan haid dan usia berapa haid pertama,pernah mengalami :
- Dysminore yaitu nyeri yang berhubungan dengan menstruasi dan paling
kuat dan bersifat kolik atau terus menerus.
- Metrorhagi yaitu perdarahan pervaginam yang berlebih yang tidak teratur
dan tidak ada hubungan dengan siklus haid.
- Menoraghi yaitu pengeluaran darah menstruasi yang lebih banyak daripada
biasanya dan terjadi pada siklus yang teratur atau normal
7. Pemeriksaan persistem
a. Breath ( B1): Pola nafas efektif/tidak, ekspansi dada, suara nafas tambahan.
b. Blood (B2): Anemis, pucat, perdarahan pervaginam,tekanan darah bisa naik
atau turun, bradikardi atau takikardia, CRT kurang atau lebih dari 2 detik.
c. Brain (B3): Kaji adanya penurunan kesadaran menurun (GCS).
d. Bladder (B4):
- Penekanan vesika urinari oleh massa tumor.
- Retensi urine, disuria/ polakisuria, overflow inkontinesia.
- Nyeri tekan pada vesika urinaria.
- Hematuria.
e. Bowel (B5):
- Palpasi abdomen : Tumor teraba seperti benjolan padat dan kenyal
pada perut bagian bawah.
- Konstipasi
- Auskultasi : peristaltik menurun
f. Bone (B6): terdapat varises, odema tungkai, kelemahan ekstremitas.
B. Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot
dan sistem saraf akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma.
2. Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang
ketidakmampuan memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan,
akibat pada hubungan seksual.
3. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis dan kebutuhan pengobatan.
C. Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot
dan sistem saraf akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, tidak ada
gangguan rasa nyaman yang disebabkan oleh nyeri
KH:
Pasien merasa nyaman
Nyeri berkurang
Mampu mendemonstrasikan keterampilam relaksasi
Intervensi:
Kaji tingkat nyeri.
Berikan rasa nyaman pada pasien dengan pengaturan posisi.
Ajarkan teknik manajemen nyeri (relaksasi, visualisasi, distraksi).
Kolaborasi pemberian analgetik.
Tanyakan derajat nyeri yang dirasakan klien dan nilai dengan skala
nyeri. (1-10)
Anjurkan keluarga untuk mendampingi klien.
2. Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang
ketidakmampuan memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan,
akibat pada hubungan seksual.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam konsep diri
klien tidak mengalami gangguan.
KH:
Hasil menerima keadaan dirinya
Menyatakan bersedia untuk dilakukan tindakan termasuk tindakan
pembedahan
Intervensi:
Beritahu klien tentang siapa saja yang bisa dilakukan histerektomi dan
anjurkan klien untuk mengekpresikan perasaannya tentang
histerektomi
Kaji apakah klien mempunyai konsep diri yang negatif.
Memotivasi klien untuk mengungkapkan perasaannya mengenai
tindakan pembedahan dan pengaruhnya terhadap diri klien.
Ciptakan lingkungan atau suasana yang terbuka bagi klien untuk
membicarakan keluhan-keluhannya.
3. Risiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat d.d adanya
mioma uteri, dilakukan pembedahan, adanya luka insisi
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, risiko infeksi
klien berkurang
KH:
Monitor environmental risk factor
Monitor personal behavior risk factors
Acknowledges risk factors
Modifies lifestyle to reduce risk
Intervensi:
Limit the number of visitors, as appropriate
Monitor for systemic and localized sign and symptoms of infection
Inspect skin and mucous membranes for redness, extreme warmth, or
drainage
Inspect condition of any surgical incision/wound
Instruct patient to take antibiotics as prescribed
Teach the patient and family about sign and symptoms of infection and
when to report them to the health care provider