Laporan Kasus Departemen
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Karsinoma Mukoepidermoid Kelenjar Saliva
Dimas Adi Nugroho
Pembimbing: Dr. Dwi Antono, Sp.THT-KL
Departemen IK THT–KL FK Undip /SMF KTHT-KL RSUP Dr. Kariadi
Semarang2012
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma mukoepidermoid (KME) merupakan tumor ganas yang diyakini timbul
dari sel-sel penunjang duktus ekskretorius. Tumor ganas ini terdiri dari tiga jenis sel, yaitu
sel mukus, sel epidermoid, dan sel intermediate. Gambaran klinis penyakit ini sangat
bervariasi, dari mulai yang tumbuh lambat dan indolent sampai yang bersifat lokal agresif
dan metastasis.1 Namun secara umum KME sering menunjukkan pertumbuhan kistik yang
menonjol. Klasifikasi KME dibagi menjadi tiga berdasarkan histopatologinya, yaitu
tingkat rendah, menengah, dan tinggi.2
KME adalah neoplasma maligna paling banyak yang terjadi pada kelenjar saliva
mayor dan minor, sekitar sepertiga dari seluruh keganasan pada kelenjar saliva.3
Neoplasma ini dapat terjadi pada semua umur, dengan insiden tertinggi pada dekade
keempat dan kelima. Rasio KME pada perempuan terhadap laki-laki sebanyak 3:1. Pada
kelenjar saliva mayor 89,6% kasus KME terjadi pada kelenjar parotis.4 Selain di kelenjar
saliva, KME dapat terjadi di organ lain seperti bronkus, tiroid, sakus lakrimalis, dan
laring.5
Manifestasi klinis KME biasanya berupa tumor atau massa yang tumbuh lambat,
tidak nyeri, terfiksir, dan berbatas tegas. Kadang bila tumor sudah melewati fase
pertumbuhan lambat, tumor dapat membesar dengan cepat.6 Gambaran klinis tersebut
kadang dapat membingungkan, dan dianggap penyakit yang lain. Gambaran klinis KME di
palatum antara lain dapat didiagnosis banding sebagai kista retensi, neoplasma jinak
(adenoma, myoepitelioma), neoplasma ganas lainnya (adenokarsinoma, karsinoma adenoid
kistik, karsinoma sel skuamus), dan torus palatinus. Penegakan diagnosis KME dengan
pemeriksaan histopatologi.
Dilaporkan kasus karsinoma mukoepidermoid kelenjar saliva di palatum.
Diharapkan dengan adanya laporan kasus ini, rekan-rekan sejawat dapat mendiagnosis dan
mengelola karsinoma mukoepidermoid sesuai tingkat kompetensinya.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang perempuan berumur 41 tahun datang dengan keluhan utama timbul
benjolan di langit-langit mulut. Sejak 2 tahun lalu timbul benjolan di langit-langit mulut,
mula-mula kecil makin lama makin membesar. Sekarang benjolan sebesar kelereng.
Benjolan tidak nyeri, hangat, atau keluar nanah. Tidak ada keluhan di mata, telinga,
hidung, nyeri telan, atau sulit telan. Pasien tidak mengeluh rasa tebal di langit-langit atau
di pipi. Tidak ada benjolan di leher, ketiak, atau lipat paha. Pasien hanya merasa
mengganjal di langit-langit mulutnya bila makan. Karena dirasakan semakin mengganggu,
pasien periksa ke klinik THT-KL RSUP Dr. Kariadi.
Riwayat hipertensi, DM, sakit jantung, tumor, dan sakit berat lainnya disangkal.
Riwayat sakit tumor di keluarga disangkal. Terdapat faktor risiko kanker pada pasien
berupa paparan insektisida dan makan makanan berpengawet.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, status generalis dalam batas
normal. Pemeriksaan rutin telinga, hidung, dan tenggorok dalam batas normal. Status
lokalis palatum didapatkan massa di garis tengah pada perbatasan palatum durum –
palatum mole, diameter 3 cm, kenyal, terfiksir, batas tegas, permukaan rata dan halus,
warna sama dengan sekitarnya.
Gambar 1. Pemeriksaan fisik didapatkan massa palatum.
Pemeriksaan penunjang dilakukan nasofaringoskopi, tidak didapatkan massa di
kavum nasi atau nasofaring, tampak massa di palatum, diameter 3 cm, kenyal, terfiksir,
batas tegas, permukaan rata dan halus, warna sama dengan sekitarnya. Pemeriksaan
laboratorium darah kesan lekositosis (15.700/mmk).
2
Gambar 2. Pemeriksaan endoskopi tidak didapatkan massa di kavum nasi atau di nasofaring, didapatkan massa di palatum.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis
massa palatum. Diagnosis banding pasien ini adalah torus palatinus, kista retensi,
neoplasma jinak (adenoma, myoepitelioma), dan neoplasma ganas (adenokarsinoma,
karsinoma adenoid kistik, karsinoma sel skuamus, karsinoma mukoepidermoid). Pasien
dirawat dan direncanakan untuk ekstirpasi massa dan dilakukan pemeriksaan hitopatologi
pada massa.
Tanggal 19 Januari 2012 dilakukan operasi ekstirpasi massa palatum pada pasien
dengan anestesi umum. Pendekatan operasi secara intraoral dengan menggunakan
mouthgag Davis-Boyle. Saat pre-operasi didapatkan kondisi pasien hipertensi (tekanan
darah = 160/90 mmHg), namun operasi tetap dilanjutkan dengan pertimbangan luka yang
dibuat kecil dan tidak terdapat pembuluh darah besar di sekitarnya. Saat operasi dilakukan
insisi pada mukosa massa di garis tengah, dipisahkan mukosa dengan massa, dilakukan
ekstirpasi massa secara in toto. Didapatkan massa padat, kenyal, berwarna merah
kecoklatan, ukuran diameter 1 cm. Luka ditutup dengan menjahit otot dan mukosa palatum
dengan benang terserap. Terapi pasca operasi diberikan: injeksi seftriakson 1x1 gr,
deksametason 3x1 amp, ketorolak 2x30 mg, asam traneksamat 3x500mg. Untuk terapi
hipertensi diberikan kaptopril 2x12,5 mg tablet. Sehari pasca operasi keadaan umum
pasien baik, tidak terdapat perdarahan, pasien tidak mengeluh nyeri. Pasien dipulangkan 2
hari pasca operasi dengan terapi pulang: sefadroksil 2x500 mg, ketoprofen 2x100 mg,
kaptopril 2x12,5 mg, dan roboransia. Pasien diedukasi untuk menjaga kebersihan
mulutnya, menghindari makan makanan yang keras dan mengiritasi sampai lukanya
3
sembuh, dan kontrol sesuai tanggal yang disarankan untuk mengetahui hasil pemeriksaan
histopatologi.
Gambar 3. Dari kiri atas sesuai jarum jam: pemakaian mouthgag Davis-Boyle, dilakukan insisi dan ekstirpasi massa, perdarahan dirawat dengan kassa dan suction, luka dijahit dengan benang.
Tanggal 30 Januari 2012 hasil pemeriksaan histopatologi jadi, kesan sesuai dengan
karsinoma mukoepidermoid. Namun sampai hasil pemeriksaan histopatologi jadi, pasien
belum kontrol ke klinik THT RSUP Dr. Kariadi. Pasien dihubungi menggunakan telepon
pada tanggal 2 Februari 2012, tidak ada keluhan pada pasien. Saat disarankan untuk
kontrol ke RSUP Dr. Kariadi pasien menolak karena sudah merasa sehat dan pasien sudah
kontrol di RS Salatiga.
4
BAB III
PEMBAHASAN
Karsinoma mukoepidermoid (KME) merupakan tumor ganas yang paling sering
mengenai kelenjar saliva, sekitar sepertiga dari seluruh keganasan di kelenjar saliva.
Berdasarkan penelitian sebelumnya insidensi KME dilaporkan kurang dari 0,5% dari
seluruh keganasan di seluruh tubuh dan kurang dari 5% dari keganasan di kepala dan
leher.3 Kejadian KME lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 3:1,4 ada yang menyebutkan 3:2.1 Neoplasma ini dapat terjadi pada semua
umur, dengan insiden tertinggi pada dekade keempat dan kelima.4 Sedangkan berdasarkan
tempatnya di kelenjar saliva, kelenjar parotis merupakan predileksi terbanyak KME,
disusul kelenjar submandibula dan kelenjar saliva minor.1 Profil pada pasien ini sesuai
dengan insidensi kejadian KME, dimana pasien merupakan perempuan dengan usia dekade
keempat. Timbulnya tumor di palatum, yang ternyata merupakan KME, karena di palatum
ditemukan banyak kelenjar saliva minor di submukosa palatum. Penelitian Brandwein dkk.
pada 78 pasien dengan KME dilaporkan predileksi terbanyak berturut-turut di kelenjar
parotis, palatum, dan di kelenjar submandibula.7
Gambaran klinis KME dapat bervariasi, tergantung jenis klasifikasi histopatologi
tumor. Tumor dengan tingkat rendah memberikan gambaran pembesaran massa yang tidak
nyeri dan tumbuh lambat (indolent), kadang menunjukkan pertumbuhan kistik yang
menonjol, sehingga sering dicurigai sebagai tumor jinak. KME tingkat rendah jarang
memberikan gambaran metastasis di kelenjar limfe. Sedangkan pada KME tingkat tinggi
Gambar 4. Gambaran klinis KME pada literatur dan pada pasien.
memberikan gambaran pertumbuhan yang lebih agresif, kadang susah dibedakan dengan
karsinoma sel skuamus, dengan kemungkinan metastasis kelenjar limfe yang lebih
5
besar.1,6,8 Pada pasien ini, tumor terletak di palatum dengan ukuran yang relatif kecil
(diameter 3 cm), tumbuh lambat, permukaan tumor rata dan halus, warna sama dengan
mukosa di sekitarnya. Tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe di leher dan di
tempat lainnya, yang artinya tumor belum bermetastasis ke kelenjar limfe. Awalnya pasien
diduga menderita suatu kista atau neoplasma jinak, namun hasil pemeriksaan histopatologi
memastikan pasien menderita KME.
Hasil pemeriksaan histopatologi secara mikroskopik menyatakan adanya
kelompok-kelompok sel dengan bentuk inti pleomorfik, berkromatin kasar, dan dapat
ditemukan mitosis abnormal. Sel-sel tersebut sebagian bersekresi musin, sebagian
berbentuk clear cel. Gambaran tersebut sama dengan yang dinyatakan dalam literatur
bahwa tumor tingkat rendah mempunyai permukaan halus, batas yang tegas, dan area
kistik yang meluas berisi material musin. Kista terbentuk oleh sel-sel musin dan
intermediate. Tumor tingkat rendah juga dikenali dari pola invasinya yang tidak agresif.2
Pembagian kriteria histopatologi pada KME awalnya diajukan oleh Stewart pada tahun
1945, yang dibedakan sebagai tingkat rendah (benigna) dan tingkat tinggi (maligna).
Namun sekarang ini terdapat 2 kriteria yang sering dipakai, yaitu berdasarkan Armed
Forces Institute of Pathology (AFIP) yang diajukan oleh Goode dkk. dan sistem yang
diajukan oleh Brandwein dkk. Kedua kriteria yang sekarang dipakai membagi KME
menjadi 3, yaitu tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Keterangan lebih detil mengenai
pembagian histopatologi KME dapat dilihat pada tabel di bawah.9
Tabel 1. Perbandingan kriteria KME berdasarkan AFIP dan Brandwein.Kriteria AFIP Kriteria Brandwein
Komponen intrakistik <20% = 2 Komponen intrakistik <25% = 2Adanya invasi neural = 2 Tumor menginvasi dalam struktur
sarang/pulau kecil = 2Adanya nekrosis = 2 Terdapat nukleus atipik = 2Mitosis (≥4 per 10 LPB) = 3 Invasi ke limfatik dan/atau vaskuler = 3Anaplasia = 4 Invasi tulang = 3
>4 mitosis per 10 LPB = 3Penyebaran perineural = 3Nekrosis = 3
Tingkat rendah = 0 – 4 Tingkat menengah = 5 – 6 Tingkat tinggi = 7 – 14
Tingkat rendah = 0 Tingkat menengah = 2 – 3 Tingkat tinggi = 4 atau lebih
6
Gambar 5. Gambaran histopatologik pada KME tingkat rendah (kanan) dan tingkat tinggi (kiri).
Stadium pada KME berdasarkan klasifikasi TNM dari AJCC. Penentuan T pada
tumor palatum mengikuti klasifikasi T di kavum oris, sebagai berikut:
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan.
T0 Tidak ada bukti adanya tumor primer.
Tis Karsinoma in situ.
T1 Tumor berukuran 2 cm atau kurang dalam ukuran terbesar.
T2 Tumor berukuran lebih dari 2 cm namun tidak lebih besar dari 4 cm.
T3 Tumor berukuran lebih dari 4 cm dalam ukuran terbesar.
T4a Tumor menginvasi struktur sekitar (korteks tulang, otot-otot ekstrinsik
lidah, sinus maksilaris, kulit wajah)
T4b Tumor menginvasi ruang mastikator, lamina pterigoidea, atau basis kranii
dan/atau meliputi arteri karotis interna.
Pada pasien ini ukuran tumor 3 cm, belum terdapat metastasis ke kelenjar limfe
regional namun metastasis ke organ jauh belum dapat ditentukan secara pasti, sehingga
stadium KME pada pasien ini adalah T2N0Mx. Secara klinis pada pasien ini tidak terdapat
tanda-tanda metastasis di organ jauh, dan dari literatur yang menyatakan jarang adanya
metastasis jauh tanpa didahului metastasis pada kelenjar limfe regional, maka dapat
disimpulkan bahwa stadium pasien ini adalah T2N0M0, stadium 2.
Penatalaksanaan pada KME berdasarkan kriteria jenis histopatologi tumor. Pada
KME kriteria tingkat rendah reseksi lokal merupakan terapi utama, sedangkan pada tingkat
tinggi selain reseksi dengan eksisi luas disertai diseksi leher bila terdapat metastasis di
kelenjar limfe leher dan radioterapi tambahan.1,2 Pada pasien telah dilakukan reseksi lokal
pada tumor, yang awalnya ditujukan untuk ekstirpasi massa dan pemeriksaan
histopatologi. Diseksi leher dan radioterapi tambahan tidak diperlukan pada pasien ini
karena tumor termasuk tingkat rendah.7
Prognosis pada KME relatif baik, terutama pada KME tingkat rendah. Penelitian
Ozawa menyatakan ketahanan hidup 5 tahun pasien KME rata-rata mencapai 62,3%,
sedangkan pada KME tingkat rendah bisa lebih tinggi lagi mencapai 95,1%.1 Selain
kriteria histopatologi, prognosis KME tergantung juga dari stadium tumor. Tepi operasi
yang positif, diseksi leher, dan radioterapi merupakan faktor-faktor yang menurunkan
ketahanan hidup pada pasien KME.2
Diagnosis banding pada KME antara lain adalah kista retensi, neoplasma jinak
(terutama jenis adenoma dengan segala variasinya), neoplasma ganas (adenokarsinoma,
karsinoma adenoid kistik) dan torus palatinus. Kami akan menguraikan dengan singkat
satu per satu.
Kista mukus, atau disebut juga mukokel, merupakan istilah klinis yang merujuk
pada dua kejadian: fenomena ekstravasasi mukus dan kista retensi mukus. Pembentukan
kista terjadi karena pembengkakan jaringan ikat yang di dalamnya terdiri dari kumpulan
musin disebabkan ruptur duktus kelenjar saliva biasanya karena trauma lokal, pada kasus
fenomena ekstravasasi mukus, dan obstruksi atau ruptur duktus salivarius pada kasus kista
retensi mukus. Gambaran klinis mukokel berupa massa yang transparan kebiruan, dan
sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Lokasi tersering terjadinya mukokel di
permukaan bibir bawah, diikuti di lidah bagian ventral anterior, dan di dasar mulut. Kista
retensi di dasar mulut disebut juga sebagai ranula. Ukuran mukokel bervariasi dari 1 mm
sampai beberapa sentimeter, dan terlihat sebagai massa yang sedikit transparan dengan
warna kebiruan. Pada palpasi mukokel teraba fluktuasi namun dapat juga teraba kenyal.
Variasi mukokel dapat terjadi di palatum dan muksa bukal posterior, dikenal sebagai
“mukokel superfisial”. Secara mikroskopik, mukokel tampak sebagai musin yang
dikelilingi oleh jaringan granulasi. Kadang juga ditemukan netrofil dan histiosit
disebabkan karena adanya proses inflamasi yang terjadi bersamaan. Beberapa mukokel
menghilang dengan spontan setelah beberapa saat, namun pada mukokel yang kronik
dibutuhkan operasi eksisi. Kadang diperlukan eksisi pada kelenjar saliva di sekitarnya
untuk mencegah kekambuhan.6
8
Gambar 6. Mukokel pada bibir bawah.
Adenoma pleomorfik (benign mixed tumor) merupakan neoplasma jinak paling
sering pada kelenjar saliva, dilaporkan 65% dari seluruh tumor kelenjar saliva. Lokasi
paling sering terjadinya adenoma pleomorfik di rongga mulut adalah di palatum durum,
sedangkan terbanyak mengenai kelenjar saliva parotis. Gambaran klinis penyakit berupa
massa yang tumbuh lambat, soliter/tunggal, berbentuk lobus/bulat berkapsul dengan
permukaan halus. Gambaran klinis ini menyerupai gambaran pada KME. Penegakan
diagnosis penyakit dengan pemeriksaan histopatologi. Secara mikroskopik, adenoma
pleomorfik terdiri dari 3 komponen sel, yaitu sel epitelial, sel myoepitelial, dan sel stroma
(mesenkim). Tumor tidak terbungkus kapsul dengan jelas namun diselimuti oleh
pseudokapsul fibrosa dalam ketebalan yang bervariasi. Jika makin bertambah besar
ukurannya, tumor ini mungkin bisa berubah menjadi ganas yang disebut karsinoma ex-
adenoma pleomorfik. Tingkat rekurensi tumor setelah dilakukan enukleasi dilaporkan
sekitar 20-45%.6,8
Gambar 7. Gambaran klinis adenoma pleomorfik (kiri). Gambaran mikroskopik: terdiri dari
campuran komponen sel epitelial di sebelah kiri dan sel mesenkimal di sebelah kanan. (kanan)
Karsinoma adenoid kistik terjadi sekitar 10% dari seluruh neoplasma di kelenjar
saliva. Tumor ini merupakan jenis paling sering yang mengenai kelenjar submandibula dan
9
kelenjar saliva minor, dan tersering kedua yang mengenai kelenjar parotis. Frekuensi
terjadinya tumor hampir sama antara laki-laki dan perempuan, dan biasanya terjadi pada
usia dekade kelima. Gambaran klinisnya berupa tumor yang tumbuh lambat, biasanya
monolobular, kadang berkapsul sebagian atau tidak berkapsul, dan sering menginfiltrasi
jaringan di sekitarnya. Walaupun metastasis regional jarang, namun penyebaran jauh ke
paru-paru dan tulang sering ditemukan. Secara mikroskopik, gambaran karsinoma adenoid
kistik terdapat epitel basaloid yang tersusun dalam bentuk silindris dengan stroma hyalin
eosinofilik. Pola histologiknya dibagi menjadi kribiform, solid, dan tubuler. Pola solid
memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan pola tubuler. Invasi perineural merupakan
gambaran yang khas dari karsinoma adenoid kistik, sehingga adanya invasi perineural ini
menyulitkan saat dilakukan eradikasi pada tumor. Penatalaksanaan tumor ini dengan eksisi
luas dan penambahan radioterapi pasca operasi.6,8
Gambar 8. Karsinoma adenoid kistik pada palatum (kiri) dan gambaran histopatologiknya.
Gambar 9. Adenokarsinoma pada kelenjar parotis (kiri) dan gambaran histopatologik
adenokarsinoma (kanan).
Adenokarsinoma merupakan karsinoma yang berasal dari sel kelenjar. Tumor ini
paling sering terjadi pada kelenjar saliva minor yang diikuti pada kelenjar parotis.
Kejadian adenokarsinoma sebanding antara laki-laki dan perempuan. Tumor ini bersifat
agresif dan cenderung bermetastasis. Gambaran klinisnya berupa massa yang kenyal atau
keras dan terfiksir dengan jaringan sekitarnya. Gambaran mikroskopik dari tumor ini 10
berupa sel epitel kolumner/silinder yang bervariasi membentuk massa solid.
Adenokarsinoma dapat dibedakan dari KME dengan kurangnya pada pewarnaan keratin.6
Torus palatinus merupakan kelainan kongenital yang mengenai tulang palatum,
biasanya timbul pada usia 20-an dan tumbuh lambat sepanjang hidup pasien. Gambaran
klinis torus berupa mukosa yang melapisi pertumbuhan tulang palatum yang menonjol.
Torus biasanya berupa massa tulang multilobus yang terdiri dari lamela tulang dengan
sedikit kandungan sumsum tulang dan tidak sampai melibatkan tulang asalnya. Pasien
tidak merasakan gejala kecuali torus mengganggu letak gigi atau terdapat trauma berulang
saat makan. Pada pasien yang merasa terganggu, penanganan torus dilakukan dengan
menghilangkan korteks tulang memakai osteotom atau bor. Torus kadang rekuren, namun
tidak pernah dilaporkan berubah menjadi keganasan.10
Gambar 10. Gambaran klinis torus palatinus.
RINGKASAN
Dilaporkan kasus seorang perempuan 41 tahun dengan keluhan timbul benjolan di
palatum sejak 2 tahun lalu. Benjolan dirasakan makin membesar, namun tidak nyeri, tidak
berdarah, pasien hanya mengeluhkan rasa mengganjal dan tidak nyaman saat mengunyah
makanan. Diagnosis banding pada pasien ini adalah kista retensi, neoplasma jinak
(adenoma), neoplasma ganas (karsinoma mukoepidermoid, karsinoma adenoid kistik,
adenokarsinoma), dan torus palatinus. Pasien kemudian dirawat dan dilakukan ekstirpasi
massa dan pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi, dipastikan pasien
menderita karsinoma mukoepidermoid.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Ozawa H, Tomita T, Sakamoto K, Tagawa T, Fujii R, Kanzaki S, et al. Mucoepidermoid carcinoma of the head and neck: clinical analysis of 43 patients. Jpn J Clin Oncol. 2008; 38(6): p.414–8
2. Nance MA, Seethala RR, Wang Y, Chiosea SI, Myers EN, Johnson JT, et al. Treatment and survival outcomes based on histologic grading in patients with head and neck mucoepidermoid carcinoma. Cancer. 2008; 113(8): p.2082–9.
3. Rapidis AD, Givalos N, Gakiopoulou H, Stavrianos SD, Faratzis G, Lagogiannis GA, et al. Mucoepidermoid carcinoma of the salivary glands: review of the literature and clinicopathological analysis of 18 patients. Oral Oncol. 2006; 35: p.105–11
4. Jarvis SJ, Giangrande V, Brennan PA. Mucoepidermoid carcinoma of the tonsil: a very rare presentation. Acta Otorhinolaryngol Ital: 9 Februari 2012
5. Mucoepidermoid carcinoma. Available at: http://www.oralcancerfoundation.org/ facts/rare/mc/index.htm
6. Oh YS, Eisele DW. Salivary gland neoplasms. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 4 th ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 2006; 109: p.1518
7. Brandwein MS, Ivanov K, Wallace DI, Hille JJ, Wang B, Fahmy A, et al. Mucoepidermoid carcinoma: a clinicopathologic study of 80 patients with special reference to histological grading. Am J Surg Pathol. 2001; 25(7): p.835–45
8. Ferris RL, Spiro JD, Spiro RH. Salivary gland neoplasms. In: Montgomery PQ, Evans PR, Gullane PJ, editors. Principles and Practice of Head and Neck Surgery and Oncology. 2nd ed. London: Informa Healthcare. 2009; 20: p.379-92
9. Seethala RR. An update on grading of salivary gland carcinomas. Cancer. 2005; 1510. Lian TS. Benign tumors and tumor-like lessions of the oral cavity. In: Cummings
CW, et al, editors. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4 th ed. Philadelphia: Mosby Inc. 2005; 76.
12
Atypia means that the cells look different from normal cells. You can have atypia with
hyperplasia, which means that the cells look different from normal and that there are more
cells than you would expect to see. You can also have atypia without having hyperplasia.
Atypia does not always progress to precancer (ductal carcinoma in situ [DCIS]) or cancer.
In fact, it is not uncommon for a repeat biopsy in the same area of the breast to show
entirely normal-appearing cells. Atypia can be described in a number of ways
13
Top Related