BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan produk kimia yang cepat selama satu abad ini telah berhasil
meningkatkan mutu kehidupan. Namun di sisi lain keadaan tersebut menimbulkan
kerugian bagi masyarakat terutama mereka yang secara langsung berhubungan dengan
bahan kimia.
Bahan kimia yang berbahaya tersebut disebut juga toksin/racun. Sebagian besar
toksin berasal dari bahan kimia hasil aktivitas manusia misalnya aktivitas Industri,
pertanian, perternakan, kedokteran maupun rumah tangga. Dalam kehidupan sehari-hari
pun keberadaan bahan kimia tidak dapat dihindarkan, karena dalam setiap kegiatan kita
pasti danya kandungan unsur kimia.
Selain bermanfaat bagi kehidupan, bahan kimia juga memiliki efek samping
yang dapat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Peran manusia selain sebagai
pengguna/konsumen dari bahan kimia, manusia juga dapat menjadi korban dari efek
bahan kimia tersebut. Paparan dari toksik terhadap manusia baik secara spontan dalam
dosis besar maupun secara berkala dalam dosis rendah dapat menyebabkan bermacam-
macam gangguan. Beberapa toksin memiliki klasifikasi tertentu, misalnya klasifikasi
menurut organ sasaarannya antara lain toksin yang menyerang hati, ginjal, paru-paru,
mata, kulit, sistem reproduksi, maupun sistem saraf
1
Untuk itu, kita perlu mengetahui toksikologi pada organ tubuh manusia,
bagaimana mekanisme kerjanya, gejala klinis dan dampak yang dapat ditimbulkan,
pada korban keracunan.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa pengertian toksikologi dan racun?
b. Bagaimana klasifikasi toksik berdasarkan kerusakan organ tubuh?
c. Bagaimana mekanisme dan gejala klinis keacunan pada organ tubuh?
1 .3 Tujuan
a. Mengetahui perngertian toksikologi dan racun.
b. Mengetahui klasifikasi toksik berdasarkan kerusakan organ tubuh
c. Mengetahui mekanisme dan gejala klinis keacunan pada organ tubuh
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian toksikologi
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap
makhluk hidup dan system biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian
kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya
(exposed) makhluk tadi.
Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat
kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara
kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya.
Para ahli toksikologi (Toxicologist), dengan tujuan dan metoda tertentu tugasnya adalah
mencari/mempelajari bagaimana bekerjanya (Harmful action) bahan bahan kimia
(beracun) pada jaringan atau tubuh.
Sementara Racun sendiri mempunyai dua pengertian, yaitu :
1. Menurut Taylor, Racun adalah Setiap bahan/zat yang dalam jumlah tertentu
bila masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi kimia yang
menyebabkan penyakit dan kematian.
2. Menurut pengertian yang dianut sekarang, Racun adalah Suatu zat yang
bekerja pada tubuh secara kimia dan fisiologis yang dalam dosis toksik
selalu menyebabkan gangguan fungsi dan mengakibatkan penyakit dan
kematian.
3
2.2 Klasifikasi Toksik berdasarkan kerusakan/organ target
Racun dapat dikelompokkan atas dasar organ yang diserangnya yaitu :
1. Hepatotoksik atau beracun bagi hepar/hati
2. Nefrotoksik atau beracun bagi nefron/ginjal
3. Neurotoksik atau beracun bagi neuron/saraf
4. Hermatotoksik atau beracun bagi darah/sistem pembentukan sel darah
5. Pneumotoksik atau beracun bagi pneumon/paru-paru.
6. Sistemik, yakni keracunan yang menyerang seluruh anggota tubuh
Efek terhadap kesehatan berdasarkan organ target, bahan kimia dapat bersifat, yaitu :
1. Neurotoksik (meracuni syaraf) : Asetaldehid, Styrene, Benzene, Kloroform, Karbon
disulfida, Etil alkohol, Toluen, Tetrakloretan, Trikloretan, Timah hitam, Aseton,
Akrilamid, Karbon tetraklorida, Arsen, Etilen oksida, Merkuri, Xylene.
2. Hepatotoksik (meracuni liver/hati): Karbon tetraklorida, Aflatoksin, Dimetil
nitrosamin, Vinilklorida, Etil alkohol, Arsen, Trinitro toluen, Toluen diamin,
Antimon, Fosfor (kuning), Nitrobenzen, Trikloretilen, Tetrakloretilen, PCB,
Trikloretan, Selenium.
3. Nefrotoksik (meracuni ginjal): Arsen, Karbon tetra klorida, Anilin, Etilen glikol,
Organo klorin, Fosfor (kunbgvvvn cvvving), Kadmium, Toluen, Merkuri, Metanol,
Paraquat, Timah Hitam, Kloroform, Fenol.
4. Hematotoksik (meracuni darah): Anilin, Nitrogen trifluorida , Toluidin, Para nitro
anilin, Dihidro toluen, Nitro klorobenzen, Nitrobenzen, Propilnitrat, Timah hitam,
Trinitro toluene.
4
5. Karsinogenik (menimbulkan kanker): asbestos, benzene, krom, nikel, vinyl klorida,
berefek teratogen ( mengakibatkan kelainan janin ) dan mutagen (menimbulkan
mutasi/perubahan genetik)
2.3 Neurotoksik
Neurotoksisitas adalah suatu agen kimia, biologi, atau fisik yang dapat menimbulkan
efek merugikan bagi sistem saraf. Toksisikan dapat langsung bekerja di sistem saraf,
namun sistem saraf juga sagat rentan terhadap sutu perubahan terutama yang terjadi di
sistem sirkulasi darah.
Ada beberapa toksikan yang spesifik bagi neuron(neurotoksikan) atau ada beberapa
bagian neuron yang dapat mengakibatkan cedera atau kematian neuron(neursis) dan
hilangnya neuron tidak dapat digantikan lagi. Efek neurotoksiskan dapat digolongkan
berdasarkan tempat kerjanya, yakni badan sel dan bagian lain neuron, terutama akson,
sel glia, dan sistem pembuluh darah. Tetapi sutu toksikan dapat mempengaruhi lebih
dari satu tempat.
Fungsi dari saraf utama adalah men-transmisikan impuls lewat sel-sel saraf. Sel saraf
yang tersambung dengan yang lain atau tersambung dengan sel organ seperti otot
melalui suatu sinap/junction. Dengan demikian ada dua mekanisme racun saraf, yakni
(1) gangguan pada transmitter, dan (2) gangguan pada aktivitas keluar masuknya ion
Na dan K sepanjang akson saraf, sehingga impuls elektrik terganggu.
Puncaknya, Neuron-neuron yang rusak akan mengakibatkan putusnya komuikas sistem
saraf dan seluruh bagian tubuh. Banyaknya fungsi yang hilang akibat kerusakan sistem
saraf bergantung pada jumlah neuron yang rusak dan tingkat kerusakannya. Kerusakan
yang permanen dapat mengakibatka hilangnya sensasi atau kelumpuhan, juga dapat
menimbulkan efek disorientasi.
5
2.3.1 Mekanisme Neurotoksik
Semua keracunan mempunyai dasar suatu reaksi antara zat beracun dan struktur
molekul tertentu dari badan. Kerusakan primer pada taraf molekuler disebut lesi
primer reseptornya (struktur molekul yang dikenai zat itu) dirubah oleh zat beracun
itu. Efek terjadi pada taraf sub selluler atau selluler. Bila dosis yang di serap relatif
kecil. Kerusakannya dapat terbatas pada beberapa sel saja. Masih cukup banyak sel
yang masih sehat untuk dapat tetap menjalankan fungsi normal organ . jika relatif
banyak sel yang menderita, organ tersebut sudah tidak dapat lagi memenuhi
fungsinya yang normal. Pada waktu itu biasanya keracunan(kerja toksik)
menampakkan diri, umumnya sebagai proses penyakit yang integral pada individu
itu. Proses keracunan itu berpindah secara berurutan dari taraf molekuler ke taraf
yang lebih tinggi integrasi biologis dengan urutan sel-jaringan-organ-individu
Mekanisme pada sistem syaraf dan fungsi syaraf otot
Banyak zat yang mengakibatkan keracunan memiliki titik tangkap primer pada
sistem syaraf atau pada peralihan sistem syaraf ke organ tertentu atau jaringan,
seperti otot serang lintang dan otot polos saluran lambung usus. Secara keseluruhan
dapat dibedakan dua tipe pokok mekanisme kerja toksik. Pertama, suatu efek
toksik pada neurotransmisi, yaitu pelimpahan pacu dari syaraf ke syaraf atau dari
syaraf ke organ. Kedua, efek toksik pada syaraf sendiri. Contoh bagus suatu efek
pada neurotranamisi adalah hambatan enzim colinesterase oleh, diantaranya
insektisida fosfor organik.
Jika asetilkolinesterase dihambat, asetilkolin tertimbun di dalam ruangan
antara peralihan syaraf dan peralihan dari syaraf ke organ, yang disebut sinaps.
Secara keseluruhan hal ini mempunyai akibat sebagai berikut :
Di dalam bagian tertentu otak penerusan pacu terganggu
6
Di dalam sistem syaraf otonom lebih-lebih didalam bagian parasimpatis,
terjadi penerusan pacu yang diperkuat, sehinggafungsi otonom
memperlihatkanreaksi yang berlebihan (diantaranya kontraksi yang kuat
otot polos)
penerusan pacu ke otot serat lintang diperkuat, sehingga menyebabkan
berkurangnya fungsi otot, karena berbeda dengan otot polos, ootot ini
mengadakan reaksi terhadap adanya asetilkolin yang berlebihan dengan
cara menurunkan kepekaan terhadap pacu.
Efek pada neurotransmisi terutama bersifat akut. Hal ini di sebabkan oleh
pendedahan yang berlangsung pendek dengan kadar yang relatif tinggi pada zat
kimia yang bersangkutan.
Keracunan yang berhubungan dengan gangguan selektif transpor ion sewaktu
pengantaran pacu melalui syaraf, juga bersifat akut. Zat seperti tetroduksin, yang
terdapat di dalam ikan peluru yang sangat beracun, mengakibatkan blokade
transpor ion natrum, sehingga pengantaran pacu berhenti sama sekali.
Relatif banyak zat mempunyai pengaruh degeneratif langsung pada sel syaraf.
Keracunan ini kebanyakan mempunyai efek yang kronis. Contohnya ialah
aksonopati distal yang perifer dengan demielinisasi sekunder, seperti yang dapat
diakibatkan oleh karbon disulfida. Aksonopati distal berarti bahwa urat syaraf
terkena mulai dari ujung ujungnya. Demielinisasi berarti degenerasi selubung
mielin yang mengelilingi tipe urat syaraf tertentu
2.3.1 Gejala klinis Neurotoksik
Gejala integral yang terpenting adalah simptom psikis, sakit kepala, kejang-kejang
di dalam saluran lambung-usus didikuti oleh muntah dan diare, banyak ludah,
7
banyak berkeringat, kejang bronki, denyutan jantung lambat, penyempitan pupil,
dan gejala kelumpuhan otot pernafasan. Keracunan ini tidak jarang berakhir fatal.
2.4 Hepatotoksik
Hepatotoksik adalah racun yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati. Hati
adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ
hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan.
Secara struktural organ hati tersusun oleh hepatosit (sel parenkim hati). Hepatosit
bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel tersebut
terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kuffer melapisi
sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sitem retikuloendotelial tubuh. Darah
dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika, dan disalurkan melalui vena sentral dan
kemudian vena hepatika ke dalam vena kava. Saluran empedu mulai berperan sebagai
kanalikuli yang kecil sekali yang dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan.
Kanalikuli bersatu menjadi duktula, saluran empedu interlobular, dan saluran hati yang
lebih besar. Saluran hati utama menghubungkan duktus kistik dari kandung empedu
dan membentuk saluran empedu biasa, yang mengalir ke dalam duodenum (Lu, 1995).
Toksikologi hati dipersulit oleh berbagai kerusakan hati dan berbagai
mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hati sering menjadi organ sasaran
karena beberapa hal. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem
gastrointestinal, setlah diserap, toksikan dibawa vena porta ke hati. Hati mempunyai
banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati
juga tinggi (terutama sitokrom P-450). Hal tersebut membuat sebagian besar toksikan
menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air, sehingga lebih mudah
dieksresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat
8
menginduksi lesi. Lesi hati bersifat sentrilobuler banyak dihubungkan dengan kadar
sitokrom P-450 yang lebih tinggi (Zimmerman, 1982). Selain itu kadar glutation yang
relatif rendah, dibandingkan dengan kadar glutation di bagian lain dari hati, dapat juga
berperan mengaktifkan toksikan (Smith et al. 1979).
Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel
dalam sel hati, seperti perlemakan hati (steatosis), nekrosis, kolestasis, dan sirosis (Lu,
1995). Steatosis adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Mekanisme
terjadinya penimbunan lemak pada hati secara umum yaitu rusaknya pelepasan
trigliserid hati ke plasma. Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Biasanya nekrosis
merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan
menyebakan nekrosis pada hati (Zimmerman, 1982).
Kolestasis merupakan jenis kerusakan hati yang biasanya bersifat akut.
Beberapa steroid anabolik dan kontraseptif di samping taurokolat, klorpromazin, dan
eritromisin laktobionat terlah terbukti menyebabkan kolestasis dan hiperbilirubinemia
karena tersumbatnya kanalikuli empedu. Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen
yang tersebar di sebagian besar hati. Serosis diduga berasal dari nekrosis sel-sel tunggal
karena kurangnya mekanisme perbaikan yang menyebabkan meningkatnya aktivitas
fibroblastik dan pembentuan jaringan parut (Lu, 1995).
2.4.1 Mekanisme Hepatotoksik
Hati ternyata rentan terhadap pengaruh cukup banyak zat kimia. Kerentanan itu
sebagian dapat diterangkan berdasarkan posisinya dalam sirkulasi cairan badan.
Seperti diketahui, hati dapat mudah berhubungan melalui vena portae dengan zat
yang diserap dari lambung-usus dan ginjal, karena fungsi ekskresinya berhubungan
erat sekali dengan darah dan zat yang terkandung di dalamnya.
9
Ada zat yang dapat menginduksi kerusakan hati yang sangat akut, seperti karbon
tetraklorida, kloroform, dimetil nitrosamin, dan beberapa senyawa
klorhidrokarbon, diantaranya yang terkenal ialah TTDC (tetraklor-dibenzo-dioksin)
.kerusakan berjalan seiring dengan nekrose hati (kematian sel) dan perlemakan hati
(penimbunan trigliserida di dalam sel hati) .
Pada beberapa zat telah di selidiki secara mendalam mekanisme kerjanya.
Salah satu zat yang telah diteliti paling baik ialah membentuk radikal karbon
tetraklorida. Hipotesis yang sekarang berlaku ialah bahwa di dalam hati terbentuk
radikal (molekul dengan elektron yang tidak berpasangan, sehingga reaktif), yang
kemudian mengakibatkan peroksidasi lipidadalam membran di dalam sel. Disini
methokondria terserang dan melepaskan ribosom dari retikulum endoplasmatik
sebagian bersifat tidak langsung dan merupakan akibat gangguan di dalam proses
fosforilasi peernafasan oksidatif di dalam membran mitokondria. Pemasokan
energi yang diperlukan untuk memelihara fungsi dan struktur retikulum
endoplasmatik macet, sintesis protein menurun sekali, sel kehilangan daya untuk
mengeluarkan trigliserida dan terjadi apa yang di sebut degenerasi berlemak sel
hati. Bila bagian yang sangat luas dari hati telah rusak, maka karena hati telah
kehilangan fungsinya, terjadilah keracunan yang gawat sekali dan sering berakhir
fatal.
2.4.2 Gejala klinis Hepatotoksik
Gejala klinis keracunan pada hati yaitu :
kejang-kejang pada perut,
malaise yang menyeluruh,
insufisiensi-ginjal dan terganggunya fungsi otak.
10
2.5 Nefrotoksik
Nefrotoksik adalah racun yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ ginjal.
Ginjal merupakan organ tubuh yang paling sering terpapar zat kimia dan metabolitnya
terutama obat yang dipakai secara meluas dimasyarakat. Kemudahan keterpaparan
ginjal terhadap zat-zat tersebut diakibatkanoleh sifat-sfat khusus ginjal, yaitu :
a. Ginjal menerima 25 %, curah jantung sedangkan beratnya hanya kira-kira 0,4%
dari berat badan.
b. Untuk menampung curah jantung yang begitu besar, ginjal mempunyai
permukaan endotel kapiler yang relatif luas dianatara organ tubuh yang lain.
c. Permukaan endotel kapiler yang sangat luas ini menyebabkan bahan yang bersifat
imunologik sering terpapar didaerah kapiler glomerulus dan tubulus.
d. Fungsi transportasi melalui sel-sel tubulus dapat menyebabkan terkonsentrasinya
zat-zat toksin di tubulus sendiri.
e. Mekanisme counter current sehingga medulla dan papil ginjal menjadi hipertonik
dapat menyebabkan konsentrasi zat toksik sangat meningkat di kedua daerah
tersebut.
Sifat-sifat khas yang disebut di atas inilah yang memudahkan terjadinya gangguan
struktur dan fungsi ginjal, bila didalam darah terdapat zat yang bersifat nefrotoksik
Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini menyebabkan keterpaparan ginjal
terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya bahan-
bahan yang bersifat toksik akan mudah menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam
bentuk perubahan struktur dan fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai
nefropati toksik dan dapat mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun
jaringan interstitial ginjal.
11
2.5.1 Mekanisme Nefrotoksik
Dikenal 5 macam mekanisme terjadinya nefropati toksik, yaitu :
a. Dampak langsung terhadap sel parenkim ginjal.
Kerusakan langsung ini terutama disebabkan oleh penggunaan zat yang
mengandung logam berat. Logam berat yang difiltrasi oleh glomerulus
dapat diresorpsi kembali oleh sel tubulus sehingga sel tubuluslah yang
paling sering mengalami kerusakan. Kerusakan ini mengenai hampir
seluruh struktur subseluler seperti membran plasma, mitokondria, lisosom,
retikulum endoplasma dan inti sel.
b. Reaksi imunologis
Proses imunologis lebih sering terjadi pada pemakaian obat-obatan seperti
penisilin, metisilin, dsb. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi
hipersensitifitas terhadap zat tersebut di atas, sedangkan proses yang timbul
merupakan proses imunologik baik secara humoral seperti terbentuknya
deposit imun kompleks, reaksi antara antibodi dengan antigen membrana
basalis glomerulus, maupun secara seluler.
c. Obstruksi saluran kemih.
Umumnya obstruksi yang terjadi sebagai akibat kristalisasi zat tertentu yang
kemudian mengendap di lumen tubulus yang selanjutnya disertai pula
dengan pengendapan sel tubulus yang rusak. Pengendapan kristal dan sel
tubulus yang rusak ini sering disertai proses inflamasi yang akhirnya
menyebabkan obstruksi lumen tubulus.
d. Penghambatan produksi prostaglandin
Terdapat obat-obat yang dapat menghambat sintesis prostaglandin E2 yaitu
aspirin dan anti inflamasi non steroid. Obat-obat ini menghambat sintesis
12
prostaglandin E2 dengan cara mengikat siklo-oksigenase, suatu enzim yang
dipakai untuk memproduksi Prostaglandin E2. Penggunaan obat ini dalam
jangka waktu tertentu akan menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal
dan laju filtrasi glomerulus sehingga dapat berpotensi menimbulkan
keadaan gagal ginjal.
e. Memperburuk penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya.
Misalnya pielonefritis yang diperberat akibat pemakaian obat-obat tertentu
yang meningkatkan ekskresi asam urat atau obat-obat yang menyebabkan
hipokalemia.
2.5.2 Gejala Klinis Nefrotoksik
Gejala nefropati toksik tergantung dari jenis-jenis bahan kimia atau obat yang
terpapar pada ginjal. kelainan ginjal yang ditimbulkan mulai dari proteinuria,
hematuria, sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik, nefritis interstitial akut,
nefritis tubulo-interstitial, sampai gagal ginjal baik akut maupun kronik.
2.6 Hematoksik
Hemotoksin ialah toksin yang memusnahkan sel darah merah (yakni, ia menyebabkan
hemolisis), mengganggu koagulasi darah dan dengan itu mengganggu pembekuan
darah, dan/atau menyebabkan degeneri organ dan kerosakan tisu secara am. Istilah
hemotoksin sedikit sebanyak merupakan nama yang tidak padan kerana toksin yang
merosakkan darah ("hemo") juga merosakkan tisu-tisu lain.
Jenis racun hemotoksin yang berada di dalam darah akan mencegah oksigen
membentuk hemoglobin. Akibatnya sel-sel darah akan rusak dan penggumpalan darah
akan terjadi. Gas Karbonmonoksida yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor atau
13
asap rokok adalah salah satu contoh hemotoksin yang sering kita jumpai sehari-hari.
Menghirup gas tersebut dapat menyebabkan kematian karena darah kekurangan oksigen
untuk memberi makan kepada jaringan tubuh dan otak. Hemotoksin juga terdapat pada
bisa ular. Akibatnya sel-sel darah akan rusak dan penggumpalan darah akan terjadi.
Reaksi racun sangat cepat seiring dengan pembengkakan di daerah sekitar luka gigitan,
beberapa menit saja korban akan merasakan sakit yang dan terasa panas yang luar
biasa. Hal ini tidak seperti jenis racun neurotoksin yang tidak terasa sakit sama sekali.
Contoh jenis ular yang memiliki racun hemotoksin adalah jenis crotalidae dan
viperidae.
2.6.1 Mekanisme hemotoksik
Mekanisme keracunan karbon monoksida
Gas ini dikelompokkan sebagai bahan kimia asfiksia (asphyxiate). Ia
mengakibatkan racun dengan cara meracuni homoglobin (Hb) darah. Hb berfungsi
mengikat darah dalam membentuk HbO. Setelah CO mengikat haemoglobin darah
terbentuk ikatan: HbCO maka otomatis oksigen akan terusir. Dengan mekanisme
ini, tubuh mengalami kekurangan oksigen dan gejala asfiksia atau kekurangan
oksigen akan terjadi. Sebab afinitas atau sifat pengikatan atau daya lengket karbon
monoksida ke haemoglobin darah dibandingkan dengan oksigen jauh lebih besar
sebanyak 200 – 3-000 kali lipat. Dalam jumlah sedikit pun gas karbon monoksida
jika terhirup dalam waktu tertentu dapat menyebabkan gejala racun terhadap tubuh.
Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara bersaing dengan
oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa oksigen (hemoglobin,
mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450). Afinitas karbon monoksida
terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30 sampai 500 kali lebih kuat
14
dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada hemeproteinnya. Disamping itu,
lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida menyebabkan
dengan adanya karboksihemoglobin mengganggu afinitas oksigen terhadap
hemoglobin dengan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga
mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan
lebih hebat dibandingkan dengan yang akan dihasilkan oleh anemia dengan derajat
yang sama. Diyakini bahwa karbon monoksida memiliki efek toksik langsung pada
tingkat seluler dengan cara mengganggu respirasi mitokondria, disebabakan karena
karbon monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase. Berbeda dengan
hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap oksigen. Akan tetapi
selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat. Pada saat oksigen dari
udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida menjadi lambat.
Persentase saturasi karbon monoksida didefinisikan sebagai persentase hemoglobin
digabung dengan karbon monoksida dalam bentuk karboksihemoglobin. Oleh
karena afinitas hemoglobin yang lebih kuat terhadap karbon monoksida, meskipun
hanya dengan konsentrasi rendah di udara dapat menghasilkan saturasi darah yang
sangat tinggi dengan gas ini.
Hipoksia
Hipoksia adalah istilah umum yang diberikan untuk kekurangan oksigen jaringan.
Toxicants dapat menyebabkan hipoksia melalui beberapa mekanisme. Ada
beberapa kategori hypoxia. Hipoksia Stagnan adalah aliran menurunkan darah,
yang dapat hasil dari efisiensi pemompaan berkurang dari jantung atau
vasodilatasi, dimana dinding pembuluh darah disebabkan untuk bersantai,
menurunkan tekanan darah dan aliran. Ketika aliran darah normal, hipoksia juga
bisa terjadi jika ada pengurangan kapasitas darah untuk membawa oksigen, suatu
15
kondisi yang disebut hipoksia anemia. Hipoksia histotoksik terjadi ketika oksigen
yang dikirim ke jaringan normal, tetapi jaringan memiliki kemampuan yang
berkurang untuk memanfaatkan oksigen. Penyebab umum dari anemia hipoksia
kompetitif mengikat di situs heme oksigen, biasanya merupakan hasil dari paparan
karbon monoksida, CO Karbon monoksida memiliki afinitas yang lebih besar
untuk besi (II) di situs heme daripada molekul oksigen, membentuk stabil
kompleks yang disebut karboksihemoglobin dalam preferensi untuk
oksihemoglobin oksigen terikat. Penyebab utama lain dari hipoksia anemia dari
paparan kimia methemoglobinemia, di mana besi (II) dalam hemoglobin
teroksidasi menjadi besi (III). Produk methemoglobin adalah zat berwarna gelap di
mana besi tidak istimewa mengikat molekul oksigen, mengikat dengan OH-atau
Cl-ion sebagai gantinya, sehingga methemoglobin tidak membawa oksigen dan
korban keracunan bisa mati kekurangan oksigen. Ion nitrit, NO2 - (lihat Bab 11),
anilin, dan nitrobenzene (lihat Bab 15) adalah racun yang dapat menyebabkan
methemoglobinemia.
Hipoksia dapat hasil jangka panjang pengurangan pembentukan sel darah di
sumsum tulang. Beberapa toxicants mengurangi produksi kedua eritrosit dan
leukosit di sumsum, mengakibatkan kondisi yang disebut anemia aplastik. Paparan
benzena dapat menyebabkan kondisi ini. Efek biokimia utama timbal beracun
gangguan pada proses dimana heme disintesis. Meskipun tidak ketat penyakit
darah, hipoksia histotoksik menghilangkan jaringan oksigen, bahkan ketika itu
disampaikan oleh darah, dengan mencegah pemanfaatannya. Racun yang paling
umum yang menyebabkan hipoksia histotoksik adalah hidrogen sianida, yang
mengikat kuat ke besi (III) bentuk spesies sitokrom endogen yang terlibat dalam
pemanfaatan molekul oksigen, sehingga tidak dapat dikurangi kembali ke besi (II)
16
dalam proses transfer elektron terlibat dengan pemanfaatan O2 dalam jaringan.
Menariknya, penangkal keracunan sianida (jika diberikan dengan cepat dalam
kasus-kasus di mana korban bertahan cukup lama) adalah untuk mengelola
senyawa nitrit yang membentuk methemoglobin yang memiliki besi (III) mampu
mengikat kompetitif untuk sianida. Hidrogen sulfida, H2S, menyebabkan hipoksia
histotoksik dengan mekanisme mirip dengan hidrogen sianida.
Leukosit dan Leukemia
Leukosit jauh lebih kompleks daripada eritrosit dan melakukan fungsi yang sama
sekali berbeda. Meskipun mereka hadir dalam darah dan dibawa oleh aliran darah,
mereka melakukan kegiatan mereka sebagian besar di luar aliran darah. Kegiatan
utama mereka adalah dalam mempertahankan tubuh terhadap benda asing dan agen
seperti mikroorganisme patogen. Dalam pertahanan terhadap benda asing seperti
sel-sel bakteri, leukosit melakukan fagositosis, di mana mereka menyelimuti
obyek, sehingga akhirnya elim-ination nya. Untuk mempertahankan melawan
agen-agen asing, seperti toxicants menempel pada protein darah, leukosit
menghasilkan antibodi. Produksi yang tidak terkendali leukosit adalah bentuk
kanker yang disebut leukemia. Meskipun racun yang diduga menyebabkan
beberapa kasus leukemia, bukti untuk kasus-kasus seperti ini tidak terlalu kuat.
Namun, paparan benzena sekarang dianggap sebagai penyebab jenis kanker.
2.6.2 Gejala klinis hemotoksik
Gejala keracunan gas karbon monoksida didahului dengan sakit kepala, mual,
muntah, rasa lelah, berkeringat banyak, pyrexia, pernafasan meningkat, confusion,
gangguan penglihatan, kebingungan, hipotensi, takikardi, kehilangan kesadaran
dan sakit dada mendadak juga dapat muncul pada orang yang menderita nyeri
dada.
17
Kematian kemungkinan disebabkan karena sukar bernafas dan edema paru.
Kematian akibat keracunan karbon monoksida disebabkan oleh kurangnya oksigen
pada tingkat seluler (seluler hypoxia).
Gejala-gelala klinis bila darah keracunan gas karbon monoksida dapat dilihat pada
tabel
Konsentrasi CO dalam Darah
Gejala-gejala
- Kurang dari 20% - Tidak ada gejala
- 20% - Nafas menjadi sesak
- 30% - Sakit kepala, lesu, mual, nadi dan pernafasan sedikit meningkat
- 30% – 40% -Sakit kepala berat, kebingungan, hilang daya ingat, lemah, hilang daya koordinasi gerakan
- 40% - 50% - Kebingungan makin meningkat, setengah sadar
- 60% - 70% - Tidak sadar, kehilangan daya mengontrol faeces dan urin
- 70% - 89% - Koma, nadi menjadi tidak teratur, kematian karena kegagalan pernafasan
2.7 Sistematik
Sistemik, yakni keracunan yang menyerang seluruh anggota tubuh. Walaupun kerjanya
secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya memiliki akibat / afinitas
pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan
sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:
Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf
pusat.
Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.
Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.
18
Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama
berpengaruh terhadap hati.
2.7.1 Mekanisme keracunan sistematik
Banyak zat kimia dapat di serap dari udara yang dihirup. Setelah penyerapan, zat
kimia tersebut dibawa darah beredar ke berbagai bagian tubuh dan menimbulkan
pengaruh, seperti anestesia umum.
Gas-gas toksik dapat diserap dari berbagai bagian saluran nafas termasuk
nasofaring. Tempat utama penyerapan adalah alveoli, dan mekanisme
penyerapannya utama adalah difusi sederhana. Selain itu, aerosol cair dan bahan
partikel padat juga dapat di serap melalui mekanisme yang berbeda.
EFEK SISTEMIK membutuhkan penyerapan dan penyeberan dari zat-zat toksis
ketempat yang jauh dari tempat masuknya dimana effek-effek toksis akan
dihasilkan.
Kebanyakan zat-zat kimia yang menghasilkan keracunan sistemik tidak
menyebabkan satu derjat keracunan yang sama dalam semua organ-organ tetapi
biasanya menghasilkan keracunan yang besar ke satu dua organ saja. Organ ini
dikenal sebagai organ-organ sasaran dari keracunan zat kimia tersebut. Organ
sasaran itu sering bukanlah tempat berkumpulnya bahan-bahan kimia tadi. Sebagai
contoh, Timah hitam dikumpulkan dalam tulang tetapi keracunannya dalam
jaringan-jaringan lemak. Serupa DDt dikumpulkan dalam jaringan lemak tetapi
tidak menghasilkan effek toksis disana.
Organ sasaran dari keracunan yang sering terlibat dalam keracunan sistemik adalah
CNS. Meskipun dengan beberapa persenyawaan-persenyawaan yang memiliki satu
effek yang menonjol ditempat lain, kerusakan ke CNS, khususnya ke otak, dapat
ditunjukkan oleh penggunaan cara-cara yang sensitive dan sesuai. Selanjutnya
19
system yang sering terlibat keracunan sistemik adalah system sirkulasi, system
darah dan hemo poietik,
BAB III
20
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia
terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara
kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya.
Klasifikasi toksik menurut organ sasaarannya antara lain toksin yang menyerang hati,
ginjal, paru-paru, mata, kulit, sistem reproduksi, maupun sistem saraf.
3.2 Saran
Karena sifat dari organ tubuh ini rentan terhadap racun, untuk itu kita harus dapat
mencegah terjadinya keracunan, misalnya dengan pengurangan intensitas paparan dari
racun tersebut. Dan kita juga perlu mengetahui tindakan awal apa yang harus dilakukan
jika terdapat orang yang keracunan agar efek dari racun itu bias diminimalisir.
\\
Daftar pustaka
21
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, UI Press.
https://ms.wikipedia.org/wiki/Hemotoksin
E.J,Ariens,E.Mutschler,Am.Simonis.1985.Toksikologi Umum pengantar.Yogyakarta: Gajah
Mada University press
22