BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Di tahun 2005, Departemen Kesehatan menetapkan strategi kerja yaitu:
menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem
surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, serta meningkatkan pembiayaan
kesehatan. Namun strategi untuk surveilans belum berjalan dengan baik sehingga
diperlukan banyak perbaikan agar tercapainya sistem surveilans yang efektif di
Indonesia.
Hal yang sedemikian juga terjadi di Puskesmas Pauh yang mana sistem surveilans
yang telah diimplementasikan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai
contoh, kasus diare baru yang dilaporkan ke Puskesmas Pauh tidak menunjukkan
penurunan malah telah terjadi kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2008, kasus diare baru adalah 612 kasus dan angka ini meningkat hingga 1020 kasus baru
pada tahun 2010. Ini menunjukkan sistem surveilans yang dijalankan di Puskesmas Pauh
tidak memberi sebarang perubahan terhadap tingkat kesehatan masyarakat di wilayah
kerja Pauh.
Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi pada
sistemnya melainkan juga pada pelaksananya. Sebagai contoh, petugas surveilans di
Puskesmas Pauh hanya terdiri dari satu orang sehingga tidak dapat dijalankannya
aktivitas pengumpulan data, pengolahan dan analisis serta pembuatan laporan secara
efektif. Selain itu, pelaksanaan program surveilans oleh unit kesehatan belum terintegrasi
secara menyeluruh dan perlunya kehadiran petugas kesehatan di tengah-tengah
masyarakat sebagai tempat mereka bertanya tentang masalah kesehatan yang mereka
hadapi agar dapat dicarikan alternatif dan solusi untuk permasalahan tersebut.
Maka dari itu, masih banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan program
surveilans di Puskesmas Pauh agar dapat ditingkatkan derajat kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pauh.
1
1.2 BATASAN MASALAH
Makalah ini membahas tentang surveilans, terutama pada tingkat puskesmas, dan
sedikit gambaran tentang implementasi surveilans tersebut pada Puskesmas Pauh.
1.3 TUJUAN PENULISAN
Makalah ini dibuat untuk membahas tentang Surveilans, Pencatatan dan
Pelaporan yang diharapkan nantinya akan menambahkan pengetahuan dan pemahaman
kita bersama tentang Ilmu Kesehatan Masyarakat.
1.4 METODE PENULISAN
Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai
literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI SURVEILANS
Istilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu 'surveillance' yang berarti
mengamati tentang sesuatu. Meskipun konsep surveilans telah berkembang cukup lama,
tetapi seringkali timbul kerancuan dengan kata 'surveillance' dalam bahasa Inggris, yang
berarti mengawasi perorangan yang sedang dicurigai. Sebelum tahun 1950, surveilans
memang diartikan sebagai upaya pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit
menular, sehingga penyakitnya dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi secepatnya
serta dapat diambil langkah-langkah pengendalian seawal mungkin. Ada beberapa
definisi surveilans, diantaranya adalah:1
Menurut The Centers for Disease Control, surveilans kesehatan masyarakat adalah: The
ongoing systematic collection, analysis and interpretation of health data essential to the
planning, implementation, and evaluation of public health practice, closely integrated
with the timely dissemination of these data to those who need to know. The final link of
the surveillance chain is the application of these data to prevention and control.
Langmuir, 1963: Surveilens adalah kegiatan perhatian yang terus menerus pada distribusi
dan kecenderungan penyakit melalui sistematika pengumpulan data, konsolidasi, dan
evaluasi laporan morbiditas serta mortalitas juga data lain yang sesuai, kemudian
disebarkan kepada mereka yang ingin tahu.
Pengumpulan data yang sistematik
Konsolidasi dan evaluasi data
Diseminasi awal pada mereka yang butuh informasi, terutama mereka yang
berposisi pengambil keputusan
D.A. Henderson, 1976: Surveilens berfungsi sebagai otak dan sistem saraf untuk program
pencegahan dan pemberantasan penyakit.
3
WHO, 1968: Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada
unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
SK MENKES 1116/2003: Pengamatan terus menerus dan dilaksanakan secara sistematis
terhadap penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
agar dapat dilakukan tindakan perbaikan atau penelitian, melalui kegiatan pengumpulan,
pengolahan dan analisis/interpretasi data, diseminasi informasi dan komunikasi ke
berbagai pihak terkait.
2.2 PERAN SURVEILANS5
Mendeteksi KLB, letusan, wabah (epidemi)
Memonitor kecenderungan penyakit endemik
Evaluasi intervensi
Memonitor kemajuan pengendalian
Memonitor kinerja program
Prediksi KLB, letusan, wabah (epidemi)
Memperkirakan dampak masa datang dari penyakit
2.3 INDIKATOR SURVEILANS5
Akurat:
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi
hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi
hasil positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan
“false alarm” (peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran
laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi
peningkatan kasus/ outbreak. Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1)
kemampuan petugas; (2) infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan
petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium,
sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi, sehingga kedua pihak
4
memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar
di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
Standar, seragam, reliabel, kontinu:
Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam sistem
surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem surveilans yang efektif
mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten atau sporadis, tentang
insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin data penyakit
yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
Tepat waktu:
Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi
lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara:
(1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi
“lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan;
(2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable
diseases);
(3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;
(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil
surveilans;
(5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera.
Representatif dan lengkap:
Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya terjadi pada
populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika
penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu
petugas surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan
kesehatan lainnya.
5
Sederhana, fleksibel, dan akseptabel:
Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam organisasi,
struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus. Format
pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang
buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama
yang sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans
harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans,
maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan
kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap level operasi.
Penggunaan (uptake):
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans
digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans
pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di
banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi
problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti,
pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.
2.4 MANFAAT SURVEILANS5
UMUM:
Perencanaan
Implementasi
Evaluasi kegiatan kesehatan masyarakat
KHUSUS:
Menyajikan estimasi kuantitatif dari besar suatu masalah kesehatan
Menggambarkan riwayat alamiah penyakit
Mendeteksi epidemik
Pendokumentasian distribusi dan perluasan suatu peristiwa kesehatan
Memfasilitasi riset epidemiologik dan laboratorium
6
Pengujian hipotesis
Evaluasi efektivitas pemberantasan dan pencegahan
Mendeteksi perubahan dalam praktek kesehatan
Perencanaan
Gambar 1: Prinsip umum surveilans
2.5 SUMBER DATA3
Data diperoleh dari register rawat jalan dan rawat inap di puskesmas dan
puskesmas pembantu, termasuk data dari unit pelayanan bukan puskesmas dan kader
kesehatan. Penyakit yang menjadi kategori data adalah penyakit baru dan yang sudah
ditetapkan5.
2.6 PENGOLAHAN DATA3
a. Pencatatan
7
Data dicatat dalam formulir W1 untuk laporan 1 x 24 jam, formulir W2 untuk
laporan mingguan, dan formulir Survailans Terpadu Penyakit Berbasis Puskesmas
(STPBP). Data pasien juga dilengkapi oleh alamat, keadaan lingkungan, dan definisi
kasus. Data harus ditandatangani oleh petugas surveilans atau kepala puskesmas.
b. Pelaporan/Diseminasi
Untuk formulir W1 harus segera dilaporkan unit surveilans kepada DKK dan
pihak pihak yang berwenang lainnya dalam waktu 1 x 24 jam. Pelaporan dapat
menggunakan media telepon, fax, email, ataupun sms. Hendaknya unit surveilans telah
melakukan analis dan interpretasi terhadap data tersebut dan menyajikanya dalam bentuk
grafik/diagram sebelum dilaporkan kepada pihak yang berwenang sebagai pertimbangan
dalam bagi pihak otoritas tersebut dalam mengambil keputusan.
Formulir W2 dilaporkan ke DKK satu kali dalam seminggu pada hari Selasa.
STPBP dilaporkan ke DKK setiap satu bulan sekali. Masing-masing laporan dibuat dalam
dua rangkap, satu untuk dilaporkan ke DKK dan satu lagi untuk arsip bagi puskesmas.
c. Analisis dan Interpretasi
Petugas surveilans haruslah orang yang jeli dan mempunyai daya analisa yang
tinggi. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam menganalisis data dan
interpretasi adalah karekteristik data, validasi data, analisa deskriptif, dan hipotesa
sementara. Hasil analisis dan interpretasi ini digunakan sebagai bahan advokasi bagi
pihak yang berwenang dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat4.
2.7 AKSI
Aksi yang dilakukan dapat berupa pengendalian maupun kebijakan.
Pengendalian
- Respon cepat
- Manajemen kasus
- Pencegahan: perlindungan khusus, isolasi
Kebijakan
- Perubahan kebijakan
8
- Prediksi, perancanaan
- Kewaspadaan epidemik
2.8 EVALUASI
Proses evaluasi dilakukan tidak hanya terhadap hasil dari aksi epidemiologis yang
dilakukan, juga terhadap hasil surveilans sebagai monitoring apakah aksi sudah sesuai
dengan hasil surveilans4.
Gambar 2: Alur proses pencatatan dan pelaporan
BAB III
SISTEM SURVEILANS, PENCATATAN DAN PELAPORAN
9
DI PUSKESMAS PAUH
3.1 KEADAAN GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFI7
Wilayah kerja Puskesmas Pauh terletak di Kecamatan Pauh dengan keluasan
wilayah 146.2 km2 dengan batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Timur : Kabupaten Solok
Sebelah Barat : Wilayah kerja Puskesmas Andalas
Sebelah Utara : Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Koto Tangah
Sebelah Selatan : Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Kilangan
Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan Pauh Kota Padang tahun 2010 yang
telah dipublikasikan, jumlah penduduk kecamatan Pauh adalah sebanyak 56.669 jiwa.
3.2 SARANA DAN PRASARANA KESEHATAN7
Wilayah kerja Puskesmas Pauh sangat luas, oleh karena itu untuk melayani
masyarakat, Puskesmas Pauh memiliki satu buah puskesmas induk, dan ditunjang oleh 5
unit Puskesmas Pembantu serta Puskesmas Keliling dan 3 unit Poskeskel.
3.3 KEGIATAN SURVEILANS DI PUSKESMAS PAUH
Kegiatan surveilans di Puskesmas Pauh dijalankan oleh unit surveilans puskesmas
yang beranggotakan seorang tenaga D3 Kesehatan Masyarakat. Kegiatan surveilans pada
puskesmas Pauh adalah sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan oleh unit surveilans Puskesmas Pauh dilakukan
dengan metode surveilans aktif dan pasif. Dalam pengumpulan data, ada beberapa
formulir yang harus diisi oleh petugas surveilans, beberapa yang penting dan paling
sering digunakan adalah formulir W1 (laporan KLB/wabah yang harus dilaporkan dalam
waktu 1x24 jam), formulir W2 (laporan mingguan wabah yang dilaporkan 1 kali
seminggu pada hari Selasa), dan formulir Laporan Surveilans Terpadu Penyakit Berbasis
Puskesmas (STPB) (laporan bulanan surveilans penyakit menular dan penyakit tidak
menular utama).
10
Di Puskesmas Pauh proses pengumpulan data ini berjalan dengan baik. Setiap
kasus baru dicatat dengan baik dan pengarsipan data pun berjalan dengan baik.
Pengolahan, Analisis dan Interpretasi Data
Pengolahan, analisis dan interpretasi data surveilans pada Puskesmas Pauh dapat
dikatakan berjalan dengan baik. Proses ini hanya dilakukan dengan menelaah data-data
yang tertulis pada formulir pencatatan tanpa adanya pengolahan data ke bentuk yang
aktual dan dapat dipahami semua orang.
Pelaporan dan Advokasi
Pelaporan setiap data surveilans yang dikumpulkan pada Puskesmas Pauh kepada
DKK berjalan dengan baik. Pengumpulan selalu dilakukan tepat waktu sesuai dengan
sifat data.
Advokasi yang dilakukan oleh unit surveilans Puskesmas Pauh kepada pihak yang
berwenang membuat kebijakan telah dilakukan, tetapi melihat dari tidak optimalnya
proses pengolahan, analisis dan interpretasi data, diperkirakan advoksi tidak kuat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
11
4.1 KESIMPULAN
Pelaksanaan program surveilans yang dijalankan oleh unit kesehatan masih belum
terintegrasi secara menyeluruh dan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan
surveilans dinilai masih kurang. Ketersediaan pedoman, dana, tenaga dan sarana untuk
pelaksanaan program surveilans masih banyak mengalami hambatan serta masih
kurangnya tenaga medis yang dapat ikut serta dalam program surveilans yang dijalankan.
Selain itu, respon cepat PE 1x24 jam masih belum optimal dan kelengkapan pencatatan
hasil penyelidikan epidemiologi masih belum memenuhi standar indikator kegiatan
surveilans yang tertuang dalam Kepmentan No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
4.2 SARAN
a. Petugas surveilans Puskesmas Pauh perlu meningkatkan upaya lintas sektor dan
peran serta aktif setiap komponen surveilans, tokoh masyarakat, dan masyarakat
umum dalam pelaksanaan surveilans agar dapat berjalan optimal.
b. Kualitas dan kuantitas SDM perlu ditingkatkan, terutama ketersediaan tenaga
berlatar belakang epidemiologi dan medis untuk program surveilans di Puskesmas
Pauh.
c. Program surveilans di Puskesmas Pauh seharusnya mempunyai unit tersendiri dan
tidak di bawah P2M atau seksi lain sehingga upaya penanggulangan menjadi
maksimal. Respon cepat oleh petugas surveilans serta kualitas pencatatan hasil
penyelidikan epidemiologi perlu ditingkatkan sehingga data yang dihasilkan dapat
lebih lengkap dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
12
1. DCP2. Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf. Diakses 3
November 2011.
2. Bensimon CM, Upshur REG. Evidence and effectiveness in decision making for
quarantine. Am J Public Health;97:S44-48.
3. Giesecke J. Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.Gordis, L; 2000.
Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.Erme MA, Quade TC; 2010.
Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-health/epidemiologic-
surveillance. Diakses 3 November 2011.
4. Kasjono, Heru Subaris. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009
5. McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis
V, Rodier G; 2002. Conceptual framework of public health surveillance and action and
its application in health sector reform. BMC Public Health, 2:2
http://www.biomedcentral.com. Diakses 3 November 2011.
6. WHO. An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly
epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer. Surveillance: slides.
http://www.who.int. Diakses 3 November 2011
7. Puskesmas Pauh. Laporan Puskesmas Pauh Tahun 2010. Padang: Puskesmas Pauh;
2010
13
LAMPIRAN
14