MAKALAH STUDI ISLAM
“MACAM MACAM HADIST DAN TINGKATANNYA”
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memperkenankan kami
untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini bertujuan untuk mempelajari macam macam
hadist dan tingkatannya.
Atas terselesaikannya makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang berharga. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun penulis telah berusaha untuk
memberikan yang terbaik bagi terselesainya makalah ini. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 23 Mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber pengetahuan Islam. Hadits (الحديث) secara harfiah
berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah
perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan
makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan
ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam
memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur'an. Karena
banyaknya hadits yang tersebar dan kekhawatiran para ulama Islam akan dilupakannya
hadits-hadits tersebut maka mereka membukukan hadits-hadits tersebut. Beberapa para
ulama itu adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Al-Turmudzi Buku
yang mereka tulispun sudah sangat popular di kalangan masyarakat diantaranya
adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Al-Turmudzi dll. Buku-buku inilah yang
menyebabkan sampai saat ini hadits-hadits nabi sampai pada kita. Penyebaran hadits pun
semakin dipermudah karena adanya internet yang menyebabkan pengguna internet lebih
mudah mencari hadits yang mereka inginkan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian hadist dalam islam.
2. Bagaimana macam-macam hadist dan tingkatannya dalam islam.
3. Bagaimana kriteria hadist maqbul dan mardud dalam islam.
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dari rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Makalah ini untuk mendeskripsikan pengertian hadist dalam islam.
2. Makalah ini untuk mengetahui jenis jenis hadist dalam islam.
3. Makalah ini untuk mengetahui kriteria hadist yang maqbul dan mardud.
1.4. Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah, maka batasan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Makalah ini hanya memberikan penjelasan tentang pengertian hadist dalam islam.
2. Makalah ini hanya memberikan penjelasan macam macam jenis hadist dalam islam.
3. Makalah ini mendeskripsikan kriteria hadist maqbul dan mardud dalam islam.
1.5. Metodologi Penulisan
Metodologi penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah:
1. Internet Searching
Pada penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan mencari langsung dengan
bantuan Internet. Dengan bantuan Internet dapat terhubung langsung dengan informasi
yang terdapat pada situs akses internet. Dengan demikian dapat memudahkan dalam
pengumpulan informasi mengenai makalah.
2. Pustaka Buku
Pada penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan dari referensi dan pustaka
buku.
1.6. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan
masalah, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.
2. BAB II Pembahasan
Bab ini mendeskripsikan pengertian hadist ,serta macam-macam hadist dan tingkatan
hadist, dan kriteria hadis.
3. BAB III Penutup
Bab ini berisi uraian yang menjelaskan tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Hadits
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam
terminologi Islam 1istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah
laku dari Nabi Muhammad SAW2.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah,
maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan, perbuatan, ketetapan maupun persetujuan
dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.
Dalam memahami bagaimana Hadits itu ada, Hadits di bentuk dari 2 elemen yaitu
Sanad dan Matan:
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh
penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga
mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.
Contoh Hadist
Sedangkan Matan ialah redaksi dari hadits atau bisa di bilang isi hadits, dari contoh
sebelumnya maka matan hadits tersebut terletak setelah perkataan yang disebut pada akhir
sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya .
12 https://www.academia.edu/4956966/Fungsi_dan_Pengertian_Hadits
Kemudian rawi, kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang
memberitakan hadis. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang
merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama.
Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika dilihat dari dalam dua hal yaitu:
pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits kemudian
megumpulkanya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi
dapat disebutkan dengan mudawwin, kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya
meyampaikan kepada orang lain, tanpa membukukannya disebut sanad.
II.2 Macam Macam Hadist
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu
hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua,
yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.3
II.2.1 Hadits Yang Diterima (Maqbul)
Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):
1. Hadits Shahih
2. Hadist Hasan
II.2.2 Hadist Shahih
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan
hadits shahih adalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa
definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan
maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.
II.2.3 Syarat-Syarat Hadits Shahih
3https://www.academia.edu/8970024/
Hadits_dari_Segi_Kuantitas_Perawi_dan_Kualitas_Sanad_dan_Matan_
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah
memenuhi kriteria berikut ini:
Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan
menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah
yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang
bertentangan dengan dasar syara’
Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak
daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai
apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari
keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima
langsung dari yang memberi hadits.
Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshahihan suatu hadits)
Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin
daripadanya.
II.2.4 Hadits Hasan
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkan secara istilah,
para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits
Hasan:
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada
nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan. At-Tirmizy dalam Al-Ilal
menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan
diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan
hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba’i dalam kalangan
ulama Kufah dan Atha’ bagi penduduk kalangan Makkah.
Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu
kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta
kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada
terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits
itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan
maknanya.
II.2.5 Klasifikasi Hadits Hasan
Hasan Li Dzatihi
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang
bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan
tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
صالة كل عند بالسواك ألمرتهم أمتي على أشق أن لوال
Artinya : Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk
menggosok gigi(bersiwak) setiap waktu shalat
Hasan Li Ghairihi
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal
dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena
ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andai kata
tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita
menerima mahar berupa sepasang sandal:
فأجاز نعم،: قالت بنعلين؟ ومالك نفسك من أرضيت
“Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?”
Perempuan itu menjawab, “Ya.” Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Tirmizy dari ‘Ashim
bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa ‘Ashim ini dhaif
lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi
hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan
keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-
asanid.
Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan
hukum (Hadits Makbul).
Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat
keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena
kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah
hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
II.2.6 Hadits Mardud (Tertolak)
Setelah kita bicara hadits maqbul(diterima) yang di dalamnya ada hadits shahih dan
hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.
Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya
hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang
memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits,
hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan
landasan aqidah dan syariah.
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang
tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
Penyebab Tertolak
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:
1. Kekurangan pada rawi
Adanya Kekurangan pada perawinya baik tentang keadilan maupun hafalannya,
misalnya karena:
Dusta (hadits maudlu)
Tertuduh dusta (hadits matruk)
Fasik, yaitu banyak salah atau lengah dalam menghafal
Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
Menyalahi riwayat orang kepercayaan
Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
Penganut Bid’ah (hadits mardud)
Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
2. Sanadnya Tidak Bersambung
3. Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena
kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits
Mauquf dan Maqthu’
Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa
menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya
Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah
aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual
beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha’if untuk
menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a’mal, yaitu
untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakuti
pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha’if tidak
bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut
Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan
tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat
periwayatannya lemah.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah
SAW:
“Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu bukan
haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta.” (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa
para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif
untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai
kepada derajat maudhu’ (palsu).
Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak
yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita
memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap
tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan
hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha’if untuk menggambarkan
bahwa suatu amal itu berpahala besar.Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari
dengan hadits yang kuat.
II.2.7 Pembagian Hadits dari segi Kuantitas (Perawinya)
Hadis dari segi kuantitasnya terbagi menjadi dua yaitu :
Hadist Mutawatir
Hadist ahad4
II.2.8 Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.5
Syarat Hadist Mutawatir
1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dan dapat
diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan
bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya
karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang.
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat
berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah
satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan pancaindra,maksudnya berita yang disampaikan para
perawi harus berdasarkan panca indera. Artinya, harus benar-benar dari hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri.
Macam Macam Hadist Mutawatir
1. Hadits Mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna
yang sama, serta kandungan hukum yang sama.
2. Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai
hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan
mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Misalnya hadits tentang
4 http://www.kibar-uk.org/2011/11/14/tingkatan-dan-jenis-hadits/
5 http://www.kibar-uk.org/2011/11/14/tingkatan-dan-jenis-hadits/
mengangkat kedua tangan dalam berdoa. Dalam penelitian As-Suyuthi terdapat
100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tangannya
ketika berdoa dalam beberapa kondisi yang berbeda, seperti dalam shalat istisqo’,
pada saat ada hujan angin ribut, dalam suatu pertempuran, dan lain-lain. Maka
disimpulkan bahwa mengangkat kedua tangan dalam berdoa mutawatir melihat
keseluruhan periwayatan dalam kondisi yang berbeda tersebut.
3. Mutawatir ‘Amali, yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para shahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Misalnya, berita-
berita yang menjelaskan tentang shalat baik waktu dan raka’atnya, shalat jenazah,
zakat, haji, dan lain-lain yang telah menjadi ijma’ para ulama.
II.2.9 Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu”
jadi, karena ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut
istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang
atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits
mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.6
Pembagian hadits ahad ada 3 macam, yaitu hadits, masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a. Hadits Masyhur
Secara bahasa, masyhur diartikan tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam
istilah hadits masyhur terbagi dua macam, yaitu:
1. Masyhur Ishthilahi, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap
tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai
kriteria mutawatir.
2. Masyhur Ghayr Ishthilahi, hadits yang populer pada ungkapan lisan (para
ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif. Artinya hadits yang populer atau
terkenal dikalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah
periwayat dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih.
Contoh hadits yang populer (masyhur) dikalangan ulama fikih saja:
6 http://www.kibar-uk.org/2011/11/14/tingkatan-dan-jenis-hadits/
ال�ل ألى� الل�ه الط�ال�ق� �ب�غ�ض� ال�ح� أArtinya: “Halal yang dimurka Allah adalah talak.” (HR. Al-Hakim)
b. Hadits ‘Aziz
Secara bahasa, ‘aziz diartikan langka, sedikit, dan kuat. Karena sedikit atau
langkanya atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika di datangkan sanad lain.
Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh
tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya
dikalangan shahabat hanya terdapat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya
dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan shahabat
hanya terdapat satu orang saja. Jadi, pada salah satu tingkatan sanad hadits tersebut
didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri
dari dua orang.
c. Hadits Gharib
Secara bahasa, berarti sendirian, terisolir, jauh dari kerabat, perantau asing, dan
sulit dipahami. Dari segi istilah yaitu: “hadits yang bersendiri seorang perawi dimana
saja tingkatan (thabaqah) daripada beberapa tingkatan sanad.”
Hadits gharib terbagi dua, yaitu:
1. Gharib Mutlak, yaitu:
ن�ده ل س� ص�اب�ة� في أ� اك�ان�ت ال�غ�ر� و� م� ه�
ي�ه ه ال�ذي ف ف� ن�د ه�و� ط�ر� ل الس� و�أص�
ابي ح� الص�Hadits yang gharabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad.
Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang shahabat.
2. Gharib Nisbi (Relatif), yaitu:
ن�ده �ث�ن�اء س� اب�ة� في أ اكا�ن�ت ال�غ�ر� م�Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) di tengah sanad.
Kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau
dinisbatkan pada sesuatu tertentu tidak secara mutlak. Ada 3 macam gharabah
nisbi, yaitu:
a. Muqayyad bi ats-tsiqah, yaitu ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada
sifat ke-tsiqah-an seorang atau beberapa orang perawi saja.
b. Muqayyad bi al-balad, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh suatu
penduduk tertentu sedang penduduk yang lain tidak meriwayatkannya.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Hadits merupakan salah satu sumber pengetahuan Islam. Hadist terbagi menjadi dua
macam tingkatan yang pertama dilihat dari segi kualitas(Shahih, Hasan dan Dhaif) dan
kuantitas(Mutawatir dan Ahad). Jika dalam tingkatannya sanad, matan,dan rawi merupakan
unsur pokok yang harus ada dari tiap tiap hadist. Karena dari ketiga unsur
tersebut(sanad,matan,dan rawi) dalam menganalisa hadist sangat diperlukan untuk
mengetahui status dari hadist tersebut apakah dapat diterima dan diterapkan atau justru
dilarang.
1.1. Saran
1. Diharapkan setiap muslim untuk mengetahui macam macam hadis beseta tingkatannya.
2. Setiap muslim disarankan membaca hadis minimal sedikit saja untuk menambah
pengetahuan tentang keislaman.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/allsub/94/sanad-dan-
matan-hadist.html
2. https://www.academia.edu/4956966/Fungsi_dan_Pengertian_Hadits
3. http://adamtets.blogspot.com/2011/01/pengertian-sanad-matan-dan-rawi.html
4. http://www.kibar-uk.org/2011/11/14/tingkatan-dan-jenis-hadits/
5. http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/01/pembagian-hadits-secara-umum-
hadits.html
6. https://www.academia.edu/8970024/
Hadits_dari_Segi_Kuantitas_Perawi_dan_Kualitas_Sanad_dan_Matan_
7. http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/01/pembagian-hadits-menurut-
kuantitasnya.html
Top Related