Makalah Hadist

24
Makalah Pembagian Hadist Aditya Nugroho X MIPA 1 Jalan Solontongan 3 Bandung

description

pembagian hadist

Transcript of Makalah Hadist

Page 1: Makalah Hadist

Makalah Pembagian Hadist

Aditya Nugroho

X MIPA 1

Jalan Solontongan 3 Bandung

Daftar Isi

Page 2: Makalah Hadist

A. Latar Belakang......................................................................................................................2

B. Rumusan Masalah................................................................................................................2

A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi....................................................................3

1. Hadits Mutawatir.........................................................................................................3

2. Hadits Ahad......................................................................................................................6

3. Hadits Ghairu Masyhur.....................................................................................................8

B. Pembagian hadits dari segi Kualitas....................................................................................9

1. Hadits shahih...............................................................................................................10

2. Hadits Hasan...................................................................................................................10

3. Hadits Dhaif....................................................................................................................12

A. Kesimpulan.........................................................................................................................16

B. Saran-saran........................................................................................................................ 16

Page 3: Makalah Hadist

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian

keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang

sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu

hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi

kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata

dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan

saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi

kualitas sanad dan matan.

Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan

membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah

1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi

2. Pembagian hadits dari segi kualitas

Page 4: Makalah Hadist

BAB IIPEMBAHASAN

A.Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas

atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang

mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga

yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan

pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits

ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash

(305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul

(ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan

merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad.

Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.[1]

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadits Mutawatir

Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam

terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan

berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.

Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama

sampai thabaqat yang terakhir.

Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

�ان� مـا و�س� ع�ن� ك �ر� م�ح�س� ب خ�� �ه� أ �لـغ�و�ا ج�مــاع�ة� ب ة� ف�ى ب �ر� �لكـث �غـا ا �ل �ل� م�ب ي �ح� �لع�اد�ة� ت �و�اط�ؤ�ه�م� ا �لكــذ�ب� ع�لـى ت ا

Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh

segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka

sepakat berbohong.[2]

Page 5: Makalah Hadist

Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat

hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak

termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang

shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara

dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya

sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[3]

b. Syarat Hadits Mutawatir

1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini

bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang

jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits

mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar

Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu

merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan

jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.

2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.

Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.

3) Berdasarkan tanggapan pancaindra

Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-

benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu

merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil

istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.[4]

c. Macam-macam mutawatir

Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :

1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang

sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :

و�ل� قـال� س� �ه� الله ر� �ي 6م� ع�ل ل �ذ�ب� م�ن� و�س� � ع�ل�ي6 ك �و6أ �ب �ت �ي 6ار� م�ن� م�ق�ع�د�ه� فـل الن

Page 6: Makalah Hadist

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka

hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan

bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits

yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai

makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu

Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

إال دعائه من شئ فى ابطه بياض رؤي حتى يديه وسلم عليه صلى الله رسول رفع م مسى ابو قال

(ومسلم البخارى رواه )اإلستسقاء فى

Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua

tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan

do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)

3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi

Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in,

dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang

shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah

yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,

maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin

ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir

(termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar

Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus

dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga

dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits

yang diriwayatkannya.

Page 7: Makalah Hadist

Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :

1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.

Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.

2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad

bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[5]

2. Hadits Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara

ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits

ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih

akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.

Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan

mutawatir.[6]

Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.

Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.

A. Hadits Masyhur

Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan

menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

و�اه� �ه� م�ن� مـار� اب �غ� ال ع�د�دS الص6ح� �ل �ب �ر ح�د6 ي و�ات ـ� �ع�د� ت �ه� ب اب �ع�د�ه�م� و�م�ن� الص6ح� ب

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan

mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus

shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.

Seperti hadits ibnu Umar.

�ذ�ا �م� ا اء�ك �لج�م�ع�ه� ج� �غ�س�ل� ا �ي ف�ل

Page 8: Makalah Hadist

“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-

ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang

berbunyi:

� ر� ال � ض�ر� ار� و�ال ضـــر�

“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”

Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits

shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :

� ط�ل�ب� �لع�ل�م �ض�ــهS ا �ل] عـــل�ي ف�ر�ي � ك �م ل �م�ــــه� م�س� ل و�م�س�

“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :

1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah

SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan

Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).

2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain,

dan juga dikalangan orang awam, seperti :

�\ ل�م� �لم�س� �م� م�ن� ا ـــــل �م�و�ن� س� ل �لم�س� �ه� م�ن� ا و�يد�ه� ل�ســــان

3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :

�ه�ي و�ل� ن س� ـــه� الله� ص�ل6ي الله� ر� ـ� �ي 6م� ع�ل ل �ع� ع�ن� و�س� �ي ر� ب �لغ�ر� ا

“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”

4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

�ذ�ا �م� ا اك�م� ح�ك �لح� �م6 ا �ه�د� ث ت ص�اب� اج�� ــأ ان� ف�لـــه� فـ� �ج�ر� �ذ�ا أ ـــم� و�ا ـ� �ه�د� ح�ك ت �م6 ف�اج� � ث ــــط�أ �خ� �ج�رS ف�لـه� أ أ

Page 9: Makalah Hadist

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian

ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran),

dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).

5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

�ت� �ن ا ك �ز� �ن cا ك ف�ي �ت� م�خ� �ب ب ح�� �ن� ف�أ �ع�ر�ف� أ �لخ�ل�ق� ف�خ�لـق�ت� أ �ي ا �ي ف�ب ف�و�ن ع�ر�

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka

kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku

6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag

paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.[7]

3. Hadits Ghairu Masyhur

Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz

menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah

hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua

tingkatan sanad.”

Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat

perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu

thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang

mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang

perawi.”

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz

bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada

tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :

Page 10: Makalah Hadist

� �ؤ�م�ن� ال �م� ي �ح�د�ك 6ي أ ت �و�ن� ح� ك� �ح�ب6 أ �ه� أ �ي �ل د�ه� م�ن� إ ـ� اس� و�و�لــد�ه� و�ال ـ6 �ن� و�النـ �ج�م�ع�ي أ

“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya,

orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi

ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri

dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.

Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam

sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja

penyendirian dalam sanad itu terjadi”.

Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya,

yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau

keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat

dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,

penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.

B. Pembagian hadits dari segi Kualitas

Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang

yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan

taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan

mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh

telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik

terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya

memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita

untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status

hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.

Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya,

menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

Page 11: Makalah Hadist

1. Hadits shahih

Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli

memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :

· Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung

(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith,

sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.

· Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,

diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”

Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya

bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak

syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.

2. Hadits Hasan

a. Pengertian

dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti

“keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara

beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani

dalam An-Nukbah, yaitu :

�ر� ب اد� و�خ� �آلح� �ق�ل� ا �ن �امh ع�د�ل� ب �ط� ت 6ص�ل� الض6ب �د� م�ت ن �ر� الس6 � م�ع�ل6ل� غ�ي اذk و�ال �ح� ه�و� ش� ي �ه� الص6ح� �ذ�ات �ط� خ�ف6 ف�اء�ن�. ل الض�ب

ن� �ه� ف�ل�ح�س� �ذ�ات ل

khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung

sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit

kedhabitannya disebut hasan Lidztih.

Dengan kata lain hadits hasan adalah :

6ص�ل� م�ا ه�و� �د�ه� ات ن �ق�ل� س� �ن �لع�د�ل� ب oذ�ي ا �ط�ه� ق�ل6 ال 6 ض�ب ذ�و�ذ� م�ن� و�خ�ال h6ه� الش �لع�ل و�ا

Page 12: Makalah Hadist

Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,

kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.

Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada

sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm

(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding

dengan hadits shahih.[8]

b. Contoh hadits Hasan

hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin

Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi

SAW bersabda :

�ع�م�ار� �ي أ �م6ت �ن� م�ا ا �ي �ن� ب ]ي ت �لي� الس] �ن� ا �ع�ي ب hه�م� الس6 ق�ل� �ج�و�ز� م�ن� و�أ ذ�ال�ك� ي

“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.

c. Macam-macam Hadits Hasan

Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi

menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.

Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala

criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi

penjelasan diatas.

Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

�ث� ه�و� �لح�د�ي �ف� ا �ذ�ا الض6ع�ي و�ي� ا �ق� م�ن� ر� ي ط�ر�ي �خ�ر� �ه� أ �ل و� م�ث� �ق�و�ي أ �ه� أ م�ن

“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.

�ف� ه�و� �ذ�ا الض6ع�ي �ع�د6د�ت� ا ق�ه� ت �ن� و�لـم� ط�ر� �ك �ب� ي ب او�ي ف�س�ق� ض�ع�ف�ه� س� �ه� الر6 �ذ�ب و�ك� أ

Page 13: Makalah Hadist

“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik

atau dustanya perawi.

Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih

dengan dua syarat yaitu :

1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.

2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti

hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas

perawi.

d. Kehujjahan hadits Hasan

Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua

fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan

orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan

sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)

memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

3. Hadits Dhaif

Pengertian

Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan

dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan

matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah

hadits dhaif adalah :

�م� م�ا ه�و� �ج�م�ع� ل �ح�س�ن� ص�ف�ه� ي �ف�ق�د� ال ط� ب ر� و�ط�ه� م�ن� ش� ر� ش�

Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat

yang tidak terpenuhi.

Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

Page 14: Makalah Hadist

�م� م�ا ه�و� �ج�م�ع� ل �ح� ص�ف�ه� ي ي ن� الص6ح� �لح�س� و�ا

Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan

hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya

tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan

terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[9]

contoh hadits dhaif

hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah

Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

�ي و�م�ن� �ت �ض�ا أ ائ �ه� ح� أ و�ام�ر�� �ر� م�ن� أ و� د�ب

� �ا أ �اه�ن �ف�ر� ف�ق�د� ك �م�ا ك �ز�ل� ب �ن م�ح�م6د� ع�ل�ي ا

barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan

belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif

oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : ه�� ف�ي

Sن[ �ي .padanya lemah ل

Hukum periwayatan hadits dhaif

Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif

terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang

kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka

para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan

kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah

2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,

berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan

janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Page 15: Makalah Hadist

Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan

bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah,

tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya

و�ي� : �ق�ل� ,diriwayatkan ر� �م�ا ,dipindahkan ن و�ي� ف�ي �ر� ي pada sesuatu yang diriwayatkan

dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

Pengamalan hadits dhaif

Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi

menjadi 3 pendapat, yaitu :

1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail

al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari

Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-

Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.

2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam

masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat

bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.

3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji

yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa

persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :

· Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau

dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan

berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).

· Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam

(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang

membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul

dibandingkan oposisinya).

· Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati

semata atau ikhtiyath.

Tingkatan hadits dhaif

Page 16: Makalah Hadist

Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif

atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat

diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang

terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.[10]

Page 17: Makalah Hadist

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu

hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian

yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua

macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi

dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.

Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam

yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu

hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah

hadits yang dahif.

B. Saran-saran

Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian

hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke

ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu

hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk

golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

Page 18: Makalah Hadist

Daftar PustakaM. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.

M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.