Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis...

43
HARALD MOTZKI: OTENTIFIKASI HADIST DAN SANGGAHAN ATAS SKEPTISISME PARA ORENTALIS HADIS A. PENDAHULUAN Al-Qur'an dan Hadis dalam tradisi Islam dikenal sebagai dua teks yang fundamental. Hadis sendiri merupakan teks fundamental kedua atau fondasi, tradisi profetik (al-sunnah), dan sabda-sabda Nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi orang-orang yang beriman dan bukan sebagai instrumen kehendak Ilahi. Hadis yang salah satu fungsinya sebagai penjelas terhadap ayat- ayat al-Qur'an, sebagai sumber hujjah kedua dalam Islam jelas merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab, di dalamnya terungkap berbagai tradisi yang berkembang pada masa Nabi Muhammad saw. Tradisi-tradisi yang hidup pada masa kenabian itu merujuk pada diri pribadi Rasulullah saw. yang di dalamnya sarat akan beragam ajaran Islam, karenanya keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang hingga sekarang seiring dengan kebutuhan umat manusia. Adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga umat Islam dalam konteks kekinian dapat memahami, merekam dan melaksanakan tuntunan ajaran Islam sesuai dengan apa yang telah diteladankan Nabi Muhammad saw. 1

description

hadis

Transcript of Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis...

Page 1: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

HARALD MOTZKI: OTENTIFIKASI HADIST DAN SANGGAHAN ATAS

SKEPTISISME PARA ORENTALIS HADIS

A. PENDAHULUAN

Al-Qur'an dan Hadis dalam tradisi Islam dikenal sebagai dua teks yang

fundamental. Hadis sendiri merupakan teks fundamental kedua atau fondasi,

tradisi profetik (al-sunnah), dan sabda-sabda Nabi dalam perannya sebagai

pembimbing bagi orang-orang yang beriman dan bukan sebagai instrumen

kehendak Ilahi. Hadis yang salah satu fungsinya sebagai penjelas terhadap ayat-

ayat al-Qur'an, sebagai sumber hujjah kedua dalam Islam jelas merupakan sesuatu

yang sangat penting. Sebab, di dalamnya terungkap berbagai tradisi yang

berkembang pada masa Nabi Muhammad saw.

Tradisi-tradisi yang hidup pada masa kenabian itu merujuk pada diri

pribadi Rasulullah saw. yang di dalamnya sarat akan beragam ajaran Islam,

karenanya keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang hingga sekarang

seiring dengan kebutuhan umat manusia. Adanya keberlanjutan tradisi itulah

sehingga umat Islam dalam konteks kekinian dapat memahami, merekam dan

melaksanakan tuntunan ajaran Islam sesuai dengan apa yang telah diteladankan

Nabi Muhammad saw.

Mengingat pentingnya fungsi hadis, maka kajian atas hadis semakin

meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis

telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif dan hati-hati demi

menjaga keotentikan dan keaslian hadis itu sendiri.

Menurut Kamaruddin Amin, wacana mengenai otentisitas, validitas dan

reliabilitas metodologi otentifikasi hadis adalah hal yang paling fundamental

dalam kajian hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai

sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan

resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas

keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis.

1

Page 2: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil

yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan-kemungkinan

verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi

collapse(Roboh).1

Keraguan juga datang dari kalangan orientalis mengenai otentisitas hadis.

Epistemologi kaum orientalis dengan ciri skeptis atau keragu-raguan

(kesangsian)-nya mencoba menanyakan ulang apakah sesungguhnya hadis itu?

Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal nabi, tingkah laku nabi atau persepsi

masyarakat Islam tentang nabi? Apakah buku hadis yang kita warisi dari abad

ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim, merupakan refleksi sunnah nabi?

Mazhab skeptis ini diwakili oleh Joseph Schacht (Austria) dan Ignaz Goldziher

(Honggaria).

Meskipun demikian, pada dekade terahir mazhab skeptis yang telah mapan

di Barat tidak lagi menjadi satunya-satunya trend yang mendominasi diskursus

studi Islam di Barat. Mazhab non-skeptis yang dikomandani oleh sejumlah

Orientalis sekaliber Harald Motzki, Fuec, Scheoler, dan lain-lain turut

meramaikan diskursus masa awal Islam.

B. BIOGRAFI HARALD MOTZKI

Berbagai upaya penulis tempuh untuk menggali lebih dalam sosok Harald

Motzki, mulai dari referensi literer yang berupa majalah, buku bahkan dunia

maya, namun tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Beberapa sumber yang

bisa dicapai penulis adalah sebagai berikut: Dia dikenal sebagai sosok sarjana

studi Islam yang concern terhadap materi hadist dan berbagai keilmuan

penyangganya, dan berupaya untuk mengkritisinya dengan objektif. Dan ia adalah

seorang orientalis yang menjadi Guru Besar sekaligus Profesor di Institut Bahasa

dan Budaya dari Timur Tengah, Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah

sosok yang dikenal para pemerhati orientalisme sebagai sosok yang banyak

mengkaji hadits sejarah yang berhubungan dengan sīrah, metode pencermatan

1 Kamaruddin Amin, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), hlm. 23.

2

Page 3: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Motzki terhadap hadits lebih didominasi penelitiannya terhadap sisi sejarah hadits

itu sendiri.2

C. KRONOLOGIS KAJIAN ORIENTALIS SEPUTAR HADITS

Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke- 19

M., yaitu pada tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam

cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Pertanyaan tentang autentisitas,

originalitas, authorship, asal muasal, keakuratan serta kebenaran hadis muncul,

dan menjadi isu pokok dalam studi Islam, khususnya yang menyangkut hukum

Islam. Pertanyaan ini muncul dari sarjana Barat dan juga sarjana Muslim. Abu

Rayyah, misalnya berpendapat bahwa hadis Nabi telah rusak atau dengan kata lain

hadis Nabi telah telah hilang karena riwayah bi al-ma’na (periwayatan secara

makna, bukan lafal).3

Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa orang yang pertama kali

mempersoalkan status hadits dalam Islam adalah Alois Sprenger. Hal tersebut

didasarkan kepada ungkapan beliau dalam pendahuluan bukunya yang berjudul

“Die Sunna’ Das Leben und die Lehre des Mohammad” ia telah mengklaim bahwa

hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Ia juga

menyatakan keragu-raguannya terhadap keakuratan hadis sebagai sumber sejarah.

Klaimnya terebut juga diikuti oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis

asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad saw. dan sejarah

perkembangan Islam. 4

Menurut Muir sebagaimana dalam kutipan Syamsuddin Arif, dalam

literatur hadits, nama Nabi Muhammad saw. sengaja dicatat untuk menutupi

bermacam-macam kebohongan dan keganjilan, atau dengan kata lain bahwa para

periwayat hadis telah menyalah gunakan nama Nabi Muhammad untuk

mendukung semua kebohongan yang memungkinkan dan kemustahilan, Oleh

sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam 2 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 175. 3 Mahmud Abu Rayyah, Adhwa ‘ala As-Sunnah Al-Muhammadyyah, (Kairo, t.tp., 1958).

hlm, 55.4 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008),

hlm. 28.

3

Page 4: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Bukhori, paling tidak separuhnya harus ditolak, dan seorang kritikus Eropa wajib

dengan tanpa ragu-ragu untuk menolak hadis minimal satu setengah dari hadis

tersebut karena isnadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan dari

sudut isi matannya, maka hadits turun pada manfaat sendiri.5

Kemudian selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher, yakni

Yahudi kelahiran Hungaria yang sempat "nyantri" di Universitas al-Azhar Kairo,

Mesir, selama kurang lebih setahun (1 873- 1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh

rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti

tentang lslam, meskipun dan justru karena tulisan- tulisannya mengenai Islam

sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan lebih menyesatkan dibandingkan

dengan para pendahulunya.6

Adapun komentar Ignaz Goldziher terhadap hadis adalah bahwa beliau

menyatakan dari sekian banyak hadits yang ada, sebagian besarnya tidak dapat

dijamin keasliannya alias palsu dan karena itu, hadis tersebut tidak dapat dijadikan

sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher, hadits lebih

merupakan refleksi interaksi dan konflik berbagai aliran dan kecenderungan yang

muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya,

ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Lebih tegasnya

lagi menurut belua hadits-hadis yang dibukukan pada abad ke-2 adalah produk

buatan masyarakat Islam pada beberapa abad setelah Nabi Muhammad saw.

wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau. Namun pendapat ini kemudian

telah disanggah oleh sejumlah ilmuwan hadis seperti Syaikh Musthafi As-Sibi'i,

Muhammad Abi shuhbah dan 'Abd al-Ghani 'Abd al-Khaliq. 7

Sementara para rekan-rekan Ignaz Goldziher dari kalangan misionaris

sepakat dengan pendapat Goldziher tersebut. Misalnya Dalam kutipan

Syamsuddin Arif, David Samuel Margoliouth telah turut meragukan otentisitas

hadis. Alasannya adalah karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadits

telah dicatat sejak zaman Nabi saw. dan terbukti lemahnya ingatan para perawi

5 Ibid., hlm. 29.6 Ibid., hm. 30.7 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 30

4

Page 5: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

hadis. Masalah ini kemudian disetujui dan dijelaskan oleh Muhammad 'Ajjaj al-

Khathib. Sementara Henri Lammens (misionaris Belgia) dan Leone Caetani

(misionaris Italia) menganggap isnad muncul jauh setelah matan hadits ada dan

merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam, dan Josef

Horovitz sendiri berspekulasi bahwa sistem periwayatan hadits secara berantai

(isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama Hijriyah.

Disamping itu, orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan bahwa besar

kemungkinan praktik isnad berasal dari tradisi oral atau dipengaruhi oleh tradisi

oral sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi. Spekulasi Horovitz ini

belakangan digaungkan kembali oleh Gregor Schoeler.8

Gugatan orientalis yang mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti

tercatat yang dapat memastikan otentisitas hadits itu kemudian memicu sejumlah

pakar hadis untuk melakukan penelitian intensif perihal sejarah literatur hadis

guna mematahkan argumen orientalis yang mengatakan bahwa hadis baru dicatat

pada abad kedua dan ketiga hijriyah. Antara lain profesor Muhammad Hamdullah,

Fuat Sezgin, Nabia Abbot, dan Muhammad Mustafa Al-A’zami, dalam karyanya

masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti kongkrit

yang menunjukkan bahwa pencatatan dan penulisan hadis sudah dimulai semenjak

kurun pertama hijriyah sejak Nabi saw. masih hidup. Namun walaupun demikian,

bukti-bukti ini tetap saja diabaikan oleh para orientalis dan bahkan ada yang

menolaknya mentah-mentah.9

Spekulasi Goldziher dan rekan-rekannya tersebut kemudian dikembangkan

lagi oleh Joseph Schacht, yakni seorang orientalis Jerman yang juga keturunan

Yahudi. Dalam bukunya yang cukup kontroversial, Schacht menyatakan bahwa

tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi saw., dan kalaupun ada dan bisa

dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit. Sefakat dengan pernyataan

Goldziher, ia mengklaim bahwa hadits baru muncul pada abad kedua hijriyah dan

baru beredar luas setelah zaman Imam Syafi’i (w. 204 H/820 M), yakni pada abad

8 Ibid., hlm. 31-32.9 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 31.

5

Page 6: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

ketiga hijriyah10. Lebih jauh Schacht juga mengungkapkan bahwa hadits-hadits

yang terdapat dalam al-kutub as-sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya.

Sebab menurut beliau, sistem periwayatan berantai, yakni isnad hanyalah

merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktikkan pada abad

kedua hijriyah.11

Semua pernyataan Schacht ini telah dibantah oleh prof. Muhammad Abu

Zahrah dalam bukunya berjudul “An analytical Study of Dr. Schacht’s Illusions”,

Profesor Zafar Ishaq Ansari dalam bukunya berjudul”The Authenticity of

Traditions – A Critique of Joseph Schacht’s Argument e Silentio”, dan Profdesor

Muhammad Mustafa al-A’zami dalam bukunya yang berjudul ”On Schacht’s

Origins of Muhammadan Jurisprudence”. Sementara di kalangan orientalis

sendiri, teori-teori Schacht menimbulkan reaksi pro dan kontra. Adapun golongan

yang pro atau mendukung teori Schacht adalah Brunschvig, Crone, Powers dan

Calder. Sedangkan para orientalis yang kontra ataupun memberikan kritik atas

asumsi dan kesimpulan-kesimpulannya adalah Coulson, Cook, Motzki, dan

Rubin.12

Sebagaimana telah disinggung di atas, gugatan Schacht terhadap hadis

berkisar pada masalah isnad dan persoalan umur atau penanggalannya. Di

samping sepakat dengan Schacht bahwa hampir tidak ada hadits yang otentik,

Patricia Crone menambahkan bahwa penanggalan atau penentuan kapan persisnya

suatu hadits muncul bukanlah perkara yang mudah. Artinya, bukan hanya

kebanyakan hadits adalah palsu, bahkan asal-usulnya pun nyaris mustahil untuk

diketahui, jika mengandalkan sumber-sumber sejarah Islam itu sendiri.

Karena itu, setelah mempertanyakan dan mengkritik validitas metodologi

Schacht dan Joseph van Ess dalam mengukur usia suatu hadits,13 Michael Cook

menyimpulkan bahwa ”the traditions have to be dated on external criteria, above

all from termini derived from the documents”. Di sisi lain yang sangat

10 Ibid.11 Ibid., hlm. 32.12 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran..., hlm. 3113 Ibid.,hlm. 30

6

Page 7: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

mengherankan adalah bahwa Cook enggan menerima data-data historis yang telah

ditemukan, dikumpulkan, dan dikemukakan oleh Hamidullah, Abbot, dan Sezgin

sebagaimana tersebut di atas.

Meskipun teori dan metode Schacht telah banyak mendapatkan kritikan

dan sanggahan, namun teori tersebut tetap diadopsi dan dikembangkan oleh

Gauthier Juynboll. Menurut Juynbll, hadits-hadis yang dimuat dalam kitab Shahih

Bukhori atau Sahih Muslim sekalipun belum tentu berarti hadits itu otentik dan

punya landasan sejarah yang pasti, karena metode kritik hadis yang digunakan sarjana

Muslim memiliki banyak kelemahan dan belum mampu untuk membuktikan kemurnian

dan keaslian sebuah hadis. Atas dasar itu, Juynboll menawarkan metode kritik hadis

common link sebagai ganti dari metode kritik hadits para sarjana Muslim. Metode

common link ternyata tidak hanya bermaksud untuk merevisi metode kritik konvensional

para ahli hadis, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi

metode itu. Sebagaimana diketahui metode kritik hadits konvensional berpijak pada

kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya berpijak pada kualitas

periwayat namun berpijak pula pada kuantitas periwayatnya.14

D. METODE SARJANA NON-MUSLIM DALAM MENGANALISIS

KEASLIAN DAN KEMURNIAN HADIS

Untuk menilai historisitas sebuah hadis, sarjana non-Muslim menggunakan

metode ‘’penanggalan’’ (dating) yang mereka kembangkan sendiri. Setidaknya

terdapat empat metode penanggalan yang telah digunakan dalam kesarjanaan

hadis non–Muslim, yaitu sebagai berikut:

1. Penanagalam atas dasar analisis matan oleh Ignaz Goldziher dan Marston

Speight

2. Penanggalan atas dasar analisis sanad, secara khusus dikembangkan oleh

Joseph Schacht dan G.H.A.Juynboll

3. Penanggalan atas dasar kitab-kitab koleksi hadis, dipraktekkan oleh

Schacht dan Juynboll

14 Ali masrur, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007), hlm. 112-113.

7

Page 8: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

4. Penanggalan atas dasar analisis sanad dan matan, yang ditawarkan Harald

Motzki dan G.Schoeler.15

Dari beberapa bentuk penanggalan tersebut, pemakalah memahami bahwa

penanggalan atas dasar analisis sanad dan matn lebih mendekati sifat objektif,

karena dengan bentuk penanggalan tersebut maka seorang peneliti akan dituntut

untuk melakukan penelusuran dan pengkajian lebih mendalam terhadap berbagai

aspek sejarah periwayatan hadis tersebut. Dengan demikian, maka kekeliruan

dalam mengambil keputusan dapat ditepis atau diminimalisir.

E. TEORI-TEORI HARALD MOTZKI DALAM MENGANALISIS

HADIS

Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap

interpretasi Juynboll yang menilai Common Link (CL) sebagai pemalsu hadis.

Karena menurut Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan

sebagai pemalsu hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang

menunjukkan beliau sebagai pemalsu hadis. Oleh karena itu menurut Motzi

Common Link tersebut lebih relevan dikatakan sebagai penghimpun hadis yang

pertama, yang berperan sebagai perekam dan meriwayatkannya ke dalam kelas-

kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar yang terlembaga

dan berkembang.16

Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu jalur riwayat hadis

saja maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka

terima saja, dan tidak menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi

riwayat yang lain. sementara alasan yang kedua adalah bahwa Common Link

hanya mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur yang dianggapnya paling

terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa mungkin Common Link

menambah informan yang paling cocok apabila mereka lua informan yang

sebenarnya.17

15 Kamarudin Amin, Metode Kritik hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 85.16 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176.17 Ibid.

8

Page 9: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori

Harald Motzki tentang jalur tunggal (Singgle Strand), yaitu sebagai berikut:

1. Jalur tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan

2. Jalur tunggal berarti bahwa Common Link ketika meriwayatkan hadis dari

koleksinya hanya menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling

diketahui dan dinilai paling otoritatif.

3. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang

karena Common Link tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau

karena versi tersebut tidak diketahui di masa dan tempat Common Link.18

Teori-teori Motzki di atas kemudian mendapat tanggapan dan respon yang

beragam, baik yang menolak maupun mendukung. Adapun diantara orang yang

menolak teori Motzki tersebut adalah Irene Schneider, karena menurutnya

mustahil pesan nabi yang orisinal telah diriwayatkan oleh Common Link sejak

awal, sebab praktik semacam itu tidak ditemukan pada masa awal-awal Islam.

Oleh karena itu, Irene Schneider berpendapat bahwa Motzki telah gagal mengakui

bahwa Common Link telah memalsukan hadis bersama satu atau beberapa jalur

riwayat.19

Sedangkan tokoh yang mendukung teori Harald Motzki adalah Gregor

Schoeler. Menurut Gregor Schoeler Common Link tidak harus dipahami sebagai

pemalsu hadis. Hal tersebut dapat dibuktikan pada hadis tentang al-ifk, yang

memiliki Common link al-Zuhri (w.124) dan benar-benar informannya (gurunya)

adalah ‘Urwah ibn al-Zubair (w.94) dan dia tidak memalsukan hadis.

Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

�ا �ن و ح�د�ث �ب �يع� أ ب �م�ان الر� �ي ل �ن س ف�ه�م�ن�ي د�اود� ب� �ع�ض�ه و�أ �ح�م�د ب �ا أ �ن �ح ح�د�ث �ي فل

�ن �م�ان� ب �ي ل �ن� ع�ن� س ه�اب" اب ه�ر�ي% ش� و�ة� ع�ن� الز) �ن� عر� �ر� ب �ي ب ع�يد� الز) �ن� و�س� ب

�ب� ي �مس� �ق�م�ة� ال �ن� و�ع�ل �ي% و�ق�اص" ب �ث �ي �د� الل �ي �ه� و�عب �ن� الل �د� ب �ه� ع�ب �ن� الل �ة� ب �ب عت

ة� ع�ن� �ش� ض�ي� ع�ائ �ه ر� �ه�ا الل و�ج� ع�ن �ي% ز� �ب �ه ص�ل�ى الن �ه� الل �ي �م� ع�ل ل ح�ين� و�س�

18 Ibid.19 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.

9

Page 10: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

�ه�ا ق�ال� �ه�ل ل �ف�ك� أ وا م�ا اإل� �ه�ا ق�ال أ �ر� �ه ف�ب �ه الل ه�ر�ي) ق�ال� م�ن )هم� الز) ل و�ك

�ن�ي �ف�ةC ح�د�ث �ه�ا م�ن� ط�ائ �ع�ضهم� ح�د�يث و�ع�ى و�ب� �ع�ض" م�ن� أ �ت ب �ب �ث �ه و�أ ل

�ص�اصCا �ت و�ق�د� اق�ت ل% ع�ن� و�ع�ي �هم� و�اح�د" ك �ح�د�يث� م�ن �ذ�ي ال �ن�ي ال ع�ن� ح�د�ث

ة� �ش� �ع�ض ع�ائ �ه�م� و�ب ص�د%ق ح�د�يث �ع�ضCا ي ع�موا ب �ن� ز� ة� أ �ش� �ت� ع�ائ �ان� ق�ال ك

ول س �ه� ر� �ه ص�ل�ى الل �ه� الل �ي �م� ع�ل ل �ذ�ا و�س� اد� إ ر�� �ن� أ ج� أ �خ�ر ا ي Cف�ر ع� س� �ق�ر� �ن� أ �ي ب

و�اج�ه� �ز� هن� أ �ت ي� ج� ف�أ ه�مه�ا خ�ر� ج� س� �ه�ا خ�ر� ع� م�ع�ه ب �ق�ر� �ا ف�أ �ن �ن �ي اة" ف�ي ب غ�ز�

اه�ا ... غ�ز�

Berdasarkan aplikasi Mausu’ah al-hadits as-syarif maka dapat diketahi

jalur periwayatannya adalah sebagai berikut:

F. METODE PENELITIAN HARALD MOTZKI

Harald Motzki tidak secara eksplisit menyebutkan langkah-langkah

penelitian yang sistematis ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-

Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada, penyusun mencoba

menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah sistematis yang

ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:

10

Page 11: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

1. Meletakkan dating, yakni menentukan asal-muasal dan umur terhadap

sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah.

Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber

sejarah terbukti tidak valid di kemudian hari, maka seluruh premis teori

dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi

colleps (roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam

merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic

Jurisprudence.

2. Tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat

dalam sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia

menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa bagian yang

diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari penentuan

sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel

ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan

kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan

demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.

3. Setelah data terkumpul, kemudian Motzki menganalisis sanad dan matn

dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan

traditional-historical, yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik

sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara

sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi

para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada

topik tertentu.

Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan

menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur

periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-

materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya

adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.

11

Page 12: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

4. Terkait dengan materi periwayatan (matn) hadis, Motzki mengajukan teori

external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa

periwayatan.

5. Penyusunan atau dsebut sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari

metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap

riwayat yang terdapat dalam kitab Musannaf.

Penggunaan Moztki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal

muasal terhadap sumber sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa

kitab Musannaf karya Abd ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cum analisis

dengan pendekatan traditional-historical merupakan penelitian yang dapat

dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini berbeda jauh dengan analisis

historisnya Schacht yang didasarkan atas keragu-raguan dalam menginterpretasi

terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam projecting back

(penyandaran ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya). Meskipun demikian,

jika dicermati lebih mendalam teori yang dibangun oleh Motzki sebenarnya sudah

ada dalam kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal teorinya tentang traditional-

historical dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-hadis dan teorinya tentang

external criteria dan argument internal formal criteria of authenticity dalam

periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-tahammul wa al-‘ada al-

hadis.

Dalam memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran

Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya:

Revolution in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A

Semiotic Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979). Ia memperkenalkan

istilah ‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks.

Menurutnya, relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara

‘bentuk’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified)

sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. 20

20 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1,.... hlm. 12.

12

Page 13: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu.

Sebuah teks dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada

relasi-relasi antara satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara

satu teks dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu. Hal inilah yang

terlupakan dari kajian Motzki, di mana ia terlalu “asyik” dengan kajian teks dalam

Mus}annaf dan jarang sekali ia melakukan interpretasi sejarah di luar teks.

Pemberian porsi yang sebanding antara keduanya dengan mensintesakan secara

kreatif antara teori Schacht dengan teori Motzki dapat dijadikan sebagai salah satu

solusi untuk mengatasi kelemahan ini, agar pemahaman terhadap teks (al-Qur'an

dan hadis) tidak tercerabut dari konteks kesejarahannya.

G. HASIL PENELITIAN HARALD MOTZKI TERHADAP KITAB AL-

MUSANNAF KARYA ABDURRAZZAQ AS-SAN’ANI

Motzki dalam penelitiannya menemukan tiga sumber dominan yang sering

dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis, mereka

adalah Ma’mar, Ibn Jurayj, dan Sufyan As-Sauri. Guna membuktikan masalah ini,

Motzki meneliti empat tokoh sebagai sumber otoritas utama dari Abd ar-Razzaq,

yakni Ma’mar di mana ar-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar 32%, Ibnu

Jurayj 29%, As-Sauri 22%, dan Ibn Uyainah 4%. Sisanya adalah sekitar 13%

yang berasal dari 90% tokoh yang berbeda dan kurang dari 1% tokoh yang berasal

dari abad ke-2 H seperti Abu Hanifah 0,7%, dan Imam Malik sebesar 0,6%. 21

Dari pemilahan tersebut, menurut Motzki setiap koleksi memiliki

karakteristik tersendiri, dan hampir mustahil seorang pemalsu dapat memberikan

sumber yang begitu bervariasi, apalagi jika penelitian ini difokuskan pada asal

perawi dan karakter teks yang diriwayatkan. Guna mendukung pandangannya

bahwa ar-Razzaq bukan seorang pemalsu, maka Motzki mengutip biografinya

khususnya terkait dengan guru-gurunya ar-Razzaq. Lebih lanjut, Motzki

mengklasifikasikan riwayat yang terdapat dalam Musannaf Abd ar-Razzaq

sebagai berikut:

21 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1 di download dari http://www.scribd.co m , pada tanggal 2 Nopember 2011.

13

Page 14: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

1. Ma’mar (w. 153 H) 32% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya

adalah Ibn Syihab az-Zuhri 28%, Qatadah bin Diama 25%, Ayyub bin Abi

Tamima 11%, orang tanpa nama (anynamous) 6%, Ibn Tawus 5%,

Ma’mar 1%, 77 orang 24% jumlah total 100%.

2. Ibn Jurayj (w. 150 H) 29% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya

adalah ‘Ata’ ibn Rabah 39%, orang tanpa nama (anynamous) 8%, Amr bin

Dinar 7%, Ibn Syihab az-Zuhri 6%, Ibn Tawus 5%, Ibn Jurayj 1%, 103

orang 34%, jumlah total 100%.

3. Sufyan as-Sauri (w. 161 H) 22%. Profil teks yang yang berasal darinya

mencakup pendapat hukum as-Sauri sendiri yang lebih dominan, yakni

Sufyan as-Sauri 19%, Mansur bin al-Mu’tamir 7%, Jabir bin Yazid 6%,

orang tanpa nama (anynamous) 3%, 161 informan 65%, jumlah total

100%.

4. Ibn ‘Uyayna 4% sumber hadis riwayatnya adalah Amr bin Dinar 23%, Ibn

Abi Najih 9%, yahya bin Said al-anshari 8%, Ismail bin Abi Khalid 6%,

orang tanpa nama (anynamous) 4%, 37 orang 50%, jumlah total 100%.

5. 90 orang 13% jumlah keseluruhan dari poin a hingga point e adalah

100%.22

Berdasarkan data ini Moztki menyatakan “bahwa profil masing-masing

periwayat hadis tersebut menunjukkan bahwa keempat koleksi teks tersebut

memiliki karakteristik tersendiri. Kekhasan masing-masing struktur

mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan (forge) dalam

menyusun materi, karena jika demikin tentu dalam teks hadis tersebut akan

ditemukan perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail

dan mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks

dan asal muasal sumber informasi, maka akan semakin signifkan perbedaan-

perbedaan yang dijumpai.23

22 ? Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1, hlm. 5.

23 Ibid.

14

Page 15: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Selanjutnya, Motzki berkesimpulan bahwa materi-materi hadis yang

disandarkan kepada Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah

otentik (murni). Gaya penyajian materi ar-Razzaq yang kerap kali

mengekspresikan keraguanya atas sumber yang pasti terhadap sebuah hadis

menunjukan sikapnya yang terbuka dan jujur. Hal ini menjadi ta’kid

keotentikannya. Sebab, tidak mungkin seorang pemalsu akan menunjukkan sikap

seperti itu yang hanya akan melemahkan riwayat yang disampaikannya.

Motzki kemudian menganalisa lebih jauh mengenai hubungan guru antara

Ar-Razzaq dengan perawi di atasnya yakni Ibn Jurayj. Distribusi otoritas yang

tidak seimbang dan keinginan Jurayj menyampaikan pendapatnya sendiri merujuk

otoritas yang lebih awal, menunjukkan bahwa ia bukan pemalsu. Hal ini didukung

oleh pengujian sumber Jurayj meliputi: perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu

didistribusikan secara tidak seimbang); perbedan pengunaan riwayat guru-murid,

anak-bapak, maula-patron, perbedaan proporsi hadis dari nabi, sahabat, dan

tabi’in; perbedaan penggunaan isnad dan perbedaan terminologi periwayatan

(misal, penggunaan istilah ‘an atau sami’tu). 24

Lebih lanjut, Motzki memfokuskan dari sumber yang sering diikuti Jurayj,

yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External Criteria dan argument

internal formal criteria of Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang

dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang

dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’. Sementara External Criteria dibagi menjadi dua,

yakni pertama, Magnitude (banyak sanad dan penyebarannya).

Dalam konteks ini, proporsi sumber Jurayj pada klasifikasi Motzki di atas

betentangan dengan asumsi bahwa ia adalah pemalsu. Sebab ia memilih cara yang

sangat complicated dengan menyandarkan materi hukumnya kepada sumber yang

ia sebutkan. Jika ia pemalsu, tentunya ia akan memilih satu atau beberapa

informan saja dari fuqaha’ atau perawi terkenal.25

24 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies......, hlm. 5.25 ? Ibid.

15

Page 16: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Dilihat dari frekwensi gaya pertanyaan (direct, indirect, anonymous, and

not- anonymous), menunjukkan jika Jurayj tidak melakukan projection back atau

telah mengatribusikan pendapatnya kepada generasi sebelumnya. Dengan bahasa

sederhana, analisis Motzki atas gaya penyajian materi ‘Ata’ oleh Jurayj

menunjukkan implausibility asumsi bahwa ia telah melakukan pemalsuan.

Sementara dilihat dari kualitas dan kuantitas responsa ‘Ata’ atas pertanyaan Jurayj

menunjukkan keduanya terdapat korelasi historis yang panjang. 26

Motzki juga menggunakan teori argument internal formal criteria of

authenticity yang menunjukkan keotentikan materi Jurayj dengan ‘Ata’. Ia

kemudian menginventarisir enam hal yang ia kategorikan sebagai internal formal

criteria of authenticity. Yaitu sebagai berikut:27

1. Jurayj tidak hanya menyajikan pendapat hukum dari generasi sebelumnya,

namun juga menyajikan pendapat hukumnya sendiri.

2. Jurayj tidak hanya menyajikan materi dari ‘Ata’, melainkan juga

memberikan tafsir, komentar, dan bahkan kritik terhadap materi tersebut.

Motzki membayangkan tidak rasional Jurayj membuat teks sendiri,

kemudian menyandarkannya secara palsu kepada ‘Ata’, dan pada saat

bersamaan ia memberi komentar dan kritik.

3. Jurayj terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya atas maksud dan

perkataan ‘Ata’. Keraguan Jurayj dinilai Motzki sebagai sesuatu yang

positif, yakni sebagai bukti kejujurannya dalam memproduksi ajaran dari

gurunya.

4. Jurayj terkadang meriwayatkan materi ‘Ata’ dari orang lain.

5. Jurayj menyajikan materi secara tepat dan verbatim.

6. Jurayj terkadang menunjukan kelemahan sumber informasinya. 28

26 Ibid.27 ? Ibid.

28 Harald Motzki, The Musannaf of ar-Razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, ....., hlm. 6.

16

Page 17: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Berangkat dari dua External Criteria dan enam point argument internal

formal criteria of Authenticity di atas, Motzki kemudian membuat kesimpulan

berikut:

1. Materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ yang diabadikan dalam Musannaf Abd ar-

Razzaq adalah benar-benar sumber otentik.

2. Sumber tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable source untuk

fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.29

Kemudian setelah Motzki melanjutkan penelitian dan analisanya mengenai

sejauh mana ‘Ata’ menerima materinya. Motzki pun mengambil kesimpulan

bahwa hirarki sumber otoritas ‘Ata’ adalah Sahabat nabi 15%, al-Qur'an 10%,

anynamous traditions 3%, dan okoh yang semasa dengannya 1,5%. Hassil

penelitian Motzki tersebut juga menunjukkan bahwa Ibn ‘Abas adalah di antara

sahabat yang sering dirujuk oleh ‘Ata’.30

Adapun hasil analisa Motzki terhadap periwayatan ‘Ata’ adalah sebagai

berikut:

1. Responsa, rujukan ‘Ata’ kepada ibn ‘Abbas hanya bersifat supplementary

dan Confirmative untuk mendukung pendapat ‘Ata’. Artinya, rujukan

‘Ata’ kepada ‘Abbas atau sahabat lain tidak dimaksudkan untuk

memberikan “muatan otentisitas” pada pendapat hukumnya. Realita ini

Motzki pahami sebagai indikasi kredibilitas ‘Ata’.

2. Secara umum, ‘Ata’ mengutip Ibn ‘abbas secara langsung (direct

references), meskipun tidak menutup kemungkinan ia mengutip secara

tidak langsung (indirect references).

3. Dalam beberapa kasus, ‘Ata’ merujuk Ibn ‘Abbas bukan untuk

mengkonfirmasikan pendapatnya, melainkan untuk berbeda pendapat

dengannya.

29 ? Ibid.30 ? Ibid., hlm. 7.

17

Page 18: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

4. Di samping sebagian besar riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas menurut legal

dicta, terdapat pula sejumlah teks yang memuat qisas. Dalam qisas ini

‘Ata’ mempresentasikan dirinya sebagai murid Ibn ‘Abbas. Hal ini

menurut Motzki “kriteria isi” tersebut menunjukkan otentisitasnya.

5. Mengingat jumlah hadis Nabi yang allegedy diriwayatkan oleh Ibn ‘Abas

dalam literatur hadis yang sangat besar (sekitar 1.660 hadis), maka ‘Ata’

tidak mengutip dalam materi hukumnya. Dengan kata lain, materi ‘Ata’

dari Ibn ‘Abbas yang terekam dalam Musannaf , status Ibn ‘Abbas bukan

sebagai perawi hadis Nabi. Melainkan materi tersebut otentik dari

pendapatnya Ibn ‘Abbas sendiri. 31

Dari kelima hal ini, Motzki berpendapat bahwa ada indikasi otentisitas

riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abas. Selain dari materi ‘Ata’ yang didapat dari Ibn

‘Abbas, Motzki juga menganalisa dari materi ‘Ata’ yang lain, yakni ‘Umar, abu

Hurairah, Jabir dan lain-lain. Motzki melihat ada indikasi kuat kejujuran ‘Ata’

dalam penyebutan sumber otoritasnya. Sampai di sini, maka Motzki

berkesimpulan bahwa Musanaf karya Abd ar-Razzaq adalah dokumen hadis

otentik abad pertama Hijriyah.32

H. SANGGAHAN-SANGGAHAN HARALD MOTZKI ATAS

SKEPTISISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADIST

Harald Motzki selaku Dosen Universitas Nijmegen Belanda ini tidak

setuju dengan kesimpulan Schacht mengenai awal munculnya hadits. Sebab

berdasarkan hasil analisis beliau terhadap sanad maupun matan hadis beliau

menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Mushannaf

karya Abdurrazzaq as-Shan’ani (w. 211 H/826 M) adalah kecil sekali

kemungkinan adanya keberagaman data periwayatan hadis adalah suatu hasil

pemalsuan yang terencana. Dengan demikian beliau menyatakan bahwa suatu

matan hadis dan isnadnya dalam kitab-kitab hadis tersebut layak dipercaya.33 31 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of

the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1, hlm. 7.32 Ibid.33 Sohibul Adib, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, http://islamuna-adib.com

dikutip pada tanggal 22 desember 2011.

18

Page 19: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Dengan demikian kesimpulan Motzki berbeda dengan orientalis

skeptisisme seperti Schacht dan Ignaz Golzher yang menganggap semua hadits

adalah palsu. Karena Motzki telah membantah teori Schacht yang

mengungkapkan bahwa isnad cenderung membengkak jumlahnya makin ke

belakang, dan teorinya bahwa isnad yang paling lengkap adalah yang paling

belakangan munculnya. 34

Berkenaan dengan sejarah munculnya hukum Islam Motzki juga tidak

sependapat dengan Schacht. Menurut Motzki, Alquran dan hadits sudah dipelajari

semenjak abad kedua hijriyah atau bahkan sejak Nabi Muhammad saw masih

hidup, karena para fuqaha di Hijaz sudah menggunakan hadis sejak abad pertama

hijriyah. Oleh karena itu, Motzki pun sepakat dengan Coulson, yang mengusulkan

agar para orientalis membalik tesis Schacht, dari via negativ menjadi via positiv.

yakni jika Schacht berkata semua hadits harus dianggap tidak otentik hingga

terbukti keotentikannya, maka harus dilbalik menjadi menjadi pernyataan “semua

hadits harus dianggap otentik kecuali jika terbukti ketidak otentikannya.35

Berbeda dengan pendapat Schacht dan Juynboll yang menganggap

common link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, maka Motzki pun

menafsirkan common link sebagai penghimpun hadis yang sistematis pertama,

yang berperan merekam dan meriwayatkannya dalam kelas-kelas murid regular,

dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar berkembang.36

Selanjutnya adapun pemahaman beliau terhadap suatu fakta bahwa para kolektor awal ini (common link) mengutip hanya satu otoritas untuk riwayat mereka adalah mereka hanya menyampaikan versi hadis yang telah mereka terima atau mereka menganggapnya sebagai jalur yang paling tepercaya dan bahwa kebutuhan untuk mengutip otoritas dan informan yang lebih banyak,dan juga berarti versi matan yang berbeda, namun demikian mungkin para penghimpun (common link) menambah informan yang paling cocok apabila mereka lupa informan yang sesungguhnya.37 Adapun yang dimaksud dengan jalur tunggal tersebut adalah bahwa periwayatan hadis tersebut memiliki karakter

34 Ibid.35 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 175.36 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis..., hlm. 167.37 Ibid.

19

Page 20: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector) Lihat diagram berikut.

Collector7 Collector 4 Collector 5 Collector 1Collector 2

Collector 8Collector 6 Collector 3

TransmitterTransmitterTransmitter

Transmitter Transmitter Transmittter Transmitter TransmitterTransmitter

Transmitter

Transmitter

Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter TransmitteTransmitter

TransmitterTransmitter

Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter TransmitterTransmitter

Pcl 1 Pcl 2 Pcl 3 Pcl 4 Pcl 5

Common link

Successor Successor

Diving Successor Single strand

Companion Companion

Prophet

Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada

penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas

yang lebih awal dan fenomena diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single

stand) tidak harus berarti hanya satu jalur periwayatan, melainkan jalur tunggal

adalah berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari

koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat menurut versinya adalah karena

common link menganggap bahwa riwayat tersebutlah yang paling dia ketahui.

Sementara dikemudian hari, para murid common link atau penghimpun

belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau

diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya. Apabila

20

Page 21: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive” satu atau lebih

generasi dibawah commom link. Ini juga berarti bahwa strand yang “diving” tidak

harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan,

sebagaimana yang dipahami oleh Juynboll.38

Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link

berbeda dengan dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga

cenderung mengakui sistem isnad secara umum dan sistem common link secara

khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan penanggalan.39

Demikian juga pendapat Motzki tentang argumentum e silentio dalam

bukunya Die Anfange, Motzki membantah aplikasi umum argumentum e silentio

dengan memberikan kesimpulan bahwa e silentio adalah berbahaya. Selanjutnya

setelah mengalisis riwayat Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia juga berkesimpulan bahwa

para ulama pada awal Islam tidak selalu merasa wajib mengutip semua rincian

hadis meskipun mereka mengetahuinya. Demikian pula, kenyataan bahwa seorang

ulama tidak menyebut sebuah hadis tertentu mungkin disebabkan karena mereka

tidak mengetahuinya. Ini tidak berarti hadis tersebut tidak eksis sama sekali.

Akhirnya sumber- sumber yang kita miliki tidak lengkap melainkan terpencar-

pencar. Oleh karena itu, munculnya sebuah hadis dalam koleksi hadis yang lebih

tua tidaklah harus dipahami bahwa hadis-hadis tersebut adalah hasil dari

pemalsuan melainkan adalah sebuah hasil periwayatan sebelum diketahui

berbagai hal yang menyebabkan kecacatan periwayatannya atau kecacatan

matannya.40

I. PENGARUH ORIENTALIS DI BALIK GERAKAN ANTI-HADIS

Gugatan para orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah

menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan

dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran

sebagian kalangan umat Islam. Maka, muncullah gerakan anti-hadits di India,

Pakistan, Mesir, dan Asia Tenggara.

38 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis...,, hlm. 16839 Ibid. 40 Ibid, hlm. 169.

21

Page 22: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Pada tahun 1906, sebuah gerakan yang menamakan dirinya Ahlul-Quran

muncul di bagian barat Punjab, Lahore, dan Amritsar. Pimpinannya, Abdullah

Chakrawali dan Khwaja Ahmad Din, menolak hadits secara keseluruhan.41 Dalam

propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup untuk

menjelaskan semua perkara agama. Akibatnya, mereka menyimpulkan shalat

hanya empat kali sehari, tanpa azan dan iqamah, tanpa takbiratul ihram, tidak ada

shalat ‘ied dan shalat jenazah. Chakrawali bahkan membuat aturan shalat sendiri,

mengurangi jumlah rakaat-rakaatnya, dan membuang apa-apa yang menurut dia

tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an.

Propaganda anti-hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad

Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapat serangan balik dari

para ulama setempat seperti Muhammad Ismail as-Salafi, Abul A’la al-Mawdudi,

dan Muhammad Ayyub Dihlawi. Meskipun cukup gencar pada awalnya, gerakan

ini tidak bertahan lama, pengikutnya kian lama kian berkurang dan pengaruhnya

perlahan-lahan surut dan hilang ditelan zaman.42

Wabah antihadits juga sempat merebak di Mesir, Timur Tengah.

Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang dimuat dalam majalah

al-Manar nomor 7 dan 12 tahun IX dengan judul “Islam adalah Alquran itu

sendiri. Sambil mengutip beberapa ayat-ayat Alquran , Taufiq Shidqi mengatakan

bahwa umat Islam semestinya berpegang pada dan cukup mengikuti Al-Qur’an

saja. Namun setelah mendapat kritik dan sanggahan dari para tokoh ulama Mesir

dan India (Syaikh Ahmad Mansur al-Baz, Syaikh Thaha al-Bisyri, dan Syaikh

Shalih al-Yafi’i) dan atas saran Muhammad Rasyid Ridho, Shidqi akhirnya sadar

dan mencabut pendapat-pendapatnya.43

Selain Shidqi, cendekiawan liberal Mesir yang juga mempersoalkan status

hadits adalah Ahmad Amin, Muhammad Husayn Haykal, dan Thaha Husayn.

Heboh berikutnya timbul menyusul terbitnya karya-karya Mahmud Abu Rayyah

41 Syamsudin Arif,Orientalis dan Diabolisme pemikiran, hlm. 37.42 Ibid.43 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),

hlm. 218.

22

Page 23: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

yang intinya menolak otentisitas sekaligus otoritas hadits maupun sunnah,

mempersoalkan integritas (’adalah) para shahabat umumnya dan Abu Hurairah

r.a. khususnya. Tulisan-tulisan Abu Rayyah kontan dihujani kritik tajam dan

dibantah keras oleh para ulama seperti Muhammad Abu Shuhbah, Muhammad as-

Samahi, Musthafa as-Siba’i, Sulayman an-Nadwi, Muhibbuddin al-Khathib,

Abdur-Razzaq Hamzah, ’Abdur-Rahman ibn Yahya al-Yamani, Muhammad Abu

Zahrah, dan Muhammad ’Ajjaj al-Khathib. Meskipun ia menyangkal terpengaruh

orientalis, pandangan Abu Rayyah menggaungkan kritik mereka. Polemik seputar

status dan fungsi hadits terjadi lagi di Mesir tidak lama setelah Muhammad al-

Ghazali menerbitkan bukunya yang berjudul ”Sunnah Nabi antara Ahli Fiqh dan

Ahli Hadits”.

Karena isinya dinilai mendiskreditkan ahli hadits dan menimbulkan

kesalah fahaman seputar otoritas sunnah, maka buku ini pun langsung dikritik dan

ditanggapi oleh banyak tokoh dari kalangan ulama seperti Jamal Sulthan, Shalih

ibn ’Abdul-Aziz, Muhammad as-Syaykh, Asyraf ibn ’Abdil Maqshud ibn

’Abdirrahman, Muhammad Jalal Kisyk, Rabi’ ibn Hadi Umayr Madkhali, Ahmad

Hijazi Ahmad Saqa, dan Yusuf Qaradhawi.44

Gerakan anti-hadits di Amerika dipelopori oleh Rasyad Khalifa, insinyur

kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan yang ia namakan ”The Qur’anic

Society” ini secara resmi didirikan pada Juni 1983, menyusul seminar Misionaris

Kristen dan Yahudi Amerika, di mana ia menyampaikan makalahnya yang

berjudul ”Islam: Past, Present, and Future”. Dalam tulisan-tulisannya, Rasyad

Khalifa banyak mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan, seperti ”Hadits-

hadits adalah ciptaan Iblis, mempercayai hadits bermakna mempercayai ajaran

Iblis”. Rasyad Khalifa tewas dibunuh oleh orang tak dikenal, tidak lama setelah

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Mufti Besar Arab Saudi, dalam fatwanya (No. 903,

Syawwal 1403 H/ Agustus 1983) menyatakan bahwa gerakan inkarussunnah

seperti yang diajarkan Rasyad Khalifa adalah sesat.

44 Syamsudin Arif,Orientalis dan Diabolisme pemikiran, hlm. 37-38.

23

Page 24: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Gaung inkarussunnah juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia, gerakan ini

telah dilarang secara resmi oleh para ulama dan pemerintah sebagaimana tertera

dalam Fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat tahun

1983 dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983.

Adapun di Malaysia, gerakan antihadits dipelopori oleh Kassim Ahmad. Orang ini

menulis buku kecil yang intinya meragukan otentisitas hadits dan sekaligus

menolak otoritasnya. Tidak hanya isinya yang membeo dan mereproduksi

argumen orientalis, bahkan judul bukunya pun, ”Hadits – Suatu Penilaian

Semula”, mengingatkan kita pada judul artikel Joseph Schacht beberapa dekade

lalu, ”A Revolution of Islamic Tradition”. Pada 8 Juli 1986, buku ini dilarang

peredarannya oleh Kementrian dalam Negeri Malaysia. Meskipun agak sedikit

terlambat, Pusat Islam Malaysia pun akhirnya mengeluarkan fatwa yang melarang

masyarakat mengikuti gerakan sesat ini (Fatwa Kebangsaan tentang Anti Hadits,

1993).45

J. KESIMPULAN

Berdasarkan kajian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

otentifikasi hadis yang dilakukan Harald Moztki adalah berangkat dari analisis

Dating yang dilakukan Motzki terhadap kitab Al-Musannaf Karya Abdurrazzaq

As-Shan’ani, selanjutnya beliau juga menggunakan metode isnad cum analisis

dan pendekatan traditional-historical menunjukan bukti bahwa materi-materi

yang disandarkan Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah

otentik. Oleh karea itu maka Moztki menilai bahwa kitab hadis Al-Musannaf

Karya Abdurrazzaq As-Shan’ani adalah dokumen hadis otentik pada abad pertama

Hijriyah, sekaligus sebagai bukti nyata bahwa hukum Islam telah eksis sejak masa

itu. Hasil temuan Motzki tersebut sekaligus menggugurkan teori seniornya G.H.A.

Juynboll J. dan projecting back-nya Schacht yang menyatakan keberadaan sistem

sanad dimulai pada abad ke-2.

Serangan orientalis terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana

dan bersama-sama. Ada yang menyerang matannya (Sprenger, Muir, Goldziher),

45 Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme pemikiran, hlm. 38-39.

24

Page 25: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

ada yang menyerang isnadnya (Horovitz, Schacht, Juynboll). Serangan mereka

diarahkan ke semua kategori: sebagian menyerang hadits sejarah yang

berhubungan dengan sirah (Kister, Scholler, ), sebagian lagi menggugat hadits

hukum atau fiqh (Schacht, Powers, Calder), sebagian yang lain menohok hadits

tafsir (Wansbrough, Rippin, Gilliot). Adapun secara epistemologis, secara umum

dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya

adalah skeptis.

Mereka mulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula.

Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Akibatnya, meskipun bukti-

bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka akan

menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi

pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang

dicari dan, jika perlu diada-adakan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar

setiap orang muslim dan muslimat agar selalu melakukan tinjauan kritis terhadap

tulisan-tulisan orientalis mengenai Islam.

BIBLIOGRAFI

25

Page 26: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Adib, Sohibul, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, http://islamuna-adib.com dikutip pada

tanggal 22 desember 2011.

Amin, Kamaruddin, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the

Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.

Amin, Kamarudin, Metode Kritik hadis, Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.

Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Masrur, Ali, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007.

Motzki, Harald, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist

Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1 di download dari

http://www.scribd.co m , pada tanggal 2 Nopember 2011.

Rayyah, Mahmud Abu, Adhwa ‘ala As-Sunnah Al-Muhammadyyah, Kairo, t.tp., 1958.

Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010.

DAFTAR ISI

26

Page 27: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Halaman

DAFTAR ISI ............................................................................................... i

A. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

B. BIOGRAFI HARALD MOTZKI ........................................................ 2

C. KRONOLOGIS KAJIAN ORIENTALIS SEPUTAR HADITS ......... 3

D. METODE SARJANA NON-MUSLIM DALAM MENGANALISIS

KEASLIAN DAN KEMURNIAN HADIS ......................................... 7

E. TEORI-TEORI HARALD MOTZKI DALAM MENGANALISIS

HADIS ................................................................................................. 8

F. METODE PENELITIAN HARALD MOTZKI .................................. 10

G. HASIL PENELITIAN HARALD MOTZKI TERHADAP KITAB

AL-MUSANNAF KARYA ABDURRAZZAQ AS-SAN’ANI .......... 13

H. SANGGAHAN-SANGGAHAN HARALD MOTZKI ATAS

SKEPTISISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADIST .......... 18

I. PENGARUH ORIENTALIS DI BALIK GERAKAN ANTI-HADIS. 21

J. KESIMPULAN .................................................................................... 24

BIBLIOGRAFI

27

i

Page 28: Makalah Mahmudah Harald Motzki Otentifikasi Hadist Dan Sanggahan Atas Skeptisisme Para Orentalis Hadis

Disusun Untuk Memenuhi Tugas RevisiMakalah Mata Kuliah Studi Hadis

Disusun Oleh :

MAHMUDAHNIM. 11760011

DOSEN PEMBIMBING

DR. Hj. UMI SUMBULAH, M. Ag

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

KELAS A

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2011

28