BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Saat ini dunia Properti atau Real Estate Indonesia sedang berkembang dengan pesat
seiring dengan kebutuhan terhadap perumahan rakyat yang semakin besar dan pertumbuhan
ekonomi yang semakin baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan berdampak pada
peningkatan kebutuhan akan gedung perkantoran dan fasilitasnya. Berbagai jenis perumahan
sedang dan akan dibangun, termasuk jenis apartemen, kondomonium, rumah susun, resort
untuk kalangan atas yang berkantong tebal. Kebutuhan terhadap properti tidak hanya pada
level pertama yaitu jual beli properti di real estate tetapi juga dalam jual beli dalam pasar
sekunder serta sewa menyewa.
Di saat bersamaan, Jasa Konstruksi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
keberadaan Properti dan atau Real Estate ikut berakselarasi pula.Kebutuhan dunia properti /
real estate terhadap jasa konstruksi terlihat dalam keterlibatan awal
pembentukan/pembangunan suatu properti dan atau real estate, saat pemeliharaan, dan
renovasi di pasar sekunder. Jasa Konstruksi terlibat penuh dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, instalasi dan pemeliharaan konstruksi tanah dan atau bangunan.
Dari sisi perpajakan, Properti atau Real Estate sangat menarik untuk dicermati karena
dalam setiap pergerakan properti / real estate dapat menimbulkan aspek pajak yang berbeda-
beda tergantung dari obyek pajak yang muncul dalam setiap transaksinya. Misalnya dalam
transaksi jual beli bisa muncul berbagai macam pajak antara lain: Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan (PPHTB), Pemotongan PPh pasal 21 atau Pasal 23, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) bahkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dan tentu saja jika properti
sudah dimiliki akan menimbulkan obyek pajak selanjutnya yaitu Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan tidak kalah menarik untuk mengupas bagaimana perpajakan yang ada pada
perusahaan konstruksi. Dari permasalahan tersebut diatas timbulah pertanyaan : Bagaimana
aspek perpajakan atas jasa konstruksi dan real estate?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASPEK PERPAJAKAN ATAS JASA KONSTRUKSI
Jasa Konstruksi termasuk salah satu jenis kegiatan yang penghasilannya dikenakan PPh
bersifat final. Pengenaan PPh Final ini mulai ditetapkan sejak munculnya Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Pada masa sebelum tahun 2008, saat Peraturan
Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 masih berlaku, secara umum penghasilan dari usaha
jasa konstruksi dikenakan PPh tidak bersifat final.
Dalam makalah ini akan diuraikan ketentuan umum mengenai pengenaan PPh Final atas
jasa konstruksi berdasasrkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008. PP Nomor
51 itu sendiri sekarang ini sudah diubah dengan (stdd) PP Nomor 40 Tahun 2009. Selain
PP tersebut peraturan lain yang juga dijadikan sumber penulisan makalah ini antara lain
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 187/PMK 03/2008 stdd PMK Nomor
153/PMK.03/2009 dan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE.05/PJ.03/2008.
Subjek Pajak
Dalam konteks pengenaan PPh Final jasa konstruksi, yang dimaksud dengan kontraktor
adalah pengusaha jasa konstruksi yang memberikan atau menyediakan jasa layanan atas
jasa konstruksi. Seperti yang disebutkan dalam peraturan-peraturan tersebut diatas,
kontraktor yang tercakup meliputi baik kontraktor yang berbentuk badan hukum (badan
usaha) maupun orang pribadi.
Dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi, kontraktor
yang berstatus orang pribadi ditempatkan ke dalam kelompok Grade 1 dan hanya
diperkenankan untuk mengerjakan proyek konstruksi dengan nilai tidak lebih dari
Rp.100.000.000,- (Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11 Tahun
2006).
2
Objek PPh Final
Para kontraktor tersebut diatas, dikenakan PPh atas penghasilan mereka yang berasal dari
kegiatan usaha jasa konstruksi, usaha jasa konstruksi yang penghasilannya ditetapkan
menjadi objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) terdiri dari 3 kelompok jasa, yaitu:
1. Jasa Perencanaan Konstruksi
Perencanaan konstruksi adalah layanan jasa di bidang konstruksi yang pekerjaannya
diwujudkan dalam bentuk dokumen perencanaan pembangunan bangunan atau bentuk
fisik lain. Misalnya jasa penggambaran bangunan (arsitek), jasa penelitian tanah atau
lahan tanah bangunan akan didirikan, jasa penelitian dan analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) dan jasa perencanaan pembangunan lainnya baik yang merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara menyeluruh atau sebagian atau dilakukan
secara terpisah. Sedangkan yang dimaksud dengan bentuk fisik lain adalah konstruksi
teknik yang bukan berbentuk bangunan (gedung, rumah, dsb) seperti misalnya proyek
pembangunan instalasi pembangkit tenaga listrik, pembangunan instalasi pengeboran
minyak, dsb.
2. Jasa Pelaksanaan Konstruksi
Jasa pelaksanaan konstruksi adalah jasa di bidang konstruksi untuk melaksanakan
perencanaan konstruksi menjadi bentuk bangunan atau fisik lain atau jasa dalam
bentuk melaksanakan pembangunan bangunan. Termasuk di dalamnya adalah
pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model perencanaan
dan bangunan. Jasa perbaikan, perawatan, maupun pemeliharaan bangunan, khususnya
yang dilakukan oleh pemberi jasa yang kegiatan usahannya di bidang jasa konstruksi
(punya surat izin usaha jasa konstruksi/SIUJK) juga termasuk dalam pengertian jasa
pelaksanaan konstruksi.
3. Jasa Pengawasan Konstruksi
Jasa pengawasan konstruksi adalah jasa di bidang pengawasan terhadap proyek atau
pelaksanaan konstruksi mulai dari awal pelaksanaan pekerjaan/proyek konstruksi
sampai selesai dan bangunan diserahterimakan. Misalnya jasa mandor konstruksi, jasa
penilai pekerjaan konstruksi.
3
Tarif PPh Final Jasa Konstruksi
Dalam peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi ada ketentuan bahwa sebelum
mengajukan permohonan untuk meminta surat ijin usaha jasa konstruksi, pengusaha harus
terlebih dahulu mengajukan sertifikasi dan registrasi kepada Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) untuk memperoleh Sertifikat Badan Usaha (SBU). Ini semacam
dokumen formal yang menyatakan kemampuan atau kompetensi dari si pengusaha jasa
konstruksi. Dalam kesehariannya, SBU ini sering hanya disebut kualifikasi usaha atau
sertifikat kualifikasi usaha.
Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi kedalam 3
kelompok yakni, kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK Nomor 11 Tahun
2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut dengan “grade” yaitu
tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak pada tabel berikut
ini :
Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit pengusaha jasa konstruksi (kontraktor) yang tidak
memiliki sertifikat tersebut. Ada juga kontraktor yang tidak memperpanjang masa berlaku
sertifikat kualifikasi usaha, dimana sertifikat kualifikasi usaha tersebut memiliki masa
berlaku 3 tahun.
Menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 tarif untuk kontraktor yang mempunyai SBU atau
sertifikat kualifikasi usaha dibedakan dengan tarif untuk kontraktor yang tidak mempunyai
SBU (termasuk kontraktor yang SBU nya sudah habis tetapi tidak diperpanjang). Tarif
4
PPh final jasa konstruksi sebagaimana yang ditetapkan oleh PP Nomor 51 Tahun 2008
adalah sebagai berikut:
1. Jasa Perencanaan Konstruksi:
4% (empat persen), jika kontraktor mempunyai SBU;atau
6% (enam persen), jika kontraktor tidak mempunyai SBU.
2. Jasa Pelaksanaan Konstruksi:
2% (dua persen), jika kontraktor mempunyai SBU (kelompok Grade1,2,3 dan 4);
3% (tiga persen), jika kontraktor mempunyai SBU menengah maupun besar
(kelompok Grade 5, 6 atau 7);atau
4% (empat persen), jika kontraktor tidak mempunyai SBU atau sertifikasi kualitas
usaha.
3. Jasa Pengawasan Konstruksi
4% (empat persen), jika kontraktor mempunyai SBU;atau
6% (enam persen), jika kontraktor tidak mempunyai SBU atau sertifikasi
kualifikasi usaha.
Bukan PPh Final Jasa Konstruksi
Bagi mereka yang belum teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki SBU dari LPJK,
maka pengenaan PPh atas imbalan yang mereka terima bukan objek PPh Final Pasal 4 ayat
(2) Jasa Konstruksi. Imbalan yang mereka terima merupakan objek PPh Pasal 23. Itu pun
kalau mereka berstatus sebagai Wajib Pajak badan (perusahaan) dalam negeri. Sementara
jika pemberi jasa berstatus Wajib Pajak orang pribadi (individu) dalam negeri, pengenaannya
mengacu ke Pasal 21 UU PPh.
Dasar Pengenaan Pajak
PPh final jasa konstruksi dihitung dengan cara mengalikan tariff tersebut di atas dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menurut Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) PMK Nomor
187/PMK.03/2008, DPP yang digunakan untuk menghitung PPh final jasa konstruksi adalah:
1. Jumlah Pembayaran
Apabila PPh final jasa konstruksi dikenakan melalui pemotongan PPh oleh pengguna
jasa (pemilik proyek atau owner);
5
2. Jumlah Penerimaan Pembayaran
Apabila PPh final jasa konstruksi dikenakan melalui penyetoran sendiri oleh
kontraktor yang bersangkutan.
Atau dengan kata lain DPP untuk jasa konstruksi adalah total imbalan jasa dan material,
seperti PP Nomor 140 Tahun 2000.
Saat Terutangnya PPh Final
Sebagai contoh misalnya PT. Wika (kontraktor) menyampaikan tagihan kepada PT. ABC
(owner) pada tanggal 9 Nopember 2012. Pada saat menerima tagihan tersebut baik PT. Wika
maupun PT. ABC sudah sama-sama mengakui beban dan utang/piutang. Jika seandainya
tagihan tersebut dibayar pada bulan Desember 2012, maka saat terutangnya PPh final adalah
di bulan (masa pajak) Desember 2012. Ini artinya, PT. ABC harus memotong PPh Final pada
bulan (masa pajak) Desember 2012.
Pemotongan PPh oleh Pengguna Jasa
Pembayaran atau pelunasan PPh final jasa konstruksi dilakukan melalui salah satu dari dua
cara, yakni melalui pemotongan oleh pengguna jasa (owner) atau dengan cara disetor sendiri
oleh si kontraktor (pemberi jasa).
Jika pengguna jasa (owner) berstatus sebagai pemotong PPh, maka pelunasan PPh final jasa
konstruksi dilakukan melalui pemotongan PPh final oleh pengguna jasa. Dalam hal ini
pengguna jasa wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh final pada waktu
yang telah ditetapkan.
Pemotongan
Pph final jasa konstruksi dilakukan pada saat pembayaran (cash basis). Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 187/PMK.03/2008.
Misalnya pada tanggal 9 Nopember 2012 PT. ABC menerima tagihan dari kontraktor
atas proyek pembangunan gedung milik PT. ABC kemudian pembayaran tagihan itu
dilakukan pada bulan Desember 2012. Dalam hal ini pemotongan PPh Final Jasa
Konstruksi wajib dilakukan pada bulan Desember 2012 (bulan pembayaran).
6
Saat pemotongan PPh ini dibuktikan dengan tanggal yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh maksimal tanggal 31 Desember 2012.
Penyetoran
PPh final jasa konstruksi dilakukan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah bulan terutangnya PPh final jasa konstruksi.
Misalnya dalam contoh diatas, PT. ABC harus menyetorkan PPh Final Jasa Konstruksi
tersebut paling lambat pada tanggal 10 Januari 2013. Jika tanggal 10 itu jatuh pada hari
libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai ketentuan, penyetoran pajak
bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penyetoran PPh final dilakukan dengan menggunakan SSP dimana satu SSp digunakan
untuk penyetoran seluruh PPh final jasa konstruksi yang dipotong dibulan yang
bersangkutan.
Pelaporan
PPh final jasa konstruksi dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh final lainnya
(seperti pemotongan PPh final sewa tanah/bangunan, dividen,dsb). Pelaporan
menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) dan disampaikan ke KPP
tempat pemotong PPh terdaftar.
Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya
setelah bulan terutangnya PPh final. Seperti contoh diatas, PT. ABC wajib melaporkan
SPT Masa PPh final ke KPP tempatnya terdaftar paling lambat tanggal 20 Januari 2013
dan jika tanggal tersebut liburmaka dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pemotong PPh final ini meliputi:
a. Badan, lembaga atau institusi pemerintah;
b. Subyek pajak badan dalam negeri termasuk BUT;
c. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang ada di Indonesia; dan
d. Orang pribadi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak (KPP setempat)
Penyetoran Sendiri oleh Kontraktor
Apabila pengguna jasa (owner) bukan pemotong PPh, maka kontraktor selaku pemberi jasa
dan penerima penghasilan wajib menyetorkan sendiri PPh final yang terutang tersebut.
7
Penyetoran
Penyetoran sendiri PPh final oleh si pemberi jasa dilakukan paling lambat pada tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran (cash basis).
Penyetoran sendiri PPh final dilakukan dengan menggunakan SSP dimana satu SSP
digunakan untuk penyetoran seluruh PPh final jasa konstruksi di bulan yang
bersangkutan yang bukan dipotong oleh owner.
Pelaporan
Pelaporan PPh final jasa konstruksi yang melakukan penyetoran sendiri juga
dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh final lainnya (seperti PPh final sewa dan
bangunan, dan PPh final lainnya yang tidak dipotong oleh pengguna jasa). Pelaporan
menggunakan formulir SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) disampaikan ke KPP tempat
kontraktror terdaftar. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh)
bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran imbalan jasa konstruksi. Dan
jika tanggal 20 adalah hari libur, maka dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penyetoran sendiri PPh final jasa konstruksi ini juga seringkali diminta untuk
dilakukan apabila kontraktor tidak dapat memperlihatkan kepada pemeriksa pajak
formulir bukti pemotongan PPh final dari si pengguna jasa (owner). Dalam hal ini
kemungkinan kontraktor dapat dikenai sanksi berupa bunga karena dianggap terlambat
menyetorkan sendiri PPh final tersebut.
Contoh Kasus :
PT. Sejahtera merupakan perusahaan pelaksana konstruksi sipil bangunan dengan
kualifikasi besar mengadakan perjanjian pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan PT.
Papan Makmurindo yang merupakan pemilik bangunan, dengan nilai perjanjian
sebesar Rp.1.650.000.000 termasuk PPN.
PT. Papan Makmurindo mempunyai kewajiban pemotongan terhadap penghasilan PT.
Sejahtera sebagai berikut:
PPN yang wajib dipungut adalah:
10/110 x Rp. 1.650.000.000,00 = Rp. 150.000.000,00
PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib dipotong adalah:
8
Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar Nilai Perjanjian dikurangi dengan besarnya
PPN yang dipungut.
Rp.1.650.000.000.,00 – Rp. 150.000.000,00 = Rp. 1.500.000.000,00
Besar PPh Pasal 4 ayat (2) adalah 3% x Rp. 1.500.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00
Kementerian Pekerjaan Umum (NPWP. 00.849.100.0-012.000) melaksanakanproyek
pemerintah pembangunan jalan dengan menggunakan dana yangberasal dari hibah Bank
dunia sebesar US$. 100.000.000,00 (Rp.850.000.000.000,00 dengan kurs Menkeu pada saat
ditandatangani kontrak sebesar Rp.8.500,00/US$) yang telah tercantum dalam
DIPA Kementerian PU.Proyek pemerintah ini dilaksanakan selama jangka waktu 3
tahun yaitu dari tahun 2009 s.d. 2011. Untuk tahun 2011 sisa anggaran yang belum dicairkan
adalah Rp.340.000.000.000,00. Proyek pemerintah ini dilaksanakan oleh kontraktor utama PT.
Andang Konstruksi NPWP/NPPKP : 02.668.854.2.012.000 yang memiliki kualifikasi usaha besar
yang dibuktikan dengan sertifikasi pelaksana konstruksi dari Lembaga Pengembangan
Jasa Konstruksi Bagaimana kewajiban perpajakan yang harus dilakukan Syarif selaku
Bendahara Kementerian PU, apabila pada bulan Mei 2011, Syarif mencairkan sisa
anggaran untuk membayar jasa konstruksi PT Andang Konstruksi ?
Proyek Pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam Daftar Isian Proyek
(DIP)atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP, termasuk proyek yang
dibiayaidengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan Agreement
(SLA).
Pemotongan/Pemungutan PPh1) PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh kontraktor, konsultan,dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan
yang dilakukan dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai dengan
dana hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri DITANGGUNG PEMERINTAH .
Besar PPh Final pasal 4 ayat (2) yang ditanggung pemerintah :
3 % x Rp. 340.000.000.000,00 = Rp. 10.200.000.000,00
Pemungutan PPN Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang terutang atas impor serta penyerahan barang dan jasa dalam rangka pelaksanaan
Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau danapinjaman luar negeri TIDAK
DIPUNGUT PPN.
9
B. ASPEK PERPAJAKAN ATAS REAL ESTATE
1. Jenis Usaha Properti
Properti real estate dikelompokkan dalam 6 bentuk, yaitu:
1. Real Estate Jenis Properti Apartemen
Properti yang berada dalam sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi seperti
hotel.Perlu diingat karena bentuknya seperti rumah maka dapat dimiliki secara pribadi
maupun disewakan.
2. Real Estate Jenis Properti Perumahan
Sebuah kompleks perumahan yang dapat dihuni berbagai macam keluarga biasanya
dilengkapi sarana prasarana oleh pengelola.
3. Real Estate Jenis Properti Rukan dan Office Space
Dibuat kepada pebisnis yang ingin membuka cabang perusahaan . Kawasan ini bisa
dikatakan kawasan perkantoran yang bentuknya menyerupai rumah namun fungsinya
sebagai kantor.
4. Real Estate Jenis Properti Ruko dan Mall
Biasanya Ruko untuk jenis ini biasanya sebagai hunian dan sekaligus umumnya
perdagangan sementara Mall berisi bermacam toko yg biasanya memiliki nama besar.
5. Real Estate Jenis Properti Tanah Kavling
merupakan tanah yang sudah memiliki konsep pembangunan .
6. Real Estate Jenis Properti Town House
Rumah dengan rancangan dan tempat yang eksekutif dan disisi kota besar, dan khusus
untuk rumah dengan kategori lux dan mewah.
Pengelompokan di atas masih dapat dibagi-bagi lagi perjenisnya, misalnya perumahan, kita
mengenal kategori rumah sederhana (RS), rumah sangat sederhana (RSS), rumah sederhana
kecil (RSK).
2. Pajak Pajak Yang Dikenakan
10
Secara umum jenis-jenis pajak yang melekat pada bisnis properti khusus real estate dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
PBB merupakan pajak kebendaan yang melekat pada objeknya yang dipungut setiap
tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Pada awalnya
pajak ini merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah
pusat namun demikian seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi
tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya dengan diberlakukannya UU Nomor 28
Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2014 seluruh proses pengelolaan pajak
ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada
semua wajib pajak (pemilik properti).Tagihannya dilayangkan pemerintah setiap
bulan Maret, melalui aparat desa setempat, dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT).Adapun pembayarannya harus dilakukan paling lambat enam bulan
setelah SPPT diterbitkan ke loket-loket terdekat yang disediakan, atau ke kantor-
kantor bank yang ditunjuk pemerintah.Setelah melakukan pembayaran, harap bukti
pembayarannya disimpan. Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan wajib pajak
belum membayar, maka akan didenda 2 persen per bulan hingga maksimal 24 bulan.
Cara perhitungan PBB:
PBB = 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
NJKP = 20% dari Nilai Jual Objek Kena Pajak (NJOPKP) untuk properti dengan
NJOP dibawah Rp. 1 miliar dan 40 % untuk NJOP diatas 1 miliar.
NJOPKP = NJOP – NJPOKTP. Perlu dicatat, besarnya NJOPTK ini berbeda-beda
setiap daerah.
2. Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB akan dikenakan kepada Pembeli dan dibayarkan ketika terjadi peralihan hak
atau penandatanganan akta jual beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran pajak
dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
11
Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut :
BPHTB = (Harga Jual – Faktor Tidak Kena Pajak*) x 5%)
* Faktor Tidak Kena Pajak di setiap daerah berbeda.
3. Pajak Penghasilan Bersifat Final (PPh Final)
PPh Final akan dikenakan kepada Penjual apabila Penjual adalah perseorangan atau
Sertifikat Hak Milik (SHM). Untuk Penjual adalah Perusahaan atau Sertifikat Hak
Guna Bangunan (SHGB), maka tidak dikenakan PPh Final apabila nilai transaksi
dibawah Rp. 60.000.000,-. PPh Final hanya dikenakan apabila nilai transaksi jual beli
lebih dari dari Rp. 59.999.999,00 (Enam Puluh Juta Rupiah).
Sama dengan BPHTB, PPh Final dibayarkan ketika terjadi peralihan hak atau
penandatanganan akta jua beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat
pembayaran pajak dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
Cara menghitung PPh Final adalah sebagai berikut :
PPh Final = Harga Jual x 5%
4. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
A. Terutang PPN
PPN akan dikenakan kepada Pembeli, dipungut oleh Penjual dengan catatan
Penjual adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan atau penghasilan dari
penjualan properti melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) per
tahun. PPN dipungut pada saat penerimaan uang muka maupun pelunasan
dandibayarkan selambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
a. Apabila harga jual TIDAK TERMASUK PPN
PPN = Harga Jual x 10%
b. Apabila harga jual TERMASUK PPN
PPN = (Harga Jual : Dasar Pengenaan Pajak*) x 10%)
12
* Dasar Pengenaan Pajak adalah faktor pembagi harga jual sebesar 1,1
atau110%
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). NJOP
dapat dilihat pada lembar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).Apabila NJOP lebih besar
dari nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan NJOP begitu pula
sebaliknya.
Penyerahan produk tidak seluruhnya terhutang PPN, yaitu untuk penyerahan rumah
murah PPN nya ditanggung pemerintah sebagaimana ketentuan dalam KEPPRES
No. 42 tahun 1995 tanggal 19 Juni 1995 tentang Perubahan atas KEPPRES No. 18
tahun 1986 tentang PPN yang terhutang atas impor dan Penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak tertentu yang ditanggung pemerintah sebagaimana telah
beberapa kali dirubah terakhir dengan KEPPRES No. 8 tahun 1988 .
B. Tidak Terutang PPN
Batasan mengenai rumah murah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
No. 310/KMK.04/1989 tanggal 3 April 1989, yaitu mengacu kepada surat
Menteri Keuangan kepada Menteri Perumahan Rakyat No. S-462/MK.04/86
tanggal 6 Mei 1986 sebagai berikut :
1. Penyerahannya harus melalui kredit pemilikan rumah (KPR)
2. Type bangunan adalah type 70 kebawah dengan luas tanah maksimal
200 M2 dan 165 M2 untuk rumah maisonet.
3. Perusahaan pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan
rumah murah wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktorat
Jendral Pajak (KPP setempat) mengenai : Jumlah dan type rumah
mujrah yang dijual, Harga jual rumah, jumlah PPN yang tidak dipungut
(PPN yang ditanggung pemerintah), nama perusahaan yang memberi
kredit dan jangka waktu kredit.
Menentukan apakah suatu bangunan masuk dalam kategori rumah murah atau tidak
harus memperhatikan surat Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat kepada
Menteri Keuangan RI No.60/BT.01.01/M/4/1985 tanggal 9 April 1985, yaitu :
13
1. Harga jual bangunan rumah per m2 tidak melebihi 75% dari harga
rumah dinas kelas C di daerah yang bersangkutan.
2. Harga jual tanah matang per m2 tidak melebihi perhitungan luas
bangunan rumah dikalikan harga jual tertinggi bangunan per m2 dan
dibagi dengan luas kapling.
3. Harga jual rumah beserta tanah adalah 2 (dua) kali luas bangunan
rumah dikalikan dengan harga jual tertinggi bangunan rumah per m2.
Pedoman harga per m2 rumah dinas kelas C ditetapkan oleh Bappenas dan
Departemen Keuangan setiap tahun anggaran.
5. PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)
Disamping rumah murah ada juga produk properti yang terhutang PPn BM, yaitu atas
penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium, sebagaimana
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2003 tanggal 20 Januari 2003
tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang
Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan PPn BM. Menurut ketentuan
dalam PP ini penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium
terhutang PPn BM sebesar 20 %.
Mulai tanggal 1 Juni 2009 penyerahan bangunan yang terutang PPnBM hanya
berdasarkan luas bangunan yaitu luas bangunan sebesar 350m2 atau lebih.Perlu
dilakukan pengawasan terhadap penyerahan bangunan yang kurang atau mendekati
luas bangunan 350m2 karena terdapat kemungkinan luas bangunan yang sebenarnya
lebih dari luas yang tercantum dalam dokumen.
Pengujian kebenaran harga bangunan Perm2 dapat menggunakan pendekatan harga
pokok ditambah dengan margin, atau apabila harga jual tanah dan bangunan diketahui
maka harga jual bangunan dapat dihitung secara proposional antara harga NJOP
bangunan dibandingkan dengan NJOP tanah.
PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dibeli dari developer dan memenuhi
kriteria sebagai barang mewah. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antar
perorangan. Sebagai contoh Sebuah Apartemen/town house dengan kriteria tertentu
dan menjualnya ke konsumen B, maka konsumen B akan membayar BPHTB sebesar
14
5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20% (bila memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan).
3.iKewajiban Pajak Real Estate
Untuk membantu mempermudah pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang
bergerak dalam sektor Real Estate dengan mempertimbangkan sistem perpajakan di
Indonesia yang self assessment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung, membayar/menyetor, melapor, dan memperhitungkan sendiri pajaknya tanpa
harus menunggu adanya ketetapan dari Direktorat Jenderal Pajak, maka perlu kami
sampaikan beberapa kewajiban yang harus diperhatikan sebagai berikut :
1. Atas penghasilan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/ bangunan sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : PP-71 Tahun 2008, harus
disetor Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto nilai pengalihan, kecuali atas pengalihan hak atas rumah sederhana dan sangat
sederhana adalah sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
2. PPh Final yang terutang tersebut harus dilunasi sendiri ke bank persepsi atau kantor
pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat sebelum Akte
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditandatangani dan dilaporkan melalui
SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
3. Atas penyerahan tanah dan/ bangunan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000, wajib
dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga
jual, kecuali penyerahan rumah sederhana dan rumah susun sederhana mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) tersebut wajib di setor ke bank persepsi atau kantor pos
paling lambat tanggal 15 bulan berikunya dan dilaporkan melalui SPT Masa PPN
(1107) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
4. Atas pembayaran gaji, upah, honorarium dan penghasilan lainnya kepada pengurus,
pegawai, tenaga ahli dan penerima penghasilan lainnya agar dilakukan pemotongan
PPh Pasal 21 sesuai dengan Peraturan Materi Keuangan Nomor :
PMK-252/PMK.03/2008 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-31/PJ/2009. PPh
Pasal 21 yang dipotong tersebut harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan 15
berikutnya dan dilaporkan melalui SPT Masa PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya.
5. Atas pembayaran kontrak kepada penyedia jasa konstruksi sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor : PP-51 Tahun 2008, harus dipotong Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif :
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
yang memiliki Kualifikasi Usaha Kecil.
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia
jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha.
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia
jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b.
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi
yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha.
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha.
PPh Final atas jasa konstruksi tersebut harus disetor paling lambat tanggal 10
bulan berikunya dan dilaporkan melalui SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
6. Atas pembayaran sewa, dividen, bunga, jasa dan pembayaran lainnya yang belum
dijelaskan di atas dan menjadi obyek pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan
agar dipotong, disetor dan dilaporkan sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Mekanisme Penjualan/Pembelian Properti (Real Estate)
a. Penjualan secara tunai
Penjualan secara tunai pada umumnya terjadi atas rumah, apartemen, Ruko dan
sebagainya yang memang telah tersedia atau siap huni. Pembeli langsung melunasi
harga jual dari bangunan, ditambah PPN, PPn BM, BPHTB dan biaya untuk
mengurus akte jual beli.
b. Kredit Pemilikan Rumah/ Apartemen
Sebagian dari harga jual dibiayai oleh bank pemberi kredit. Pembeli cukup membayar
uang muka sedangkan sisanya dibiayai dari kredit yang akan diangsur oleh pembeli
16
setiap bulan. Jika bank menyetujui permohonan kredit nasabah, maka akan dibuatkan
akad kredit antara bank dengan nasabah. Selanjutnya bank akan mentransfer seluruh
dana kredit tersebut ke perusahaan pengembang sebagai pelunasan harga jual
bangunan. Pembayaran uang muka dari calon pembeli (baik sekaligus maupun
diangsur) terhutang PPN.
c. Sewa
Untuk gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan biasanya dilakukan dengan cara
sewa. Besarnya biaya sewa dihitung berdasarkan tarip sewa per M2 per bulan. Selain
biaya sewa, penyewa juga akan dibebankan service charge . Biaya sewa biasanya
dibayar dimuka oleh penyewa untuk beberapa bulan sekaligus sedangkan service
charge akan ditagih setiap bulan.
d. Cicilan Tunai
Pembeli mencicil harga jual bangunan mulai saat pembangunan dimulai sampai
dengan selesainya pembangunan, biasanya masa cicilan kurang dari satu tahun.
5. Hal-Hal Lainnya
Permasalahan dalam bisnis properti (real estate) sangatlah kompleks jika kita
memperbincangkan dalam konteks kewajiban perpajakannya. Seorang pengusaha properti
(real estate) akan memiliki kewajiban perpajakan PPh Pasal 25/29 disamping PPh Final
(Pasal 4 ayat 2) sepanjang bergerak dalam bidang real estate jenis properti perumahan/town
house karena pada umumnya pengelola juga menangani sport center, fasilitas hiburan dll.
Dalam hal kepemilikan tanah, sering pula terjadi kerjasama antara pemilik tanah dengan
pengembang dalam bentuk kuasa jual sehingga kepemilikan tanah tetap atas nama pemilik
tanah dan pengembang hanya membangun bangunan di atas tanah yang bersangkutan. Fakta
ini menyebabkan secara formal terjadi penyerahan dari pemilik tanah kepada pembeli tanah
dan bangunan (konsumen), padahal bangunan tersebut merupakan milik pengembang. Pada
umumnya transaksi ini dapat terjadi karena adanya perjanjian kuasa jual antara pemilik tanah
dan pengembang yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini
ini diketahui setelah adanya permohonan mutasi atau pemecahan SPPT dari pemilik tanah
kepada konsumen di kantor pajak setempat.
17
Untuk menghindari kecurigaan terhadap harga jual properti yang dilaporkan pengusaha
properti ada baiknya seorang AR melakukan konfirmasi harga yang sebenarnya kepada
konsumen secara langsung dari rumah ke rumah atau memperoleh bukti transfer dari
konsumen atau pengembang apabila transaksi dilakukan melalui bank atau pernyataan secara
tertulis di atas materai.
Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan adalah terdapat beberapa perusahaan yang
bekerjasama dengan pihak lain membangun fasilitas jalan atau fly over yang akan diserahkan
pada pihak lain sehingga penyerahan tersebut termasuk kategori pemakaian sendiri dan
terutang PPN dengan DPP nilai lain sebesar harga pokok.(Bersumber dari catatan-catatan
seputar penggalian potensi perpajakan dibidang properti (real estate)). Dasar Hukum:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tanggal 04 Nopember 2008 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan.
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan
Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
5. Keputusan Menteri Keuangan N0. 635/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994
tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
6. Keputusan Menteri Keuangan N0. 392/KMK.04/1996 tanggal 05 Juni 1996 tentang
Perubahan KMK N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan.
18
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/KMK.03/2008 Tentang Perubahan Kedua
Atas KMK No. N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan.
8. SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 Tentang Pembayaran PPh atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
9. SE-02/PJ.33/1997 tanggal 30 Juli 1997 Tentang Tindak Lanjut Ketentuan Peralihan
Pasal 11 A PP No. 27 Tahun 1996.
10. SE-55/PJ.42/1999 Tentang PPh WP Badan Yang usaha pokoknya melakukan
transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
11. SE-80/PJ/2009 tanggal 27 Agustus 2009 Tentang pelaksanaan PPh yang bersifat final
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan
6. Pengecualian terhadap Pemungutan PPN
A. Bagi Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,
Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta
Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,
Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta
Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai; Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang
dibebaskan dari pengenaan PPN adalah rumah yang perolehannya secara tunai
ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau
melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
19
b. Harga jual tidak melebihi Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta Rupiah);
c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal
dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.
B. Bagi Rumah Susun Sederhana
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,
Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta
Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,
Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta
Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai; Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan
KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan
penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui
fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:
a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp
75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter
persegi);
c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang
mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan
20
d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
dimiliki.
C. Bagi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, sebagaimana
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 363/KMK.03/2002,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
371/KMK.03/2003, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 11/PMK.03/2007, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 31/PMK.03/2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai
yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
Bersifat Strategis; Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat
hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan
unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya
dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang
memenuhi ketentuan :
a. Luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2;
b. Harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000;
c. Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi
Rp 4.500.000,- per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP);
d. Pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan umum yang
mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana;
dan
e. Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.21
D. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean (Penjelasan
Pasal 8 ayat (2) UU PPN). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN, Tarif PPnBM
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan
tarif 0% (nol persen).
Besarnya tarif PPnBM bagi kelompok hunian mewah seperti rumah mewah,
apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya adalah sebesar 20% (dua
puluh persen).PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan
atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau
atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak
Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan
pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
22
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain
Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
35/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 137/PMK.011/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 620/Pmk.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, PPnBM berupa:
Pembatasan pengenaan PPnBM, hanya dikenakan untuk kelompok hunian mewah
seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dari
jenis non strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih dan dari jenis strata
title dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.
7. Kasus
1) Tuan Boni seorang pegawai negeri yang memiliki 2 buah rumah pada suatu Kawasan
Real Estate bernama Pondok Indah. Objek pertama terletak di Pondok Indah Estate
dengan NJOP sebesar Rp. 28.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 23.500.000,-
Untuk Objek kedua terletak di Puncak Dieng dengan NJOP Bumi sebesar Rp.
31,000,000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 10.000.000,-. Hitunglah PBB terhutang
pada tahun 2007 dari Tuan Boni !
Jawab :
Rumah di kawasan Pondok Indah :
NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,-
Total NJOP = Rp. 41. 500.000
Rumah di kawasan Puncak Dieng :
NJOP Bumi = Rp, 31.000.000,-
23
NJOP Bangunan = Rp, 10.000.000,-
Total NJOP = Rp. 41.000.000,-
NJOP terbesar terletak Pada Rumah Di kawasan Pondok Indah.
NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,- (+)
NJOP sebagai dasar Pengenaan PBB = Rp. 41. 500.000,-
NJOPTKP = Rp 12. 000.000,- (-)
NJOP untuk Perhitungan PBB = Rp 29.500.000,-.
Kemudian untuk Pondok Dieng Estate :
NJOP Bumi = Rp. 31.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 10.000.000,- (+)
NJOP sebagai dasarPengenaan PBB = Rp. 41.000.000,-
NJOPTKP = Rp. 0,- (-)
NJOP untukPerhitungan PBB = Rp. 41.000.000,-
PBB Terhutang = Tarif x NJKP
= Tarif x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,15% x 20% x (Rp. 29.500.000,- + Rp 41.000.000,-)
= 0,15% x 20% x Rp. 70.500.000,-
= Rp. 70,500,-
2) Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP
PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang atas
transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas
perolehan hak Tersebut !
Jawab :
NPOP = Rp. 100.000.000,-
NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-
24
NPOPKP = Rp. 40.000.000,-
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif
BPHTB = NPOPKP x Tarif
BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%
= Rp. 40.000.000 x 5%
= Rp. 2.000.000,-
3)Tn. Aldi menjual sebidang tanah pada tahun 2012 kepada Tn. sejahtera dengan NJOP
sebesar Rp. 110.000.000,- Hitunglah PPhfinal atas pengalihan tanah dan bangunan serta
BPHTB –nya!
Jawab:
PPh Final(pasal 4 ayat 2) yang harus disetor Tn. Adil :
PPh Final = Harga Jual x 5%
= 5% x Rp.110.000.000,-
= Rp. 5.500.000,-
Sedangkan untuk BPHTB nya adalah sbb:
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif
= (Rp.110.000.000 – Rp. 60.000.000) x 5%
= Rp. 50.000.000,- x 5%
= Rp. 2.500.000,-
BAB III
25
PENUTUP
KESIMPULAN
PPh Final Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor
51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan bila pemberi jasa (pengusaha
jasa konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau sertifikasi jasa konstruksi dari lembaga
berwenang (misalnya LPJK). Jika izin atau sertifikat (SBU) itu masih berlaku, tarif yang
diterapkan adalah:
2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi menengah atau
besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil,
menengah atau besar).
Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak berlaku, misalnya karena pengusaha alpa atau
lalai untuk melakukan registrasi ulang atau lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final
yang diterapkan adalah:
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.
Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi tidak memiliki izin atau sertifikasi dari lembaga
berwenang (tidak memiliki SBU dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya bukanlah PPh Final
seperti di atas melainkan:
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak orang
pribadi).
DAFTAR PUSTAKA
26
Himpunan Peraturan Jasa Konstruksi, Jakarta: CV. Eko Jaya. 2004.
Ortax, Jakarta: PT Integral Data Prima. 2010.
http://triantomedia.blogspot.com/2011/01/apa-itu-usaha-jasa-konstruksi.html
http://www.scribd.com/doc/7609695/Pengakuan-an-Dan-Biaya-Pada-an-
http://www.klinik-pajak.com/2008/tata-cara-pelaksanaan-pph-jasa-konstruksi.htmlhttp://
www.ortax.org/ortax/?mod=blogger&page=show&id=13
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13493
http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=42&q=&hlm=1
http://www.infopajak.com/artikel/jasakonstruksi.htm
http://belajarpajak.com/2009/04/16/pph-atas-jasa-konstruksi/
http://www.sertifikasi.biz/kualifikasikonsultan.html
http://blog.unnes.ac.id/antokbs/2009/10/12/pp-no-40-tahun-2009-tentang-perubahan-pp-no-
51-tahun-2008-tentang-pajak-penghasilan-usaha-jasa-konstruksi-berkah-atau-musibah/
http://adriantohidayat.blogspot.com/2011/09/real-estate.html
http://belajarpajak.com/2009/04/04/pph-final-bagi-wajib-pajak-%E2%80%9Creal estate
%E2%80%9D/
http://cepiar.wordpress.com/
http://id.wikipedia.org
http://informativearticles.net/id/
http://josephhartanto.blogspot.com/2008/06/apa-perbedaan-real-estate-dan-properti.html
http://spt-pajak.com/pajak-penghasilan-atas-usaha-real-estate.html
http://www.didikekotjahjono.com/2008/06/beda-properti-dan-real-estate.html
http://www.ikpi.or.id/content/ditjen-pajak-endus-manipulasi-pajak-properti2-notaris-rekanan-
pengembang-tengah-disidik
http://www.jamespropertyinvestor.com/site/kumpulan-artikel/artikel-investasi-property/123-
biaya-biaya-dalam-transaksi-jual-beli-property
http://www.vibiznews.com/index.php
27
Top Related