MAKALAH Seminar Pajak

41
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Saat ini dunia Properti atau Real Estate Indonesia sedang berkembang dengan pesat seiring dengan kebutuhan terhadap perumahan rakyat yang semakin besar dan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan gedung perkantoran dan fasilitasnya. Berbagai jenis perumahan sedang dan akan dibangun, termasuk jenis apartemen, kondomonium, rumah susun, resort untuk kalangan atas yang berkantong tebal. Kebutuhan terhadap properti tidak hanya pada level pertama yaitu jual beli properti di real estate tetapi juga dalam jual beli dalam pasar sekunder serta sewa menyewa. Di saat bersamaan, Jasa Konstruksi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Properti dan atau Real Estate ikut berakselarasi pula.Kebutuhan dunia properti / real estate terhadap jasa konstruksi terlihat dalam keterlibatan awal pembentukan/pembangunan suatu properti dan atau real estate, saat pemeliharaan, dan renovasi di pasar sekunder. Jasa Konstruksi terlibat penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, instalasi dan pemeliharaan konstruksi tanah dan atau bangunan. Dari sisi perpajakan, Properti atau Real Estate sangat menarik untuk dicermati karena dalam setiap pergerakan properti / real estate dapat menimbulkan aspek pajak yang 1

description

seminar pajak

Transcript of MAKALAH Seminar Pajak

Page 1: MAKALAH Seminar Pajak

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Saat ini dunia Properti atau Real Estate Indonesia sedang berkembang dengan pesat

seiring dengan kebutuhan terhadap perumahan rakyat yang semakin besar dan pertumbuhan

ekonomi yang semakin baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan berdampak pada

peningkatan kebutuhan akan gedung perkantoran dan fasilitasnya. Berbagai jenis perumahan

sedang dan akan dibangun, termasuk jenis apartemen, kondomonium, rumah susun, resort

untuk kalangan atas yang berkantong tebal. Kebutuhan terhadap properti tidak hanya pada

level pertama yaitu jual beli properti di real estate tetapi juga dalam jual beli dalam pasar

sekunder serta sewa menyewa.

Di saat bersamaan, Jasa Konstruksi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

keberadaan Properti dan atau Real Estate ikut berakselarasi pula.Kebutuhan dunia properti /

real estate terhadap jasa konstruksi terlihat dalam keterlibatan awal

pembentukan/pembangunan suatu properti dan atau real estate, saat pemeliharaan, dan

renovasi di pasar sekunder. Jasa Konstruksi terlibat penuh dalam proses perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, instalasi dan pemeliharaan konstruksi tanah dan atau bangunan.

Dari sisi perpajakan, Properti atau Real Estate sangat menarik untuk dicermati karena

dalam setiap pergerakan properti / real estate dapat menimbulkan aspek pajak yang berbeda-

beda tergantung dari obyek pajak yang muncul dalam setiap transaksinya. Misalnya dalam

transaksi jual beli bisa muncul berbagai macam pajak antara lain: Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan

Bangunan (PPHTB), Pemotongan PPh pasal 21 atau Pasal 23, Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) bahkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dan tentu saja jika properti

sudah dimiliki akan menimbulkan obyek pajak selanjutnya yaitu Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) dan tidak kalah menarik untuk mengupas bagaimana perpajakan yang ada pada

perusahaan konstruksi. Dari permasalahan tersebut diatas timbulah pertanyaan : Bagaimana

aspek perpajakan atas jasa konstruksi dan real estate?

1

Page 2: MAKALAH Seminar Pajak

BAB II

PEMBAHASAN

A. ASPEK PERPAJAKAN ATAS JASA KONSTRUKSI

Jasa Konstruksi termasuk salah satu jenis kegiatan yang penghasilannya dikenakan PPh

bersifat final. Pengenaan PPh Final ini mulai ditetapkan sejak munculnya Peraturan

Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Pada masa sebelum tahun 2008, saat Peraturan

Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 masih berlaku, secara umum penghasilan dari usaha

jasa konstruksi dikenakan PPh tidak bersifat final.

Dalam makalah ini akan diuraikan ketentuan umum mengenai pengenaan PPh Final atas

jasa konstruksi berdasasrkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008. PP Nomor

51 itu sendiri sekarang ini sudah diubah dengan (stdd) PP Nomor 40 Tahun 2009. Selain

PP tersebut peraturan lain yang juga dijadikan sumber penulisan makalah ini antara lain

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 187/PMK 03/2008 stdd PMK Nomor

153/PMK.03/2009 dan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE.05/PJ.03/2008.

Subjek Pajak

Dalam konteks pengenaan PPh Final jasa konstruksi, yang dimaksud dengan kontraktor

adalah pengusaha jasa konstruksi yang memberikan atau menyediakan jasa layanan atas

jasa konstruksi. Seperti yang disebutkan dalam peraturan-peraturan tersebut diatas,

kontraktor yang tercakup meliputi baik kontraktor yang berbentuk badan hukum (badan

usaha) maupun orang pribadi.

Dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi, kontraktor

yang berstatus orang pribadi ditempatkan ke dalam kelompok Grade 1 dan hanya

diperkenankan untuk mengerjakan proyek konstruksi dengan nilai tidak lebih dari

Rp.100.000.000,- (Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11 Tahun

2006).

2

Page 3: MAKALAH Seminar Pajak

Objek PPh Final

Para kontraktor tersebut diatas, dikenakan PPh atas penghasilan mereka yang berasal dari

kegiatan usaha jasa konstruksi, usaha jasa konstruksi yang penghasilannya ditetapkan

menjadi objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) terdiri dari 3 kelompok jasa, yaitu:

1. Jasa Perencanaan Konstruksi

Perencanaan konstruksi adalah layanan jasa di bidang konstruksi yang pekerjaannya

diwujudkan dalam bentuk dokumen perencanaan pembangunan bangunan atau bentuk

fisik lain. Misalnya jasa penggambaran bangunan (arsitek), jasa penelitian tanah atau

lahan tanah bangunan akan didirikan, jasa penelitian dan analisis mengenai dampak

lingkungan (amdal) dan jasa perencanaan pembangunan lainnya baik yang merupakan

serangkaian kegiatan yang dilakukan secara menyeluruh atau sebagian atau dilakukan

secara terpisah. Sedangkan yang dimaksud dengan bentuk fisik lain adalah konstruksi

teknik yang bukan berbentuk bangunan (gedung, rumah, dsb) seperti misalnya proyek

pembangunan instalasi pembangkit tenaga listrik, pembangunan instalasi pengeboran

minyak, dsb.

2. Jasa Pelaksanaan Konstruksi

Jasa pelaksanaan konstruksi adalah jasa di bidang konstruksi untuk melaksanakan

perencanaan konstruksi menjadi bentuk bangunan atau fisik lain atau jasa dalam

bentuk melaksanakan pembangunan bangunan. Termasuk di dalamnya adalah

pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model

penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model perencanaan

dan bangunan. Jasa perbaikan, perawatan, maupun pemeliharaan bangunan, khususnya

yang dilakukan oleh pemberi jasa yang kegiatan usahannya di bidang jasa konstruksi

(punya surat izin usaha jasa konstruksi/SIUJK) juga termasuk dalam pengertian jasa

pelaksanaan konstruksi.

3. Jasa Pengawasan Konstruksi

Jasa pengawasan konstruksi adalah jasa di bidang pengawasan terhadap proyek atau

pelaksanaan konstruksi mulai dari awal pelaksanaan pekerjaan/proyek konstruksi

sampai selesai dan bangunan diserahterimakan. Misalnya jasa mandor konstruksi, jasa

penilai pekerjaan konstruksi.

3

Page 4: MAKALAH Seminar Pajak

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi

Dalam peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi ada ketentuan bahwa sebelum

mengajukan permohonan untuk meminta surat ijin usaha jasa konstruksi, pengusaha harus

terlebih dahulu mengajukan sertifikasi dan registrasi kepada Lembaga Pengembangan Jasa

Konstruksi (LPJK) untuk memperoleh Sertifikat Badan Usaha (SBU). Ini semacam

dokumen formal yang menyatakan kemampuan atau kompetensi dari si pengusaha jasa

konstruksi. Dalam kesehariannya, SBU ini sering hanya disebut kualifikasi usaha atau

sertifikat kualifikasi usaha.

Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi kedalam 3

kelompok yakni, kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK Nomor 11 Tahun

2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut dengan “grade” yaitu

tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak pada tabel berikut

ini :

Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit pengusaha jasa konstruksi (kontraktor) yang tidak

memiliki sertifikat tersebut. Ada juga kontraktor yang tidak memperpanjang masa berlaku

sertifikat kualifikasi usaha, dimana sertifikat kualifikasi usaha tersebut memiliki masa

berlaku 3 tahun.

Menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 tarif untuk kontraktor yang mempunyai SBU atau

sertifikat kualifikasi usaha dibedakan dengan tarif untuk kontraktor yang tidak mempunyai

SBU (termasuk kontraktor yang SBU nya sudah habis tetapi tidak diperpanjang). Tarif

4

Page 5: MAKALAH Seminar Pajak

PPh final jasa konstruksi sebagaimana yang ditetapkan oleh PP Nomor 51 Tahun 2008

adalah sebagai berikut:

1. Jasa Perencanaan Konstruksi:

4% (empat persen), jika kontraktor mempunyai SBU;atau

6% (enam persen), jika kontraktor tidak mempunyai SBU.

2. Jasa Pelaksanaan Konstruksi:

2% (dua persen), jika kontraktor mempunyai SBU (kelompok Grade1,2,3 dan 4);

3% (tiga persen), jika kontraktor mempunyai SBU menengah maupun besar

(kelompok Grade 5, 6 atau 7);atau

4% (empat persen), jika kontraktor tidak mempunyai SBU atau sertifikasi kualitas

usaha.

3. Jasa Pengawasan Konstruksi

4% (empat persen), jika kontraktor mempunyai SBU;atau

6% (enam persen), jika kontraktor tidak mempunyai SBU atau sertifikasi

kualifikasi usaha.

Bukan PPh Final Jasa Konstruksi

Bagi mereka yang belum teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki SBU dari LPJK,

maka pengenaan PPh atas imbalan yang mereka terima bukan objek PPh Final Pasal 4 ayat

(2) Jasa Konstruksi.  Imbalan yang mereka terima merupakan objek PPh Pasal 23.  Itu pun

kalau mereka berstatus sebagai Wajib Pajak badan (perusahaan) dalam negeri.  Sementara

jika pemberi jasa berstatus Wajib Pajak orang pribadi (individu) dalam negeri, pengenaannya

mengacu ke Pasal 21 UU PPh.

Dasar Pengenaan Pajak

PPh final jasa konstruksi dihitung dengan cara mengalikan tariff tersebut di atas dengan

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menurut Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) PMK Nomor

187/PMK.03/2008, DPP yang digunakan untuk menghitung PPh final jasa konstruksi adalah:

1. Jumlah Pembayaran

Apabila PPh final jasa konstruksi dikenakan melalui pemotongan PPh oleh pengguna

jasa (pemilik proyek atau owner);

5

Page 6: MAKALAH Seminar Pajak

2. Jumlah Penerimaan Pembayaran

Apabila PPh final jasa konstruksi dikenakan melalui penyetoran sendiri oleh

kontraktor yang bersangkutan.

Atau dengan kata lain DPP untuk jasa konstruksi adalah total imbalan jasa dan material,

seperti PP Nomor 140 Tahun 2000.

Saat Terutangnya PPh Final

Sebagai contoh misalnya PT. Wika (kontraktor) menyampaikan tagihan kepada PT. ABC

(owner) pada tanggal 9 Nopember 2012. Pada saat menerima tagihan tersebut baik PT. Wika

maupun PT. ABC sudah sama-sama mengakui beban dan utang/piutang. Jika seandainya

tagihan tersebut dibayar pada bulan Desember 2012, maka saat terutangnya PPh final adalah

di bulan (masa pajak) Desember 2012. Ini artinya, PT. ABC harus memotong PPh Final pada

bulan (masa pajak) Desember 2012.

Pemotongan PPh oleh Pengguna Jasa

Pembayaran atau pelunasan PPh final jasa konstruksi dilakukan melalui salah satu dari dua

cara, yakni melalui pemotongan oleh pengguna jasa (owner) atau dengan cara disetor sendiri

oleh si kontraktor (pemberi jasa).

Jika pengguna jasa (owner) berstatus sebagai pemotong PPh, maka pelunasan PPh final jasa

konstruksi dilakukan melalui pemotongan PPh final oleh pengguna jasa. Dalam hal ini

pengguna jasa wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh final pada waktu

yang telah ditetapkan.

Pemotongan

Pph final jasa konstruksi dilakukan pada saat pembayaran (cash basis). Hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 187/PMK.03/2008.

Misalnya pada tanggal 9 Nopember 2012 PT. ABC menerima tagihan dari kontraktor

atas proyek pembangunan gedung milik PT. ABC kemudian pembayaran tagihan itu

dilakukan pada bulan Desember 2012. Dalam hal ini pemotongan PPh Final Jasa

Konstruksi wajib dilakukan pada bulan Desember 2012 (bulan pembayaran).

6

Page 7: MAKALAH Seminar Pajak

Saat pemotongan PPh ini dibuktikan dengan tanggal yang tercantum dalam bukti

pemotongan PPh maksimal tanggal 31 Desember 2012.

Penyetoran

PPh final jasa konstruksi dilakukan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan

berikutnya setelah bulan terutangnya PPh final jasa konstruksi.

Misalnya dalam contoh diatas, PT. ABC harus menyetorkan PPh Final Jasa Konstruksi

tersebut paling lambat pada tanggal 10 Januari 2013. Jika tanggal 10 itu jatuh pada hari

libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai ketentuan, penyetoran pajak

bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Penyetoran PPh final dilakukan dengan menggunakan SSP dimana satu SSp digunakan

untuk penyetoran seluruh PPh final jasa konstruksi yang dipotong dibulan yang

bersangkutan.

Pelaporan

PPh final jasa konstruksi dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh final lainnya

(seperti pemotongan PPh final sewa tanah/bangunan, dividen,dsb). Pelaporan

menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) dan disampaikan ke KPP

tempat pemotong PPh terdaftar.

Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya

setelah bulan terutangnya PPh final. Seperti contoh diatas, PT. ABC wajib melaporkan

SPT Masa PPh final ke KPP tempatnya terdaftar paling lambat tanggal 20 Januari 2013

dan jika tanggal tersebut liburmaka dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pemotong PPh final ini meliputi:

a. Badan, lembaga atau institusi pemerintah;

b. Subyek pajak badan dalam negeri termasuk BUT;

c. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang ada di Indonesia; dan

d. Orang pribadi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak (KPP setempat)

Penyetoran Sendiri oleh Kontraktor

Apabila pengguna jasa (owner) bukan pemotong PPh, maka kontraktor selaku pemberi jasa

dan penerima penghasilan wajib menyetorkan sendiri PPh final yang terutang tersebut.

7

Page 8: MAKALAH Seminar Pajak

Penyetoran

Penyetoran sendiri PPh final oleh si pemberi jasa dilakukan paling lambat pada tanggal

15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran (cash basis).

Penyetoran sendiri PPh final dilakukan dengan menggunakan SSP dimana satu SSP

digunakan untuk penyetoran seluruh PPh final jasa konstruksi di bulan yang

bersangkutan yang bukan dipotong oleh owner.

Pelaporan

Pelaporan PPh final jasa konstruksi yang melakukan penyetoran sendiri juga

dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh final lainnya (seperti PPh final sewa dan

bangunan, dan PPh final lainnya yang tidak dipotong oleh pengguna jasa). Pelaporan

menggunakan formulir SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) disampaikan ke KPP tempat

kontraktror terdaftar. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh)

bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran imbalan jasa konstruksi. Dan

jika tanggal 20 adalah hari libur, maka dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Penyetoran sendiri PPh final jasa konstruksi ini juga seringkali diminta untuk

dilakukan apabila kontraktor tidak dapat memperlihatkan kepada pemeriksa pajak

formulir bukti pemotongan PPh final dari si pengguna jasa (owner). Dalam hal ini

kemungkinan kontraktor dapat dikenai sanksi berupa bunga karena dianggap terlambat

menyetorkan sendiri PPh final tersebut.

Contoh Kasus :

PT. Sejahtera merupakan perusahaan pelaksana konstruksi sipil bangunan dengan

kualifikasi besar mengadakan perjanjian pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan PT.

Papan Makmurindo yang merupakan pemilik bangunan, dengan nilai perjanjian

sebesar Rp.1.650.000.000 termasuk PPN.

PT. Papan Makmurindo mempunyai kewajiban pemotongan terhadap penghasilan PT.

Sejahtera sebagai berikut:

PPN yang wajib dipungut adalah:

10/110 x Rp. 1.650.000.000,00 = Rp. 150.000.000,00

PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib dipotong adalah:

8

Page 9: MAKALAH Seminar Pajak

Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar Nilai Perjanjian dikurangi dengan besarnya

PPN yang dipungut.

Rp.1.650.000.000.,00 – Rp. 150.000.000,00 = Rp. 1.500.000.000,00

Besar PPh Pasal 4 ayat (2) adalah 3% x Rp. 1.500.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00

Kementerian Pekerjaan Umum (NPWP. 00.849.100.0-012.000) melaksanakanproyek

pemerintah pembangunan jalan dengan menggunakan dana yangberasal dari hibah Bank

dunia sebesar US$. 100.000.000,00 (Rp.850.000.000.000,00 dengan kurs Menkeu pada saat

ditandatangani kontrak sebesar Rp.8.500,00/US$) yang telah tercantum dalam

DIPA Kementerian PU.Proyek pemerintah ini dilaksanakan selama jangka waktu 3

tahun yaitu dari tahun 2009 s.d. 2011. Untuk tahun 2011 sisa anggaran yang belum dicairkan

adalah Rp.340.000.000.000,00. Proyek pemerintah ini dilaksanakan oleh kontraktor utama PT.

Andang Konstruksi NPWP/NPPKP : 02.668.854.2.012.000 yang memiliki kualifikasi usaha besar

yang dibuktikan dengan sertifikasi pelaksana konstruksi dari Lembaga Pengembangan

Jasa Konstruksi Bagaimana kewajiban perpajakan yang harus dilakukan Syarif selaku

Bendahara Kementerian PU, apabila pada bulan Mei 2011, Syarif mencairkan sisa

anggaran untuk membayar jasa konstruksi PT Andang Konstruksi ?

Proyek Pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam Daftar Isian Proyek

(DIP)atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP, termasuk proyek yang

dibiayaidengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan Agreement

(SLA).

Pemotongan/Pemungutan PPh1) PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima

atau diperoleh kontraktor, konsultan,dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan

yang dilakukan dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai dengan

dana hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri DITANGGUNG PEMERINTAH .

Besar PPh Final pasal 4 ayat (2) yang  ditanggung  pemerintah :

3 %  x Rp. 340.000.000.000,00 =  Rp. 10.200.000.000,00

Pemungutan PPN Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

yang terutang atas impor serta penyerahan barang dan jasa dalam rangka pelaksanaan

Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau danapinjaman luar negeri TIDAK

DIPUNGUT PPN.

9

Page 10: MAKALAH Seminar Pajak

B. ASPEK PERPAJAKAN ATAS REAL ESTATE

1. Jenis Usaha Properti

Properti real estate dikelompokkan dalam 6 bentuk, yaitu:

1. Real Estate Jenis Properti Apartemen

Properti yang berada dalam sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi seperti

hotel.Perlu diingat karena bentuknya seperti rumah maka dapat dimiliki secara pribadi

maupun disewakan.

2. Real Estate Jenis Properti Perumahan

Sebuah kompleks perumahan yang dapat dihuni berbagai macam keluarga biasanya

dilengkapi sarana prasarana oleh pengelola.

3. Real Estate Jenis Properti Rukan dan Office Space

Dibuat kepada pebisnis  yang ingin membuka cabang perusahaan . Kawasan ini bisa

dikatakan kawasan perkantoran yang bentuknya menyerupai rumah namun fungsinya

sebagai kantor.

4. Real Estate Jenis Properti Ruko dan Mall

Biasanya Ruko untuk jenis ini biasanya sebagai hunian dan  sekaligus umumnya

perdagangan sementara Mall berisi bermacam toko yg biasanya memiliki nama besar.

5. Real Estate Jenis Properti Tanah Kavling

merupakan tanah yang sudah memiliki konsep pembangunan .

6. Real Estate Jenis Properti Town House

Rumah dengan rancangan dan tempat yang eksekutif dan disisi kota besar, dan khusus

untuk rumah dengan kategori lux dan mewah.

Pengelompokan di atas masih dapat dibagi-bagi lagi perjenisnya, misalnya perumahan, kita

mengenal kategori rumah sederhana (RS), rumah sangat sederhana (RSS), rumah sederhana

kecil (RSK).

2. Pajak Pajak Yang Dikenakan

10

Page 11: MAKALAH Seminar Pajak

Secara umum jenis-jenis pajak yang melekat pada bisnis properti khusus real estate dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

1. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

PBB merupakan pajak kebendaan yang melekat pada objeknya yang dipungut setiap

tahun dan dikenakan kepada semua wajib pajak (pemilik properti). Pada awalnya

pajak ini merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah

pusat namun demikian seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi

tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya dengan diberlakukannya UU Nomor 28

Tahun 2009 tentang PDRD maka mulai tahun 2014 seluruh proses pengelolaan pajak

ini akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dipungut setiap tahun dan dikenakan kepada

semua wajib pajak (pemilik properti).Tagihannya dilayangkan pemerintah setiap

bulan Maret, melalui aparat desa setempat, dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak

Terutang (SPPT).Adapun pembayarannya harus dilakukan paling lambat enam bulan

setelah SPPT diterbitkan ke loket-loket terdekat yang disediakan, atau ke kantor-

kantor bank yang ditunjuk pemerintah.Setelah melakukan pembayaran, harap bukti

pembayarannya disimpan. Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan wajib pajak

belum membayar, maka akan didenda 2 persen per bulan hingga maksimal 24 bulan.

Cara perhitungan PBB:

PBB = 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

NJKP = 20% dari Nilai Jual Objek Kena Pajak (NJOPKP) untuk properti dengan

NJOP dibawah Rp. 1 miliar dan 40 % untuk NJOP diatas 1 miliar.

NJOPKP = NJOP – NJPOKTP. Perlu dicatat, besarnya NJOPTK ini berbeda-beda

setiap daerah.

2. Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB akan dikenakan kepada Pembeli dan dibayarkan ketika terjadi peralihan hak

atau penandatanganan akta jual beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran pajak

dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

11

Page 12: MAKALAH Seminar Pajak

Cara menghitung BPHTB adalah sebagai berikut :

BPHTB = (Harga Jual – Faktor Tidak Kena Pajak*) x 5%)

* Faktor Tidak Kena Pajak di setiap daerah berbeda.

3. Pajak Penghasilan Bersifat Final (PPh Final)

PPh Final akan dikenakan kepada Penjual apabila Penjual adalah perseorangan atau

Sertifikat Hak Milik (SHM). Untuk Penjual adalah Perusahaan atau Sertifikat Hak

Guna Bangunan (SHGB), maka tidak dikenakan PPh Final apabila nilai transaksi

dibawah Rp. 60.000.000,-. PPh Final hanya dikenakan apabila nilai transaksi jual beli

lebih dari dari Rp. 59.999.999,00 (Enam Puluh Juta Rupiah).

Sama dengan BPHTB, PPh Final dibayarkan ketika terjadi peralihan hak atau

penandatanganan akta jua beli di Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT).Pembayaran dapat dilakukan di Bank yang ditunjuk sebagai tempat

pembayaran pajak dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Cara menghitung PPh Final adalah sebagai berikut :

PPh Final = Harga Jual x 5%

4. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

A. Terutang PPN

PPN akan dikenakan kepada Pembeli, dipungut oleh Penjual dengan catatan

Penjual adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan atau penghasilan dari

penjualan properti melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) per

tahun. PPN dipungut pada saat penerimaan uang muka maupun pelunasan

dandibayarkan selambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.

Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :

a. Apabila harga jual TIDAK TERMASUK PPN

PPN = Harga Jual x 10%

b. Apabila harga jual TERMASUK PPN

PPN = (Harga Jual : Dasar Pengenaan Pajak*) x 10%)

12

Page 13: MAKALAH Seminar Pajak

* Dasar Pengenaan Pajak adalah faktor pembagi harga jual sebesar 1,1

atau110%

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). NJOP

dapat dilihat pada lembar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).Apabila NJOP lebih besar

dari nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan NJOP begitu pula

sebaliknya.

Penyerahan produk  tidak seluruhnya terhutang PPN, yaitu untuk penyerahan  rumah

murah PPN nya ditanggung pemerintah  sebagaimana ketentuan dalam KEPPRES 

No. 42 tahun 1995 tanggal 19 Juni 1995 tentang Perubahan atas KEPPRES No. 18

tahun 1986 tentang PPN yang terhutang atas impor dan Penyerahan Barang Kena

Pajak dan Jasa Kena Pajak tertentu yang ditanggung pemerintah sebagaimana telah

beberapa kali dirubah terakhir dengan KEPPRES No. 8 tahun 1988 .

B. Tidak Terutang PPN

Batasan mengenai rumah murah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan

No. 310/KMK.04/1989 tanggal 3 April 1989, yaitu mengacu kepada surat

Menteri Keuangan kepada Menteri Perumahan Rakyat No. S-462/MK.04/86

tanggal 6 Mei 1986 sebagai berikut :

1. Penyerahannya harus melalui kredit pemilikan rumah (KPR)

2. Type bangunan adalah type 70 kebawah dengan luas tanah maksimal

200 M2 dan 165 M2 untuk rumah maisonet.

3. Perusahaan pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan

rumah murah wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktorat

Jendral Pajak (KPP setempat) mengenai : Jumlah dan type rumah

mujrah yang dijual, Harga jual rumah, jumlah PPN yang tidak dipungut

(PPN yang ditanggung pemerintah), nama perusahaan yang memberi

kredit dan jangka waktu kredit.

Menentukan apakah suatu bangunan masuk dalam kategori rumah murah atau tidak

harus memperhatikan surat Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat kepada

Menteri Keuangan RI No.60/BT.01.01/M/4/1985 tanggal 9 April 1985, yaitu :

13

Page 14: MAKALAH Seminar Pajak

1. Harga jual bangunan rumah per m2 tidak melebihi 75% dari harga

rumah dinas kelas C di daerah yang bersangkutan.

2. Harga jual tanah matang per m2 tidak melebihi perhitungan luas

bangunan rumah dikalikan harga jual tertinggi bangunan per m2 dan

dibagi dengan luas kapling.

3. Harga jual rumah beserta tanah adalah 2 (dua) kali luas bangunan

rumah dikalikan dengan harga jual tertinggi bangunan rumah per m2.

Pedoman harga per m2 rumah dinas kelas C ditetapkan oleh Bappenas dan

Departemen Keuangan setiap tahun anggaran.

5. PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)

Disamping rumah murah ada juga produk properti yang terhutang PPn BM, yaitu atas

penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium, sebagaimana

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2003 tanggal 20 Januari 2003

tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang

Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan PPn BM. Menurut ketentuan

dalam PP ini penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium

terhutang PPn BM sebesar 20 %.

Mulai tanggal 1 Juni 2009 penyerahan bangunan yang terutang PPnBM hanya

berdasarkan luas bangunan yaitu luas bangunan sebesar 350m2 atau lebih.Perlu

dilakukan pengawasan terhadap penyerahan bangunan yang kurang atau mendekati

luas bangunan 350m2 karena terdapat kemungkinan luas bangunan yang sebenarnya

lebih dari luas yang tercantum dalam dokumen.

Pengujian kebenaran harga bangunan Perm2  dapat menggunakan pendekatan harga

pokok ditambah dengan margin, atau apabila harga jual tanah dan bangunan diketahui

maka harga jual bangunan dapat dihitung secara proposional antara harga NJOP

bangunan dibandingkan dengan NJOP tanah.

PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dibeli dari developer dan memenuhi

kriteria sebagai barang mewah. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antar

perorangan. Sebagai contoh Sebuah Apartemen/town house dengan kriteria tertentu

dan menjualnya ke konsumen B, maka konsumen B akan membayar BPHTB sebesar

14

Page 15: MAKALAH Seminar Pajak

5%, PPN sebesar 10% dan PPnBM 20% (bila memenuhi kriteria yang

dipersyaratkan).

3.iKewajiban Pajak Real Estate

Untuk membantu mempermudah pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang

bergerak dalam sektor Real Estate dengan mempertimbangkan sistem perpajakan di

Indonesia yang self assessment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk

menghitung, membayar/menyetor, melapor, dan memperhitungkan sendiri pajaknya tanpa

harus menunggu adanya ketetapan dari Direktorat Jenderal Pajak, maka perlu kami

sampaikan beberapa kewajiban yang harus diperhatikan sebagai berikut :

1. Atas penghasilan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/ bangunan sesuai

dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : PP-71 Tahun 2008, harus

disetor Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 5% (lima persen) dari jumlah

bruto nilai pengalihan, kecuali atas pengalihan hak atas rumah sederhana dan sangat

sederhana adalah sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.

2. PPh Final yang terutang tersebut harus dilunasi sendiri ke bank persepsi atau kantor

pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat sebelum Akte

Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditandatangani dan dilaporkan melalui

SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

3. Atas penyerahan tanah dan/ bangunan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000, wajib

dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga

jual, kecuali penyerahan rumah sederhana dan rumah susun sederhana mendapat

fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) tersebut wajib di setor ke bank persepsi atau kantor pos

paling lambat tanggal 15 bulan berikunya dan dilaporkan melalui SPT Masa PPN

(1107) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

4. Atas pembayaran gaji, upah, honorarium dan penghasilan lainnya kepada pengurus,

pegawai, tenaga ahli dan penerima penghasilan lainnya agar dilakukan pemotongan

PPh Pasal 21 sesuai dengan Peraturan Materi Keuangan Nomor :

PMK-252/PMK.03/2008 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-31/PJ/2009. PPh

Pasal 21 yang dipotong tersebut harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan 15

Page 16: MAKALAH Seminar Pajak

berikutnya dan dilaporkan melalui SPT Masa PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 20

bulan berikutnya.

5. Atas pembayaran kontrak kepada penyedia jasa konstruksi sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor : PP-51 Tahun 2008, harus dipotong Pajak

Penghasilan yang bersifat final dengan tarif :

a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa

yang memiliki Kualifikasi Usaha Kecil.

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia

jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha.

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia

jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b.

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi

yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha.

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan atau Pengawasan Konstruksi yang

dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha.

PPh Final atas jasa konstruksi tersebut harus disetor paling lambat tanggal 10

bulan berikunya dan dilaporkan melalui SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling

lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

6. Atas pembayaran sewa, dividen, bunga, jasa dan pembayaran lainnya yang belum

dijelaskan di atas dan menjadi obyek pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan

agar dipotong, disetor dan dilaporkan sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Mekanisme Penjualan/Pembelian Properti (Real Estate)

a. Penjualan secara tunai

Penjualan secara tunai pada umumnya terjadi atas rumah, apartemen, Ruko dan

sebagainya yang memang telah tersedia  atau siap huni. Pembeli langsung melunasi

harga jual dari bangunan, ditambah PPN, PPn BM, BPHTB dan biaya untuk

mengurus akte jual beli.

b. Kredit Pemilikan Rumah/ Apartemen

Sebagian dari harga jual dibiayai oleh bank pemberi kredit. Pembeli cukup membayar

uang muka sedangkan sisanya dibiayai dari kredit yang akan diangsur oleh pembeli

16

Page 17: MAKALAH Seminar Pajak

setiap bulan. Jika bank menyetujui permohonan kredit nasabah, maka akan dibuatkan

akad kredit antara bank dengan nasabah. Selanjutnya bank akan mentransfer seluruh

dana kredit tersebut ke perusahaan pengembang sebagai pelunasan harga jual

bangunan. Pembayaran uang muka dari calon pembeli (baik sekaligus maupun

diangsur) terhutang PPN.

c. Sewa

Untuk gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan biasanya dilakukan dengan cara

sewa. Besarnya biaya sewa dihitung berdasarkan tarip sewa per M2 per bulan. Selain

biaya sewa, penyewa juga akan dibebankan service charge . Biaya sewa biasanya

dibayar dimuka oleh penyewa untuk beberapa bulan sekaligus  sedangkan service

charge akan ditagih setiap bulan.

d. Cicilan Tunai

Pembeli mencicil harga jual bangunan mulai saat pembangunan dimulai sampai

dengan selesainya pembangunan, biasanya masa cicilan kurang dari satu tahun.

5. Hal-Hal Lainnya

Permasalahan dalam bisnis properti (real estate) sangatlah kompleks jika kita

memperbincangkan dalam konteks kewajiban perpajakannya. Seorang pengusaha properti

(real estate) akan memiliki kewajiban perpajakan PPh Pasal 25/29 disamping PPh Final

(Pasal 4 ayat 2)  sepanjang bergerak dalam bidang real estate jenis properti perumahan/town

house karena pada umumnya pengelola juga menangani sport center, fasilitas hiburan dll.

Dalam hal kepemilikan tanah, sering pula  terjadi  kerjasama antara pemilik tanah dengan

pengembang dalam bentuk kuasa jual sehingga kepemilikan tanah tetap atas nama pemilik

tanah dan pengembang hanya membangun bangunan di atas tanah yang bersangkutan. Fakta

ini menyebabkan secara formal terjadi penyerahan dari pemilik tanah kepada pembeli tanah

dan bangunan (konsumen), padahal  bangunan tersebut merupakan milik pengembang. Pada

umumnya transaksi ini dapat terjadi karena adanya perjanjian kuasa jual antara pemilik tanah

dan pengembang yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini  

ini diketahui  setelah adanya permohonan mutasi  atau pemecahan SPPT  dari pemilik tanah

kepada konsumen di kantor pajak setempat.

17

Page 18: MAKALAH Seminar Pajak

Untuk menghindari kecurigaan terhadap harga jual properti yang dilaporkan pengusaha

properti ada baiknya seorang AR melakukan konfirmasi harga yang sebenarnya kepada

konsumen secara langsung dari rumah ke rumah atau memperoleh bukti transfer dari

konsumen atau pengembang  apabila transaksi dilakukan melalui bank atau pernyataan secara

tertulis di atas materai.

Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan adalah terdapat beberapa perusahaan yang

bekerjasama dengan pihak lain membangun fasilitas jalan atau fly over yang akan diserahkan

pada pihak lain sehingga penyerahan tersebut termasuk kategori pemakaian sendiri dan

terutang PPN dengan DPP nilai lain sebesar harga pokok.(Bersumber dari  catatan-catatan

seputar penggalian potensi perpajakan dibidang properti (real estate)). Dasar Hukum:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan

atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran

Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tanggal 04 Nopember 2008 tentang

Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang

Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan.

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan

Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan

Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

5. Keputusan Menteri Keuangan  N0. 635/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994

tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas

Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

6. Keputusan Menteri Keuangan  N0. 392/KMK.04/1996 tanggal 05 Juni 1996 tentang

Perubahan KMK N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan

Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah

Dan/Atau Bangunan.

18

Page 19: MAKALAH Seminar Pajak

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/KMK.03/2008 Tentang Perubahan Kedua

Atas KMK No. N0. 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan

Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah

Dan/Atau Bangunan.

8. SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 Tentang Pembayaran PPh atas

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

9. SE-02/PJ.33/1997 tanggal 30 Juli 1997 Tentang Tindak Lanjut Ketentuan Peralihan

Pasal 11 A PP No. 27 Tahun 1996.

10. SE-55/PJ.42/1999 Tentang PPh WP Badan Yang usaha pokoknya melakukan

transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

11. SE-80/PJ/2009 tanggal 27 Agustus 2009 Tentang pelaksanaan PPh yang bersifat final

atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau

diperoleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan

6. Pengecualian terhadap Pemungutan PPN

A. Bagi Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,

Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta

Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,

Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta

Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai; Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang

dibebaskan dari pengenaan PPN adalah rumah yang perolehannya secara tunai

ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau

melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:

a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);

19

Page 20: MAKALAH Seminar Pajak

b. Harga jual tidak melebihi Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta Rupiah);

c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat

tinggal

dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.

B. Bagi Rumah Susun Sederhana

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,

Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta

Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,

Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta

Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai; Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu

lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan

KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan

penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui

fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:

a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp

75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);

b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter

persegi);

c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang

mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan

20

Page 21: MAKALAH Seminar Pajak

d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat

tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak

dimiliki.

C. Bagi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami)

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan  Nomor 155/KMK.03/2001 tentang

Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau

Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, sebagaimana

diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 363/KMK.03/2002,

sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

371/KMK.03/2003, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 11/PMK.03/2007, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 31/PMK.03/2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai

yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang

Bersifat Strategis; Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan

bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat

hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan

unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya

dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang

memenuhi ketentuan :

a. Luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2;

b. Harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000;

c. Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi

Rp 4.500.000,- per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP);

d. Pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan umum yang

mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana;

dan

e. Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat

tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.21

Page 22: MAKALAH Seminar Pajak

D. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi

Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean (Penjelasan

Pasal 8 ayat (2) UU PPN). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN, Tarif PPnBM

ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus

persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan

tarif 0% (nol persen).

Besarnya tarif PPnBM bagi kelompok hunian mewah seperti rumah mewah,

apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya adalah sebesar 20% (dua

puluh persen).PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan

Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan

atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan

oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah

Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan

b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau

atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak

Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan

pertimbangan bahwa:

a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang

berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;

b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak

yang tergolong mewah;

c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;

dan

d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

22

Page 23: MAKALAH Seminar Pajak

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain

Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

35/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 137/PMK.011/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 620/Pmk.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak

yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, PPnBM berupa:

Pembatasan pengenaan PPnBM, hanya dikenakan untuk kelompok hunian mewah

seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dari

jenis non strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih dan dari jenis strata

title dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.

7. Kasus

1) Tuan Boni seorang pegawai negeri yang memiliki 2 buah rumah pada suatu Kawasan

Real Estate bernama Pondok Indah. Objek pertama terletak di Pondok Indah Estate

dengan NJOP sebesar Rp. 28.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 23.500.000,-

Untuk Objek kedua terletak di Puncak Dieng dengan NJOP Bumi sebesar Rp.

31,000,000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 10.000.000,-. Hitunglah PBB terhutang

pada tahun 2007 dari Tuan Boni !

Jawab :

Rumah di kawasan Pondok Indah :

NJOP Bumi         = Rp. 28.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,-

Total NJOP          = Rp. 41. 500.000

Rumah di kawasan Puncak Dieng :

NJOP Bumi           = Rp, 31.000.000,-

23

Page 24: MAKALAH Seminar Pajak

NJOP Bangunan   = Rp, 10.000.000,-

Total NJOP            = Rp. 41.000.000,-

NJOP terbesar terletak Pada Rumah Di kawasan Pondok Indah.

NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,- (+)

NJOP sebagai dasar Pengenaan  PBB =  Rp. 41. 500.000,-

NJOPTKP =   Rp 12. 000.000,- (-)

NJOP untuk Perhitungan PBB = Rp 29.500.000,-.

Kemudian untuk Pondok Dieng Estate :

NJOP Bumi =  Rp. 31.000.000,-

NJOP Bangunan =  Rp. 10.000.000,- (+)

NJOP sebagai dasarPengenaan  PBB =  Rp. 41.000.000,-

NJOPTKP =  Rp.                                 0,- (-)

NJOP untukPerhitungan PBB = Rp. 41.000.000,-

PBB Terhutang = Tarif x NJKP

= Tarif x (NJOP-NJOPTKP)

                                = 0,15% x  20% x (Rp. 29.500.000,- + Rp 41.000.000,-)

= 0,15% x  20% x Rp. 70.500.000,-

                  =  Rp. 70,500,-

2) Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP

PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang atas

transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas

perolehan hak Tersebut !

Jawab :

NPOP = Rp. 100.000.000,-

NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-

24

Page 25: MAKALAH Seminar Pajak

NPOPKP = Rp. 40.000.000,-

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif

BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%

= Rp. 40.000.000 x 5%

= Rp. 2.000.000,-

3)Tn. Aldi menjual sebidang tanah pada tahun 2012 kepada Tn. sejahtera dengan NJOP

sebesar Rp. 110.000.000,- Hitunglah PPhfinal atas pengalihan tanah dan bangunan serta

BPHTB –nya!

Jawab:

PPh Final(pasal 4 ayat 2) yang harus disetor Tn. Adil :

PPh Final = Harga Jual x 5%

= 5% x Rp.110.000.000,-

= Rp. 5.500.000,-

Sedangkan untuk BPHTB nya adalah sbb:

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

= (Rp.110.000.000 – Rp. 60.000.000) x 5%

= Rp. 50.000.000,- x 5%

= Rp. 2.500.000,-

BAB III

25

Page 26: MAKALAH Seminar Pajak

PENUTUP

KESIMPULAN

PPh Final Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor

51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan bila pemberi jasa (pengusaha

jasa konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau sertifikasi jasa konstruksi dari lembaga

berwenang (misalnya LPJK).  Jika izin atau sertifikat (SBU) itu masih berlaku, tarif yang

diterapkan adalah:

2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;

3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi menengah atau

besar;

4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil,

menengah atau besar).

Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak berlaku, misalnya karena pengusaha alpa atau

lalai untuk melakukan registrasi ulang atau lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final

yang diterapkan adalah:

4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;

6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.

Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi tidak memiliki izin atau sertifikasi dari lembaga

berwenang (tidak memiliki SBU dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya bukanlah PPh Final

seperti di atas melainkan:

PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan (perusahaan); atau

PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak orang

pribadi).

DAFTAR PUSTAKA

26

Page 27: MAKALAH Seminar Pajak

Himpunan Peraturan Jasa Konstruksi, Jakarta: CV. Eko Jaya. 2004.

Ortax, Jakarta: PT Integral Data Prima. 2010.

http://triantomedia.blogspot.com/2011/01/apa-itu-usaha-jasa-konstruksi.html

http://www.scribd.com/doc/7609695/Pengakuan-an-Dan-Biaya-Pada-an-

http://www.klinik-pajak.com/2008/tata-cara-pelaksanaan-pph-jasa-konstruksi.htmlhttp://

www.ortax.org/ortax/?mod=blogger&page=show&id=13

http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13493

http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=42&q=&hlm=1

http://www.infopajak.com/artikel/jasakonstruksi.htm

http://belajarpajak.com/2009/04/16/pph-atas-jasa-konstruksi/

http://www.sertifikasi.biz/kualifikasikonsultan.html

http://blog.unnes.ac.id/antokbs/2009/10/12/pp-no-40-tahun-2009-tentang-perubahan-pp-no-

51-tahun-2008-tentang-pajak-penghasilan-usaha-jasa-konstruksi-berkah-atau-musibah/

http://adriantohidayat.blogspot.com/2011/09/real-estate.html

http://belajarpajak.com/2009/04/04/pph-final-bagi-wajib-pajak-%E2%80%9Creal estate

%E2%80%9D/

http://cepiar.wordpress.com/

http://id.wikipedia.org

http://informativearticles.net/id/

http://josephhartanto.blogspot.com/2008/06/apa-perbedaan-real-estate-dan-properti.html

http://spt-pajak.com/pajak-penghasilan-atas-usaha-real-estate.html

http://www.didikekotjahjono.com/2008/06/beda-properti-dan-real-estate.html

http://www.ikpi.or.id/content/ditjen-pajak-endus-manipulasi-pajak-properti2-notaris-rekanan-

pengembang-tengah-disidik

http://www.jamespropertyinvestor.com/site/kumpulan-artikel/artikel-investasi-property/123-

biaya-biaya-dalam-transaksi-jual-beli-property

http://www.vibiznews.com/index.php

27