BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) (Smeltzer, 2000 : 2210). Cedera Kepala
merupakan suatu masalah neurologi yang sering terjadi dan merupakan penyebab
kematian nomor satu di dunia, baik di Negara maju ataupun di Negara
berkembang. Perkembangan teknologi dan meningkatnya mobilitas manusia yang
semakin padat dan semakin sibuk mempunyai dampak negatif yaitu
meningkatnya frekuensi kecelakaan lalu lintas, sehingga salah satunya dapat
mnyebabkan Cedera Kepala (Wahjoepramono, 2005:1).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tehunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10 % meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit 80 % dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10 % termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10 %
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi
pada kelompok usia prodiktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48 %-53 % dari insiden cedera kepala, 20 %-28 % lainnya
karena jatuh dan 3 %-5 % lainnya tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi (http://yayanakhyar.wordpress.com, diperoleh tanggal 29 Juni 2009).
Untuk data di Indonesia epidemiologi belum ada, tetapi data dari salah
satu dari rumah sakit di Jakarta tapatnya di RS Cipto Mangunkusumo untuk
penderita rawat inap terdapat 60 %-70 % dengan CKR, 15 %-20 % CKS, dan
sekitar 10 % dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35 %-50 % akibat
CKB, 5 %-10 % CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
(http://yayanakhyar.wordpress.com, diperoleh tanggal 9 November 2015).
1
Fakta insiden di atas membuktikan bahwa Cedera Kepala ini perlu
mendapatkan perhatian lebih dan harus segera ditangani, karena apabila tidak
mendapatkan penanganan yang cepat, maka akan berdampak pada sistem tubuh
lainnya yaitu sistem kardiovaskuler, pernapasan, perkemihan, pencernaan dan
muskuloskeletal, bahkan tidak jarang akan berujung pada kematian.
Menyikapi issue di atas, keterlibatan tim kesehatanlah yang dianggap
mampu memberikan solusi. Perawat merupakan bagian dari tim kesehatan yang
memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan intervensi kepada pasien dan
anggota keluarga sehingga fungsi dan peran perawat dapat dimaksimalkan dalam
pemberian asuhan keperawatan terhadap klien seperti memenuhi kebutuhan dasar,
meningkatkan kesehatan fisik, melakukan pedekatan spiritual, psikologis dan
mengaplikasikan fungsi edukatornya dengan tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan penderita dan keluarga terhadap penatalaksanaan Cedera Kepala.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini, adalah untuk :
1. Meningkatkan pengetahuan tentang Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Cedera Kepala
2. Memberi gambaran dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan secara teoritis
pada klien dengan Cedera Kepala.
C. Ruang Lingkup Penulisan
Karena keterbatasan dari penulis dan luasnya permasalahan kesehatan
khususnya pada sistem persarafan.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga BAB yang disusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
2
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penulis dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Landasan Teoritis yang terdiri dari Konsep Dasar yang mencakup
Anatomi Fisiologi Kepala, Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan,
Konsep Dasar Cedera
BAB III : Asuhan Keperawatan teoritis
BAB IV : Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi dan Fisiologi Persarafan
1. Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Menurut Dr. Iskandar (2004) jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan :
1) Skin (kulit), sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
keringat (sebasea).
2) Connective tissue (jaringan subkutis), merupakan jaringan ikat lemak
yang memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.
3) Jaringan ikat yang kuat dan merupakan Apeneurosis Galea, berupa
fascia. yang melekat pada tiga otot, yaitu muskulus frontalis,
occipitaslis dan temporalis.
4) Jaringan ikat jarang (loose alveolar tissue), menyerupai spons karena
berisi banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena
menyerap cairan yang terbentuk akibat cedera atau infeksi.
5) Peritonium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat erat terutama pada sutura.
Berdasarkan lokasinya, pada kulit kepala terdapat pembuluh darah arteri
yaitu :
1) Anterior : Arteri supraorbita cabang arteri optalmika dan arteri
supratroklearis cabang terminal arteri optalmika.
2) Posterior : Arteri oksipitalis cabang arteri kanalis eksterna.
3) Lateral : Arteri temporalis superfisialis, salah satu cabang terminal
arteri kanalis eksterna dan arteri artikularis posterior
cabang karotis eksterna.
b. Cranium/Tengkorak
Cranium meliputi otak dan meningen, bagian proksimal saraf-saraf
otak dan pembuluh darah pada kerangka wajah terdapat kedua orbita
4
(lekuk mata) dan rongga hidung dan juga maxilla (rahang atas) dan
mandibula (rahang bawah). Tengkorak berfungsi sebagai pelindung otak
dari indra khusus yaitu penglihatan dan pendengaran, tempat melekatnya
otot-otot di kepala dan sebagai tempat bantalan gigi.
2. Anatomi Persarafan
1. Sistem Saraf Pusat
Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh selaput (meningen), selaput
pembungkus otak ini terbagi lagi menjadi 3 lapisan diantaranya yaitu :
a) Durameter (lapisan luar)
Merupakan jaringan ikat yang terdiri dari dua lapisan, bagian luar
(dura endosfeal) dan bagian dalam (dura mengel).
b) Arachnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter, membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan
otak.
c) Piameter (lapisan dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak dan merupakan lapisan vaskuler.
Gambar 2.2. Selaput Pembungkus Otak (Meningen)
(Sumber. Function Human Anatomy)
5
2. Otak
Otak terbagi menjadi beberapa bagian di antaranya :
a) Cerebrum (otak besar)
Cerebrum (otak besar) merupakan bagian yang terluas dan terbesar
dari otak. Cerebrum berfungsi mengatur kegiatan sensorik dan
motorik, mengatur proses penalaran, memori dan intelegensi.
Cerebrum atau otak besar terdiri dari 4 lobus, yaitu :
(1) Lobus frontalis
Lobus ini berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi
intelektual, emosi dan fungsi fisik.
(2) Lobus temporal
Berfungsi sebagai input perasa, pendengaran, pengecap,
penciuman dan proses memori.
(3) Lobus parietal
Berfungsi sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi
raba, tekan dan perubahan suhu ringan.
(4) Lobus oksipital
Lobus oksipital adalah pusat asosiasi visual utama, lobus ini
menerima informasi yang berasal dari retina mata.
b) Cerebellum (otak kecil)
Cerebellum besarnya kira-kira seperempat dari cerebrum (± 150
gr). Fungsi cerebellum adalah mengkoordinasikan gerakan-
gerakan otot sehingga gerakan terlaksana sempurna dan
mengendalikan keseimbangan.
c) Batang Otak
Fungsi utama dari batang otak adalah memastikan fungsi dasar
penting kehidupan seperti detak jantung, tekanan darah dan
6
pernapasan. Batang otak juga memainkan peran dalam gairah dan
kesadaran. Setiap informasi yang masuk atau meninggalkan otak
harus melewati struktur ini.
Batang otak terdiri dari :
(1) Pons varoli sebagai penghubung mesensefalon dengan pons
varoli dengan cerebellum. Fungsi Pons lainnya dari batang
otak adalah untuk membantu menentukan tingkat tidur atau
kesadaran seseorang. Bagian dari struktur melekat pada otak
kecil, yang terlibat dalam mengendalikan gerakan dan postur.
Kerusakan pada pons sering mengakibatkan kurangnya
koordinasi dan kesulitan memproses data indrawi yang baru.
(2) Medulla Oblongata
Medulla oblongata merupakan organ yang menghantarkan
impuls dari medulla spinalis dan otak. Ia memelihara semua
fungsi tubuh yang vital, termasuk pernapasan, pencernaan, dan
tekanan darah dan memicu beberapa refleks yang berbeda,
termasuk yang menyebabkan muntah, batuk dan bersin.
Medula oblongata juga bertindak sebagai pembawa pesan,
meneruskan pesan dari otak ke sumsum tulang belakang.
(3) Mesensefalon
Mesensefalon adalah bagian otak yang terletak antara pons
varoli dan hemisfer serebri. Otak tengah terletak di depan otak
kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah terdapat
talamus dan kelenjar hipo sis yang mengatur kerja kelenjar-
kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan
lobus optikus yang mengatur re eks mata seperti penyempitan
pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.
(4) Diensefalon
7
Diensefalon terletak di antara cerebelum dan mesensefalon.
Diensefalon terdiri dari thalamus, hipotalamus, subtalamus dan
epitalamus. Fungsi diensefalon adalah mengendalikan pola
makan, defekasi, menghubungkan komunikasi antar belahan
otak besar, mengatur waktu biologis, dan mengatur sekresi
hormon.
Gambar 2.2. Gambar Otak
(Sumber. Function Human Anatomy)
Diantara lapisan (meningen) satu dengan yang lainnya terdapat ruang
meningeal yaitu :
a) Ruang epidural yang merupakan ruang antara tengkorak dan
lapisan luar durameter, isinya adalah pembuluh darah dan jaringan
lemak.
b) Ruang subdural yaitu ruang antara lapisan dalam durameter
dengan membran arakhnoid, isinya adalah cairan serosa.
c) Ruang subarachnoid yaitu ruang antara arachnoid dengan
piameter, pada ruang ini terdapat cairan serebrospinal (CSF) yang
merupakan cairan jernih dengan konsistensi sama seperti darah.
Fungsi CSF adalah untuk melembabkan otak dan medulla spinalis,
melindungi dan melicinkan alat-alat dalam medulla spinalis dan
otak dari tekanan.
8
Setelah mengetahui anatomi dari otak, berikut ini akan dijelaskan
secara rinci tentang fisiologi dari otak yang terdiri dari :
a) TIK (Tekanan Intra Kranial)
Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan
pembuluh darah, cairan serebrospinal dan jaringan otak. Volume
otak diperkirakan sekitar 2-10 %, cairan serebrospinal 9-11 % dan
jaringan otak sampai dengan 88 %. Tekanan intra kranial
normalnya 0-15 mmHg.
b) Metabolisme Otak
Untuk mempertahankan status normal, sel saraf memerlukan
energi yang tinggi, karena cadangan energi yang disediakan otak
sangat terbatas. Kebutuhan utama otak adalah oksigen dan
glukosa.
3. Medulla Spinalis
Merupakan perpanjangan medulla oblongata ke arah caudal di dalam
canalis vertebralis mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I
memanjang sampai cornu vertebralis lumbalis I-II. Dalam medulla
spinalis keluar 31 pasang saraf, terdiri dari 8 pasang nervus spinalis
cervical, 12 pasang nervus spinalis thorakal , 5 pasang nervus spinalis
lumbalis, 5 pasang nervus spinalis sakralis dan 1 pasang nervus spinal
koksigis. Fungsi medulla spinalis adalah pusat gerakkan otot-otot
tubuh terbesar di kornu motorik dan kornu ventralis, mengurus
kegiatan refleks spinalis serta reflek lutut, menghantarkan rangsangan
koordinasi dari otot dan sendi ke cerebelum, sebagai penghubung
antara segmen medulla spinalis, mengadakan komunikasi antara otak
dan semua bagian tubuh.
4. Sistem Saraf Perifer
1) Saraf Kranial
9
Saraf kranial terdiri dari 12 pasang yang mempunyai hubungan sentral
di otak. Ringkasan fungsi saraf kranial secara rinci dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1. Ringkasan Fungsi Saraf Kranial
No Saraf Kranial Komponen Komponen Fungsi
I
II
III
IV
V
VI
Olfaktorius
Optikus
Okulomotorius
Troklearis
Abdusens
Trigeminus
Sensorik
Sensorik
Motorik
Motorik
Motorik
Motorik
Sensorik
Penciuman
Penglihatan
Mengangkat kelopak mata
atas
Konstriksi pupil
Sebagian besar gerakan
ekstraokuler
Gerakan mata ke bawah dan
ke dalam.
Deviasi mata ke lateral.
Otot temporalis dan maseter
(menutup rahang dan
mengunyah) gerakan rahang
ke lateral
Kulit wajah; dua pertiga
depan kulit kepala; mukosa
mata; mukosa hidung dan
rongga mulut; lidah dan
gigi.
10
VII
VIII
IX
X
Fasialis
Cabang
vestibularis
vestibulokoklearis
Cabang koklearis
Glassofaringeus
Vagus
Motorik
Sensorik
Sensorik
Sensorik
Motorik
Sensorik
Motorik
sensorik
Refleks kornea atau refleks
mengedip.
Saraf kranial V, respons
motorik melalui saraf
cranial VII.
Otot-otot ekspresi wajah
termasuk otot dahi,
sekeliling mata serta mulut.
Lakrimasi dan salivasi
Pengecapan dua pertiga depan
lidah (rasa manis, asam, dan
asin).
Keseimbangan
Pendengaran
Faring : menelan, refleks
muntah.
Parotis : saliva
Faring, lidah posterior,
termasuk rasa pahit
Faring : menelan, refleks
muntah, fonasi; visera
abdomen
Faring, laring : refleks
muntah; visera leher, toraks
dan abdomen.
11
XI
XII
Assesorius
Hipoglosus
Motorik
Motorik
Otot sternokleidomastoideus
dan bagian atas dari otot
trapezius: pergerakan kepala
dan bahu.
Pergerakan lidah
5. Sistem saraf Otonom
1) Saraf Simpatis
Saraf ini terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan
sum-sum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf. Sistem saraf
simpatis terdiri dari pusat pengontrol pada korteks hipotalamus dan
medulla oblongata, sel-sel pada korpus lateralis, rantai serat ganglia
yang menjalar pada leher ke abdomen, terletak berlawanan dengan
korpus vertebralis, serat-serat yang menjalar dan rangka untuk
membentuk pleksus pada arteri dan organ lain yaitu ganglia servikalis,
lumbalis dan sakralis.
Fungsi serabut saraf simpatis adalah :
a) Mempersarafi otot jantung.
b) Mempersarafi pembuluh darah dan otot tidak sadar.
c) Mempersarafi semua alat dalam tubuh seperti lambung, pankreas
dan usus.
d) Serabut motorik pada otot-otot tidak sadar dalam kulit.
2) Saraf Parasimpatis
12
Sistem saraf parasimpatis terdiri dari bagian cranial yang mempunyai
hubungan dengan korteks serebri dan hipotalamus, dan bagian sacral,
dimana saraf menjalar ke organ-organ pada pelvis.
B. Konsep Dasar Cedera Kepala
Untuk memperkaya pemahaman akan konsep Cedera Kepala, berikut ini aka
dibahas tentang pengertian, etiologi, tipe trauma, mekanisme, klasifikasi,
perdarahan intrakranial, patofisiologi, meifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
komplikasi, dan penatalaksanaan.
1. Pengertian
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000 : 2210).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Rita juliani, 2001).
2. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala.
f. Kecelakaan industri.
13
3. Mekanisme Cedera Kepala
Menurut tarwoto (2007) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat
sadar dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala
dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur
kepala yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul
atau terlempar batu.
b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur
benda yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang
terjadi akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan
atau pemotongan pada jaringan otak.
4. Patifisiologi
Menurut Tarwoto, dkk (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak,
kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera
kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural
hematoma yaitu berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan
durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara
14
durameter dengan sub arakhnoid dan intra serebral hematom adalah
berkumpulnya darah di dalam jaringan serebral.
Kematian pada cedera kepala disebabkan karena hipotensi karena
gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak,
Gambaran mengenai masalah keperawatan yang mungkin muncul
pada kasus Cedera Kepala secara rinci dapat dilihat pada skema 2.1.
Skema 2.1. Pathways Cedera Kepala
(Sumber : Arif Muttaqin, 2008)
15
Fraktur LinearF. CommunitedF. DepressedF. Basis
3. Gangguan pola nafas
1. TIK meningkat
KomusioHematoma
Oedema
Gangguan KesadaranGangguan TTV
Kelainan Neurologi
5. Asupan nutrisi kurang/tidak adekuat.
4. Gangguan Perfusi jaringan
HipoksemiaHiperkapnea
2. Gangguan perfusi jaringan serebral
5. Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut Eka J. Wahjoepramono (2005 : 21) Cedera Kepala
diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan kelainan patologis.
a. Klasifikasi Klinis
Klasifikasi keadaan klinis adalah penilaian terhadap tingkat kesadaran.
Berdasarkan skala koma Glasgow (Glasgow Koma Scale), yaitu Cedera
Kepala Ringan (CKR) jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio
atau hematoma, Cedera Kepala Sedang Jika nilai GCS antara 9-12, hilang
kesadaran antara 30 menit sam[ai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur
tengkorak, disorientasi ringan dan Cedera Kepala Berat Jika GCS antara
3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai dengan kontusio,
laserasi atau adanya hematoma, edema serebral.
b. Klasifikasi Patologis
Klasifikasi patologis terbagi menjadi kerusakan primer dan sekunder :
1) Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut,
yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat
bersifat (fokal) local maupun difus.
a) Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian
tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relatif tidak terganggu.
b) Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi
menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.
2) Cedera kepala sekunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi
setelah terjadinya trauma/benturan dan merupakan akibat dari
peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer.
Berdasarkan kerusakan jaringan otak :
1) Komusio Serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologik ringan
tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hingga kesadaran kurang
dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, mual muntah, nyeri kepala.
16
2) Kontusio Serebri (memar) : gangguan fungsi neurologic disertai
kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas jaringan masih utuh, hingga
kesadaran lebih dari 10.
3) Konfusio Serebri : gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak
yang berat dengan fraktur tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari
rongga intrakranial.
6. Tipe Trauma Kepala
Tipe trauma kepala terbagi menjadi 2 macam, yaitu :
a. Trauma Terbuka
Trauma ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi
durameter, dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.
b. Trauma Tertutup
Trauma kepala tertutup terbagi menjadi 2 macam, yaitu komusio
serebri/gegar otak dan kontusio serebri/memar otak.
1) Komusio serebri/gegar otak adalah merupakan bentuk trauma kapitis
ringan.
2) Kontusio serebri atau memar otak merupakan perdarahan kecil pada
jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, hal ini
bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang
menimbulkan edema jaringan otak di daerah sekitarnya. Bila daerah
yang mengalami edema cukup luas akan terjadi peningkatan terkanan
intrakranial.
7. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan vaskuler yang utama dari trauma meliputi perdarahan
epidural, subdural dan sub araknoid.
17
a. Hematom Epidural
Hematom epidural adalah keadaaan dimana terjadi penumpukkan
darah di antara durameter tulang tengkorak. Umumnya disebabkan karena
trauma pada kepala yang mengakibatkan fraktur linear.
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural adalah penggumpalan darah diantara
durameter dan dasar otak. Perdarahan subdural terjadi karena ruptural
vena jembatan dan robekan pembuluh darah kortikal, sub araknoidal atau
araknoidal disertai robekan araknoid.
c. Hematoma Intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang
ada di dalam jaringan otak tersebut.
18
8. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang biasa timbul pada kasus cedera kepala di
antaranya :
a. Hilangnya kesadaran.
b. Perdarahan dibelakang membrane timpani
c. Ekimosis pada periorbital
d. Mual dan muntah.
e. Pusing kepala.
f. Terdapat hematom.
g. Bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorhea) bila fraktur tulang basis crani
Gambar 2.4. Manifestasi Klinis Cedera Kepala
(Sumber.http://
www.medicastore.com, diperoleh tanggal 9 November 2015)
19
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan mencakup pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologi.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera
kepala yaitu :
Tabel 2.1. Pemeriksaan Laboratorium Pada Kasus Cedera Kepala
No Tes Fungsi
1
2
3
4
5
6
Hemoglobin
Leukositosis
Golongan Darah
GDS
Fungsi Ginjal
Analisa Gas Darah
Sebagai salah satu fungsi adanya
perdarahan yang berat.
Untuk salah satu indikator berat
ringannya cedera kepala yang terjadi.
Persiapan bila diperlukan transfusi
darah pada kasus perdarahan yang
berat.
Memonitor agar jangan sampai terjadi
hipoglikemia maupun hiperglikemia.
Memeriksa fungsi ginjal, pemberian
manitol tidak boleh dilakukan pada
fungsi ginjal yang tidak baik.
PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah
akan memberikan prognosis yang
20
7
8
Elektrolit
Toksikologi
kurang baik, oleh karenanya perlu
dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2
> 95 % dan PCO2 30-50 mmHg. Atau
mengetahui adanya masalah ventilasi
perfusi atau oksigenisasi yang dapat
meningkatkan TIK.
Adanya gangguan elektrolit
menyebabkan penurunan kesadaran.
Mendeteksi obat yang mungkin
menimbulkan penurunan kesadaran.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) CT Scan
Adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
2) Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan otak
akibat oedema, perdarahan, trauma.
3) EEG (Electro Encephalografi)
Memperlihatkan keberadaan/perkembangan gelombang patologis.
4) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Mengidentifikasi perfusi jaringan otak, misalnya daerah infark,
hemoragik.
5) Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
6) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)
21
Untuk menentukan apakah penderita trauma kepala sudah pulih daya
ingatnya.
10. Komplikasi
Menurut Tarwoto, dkk (2013) komplikasi yang dapat terjadi pada
cedera kepala yaitu:
1. Defisit neurologi fokal
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Disritmia jantung
6. Hidrosephalus
7. Kerusakan kontrol respirasi
8. Inkontinensia bladder dan bowel.
11. Penatalaksanaan Medis
Menurut Tarwoto, dkk (2007 : 130) penatalaksanaan medis pada
cedera kepala sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Umum
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang kolar servikal.
1) Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,
pemeriksaan AGD, bahkan oksigen bila perlu.
2) Monitor tekanan intrakranial.
3) Atasi syok bila ada.
4) Kontrol tanda-tanda vital.
5) Keseimbangan cairan elektrolit.
22
b. Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral,
debridemen luka, kraniotomi.
c. Menilai sirkulasi
1) Diuretik : Untuk mengurangi edema serebral misalnya
manitol 20 %, furosemid (lasik).
2) Antikonvulsan : Untuk menghentikan kejang misalnya dilantin,
fegretol, valium.
3) Kortikosteroid : Untuk menghambat pembentukkan edema
misalnya dengan dexamethasone.
4) Antagonis histamin : Mencegah terjadinya iritasi lambung karena
hipersekresi akibat trauma kepala misalnya
dengan cimetidine, ranitidine.
5) Antibiotik : Jika terjadi luka yang besar.
23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah
Cedera Kepala, penulis menggunakan pendekatan proses keperawatan teoritis,
teori dan konsep di implementasikan secara terpadu dalam tahapan-tahapan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi (Doengoes, 2000).
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia,
ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam
keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus
otot, otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi
dengan bradikardia, distritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis).
24
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala :Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air
liur keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan,
penurunan massa otot/lemak subkutan.
f. Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian,
Vertigo, Sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling,
baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda :Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil (respon terhadap cahaya
simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti).
Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan
pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak
seimbang, reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,
quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan
gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala :Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
Tanda :Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih.
25
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi
positif. (kemungkinan adanya aspirasi).
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon
eye” tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hudung (CSS),
gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami pralisis, demam dan
gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol atau obat lain.
Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri,
ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan,
pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, dan
pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem persarafan (Cedera Kepala) adalah sebagai berikut :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah ; edema serebral ; penurunan TD sistemik/hipoksia.
26
Tujuan : Memaksimalkan perfusi/meningkatkan fungsi serebral.
Intervensi :
1) Kaji status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (seperti GCS).
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau posisi sejajar, hindari
pemakaian bantal besar pada kepala.
4) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi.
b. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
; kerusakan persepsi atau kognitif ; obstruksi trakeobronkial.
Tujuan : Mempertahankan pola pernafasan normal/efektif, mencegah
komplikasi.
Intervensi :
1) Pantau frekuensi irama dan kedalaman pernafasan, catat
ketidakteraturan pernafasan.
2) Catat kopetensi reflek gigi/menelan dan kemampuan klien untuk
melindungi nafas.
3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai
indikasi.
4) Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika klien
sadar.
5) Lekukan penghisapan dengan hati-hati, jangan sampai lebih dari 10-15
menit.
6) Kolaborasi dalam pemberian oksigen.
7) Lakukan kolaborasi dalam pemeriksaan gas darah.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan resepsi sensori, tranmisi
dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
27
Tujuan : mengoptimalkan fungsi otak, tingkat kesadaran, dan fungsi
persepsi.
Intervensi :
1) Evaluasi / pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan
berbicara, alam perasaan / efektif sensorik dan proses piker.
2) Kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan.
3) Observasi prilaku klien.
4) Berikan keamanan terhadap klien. Catat adanya penurunan persepsi
pada catatan dan letakkan pada tempat tidur klien.
5) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi
kognitif.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis ; konflik
psikologis.
Tujuan : Mengenali perubahan berpikir/perilaku.
Intervensi :
1) Kaji tentang perhatian, kebingungan, dan catat tingkat ansietas klien.
2) Jelaskan pentingnya melakuakn pemriksaan neurologis secara
berulang dan teratur.
3) Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi
dan konfrontasi.
4) Hindari meninggalkan klien sendirian ketika mengalami agitasi,
gelisah atau berontak.
5) Kolaborasi untuk tindakan koordinasi atau ikut sertakan pada pelatihan
kognitif atau program rehabilitasi sesuai indikasi.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kurasakan persepsi atau
kognitif ; penurunan kekuatan atau tahanan ; terapi pembatasan /
kewaspadaan keamanan.
Tujuan : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang sakit atau kmpensasi.
28
Intervensi :
1) Kaji derajat imobilisasi klien dengan menggunakan skala
ketergantungan (0-4).
2) Letakkan klien pada posisi tertentu utnuk menghindari kerusakan
karena tekanan.
3) Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
4) Berikan atau bantu klien untuk melakukan rentang gerak.
5) Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab.
f. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak,
prosedur invasif.
Tujuan : Mempertahankan normotermia, batas tanda-tanda infeksi dan
mencapai penyembuhan luka tepat pada waktunya.
Intervensi :
1) Berikan perawatan septik dan antiseptik, pertahankan cuci tangan yang
baik.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
3) Pantau suhu tubuh secara teratur.
4) Anjurkan untuk melakukan nafas dalam.
5) Berikan perawatan perineal, pertahankan integritas dari sistam
drainage urin tertutup jika menggunakannya.
6) Observasi warna atau kejernihan urine, catat adanya bau busuk.
7) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.
8) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
9) Ambil bahan pemeriksaan sesuai indikasi.
g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran ; kelemahan otot
mengunyah/menelan.
29
Tujuan : Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat
badan sesuai sekresi dan tidak mengalami tanda-tanda
malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan untik mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi
sekresi.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya suara yang
hiperaktif.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi.
4) Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering
dengan teratur.
5) Konsultasi dengan ahli gizi.
6) Pantau pemeriksaan laboratorium.
h. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : Dapat mengungkapkan pamahaman tentang kondisi, aturan
pengobatan, potensial komplikasi, dan melakukan prosedur
yang diperlukan dengan benar.
Intervensi :
1) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari klien dan juga
keluarganya.
2) Berikan lagi informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan
pengaruh sesudahnya.
3) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4) Identifikasi tanda/gejala adanya faktor resiko secara individual.
5) Diskusikan dengan klien dan orang terdekat tentang perkembangan
dari gejala.
30
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu
lintas, terjatuh, atau trauma tumpul pada kepala, olahraga, dan benturan langsung
pada kepala.
Pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Cedera Kepala lebih
difokuskan pada penanganan awal dalam upaya untuk mencegah terjadinya
komplikasi, pemulihan kesehatan dan meningkatkan pengetahuan pasien terhadap
penyakit dalam rangka upaya mengoptimalkan pencapaian tujuan asuhan
keperawatan seiring dengan meningkatnya pengetahuan pasien tersebut.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis mencoba
mengemukakan beberapa saran yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
meningkatkan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan gangguan sistem
persarafan : Cedera Kepala. Adapun saran-saran tersebut antara lain :
1. Penerapan asuhan keperawatan seharusnya dilakukan secara komprehensif
sehingga memudahkan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dan
pencapaian suatu tujuan dengan baik.
2. Diharapkan meningkatkan pengetahuan baik bagi klien, keluarga dan
masyarakat dan khususnya bagi tenaga kesehatan di bidang keperawatan
dalam melaksanakan asuhan keperawatan hendaknya berlandaskan pada
konsep teoritis Cedera Kepala yang disesuaikan dengan permasalahan yang
dihadapi tanpa mengabaikan kondisi klien itu sendiri.
31
3. Diharapkan peningkatan jalinan kerjasama yang lebih baik antara perawat,
dokter dan tim kesehatan lainnya agar tindakan keperawatan dan tindakan
medis yang diberikan dapat lebih baik dan berkualitas.
32
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perwatan Pasien, Edisi 3. (Alih bahasa
oleh : I Made Kariasa, dkk). Jakarta : EGC.
Iskandar. (2004). Memahami Aspek-aspek Penting Dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
Lindsay, David. (1996). Funtcion Human Anatomy. USA : Human Anatomy Mosby.
Martini, Prederic H. (2001). Foundamentals of Anatomy & Physiology, Edition 5 :
ISBN.
Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Scanton, Valerie C. (2006). Essentials of Anatomy and Physiology, Edisi 3.
Philadelphia : Pengylvania.
Smeltzer, Suzanna C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan
Suddart. (Alih bahasa Agung Waluyo), Edisi 8. Jakarta: EGC.
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3.
Jakarta : EGC.
Tarwoto, et. al. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Sagung Seto.
Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci : Universitas Pelita
Harapan.
http://www.esnips.com diperoleh tanggal 9 November 2015
33
http://www.yayanahkyar.wordpress.com diperoleh tanggal 9 November 2015
http://www.medicastore.com diperoleh tanggal 9 November 2015
34