FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Kampus II Ukrida Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510
Mohamad Yazid bin Zulkepli
102010381 B8
Leukemia Limfositik Akut
Pendahuluan
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit
abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala
karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi
organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis).
Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi neoplastik
dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel bakal (stem cell)
yang akan membentuk suatu klon sel leukemia.
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Leukemia juga digolongkan menurut tipe sel
darah putih yang terkena. Maksudnya, leukemia dapat muncul dari sel limfoid (disebut leukemia
limfositik) atau mieloid (disebut leukemia mieloid). Secara keseluruhan, leukemia dibagi
menjadi: Leukemia limfositik kronik/LLK (mengenai orang berusia lebih 55 tahun, dan jarang
sekali mengenai anak-anak), leukemia mieloid kronik / LMK (mengenai orang dewasa),
leukemia limfositik akut/LLA (mengenai anak-anak, tetapi dapat juga mengenai dewasa dan
leukemia mieloid akut (mengenai anak maupun orang dewasa dan merupakan 20 % leukemia
pada anak).
Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung kepada
pasien (autoanamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lain (alloanamnesis) misalnya ibu
bapa atau pengantar. Anamnesis merupakan bagian terpenting untuk menentukan diagnosis dan
pemeriksaan klinis. Dengan anamnesis ini didapatkan data subjektif, pihak pasien diberi
kesempatan untuk mengingat kembali dan menceritakan secara rinci masalah kesehatan yang
dihidapi anak termasuk keluhan utama, keluhan tambahan, tanda-tanda timbul, riwayat
terjadinya keluhan dan tanda sampai anak dibawa berobat.
1. Identitas
-Identitas pasien diperlukan untuk memastikan bahwa benar-benar anak tersebut yang
dimaksudkan dan tidak keliru. Bermula dengan nama anak, sebaiknya dicantumkan dengan nama
orang tua. Seterusnya umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, pekerjaan orang tua, agama
dan suku.
2. Keluhan utama atau riwayat penyakit sekarang
-Biasanya ditanyakan keluhan utama yaitu keluhan yang menyebabkan pasien datang berobat.
Riwayat perjalanan penyakit harus diketahui dengan jelas. Umumnya, mencakup lamanya
keluhan, bagaimana terjadinya keluhan; mendadak, perlahan-lahan, terus-menerus, hilang timbul
atau berhubungan dengan waktu. Selain itu, sifat keluhan; keluhan bersifat menetap atau
menjalar, berat ringannya keluhan dan perkembangannya. Biasanya pasien datang dengan
keluhan utama pucat pada penderita leukemia limfositik akut. Pucat paling baik dinilai pada
telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut dan konjungtiva. Keluhan penyerta lain yang bias
ditemukan adalah anak lemas, demam, penurunan kadar trombosit, muntah sehingga
menunjukkan gejala seperti serangan demam berdarah bahkan dapat ditemukan kulit yang
tampak kuning pucat seperti penyakit kuning
3. Riwayat penyakit terdahulu
-Perlu juga ditanyakan riwayat penyakit anak yang pernah diderita. Ditanyakan pengobatan
sebelumnya dan hasilnya, tindakan pengobatan sebelumnya. Pada saat terjadinya penyakit
apakah ada reaksi alergi dan riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya.
4. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
-Status pertumbuhan anak dapat diambil dari kurva berat badan terhadap umur dan panjang
badan terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari Kartu Menuju Sehat atau karta pemeriksaan
lain. Status perkembangan pasien perlu untuk mengetahui tahapan perkembangan anak.
5. Riwayat imunisasi dan pemakanan
6. Riwayat keluarga
-Untuk riwayat keluarga, biasanya boleh diambil data keluarga sama ada pernah tidak
menghidap penyakit leukemia.
Pemeriksaan Fisik 1,2
Pemeriksaan Hepar
Palpasi hepar dengan meletakkan tangan kiri di belakang pinggang menyangga kosta ke11 & 12
dengan posisi sejajar dengan kosta, ajurkan pasien untuk rileks, tangan kanan mendorong hepar
ke atas dan kedalam dengan lembut. Anjurkan pasien inspirasi dalam & rasakan sentuhan hepar
saat inspirasi, jika teraba sedikit kendorkan jari & raba permukaan anterior hepar. Normal hepar:
lunak tegas, tidak berbenjol-benjol. Perkusi hepar, digunakan patokan 2 garis, yaitu: garis yang
menghubungkan pusar dengan titik potong garis mid calvicula kanan dengan arcus aorta, dan
garis yang menghubungkan pusar dengan processus kifoideus. Pembesaran hati diproyeksikan
pada kedua garis ini dinyatakan dengan beberapa bagian dari kedua garis tersebut. Harus
pula dicatat: konsistensi, tepi, permukaan dan terdapatnya nyeri tekan.
Pemeriksaan Limpa
Pada neonates, normal masih teraba sampai 1 - 2 cm. Dibedakan dengan hati yaitu dengan :
Limpa seperti lidah menggantung ke bawah2.
Ikut bergerak pada pernapasan. Mempunyai incisura lienalis, serta dapat didorong kearah medial,
lateral dan atas. Besarnya limpa diukur menurut SCHUFFNER, yaitu : garis yang
menghubungkan titik pada arkus kosta kiri dengan umbilikus (dibagi 4) dan garis ini diteruskan
sampai SIAS kanan yangmerupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan
pembesaran limpa. Garis ini diteruskan kebawah sehingga memotong lipat paha. Garis dari pusat
kelipat paha pun dibagi 4 bagian yang sama. Limpa yang membesar sampai pusar dinyatakan
sebagai S.IV sampai lipat paha S.VIII.
Pemeriksaan Tanda Vital
Nilai standar untuk mengetahui batas normal suhu tubuh manusia dibagi menjadi empat yaitu:
Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C
Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36 - 37,5°C
Febris / pireksia, bila suhu tubuh antara 37,5 - 40°C
Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C
Rata-rata pernapasan normal pada anak :
<2 bulan : < 60/mnt
2-12 bulan : < 50/mnt
1-5 tahun : < 40/mnt
6-8 tahun : < 30
Tekanan nadi normal pada anak :
2-12 bulan: <160/mnt
1-2 tahun : < 120/ mnt
2-8 tahun : <110 / mnt
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum tulang yaitu
berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang – kadang menyebabkan gambaran darah tepi
monoton dan terdapatnya sel blas. Terdapatnya sel blas dalam darah tepi merupakan gejala
patognomonik untuk leukemia.3,
Anemia : kadar Hb, nilai Ht, jumlah eritrosit menurun
Trombositopenia
Hitung leukosit: meningkat/menurun/normal
Sediaan hapus darah tepi :
1. Eritrosit normositik normokrom, eritrosit berinti
2. Sel blas
Berdasarkan hitung leukosit dan adanya sel blas, leukemia akut dibagi menjadi:
1. Leukemia leukemik: hitung leukosit meningkat dengan sel blas (++)
2. Leukemia subleukemik: hitung leukosit normal dengan sel blas (+)
3. Leukemia aleukemik: hitung leukosit menurun dan sel blas (-)
2. Sumsum tulang
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya terdiri
dari sel limfopoetik patologis sedangkan system lain terdesak (aplasia sekunder).
Hiperseluler, gambaran monoton, sel blas >30%
Eritropoesis, trombopoesis tertekan
Pada LLA aspirasi sumsum tulang mungkin dry tap (karena serabut retikulin bertambah) 3, 4, 6
Pemeriksaan lain
1. Biopsy limpa
Pemeriksaan ini akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari
jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell.
2. Kimia darah
Kolesterol mungkin menurun, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobulinemia.
3. Cairan serebrospinal
Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein, maka hal ini berarti suatu
leukemia meningeal. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap saat dari perjalanan penyakit baik
pada keadaan remisi maupun pada keadaan kambuh.
Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan pemberian metotreksat (MTX) intratrakeal
secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka yang menunjukkan gejala tekanan
intracranial yang meninggi.
4. Sitogenetik
70 – 90% dari kasus LMK menunjukkan kelainan kromosom, yaitu pada kromosom 21
(kromosom Philadelphia atau Ph1).
50 – 70% dari penderita LLA dan LMA mempunyai kelainan berupa:
a. kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperloid (2n+a)
b. kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid
c. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)
d. Terdapatnya marker chromosome yaitu elemen yang secara morfologis bukan merupakan
kromosom normal; dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil7
Jenis Pemeriksaan Hasil yang ditemukan
Complete blood count leukositosis, anemia, trombositopenia
Bone Narrow Puncture hiperselular dengan infiltrasi limfoblas, sel berinti
Sitokimia Sudan black negatif, mieloperoksidase negatif
Fosfatase asam positif (T-ALL), PAS positif (B-ALL)
Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur kembali gen
reseptor sel T dan Ig)
Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-heavy chain, TdT
T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT
B: kappa atau lambda, CD19, 20, 22
Sitogenetika analisa gen dan kromosom dengan immunotyping untuk
menguraikan klon maligna
Pungsi lumbal keterlibatan SSP bila ditemukan > 5 leukosit/mL CSF
Tabel 1. Jenis Pemeriksaan Pada Leukemia Limfositik Akut Beserta Hasilnya4, 6
Diagnosis Kerja
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33% dari
keganasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira – kira 75% dari semua
kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukemia myeloid akut (LMA) berjumlah
kira – kira 20% dari leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun,
meningkat sedikit pada masa remaja. Leukemia sisanya adalah bentuk kronis; leukemia
limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan keseluruhan dari
leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh
rendahnya kejadian LLA pada kulit hitam.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi dan dipastikan oleh
pemeriksaan sumsum tulang atau limpa. Pada stadium ini limpa mungkin tidak membesar,
bahkan gambaran darah tepi masih normal dan hanya terlihat gejala pucat yang mendadak
dengan atau tanpa trombositopenia. Dalam keadaan ini pemeriksaan sumsum tulang dapat
memastikan diagnosis.
Pada stadium praleukemia, gejala lebih tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat
memperlihatkan gambaran normal atau gambaran lain yang nonleukemik (misal anemia aplastik,
ITP menahun, diseritropoesis). Dengan pemeriksaan mikroskop electron sebenarnya telah dapat
dilihat adanya sel patologis.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan anemia aplastik, trombositopenia
(ITP, ATP, demam berdarah atau infeksi lain). Bila pada pemeriksaan jasmani ditemukan
splenomegali, maka diagnosis lebih terarah pada leukemia akut.
ATP dan trombositopenia ‘biasa’ tidak menunjukkan kelainan lain dalam darah tepi, kecuali
jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi juga menunjukkan granulositopenia dan
retikulositopenia (terdapat pansitopenia), diagnosis lebih condong pada anemia aplastik atau
leukemia.
Acute Lymphocytic Leukemia (LLA) dibagi menjadi:
L1: sel kecil, homogen, sering terjadi pada anak – anak. Proliferasi uniform limfoblas kecil.
L2: sel besar, heterogen (limfoblas besar kecil), sering pada dewasa, jarang ≤ 5 tahun.
L3: sel besar, homogeny (Burkitt type)
Berdasarkan cell surface marker (immuno-phenotyping) Acute Lymphocytic Leukemia (ALL)
dibagi menjadi :
Common ALL : common ALL Antigen
Pre B ALL : Cytoplasmic Ig
B ALL : Surface Ig
T ALL : Erythrocyte Rosettes
Null ALL : Terminal deoxy-nucleotidyl Transferase (TdT +)
Manifestasi Klinis
Manifestasi ALL menyerupai leukemia granulositik akut dengan tanda dan gejala dikaitkan
dengan penekanan unsur sumsum tulang normal (kegagalan sumsum tulang) atau keterlibatan
ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblast ganas di sumsum tulang
menyebabkan berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan manifestasi utama berupa
infeksi, perdarahan, dan anemia.
Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu:
Mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel limfoblast), biasanya terjadi
pada anak
Demam, banyak berkeringat pada malam hari (hipermetabolisme)
Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah gram negatif
usus
Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
Massa di mediastinum (T-ALL)
Leukemia SSP (Leukemia cerebral): nyeri kepala, tekanan intrakranial naik, muntah,
kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan perubahan status
mental.1, 2, 4
Diagnosis Banding
Leukemia Mielositik Akut
Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan rutin
membedakan ALL dari AML. Pada ALL, blas tidak memperlihatkan adanya diferensiasi (dengan
perkecualian ALL sel B). Sedangkan pada AML, biasanya ditemukan tanda – tanda diferensiasi
ke arah granulosit atau monosit pada blas atau progeninya. Diperlukan tes khusus untuk
memastikan penegakan diagnosis AML atau ALL dan untuk membagi lagi kasus – kasus AML
atau ALL ke dalam subtype yang berbeda.
Pada sebagian kecil kasus leukemia akut, sel blas memperlihatkan adanya gambaran AML
dan ALL sekaligus. Ciri – ciri ini dapat ditemukan pada sel yang sama (biphenotypic) atau pada
populasi yang terpisah (bilineal), dan gambaran ini mencakup ekspresi yang tak wajar dari
petanda imunologik atau penataan ulang gen yang tak wajar. Hal ini disebut leukemia akut
hybrid dan pengobatan biasanya diberikan berdasarkan pola yang dominan.
Leukemia limfositik kronik (LLK)
Lebih sering pada orang dewasa sedangkan pada anak sangat jarang. LMK lebih sering
ditemukan daripada LLK. Tidak jarang ditemukan LMK yang berasal dari mielosis
eritremik (jenis akut) yang kemudian berubah menjadi jenis campuran sebagai eritoleukemia dan
kemudian berubah lagi menjadi LMK. Gejala klinik biasanya ringan bahkan mungkin tidak
tampak sakit. Kadang-kadang ditemukan secara kebetulan karena anak diperiksa darah untuk
keperluan lain. Sering ditemukan gejala panas dan pucat tanpa perdarahan.
Limfadenopati, hepatosplenomegali lebih nyata dibandingkan dengan leukemia akut dan
merupakan gejala yang hampir selalu ditemukan. Pemeriksaan darah tepi selain menggambarkan
anemia, juga yang sangat menyolok ialah jumlah leukosit sangat tinggi
(100.000 – 500.000/mm3). Jumlah trombosit tidak terlalu rendah, biasanya masih lebih dari
100.000/mm3. Pada hitung jenis terlihat semua jenis sel dari stadium muda sampai tua.
Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan proliferasi dari seri yang terkena. Persentase sel
terbanyak dari seri ini akan menetukan diagnosis morfologis. System hemopoetik lain tidak
berapa terdesak. 70-90 % dari kasus LMK menunjukkan adanya kelainan kromosom pada
sediaan darah tepi dan sumsum tulang (kromosom Philadelphia).
Pengobatannya ialah dengan radiasi limpa atau pemberian mileran, disamping
menghindarkan infeksi sekunder. Radiasi diberikan sampai jumlah leukosit mencapai 10.000-
20.000/mm3. Mileran diberikan dengan dosis 0,06mg/kgbb/hari. Prognosis leukemia kronik
lebih baik daripada leukemia akut. Biasanya penderita dapat bertahan lebih lama; 20% lebih dari
5 tahun dan beberapa kasus sampai 20 tahun.
Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP)
ITP adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang
menetap (angka trombosit daraf perifer kurang dari 150.000/ µL) akibat autoantibodi yang
mengikat antigen trombosit yang menyebabkan dekstruksi prematur trombosit dalam sistem
retikuloendotelial terutama di limpa. Ada dua bentuk ITP: ITP akut, sering terjadi pada anak-
anak (2-8 thn), sembuh dalam 6 bulan; ITP kronik, sering pada orang dewasa, trombositopenik
menetap lebih dari 6 bulan, sebagian besar dapat hidup dengan perdarahan ringan pada kulit.
Patogenesis ITP kronik adalah sensitisasi trombosit oleh autoantibodi (biasanya IgG)
menyebabkan disingkirkannya trombosit secara prematur dari sirkulasi oleh makrofag sistem
retikuloendotelial, khususnya limpa. Pada banyak kasus, antibodi tersebut ditujukan terhadap
tempat-tempat antigen pada glikoprotein IIb-IIIa atau kompleks Ib. Masa hidup normal
untuk trombosit adalah sekitar 7 hari tetapi pada ITP masa hidup ini memendek menjadi
beberapa jam. Massa megakariosit total dan perputaran (turnover) trombosit meningkat secara
sejajar menjadi sekitar lima kali normal. ITP akut paling sering terjadi anak.
Pada sekitar 75% pasien, episode tersebut terjadi setelah vaksinasi atau infeksi seperti
cacar air atau mononukleosis infeksiosa. Sebagian besar kasus terjadi akibat perlekatan respon
imun non spesisfik. Remisi spontan lazim terjadi tetapi 5-10% kasus tersebut menjadi kronis
(berlangsung > 6 bulan). Untungnya, angkamorbiditas dan mortalitas pada ITP akut sangat
rendah. Pada kasus ditemukan riwayat penyakit sebelumnya, yaitu panas disertai pilek dan
diberikan penatalakasanaan amoxyllin. Dari daftar obat yang sering menyebabkan ITP
sebagaimana telah penulis lampirkan pada tinjauan pustaka ditemukan penicilin dan turunannya.
Hal ini mengindikasikan bahwa anak tersebut kemungkinan menderita ITP yang diinduksi obat.
Untuk penegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan lab antara lain Hitung trombosit
(<100000/mm3), sediaan hapus darah tepi (megatrombosit sering ditemukan), waktu perdarahan
(memanjang), waktu pembekuan (normal), aspirasi sumsum tulang (peningkatan megakaryosit
dan agranuler/ tidak mengandung trombosit), pemeriksaan Imunoglobulin (PAIgG).
Penatalaksanaan ITP akut adalah tanpa pengobatan, jadi sembuh spontan; keadaan berat
kortikosteroid ( prednison ) peroral dengan atau tanpa transfusi darah keadaan sangat gawat
(perdarahan otak) transfusi suspensi trombosit; Ig secara IV biasa dalam dosis tinggi :
0,4gr / kgBB / hr selama 5 hr. Menyebabkan blokade pd RES. Pada ITP kronik adalah pemberian
kortikosteroid selama 6 bulan ( azatioprin, siklofosfamid), splenektomi jika resisten thd
prednisondan obat imunosupresif.
Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan
penurunan selularitas sumsum tulang.
Kurang lebih 70% penderita anemia aplastik mempunyai penyebab yang tidak jelas,
dinamakan idiopatik. Defek sel induk yang didapat (acquired) diduga disebabkan oleh obat-obat:
busulfan, kloramfenikol, asetaminofen, klorpromazina, benzenebenzol, metildopa, penisilin,
streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain.
Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut:
Penekanan bergantung dosis obat, reversible dan dapat diduga sebelumnya (obat obat anti
tumor)
Penekanan bergantung dosis, reversible, tetapi tidak dapat diduga sebelumnya.
Penekanan tidak bergantung dosis obat (idiosinkrasi)
Microenvironment:
Kelainan microenvironmet memegang peranan terjadinya anemia aplastik. Akibat radiasi,
pemakaian kemoterapi yang lama atau dosis tinggi, dapat menyebabkan microarchitecture
mengalami sembab yang fibrinus dan infiltrasi sel. Faktor humoral misalnya eritropoitin,
ternyata tidak mengalami penurunan.
Cell Inhibitors:
Pada beberapa penderita anemia aplastik, dapat dibuktikan adanya T-limfosit yang
menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang pada biakan.
Gejala klinis yang timbul diantaranya:
Anemia: pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar.
Leukopenia ataupun granulositopenia: infeksi bakteri, virus, jamur, dan kuman patogen lain.
Trombositopenia: perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis, perdarahan gusi dan lain-
lain.3
Leukemia Limfositik Akut Anemia Aplastik
Usia Sering pada anak berusia 3-5
tahun
Biasanya terjadi pada anak besar
(>6 tahun)
Etiologi i. Masih belum jelas
ii. Kemungkinan besar virus
iii. Faktor eksogen dan
endogen
i. Kongenital : Sindrom Fanconi
dengan kelainan bawaan
ii. Didapat
- bahan kimia/obat
- radiasi
- infeksi
- keganasan, penyakit ginjal,
endokrin
- idiopatik
Gejala Klinis i. pucat mendadak i. Anemia (pucat)
ii. panas karena sering infeksi
iii. perdarahan
iv. splenomegali,
hepatomegali,
limfadenopati
ii. Panas (demam)
iii. Perdarahan
iv. Tidak ada organomegali
Gambaran
Darah Tepi
i. Pansitopenia
ii. Limfositosis (monoton)
iii. Terdapat sel blas
i. Pansitopenia
ii. Limfositosis relatif
iii. Mungkin terdapat sel plasma,
monosit bertambah
Gambaran
Sumsum
Tulang
i. Gambaran monoton; sel
limfopoetik patologis
ii. Aplasia sekunder
i. Gambaran sel sumsum tulang
yang sangat kurang
ii. Banyak jaringan penyokong,
jaringan lemak
iii. Aplasia sistem eritropoetik,
granulopoetik, trombopoetik
Tabel 2. Perbedaan LLA dan Anemia Aplastik8
Etiologi
Penyebab leukemia tidak diketahui, tetapi dapat diakibatkan interaksi sejumlah faktor yaitu:
1. Neoplasia. Ada persamaan jelas antara leukemia dan penyakit neoplastik lain, misalnya
proliferasi sel yang tidak terkendali, abnormalitas morfologi sel, dan infiltrasi organ. Lebih
dari itu, kelainan sumsum kronis lain dapat berubah bentuk akhirnya menjadi leukemia akut,
misalnya polisitemia vera, mieosklerosis atau anemia aplastik. Leukemia nyata menunjukkan
perluasan klonal yang timbul dengan mutasi somatik sumsum tunggal, sel limfoid tepi atau
timus seperti dilihatkan dengan teknik kromosomal, isoenzim, imunologis, dan kultur in-vitro.
Leukemia selanjutnya dapat mengembangkan “subclone” dengan perkembangan abnormalitas
baru dan satu atau lebih “subclone” dapat menjadi lebih besar dan menggantikan “clone”
permulaan, seperti diperlihatkan oleh perubahan leukemia granulositik kronis (CGL = chronic
granulocytic leukemia) dari fase kronis ke fase akut. Biasanya “subclone” lebih ganas dan
sering terdapat abnormalitas kromosom (cytogenetic)
2. Infeksi. Pada manusia, terdapat bukti kuat untuk etiologi virus baik pada satu jenis
leukemia/limfoma sel T dan pada limfoma Burkitt. HTLV (virus leukemia T manusia = the
human T leukemia virus) dan retrovirus jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop
elektron dan oleh kultur pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfoma sel T yang
umum pada provinsi tertentu di Jepang dan yang terjadi sporadis di tempat lain, khususnya di
antara Negro Karibia dan Amerika Serikat. Virus Epstein-Barr, suatu virus DNA, telah dibiak
dari jaringan limfoma Burkitt dan, pada kasus ini, penyakit ini diduga timbul karena infeksi
EB pada orang dengan pengaturan sel T yang terganggu, mungkin yang disebabkan malaria
kronis. Bukti tidak langsung untuk etiologi virus beberapa leukemia adalah kambuhnya
leukemia pada sel yang berasal donor pada kira-kira enam kasus setelah transplantasi sumsum
tulang untuk leukemia akut.
3. Radiasi. Radiasi, khususnya sumsum tulang, bersifat leukemogenik. Terdapat insiden
leukemia tinggi pada orang yang tetap hidup setelah bom atom di Jepang, pada pasien
“ankylosing spondylitis” yang telah menerima penyinaran spinal dan pada anak-anak yang
ibunya menerima sinar X abdomen selama hamil.
4. Genetik dan Perubahan kromosom. Ada laporan beberapa kasus yang terjadi pada satu
keluarga dan pada kembar identik. Lebih dari itu, ada insiden yang meningkat pada beberapa
penyakit herediter, khususnya sindroma Down (dimana leukemia terjadi dengan peningkatan
fekuensi 20-30 kali lipat), anemia Fanconi, sindroma Bloom dan ataksia-talangiektasia.
5. Zat kimia. Terkena benzene kronis, yang dapat menyebabkan displasia sumsum tulang dan
perubahan kromosom, merupakan penyebab leukemia yang tidak biasa. Zat pelarut dan kimia
industri lainnya dapat menyebabkan leukemia lebih jarang tetapi sukar membuktikan ini pada
kasus individual. Zat khemoterapi merupakan penyebab yang ditetapkan mantap, khususnya
obat yang mengalkilasi seperti khlorambusil, mustin dan melfalan, dan prokarbazin.
Leukemia, khususnya AML mielomonositik (M4) dan eritroleukemik (M6), bisa pada pasien
limfoma yang diobat dengan radiasi dan dengan obat-obatan ini.2, 4
Epidemiologi
Dibanding penyakit kanker lain seperti kanker paru dan kanker payudara, leukemia (kanker
darah) termasuk kanker yang jarang terjadi. Meskipun demikian, leukemia merupakan jenis
kanker yang paling banyak ditemukan pada anak di bawah umur 15 tahun. Pada populasi anak,
leukemia yang terjadi pada umumnya adalah leukemia akut, yaitu Leukemia Limfositik Akut
(LLA) dan Leukemia Mielositik Akut (LMA). LLA pada anak 5 kali lebih sering terjadi
dibandingkan dengan LMA. Dari seluruh kejadian kanker, 32% di antaranya terjadi pada usia di
bawah 15 tahun. Sekitar 74% dari kelompok umur tersebut adalah kanker darah atau leukemia.
Data lain menunjukkan bahwa pada 1994 angka insiden leukemia di Amerika sekitar 31,8 per
1.000.000 kelahiran hidup. Tidak hanya angka morbiditas, angka mortalitas leukemia juga
dilaporkan di Amerika. Sampai tahun1980-an, dilaporkan bahwa leukemia menjadi penyebab
utama kematian karena kanker pada anak di Amerika.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia tiap tahun ada
seratus penderita kanker baru dari 100.000 penduduk dan 2% di antaranya atau 4.100 kasus
merupakan kanker anak. Angka ini terus meningkat lantaran kurangnya pemahaman orang tua
mengenai penyakit kanker dan bahayanya. Menurut Dr. Djajadiman Gatot, SpA(K), dari Sub
Bagian Hematologi-Onkologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), leukemia merupakan jenis kanker
yang paling banyak terjadi pada anak (30-40 persen) disusul tumor otak (10- 15 persen) dan
kanker mata/retinoblastoma (10 – 12 persen). Sisanya kanker jenis lain seperti kanker kelenjar
getah bening, kanker saraf, dan kanker ginjal. Data lain menyatakan bahwa di Indonesia terdapat
sekitar 80 juta anak dengan usia dibawah 15 tahun. Sebagian dari anak tersebut merupakan
populasi berisiko terkena leukemia. Dari penelitian yang dilakukan di RS Dr.Sardjito Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, didapatkan insiden leukemia jenis LLA sebesar 2,5 – 4,0 per 100.000
anak. Dengan kata lain dapat diestimasi bahwa terdapat 2000 – 3200 kasus baru jenis LLA tiap
tahunnya. Selain itu juga didapatkan sebanyak 30 – 40 leukemia anak jenis LLA ditangani setiap
tahun di institusi tersebut di atas.
Sampai saat ini apa yang menjadi penyebab leukemia belum diketahui dengan pasti. Sementara,
apa yang menjadi faktor risiko dapat diketahui dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,
diantaranya adalah penggunaan pestisida, medan listrik, riwayat keguguran pada ibu, radiasi,
bahan kimia (benzene), virus, kelainan genetik, ibu yang umurnya relatif tua saat melahirkan, ibu
yang merokok saat hamil, konsumsi alkohol saat hamil, penggunaan marijuana saat hamil,
medan magnet, pekerjaan orang tua, berat lahir, urutan lahir, radiasi prenatal dan post-natal,
vitamin K, serta diet.
Leukemia paling sering terjadi pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu
leukemia juga menyebabkan kematian pada anak, khususnya untuk jenis leukemia LMA karena
risiko kematiannya lebih tinggi dibandingkan jenis lain. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
penelitian ilmiah untuk melihat besarnya masalah serta melihat gambaran determinan leukemia
anak.
Penelitian mengenai gambaran epidemiologi leukemia anak belum merupakan prioritas para
peneliti di Indonesia. Padahal, informasi ini sangat penting agar masyarakat mengerti dan peduli
(aware) terhadap tingginya angka kejadian leukemia pada anak dibandingkan dengan jenis
kanker lain. Penelitian ini juga penting sebagai langkah awal untuk melanjutkan penelitian
terhadap faktor penyebab sehingga dapat menentukan tindakan preventifnya.9
Patofisiologi
Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi, imunologi, dan genetik sel
induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan atas pemeriksaan aspirat sumsum tulang.
Gambaran sitologik sel induk amat bervariasi, walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga
tidak ada klasifikasi morfologik yang memuaskan. Sistem Perancis-Amerika-Inggris (PAI)
membedakan tiga subtipe morfologi, L1, L2, dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil, dengan
sedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih besar, dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih banyak,
bentuk irregular, dan nukleoli nyata, dan sel L3 mempunyai kromatin inti homogen dan berbintik
halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang
subjektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda imunologik dan genetik yang
sedikit, hanya subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.
Klasifikasi LLA bergantung kepada kombinasi gambaran sitologik, imunologik dan
kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait
dengan galur sel dan antigen sitoplasma, maka imunotipe dapat ditentukan pada kebanyakan
kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor-B; lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor-T,
dan 1% dari sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik maupun
terapeutik. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukkan ekspresi antigen
yang berkaitan dengan beberapa galur yang berbeda (LLA galur campuran atau bifenopitik).
Kelainan kromoson dapat diidentifikasi setidak-tidaknya 80-90% LLA anak. Kariotip
dari sel leukemia mempunyai arti penting diagnostik, prognostik, dan terapeutik. Hal ini
dikarenakan kariotip dari sel leukemia menunjukkan tepat pada penelitian molekular untuk
mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada transformasi leukemia. LLA anak dapat juga
diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap sel leukemia (ploidy) dan atas penyusunan
kembali kromosom struktural misalnya translokasi.
Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal
deoksinukleotidil transferase (TdT) yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA sel progenitor-
B dan sel T. Oleh karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, maka hanya dapat
berguna untuk mengidentifikasi sel leukemia pada situasi diagnostik yang sulit. Misalnya,
aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin membantu untuk membedakan relaps
susunan saraf sentral (SSP) awal dengan meningitis aseptik.1, 3
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu diagnosis,
dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia di sirkulasi darah.
Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya juga terlibat. Karena itu, tidak ada sistem pembagian
stadium untuk LLA.
Secara imunologik, bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang
mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam
tubuh manusia seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia itu. Bila
struktur antigen individu tidak sesuai dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan
ditolak seperti penolakan tubuh terhadap benda asing. Struktur antigen manusia terbentuk oleh
struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lender yang terletak di
permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). Oleh WHO terhadap antigen jaringan
telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte locus A). sistem HL-A individu ini diturunkan
menurut hukum genetika, sehingga agaknya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi
leukemia tidak dapat diabaikan.
Perkembangan LLA, seperti halnya keganasan hematologi lainnya, dipercayai melibatkan
proses transformasi yang terjadi pada suatu sel progenitor yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan ekspansi klonal yang tidak terbatas. Proses leukemogenik berlaku pada jalur sel
limfoid, sel B, atau sel T sehingga terbentuknya subtipe LLA yang berlainan, tergantung tingkat
diferensiasi sel pada saat proses tersebut berlangsung. Kira-kira 80% dari kasus LLA
menunjukkan cell-surface marker dari prekursor sel B. Hanya 1-2% dari kasus saja yang
menunjukkan fenotipe tipikal dari sel B yang matang. LLA sel T berlaku pada 15-20% dari kasus
LLA dan biasanya berkaitan dengan faktor lain dalam diagnosis seperti umur yang lebih tua,
laki-laki, hitung sel darah putih yang tinggi, serta penyakit ekstramedular dan semua hal yang
menguatkan indikasi untuk kemoterapi. Selain itu, identifikasi abnormalitas kromosom spesifik
turut memegang peran penting dalam penentuan terapi dan prognosis bagi subtipe LLA tertentu.5
Penatalaksanaan
a. Transfusi darah biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang
berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda – tanda
DIC dapat diberikan heparin.
b. Kortikosteroid (prednisone, kortison, deksametason, dsb). Setelah dicapai remisi dosis
dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
c. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau MTX)
pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (Oncovin), rubidomisin
(daunorubicin), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin, dsb.
Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama –sama dengan prednisone. Pada
pemberian obat – obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis,
leucopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis. Hendaknya lebih berhati – hati bila jumlah
leukosit kurang dari 2.000/mm3.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar steril).
e. Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang terbaru, setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah (105 – 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang spesifik
dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynaebacterium dan dimaksudkan
agar terbentuk antibody yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik
dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan
akan terbentuk antibody yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis
akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna 2.
Cara pengobatan
Cara pengobatan terhadap leukemia limfositik akut ialah dengan menggunakan protocol sebagai
berikut:
1. Induksi
Sistemik :
a. VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b. ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali dimulai pada hari ketiga
pengobatan
c. Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu kemudian tapering off selama
1 minggu.
SSP: Profilaksis: MTX (metotreksat) 10mg/m2/minggu intratrakeal, diberikan 5 kali dimulai
bersamaan dengan atau setelah VCR pertama.
Radiasi cranial: dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir (siklofosfamid)
2. Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu minggu setelah VCR
keenam, kemudian dilanjutkan dengan:
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu kedua dari konsolidasi
3. Rumat
Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan :
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis (misalnya Senin dan Kamis)
4. Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat - obat rumat dihentikan.
Sistemik :
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1 minggu
kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kali
5. Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml
intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali
dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat – obat rumat diteruskan.
6. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu)1, 4, 5
Pencegahan
Tidak diketahui secara pasti cara – cara pencegahan berbagai tipe leukemia. Karena
kebanyakan penderita leukemia tidak mengetahui faktor risiko mereka masing – masing.
Beberapa tipe dari leukemia mungkin dapat dicegah dengan cara menghindari paparan radiasi
dosis tinggi (bahkan pasca kemoterapi / terapi radiasi), pajanan zat kimia (benzene), menghindari
merokok ataupun paparan asap rokok.
Namun sayangnya, banyak kasus dari leukemia tidak dapat dicegah. Karena sesungguhnya
tidak dapat diidentifikasi secara nyata dan pasti mengenai penyebabnya. Hanya saja perlu
dihindari faktor – faktor lain (eksogen) yang dapat mencetuskan LLA.9
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah timbulnya pendarahan, kerusakan organ lain akibat
kemoterapi, disseminated intravascular coagulation (DIC), relaps LLA, infeksi berat, dan
penyebaran keganasan di organ-organ tubuh lain. Kematian mungkin terjadi karena infeksi
(sepsis) atau pendarahan yang tidak terkontrol. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah
kegagalan leukemia untuk memberi respon terhadap kemoterapi.
Komplikasi dari leukemia dan terapinya dapat berupa sindrom tumor lisis (hiperfosfatemia
berat, hiperkalemia, hiperurikemia, dan hipokalsemia setelah kemoterapi intensif), gagal ginjal,
sepsis, pendarahan, thrombosis, tiflitis (inflamasi di daerah sekum), neuropati, ensefalopati,
kejang, keganasan sekunder, pertumbuhan terbantut (akibat radiasi kraniospinal), defisiensi
hormon pertumbuhan, serta defek kognitif.
LLA dikatakan dapat mengakibatkan 1400 kematian pada setiap tahun, dan dapat
meningkat lebih cepat jika tidak diobati. Akan tetapi, LLA merupakan salah satu kanker yang
paling mungkin terobati dan kadar survival hidup penderitanya juga tinggi. Kadar survival bagi
pasien dengan usia lanjut dan usia sangat muda dapat lebih rendah karena leukemia pada
golongan tersebut lebih cenderung disebabkan adanya faktor genetik sehingga kondisi
leukemianya lebih parah.
Penelitian menunjukkan survivor LLA anak cenderung mengalami masalah psikologi,
termasuk stress, depresi, mudah marah, serta rasa bingung bila dibandingkan dengan saudaranya
yang sehat. Risiko terhadap gangguan psikologi dapat bervariasi tergantung terapi yang
diberikan. Penelitian pada tahun 2003 menunjukkan pasien yang menerima radiasi SSP dosis
tinggi dan terapi metrotreksat mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan emosi jika
dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi dengan radiasi. Menyadari risiko tersebut,
dukungan secara psikologis dapat menjadi suatu hal yang penting dan sangat membantu dalam
pengobatan LLA.5
Prognosis
Karena onset biasanya mendadak, maka dapat disertai perkembangan dan kematian yang cepat
bila tidak diobati. 60% pasien yang diobati menjadi sembuh dan mengalami harapan hidup yang
meningkat dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang serta SSP. Harapan
sembuh pasien dewasa tergantung dari intensifnya terapi. Secara umum, overall disease – free
survival rate kira-kira 30%.1
Kesimpulan
Pasien anak 3 tahun dengan keluhan pucat sejak 1 bulan yang lalu, demam yang hilang timbul
sejak 1-2 bulan yang lalu, disertai pendarahan pada gusi dan mimisan, limfadenopati di
servikal,axila dan inguinal, hepatomegaly, petekie dan positif purpura diduga menderita
leukemia limfositik akut. Pemeriksaan sumsum tulang dan sediaan darah tepi harus dilakukan
untuk memastikan apakah pasien menderita leukemia limfositik akut atau leukemia mielositik
akut.
Daftar Pustaka
1. Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1. Cetakan
ke-11. Percetakan Infomedika, Jakarta: 2007.
2. Sudiono, Herawati, dkk. Leukemia. Penuntun Patologi Klinik Hematologi. Cetakan ketiga.
Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta: 2009.
3. Hoffbrand, A.V. Leukemia Akut. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-4. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: 2005
4. Waldo, E. Nelson. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.
Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2000
5. Rudolph, M. Abraham. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Edisi
20. EGC, Jakarta: 2006
6. Leukemia Diagnosis. 2008. Diunduh dari,
http://www.docstoc.com/docs/25982171/Leukemia-Diagnostic pada April 10, 2012.
7. Berg SL, Steuber CP, Poplack DG. Clinical Manifestation of Acute Lymphoblastic
Leukemia. In Hoffman ed: Hematology: Basic Principles and Practice 3 rd ed. Churchill
Livingstone Inc. 2000. page 1070-76.
8. Behrman, E. Richard. Leukemia Limfositik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Bagian
3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 1992
9. Gambaran Epidemiologi Kasus Leukemia Anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais, pada
tahun 2004-2008 Diunduh dari:
http://indonesianjournalofcancer.org/images/stories/2010/IJoC_2010_1_015.pdf pada 20
April 2013
Top Related