MAKALAH FARMAKOTERAPI II
NYERI DENGAN INFLAMASI ( NOSISEPSI )
Disusun oleh :
Jonas (108114 )
Anastasia Ika P (108114 )
Anggun Indah (108114 )
Brigita Lynda R (108114 )
Maria Malida Vernandes S (108114102)
Maria Dyah Kartika L (10811410 )
Ribka S (10811410 )
Arelia Ori (108114108)
Cornelia Melinda (108114109)
Juana M S (108114110)
Antonio Leonardo B P (108114112)
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
A. DEFINISI
Menurut International Association for study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang dapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Biasanya agak sulit
melihat adanya nyeri kecuali dari keluhan penderita itu sendiri (Shone, 1995).
Nyeri menurut lokasinya dibagi menjadi 2, yaitu nyeri sentral atau nyeri perifer. Nyeri pusat
dan nyeri perifer memiliki perbedaan pada lokasi dan defisit neurologis yang menyertai (kejang,
muntah, kelemhan, atau kelumpuhan anggota gerak). Nyeri perifer merupakan nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf perifer yang menghantarkan implus ke otak atau ke
tulang belakang. Nyeri perifer berasal dari otot, tendon dll atau dalam saraf perifer sendiri.Nyeri
yang berasal dari saraf peripheral sebagai contoh yaitu trauma terhadap saraf yang merupakan
nyeri neurogenik (Gunawan, 2005).
B. PATOGENESIS
Ketika jaringan mengalami trauma dan sel-sel menjadi rusak, sejumlah bahan kimia yang
dilepaskan di dekat serat nyeri.
(Anonim, 2011).
Beberapa bahan kimia (bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, norepinefrin) akan
menstimulasi sedangkan yang lain (leukotrien, prostaglandin, substansi P) mensensitisasi serat
nyeri menjadi mudah dirangsang dan memicu potensial aksi menuju sumsum tulang belakang.
Semua sel manusia memiliki membran lipid dua lapis.Ketika sel rusak, fosfolipid dan zat
lainnya dibebaskan dari sel ke dalam ruang intraselular.Pelepasan fosfolipid memulai kaskade
asam arakidonat melalui leukotrien 5-lipo-oksigenase dan siklooksigenase mensintesis leukotrien
dan prostaglandin.
Leukotrien dan prostaglandin mensensitisasi serat nyeri untuk diaktifkan oleh stimulus
lebih kecil daripada ketika bahan kimia ini tidak dekat serat nyeri.Misalnya, tekanan ringan tidak
dianggap sebagai menyakitkan dalam kondisi normal, tapi kadang-kadang dirasakan sebagai rasa
sakit (allodynia) jika leukotrien atau prostaglandin mengelilingi serat nyeri (Anonim, 2011).
Mekanisme nyeri adalah sebagai berikut:
Luka pada Sel
Gangguan pada Membran Sel
Fosfolipid
Dihambat Kortikosteroid Enzim fosfolipase
Asam Arakidonat
Enzim Lipoksigenase Enzim Siklooksigenase
Hidroperoksid Endoperoksid
Leukotrien Prostaglandin,
Bradikinin
Sistem Saraf Pusat
Reseptor Nyeri di Ujung Saraf Perifer
Nyeri Nosisepsi atau sensasi pada nyeri terdiri dari 4 proses dasar, yaitu: transduksi, transmisi,
modulasi dan presepsi.
1. Transduksi merupakan proses dimana stimulan noxius diterjemahkan menjadi sinyal
elektrik pada reseptor periferal. Proses ini terjadi ketika noceptor terbuka oleh adanya
stimulan mekanik, kimia, atau suhu dalam jumlah yang cukup. Disamping itu, sejumlah
bahan-bahan kimia seperti histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin dan substansi P
akan dilepaskan secara berurutan dari jaringan yang rusak dan dapat mengaktifkan dan
mensensitisasi nociseptor.
2. Transmisi berhubungan dengan perambatan sinyal elektrik sepanjang membran neural.
Stimulam seperti mediator inflamasi dan prostaglandin mengubah permeabilitas
membran, memproduksi influx sodium dan eflux potasium dengan demikian akan
mendepolarisasi membran neuronal. Implus elekrik ditransmisikan ke sumsum tulang
belakang melalui 2 macam saraf afferent primer yaitu fiber A-delta yang mengandung
myelin dan fiber Cyang tidak mengandung myelin. Fiber A-delta bertanggungjawab
dalam penghantaran implus elektrik secara cepat (terkait dengan stimulan mekanik dan
suhu) ke dorsal horn pada sumsum tulang belakang.Fiber C merespon terhadap stimulan
mekanik, suhu, dan kimia dan mengalirkan impuls elektrik ke sumsum tulang belakang
dalam keceparan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan fiber A-delta.
Modulasi dari informasi nocireseptor terjadi secara cepat diantara jalur inhibitory
yang menurundari thalamus menuju brainstem dan interneuron pada dorsal horn. Neuron
dari thalamus dan brainstem melepaskan neurotransmitter inhibitory seperti norepinefrin,
serotonin, γ-aminobutyric acid (GABA) ,glisin, endorphin, danenkephalins, yang
menghalangi aktivitas substansi P dan neurotransmitter ekcitatory lainnya pada fiber afferent
primer.
Fase persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri,
pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan
terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu
dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi.
Persepsi dari rasa sakit tidak hanya terkait dengan proses
nociceptive tetapi juga terkait dengan respon emosional dan psikologis,
yang berkontribusi secara cepat pada sensasiyang pada sensasi yang
akhirnya dirasakan(Klipa, Russeau, 2009).
C. STRATEGI PENGOBATANa. Non Farmakologis
- Kompres hangat
- TENS (transcuterieous electrical nerve stimulation) dengan memberikan arus listrik
ringan pada permukaan kulit.
- Akupuntur :memasukan jarum kecil ke bagian tubuh tertentu.
- Akupresure : pemberian penekanan pada pusat-pusat nyeri.
- Distraksi : mengalihkan perhatian terhadap nyeri. Efektif untuk nyeri ringan
hingga sedang.
b. Farmakologis
- Menggunakan senyawa yang menurunkan sensitivitas nosiseptor (analgesik
antipiretik, anestesi lokal).
- Menggunakan senyawa yang memutus konduksi nosiseptif dalam saraf sensorik
(anestesi lokal).
Terapi farmakologi dalam penanganan nyeri dapat berupa terapi curative
(menyembuhkan) ataupun palliative (meringankan). Pengobatan nyeri dada kardia dengan efek
vasodilatasi dari nitrogliserin dapat digolongkon dalam tindakan kuratif, sedangkan penanganan
nyeri dengan Inflamasi dengan NSAID dapat digolongkan tindakan palliative. Berikut ini adalah
terapi yang dapat diberikan dalam manajemen nyeri dengan Inflamasi (Dipiro, 2005).
1. Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) berkerja menghambat enzim
COX dan mengurangi pembentukan prostaglandin. Ketika inhibisi non-selektif terhadap
enzim COX menghasilkan efek antihiperalgesia dan menekan peran prostaglandin dalam
proses inflamasi hiperalgesia, namun demikian penggunaan klinis dibatasi karena efek
samping pada saluran gastrointestinal yang serius. Efikasi analgesik dari obat golongan
inhibitor selektif COX-2 terhadap penyakit arthritis rheumatoid teramati memiliki
kemiripan dengan inhibitor non-selektif, meskipun penelitian jangka panjang telah
dilakukan. Beberapa obat yang dapat digunakan yaitu ibuprofen, aspirin, natrium
diklofenak, dan asam mefenamat.
Alternatif yang lebih jauh ialah menggunakan derivat NSAIDs yang melepaskan
nitrit oksida. Pengembangan nitro-aspirin dan berbagai kombinasi antara NSAIDs dengan
nitrit oksida memungkinkan pelepasan efek anti-inflamasi dan anti-nosiseptif dalam
model nyeri inflamasi yang dibandingkan dengan obat induk NSAIDs tanpa
mengakibatkan kerusakan saluran gastrointestinal (Kidd, 2001).
Contoh obat Nyeri Inflamasi yang termasuk dalam NSAIDs adalah Aspirin dan
Natrium Diklofenak.
2. Opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti
opium atau morfin.Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid
efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini merupakan
patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah
salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih
menjadi standar pembanding untuk menilai obat anlgesik lain.
Morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan reseptor-reseptor opioid endogen di sistem limbic,
thalamus, PAG, substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid-opioid endogen
ini berfungsi sebagai neurotransmitter analgesik. Mereka dibebaskan dari jalur analgesik
desendens dan berikatan dengan reseptor opiat di ujung serat nyeri aferen. Pengikatan ini
menekan pelepasan substansi P melalui inhibisi prasinapsis, sehingga trans,misi lebih
lanjut sinyal nyeri dihambat. Substansi P merupakan salah satu dari neurotransmitter
yang mengaktifkan jalur-jalur asenden yang menyalurkan sinyal nonsiseptif ke tingkat
yang lebih tinggi untuk pemrosesan lebih lanjut Opioid eksogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphin-enkefalin);
yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat
reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada
system-sistem desendens yang menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medulla
spinalis, morfin juga dapat menghambat transmisi impuls nosiseptor yang dating dengan
mengikat reseptor opioid di substansia gelatinosa.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti
opium atau morfin.Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia
dandigunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid
efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini merupakan
patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah
salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih
menjadi standar pembanding untuk menilai obat anlgesik lain.
Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan reseptor-reseptor opuioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG, substansia
gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid eksogen seperti morfin menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphin-enkefalin); yaitu morfin memiliki
efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus
modulasi nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada system-sistem desndens
yang menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga dapat
menghambat transmisi impuls nosiseptor yang dating dengan mengikat reseptor opioid di
substansia gelatinosa.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip,
termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi)
(Sherwood, 2009).
Daftar Pustaka :
Anonim, 2011, Cancer Pain and Symptom Management Nursing Research Group, UIC College
of Nursing
Dipiro, J., et al., 2005, Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approach, 6th edition, 1089 –
1104, McGrawHill Companies Inc, New York
Gunawan, 2005, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, 230 – 272, Departemen Farmakologi dan
Terapetik, FKUI, Jakarta
Kidd, B., 2001, Mechanisms of Inflammatory Pain, British Journal of Anaesthesia, Volume 87,
Nomor 1, pp. 6.
Sherwood, L., 2009, Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 6, Buku Kedokteran,Jakarta,
pp. 209-211.
Shone, N., 1995, Berhasil Mengatasi Nyeri.76-80, Arcan, Jakarta