Halaman 1
ANAMNESIS
Saat ini , anda sedang bertugas jaga di UGD RS, datanglah seorang anak berusia 2
tahun, di gendong ibunya dalam keadaan kejang. Kejang terjadi di seluruh tubuh , kejang
berlangsung selama sekitar 3 menit , sebelum kejang pasien mengalami panas. Saat kejang
, kedua mata anak tersebut melihat keatas. Saat kejang anak tidak sadar. Setelah kejang,
anak tersebut menangis , dan tidak terdapat kelemahan pada anggota badan. Sudah sejak
4 hari yang lalu ia mengalami batuk pilek namun tidak diberikan obat. Mulai semalam, mulai
panas. Oleh ibunya hanya dibalurkan bawang merah, menurut kepercayaan orang tuanya,
jika di oles bawang , panas akan turun. Namun, sampai pagi, panas juga belum turun.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sewaktu ia berusia 8 bln, ernah juga mengalami kejang di saat panas. Riwayat
trauma kepala disangkal dan nyeri kepala hebat disangkal. Riwayat ada kelemahan anggota
gerak disangkal.
Riwayat Keluarga
Ibunya sewaktu kecil pernah mengalami kejang disaat panas.
Riwayat perkembangan :
Menurut ibunya anaknya berbeda dari kakak kakaknya. Ia mulai bias duduk saat ia
berusia 1,5 tahun, dan sampai sekarang belumdapat berdiri sendiri, hanya bias duduk. Dan
jika hendak kemana mana , ia menggunakan pantatnya ( ngesot ). Ibunya tidak pernah
memeriksakan atau membawa anaknya ke dokter di karenakan menurut neneknya , nanti
juga bias berjalan dengan sendirinya. Ia tdiak pernah diimunisasi, karena ada tetangganya
yang kejang setelah imunisasi sehingga ibunya takut anaknya mengalami hal yang sama
Riwayat kelahiran :
Ia adalah anak ke lima . Saat melahirkan mitta, ibu mitta berusia 37 tahun. Ia lahir
saat usia kandungan ibunya berusia 8 bulan, saat itu ibunya tiba tiba mengalami pecah
ketuban . Berat saat lahir adalah 1800 gram. Setelah di rawat beberapa minggu di Rumah
sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.
Halaman 2
Kesadaran : menangis, compos mentis
Vital Sign : HR : 110 X/ menit
RR : 30X/ menit
Suhu : 40 C ( Axilla)
Berat badan : 10 kg
Kepala : Mesocephal, jejas (-), lingkar kepala :
Mata : Konjugtiva pucat : -/-
Sclera ikterik : -/-
Refleks Cahaya Langsung : -/-
Refleks Cahaya Tidak Langsung : -/-
Pupil Isokor , diameter 3mm/3mm
Papiledema : -/-
Hidung : Nafas Cuping Hidung : -/-
Terdapat secret cair, bening
Mukosa hidung hiperemis
Telinga : Membran timpani intak, tidak hiperemis, tidak ada edema mukosa
Mulut : Faringitis hiperemis. Tonsil T1-T1 tenang
Cor/ Pulmo : dbn
Abdomen : Supel, Bising usus (+) 6x/menit, Hepar & lien tidak teraba membesar
Ascites (-)
Extremitas : dalam batas normal, kekuatan motorik normal
Pemeriksaan Neurologis
Meningeal Sign :
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudznsky II : (-)
Kernig : (-)
Refleks Fisiologis : normal
Refleks Patologis : (-)
Hematologi :
Hb : 11,8 (n=10,8 – 12,8)
Ht : 33% (n=35-43%)
Leukosit :16000/ul (n=5000-10.000)
Trombosit : 378000/ul (n=150.000 – 450.000)
Eritrosit : 3,96 juta/ul (n=3,90 – 5,30 juta/ul)
Hitung Jenis : Eosinofil = 0% (n= 0-4)
Basofil = 0% (n= 0-1)
Neutrofil = 82% (n= 29-72)
Limfosit = 36% (n= 36-52)
Monosit = 2% (n=0-5)
GDS : 100 mg/Dl
Elektrolit darah :
Natrium : 139 mmol/L
Kalium : 3,8 mmol/L
Kalsium : 1,1 mmol / L
Magnesium:
Halaman 4
Ia didiagnosis mengalami kejang demam sederhana yang disebabkan oleh rhinitis
dan faringitis, sehingga diberikan antibiotic dan obat penurun panas . Anda akan melakukan
edukasi pada ibu pasien untuk mencegah berulang kembali kejang demam
SISTEM SARAF PUSAT
Sistem saraf pusat, selanjutnya disebut SSP, terdiri atas otak dan medula spinalis.
Keduanya tersusun atas substansi putih (substansia alba) dan substansi abu-abu
(substansia grisea). Perbedaan ini terjadi akibat komposisi penyusun substansia alba yakni
akson bermielin; dan substansia grisea yakni perikarion (soma, badan) sel saraf, dendrit,
serta akson tak bermielin.
Otak
Secara keseluruhan otak terbagi atas:
1. Otak besar, atau cerebrum;
2. Otak kecil, atau cerebellum;
3. dan Batang otak, yang tersusun atas otak tengah (midbrain, mesencephalon),
pons, dan medula oblongata.
Struktur di atas akan dibahas secara lebih rinci.
Otak besar tersusun atas dua belahan (cerebral hemisphere) kiri dan kanan. Di
bagian tepi luar (korteks) terdapat substansia grisea, lalu semakin ke dalam dibatasi dengan
substansia alba, dan di bagian paling dalam terdapat nukelus yang merupakan substansia
grisea. Lapisan yang menyusun otak besar berlekuk-lekuk, membentuk struktur sulkus dan
girus. Lapisan ini jika ditinjau secara mikroskopik akan terlihat bahwa tersusun atas enam
lapisan, yakni:
1. Lapisan molekular, merupakan lapisan terluar dan terletak tepat di bawah lapisan
pia. Terdapat sel horizontal (cajal) yang pipih dengan denrit dan akson yang
berkontak dengan sel-sel di lapisan bawahnya (sel piramid, sel stelatte).
2. Lapisan granular luar, sebagian besar terdiri atas sel saraf kecil segitiga(piramid)
yang dendritnya mengarah ke lapisan molekular dan aksonnya ke lapisan di
bawahnya; sel granula (stelatte) dan sel-sel neuroglia.
3. Lapisan piramid luar, terdapat sel piramid yang berukuran besar (semakin besar
dari luar ke dalam). Dendrit mengarah ke lapisan molekular; akson mengarah ke
substansia alba.
4. Lapisan granular dalam, merupakan lapisan tipis yang banyak mengandung sel-sel
granul (stellate), piramidal, dan neuroglia. Lapisan ini merupakan lapisan yang paling
padat.
5. Lapisan piramidal dalam, suatu lapisan yang paling jarang, banyak mengandung
sel-sel piramid besar dan sedang, selain sel stelatte dan Martinotti. Sel Martinotti
adalah sel saraf multipolar yang kecil, dendritnya mengarah ke lapisan atas dan
aksonnya ke lateral.
6. Lapisan sel multiform, adalah lapis terdalam dan berbatasan dengan substansia
alba, dengan varian sel yang banyak (termasuk terdapat sel Martinotti) dan sel
fusiform.
Otak besar merupakan pusat belajar, ingatan, analissi informasi, inisiasi gerakan
motorik, dan merupakan pusat integrasi informasi yang diterima.
Gambar 1 - Lapis-lapis korteks serebrum
Nukelus (nucleus; nuclei: jamak) merupakan kumpulan dari perikarion neuron yang
terdapat di dalam SSP (bdk: ganglion di SST). Misal: basal nuclei.
Di substansia alba cerebrum terdapat banyak serat-serat yang menghubungkan
berbagai daerah korteks dalam hemisfer yang sama (asosiasi); menghubungkan
antarhemisfer (komisura); dan menghubungkan ke nukleus di bawahnya (proyeksi).
Serebelum juga tersusun atas substansia grisea yang terletak di tepi (dinamakan
korteks serebeli). Korteks serebeli tersusun atas tiga lapisan:
1. Lapisan molekular, lapisan terluar dan langsung terletak di bawah lapisan pia dan
sedikit mengandung sel saraf kecil, serat saraf tak bermielin, sel stelata, dan dendrit
sel Purkinje dari lapisan di bawahnya.
2. Lapisan Purkinje, disebut lapisan ganglioner, banyak sel-sel Purkinje yang besar
dan berbentuk seperti botol dan khas untuk serebelum. Dendritnya bercabang dan
memasuki lapisan molekular, sementara akson termielinasi menembus substansia
alba.
3. Lapisan granular, lapisan terdalam dan tersusun atas sel-sel kecil dengan 3-6
dendrit naik ke lapisan molekular dan terbagi atas 2 cabang lateral.
Gambar 2 - Lapis-lapis korteks serebelum
Medula Spinalis
Bagian luar medula spinalis merupakan substansia alba, sementara bagian
dalamnya merupakan substansia grisea, dengan bentuk menyerupai huruf H atau kupu-
kupu. Di bagian tengah substansia grisea terdapat kanal yang dinamakan kanalis sentralis.
Substansia alba berisi akson-akson yang merupakan jaras-jaras baik sensorik
maupun motorik yang meneruskan impuls saraf dari/atau otak dan organ-organ perifer.
Fasikulus-fasikulus jaras sensorik dan motorik terkelompokkan menjadi funikulus. Di
medula spinalis dapat ditemukan funikulus dorsal, ventral, dan lateral.
Substansia grisea mengandung perikarion dan banyak ditemukan sinaps neuron.
Wilayah ini dapat dikelompokkan menjadi tiga. Kornu anterior (ventral) adalah bagian
sayap yang gemuk dan banyak mengandung sel-sel motorik multipolar yang berbentuk
poligonal. Kornu posterior (dorsal) adalah bagian sayap yang lebih kecil dan banyak
ditemui sinaps dari saraf aferen, serta interneuron.
Kanalis sentralis merupakan saluran yang berhubungan dengan ventrikel keempat
otak, yang dilapisi oleh sel-sel ependimal.
Meninges
Otak dilindungi oleh kulit dan tengkorak, serta dengan meninges, yakni selaput
pelindung otak dan terdiri atas tiga lapisan. Sementara itu, medula spinalis juga dilindungi
oleh meninges.
Duramater, lapisan terluar meninges, merupakan lapisan yang tebal dengan kolagen
yang tinggi. Tersusun lagi atas dua lapis, yakni periosteal duramater, lapisan lebih luar,
terususun atas sel-sel progenitor, fibroblas. Lapisan ini menempel dengan permukaan dalam
tengkorak. Pembuluh darah ditemui dengan mudah di lapisan ini. Meningeal duramater,
sedikit mengandung pembuluh darah kecil dan dilapisi epitel selapis gepeng yang berasal
dari mesoderm pada permukaan dalamnya.
Kedua lapis duramater otak menyatu, namun memisah pada bagian-bagian tertentu,
membentuk sinus venosus.
Arachnoid adalah suatu lapisan tanpa pembuluh darah, tipis, serta halus. Lapis ini
mengandung fibroblas, kolagen, dan serat elastis.
Gambar 3 - Meninges
Sawar Darah Otak (Blood Brain Barrier)
Struktur yang membentuk lapisan “penyeleksi” zat-zat yang dapat berada di dalam
jaringan parenkim otak. Mekanisme ini sangat penting untuk menjaga kinerja otak dengan
optimal, mengingat perubahan sedikit saja pada lingkungan sekitar otak dapat
mengakibatkan gangguan, semisal konduksi saraf yang tidak berjalan dengan baik.
Sawar darah otak tersusun atas tiga komponen, yakni dinding sel endotel, di mana
terdapat tight junction (taut sekap) antarsel sehingga menghalangi lewatnya zat melalui
celah ini. Basal lamina sel endotel dan Kaki-kaki perivaskular astrosit juga mencegah
masuknya zat-zat tak diinginkan. Astrosit dapat membuang kelebihan ion K+ dan
neurotransmiter dari lingkungan sekitar neuron. Fungsi ini dapat mempertahankan
keseimbangan komposisi zat dan ion di ruang interselular SSP.
SISTEM SARAF TEPI
Sistem saraf tepi, selanjutnya disebut SST, tersusun atas akson-akson yang keluar
menuju organ efektor dan diorganisasikan menjadi saraf. Akson SST pada ummnya
termielinasi, sehingga terlihat berwarna putih.
Organisasi akson-akson saraf tepi menjadi berkas saraf melalui jaringan pengikat
Saraf-saraf tepi terdiri atas serabut-serabut saraf (akson) yang saling berkumpul
bersama, dan disatukan melalui jaringan penyambung, sehingga menghasilkan kumpulan
serabut saraf, disebut dengan fasikulus. Dalam satu fasikel pada umumnya mengandung
persarafan baik sensorik maupun motorik. Beberapa fasikulus membentuk bundel berkas
serat saraf. Bundel berkas serat saraf ini diikat oleh Epineurium, yakni suatu jaringan ikat
yang padat, tidak beraturan, tersusun mayoritas oleh kolagen dan sel-sel fibroblas.
Epineurium menyelimuti beberapa fasikulus yang bersatu membentuk saraf. Di epineurium
pula bisa ditemukan pembuluh darah. Ketebalan epineurium bervariasi, paling tebal di
daerah dura yang dekat dengan SSP, makin tipis hingga percabangan saraf-saraf ke arah
distal.
Perineurium adalah selaput pembungkus satu fasikulus yang tersusun atas jaringan
ikat padat kolagen yang tersusun secara kosentris, serta sel-sel fibroblas. Di bagian dalam
perineurium terdapat pula lapisan sel-sel epiteloid yang direkatkan melalui zonula
okludens; serta dikelilingi oleh lamina basal yang menjadikan suatu barrier (sawar) materi
bagi fasikulus.
Endoneurium adalah lapisan terdalam yang mengelilingi satu akson. Lapisan ini
tersusun ats jaringan ikat longgar (berupa serat retikuler yang dihasilkan oleh sel Schwann
yang bertanggung jawab untuk akson tersebut), sedikit fibroblas, dan serat kolagen. Di
daerah distal akson, endoneurium hampir tidak ada lagi, hanya menyisakan sedikit serat
retikuler yang menyertai basal lamina sel Schwann.
Gambar 4 – Organisasi dari akson hingga terbentuknya saraf
Gambar 5 - SC menggambarkan Sel Schwann dan RF menggambarkan serat retikuler
Ganglia
Ganglion merupakan kumpulan soma neuron (badan sel saraf) yang terletak di luar
SSP. (Disebut nukelus/nuklei jika terletak di SSP), Dikarenakan soma neuron motorik
berada di dalam SSP, hanya dikenal 2 macam ganglion, yakni ganglion otonom (kumpulan
soma neuron eferen viseral), dan ganglion sensorik (kumpulan soma neuron aferen).
Ganglion otonom merupakan “penghubung” antara saraf eferen praganglion yang
berasal dari SSP (dapat berasal dari kranial; ataupun spinal) dengan saraf eferen
pascaganglion yang akan menginervasi organ efektor viseral. Perlu diingat bahwa saraf
praganglion umumnya termielinasi, dan tidak untuk saraf pascaganglion (namun tetap
terlingkupi oleh envelope sel Schwann).
Dalam persarafan simpatis, saraf preganglion bersinaps dengan saraf postganglion
di: (1) ganglia yang berada di dekat medula spinalis, membentuk seperti suatu ranting
pohon, yang disebut dengan sympathetyic chain ganglia; atau (2) ganglia kolateral, yang
terletak di sepanjang aorta abdominal.
Persarafan parasimpatis memiliki ganglia yang terletak di dekat dengan efektor,
dikenal dengan sebutan ganglia terminal.
Ganglia (ganglion, tunggal) sensorik adalah kumpulan soma neuron aferen. Neuron
aferen ini terdiri atas saraf kranial V, VII, IX, X; serta setiap saraf spinal yang berasal dari
medula spinalis. Ganglia sensorik saraf spinal diberi nama dorsal root ganglia; sementara
ganglia sensorik kranial diberi nama sesuai dengan lokasi dan efektor. Ganglia sensorik
mengandung sel saraf unipolar (atau sering disebut pseudounipolar). Sel saraf demikian
mengandung cabang sentral yang masuk menuju SSP; dan cabang perifer yang pergi
menuju organ yang diinervasi. Sel kapsul berbentuk kubus melingkupi soma, dan sel-sel
kapsul ini dikelilingi jaringan penghubung yang tersusun atas sel-sel satelit dan serat
kolagen.
Anatomi Fisiologi Neuron
Neuron adalah unit dasar sistem saraf (Gibson, 2003). Sistem saraf melakukan
kontrol terhadap hampir sebagian besar aktivitas otot dan kelenjar tubuh untuk
mempertahankanhomeostasis. Neuron dikhususkan untuk menghasilkan sinyal listrik dan
biokimia cepat.Neuron juga mengolah, memulai, mengkode dan menghantarkan perubahan-
perubahan padapotensial membrannya sebagai suatu cara untuk menyalurkan pesan
dengan cepat melintasipanjangnya (Sherwood, 2001). Terdapat berjuta-juta neuron dalam
sistem saraf. Sel sarafbervariasi dalam bentuk dan ukuran berdasarkan fungsi yang
berbeda-beda (Gibson, 2003).
Sebuah neuron biasanya terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel, dendrit danakson.
Nukleus dan organel-organel terdapat di badan sel, tempat berasalnya sejumlah
besarneuron yang dikenal sebagai dendrit. Dendrit adalah serat pendek seperti sikat yang
melekatpada bagian luar sel untuk membawa impuls ke arah badan sel. Pada sebagian
besar neuron,membran plasma badan sel dan dendrit mengandung reseptor-reseptor
protein untuk mengikatzat antara kimiawi dari neuron lain (Sherwood, 2001). Akson atau
serat saraf adalah seratyang dilalui impuls meninggalkan badan sel untuk ditransmisikan ke
sel lain. Setiap sel sarafmemiliki satu akson yang mempunyai panjang bervariasi dari
beberapa milimeter sampaibeberapa centimeter. Satu akson sering bercabang banyak
didekat ujungnya dan setiap ujungbatang membentuk pembesaran seperti kancing yang
merupakan bagian pengantar informasi.Setiap serat dilapisi selubung tipis disebut selubung
mielin yang merupakan substansi lemak.Mielinisasi serat dimulai pada bulan keenam masa
janin dan lengkap setelah lahir (Gibson,2003).
Mielin berfungsi sebagai insulator seperti karet yang membungkus kabel listrik
untukmencegah arus bocor menembus bagian membran yang bermielin. Mielin bukan
merupakanbagian dari sel saraf tetapi terdiri dari sel-sel pembentuk mielin yang terpisah
yangmembungkus diri mengelilingi akson. Sel-sel pembentuk mielin adalah
oligodendrositdisusunan saraf pusat (otak dan korda spinalis) dan sel schwann di sistem
saraf perifer (sarafyang berjalan diantara susunan saraf pusat dan berbagai bagian tubuh
lainnya). Daerah seratyang tidak dilapisi mielin disebut sebagai nodus ranvier. Serat-serat
bermielin menghantarkanimpuls lima puluh kali lebih cepat daripada serat tidak bermielin
untuk ukuran yang sama(Sherwood, 2001).
Impuls saraf adalah perubahan kimia elektrik kompleks yang berjalan
disepanjangserat saraf. Di dalamnya, ion (partikel bermuatan) bergerak dari bagian dalam
sebuah aksonke arah luar, dan ion lain bergerak dari luar ke dalam. Sinaps adalah titik
komunikasi antarasatu neuron dan neuron lain. Saat impuls tiba di sinaps, transmiter kimia
dibebaskan danmerangsang sel berikutnya. Diketahui terdapat sekitar 30 transmiter,
diantaranya asetilkolin,norepinefrin, dan dopamin. Setiap transmiter bekerja dengan aktivitas
sistem saraf yang berbeda (Gibson, 2003).
1. Mekanisme Penghantaran Impuls Saraf
Ada dua cara yang dilakukan neuron sensorik untuk menghantarkan impuls tersebut,
yakni melalui membran sel atau membran plasma dan sinapsis. Penghantaran Impuls Saraf
melalui membran plasma di dalam neuron, sebenarnya terdapat membran plasma yang
sifatnya semipermeabel. Membran plasma neuron tersebut berfungsi melindungi cairan
sitoplasma yang berada di dalamnya. Hanya ion-ion tertentu akan dapat bertranspor aktif
melewati membran plasma menuju membran plasma neuron lain. Apabila tidak terdapat
rangsangan atau neuron dalam keadaan istirahat, sitoplasma di dalam membrane plasma
bermuatan listrik negatif, sedangkan cairan di luar membrane bermuatan positif. Keadaan
yang demikian dinamakan polarisasi. Perbedaan muatan ini terjadi karena adanya
mekanisme transpor aktif yakni pompa natrium-kalium. Konsentrasi ion natrium (Na+) di luar
membrane plasma dari suatu akson neuron lebih tinggi dibandingkan konsentrasi di
dalamnya. Sebaliknya,konsentrasi ion kalium (K+) di dalamnya lebih besar daripada di luar.
Akibatnya, mekanisme transporaktif terjadi pada membran plasma. Kemudian, apabila
neuron dirangsang dengan kuat, permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+ berubah
meningkat. Peningkatan permeabilitas membran ini menjadikan ion Na+ berdifusi ke dalam
membran, sehingga muatan sitoplasma berubah menjadi positif. Fase seperti ini dinamakan
depolarisasi atau potensial aksi . Sementara itu, ion K+ akan segera berdifusi keluar
melewati membrane Fase ini dinamakan repolarisasi. Perbedaan muatan pada bagian yang
mengalami polarisasi dan depolarisasi akan menimbulkan arus listrik. Kondisi depolarisasi
ini akan berlangsung secara terus-menerus, sehingga menyebabkan arus listrik. Dengan
demikian, impuls saraf akan terhantar sepanjang akson. Setelah impuls terhantar, bagian
yang mengalami depolarisasi akan mengalami fase istirahat kembali dan tidak ada impuls
yang lewat. Waktu pemulihan ini dinamakan fase refraktori atau undershoot
Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38 ◦c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Konsensus
Penanganan Kejang Demam,UKK neurologi IDAI, 2005). Kejang demam sebagai kejang
yang terjadi pada masa anak-anak yang terjadi setelah usia satu bulan, berhubungan
dengan demam yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat, tanpa adanya kejang
neonatal atau kejang tanpa sebab sebelumnya (The International League Against Epilepsy
(ILAE),1993). Konsesus The National Institute of Health (NIH) mendefinisikan kejang
demam sebagai sebuah peristiwa pada masa bayi dan anak-anak yang biasanya terjadi
antara usia 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tanpa adanya bukti
infeksi intrakranial atau penyebab kejang lainnya. Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 %
anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam
harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan
kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati.
Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena
keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.
A. Epidemilogi Kejang Demam
2-4% dari populasi anak 6 bulan - 4 tahun
80 – 90% merupakan kejang demam sederhana
20% kasus kejang demam kompleks
8% berlangsung > 15’
16% berulang dalam waktu 24 jam
Lebih sering pada anak laki-laki
Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari 12 bulan,
maka risiko kejang demam ke dua 50 %,
Bi;a kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan, risiko kejang demam
ke dua turun menjadi 30%.
Setelah kejang demam pertama, 2-4 % anak akan berkembang menjadi epilepsy dan ini 4 kali
risikonya dibandingkan populasi umum.
(Baumer JH,2004)
B. Etiologi Kejang Demam
Terdapat interaksi 3 faktor yangmenyebabkan kejang demam :
1. Demam
2. Imaturitas otak
3. Predisposisi genetik
(IDAI, 2010; ILAE, 2005)
C. Faktor ResikoKejang Demam
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan terlambatdan
kadar natrium rendah.
Faktor resiko kejang demam berulang:
1. Faktor resiko yang tetap:
a. Riwayat kejang demam di keluarga
b. Usia saat kejang demam pertama <18 bulan
c. Tingginya suhu tubuh saat kejang
d. Lamanya demam hingga terjadinya kejang
2. Faktor resiko yang possible
Riwayat keluarga yang mengalami epilepsy
3. Bukan faktor resiko
a. Abnormalitas neurodevelomental
b. Kejang demam kompleks
c. Lebih dari satu jenis bangkitan kejang
d. Jenis kelamin
e. Etnik
4. Rekurensi kejang demam
a. 50% dalam 6 bulan pertama
b. 75% dalam tahun pertama
c. 90% dalam tahun kedua
d. KD pertama <1 tahun : 50%
e. KD pertama >1 tahun : 28%
Lebih banyak faktor resiko yang didapatkan , lebih besar juga kemungkinan
terjadi rekurensi .
Resiko terjadinya epilepsy dikemudian hari sebesar 2-10%, jika:
a. Gangguan perkembangan saraf
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsy dalam keluarga
d. Lamanya demam hingga terjadinya kejang
e. Epilepsy mesial temporal , 40% pernah mengalami kejang demam kompleks.
(Garna Herry, Nataprawira M. Heda, 2012)
D. Klasifikasi Kejang Demam
1. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum, tonik dan
atau klonik , umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam
waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
(ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. (Nelson KB,
Ellenberg JH, 1978)
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial (Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT, 1987)
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari , diantara 2 bangkitan kejang
anak sadar (Shinnar S 1999).
E. Patogenesis
1. Demam
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjdinya pelepasan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimia maupun anatomi.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K –
ATPase yang terdapat pada permukaan sel Keseimbangan potensial membran ini dapat
dirubah oleh adanya :
A. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
B. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya.
C. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada
seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel – sel yang belum matang / immature
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permeabilitas membrane sel.
c. Metabolisme basal meningkat sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
d. yang akan merusak neuron
e. Demam meningkatkan Cerbral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan
glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion – ion keluar masuk sel.
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron
otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy (Behrman, Richard E., Robert M.
Kliegman,Arvin,2000).
Patogenesis Kejang Demam
Inflamasi( Infeksi )
demam
Peningkatan suhu tubuh
Metabolisme basal meningkat
Kebutuhan O2 meningkat
Glukosa ke otak menurun
Perubahan konsentrasi dan jenis ion
di dalam dan di luar sel
Difusi ion Na+ dan K+
Kejang
Durasi pendek Durasi lama
Sembuh Apnea
O2 menurun
Kebutuhan O2 meningkat
hipoxemia
Aktivitas otot meningkat
Hipoxia
Permeabilitas meningkat
Edema otak
Kerusakan sel neuron otak
Epilepsi
2. Imaturitas Otak
Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, neurulasi, perkembangan
prosensefali, proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan perkembangan otak
intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi
dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang
demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang
terutama fase perkembangan organisasi meliputi: diferensiasi dan pemantapan neuron pada
subplate, pencocokan, orientasi, dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan
cabang neurit dan dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel terprogram,
Hiperkapnia
Hipotensi
arterial
Metabolisme otak meningkat
proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan pemantapan neuron pada
subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor
untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada proses pembentukkan cabang-
cabang akson ( dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel
terprogram dan plastisitas. Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai. Sinapsis
yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut regeresif. Sel neuron yang tidak terkena
proses kematian program bahkan terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses
tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi bangkitan
kejang demam dapat mengakibatkan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan
modifikasi proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-
ulang seperti kejang demam akan mengakibatkan aberrant palsticity, yaitu penurunan fungsi
GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor esksitator. Pada
keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat
dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum
matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising hormon (CRH)
merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum
matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk
terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak
belum matang atau masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan
pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa
otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang
sudah matang. Pada masa ini disebut developtmental window dan rentan terhadap
bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak ada
keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang
pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eskitabilitas neural
dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa
developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi demam pada otak fase
ekstabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun
( Soetomenggolo, 2007 ).
F. Diagnosis
1. Anamnesa
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum / saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
b. Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga , epilepsy dalam
keluarga
c. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
(IDAI SPM Kesehatan Anak , 2004)
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mencari tanda-tanda meningitis, adanya defisit
neurologis, asimetris, atau stigmata kelainan neurokutaneous dan ganggauan metabolik.
Hasil pengukuran lingkar kepala dapat menjadi informasi penting.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab demam, seperti darah perifer, elektrolit
dan gula darah (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)
b. Pungsi lumba
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 % .
Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis, oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan : tidak rutin
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006).
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam.
Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal. (Kesepakatan Saraf Anak,2005)
d. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed Tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi,
seperti:
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Parese nervus VI
c. Papiledema
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)
G. Diagnosis Banding
1. Epilepsi yang disertai dengan demam
2. Meningitis
3. Ensephalitis
H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk,
• Mencegah kejang demam berulang
• Mencegah status epilepsi
• Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
• Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
1. Penatalaksanaan saat kejang
a. Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 - 0,5 mg/kg perlahan-lahan
dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam waktu 3 - 5 menit, dengan dosis
maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal
adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang
demam).
b. Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
c. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. dan
disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kg.
d. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10 - 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg /kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari, yaitu 12
jam setelah dosis awal.
e. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam dan faktor risikonya, apakah kejang demam sederhana atau
kompleks. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
Penjelasan:
a.Bila kejang berhenti, terapi profilaksis intermiten atau rumatan diberikan
berdasarkan apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan bagaimana
faktor risikonya.
b.Pemberian fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena (20 menit) dicampur
dengan cairan NaCl fisiologis, untuk mengurangi efek samping aritmia dan
hipotensi.
2. Mencari dan Mengobati Penyebab Demam
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengankenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan infeksi diluar susunan
sarafpusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, furunkulosis dan lain – lain.
Mengobati penyebab yaitu dengan cara mengatasi infeksi – infeksi tersebut.
3. Pemberian obat pada saat demam
a. Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi E).
Dosis asetaminofen yang digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali sehari.
Asetaminofen dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18
bulan, meskipun jarang. Antipiretik pilihan adalah parasetamol 10 mg/kg yang sama
efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh. (Konsesus
Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3 - 2/3 kasus), begitu pula dengan diazepam
rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C (level I, rekomendasi E).
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25 – 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
4. Pemberian Obat Rumatan
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu):
a) Kejang lama > 15 menit
b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental,
hidrosefalus.
c) Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
a) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
b) Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c) Kejang demam > 4 kali per tahun
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
Penjelasan:
* Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat
* Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan
bukan merupakan indikasi
* Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006).
b. Jenis obat antikonvulsan
a) Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).
Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam benign dan efek
samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus
menerus diberikan dalam jangka pendek, dan pada kasus yang sangat
selektif (rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40 - 50 %).
b) Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan
hepatitis namun insidensnya kecil. Dosis asam valproat 15 - 40 mg/kg/hari
dalam 2 - 3 dosis dan fenobarbital 3 - 4 mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
c. Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
.
I. Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat efek
samping obat (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
J. Indikasi Rawat
1. KDK
2. Hiperpireksia
3. Usia < 6 bulan
4. Kejang demam pertama
5. Terdapat kelainan neurologis
(IDAI SPM Kesehatan Anak , 2004)
K. Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Resiko Berulangnya kejang demam sekitar 1/3 anak
dapat menglami kejang demam berulang, 10% dapat terjadi >3x. (Herry Garna, 2012)
Meningeal Sign
Pada meningitis atau terdapat darah di rongga subarakhnoid, dapat merangsang
selaput otak, dan terjadilah iritasi meningel
Manifestasi: sakit kepala, kuduk terasa kaku, fotofobia, hiperakusis, tungkai fleksi,
opistotonus
Selain itu juga memberikan beberapa gejala: Kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig,
Brudzinski I, Brudzinski II
a. Kaku Kuduk
Cara pemeriksaan:
Tempatkan tangan pemeriksa dibawah kepala pasien yang sedang berbaring
Tekukan kepala hingga mencapai dagu
Perhatikan ada atau tidaknya tahanan -> + bila ada tahanan
+ pada rangsang selaput otak, miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, artritis servikal
Pada rangsang selaput otak tidak ditemukan tahanan saat rotasi
b. Tanda Lasegue
Cara pemeriksaan:
Pasien berbaring diminta meluruskan kedua tungkainya
Satu tungkai diangkat lurus hingga mencapai 70°
Bila sudah timbul sakit sebelum 70° maka tanda Lasegue +
+ pada rangsang selaput otak, isialgia, iritasi pleksus lumbosakral
c. Tanda Kernig
Cara pemeriksaan:
Pasien berbaring diminta meluruskan kedua tungkainya
Satu tungkai dibentuk sudut 90° pada persendian panggul
Tungkai bawah di ekstensikan hingga 135°
Bila terdapat tahanan dan nyeri sebelum 135°, maka tanda Kernig +
+ pada rangsang selaput otak (bilateral), HNP- lumbal (unilateral)
d. Tanda Brudzinski I
Cara pemeriksaan:
Tempatkan tangan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring
Tekukan kepala hingga mencapat dada
Bila terdapat fleksi kedua tungkai, maka tanda Brudzinski +
e. Tanda Brudzinski II
Cara pemeriksaan:
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian panggul
Bila tungkai yang satu lagi ikut terfleksi maka tanda Brudzinski II +
Gangguan Jiwa Pada Anak
Retardasi Mental
Adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara berpengaruh pada tingkat
kecerdasan secara menyeluruh misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial
Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau ganguan fisik lainnya
Untuk diagnosis yang pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang
mengakibatkan berkurangnnya kemampuan adaptasi terhadapap tuntutan dari lingkungan
sosial biasa sehari-hari
• Terdapat 6 jenis retardasi mental:
• Retardasi Mental Ringan
• Retardasi Mental Sedang
• Retardasi Mental Berat
• Retardasi Mental Sangat Berat
• Retardasi Mental Lainnya
• Retardasi Mental Yang Tidat Tergolongkan (YTT)
Retardasi Mental Ringan
• IQ antara 50 sampai 69
• Pemahaman dan penggunaan bahasa cendrung terlambat, masalah kemampuan
berbicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat menetap sampai
dewasa
• Kebanyakan dapat mendiri penuh merawat diri dan mencapai ketrampilan praktis,
walau terlambat
• Kesulitan utama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah yg bersifat akademik
Retardasi Mental Sedang
• IQ antara 35 sampai 49
• Ada kesenjangan kemampuan, beberapa mencapai tingkat yg kebih tinggi, lainnya
canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan sederhana
Retardasi Mental Berat
• IQ antara 20 sampai 34
• Pada umumnya mirip dengan retardasi mental sedang
• Kebanyakan menderita gangguan motorik yang mencolok menunjukan adanya
kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari
susunan saraf pusat
Retardasi Mental Sangat Berat
• IQ dibawah 20
• Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas, paling tinggi hanya mengerti
perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana
• Biasanya ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi
mobilitas, seperti epilepsi, dan hendaya daya lihat dan daya dengar
Retardasi Mental Lainnya
• Digunakan bila ada gangguan sensorik atau fisik misalnya buta, bisu, tuli, dll
Autisme
Adalah gangguan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dan dengan ciri kelainan fungsi dalam 3
bidang: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang Terdapat
hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, berbentuk apresiasi yang tidak
adekuat terhadap isyarat sosio emosional, buruk dalam menggunakan isyarat sosial
Terdapat pula hendaya kualitatif dalam dalam komunikasi, berbentuk kurangnya
penggunaan bahasa yang dimiliki, keserasian yang buruk dan kurangnya interaksi timbal
balik dalam percakapan, kurangnya isyarat tubuh yang menekankan atau memberi arti
tambahan dlm komunikasi lisan
Juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, berulang dan
stereotipik, terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam detil dari
lingkungan hidup pribadi
Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autisme, tetapi
pada tiga perempat kasus secara signifikasi terdapat retardasi mentas
Gangguan Hiperkinetik
• Ciri-ciri utama adalah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan
• Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas dan
ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai
• Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam
situasi yang menuntut keadaan relatif tenang, seperti ribut, lari-lari, lompat-lompat,
berputar-putar
Tumbuh Kembang Anak
TABLE 8-1 -- Developmental Milestones in the First 2 Yr of Life
MILESTONE AVERAGE AGE OF
ATTAINMENT (MO)
DEVELOPMENTAL IMPLICATIONS
GROSS MOTOR
Holds head steady while
sitting
2 Allows more visual interaction
Pulls to sit, with no head lag 3 Muscle tone
Brings hands together in
midline
3 Self-discovery of hands
Asymmetric tonic neck reflex
gone
4 Can inspect hands in midline
Sits without support 6 Increasing exploration
Rolls back to stomach 6.5 Truncal flexion, risk of falls
Walks alone 12 Exploration, control of proximity to
parents
Runs 16 Supervision more difficult
FINE MOTOR
Grasps rattle 3.5 Object use
Reaches for objects 4 Visuomotor coordination
Palmar grasp gone 4 Voluntary release
Transfers object hand to hand 5.5 Comparison of objects
Thumb-finger grasp 8 Able to explore small objects
Turns pages of book 12 Increasing autonomy during book time
Scribbles 13 Visuomotor coordination
Builds tower of 2 cubes 15 Uses objects in combination
Builds tower of 6 cubes 22 Requires visual, gross, and fine motor
coordination
COMMUNICATION AND LANGUAGE
MILESTONE AVERAGE AGE OF
ATTAINMENT (MO)
DEVELOPMENTAL IMPLICATIONS
Smiles in response to face,
voice
1.5 More active social participant
Monosyllabic babble 6 Experimentation with sound, tactile sense
Inhibits to “no” 7 Response to tone (nonverbal)
Follows one-step command
with gesture
7 Nonverbal communication
Follows one-step command
without gesture
10 Verbal receptive language (e.g.,“Give it
to me”)
Says “mama” or “dada” 10 Expressive language
Points to objects 10 Interactive communication
Speaks first real word 12 Beginning of labeling
Speaks 4–6 words 15 Acquisition of object and personal names
Speaks 10–15 words 18 Acquisition of object and personal names
Speaks 2-word sentences
(e.g.,“Mommy shoe”)
19 Beginning grammaticization, corresponds
with 50+ word vocabulary
COGNITIVE
Stares momentarily at spot
where object disappeared
2 Lack of object permanence (out of sight,
out of mind) [e.g., yarn ball dropped]
Stares at own hand 4 Self-discovery, cause and effect
Bangs 2 cubes 8 Active comparison of objects
Uncovers toy (after seeing it
hidden)
8 Object permanence
Egocentric symbolic play (e.g.,
pretends to drink from cup)
12 Beginning symbolic thought
Uses stick to reach toy 17 Able to link actions to solve problems
Pretend play with doll (e.g.,
gives doll bottle)
17 Symbolic thought
TABLE 8-2 -- Emerging Patterns of Behavior During the 1st Year of Life[*]
NEONATAL PERIOD (1ST 4 WK)
Prone: Lies in flexed attitude; turns head from side to side; head sags on ventral suspension
Supine: Generally flexed and a little stiff
Visual: May fixate face on light in line of vision;“doll's-eye” movement of eyes on turning of the
body
Reflex: Moro response active; stepping and placing reflexes; grasp reflex active
Social: Visual preference for human face
AT 1 MO
Prone: Legs more extended; holds chin up; turns head; head lifted momentarily to plane of body
on ventral suspension
Supine: Tonic neck posture predominates; supple and relaxed; head lags when pulled to sitting
position
Visual: Watches person; follows moving object
Social: Body movements in cadence with voice of other in social contact; beginning to smile
AT 2 MO
Prone: Raises head slightly farther; head sustained in plane of body on ventral suspension
Supine: Tonic neck posture predominates; head lags when pulled to sitting position
Visual: Follows moving object 180 degrees
Social: Smiles on social contact; listens to voice and coos
AT 3 MO
Prone: Lifts head and chest with arms extended; head above plane of body on ventral suspension
Supine: Tonic neck posture predominates; reaches toward and misses objects; waves at toy
Sitting: Head lag partially compensated when pulled to sitting position; early head control with
bobbing motion; back rounded
Reflex: Typical Moro response has not persisted; makes defensive movements or selective
withdrawal reactions
Social: Sustained social contact; listens to music; says “aah, ngah”
AT 4 MO
Prone: Lifts head and chest, with head in approximately vertical axis; legs extended
Supine: Symmetric posture predominates, hands in midline; reaches and grasps objects and brings
them to mouth
Sitting: No head lag when pulled to sitting position; head steady, tipped forward; enjoys sitting
with full truncal support
Standing: When held erect, pushes with feet
Adaptive: Sees pellet, but makes no move to reach for it
Social: Laughs out loud; may show displeasure if social contact is broken; excited at sight of food
AT 7 MO
Prone: Rolls over; pivots;crawls or creep-crawls (Knobloch)
Supine: Lifts head; rolls over; squirms
Sitting: Sits briefly, with support of pelvis; leans forward on hands; back rounded
Standing: May support most of weight; bounces actively
Adaptive: Reaches out for and grasps large object; transfers objects from hand to hand; grasp uses
radial palm; rakes at pellet
Language: Forms polysyllabic vowel sounds
Social: Prefers mother; babbles;enjoys mirror; responds to changes in emotional content of social
contact
AT 10 MO
Sitting: Sits up alone and indefinitely without support, with back straight
Standing: Pulls to standing position;“cruises” or walks holding on to furniture
Motor: Creeps or crawls
Adaptive: Grasps objects with thumb and forefinger; pokes at things with forefinger; picks up pellet
with assisted pincer movement; uncovers hidden toy; attempts to retrieve dropped object;
releases object grasped by other person
Language: Repetitive consonant sounds (“mama,” “dada”)
Social: Responds to sound of name; plays peek-a-boo or pat-a-cake;waves bye-bye
AT 1 YR
Motor: Walks with one hand held (48 wk); rises independently, takes several steps (Knobloch)
Adaptive: Picks up pellet with unassisted pincer movement of forefinger and thumb; releases object
to other person on request or gesture
Language: Says a few words besides “mama,” “dada”
Social: Plays simple ball game; makes postural adjustment to dressing
TABLE 9-1 -- Emerging Patterns of Behavior from 1 to 5 Yr of Age[*]
15 MO
Motor: Walks alone; crawls up stairs
Adaptive: Makes tower of 3 cubes; makes a line with crayon; inserts raisin in bottle
Language: Jargon;follows simple commands; may name a familiar object (e.g., ball)
Social: Indicates some desires or needs by pointing; hugs parents
18 MO
Motor: Runs stiffly; sits on small chair; walks up stairs with one hand held; explores drawers and
wastebaskets
Adaptive: Makes tower of 4 cubes; imitates scribbling; imitates vertical stroke; dumps raisin from
bottle
Language: 10 words (average); names pictures; identifies one or more parts of body
Social: Feeds self; seeks help when in trouble; may complain when wet or soiled; kisses parent
with pucker
24 MO
Motor: Runs well, walks up and down stairs, one step at a time; opens doors; climbs on furniture;
jumps
Adaptive: Makes tower of 7 cubes (6 at 21 mo); scribbles in circular pattern; imitates horizontal
stroke; folds paper once imitatively
Language: Puts 3 words together (subject, verb, object)
Social: Handles spoon well; often tells about immediate experiences; helps to undress; listens to
stories when shown pictures
30 MO
Motor: Goes up stairs alternating feet
Adaptive: Makes tower of 9 cubes; makes vertical and horizontal strokes, but generally will not join
them to make cross; imitates circular stroke, forming closed figure
Language: Refers to self by pronoun “I”; knows full name
Social: Helps put things away; pretends in play
36 MO
Motor: Rides tricycle; stands momentarily on one foot
Adaptive: Makes tower of 10 cubes; imitates construction of “bridge” of 3 cubes; copies circle;
imitates cross
Language: Knows age and sex; counts 3 objects correctly; repeats 3 numbers or a sentence of 6
syllables
Social: Plays simple games (in “parallel” with other children); helps in dressing (unbuttons
clothing and puts on shoes); washes hands
48 MO
Motor: Hops on one foot; throws ball overhand; uses scissors to cut out pictures; climbs well
Adaptive: Copies bridge from model; imitates construction of “gate” of 5 cubes; copies cross and
square; draws man with 2 to 4 parts besides head; identifies longer of 2 lines
Language: Counts 4 pennies accurately; tells story
Social: Plays with several children, with beginning of social interaction and role-playing;goes to
toilet alone
60 MO
Motor: Skips
Adaptive: Draws triangle from copy; names heavier of 2 weights
Language: Names 4 colors; repeats sentence of 10 syllables; counts 10 pennies correctly
Social: Dresses and undresses; asks questions about meaning of words; engages in domestic role-
playing
EPILEPSI
Epilepsi adalah suatu serangan mendadak, dengan manifestasi fisik seperti kejang-
kejang, gangguan sensorik, atau kehilangan kesadaran yang dihasilkan dari muatan listrik
abnormal di otak. Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut etiologi (idiopatik/primer dan
sekunder), tempat asal kejang, manifestasi klinis (general atau fokal), frekuensi ( isolated,
siklik, repetitif) atau berdasar korelasi elektrofisiologis.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismal, dan disebabkan oleh bermacam etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi
klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi :
1. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik.
2. Simptomatik : disebabkan oleh kelainan atau lesi susunan saraf pusat, misalnya
cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, gangguan peredaran darah otak,
toksik, metabolic, kelainan neuro-degeneratif.
Patofisiologi
Kejang epilepsi (serangan epilepsi, epileptic fit) dipicu oleh perangsangan sebagian
besar neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi
fungsi motorik (kejang), sensorik (kesan sensorik), otonom (salivasi), atau fungsi kognitif
(kognitif, emosional) secara lokal atau umum.
Kejang epilepsi dapat bersifat lokal missal di gyrus precentralis kiri dengan neuron di
daerah tersebut yang mengatur kaki kanan (kejang parsial). Kejang dapat menyebar dari
tempat tersebut ke seluruh gyrus precentralis (epilepsi Jacksonian). Sebagai contoh, kram
klonik dapat menyebar dari kaki kanan ke seluruh tubuh bagian kanan (gerakan motorik
Jacksonian) tanpa pasien kehilangan kesadaran. Namun, jika kejang menyebar ke sisi tubuh
lainnya, pasien akan kehilangan kesadaran (kejang parsial dengan generalisasi sekunder).
Kejang umum primer selalu disertai hilangnya kesadaran. Kejang tertentu (absens) dapat
juga hanya menyebabkan kehilangan kesadaran yang terisolasi. Fenomena pemicunya
adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal (pergeseran depolarisasi
paroksismal). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca2+. Ca2+ yang masuk mula-mula
akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan Cl‾ yang diaktivasi oleh Ca2+.
Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang
cukup. Penyebab atau faktor yang memudahkan terjadinya epilepsi adalah kelainan genetic,
malformasi otak, trauma otak (jaringan parut di sel glia), tumor, pendarahan, atau abses.
Kejang juga dapat dipicu oleh keracunan (alkohol), inflamasi, demam, pembengkakan sel
atau pengerutan sel, hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, kurang tidur, iskemia
atau hipoksia, dan perangsangan berulang.
Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron sekitarnya
ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme selular.
Dendrit sel pyramidal mengandung kanal Ca2+ yang akan membuka pada saat
depolarisasi sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron, akan lebih banyak
kanal Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+ dihambat oleh Mg2+, sedangkan hipomagnesemia
akan meningkatkan aktivitas kanal ini. Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel akan
mengurangi refluks K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+ mempunyai efek depolarisasi, dan
karena itu pada saat yang bersamaan meningkatkan pengaktifan kanal Ca2+. Dendrit sel
pyramidal juga didepolarisasi oleh glutamate dari sinaps eksitatorik. Glutamat bekerja pada
kanal kation yang tidak permeable terhadap Ca2+ (kanal AMPA) dank anal yang permeable
terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya dihambat oleh Mg2+.
Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA akan
menghilangkan penghambatan Mg2+ (kerja sama dari kedua kanal). Jadi defisiensi Mg2+ dan
depolarisasi memudahkan pengaktifan kanal NMDA. Potensial membran neuron normalnya
dipertahankan oleh kanal K+. Syarat untuk hal ini adalah gradien K+ yang melewati membran
sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh Na+/ K+ ATPse. Kekurangan energy (kurang
O2 atau hipoglikemia) akan menghambat Na+/ K+ ATPse sehingga memudahkan depolarisasi
sel.
Depolarisasi normalnya dikurangi oleh neuron inhibitorik yang mengaktifkan kanal K+
dan atau Cl‾ diantaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh glutamate dekarboksilase,
yakni enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin
B6 (kelainan genetik) memudahkan terjadinya epilepsy. Hiperpolarisasi neuron thalamus
dapat meningkatkan kesiapan kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan sehingga memudahkan
serangan absens.
Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts epilepsy (ILAE) terdiri
dari diua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsy dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsy. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsy:
1. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
i. Motorik
ii. Sensorik
iii. Otonom
iv. Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
i. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
ii. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
i. Parsial sederhana yang menjadi umum tonik-klonik
ii. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
iii. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
2. Bangkitan umum
a. Lena (absens)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-Klonik
f. Atonik
3. Tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi:
1. Berkaitan dengan letak fokus
Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy“.
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
Kriptogenik
2. Umum
Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut:
1. Anamnesis
a. Pola/bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital.
gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan
kanker.
3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi
a. Pemeriksaan EEG
i. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks)
ii. Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa
dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada pemeriksaan ulang gambaran
epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.
iii. Bila EEG pertama normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka
dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur, atau dengan
menghentikan obat anti epilepsi (OAE).
iv. Indikasi pemeriksaan EEG:
− Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
− Menentukan prognosis pada kasus tertentu
− Pertimbangan dalam penghentian OAE
− Membantu dalam menentukan letak fokus
− Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya
b. Pemeriksaan pencitraan otak, dengan indikasi:
i. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
ii. Adanya perubahan bentuk bangkitan
iii. Terdapat defisit neurologik fokal
iv. Epilepsi dengan bangkitan parsial
v. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
vi. Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi
c. Magnetic Resonance Imaging
i. Merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi
dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan
ii. Dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa
iii. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin
memerlukan terapi pembedahan
iv. Pemeriksaan laboratorium
Darah : hemoglobin, hematokrit, trombosit, apus darah tepi, elektrolit, kadar
gula darah, fungsi hati, ureum, kreatinin, dan lainnya sesuai indikasi
Cairan serebrospinal : bila curiga ada infeksi SSP
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya kelainan
metabolik bawaan
Diagnosis Banding
1. Sinkope
Sinkope adalah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan
aliran darah kedalam otak dan anoksia. Sebabnya adalah tensi darah yang menurun
mendadak biasanya saat penderita sedang berdiri. Pada fase permulaan, penderita
menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan kabur.
Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah.
Dengan dibaringkan horizontal penderita segera membaik.
2. Gangguan jantung
Gangguan fungsi dan irama jantung dapat timbul dalam serangan-serangan yang
mungkin pula mengakibatkan pingsan.
3. Gangguan sepintas peredaran darah otak
Gangguan sepintas peredaran darah dalam batang otak dengan macam-macam
sebab dapat mengakibatkan timbulnya serangan pingsan. Pada keadaan ini dijumpai
kelainan-kelainan neurologis seperti diplopia, disartria, ataksia, dan lain-lain.
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, paltisipasi, tremor, mulut kering.
Kesadaran dapat menurun perlahan.
5. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun.
Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik
perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca
serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi menyerupai
kejang tonik klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi. Timbulnya
serangan sering berhubungan dengan stress.
6. Paralisis tidur
Biasanya terjadi kejang menjelang tidur atau bangun dan sering didahului
halusinasi visual dan auditoris. Serangan ini sering merekrutkan penderita karena ia
dapat bernafas, menggerakkan mata, namun tidak dapat bergerak. Sentuhan ringan
atau rangsang auditoris dapat mengakhiri paralisis tersebut yang biasanya
berlangsung hanya beberapa detik.
Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress
emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:
Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual
Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada
hippocampus, anomia (ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda).
Kepribadian keras : agresif dan defensif
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
Aspirasi atau muntah
Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
Status epileptikus
Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang berulang tanpa
kembalinya kesadaran diantara kejang. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe
kejang tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus mungkin
menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin fatal.
Komplikasi meliputi:
− Aspirasi
− Aritmia
− Dehidrasi
− Fraktur
− Serangan jantung
− Trauma kepala
Pedoman Pengobatan Epilepsi
Untuk dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya, terdapat beberapa pedoman yang
perlu diperhatikan:
a. Diagnosis
Sebelum pengobatan dimulai, diagnosis epilepsi harus dipastikan. Penderita epilepsi
harus minum obat dalam jangka waktu lama sehingga perlu dipastikan bahwa diagnosis
ditegakkan dengan benar. Bila seorang pasien mengalami serangan lebih dari satu kali
dalam 12 bulan terakhir maka terapi dimulai. Jika pasien hanya mengalami satu kalis
erangan, pengobatan ditangguhkan bila tidak ada tanda-tanda lesi otak yang mendasarinya.
b. Jenis epilepsi
Menentukan jenis serangan penting sekali oleh karena jenis serangan tertentu
memerlukan obat antikonvulsi tertentu. Pada bangkitan parsial tipe sederhana diberi
karbamazepin, tipe kompleks diberi difenilhidantoin dan tipe umum sekunder diberi
fenobarbital. Sedangkan bangkitan umumtipe konvulsif diberi asam valproat, tipe mioklonik
diberi asam valproat, clonazepam atau nitrazepam. Dan tipe lena diberi etoksuksimid.
c. Usia
Beberapa obat mempunyai efek samping yang lebih besar bila diberikan pada anak
usia pertumbuhan, misalnya pada pemberian difenilhidantoin akan terjadi hipertrofi gigi.
Pemberian fenobarbital pada anak-anak dengan usia kurang dari 3 tahun sering terjadi
hiperkinetik serta efek teratogenik.
d. Keadaan sosial ekonomi
e. Faktor kepatuhan
Untuk dapat menjamin keberhasilan pengobatan sangat penting bahwa penderita
minum obat secara teratur dan untuk jangka waktu yang panjang sesuai dengan petunjuk
yang diberikan oleh dokter.
T
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Prinsip pemberian terapi farmakologis pada epilepsi adalah sebagai berikut:
a. Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila:
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan (confirmed)
Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun
Setelah pasien dan/atau keluarga menerima penjelasan tujuan
pengobatan
Pasien dan/atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping
b. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahan sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
d. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE bangkitan tidak
terkontrol, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan perlahan dosisnya.
e. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
f. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma, neoplasma
otak, AVM, abses otak dan ensefalitis.
Herpes
Kerusakan otak
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
Riwayat bangkitan simptomatik
Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile
Myoclonic Epilepsy)
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,
stroke, infeksi SSP
Bangkitan pertama berupa status epileptikus
g. Efek samping dan interaksi farmakokinetik antar-OAE perlu diperhatikan
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu:
a) Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
b) Golongan Barbiturat seperti Fenobarbital, Primidon.
c) Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
d) Golongan Sukstnimtd: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
e) Golongan Bcnzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam
f) Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
g) Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine.
h) Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin).
i) Lainnya: Fenasemid, Topiramate.
Pemilihan OAE pada Pasien Remaja dan dewasa Berdasarkan Bentuk Bangkitan
Tipe Bangkitan OAE Lini I OAE Lini II / Tambahan OAE Lini III / Tambahan
Lena Valproat
Lamotrigin
Etosuksimid Levetiracetam
Zonisamid
Mioklonik Valproat Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Lamotrigin
Clobazam
Clonazam
Fenobarbital
Tonik Klonik Valproat
Karbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Lamotrigin
Okskarbazepin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Pirimidon
Atonik Valproat Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Parsial Carbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Okskarbazepin
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Valproat
Levetiracetam
Zonisamid
Pregabalin
Tlagabine
Vigabatrin
Felbamat
Pirimidon
Tidak
terklasifikasikan
Valproat Lamotrigin Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Bila lebih dari satu jenis obat yang digunakan bersama, kemungkinan saling
mempengaruhi tentu ada. Obat yang sering berinteraksi dapat mengganggu konsentrasi
obat (Meninggikan kadar difenilhidantoin seperti isoniazid, khloramfenikcol, dikumarol,
asetazolmaid; adapula yang menurunkan kadar difenilhidantoin seperti karbamazepin,
diazepam, klonazepam) dan anti epilepsi dan obat yang diketahui menurunkan kadamya
oleh obat antiepilepsi (griseolfulvin warfarin, hormon steroid PII kontrasepsi, dan vitamin D
doksisiklin).
Efek samping obat dapat terjadi salam hubungan dengan dosis, keadaan yang
disebut suatu intoksikasi. Pada keracunan akut difenilhidantoin berturut-turut dapat terjadi
nystagmus. ataksia, dan bila kadar obat lebih tinggi lagi penurunan kesadaran. Pada
keracunan kronik obat-obat epilepsi dapat teijadi degenerasi sel serebelum, neurophaty
perifer, anemia megaloblastik, dan defisiensi vitamin D.17
Efek Samping OAE
Obat Efek samping yang
mengancam jiwa
Efek samping minor
Karbamazepin Anemia aplastik,
hepatotokisitas, sindrom
Steven Johnson, lupus
likesyndrome
Dizziness, ataksia, diplopia, mual,
kelelahan, lekopeni,
trombositopenia, ruam, gangguan
perliaku, tics
Fenitoin Anemia aplastik, gangguan
fungsi hati, sindroma Steven
Johnson, lupus like syndrome,
pseudolymphoma
Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia,
nistagmus, diplopia, ruam,
anoreksia, mual, makrositosis,
neuropati perifer
Fenobarbital Hepatotoksik, ganggunan
jaringan ikat dan
sumsumtulang, sindroma
StevenJohnsons
Mengantuk ataksia, nistagmus,
ruam/ kulit, depresi, hiperaktif pada
anak, gangguan belajar
Asam Valproat Hepatotoksisitas,
hiperamonemia, leopeni,
trombositopeni, pankreatitis
Mual, muntah, rambut menipis,
tremor, amenore, peningkatan
berat badan, konstipasi
- — -Tevetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala, dizziness,
kelemahan, mengantuk, gangguan
perilaku
Gabapentin Belum diketahui Somnolen, kelelahan, ataksia,
dizziness, peningkatan berat
badan, gangguanperilaku pada
anakLamotrigin Sindrom Stevens Johnson,
gangguan hepar akut,
kegagalan multi organ
Ruam, dizziness, tremor, ataksia,
diplopia, pandangan kabur, nyeri
kepala, mual, muntah, insomnia
Okskarbazepin Ruam kulit Dizziness, ataksia, nyeri kepala,
mual, kelelahan, hiponatremia
Topiramat Batu ginjal, hipohidrosis,
gangguan fungsi hati
Gangguan kognitif, kesulitan
menemukan kata, dizziness, ataksia,
nyeri kepala, kelelahan, mual,
penurunan berat badan, parestesia,
glukoma
Zonizamid Batu ginjal, hipohidrosis,
ganemia apalstik
Mual, nyeri kepala, dizziness,
kelelahan, parestesia, ruam,
gangguan berbahasa