KDK Siap Print

26
LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama : An. S Umur : 2 tahun Jenis Kelamin: Perempuan ANAMNESIS Seorang anak perempuan berumur 2 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUD Arosuka tanggal 31/7/2013 dengan : Keluhan utama : Kejang sejak 1 jam SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang : Kejang sejak 1 jam SMRS, frekuensi 3 kali, lama + 1 menit, anak tidak sadar diantara kejang. Ini merupakan kejang yang pertama kali. Batuk pilek sejak 2 hari SMRS, batuk berdahak. Demam sejak 2 hari SMRS, tidak tinggi, terus menerus. BAB encer sejak 1 hari SMRS, frek + 4 kali/hari, darah tidak ada, lendir tidak ada. Sesak nafas tidak ada. Muntah tidak ada. Riwayat terbentur pada kepala tidak ada Buang air kecil, jumlah dan warna biasa.

description

bagian syaraf anak

Transcript of KDK Siap Print

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : An. S

Umur : 2 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

ANAMNESIS

Seorang anak perempuan berumur 2 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUD

Arosuka tanggal 31/7/2013 dengan :

Keluhan utama :

Kejang sejak 1 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Kejang sejak 1 jam SMRS, frekuensi 3 kali, lama + 1 menit, anak tidak sadar diantara

kejang. Ini merupakan kejang yang pertama kali.

Batuk pilek sejak 2 hari SMRS, batuk berdahak.

Demam sejak 2 hari SMRS, tidak tinggi, terus menerus.

BAB encer sejak 1 hari SMRS, frek + 4 kali/hari, darah tidak ada, lendir tidak ada.

Sesak nafas tidak ada.

Muntah tidak ada.

Riwayat terbentur pada kepala tidak ada

Buang air kecil, jumlah dan warna biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak pernah menderita kejang dengan atau tanpa demam sebelumnya.

Riwayat Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita kejang dengan atau tanpa demam.

Riwayat Kebiasaan, Sosial dan Ekonomi :

Anak merupakan anak tunggal.

Lahir spontan, ditolong bidan, BBL 2700 gram, PBL lupa, langsung menangis kuat.

Riwayat imunisasi dasar lengkap.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal.

Higiene dan sanitasi kurang baik.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : sakit sedang Tinggi Badan : 80 cm

Kesadaran : sadar Berat Badan : 10 kg

Nadi : 120 x/menit BB/U : 83,33 %

Nafas : 38 x/ menit TB/ U : 93,02 %

Suhu : 38,7 oC BB/TB : 90,90 %

Kesan : gizi baik

Kulit : teraba hangat

KGB : tidak ada pembesaran KGB

Kepala : normocephal, simetris

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil ukuran 2mm/2mm,

refleks cahaya +/+

Mulut : mukosa mulut dan bibir basah.

Leher : kaku kuduk tidak ada.

Thoraks

Pulmo :

Inspeksi : normochest, simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler di kedua lapangan paru, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen :

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) meningkat

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

Refleks fisiologis +/+. Refleks patologis -/-.

LABORATORIUM

Darah :

Hb : 12,8 gr%

Leukosit : 13.800/mm3

Hitung jenis : 0/0/0/80/18/2

DIAGNOSIS KERJA

Kejang demam kompleks + Diare akut dehidrasi ringan

DIAGNOSIS BANDING

Gangguan elektrolit

TATALAKSANA

IVFD KaEN 1 B 8 tetes/menit (mikro)

Stesolid supp 1 kali

Cefotaxime 2 x 500 mg IV

Ampicilin 4 x 200 mg IV

Paracetamol + Diazepam 3 x 1 pulv

Fenobarbital 1 x 75 mg IM

Luminal 2 x 50 mg IV

RENCANA PEMERIKSAAN

Elektrolit darah

FOLLOW UP (1 Agustus 2013). Rawatan hari ke-2

S/ Kejang tidak ada

Demam ada

BAB encer ada

Batuk pilek tidak ada

BAK jumlah dan warna biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; Nadi 120 x/i; Nafas 26 x/i; Suhu 38,7 oC

Kesan/ Kejang demam kompleks + Diare akut

Terapi :

IVFD KaEN 1B 8 tetes/menit PCT + Diazepam 3x1 pulv

Cefotaxime 2x500 mg IV Luminal pulv 2x50 mg

Ampicillin 4 X 250 mg Guanistrep 3x1

FOLLOW UP (2 Agustus 2013). Rawatan hari ke-3

S/ Kejang tidak ada

Demam tidak ada

Batuk pilek tidak ada

BAK dan BAB biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; Nadi 110 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37 oC

Kesan/ Kejang demam kompleks + Diare akut

Terapi :

IVFD KaEN 1B 8 tetes/menit PCT + Diazepam 3x1 pulv

Cefotaxime 2x500 mg IV Luminal pulv 2x50 mg

Ampicillin 4 X 250 mg Guanistrep 3x1

Keluarga pasien meminta untuk pulang paksa, anak mendapat obat pulang :

Luminal pulv 2x25 mg

Cefixime 2x50 mg

PCT + Diazepam pulv K/P

Guanistrep K/P

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kejang

Sebelum memahami definisi mengenai kejang, perlu diketahui tentang seizure dan konvulsi. Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf diotak yang tidak dapat dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu.

Manifestasi dari seizure bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan). Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bias dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari seizure.

Kejang demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasan-batasan sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir sama. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 38ºC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang tidak diketahui. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi usia kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang demam.

B. Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki.

C. Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar

natrium rendah. Setelah kejang demam pertama kira kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara dominan autosomal sederhana.

D. Klasifikasi

Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana ( simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan. Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FK UI-RSCM Jakarta, kriteria Livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana ialah:

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 5 tahun.

2. Kejang hanya berlangsung sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.

3. Kejang bersifat umum.

4. Kejang timbul setalah 16 jam pertama setelah timbulnya demam.

5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.

7. Frekuensi bangkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.

Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan,yaitu :

a. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) yaitu kejang menyeluruh yang berlangsung kurang dari 15, menit dan tidak berulang dalam 24 jam.

b. Kejang demam kompleks( Complex Febrile Seizure) yaitu kejang fokal (hanya melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung lebih dari 15 menit dan atau berulang dalam waktu singkat ( selama demam berlangsung).

Disini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang demam atau kejang tanpa demam dalam keluarga.

E. Etiologi

Hingga kini belum diketahui secara pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.

F. Patofisiologi

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38º C sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi , kejang baru terjadi pada suhu 40ºC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah

sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kadang kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apne, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapni, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksemia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edem otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak sehingga terjadi epilepsi.

G. Manifestasi klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama

sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.

Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.

Bangkitan kejang yang lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.

Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam.

H. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak yaitu:

1. Pungsi lumbal

Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menyingkirkan meningitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasarkan penelitian yang telah diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang :

- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk).

- Mengalami komplek partial seizure.

- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya).

- Kejang saat tiba di IGD.

- Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.

- Kejang pertama setelah usia 3 tahun.

Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem sarap pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk dilakukan.

2. EEG

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat didaerah belakang yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.

Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

4. Pemeriksaan Imaging

Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan:

a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.

b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).

c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).

I. Diagnosis Banding

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu didalam atau diluar susunan saraf pusat (otak). Kelainan didalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam.

Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.

J. Perjalanan Penyakit

Beberapa hal yang harus dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental dan neurologis, berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari. Mortalitas pada kejang demam sangat rendah, hanya rendah, hanya sekitar 0,64-0,74%. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Peneliti lain melakukan penelitian retrospektif dan melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus. Kelainan neurologis yang terbanyak ialah hemiparesis, disusul diplegia, koreoatetosis atau rigiditas serebrasi. Kelainan ini biasanya terjadi pada pasien dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal. Sebelas persen pasien kejang menunjukkan hiperaktivitas walaupun tidak diberi pengobatan fenobarbital.

Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. Ellenberg dan Nelson melaporkan bahwa IQ pada 42 pasien kejang demam tidak berbeda dibandingkan dengan saudara kandungnya yang tidak menderita kejang demam. IQ lebih rendah ditemukan pada pasien kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam. Angka kejadian kejang tanpa demam atau epilepsi berbeda-beda tergantung kepada cara penelitian, pemilihan kasus dan definisi. Sebagian peneliti melaporkan angka sekitar 2-5%.

Livingston melakukan pengamatan selama 1 tahun lebih. Ia mendapatkan bahwa diantara 201 pasien kejang demam sederhana hanya 6 (3%) yang menderita kejang tanpa demam (epilepsi), sedangkan diantara 297 pasien yang digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam 276(93%) menderita epilepsi. Prichard dan Mc Greal mendapatkan angka epilepsi 2 % pada kejang demam sederhana dan 30% pada

kejang demam atipikal. Di Indonesia, Lumbantobing melaporkan 5 (6,5%) diantara 83 pasien kejang demam menjadi epilepsi.

Angka kejadian epilepsi pada pasien kejang demam kira-kira 2-3 kali lebih banyak dibandingkan populasi umum dan pada pasien kejang demam berulang kemungkinan terjadinya epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami berulangnya kejang demam.

1)

Bila hanya satu faktor risiko kemungkinan timbulnya epilepsi adalah 2-3, sedangkan apabila terdapat 2 dari 3 faktor diatas, kemungkinan menjadi epilepsi adalah 13%. Epilepsi yang terjadi setelah kejang demam dapat bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motor umum yaitu kira-kira 50%. Kejang demam yang lama biasanya diikuti oleh epilepsi parsial kompleks. Sebanyak 30-35% pasien mengalami berulangnya kejang demam. Sebagian besar hanya berulang 2- 3 kali kecuali pada 9-17% kasus yang berulang lebih dari 3 kali. Setengahnya berulang dalam 6 bulan pertama dan 75% berulang dalam 1 tahun. Nelson dan Ellenberg melaporkan berulangnya kejang demam pada 35% diantara 1706 pasien.

Berulangnya kejang demam lebih sering bila serangan pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun yaitu sebanyak 50%. Bila kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 1 tahun risiko berulangnya kejang adalah 28%. Berulangnya kejang multipel juga lebih sering terjadi pada bayi. Anak dengan perkembangan abnormal atau mempunyai riwayat epilepsi dalam keluarga juga lebih sering tmengalami berulangnya kejang demam.

K. Penatalaksanaan

Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.

Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan intrvena dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Apabila kejang tidak berhenti dapat diberikan diazepam lagi dengan dosis dan cara yang sama. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam intrarektal dengan dosis 0,5-0,75mg/kgBB atau sebanyak 5 mg pada anak dengan berat badan kurang dari 10kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.

Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/kg/menit. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal. Dalam waktu 30-60 menit kadar diazepam dalam otak sudah menurun dan pasien dapat kejang kembali.

Oleh karena itu setelah kejang berhenti harus diberikan obat dengan masa kerja yang lama misalnya valproat atau fenobarbital. Fenobarbital diberikan secara intramuskular dengan loading dose. Dosis awal 10-20 mg/kg dan dosis selanjutnya 4-8 mg/kg/hari. Diberikan 24 jam setelah dosis awal. Fenobarbital dosis tinggi intravena dapat menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi, letargi dan somnolen, sehingga pemberian harus dipantau dengan ketat. Diazepam juga mempunyai efek samping hipotensi dan depresi pernafasan,sebab itu setelah pemberian fenobarbital dosis tinggi jangan diberikan diazepam.

2. Mencari dan Mengobati Penyebab

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.

3. Pengobatan profilaksis

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:

a. Profilaksis intermittent pada waktu demam.

b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan).

Profilaksis intermittent

Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orang tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang

demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan. Efek sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat.

Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari ( rumatan)

Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1 atau 2) yaitu:

a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan ( misalnya serebrl palsy atau mikrosefal).

b. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan neurologis sementara atau menetap.

c. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung.

d. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.

Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

ALGORITMA PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA SAAT KEJANG11

L. Rujukan

Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut:

a. Kejang demam kompleks

b. Hiperpireksia

c. Usia dibawah 6 bulan

d. Kejang demam pertama

e. Dijumpai kelainan neurologis

M. Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian 0,46% dan 0,74%. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50% yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.

Berdasarkan kepustakaan lainnya, risiko berulangnya kejang apabila terjadi demam lagi kira-kira 40-50%. Angka kejadian berulangnya kejang meningkat apabila onsetnya kurang dari umur 19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan neurologis ( meskipun minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti lebih dari 30 menit atau berulang karena penyakit yang sama.

Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennox-Buchtal (1973) mendapatkan :

Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria 33%.

Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang adalah 25%.

Berdasarkan penelitian Livingston didapati golongan kejang demam sederhana hanya 2,9 % yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor :

a. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga.

b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam.

c. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja (Consensus Statement on Febrile Seizure, 1981).

N. Pencegahan

Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dulu digunakan obat anti kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang demam. Tetapi hal ini sekarang sudah jarang dilakukan. Kepada anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, pada saat menderita demam, bisa diberikan diazepam ( baik yang melalui mulut maupun melalui rektal).

DAFTAR PUSTAKA

1. S, Soetomenggolo; Taslim; Ismail,S. Buku Ajar Neurologis Anak. Cetakan Kedua. BP. IDAI. Jakarta: 2000; Hal 244-251.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA FK UI. Jakarta: 1985; Hal 847-855.

3. Mansjoer, A; Suprohaita; Wardhan, W.I; Setiowulan, W. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid2. Edisi Ketiga. Media Aesculapius. FK UI. Jakarta: 2000; Hal 434-437. N

4. Short, Jhon R; Gray, J.P; Dodge, J.A. Ikhtisar Penyakit Anak. Edisi Keenam. Jilid Dua. Binarupa Aksara. Jakarta: 1994; hal 62-63.

5. Behrman, Kliegman, Arvinka. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3. Edisi 15. EGC. Jakarta: 1999;

6. Pusponegoro, H.D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 210-211.

7. http://aappolicy.aappublication.org/cgi/content/abstract/pediatrics ;

8. http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=febrile%20convulsion

9. www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf

10. Committee on Quality Improvement and Subcommitte on Febrile Seizure.Practice Parameter: Long Term Treatment of The Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 1999; 103:1307-1309.

11. Sastroasmoro, S, dkk, Panduan Pelayanan Medis Departmen Ilmu Penyakit Anak. Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal 252