BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang perlu berinteraksi butuh
berkomunikasi dengan manusia lain. Interaksi semakin penting pada saat
manusia ingin menampilkan eksistensi diri agar keberadaan dirinya diantara
manusia lainnya. Agar interaksi dapat berlangsung interaktif, tentunya
membutuhkan alat, sarana atau media dan yang paling utama dibutuhkan
adalah bahasa.
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial
dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam
mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran diharapkan membantu peserta
didik mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan
gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan
bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analisis dan
imajinatif yang ada dalam dirinya antara bahasa-bahasa lain didunia
informatika.
Pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang ditata dan diatur
sedemikian rupa dengan didasarkan pada berbagai aspek. Baik itu aspek
secara konsep hakikat pembelajaran ataupun ketentuan-ketentuan yuridis
formal yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada umumnya dan
pembelajaran secara lebih khusus. Sebagai seorang guru atau calon guru,
tentu sudah banyak membaca berbagai konsep atau pengertian pembelajaran.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis serta menumbuhkan
apresiasi terhadap hasil kesastraan Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia
merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang
1
menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa dan sikap
positif terhadap bahas dan sastra Indonesia. Dan pembelajaran bahasa
Indonesia ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan
merespon situasi lokal, regional, nasional dan global.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dilaksanakan secara
integratif (terpadu). Bentuk keterpaduan tersebut dapat dapat dilakukan secara
intra bidang atau antar bidang studi. Bentuk keterpaduan ini juga dapat
dilakukan melalui pemanduan konsep dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Semua kegiatan ini diintegrasikan oleh tema-tema yang bermakna, yang
ditentukan bersama-sama oleh guru dan siswa.
Pembelajaran bahasa Indonesia secara terpadu sepatutnya
dilaksanakan di SD sesuai dengan cara anak memandang dan menghayati
dunianya. Oleh karena itu, pembelajaran Indonesia ini diharapkan siswa dapat
memahami rasional serta konsep-konsep yang terkait dengan pembelajaran
bahasa Indonesia secara terpadu.
Maka prinsip-prinsip dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini
diharapkan agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik lisan maupun tulisan, menghargai dan
bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
Negara, memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan, dapat menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan
sosial, menikmati dan memanpaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahsa dan menghargai juga membanggakan sastra Indonesia
sebagai kazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Pelaksanaan proses pendidikan di Indonesia didasarkan pada landasan
formal berupa Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan lasadasan tersebut maka
pelaksanaan pengajaran didasarkan pada kurikulum yang telah ditetapkan.
Dalam UUD No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa
2
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlakukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Budaya belajar inilah yang hendaknya merupakan bagian dari peserta
didik atau lulusan lembaga pendidik sehingga mereka mampu belajar untuk
mengetahui, belajar untuk belajar, belajar untuk mengerjakan sesuatu, belajar
untuk memecahkan masalah, belajar untuk hidup bersama dan belajar untuk
kemajuan kehidupan.
Untuk bisa melaksanakan pembelajaran bahasa indonesia guru perlu
memahami tentang konsep bahasa, belajar dan pembelajaran bahasa serta
hubungan anatara ketiganya. Selain itu, guru harus memahami pemerolehan
bahasa anak, berbagai pendekatan pembelajaran bahasa di SD, dan harus
mampu mengkaji kurikulum dan buku teks mata pelajaran bahasa Indonesia
SD kelas rendah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penulis membuat
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa Indonesia?;
2. Bagaimana Pemerolehan bahasa anak?;
3. Apa Pendekatan, Metode dan teknik Pembelajaran Bahasa?; dan
4. Bagaimana Kurikulum dan Buku Teks Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
SD Kelas Rendah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa Indonesia?;
2. Untuk mengetahui Pemerolehan bahasa anak?;
3
3. Untuk mengetahui Pendekatan, Metode dan teknik Pembelajaran
Bahasa?; dan
4. Untuk mengetahui Kurikulum dan Buku Teks Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia SD Kelas Rendah?
D. Prosedur Pemecahan Masalah
Masalah-masalah diatas akan dibahas secara rinci dengan mengacu
kepada studi literatur buku-buku rujukan yang sesuai. Pembahasan masalah-
masalah ini hanya bersifat teoritis yang berdasarkan pendapat-pendapat dari
para ahli yang dirujuk dari beberapa buku sumber disertakan pula pendapat
penulis yang merupakan kesimpulan dari pendapat para ahli tersebut.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa Indonesia
1. Hakikat Bahasa
a. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang berupa sistem lambang
bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa terdiri atas kata-kata
atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna, yaitu,
hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau
konsep yang diwakili kumpulan kata atau kosakata itu oleh ahli bahasa
disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad,disertai penjelasan
artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus.
Berikut ini beberapa pengertian bahasa menurut para ahli :
1) Harimurti Kridalaksana (1985:12) menyatakan bahwa bahasa adalah
sistem bunyi bermakna yang dipergunakan untuk komunikasi oleh
kelompok manusia.
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2001:88), Bahasa adalah
sistem bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.
3) Finoechiaro (1964:8), Bahasa adalah sistem simbol vokal yang
arbitrer yang memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan
tertentu, atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu,
berkomunikasi atau berinteraksi.
4) Carol (1961:10), Bahasa merupakan sistem bunyi atau urutan bunyi
vokal yang terstruktur yang digunakan atau dapat digunakan dalam
komunikasi internasional oleh kelompok manusia dan secara
5
lengkap digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, peristiwa, dan
proses yang terdapat di sekitar manusia.
5) I.G.N. Oka dan Suparno (1994:3), Bahasa adalah sistem lambang
bunyi oral yang arbitrer yang digunakan oleh sekelompok manusia
(masyarakat) sebagai alat komunikasi.
6) Kamus Linguistik (2001:21), Bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat
untuk kerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
7) Gorys Keraf (1984:1 dan 1991:2), Bahasa adalah komunikasi antar
anggota masyarakat, berupa lambang bunyi ujaran yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia.
8) D.P. Tambulan (1994:3), Bahasa adalah untuk memahami pikiran
dan perasaan, serta menyatakan pikiran dan perasaan.
9) H.G. Brown (1987:4), Bahasa adalah suatu sistem komunikasi
menggunakan bunyi yang diucapkan melalui organ-organ ujaran
dan didengar di antara anggota-anggota masyarakat, serta
menggunakan pemrosesan simbol-simbol vokal dengan makna
konvensional secara arbitrer.
b. Karakteristik Bahasa
Bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer,
produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa di antara karakteristik bahasa adalah abitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
1) Bahasa Bersifat Abritrer
Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan
yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak
dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna
tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis
binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa
dijelaskan. Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional.
Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara
6
lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi,
misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan
‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk
melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia
telah melanggar konvensi itu.
2) Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang
terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak
terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai
kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata
tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.
3) Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari
berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi.
Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis,
morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu
mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada
kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
4) Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama,
namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen
yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,
maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis,
morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa
yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di
Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir
berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.
5) Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia.
Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat
7
komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat
produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah
secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan
tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu
dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.
c. Fungsi Bahasa
Secara umum sudah jelas bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Bahasa sebagai wahana komunikasi bagi manusia, baik
komunikasi lisan maupun tulis. Fungsi ini adalah dasar bahasa yang
belum dikaitkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Dalam kehidupan
sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari kegiatan hidup
masyarakat, yang di dalamnya sebenarnya terdapat status dan niali-nilai
sosial. Bahasa selalu mengikuti dan mewarnai kehidupan manusia
sehari-hari, baik manusia sebagai anggota suku maupun bangsa.
Terkait hal itu, Santoso, dkk. (2004) berpendapat bahwa bahasa
sebagai alat komunikasi memiliki fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal-balik
antaranggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat.
2) Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap,
gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembaca. Bahasa
sebagai alat mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk
menyatakan eksistensi (keberadaan) diri, membebaskan diri dari
tekanan emosi dan untuk menarik perhatian orang.
3) Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan
membaurkan diri dengan anggota masyarakat, melalui bahasa
seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat,
kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika masyarakatnya. Mereka
menyesuaikan diri dengan semua ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat melalui bahasa.
4) Fungsi kontrol sosial, bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap
dan pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan baik, maka
8
semua kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik pula. Dengan
bahasa seseorang dapat mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai
sosial kepada tingkat yang lebih berkualitas.
Fungsi bahasa menurut Hallyday (1992) sebagai alat komunikasi
untuk berbagai keperluan sebagai berikut:
1) Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk memperoleh
sesuatu. Bahasa berfungsi menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu. Kalimat-
kalimat berikut ini mengandung fungsi instrumental dan merupakan
tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan kondisi-kondisi
tertentu.
Contoh :
a. Cepat, pergi!
b. Sampaikan salam hormat saya kepada Beliau!
c. Silakan Anda berangkat sekarang!
2) Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk mengendalikan
perilaku orang lain.
Contoh :
a. Kalau Anda tekun belajar maka Anda akan lulus dengan baik.
b. Kalau kamu mencuri maka kamu pasti dihukum.
c. Sekali berbohong maka kamu akan ditinggalkan kawan-
kawanmu.
3) Fungsi intraksional, yaitu bahasa digunakan untuk berinteraksi
dengan orang lain.
Contoh :
a. Penyapa hendaknya menyapa dengan sapaan yang tepat dan
hormat.
b. Penutur sangat perlu mempertimbangkan siapa mitra tutumya dan
bagaimana adat-istiadat serta budaya lokal yang berlaku pada
suatu daerah tertentu.
9
4) Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi
dengan orang lain. Dari bahasa yang dipakai oleh seseorang maka
akan diketahui apakah dia sedang marah, jengkel, sedih, gembira,
dan sebagainya.
5) Fungsi heuristik, yaitu bahasa dapat digunakan untuk belajar dan
menemukan sesuatu.
Contoh :
a. Mengapa di dunia ini ada matahari?
b. Mengapa matahari bersinar?
c. Mengapa jika matahari tenggelam hari menjadi gelap?
6) Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk
menciptakan dunia imajinasi. Fungsi ini biasanya untuk
mengisahkan cerita·cerita, dongeng-dongeng, membacakan lelucon,
atau menuliskan cerpen, novel, dan sebagainya.
7) Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan
informasi.
Contoh :
a. Gula manis.
b. Bulan bersinar.
c. Jalan ke Tawangmangu naik turun dan berkelok-kelok.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi
khusus yang sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Fungsi itu
adalah sebagai:
1) Bahasa resmi kenegaraan. Fungsi ini bahasa Indonesia dipergunakan
dalam administrasi kenegaraan, upacara atau peristiwa kenegaraan,
komunikasi timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat.
2) Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Sebagai bahasa
pengantar, bahasa Indonesia digunakan di lembaga-lembaga
pendidikan, baik formal maupun nonformal, dari tingkat taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
10
3) Sebagai alat pemersatu berbagai suku di Indonesia. Indonesia terdiri
dari berbagai macam suku yang masing-masing memiliki bahasa dan
dialeknya sendiri. Maka dalam mengintegrasikan semua suku
tersebut, bahasa Indonesia memainkan peranan yang sangat penting.
4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita
membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian
rupa sehingga ia memiliki identitasnya sendiri, yang
membedakannya dengan bahasa daerah. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, baik dalam bentuk penyajian
pelajaran, penulisan buku atau penerjemahan , dilakukan dalam
bahasa Indonesia.
5) Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah. Dalam
hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia tidak hanya
dipakai sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah
dengan masyarakat luas atau antar suku, tetapi juga sebagai alat
berhubungan di dalam masyarakat yang keadaan sosial budaya dan
bahasanya sama.
d. Ragam Bahasa
Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang
ditandai oleh ciri-ciri linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi,
dan sintaksis. Di samping ditandai oleh ciri-ciri linguistik, timbulnya
ragam bahasa juga ditandai oleh cirri-ciri nonlinguistic, misalnya,
lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya,
dan lingkungan keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.
Berdasarkan pokok pembicaraan, ragam bahasa dibedakan antara
lain atas: Ragam bahasa undang-undang, Ragam bahasa jurnalistik,
Ragam bahasa ilmiah, dan Ragam bahasa sastra.
11
Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan atas:
1) Ragam Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ
of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan,
kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam
bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara
atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk
mengungkapkan ide. Contoh ragam lisan antara lain meliputi:
Ragam bahasa cakapan, Ragam bahasa pidato, Ragam bahasa
kuliah, dan Ragam bahasa panggung.
Ciri-ciri ragam bahasa lisan yaitu memerlukan kehadiran orang lain,
unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap, terikat ruang dan
waktu, dan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara
2) Ragam Tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam
ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di
samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam
ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata
bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan
pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda
baca dalam mengungkapkan ide. Contoh ragam lisan antara lain
meliputi: Ragam bahasa teknis, Ragam bahasa undang-undang,
Ragam bahasa catatan, dan Ragam bahasa surat.
Ciri-ciri ragam bahasa tulis yaitu tidak memerlukan kehadiran orang
lain, unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap, tidak terikat ruang
dan waktu, dan dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Ragam bahasa menurut hubungan antar pembicara dibedakan
menurut akrab tidaknya pembicara yang meliputi : Ragam bahasa
resmi, Ragam bahasa akrab, Ragam bahasa agak resmi, Ragam bahasa
12
santai dan sebagainya. Sedangkan, ragam Bahasa Berdasarkan
Penuturnya dibedakan menjadi:
1) Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah
(logat/dialek).
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan
pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang
yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang
digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-
masing memilikiciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa
Indonesia orang Jawa Tengah tampak padapelafalan/b/pada
posisiawal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor,
Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali
tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.
2) Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur.
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang
berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama
dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya
fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak
berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek,
pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam
bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari
seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun
sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
contoh:
a. Ira mau nulis surat à Ira mau menulis surat
b. Saya akan ceritakan tentang Kancil à Saya akan menceritakan
tentang Kancil.
3) Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan
bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika
dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan
13
kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga
mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati
bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada
atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau
penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau
bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan
makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang
digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin
rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Berdasarkan topik pembicaraan atau pemakaiannya, ragam bahasa
terdiri dari ragam bahasa ilmiah, ragam hukum, ragam bisnis, ragam
agama, ragam sosial, ragam kedokteran dan ragam sastra.
1) Ragam bahasa ilmiah
Ciri-ciri ragam ilmiah yaitu Bahasa Indonesia ragam baku;
Penggunaan kalimat efektif; Menghindari bentuk bahasa yang
bermakna ganda; Penggunaan kata dan istilah yang bermakna lugas
dan menghindari pemakaian kata dan istilah yang bermakna kias;
Menghindari penonjolan persona dengan tujuan menjaga
objektivitas isi tulisan; dan Adanya keselarasan dan keruntutan
antarproposisi dan antaralinea.
2) Ragam hukum
Contoh : Dia dihukum karena melakukan tindak pidana
3) Ragam bisnis
Contoh : Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan
diskon
4) Ragam agama
5) Ragam psikologi
Contoh : Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang
intensif.
14
6) Ragam kedokteran
Contoh : Anak itu menderita penyakit kuorsior.
7) Ragam sastra
Contoh : Cerita itu menggunakan unsur flashback.
2. Hakikat Pembelajaran Bahasa
a. Konsep Belajar
Belajar adalah sebuah proses penambahan bagian demi bagian
informasi baru terhadap apa yang telah mereka ketahui dan kuasai
sebelumnya. Pengetahuan dibangun siswa melalui keterlibatan mereka
secara aktif dalam belajar atau apa yang dikenal dengan istilah John
Dewey “belajar sambil berbuat (learning by doing). Jadi keberhasilan
pembelajaran tidak terletak pada seberapa banyak materi atau informasi
yang disampaikan guru kepada siswa.
Padahal, ukuran utama keberhasilan pembelajaran terletak pada
seberapa jauh guru dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar.
Siswa belajar dengan menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman
(dengan kegiatan langsung atau tidak langsung), pengamatan (melihat
contoh atau model), dan bahasa.
Implikasinya bagi guru dalam pembelajaran adalah :
Pertama : karena siswa belajar berdasrkan apa yang telah dipahami
atau dikuasai sebelumnya maka, guru hendaknya
mengupayakan agar pembelajaran bertolak dari apa yang
telah diketahui siswa.
Kedua : karena belajar dilakukan secara aktif oleh siswa melalui
kegiatan atau pengalaman belajar yang dilaluinya maka
siswalah yang berperan sebagai pusat pembelajaran.
Ketiga : dalam belajar siswa perlu berinteraksi dengan yang lain
serta dukungan guru dan temannya maka guru perlu
merancang kegiatan belajar bukan hanya dalam bentuk
klasikal atau individual, tetapi juga dalam bentuk kelompok.
15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
perubahan tingkah laku siswa melalui latihan dan pengalaman yang
dilakukannya secara aktif. Hasil belajar berupa pengetahuan, siap atau
keterampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang telah dipahami
dan dikuasainya. Dalam pembelajaran tugas guru adalah menjadikan
siswa belajar melalui penciptaan strategi dan lingkungan belajar yang
menarik dan bermakna.
b. Belajar Bahasa
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis
(Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa
kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu
membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Anak-anak itu belajar dan menguasai bahasa tanpa disadari dan
tanpa beban, apalagi diajari secara khusus. Mereka belajar bahasa
melalui pola berikut.
1) Semua komponen, Sistem dan Keterampilan Bahasa Dipelajari
secara Terpadu
2) Belajar bahasa dilakukan secara alami dan langsung dalam konteks
yang otentik
3) Belajar bahasa dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
kebutuhannya
4) Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji coba (Trial-Error) dan
strategi lainnya
16
c. Pembelajaran Bahasa
Halliday (1979, dalam goodman,dkk.,1987) menyatakan ada tiga
tipe belajar yang melibatkan bahasa :
1) Belajar Bahasa
Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan untuk
menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun
tertulis (melalui menulis), serta (2) kemampuan memahami,
menafsirkan dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara
lisan (melalui kegiatan menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan
membaca).
2) Belajar melalui Bahasa
Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan,
sikap, keterampilan.
3) Belajar tentang Bahasa
Seseorang mempelejari bahasa untuk mengetahui segala hal yang
terdapat pada suatu bahasa, seperti sejarah, sistem bahassa, kaidah
berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.
Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa maka
wujud kemampuan itu lazimnya diklasifikasikan menjadi empat
macam:
1) Kemampuan Menyimak atau mendengarkan
Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan
secara lisan oleh orang lain.
2) Kemampuan berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang
lain.
3) Kemampuan Membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang
disampaikan secara tertulis oleh pihak lain.
4) Kemampuan menulis
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis
17
Dari Penelitiannya Walter Loban (1976, dal;am Tomkins dan
Hoskisson, 1995) menyimpulkan bahwa adanya hubungan
antarketerampilan berbahasa siswa dan keterampilan berbahasa dengan
belajar. Pertama, siswa dengan kemampuan berbahsa lisan (menyimak
dan berbicara) yang kurang efektif cenderung kurang efektif puila
kemampuan berbahasa tulisnya (membaca dan menulis). Kedua,
terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan berbahasa siswa
dengan kemampuan akademik yang diperolehnya.
Paradigma atau cara pandang pembelajaran bahasa di sekolah
dasar adalah sebagai berikut :
1) Imersi, yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan ‘menerjunkam’
siswa secara langsung dalam kegiatan berbahsa yang dipelajarinya.
2) Pengerjaan (employment), yaitu pembelajaran bahasa dilakukan
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif
dalam berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional dan
otentik.
3) Demonstrasi, yaitu siswa belajar bahasa melaluio demonstrasi
dengan pemodelan dan dukungan yang disediakan guru.
4) Tanggung jawab (responsibility), yaitu pembelajaran bahasa yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih aktivitas
berbahasa yang akan dilakukannya.
5) Uji coba (trial-error), yaitu pembelajaran bahasa yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari perspektif
atau sudut pandang siswa.
6) Pengharapan (expectation), artinya siswa akan berupaya utuk sukses
atau berhasil dalam belajar jika ada merasa bahwa gurunya
mengharapkan dia menjadi sukses.
18
B. Pemerolehan bahasa anak
1. Pemerolehan Bahasa Pertama
a. Pengertian Pemerolehan Bahasa
Mengenai pemerolehan bahasa ini terdapat beberapa pengertian.
Pengertian yang satu mengatakan bahwa pemerolehan bahasa
mempunyai suatu permulaan yang tiba-tiba, mendadak. Kemerdekaan
bahasa mulai sekitar usia satu tahun di saat anak-anak mulai
menggunakan kata-kata lepas atau kata-kata terpisah dari sandi
linguistik untuk mencapai tujuan sosial mereka. Pengertian lain
mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan
yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi kognitif pra-linguistik
(McGraw, 1987 ; 570).
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan, dan
kemampuan untuk memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan dengan
hal tersebut, maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah
proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman
ataupun pengungkapan secara alami, tanpa melalui kegiatan
pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998).
Selain pendapat tersebut, Kiparsky dan Tarigan (1988)
mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang
digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua hingga dapat memilih kaidah tata bahasa yang
paling baik dan paling sederhana dari bahasa yang bersangkutan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pemerolehan bahasa :
1) Berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar tanpa beban
dan berlangsung di luar sekolah.
2) Pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-
lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus.
3) Dilakukan tanpa sadar atau secara spontan.
19
4) Dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa
yang bermakna bagi anak.
b. Teori Pemerolehan Bahasa
1) Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti perilaku kebahasaan yang
dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus)
dan reaksi (respon). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat
reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi
suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian,
anak belajar bahasa pertamanya.
Sebagai contoh, seorang anak mengucap bilangkali untuk
barangkali pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja
yang mendengar kata tersebut. Apabila suatu ketika si anak
mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak akan mendapat
kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah
yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan
dan merupakan hal pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
B.F. Skinner adalah tokoh behaviorisme. Dia menulis buku
Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi
pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil
faktor eksternal yang dikenakan pada suatu organisme. Menurut
Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain,
dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan
perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak
menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan.
2) Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya,
bahasa hanya dapat dikusai oleh manusia, binatang tidak mungkin
dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan
pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu
20
yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola
perkembangan yan sama (merupakan sesuatu yang universal), dan
lingkungan memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa.
Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif
singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan
data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang
dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan
rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat
melalui “peniruan”. Nativisme juga dipercaya bahwa setiap manusia
yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh
bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Tanpa LAD,
tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu
singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga
memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan
bukan bunyi bahasa.
3) Teori Kognitivisme
Munculnya teori ini dipelopori oleh Jean Piaget (1954) yang
mengatakan bahwa bahasa itu salah satu di antara beberapa
kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Jadi
perkembangan bahasa itu ditentukan oleh urutan-urutan
perkembangan kognitif.
Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang
terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang
berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturisi oleh nalar.
Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang
lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-
urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan
bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan
pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang
21
kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan
berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai
adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar
dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan,
bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui
inderanya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara
langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti
bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai
menggunakan symbol untuk mempresentasikan benda yang tidak
hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-
kata awal yang diucapkan anak.
4) Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan
bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental
pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu
berhubungan dengan adanya interaksi antara “input” dan
kemampuan internal yang dimiliki pembelajaran.
Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Hal ini
dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan
oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah
dibekali berbaai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud
adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk. 2006:23). Akan tetapi,
yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang
mempengaruhi kemampuan berbahasa si anak.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
1) Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemamuan
kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa.
Potensi alami itu bekerja secara otomatis. Chomsky (1975 dalam
22
Santrock, 1994) menyebut potensi yang terkandung dalam perangkat
biologis anak dengan istilah Piranti pemerolehan bahasa (Language
Acquisition Device). Dengan piranti itu, anak dapat menerapkan
sistem suastu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis, tata
bahasa, kosakata, dan pragmatik, serta menggunakannya dalam
berbahasa.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh
kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat
dengar, dan alat ucap. Dalam proses berbahasa, seseorang
dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di otaknya. Pada
belahan otak sebelah kiri dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang
ada di mengontrol produksi atau penghasilan bahasa, seperti
berbicara dan menulis. Pada belahan otak sebelah kanan terdapat
wilayah Wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak itu terdapat
wilayah motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk
mengendalikan unsur fisik penghasil ujaran. Berdasarkan tugas
tenaga bagian otak itu, alur penerimaan dan penghasilan bahasa
dapat disederhanakan seperti berikut. Bahasa didengarkan dan
dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu kemudian
dialihkan ke daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan
balasan. Selanjutnya isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke
daerah motor, seperti alat ucap, untuk menghasilkan bahasa secara
fisik.
2) Faktor Lingkungan Sosial
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa, seorang anak
memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak
yang secara sengaja dicegah untuk mendegarkan sesuatu atau
menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan memiliki
kemampuan berbahasa. Mengapa demikian? Bahasa yang diperoleh
anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat
dalam lingkungan yang menggunakan bahasa. Atas dasar itu maka
23
anak memerlukan orang lain untuk mengirimkan dan menerima
tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak memerlukan
contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan, secara temah
untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks
yang sesungguhnya.
Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan
tumbuh, seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan pemerolehan bahasa anak. Lalu,
bagaimana kaitan lingkungan sosial dengan perangkat biologis yang
telah dimiliki anak lahir? Apakah kalau unsur biologis anak normal
masih tetap memerlukan lingkungan sosial untuk mendapatkan
kemampuan berbahasanya? Kaitan keduanya sangat erat, tak
terpisahkan. Kehilangan salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan anak tidak mampu berbahasa. Jika disederhanakan
piranti biologis adalah wadah atau alat maka lingkungan berperan
memberi isi atau muatan. Apabila digambarkan maka bentuknya
seperti berikut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa otak alat dengar dan alat
ucap, memiliki peran dasar sangat penting. Gangguan pada salah
satu dari ketiganya akan sangat menghambat bahasa anak.
Lennerberg (1975 dalam Cahyono, 1995) membuktikannya melalui
penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak tunarungu, lemah
mental, dan tnawicara.
Dari kajiannya mengenai anak-anak tunarungu, Lennerberg
menemukan fakta berikut. Tiga belum setelah dilahirkan anak-anak
tunarungu dapat menghasilkan bunyi-bunyi yang sama seperti anak
normal. Dari bulan keempat hingga bulan kedua belas, hanya
sebagian bunyi yang mereka hasilkan sama dengan anak normal.
Setelah itu, bunyi-bunyi yang mereka hasilkan lebih terbatas dari
pada bunyi-bunyi yang diproduksi anak yang berpendengaran
normal.
24
Hasil pengajaran terhadap anak-anak tunarungu menunjukkan
bahwa peluang mereka untuk belajar menggunakan suara dan alat
ucapnya sangat kecil. Ketika mereka berusaha berbicara, kualitas
suara mereka berubaha dengan tekanan yang kurang biak serta pula
informasi yang tak terkendali.
Anak-anak lemah mental cenderung mengartikulasikan
tuturannya secara lemah dengan gramatika yang banyak
mengandung kesalham. Kesalahan itu kadang-kadang
pembicarannya bahwa mereka kurang memahami apa yang
disampaikannya dan topik pembicarannya kabur, kurang terarah.
Berdasarkan kajian Lennerberg, anak-anak tunarungu tidak
dapat berceloteh dan menirukan kata. Mereka tidak dapat memiliki
kemampuan mengartikulasikan atau membunyikan tuturannya secara
normal. Hal ini disebabkan adanya gangguan alat ucap mereka.
Meskipun demikian, mereka dapat memahami tuturan dengan relatif
baik.
Demikianlah uraian mengenai peranan unsur biologis yang
akibatnya lebih rendah terjadinya pemerolehan bahasa anak.
Hambatan biologis yang akibatnya lebih rendah dalam pemilikan
bahasa dapat anda amati pada anak-anak gagap, cadel, atau sengau.
Konsep lingkungan sosial di sini mengacu kepada berbagai
perilaku berbahasa setiap individu, seperti orang tua, saudara,
anggota masyarakat sekitar, dalam mendukung perkembangan
bahasa anak. Dukungan dan keterlibatan sosial ini diperlukan anak.
Inilah yang disebut Bruner (1983 dalam Santrock, 1994) sebagai
sistem pendukung pemerolehan bahasa (languange acquisition
supprot system).
Kita semua tahu bawah pemakai bahasa yang baik itu harus
memiliki dua hal. Pertama dia harus menguasai sistem atau aturan
bahasa yang digunakannya. Kedua, dia juga harus memehami dan
menguasai aturan sosial penggunaan bahsa itu. Kita akan menyebut
25
kurang ajar apbila seorang anak berbahasa dengan gurunya
menggunakan ragam dan cara bahasa seperti dengan kawa
sebayanya. Nah, apabila piranti biologis memungkinkan anak
memahami sistem bahasanya maka lingkungan sosial memberikan
kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan bahasa yang
dimilikinya sehingga bahasanya berfungsi secara wajar. Berikut ini
adalah beberapa cara sosial itu memberikan dukungan kepada anak
dalam belajar bahasa:
(a) Bahasa semang (motheresse) yaitu penyederhanaan bahasa oleh
orang tua atau orang dewasa lainnya ketika berbicara dengan
bayi anak kecil. Misalnya, “Napa chayang? Mau mimi, iya?
Bentar, ya!”
(b) Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan
anak dengan cara yang berbeda. Misalnya kalimat pernyataan
menjadi kalimat pertanyaan. Efek parafase ini sangat menolong
anak belajar bahasa. Oleh karena itu, orang dewasa sebaiknya
membiarkan anak menunjukkan minat serta mengungkapkannya
dalam bentuk komentar, demontrasi dan menjelaskan. Menurut
Rice (Santrock, 1994), pendekatan direktif atau langsung
sewaktu berkomunikasi dengan anak akan mengganggunya.
Misalnya:
Anak : “Mammam!”
Ibu : “Oh, maem, chayang?” (Oh maka, sayang?)
(c) Menegaskan kembali (echoing) yaitu mengulang apa yang
dikatakan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap atau
tidak sesuai dengan maksud. Misalnya:
Anak : “Mah itu!” sambil menunjuk. Mukanya seperti
ketakutan.
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik,
kok!”
Anak : “Iya!”
26
(d) Memperluas (expanding) yaitu mengungkapkan kembali apa
yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih
kompleks.
(e) Menamai (labeling), yaitu mengindentifikasi nama-nama benda.
Bisa dalam bentuk benda sebenarnya atau benda tiruan (realia),
gambar, permainan kata, dan sebagainya.
(f) Penguatan (reinforcement) yaitu menanggapi atau memberi
respon positif atas perilaku bahasa anak. Misalnya, dengan
memuji, memberi acungan jempol, dan tepuk tangan.
(g) Pemodelan (modelling), yaitu contoh berbhasa yang dilakukan
orang tua atau orang dewasa (Santrock, 1994; Benson, 1998).
3) Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir
atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai
kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesiini
bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman
kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan
melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan
bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih
tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan
kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya
seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan
memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada
jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi
tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih
banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang
bernalar sedang atau rendah.
27
4) Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat
menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses
mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari
dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi
bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang
bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang
(Goodman, 1986; Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang
disebut motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri anak sendiri.
Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan sekitarnya.
Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan
memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa
komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang
dan gembira sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik
dari mitra bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan
menguasai bahasanya lebih baik lagi. Nak karena dorongan belajar
anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya disebut motivasi
ekstrinsik.
d. Strategi Pemerolehan Bahasa
Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil cenderung lebih cepat
belajar dan menguasai suatu bahsa. Dalam lingkungan masyarakat
bahasa apa pun mereka hidup anak-anak hanya memerlukan waktu
relatif sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau
mereka berada dalam lingkungan bahasa ibunya (Bahasa Pertama).
Sebenarnya strategi apa yang ditempuh anak-anak dalam belajar
bahasa sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai itu. Padahal
mereka tidak sengaja belajar atau diajari secara khusus. Ternyata, untuk
memperoleh kemampuan bahasa lisannya mereka melakukannya
dengan berbagai cara seperti di bawah ini.
28
1) Mengingat
Mengapa memainkan peranan penting dalam belajar bahasa
anak atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui
anak, direkam dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, mencerap,
mencium, melihat, dan mendengar sesuatu, memori anak
menyimpangnya. Pancaindra itu sangat penting bagi anak dalam
membangun pengetahuan tentang dunianya.
Pada setiap awal belajar bahasa, anak mulai membangun
pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunuyi tertentu yang
menyertai dan merujuk pada sesusatu yang dia alami. Ingatan itu
akan semakin kuat, terutama apabila penyebutan akan benda atau
peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini, anak-anak
mengingat kata-kata tentang sesusatu sekaligus berulang-ulang pula
cara mengucapnya.
Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika
diucapkan tidak salah tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau hanya
suku kata awal atau akhirnya saja. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan otak dan alat ucap anak masih sedsang berkembang.
Dia menyimpan kata yang dia dengar, yang dia diperlukan dalam
memorinya. Dia pun mencoba mengatakannya. Namun tingkat
perkembangannya yang belum memungkinkan dia melafalkan
tuturan sesempurna orang dewasa. Oleh kareana itu, dalam
berbahasa biasanya anak dibantu oleh ekspresi, gerak tangan atau
menunjuk benda-benda tertentu. Inilah versi bahasa anak.
Mengingat kondisi itu, dalam berkomunikasi dengan anak
biasanya orang tua atau orang dewasa menyederhanakan bahasanya.
Penyerderhanaan itu diwujudkan dalam tuturan yang pelan,
ekspresif, dan modifikasi kata yang mudah diingat dan diucapkan
anak, seperti kata “pus” untuk kucing, “mimi” untuk minum,
“mamam” atau “Ma’em” untuk makan, “bobo” tidur, dan “pipis”
untuk kencing.
29
2) Meniru
Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar
bahasa adalah peneriuan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tak
dapat dipisahkan dari strategi mengingat. Kemudian apakah peniruan
yang dilakukan dalam belajar bahasa itu seperti beo? Apakah dia
meniru bulat-bulat dan hanya sekedar mengulang kembali apa yang
didengarnya?
Perkataan anak tidaklah selalu merupakan pengulangan
searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo. Cobalah
anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang
dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung
mengalami perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan,
penambahan, dan penggatian kata atau pengurutan susunan kata.
Mengapat begitu?
Sedikitnya ada 2 penyebab. Penyebab pertama, berkaitan
dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta alat
ucap. Dengan demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang
telah dikuasainya. Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas
berbahasa anak. Di suatu sisim secsara bertahap dia dapat
memahami dan menggunakan suatu sistem bahasa yang
memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang
tak terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan
percobaan atau eksperimen dalam berbhasa. Percobaan ini terus
berlangsung sampai kemampuan berbahasanya berpindah pada
tingkat yang lebih kompleks.
Atas dasar itu pula, tampaknya sulit bagi anak untuk meniru
bulat-bulat tuturan orang dewasa. Sebab, apabila anak berkonsentrasi
pada tuturan tersebut maka perkembangan kemampuan
komunikasinya akan sangat terganggu. Hasilnya pun akan sangat
terbatas (MaCaualay, 1980). Oleh karena itu tak perlu heran apabila
suatu ketika anda mendengar anak mampu memproduksi tuturan
30
yang belum pernah anda dengar sebelumnya. Hal ini terjadi karena
dalam belajar bahasa, seorang anak tidak sekedar menangkap kata-
kata. Dia juga mencerna prinsip-prinsip organisasi bahasa secara
alami. Dengan demikian, sifat peniruan anak cenderung bersifat
dinamis dan kreatif. Oleh karena strategi peniruan itu pula maka
model (orang) yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak
sangat mempengaruhi corak bahasa yang baik. Sebaliknya, apabila
modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang baik itulah
yang akan dipelajarinya.
3) Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa
pertamanya adalah mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam
konteks yang nyata. Anak menggunakan bahasanya baik ketika
berkomunikasi dengan orang lain, maupun sewaktu sendirian. Dia
menyimak dan berbicara langsung, dan sekaligus memperoleh
tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang diperolehnya,
secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang kewajaran dan
ketepatan perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga
si anak mendapat masukan dari tindak berbahasa yang dilakukan
mitra berbicaranya.
4) Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong
pengembangan kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain, si anak
kadang berperan sebagai orang dewasa, sebagai penjual atau pembeli
dalam bermain dagang-dagangan, ibu, bapak atau anak dalam
bermain rumah-rumahan, sebagai dokter atau perawat atau pasien
atau sebagai guru atau murid dalam bermain sekolah-sekolahan.
5) Penyederhanaan
Perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya)
perkembangan kemampuan anak yang bertahap yang membuat
turunan yang digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu atau
31
dua kata mewakili satu kalimat. Ciri berbahasa anak seperti ini
disebut penyederhanaan atau reduksi. Stategi itu tentu tidak disadari
si anak. Meskipun sederhana, kita sebagai orang dewasa akan
memahaminya karena dibantu oleh konteks terjadinya perilaku
berbahasa anak.
e. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa
Proses pemerolehan bahasa anak-anak tidaklah tiba-tiba, tidak
pula sekaligus, akan tetapi bertahap. Berikut adalah tahapan
pemerolehan bahasa anak menurut Solchan (2014,2.17):
1) Tahap asing Pralinguistik
Bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin mendekati bunyi vocal
atau konsonan tertentu. Perkembangan bahasa pada fase ini disebut
Pralinguistik. Fase ini bersangsung sejak anak lahir sampai berumur
sekitar 12 bulan.
(a) Pada umur 0-2 bulan,anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi
refleksif untuk menyatakan rasa lapar, haus, sakit atau ketidak
nyamanan, serta bunyi-bunyi vegetatif yang berkaitan dengan
aktifitas butuh.
(b) Pada umur 2-5 bulan, anak mulai mendekut dan mengluarkan
bunyi-bunyi vocal yang bercampur dengan bunyi-bunyi mirip
konsonan.
(c) Pada umur 4-7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang
agak utuh dengan rentang waktu yang lebih lama.
(d) Pada umur 6-12 bulan, anak mulai mulai berceloteh.
Celotehannya berupa reduplikasi atau mengulangan konsenan
dan vocal yang sama.
2) Tahap satu Kata Holofrasis
Pada umur 12-18 bulan, anak mulai mengunakan satu kata yang
bermakna mewakili keseluruhan ide yang di sampaikannya. Kata
yang diucapkan anak adalah kata-kata yang telah dikenal dan di
32
kuasainya. Kata-kata itu biasanya sering muncul dalam tuturan
keseharian dilingkungan anak.
3) Tahap Dua kata
Pada usia 18-24 bulan, tahap ini kosakata dan gramatika anak
berkembang dengan cepat, seiring dengan kematangan otak dan alat
ucapannya.
4) Tahap telegrafis
Antara usia 2-3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk
kalimat-kalimat pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini
bukanlah pada jumlah kata yang dihasilkan anak, tetapi pada fariasi
bentuk kata yang sudah mulai muncul. Namun demikian, pada fase
ini, anak belum menggunakan kata tugas dalam bertutur.
Bayi dalam usia 2-4 bulan ternyata telah memahami dan merespon
maksud tuturan orang tuanya, melalui berbagai nada suara tertentu.
Sekitar 6 bulan, anak mulai mengaitkan tuturan yang di dengarnya
dengan konteks yang menyertainya, seperti ucapan dadah(disertai
dengan lambaian tangan ), tepuk tangan atau gurauan.
2. Pemerolehan Bahasa Kedua
a. Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa kedua adalah bahasa yang di peroleh anak setelah
mereka memperoleh bahasa lain. Peteda (1990:99) behasil beberapa
mengumpulkan beberapa istilah yang mengacu pada konsep B1 dan B2
istilah –istilah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
B1 B2
Bahasa pertama (first language)
Bahasa asli (native languange)
Bahasa ibu (mother tongue)
Bahasa utama (primary languange)
Bahasa kuat (stonger language)
Bahasa kedua (second language)
Bukan bahasa asli(nonnative language)
Bahasa asing (foreign language)
Bahasa kedua(secondary languge)
Bahasa lemah(weaxer language)
33
Ciri –Ciri Proses Pemerolehan Bahasa Kedua Cirinya:
1) Pembelajaran bahasa terjadi dalam interaksi sosial antar individu.
2) Pembelajaran tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan ber-B2
sehingga proses mengajar ini dapat diharapkan memberikan
pengalamannya untuk membantu pembelajaran.
3) Proses pembelajaran merupakan kesempatan sebesar besarnya
pembelajar melakukan respon, tidak hanya duduk dan diam.
b. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua
Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut
dikuasai anak melalui belajar formal. Tipe perolehan bahasa kedua
dapat dibedakan menjadi pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin,
secara alamiah serta terpimpin dan alamiah. Pemerolehan bahasa kedua
secara terpimpin dilakukan melalui aktivitas pembelajaran baik di
sekolah maupun kursus atau les. Umumnya ragam yang dipelajari
bersifat formal atau baku. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah
dilakukan secara spontan. Kunci keberhasilan belajar bahasa kedua
adalah kemauan belajar, keberanian, mempraktikkan dalam situasi riil
dan keintensifan dalam berkomunikasi.
Ellis (1986) telah mengidentifikasi tujuh teori pemerolehan
bahasa kedua yaitu :
1) Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan
kebudayaan baru. Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak
psikologis antara pembelajar (B1) dengan budaya sasaran (B2). Jarak
sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai anggota
masyarakat yang harus berhubungan dengan masyarakat “pemilik”
B2. Sementara jarak psikologis adalah pengaruh faktor afeksi
pembelajar sebagai pribadi pembelajar.
2) Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1
dengan B2 dalam berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2.
34
3) Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan
makna bahasa melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi.
Melalui kesertaannya dalam komunikasi, pembelajar dapat
mengembangkan kaidah gramatika dan penggunaan bahasanya.
4) Model Monitor
Model ini menyatakan bahwa tampilan berbahasa pembelajar B2
ditentukan oleh cara mereka menggunakan monitor. Penggunaan
monitor yang berlebihan akan menghambat penguasaan bahasa
pembelajar. Monitor memiliki lima hipotesis yaitu :
(a) Hipotesis pemerolehan belajar
(b) Hipotesis urutan alamiah
(c) Hipotesis monitor
(d) Hipotesis masukan
(e) Hipotesis saringan afektif
5) Model Kompetensi Variabel
Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa
akan mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang
dipelajarinya. Produk penggunaan bahasa terdiri dari produk bahasa
yang tidak direncanakan sampai yang terencana. Produk yang tidak
direncanakan adalah wujud penggunaan bahasa yang
pengungkapkannya bersifat spontan, tanpa persiapan, dan tidak
melalui pemikiran yang matang. Penggunaan bahasa ini terjadi
dalam komunikasi rutin seperti tutur-sapa, percakapan. Sebaliknya
produk bahasa yang direncanakan merupakan wujud penggunaan
bahasa yang pengungkapkannya didahului dengan persiapan dan
pemikiran yang cukup matang. Produk bahasa ini umumnya terjadi
dalam aktivitas berbahasa resmi seperti pidato, sambutan atau
diskusi resmi.
35
6) Hipotesis Universal
Hipotesis ini menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah
bahasa dengan bentuk gramatika universal yakni gramatika inti.
Bahasa antara anak kan terisi dengan kaidah-kaidah bahasa yang
bersifat universal.
7) Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan bahwa adanya hubungan antara bahasa dengan
anatomi syaraf. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan
dan belahan otak kiri menentukan pemerolehan B2. Belahan otak
kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan berfungsi untuk
merekam dan memproses ujaran yang berpola. Sementara belahan
otak kiri berkaitan dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang
meliputi pemrosesan secara sintatik dan semantik serta pengendali
aktivitas berbicara dan menulis.
C. Pendekatan, Metode dan teknik Pembelajaran Bahasa
1. Hakikat Pendekatan, Metode dan Teknik
a. Pendekatan
Pendekatan (approach) adalah cara memulai sesuatu atau cara
memulai pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoretis
untuk suatu metode. Secara lebih luas, pendekatan merupakan asumsi
tentang bahasa, antara lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai
kebiasaan; ada pula yang menganggap bahasa sebagai suatu sistem
komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan ada lagi yang
menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah.
b. Metode
Istilah metode berarti perencanaan secara menyeluruh untuk
menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini bersifat
prosedural dalam arti penerapan suatu metode dalam pembelajaran
bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan
secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran,
36
penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil
belajar.
Machfudz (2000) mengutip penjelasan Edward M. Anthony
(dalam H. Allen and Robert, 1972) menjelaskan bahwa istilah metode
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berarti perencanaan secara
menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur.
Istilah ini lebih bersifat prosedural dalam arti penerapan suatu metode
dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah
yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan
pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan
penilaian hasil belajar. Sedangkan menurut Salamun (2002), metode
pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil
pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Jadi dapat
disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah sebuah cara untuk
perencanaan secara utuh dalam menyajikan materi pelajaran secara
teratur dengan cara yang berbeda-beda untuk mencapai hasil
pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda.
c. Teknik
Istilah teknik dalam pembelajaran bahasa mengacu pada
pengertian implementasi perencanaan pengajaran di depan kelas, yaitu
penyajian pelajaran dalam kelas tertentu dalam jam dan materi tertentu
pula. Teknik mengajar berupa berbagai macam cara, kegiatan, dan kiat
(trik) untuk menyajikan pelajaran dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran. Teknik pembelajaran bersifat implementasi, individual,
dan situasional.
Saksomo (1983) menyebutkan teknik dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia antara lain (1) ceramah, (2) tanya jawab , (3) diskusi,
(4) pemberian tugas dan resitasi, (5) demonstrasi dan eksperimen, (6)
meramu pendapat (brainstorming), (7) mengajar di laboratorium, (8)
induktif, inkuiri, dan diskoveri, (9) peragaan, dramatisasi, dan ostensif,
37
(10) simulasi, main peran, dan sosio-drama, (11) karya wisata dan
bermain-main, dan (12) eklektik, campuran, dan serta-merta.
2. Jenis-jenis Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Berikut adalah beberapa Pendekatan yang dapat diaplikasikan
dalam pembelajaran bahasa:
a. Pendekatan Kontekstual
Johnson (Nurhadi, 2004:12) mengungkapkan sistem kontekstual
adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik
melihat makna dalam bahan yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupannya sehari-hari.
Sementara, The Washington State Consortium for Contextual Teaching
and Learning merumuskan pengajaran kontekstual adalah pengajaran
yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam
berbagai latar di sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan
persoalan yang ada dalam dunia nyata.
Nurhadi (2004:13) menyimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual adalah konsep belajar pasda saat guru menghadirkan dunia
nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupannya sehari-hari. Proses pembelajaran berlangsung secara
alamiah dalam bentuk pesera didik bekerja dan mengalami, bukan
berupa pemindahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik.
Johnson (Nurhadi, 2004:13-14) mengungkapkan bahwa
karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen
utama yaitu.
1) Memiliki hubungan yang bermakna
2) Melakukan kegiatan yang signifikan
3) Belajar yang diatur sendiri
4) Bekerja sama
5) Berfikir kritis dan kreatif
38
6) Mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik
7) Mencapai standar yang tinggi
8) Menggunakan penilaian autentik
Sementara, The Northwest Regional EducationLaboratory USA
(dalam Nurhadi, 2004:14-15) mengidentifikasi adanya enam kunci
dasar pembelajaran kontekstual yaitu.
1) Pembelajaran bermakna
2) Penerapan pengetahuan
3) Berpikir tingkat tinggi
4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar
5) Responsif terhadap budaya
6) Penilaian autentik
Lebih kompleks lagi, karakteristik pendekatan kontekstual yang
diungkapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003:20-21) yaitu:
Kerjasama; Saling menunjang; Menyenangkan; Belajar dengan
bergairah; Pembelajaran terintegrasi; Menggunakan berbagai sumber;
Peserta didik aktif; Sharing dengan teman; Peserta didik kritis; Guru
kreatif; Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya
peserta didik, peta, gambar, artikel, dan sebagainya; serta Laporan
kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya peserta
didik, laporan hasil praktikum, karangan, dan sebagainya.
Sesuai dengan komponen yang dimiliki oleh pendekatan
kontekstual, maka sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan
tersebut jika mengggunakan ketujuh komponen yaitu konstruktivisme,
menemukan, bertanya, masyarakar belajar, pemodelan, refleksi, dan
asesmen autentik. Secara garis besar, langkah-langkah penerapan
kontekstual di kelas sebagai berikut.
1) Kembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
(komponen konstruktivisme).
39
2) Laksanakan kegiatan menemukan sendiri untuk mencapai
kompetisi yang diinginkan (komponen inkuiri).
3) Kembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya
(komponen bertanya).
4) Ciptakan masyarakat belajar, kerja kelompok (Komponen
Masyarakat Belajar).
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran (komponen
pemodelan).
6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan, agar peserta didik merasa
bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi).
7) Lakukan penilaian yang autentik dari berbagai sumber dan cara
(komponen asesmen autentik).
b. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang
berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa
dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam
pembelajaran bahasa (Zuchdi dan Budiarsih, 1996/1997:33-34). Hal ini
sesuai dengan yang dituntut baik oleh Kurikulum 1994 maupun oleh
Kurikulum 2004, bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SD
tidak lagi untuk menciptakan bagaimana peserta didik memahami
tentang bahasa, tetapi lebih ditekankan pada kemampuan menggunakan
Bahasa Indonesia secara lisan dan tulisan.
Kompetensi berbahasa seseorang tidak memberikan pengaruh
terhadap performansi berbahasanya atau sebaliknya. Pengetahuan
kebahasaan bertalian dengan pengetahuan penutur terhadap bahasa
sebagai suatu sistem dan merupakan kemampuan potensial dalam diri
penutur. Melalui kemampuan potensial ini penutur dapat menciptakan
tuturantuturan, biasanya berupa kalimat-kalimat. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa kompetensi linguistik merupakan daya dorong untuk
berbahasa secara kreatif. Pandangan tersebut diperluas oleh para pakar
dari versi kuat. Jadi pembelajaran yang komunikatif adalah
40
pembelajaran bahasa yang memungkinkan peserta didik memiliki
kesempatan yang memadai untuk mengembangkan kebahasaan dan
mengunjukkan dalam kegiatan berbahasa, baik kegiatan produktif
maupun reseptif sesuai dengan situasi yang nyata, bukan situasi
buatan.yang terlepas dari konteks.
Brumfit dan Finocchiaro (dalam Richards dan Rogers, 186:87)
mengungkapkan ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah.
1) Makna merupakan hal yang terpenting.
2) Percakapan harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak
dihafalkan secara normal.
3) Kontekstualisasi merupakan premis pertama.
4) Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi.
5) Dianjurkan berkomunikasi efektif.
6) Latihan penubihan atau drill diperbolehkan, tetapi tidak
memberatkan.
7) Ucapan yang dapat dipahami diutamakan.
8) Setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik.
9) Segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal.
10) Penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang
layak.
11) Terjemahan digunakan jika diperlukan peserta didik.
12) Membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal.
13) Sistem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi.
14) Komunikasi komunikatif merupakan tujuan.
15) Variasi linguistik merupakan konsep inti dalam materi dan
metodologi.
16) Urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau
makna untuk memperkuat minat belajar.
17) Guru mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan
menggunakan bahasa itu.
41
18) Bahasa diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan
mencoba.
19) Kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama,
ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan.
20) Peserta didik diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui
kelompok atau pasangan, lisan dan tulis.
21) Guru tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta
didiknya.
22) Motivasi intrinksik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal
yang dikomunikasikan.
Robin dan Thompson (dalam Tarigan, 1990:201) mengemukakan
bahwa ciri-ciri peserta didik yang sesuai dengan konsep pendekatan
komunikatif adalah:
1) Selalu berkeinginan untuk menafsirkan tuturan secara tepat.
2) Berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu komunikatif.
3) Tidak merasa malu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi.
4) Selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi.
5) Frekuensi latihan berbahasa lebih tinggi.
6) Selalu memantau ujaran sendiri dan ujaran mitra bicaranya untuk
mengetahui apakah pola-pola bahasa yang diucapkan tersebut dapat
diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Berdasarkan konsep pendekatan komunikatif, guru bukanlah
penguasa tunggal dalam kelas. Guru bukanlah satu-satunya pemberi
informasi dan sumber belajar, akan tetapi guru juga sebagai penerima
informasi dari peserta didik. Jadi pembelajaran didasarkan atas multi
sumber. Sumber pembelajaran adalah guru, peserta didik, dan
lingkungan. Lingkungan terdekat adalah kelas. Chandlin (dalam
Tarigan,1990:201) menyebutkan dua peran guru dalam proses belajar-
mengajar, yaitu:
42
1) Pemberi kemudahan dalam proses komunikasi antara semua
peserta didik dalam kelas, antara peserta didik dengan kegiatan
pembelajaran, serta teks atau materi.
2) Sebagai partisipan mandiri dalam kelompok belajar-mengajar.
Implikasi dari kedua peran di atas menimbulkan peran-peran kecil
lainnya, yaitu peran sebagai pengorganisasi, pembimbing, peneliti, dan
pembelajar dalam proses belajar-mengajar. Materi pembelajaran
dipersiapkan setelah guru mengadakan suatu analisis kebutuhan peserta
didik. Keanekaragaman kebutuhan peserta didik ini ditampung guru dan
dipertimbangkan dalam mempersiapkan materi pembelajaran. Implikasi
dari keadaan ini adalah aktivitas peserta didik dalam kelas berorientasi
pada peserta didik. Kedudukan materi pembelajaran ditekankan pada
sesuatu yang menunjang komunikasi peserta didik secara aktif.
Ada tiga jenis materi yang perlu dipertimbangakan (dalam
Tarigan, 1989), yaitu:
1) Materi yang berdasarkan teks,
2) Materi yang berdasarkan tugas, dan
3) Materi yang berdasarkan bahan yang otentik.
Tarigan (1989 : 285) mengungkapkan bahwa metode-metode
pembelajaran bahasa komunikatif dilandasi oleh teori pembelajaran
yang mengacu pada dua prinsip, yaitu:
1) Prinsip komunikasi, kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi
nyata mampu mengembangkan proses pembelajaran; dan
2) Prinsip tugas, kegiatan-kegiatan tempat dipakainya bahasa untuk
melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dapat mengembangkan
proses pembelajaran.
Berdasarkan kedua prinsip tersebut, Tarigan (1989 : 195)
mengungkapkan materi pembelajaran bahasa hendaknya
memungkinkan dapat diterapkannya metode permainan, simulasi,
bermain peran, dan komunikasi pasangan. Salah satu teknik yang dapat
digunakan untuk mewujudkan metode-metode tersebut adalah teknik
43
drama. Penggunaan teknik drama dalam pembelajaran bahasa
merupakan upaya guru peserta didik untuk “mengalami” secara
langsung proses pembelajaran bahasa melalui peniruan. Diharapkan
melalui pengalaman langsung tersebut tercipta komunikasi yang ideal
antara guru dan peserta didik dan antara peserta didik dengan peserta
didik. Masing-masing anggota kelas memiliki peran-peran tertentu
sesuai dengan tuntutan drama. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamzah
(1994:159) bahwa dengan berteater peserta didik diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara maksimal,
berekspresi, dan berakting, di samping memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk bermain sehingga tidak merasa jenuh dalam proses
belajar-mengajar.
c. Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam
setiap kegiatan belajar mengajar, yang harus dipikirkan dan ditetapkan
lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai. Dengan memperhatikan
tujuan yang telah ditetapkan itu dapat ditentukan metode mana yang
akan digunakan dan teknik pengajaran yang bagaimana yang diterapkan
agar tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai. Jadi, proses belajar
mengajar ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan itu sendiri.
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa kurikulum disusun
berdasarkan suatu pendekatan. Seperti kita ketahui, kurikulum 1975
merupakan kurikulum yang berorientasi pada pendekatan tujuan.
Sejalan dengan hal itu, bidang-bidang studi pun orientasinya pada
pendekatan tujuan; demikian pula bidang studi Bahasa Indonesia. Oleh
karena orientasinya pada tujuan, maka pembelajarannya pun
penekanannya pada tercapainya tujuan.
Misalnya, untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran
yang ditetapkan ialah "siswa mampu membuat karangan/cerita
berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”. Berdasar pada
44
pendekatan tujuan, maka yang penting ialah tercapainya tujuan, yakni
siswa memiliki kemampuan mengarang. Adapun mengenai bagaimana
proses pembelajarannya, bagaimana metodenya, bagaimana teknik
pembelajarannya tidak merupakan masalah penting. Demikian pula
kalau yang diajarkan pokok bahasan struktur, dengan tujuan "siswa
memiliki pemahaman mengenai bentuk-bentuk kata Bahasa Indonesia.”
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran morfologi
bahasa Indonesia. Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan
dengan "cara belajar tuntas". Dengan "cara belajar tuntas", berarti suatu
kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil apabila sedikitnya 85%
dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai minimal
75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penentuan keberhasilan
itu didasarkan hasil tes sumatif; jika sekurang-kurangnya 85% dari
jumlah siswa dapat mengerjakan atau dapat menjawab dengan benar
minimal 75% dari soal yang diberikan oleh guru maka pembelajaran
dapat dianggap berhasil. Dari berbagai pengertian dan pendapat di atas,
kita dapat menyimpulkan bahwa pendekatan tujuan merupakan
pendekatan yang menekankan pada tujuan pembelajaran yang akan
dicapai.
d. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam
pembelajaran bahasa, yang dilandasi oleh asumsi bahwa bahasa sebagai
seperangkat kaidah, norma, dan aturan. Pendekatan struktural
merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yang
dilandasi oleh asumsi bahwa bahasa sebagai seperangkat kaidah, norma,
dan aturan.
Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa
pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah
bahasa atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu
dititikberatkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup
dalam fonologi, morfologi, dan sintaksis dalam hal ini pengetahuan
45
tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan suku kata menjadi sangat
penting. Jelas bahwa aspek kognitif bahasa lebih diutamakan.
Di samping mempunyai kelemahan, pendekatan ini juga memiliki
kelebihan. Dengan pedekatan struktural, siswa akan menjadi cermat
dalam menyusun kalimat, karena mereka memahami kaidah-kaidahnya.
Misalnya saja, mereka mungkin tidak akan membuat kesalahan seperti
di bawah ini. "Bajunya anak itu baru"."Di sekolahan kami mengadakan
pertandingan sepak bola"."Anak-anak itu lari-lari di halaman".
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam
pembelajaran bahasa, yang dilandasi oleh asumsi bahwa bahasa sebagai
seperangkat kaidah, norma, dan aturan.
e. Pendekatan Keterampilan Proses
Dalam proses belajar atau belajar bagaimana belajar diperlukan
keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik.
Ketiga keterampilan inilah yang disebut keterampilan proses. Setiap
keterampilan ini terdiri atas sejumlah keterampilan. Dengan perkataan
lain keterampilan proses terdiri atas sejumlah sub keterampilan proses.
Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan
mengembangkan konsep. Konsep yang telah ditemukan atau
dikembangkan berfungsi pula sebagai penunjang keterampilan proses.
Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan
pengembangan konsep dalam proses belajar-mengajar menghasilkan
sikap dan nilai dalam diri siswa. Tanda-tandanya terlihat pada diri siswa
seperti, teliti, kreatif, kritis, objektif, tenggang rasa, bertanggung jawab,
jujur, terbuka, dapat bekerja sama , rajin, dan sebagainya.
Keterampilan proses dibangun oleh sejumlah keterampilan.
Karena itu pencapaian atau pengembangnya dilaksanakan dalam setiap
proses belajar-mengajar dalam semua mata palajaran. Tidak ada satu
pelajaran pun yang dapat mengembangkan keterampilan itu secara utuh.
Karena itu pula, ada keterampilan yang cocok dikembangkan oleh
pelajaran tertentu dan kurang cocok dikembangkan oleh mata pelajaran
46
lainnya. Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik sendiri. Karena
itu penjabaran keterampilan proses dapat berbeda pada setiap mata
pelajaran.
1) Mengamati
a) Menatap: memperhatikan
b) Membaca: memahami suatu bacaan
c) Menyimak: memahami sesuatu yang dibicarakan orang lain
2) Menggolongkan
Mencari persamaan, perbedaan atau penggolongan (dapat berupa
wacana, kalimat, dan kosa kata).
3) Menafsirkan
a) Menafsirkan: mencari atau menemukan arti, situasi, pola,
kesimpulan dan mengelompokkan suatu wacana.
b) Mencari dasar penggolongan: mengelompokkan sesuatu
berdasarkan suatu kaidah, dapat berupa kata dasar, kata bentukan,
jenis kata, pola kalimat ataupun wacana.
c) Memberi arti: mencari arti kata-kata atau mencari pengertian
sesuatu wacana kemudian mengutarakan kembali baik lisan
maupun tertulis.
d) Mencari hubungan situasi: mencari atau menebak waktu kejadian
dari suatu wacana puisi. Menghubungkan antarsituasi yang satu
dengan yang lain dari beberapa wacana.
e) Menemukan pola: menentukan atau menebak suatu pola cerita
yang berupa prosa maupun pola kalimat.
f) Menarik kesimpulan: mengambil suatu kesimpulan dari suatu
wacana secara induktif maupun deduktif.
g) Menggeneralisasikan: mengambil kesimpulan secara induktif atau
dari ruang lingkup yang lebih luas daripada menarik kesimpulan.
h) Mengalisis: menganalisis suatu wacana berdasarkan paragraf,
kalimat, dan unsur-unsur.
4) Menerapkan
47
Menggunakan konsep: kaidah bahasa dalam menyusun dapat berupa
penulisan wacana, karangan, surat-menyurat, kalimatkalimat, kata
bentukan dengan memperhatikan ejaan/kaidah bahasa.
5) Mengkomunikasikan
a) Berdiskusi: melakukan diskusi dan tanya jawab dengan memakai
argumentasi/ alasan-alasan dan bukti-bukti untuk memecahkan
suatu masalah.
b) Mendeklamasikan: melakukan deklamasi suatu puisi dengan
menjiwai sesuatu yang dideklamasikan (dapat dengan
menggerakkan anggota badan, kepala, pandangan mata, atau
perubahan air muka).
c) Dramatisasi: menirukan sesuatu perilaku dengan penjiwaan yang
mendalam.
d) Bertanya: mengajukan berbagai jenis pertanyaan yang mengarah
kepada: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, atau
evaluasi.
e) Mengarang: menulis sesuatu dapat dengan melihat objeknya yang
nyata dulu dengan bantuan gambar atau tanpa bantuan apa-apa.
f) Mendramakan/bermain drama: memainkan sesuatu teks cerita
persis seperti apa yang tertera pada bacaan.
g) Mengungkapkan/melaporkan sesuatu dalam bentuk lisan dan
tulisan: melaporkan darmawisata, pertandingan, peninjauan ke
lapangan, dan sebagainya.
f. Pendekatan Whole Language
Whole language dapat dinyatakan sebagai perangkat wawasan
yang mengarahkan kerangka pikir praktisi dalam menentukan bahasa
sebagai materi pelajaran, isi pembelajaran, dan proses pembelajaran.
Pengembangan wawasan whole language diilhami konsep
konstrutivisme, language experience approach (LEA), dan
progresivisme dalam pendidikan. Wawasan yang dikembangkan
sehubungan dengan bahasa sebagai materi pelajaran dan penentuan isi
48
pembelajarannya diwarnai oleh fungsionalisme dan semiotika (Edelsky,
Altwerger, dan Flores, 1991). Sementara itu, prinsip dan penggarapan
proses pembelajarannya diwarnai oleh progresivisme dan
konstruktivisme menyatakan bahwa siswa membentuk sendiri
pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh
(whole)dan terpadu (integrated) (Roberts, 1996).
Siswa termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang
dipelajarinya itu diperukan oleh mereka. Guru berkewajiban untuk
menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa agarmereka
dapat belajar dengan baik. Fungsi guru dalam kelas whole language
berubah dari desiminator informasi menjadi fasilitor (Lame & Hysith,
1993).
Penentuan isi pembelajaran dalam perspektif whole language
diarahkan oleh konsepsi tentang kebahasaan dan nilai fungsionalnya
bagi pebelajar dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan
konsepsi bahwa pengajaran bahasa mesti didasarkan pada kenyataan
penggunaan bahasa, maka isi pembelajaran bahasa diorientasikan pada
topik pengajaran (1) membaca, (2) menulis, (3) menyimak, dan (4)
wicara. Ditinjau dari nilai fungsionalnya dalam kehidupan, penguasaan
yang perlu dijadikan fokus dan perlu dikembangkan adalah penguasaan
kemampuan membaca dan menulis.
Sebab itulah konsep literacy (keberwacanaan) dalam persfektif
whole language yang hanya dihubungkan dengan perihal membaca dan
menulis (Au, mason, dan Scheu, 1995, Eanes, 1997). Ditinjau dari
konsepsi demikian, topik pengajaran menyimak, wicara, membaca, dan
menulis tidak harus digarap secara seimbang karena alokasi waktu
pengajaran mesti lebih banyak digunakan untuk pembelajaran membaca
dan menulis.
Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan
tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang
terlibat dalam pembelajaran. Dalam hal ini orang-orang yang dimaksud
49
adalah siswa dan guru.Menurut Routman dan Froese (1991) dalam
Suratinah dan Teguh Prakoso (2003: 2.3) ada delapan komponen whole
language, yaitu reading aloud, sustained silent reading, shared reading,
journal writing, guided reading, guided writing, independent reading,
dan independent writing. Namun sesuai dengan definisi whole language
yaitu pembelajaran bahasa yang disajikan secara utuh dan tidak
terpisah-pisah, maka dalam menerapkan setiap komponen whole
language di kelas harus pula melibatkan semua keterampilan dan unsur
bahasa dalam kegiatan pembelajaran.
1) Reading Aloud
Reading aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru
dan siswa. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam
buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan
suara keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa dapat
mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini sangat
bermanfaat terutama jika dilakukan di kelas rendah. Manfaat yang
didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan
menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan
membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah
menumbuhkan minat baca pada siswa.
2) Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading (SSR) adalah kegiatan membaca dalam hati
yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini kesempatan untuk
memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Pada
kegiatan ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk
memilih bahan bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka
sendiri sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan
tersebut. Guru dalam hal ini sedapat mungkin menyediakan bahan
bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga
memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Guru dapat memberi
contoh sikap membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat
50
meningkatkan kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang
cukup lama. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui
kegiatan ini adalah (a) membaca adalah kegiatan penting yang
menyenangkan; (b) membaca dapat dilakukan oleh siapa pun; (c)
membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku
tersebut; (d) siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada
bacaannya dalam waktu yang cukup lama; (e) guru percaya bahwa
siswa memahami apa yang mereka baca; dan (f) siswa dapat berbagi
pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah
kegiatan SSR berakhir.
3) Journal Writing
Salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk meningkatkan
keterampilan siswa menulis adalah dengan mengimplementasikan
pembelajaran menulis jurnal atau menulis informal. Melalui menulis
jurnal, siswa dilatih untuk lancar mencurahkan gagasan dan
menceritakan kejadian di sekitarnya tanpa sekaligus memikirkan hal-
hal yang bersifat mekanik. Tompkins (1991:210) menyatakan bahwa
penekanan pada hal-hal yang bersifat mekanik membuat tulisan mati
karena hal tersebut tidak mengizinkan gagasan siswa tercurah secara
alami. Dengan demikian, siswa dapat bebas mencurahkan gagasan
tanpa merasa cemas dan tertekan memikirkan mekanik tulisannya.
Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis jurnal
ini. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1)
Meningkatkan kemampuan menulis; 2) Meningkatkan kemampuan
membaca; 3) Menumbuhkan keberanian menghadap risiko; 4)
Memberi kesempatan untuk membuat refleksi; 5) Memvalidasi
pengalaman dan perasaan pribadi; 6) Memberikan tempat yang aman
dan rahasia untuk menulis; 7) Meningkatkan kemampuan berpikir;
8) Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis; 9) Menjadi alat
evaluasi; dan 10) Menjadi dokumen tertulis.
4) Shared Reading
51
Shared reading ini adalah kegiatan membaca bersama antara guru
dan siswa dan mereka harus mempunyai buku untuk dibaca
bersama. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun
di kelas tinggi. Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini yaitu: 1)
guru membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah); 2) guru
membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera
pada buku; dan 3) siswa membaca bergiliran. Maksud kegiatan ini
adalah: 1) sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk
memperhatikan guru membaca sebagai model; 2) memberikan
kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya; dan
3) siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat
contoh membaca yang benar.
5) Guided Reading
Dalam guided reading, guru lebih berperan sebagai model dalam
membaca, dalam guided reading atau disebut juga membaca
terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilator. Dalam membaca
terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri
tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading
semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru
melemparkan pertanyaan yang meminta siswa menjawab dengan
kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini
merupakan kegiatan membaca yang penting dilakukan di kelas.
6) Guided Writing
Guided writing atau menulis terbimbing seperti dalam membaca
terbimbing, dalam menulis terbimbing peran guru adalah sebagai
fasilator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan
bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru
bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran
bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses writing seperti
memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan
sendiri oleh siswa.
52
7) Independent Reading
Independent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca
yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan sendiri
materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas merupakan bagian
integral dari whole language. Dalam independent reading siswa
bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran
guru pun berubah dari seorang pemprakasa, model, dan pemberi
tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilator, dan pemberi respon.
Inti dari independent reading adalah membantu siswa meningkatkan
kemampuan pemahamannya, mengembangkan kosa kata,
melancarkan membaca, dan secara keseluruhan memfasilitasi
membaca.
8) Independent Writing
Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan
menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dalam
menulis bebas siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa
ada intervensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya
dalam proses menulis. Jenis menulis yang termasuk dalam
independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis respon.
Ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language, yaitu: 1)
Kelas yang menerapkan whole language penuh dengan barang cetakan;
2) Guru berperan sebagai model, guru menjadi contoh perwujudan
bentuk aktivitas berbahasa yang ideal, dalam kegiatan membaca,
menulis, menyimak, dan wicara; 3) Siswa bekerja dan belajar sesuai
dengan tingkat kemamapuannya; 4) Siswa berbagi tanggung jawab
dalam pembelajaran; 5) Siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran
bermakna; 6) Siswa berani mengambil resiko dan bebas bereksperimen;
dan 7) Siswa mendapatkan balikan (feedback) positif baik dari guru
maupun temannya.
53
Dari ketujuh ciri tersebut dapat dilihat bahwa siswa berperan aktif
dalam pembelajaran. Guru tidak perlu lagi berdiri di depan kelas
menyampaikan materi. Sebagai fasilitator guru berkeliling kelas
mengamati dan mencatat kegiatan siswa, dalam hal ini guru menilai
siswa secara informal. Penilaian dalam kelas whole language, guru
senantiasa memperhatikan kegiatan yang dilakukan siswa. Secara
informal, selama pembelajaran berlangsung, guru memperhatikan siswa
menulis, mendengarkan, siswa berdiskusi baik dalam kelompok
ataupun diskusi kelas. Ketika siswa bercakap-cakap dengan temannya
atau dengan guru, penilaian juga dilakukan, bahkan guru juga
memberikan penilaian saat siswa bermain selama waktu istirahat.
Penilaian juga berlangsung ketika siswa dan guru mengadakan
konferensi. Walaupun guru tidak terlihat membawa-bawa buku nilai,
namun guru menggunakan alat penilaian seperti format observasi dan
catatan anekdot. Dengan kata lain, dalam kelas whole language guru
memberikan penilaian pada siswa selama proses pembelajaran
berlangsung. Selain penilaian informal, penilaian juga dilakukan
dengan menggunakan portofolio. Portofolio adalah kumpulan hasil
kerja siswa selama kegiatan pembelajaran. Dengan portofolio
perkembangan siswa dapat terlihat secara otentik.
g. Pendekatan Terpadu
Pendekatan terpadu dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berarti
pendekatan yang pelaksanaannya memadukan aspek-aspek bahasa.
Aspek-aspek bahasa tersebut di dalam praktik berbahasa selalu
digunakan secara bersama dan terpadu, baik aspek-aspek kebahasaan
maupun aspek-aspek keterampilan berbahasa. Bahkan dengan bidang-
bidang lain, bahasa selalu menyatu di dalam pemakaian.
Pembelajaran bahasa secara terpadu menaruh penghargaan
terhadap bahasa, dan dengan seksama meningkatkan penguasaan bahasa
siswa (Yeager, 1991). Hal-hal penting yang terjadi di dalam kelas
dengan bahasa terpadu menurut Yeager yaitu: 1) Siswa banyak bergaul
54
dengan literatur (bacaan); 2) Siswa merasakan peningkatan dalam
belajarnya dan memperlihatkan kesanggupan belajar yang tinggi; 3)
Guru-guru berinteraksi dengan siswa, baik sebagai pembaca maupun
sebagai penulis; dan 4) Guru memperlihatkan perhatiannya terhadap
bacaan dan penulisan pada umumnya.
3. Pembelajaran Bahasa Indonesia Terpadu di SD
a. Pembelajaran Terpadu Lintas Materi
Nielsen (1989) menyatakan bahwa pendekatan terpadu adalah
suatu pendekatan pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan aspek-
aspek intra dan interbidang studi, sehingga pembelajar memperoleh
pengetahuan dan keterampilan secara utuh dan simultan dalam konteks
yang bermakna. Karena itu, ukuran keterpaduan dalam pembelajaran
terpadu adalah bahwa pembelajaran dilakukan secara sadar, sengaja,
bertujuan, dan sistematis yang dapat membantu anak memahami topik
tertentu atau ide umum dari berbagai sisi. Aktivitas pendidikan
hendaknya menghilangkan jurang pemisah antara bidang-bidang studi
dan agar memfokuskan arah pembelajaran kepada proses integratif,
yang mengharuskan anak larut bila hendak mengorganisasi
pengetahuan dan pengalaman mereka.
Sementara itu, ahli pembelajaran terpadu seperti H.H. Jacobs
dalam sebuah wawancara dengan Brandt (1991) mengatakan bahwa
kebutuhan untuk melaksanakan pembelajaran terpadu didasari beberapa
alasan, yaitu: (1) bahwa sementara jam belajar di sekolah tetap, ilmu
pengetahuan terus berkembang, (2) ada kecenderungan anak tidak betah
di sekolah karena apa yang harus dipelajari tidak sesuai dengan
kebutuhannya, dan (3) sudah jelas tidak logis mengajarkan konsep-
konsep secara terpisah-pisah sementara kehidupan anak tidak pernah
menuntut pemisahan tersebut.
Dari sejumlah teori pembelajaran terpadu yang ada, maka
pengertiannya dapat diuraikan sebagai berikut: (1) pembelajaran
terpadu beranjak dari suatu tema sebagai pusat perhatian yang
55
digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang
berasal dari bidang studi yang bersangkutan maupun dari bidang studi
lain, (2) pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi yang
mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam rentang kemampuan
dan perkembangan anak, (3) pembelajaran terpadu merupakan suatu
cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan secara
simultan, dan (4) pembelajaran terpadu merakit dan menghubungkan
sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda, dengan
harapan anak akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Sebagai suatu pendekatan yang berorientasi proses, pembelajaran
terpadu mempunyai ciri-ciri: (1) berpusat pada siswa, (2) memberikan
pengalaman langsung pada anak, (3) pemisahan antarbidang studi tidak
begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam
satu proses pembelajaran, (5) bersifat luwes, dan (6) hasil pembelajaran
dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak (Zuchdi,
1997).
Model pembelajaran terpadu yang paling dikenal adalah model
terhubung (connected model), model jarring laba-laba (webbed model),
dan model terpadu (integrated model). Pembelajaran terpadu
antarbidang studi dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
56
b. Pembelajaran Terpadu Lintas Kurikulum
Pembelajaran Bahasa akan menyenangkan jika menekankan pada
kebermaknaan dalam proses belajar mengajar di kelas dengan
mengaitkan manfaat materi belajar dalam kehidupan peserta didik pada
khususnya dan manusia pada umumnya. Dalam hal ini, akan dirasakan
oleh peserta didik bahwa apa yang dipelajari oleh peserta didik di kelas
benar-benar bermakna atau bermanfaat kelak di kemudian hari.
Pembelajaran bahasa akan menarik dan bervariasi jika materi dapat
diintegrasikan dengan materi pelajaran lain atau nilai-nilai yang ada
dalam kehidupan nyata.
Mengapa Pelajaran bahasa seringkali disepelekan ? Ini terjadi
karena ‘image’ yang terbentuk dalam masyarakat diakibatkan proses
pembelajaran yang kurang bermakna. Kebermaknaan pembelajaran
bahasa dapat terjadi apabila metode pembelajaran itu selalu
mengaitkan materi yang ada dengan mata pelajaran lain secara terpadu
dan terintegrasi, misalnya : pembelajaran bahasa dikaitkan dengan
57
TemaLingkungan
Berbicara- Mendiskusikan isi teks bacaan
Menulis- Menulis Karangan- Memeriksa Pemakaian tanda baca dalam karangan
Mendengarkan- Mendengarkan pembacaan karangan
Membaca- membaca tekas BacaanMendeklamasikan Puisi
pelajaran agama, PPKn, IPA, IPS, olah raga, kesenian dan sebagainya.
Pengaitan ini dapat dilakukan dengan :
1) Secara terpadu, misalnya : laporan hasil penelitian peserta didik
tentang percobaan IPA dapat dilihat dari segi bahasanya.
2) Terkait/terpisah, artinya merupakan tindak lanjutdari pembelajaran
sebelumnya, misalnya: pelajaran menulis puisi ,menyunting puisi,
membaca puisi, dan memparafrasekan puisi, serta menanggapi
pembacaan puisi.
Pembelajaran Bahasa dengan melalui lintas kurikulum memiliki
kelebihan antara lain: 1)Waktu dapat dimanfaatkan lebih eisien; 2)
Pembelajaran tidak membosankan karena lebih bervariasi; dan
3)Memperkuat pemahaman peserta didik pada pelajaran lain. Berikut
adalah contoh-Contoh Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Lintas
Kurikulum
4) Cerita “ Malin Kundang”
Isi cerita Malin Kundang dapat dikaitkan Pelajaran Agama
Islam tentu saja bagi peserta didik yang beragama Islam, sedang
untuk yang beragama non-Islam menyesuaikan dirui dengan agama
yang dimilikinya.
Contoh Untuk Peserta didik Yang Beragama Islam :
Bagaimana sikap Malin terhadap ibunya jelas menyimpang
dari ajaran agama Islam.Untuk itu guru segera membuka Al Qur’an
dan menyuruh peserta didik membaca Surat An Nisaa’ayat 36 dan
Surat Al Israa’ayat 23-24. Peserta didik diajak untuk berpikir
mengaitkan sikap dan perilaku Si Malin Kundang dengan surat
tersebut,
Hal ini dapat kita kaitkan dengan perintah agama Islam
yang terdapat dalam Surat An Nisaa’ayat 36 yang artinya “ Dan
sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan -Nya dengan
sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua ibu- bapakmu,
kepada kaum kerabat, kepada anak-anak yatim,kepada orang-orang
58
miskin,kepada tetangga –tetangga dekat,tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya
sendiri”
Dan Surat Al Israa’ayat 23-24 yang isinya “ Dan Robmu
telah memerintahkankepada manusia janganlah ia beribadah
melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baiklah kepad
kedua orang tuanya dengan sebaik-baiknya, Dan jika salah satu
atau keduanya sudah beruasia lanjut di sisimu maka janganlah
katakan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak-bentak keduanya. “
Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih
sayang dan katakanlah wahai Rabbku sayangilah keduanya
sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil,” Hal ini bisa
dikaitkan dan dikembangkan lebih luas lagi dari segi amanat cerita
yang ada dengan ajaran agama yang sesuai.
5) Cerita rakyat Sangkuriang
Pada pembelajaran ini peserta didik diajak untuk
menemukan nilai-nilai yang dapat dikaitkan dengan kehidupan
nyata. Untuk itu peserta didik berdiskusi untuk menemukan unsur-
unsur intrinsiknya dan kemudian mampu menemukan nilai-nilai
yang sesuai dengan kehidupan nyata. Peserta didik dibiarkan untuk
mengembara dengan pikirannya membayangkan antara cerita yang
fiktif dan mengaitkan dengan kebenaran yang ada secara logika.
Cerita ini bisa dikaitkan pelajaran geografi, di mana kebenaran
cerita ini dilihat dari sudut pandang ilmu alam dengan hakikat
sebuah dongeng itu sendiri . sehingga peserta didik bisa memahami
kedudukan dongeng yang berjudul Sangkuriang itu sebagai sebuah
legenda dan sejarah Gunung Tangkuban Perahu yang sebenarnya.
59
6) Pembelajaran Membaca Teks Perangkat Upacara
Pada pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan cara
peserta didik diajak terlebih dahalu melakukan olah raga ringan
dengan gerakan tangan ,leher, dan badan. Di samping itu,
dilakukan latihan olah vokal dengan melatih peserta didik
mengucapkan : A-I-U-E-O serta S dengan pengaturan nafas dari
perut dan pengucapan vokal dengan benar. Ini berarti pembelajaran
bahasa menggunakan penggabungan pelajaran olah raga sekaligus
kesenian. Setelah kedua hal tersebut selesai, peserta didik diajak
menyanyikan lagu–lagu wajib yang biasa ditampilkan di saat
upacara Hari Senin dengan suara perut dan pengucapan vokal yang
benar.
Hal itu sebagai awal pembelajaran membaca teks perangkat
upacara dengan benar. Setelah itu, baru masuk pada teknis
pembacaan teks perangkat upacara dipandu langsung oleh guru
dengan memberikan tanda penekanan / enjambemen pada naskah
tersebut. Di mana peserta didik membentuk kelompok untuk
berlatih dan kemudian setiap peserta didik diundi untuk
pengambilan nilai membaca teks perangkat upacara, Peserta didik
diundi secara urut sesuai absen tetapi yang diundi materi yang akan
dibacanya. Sehingga peserta didik harus menyiapkan diri agar siap
membaca teks perangkat upacara .Guru mencari waktu yang tepat
untuk memasukkan variasi yaitu menyanyikan lagu Indonesia
Raya, Hymne Guru, Mengeningkan Cipta, dan minimal satu lagu
wajib. Tentu saja diperhatikan betul bagaimana bernyanyi dengan
vokal dan penghayatan yang benar . Dengan demikian, berarti
terjadi perpaduan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan
pembelajaran Seni Budaya.
7) Menyimak Wawancara
Sebelum pembelajaran menyimak dimulai, peserta didik
diajak bagaimana melatih konsentrasi terlebih dahulu. Karena
60
menyimak tidak akan dilakukan jika konsentrasi tidak bisa
dilakukan, Untuk itu, peserta didik dilatih membentuk konsentrasi
terlebih dahulu dengan olah raga yaitu senam otak, Yaitu dengan
menggerakkan jari-jari tangan dan gerakan tangan yang sederhana.
Setelah itu, peserta didik dibawa pada tahap menyimak wawancara
yang telah dipersiapkan. Berikan kepada peserta didik manfaat dari
menyimak informasi dan bagaimana kaitannya dengan arus
globalisasi yang begitu pesat melaju terus serta bagaimana dengan
keterbatasan kemampuan kita menyikapinya. Maka masuklah
pendidikan moral dan budaya sebagai variasinya. Buatlah
komitmen dalam hal ini dengan peserta didik.
D. Kurikulum dan Buku Teks Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD Kelas
Rendah
1. Hakikat Kurikulum
a. Pengertian Kurikulum
Kurikulum dalam bahasa latin berarti lapangan pertandingan
(race course) yaitu arena tempat peserta didik berlari untuk mencapai
finis, baru pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang
pendidikan. Menurut Oliva (1982), definisi kurikulum bisa berdasarkan
pada tujuan kurikulum, konteks tempat digunakannya kurikulum, dan
strategi yang digunakan pada keseluruhan kurikulum. Berdasarkan
tujuan, kurikulum dijelaskan sebagai pengembangan berpikir reflektip
dari peserta didik atau sebagai saluran pengembangan dan pelestarian
budaya.
Menurut Taba (1962), kurikulum adalah suatu rencana
pembelajaran. Lebih jauh dijelaskan bahwa kurikulum terdiri atas
sejumlah elemen, yaitu ada tujuan umum dan tujuan khusus, isi dan
organisasi isi, pola belajar mengajar, dan evaluasi hasil belajar dilihat
pada keluarannya. Jadi kurikulum mencakup unsur evaluasi di
61
dalamnya. Hasil evaluasi ini digunakan untuk mengembangkan atau
menyempurnakan kurikulum.
Kurikulum digunakan dalam berbagai makna, mulai dari
deskripsi mata pelajarn atau program yang diterapkan di kelas sampai
dengan penilaian (Madaus & Kellagan, 1992). Semua kurikulum
dirancang untuk membantu peserta didik memperoleh sejumlah
kompetensi penting. Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu
lingkungan yang terdiri atas kondisi fisik, kondisi sosial, dan kondisi
intelektual. Bahkan pandangan yang lebih luas, kurikulum mencakup
perilaku pimpinan dan para pendidik sebagai acuan dalam berperilaku.
Jadi, perilaku seorang pimpinan lembaga pendidikan beserta tenaga
pendidiknya harus memberi pengalaman belajar yang terbaik buat
peserta didik.
Menurut Madaus dan Kellaghan (1992), kurikulum terdiri atas 6
komponen utama, yaitu: (1) konteks, (2) tujuan umum, (3) tujuan
khusus pelajaran, (4) materi kurikulum, (5) transaksi, dan (6) hasil
transaksi. Masalah penting pada konteks adalah karakteristik peserta
didik yang mencakup pengetahuan, keterampilan, kebutuhan, dan
minat. Tujuan umum kurikulum selalu diperdebatkan dan hal ini akan
terus terjadi selama masyarakat memiliki perbedaan dalam perspektif
politik, ekonomi, dan moral.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi
tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi
dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu,
kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada di daerah.
62
b. Fungsi dan Tujuan Kurikulum
Pada dasarnya kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman atau
acuan. Bagi guru, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Bagi sekolah atau pengawas,
berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau
pengawasan. Bagi orang tua, kurikulurn itu berfungsi sebagai pedoman
dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat,
kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan
bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa itu
sendiri, kurikulum berfungsi sebagai suatu pedoman belajar.
Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa sebagai subjek
didik, terdapat enam fungsi kurikulum, yaitu:
1) Fungsi Penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
Fungsi penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat
well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat
dinamis. Oleh karena itu, siswa pun harus memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di
lingkungannya.
2) Fungsi Integrasi (the integrating function)
Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh.
Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari
masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang
dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan
masyarakatnya.
3) Fungsi Diferensiasi (the differentiating function)
Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap
63
perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik
dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani
dengan baik.
4) Fungsi Persiapan (the propaedeutic function)
Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan
studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga
diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam
masyarakat seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan
pendidikannya.
5) Fungsi Pemilihan (the selective function)
Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa
untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan
kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat
hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas
adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya
kesempatan bagi siswatersebut untuk memilih apayang sesuai
dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi
tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat
fleksibel.
6) Fungsi Diagnostik (the diagnostic function)
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk
dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan
yang dimilikinya. Apabila siswa sudah mampu memahami kekuatan-
kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka
diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan
yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya
c. Komponen-komponen Kurikulum
64
Ada 4 unsur komponen kurikulum yaitu: tujuan, isi (bahan
pelajaran), strategi pelaksanaan (proses belajar mengajar), dan penilaian
(evaluasi).
1) Komponen Tujuan
Kurikulum merupakan suatu program yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan. Tujuan itulah yang dijadikan arah atau
acuan segala kegiatan pendidikan yang dijalankan. Berhasil atau
tidaknya program pengajaran di Sekolah dapat diukur dari seberapa
jauh dan banyaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dalam setiap
kurikulum lembaga pendidikan, pasti dicantumkian tujuan-tujuan
pendidikan yang akan atau harus dicapai oleh lembaga pendidikan
yang bersangkutan.
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada
tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan
institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap
jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
a) Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b) Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
c) Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
d) Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi
ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin
65
dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap
sekolah atau satuan pendidikan.
2) Komponen Isi/Materi
Isi program kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan
kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka
mencapai tujuan. Isi kurikulum meliputi jenis-jenis bidang studi
yang diajarkan dan isi program masing-masing bidang studi tersebut.
Bidang-bidang studi tersebut disesuaikan dengan jenis, jenjang
maupun jalur pendidikan yang ada.
Kriteria yang dapat membantu pada perancangan kurikulum
dalam menentukan isi kurikulum. Kriteria itu natara lain:
a) Isi kurikulum harus sesuai, tepat dan bermakna bagi
perkembangan siswa.
b) Isi kurikulum harus mencerminkan kenyataan sosial.
c) Isi kurikulum harus mengandung pengetahuan ilmiah yang tahan
uji.
d) Isi kurikulum mengandung bahan pelajaran yang jelas.
e) Isi kurikulum dapat menunjanga tercapainya tujuan pendidikan.
Materi kurikulum pada hakekatnya adalah isi kurikulum yang
dikembangkan dan disusun dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Materi kurikulum berupa bahan pelajaran terdiri dari bahan kajian
atau topiktopik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam
proses pembelajaran.
b) Mengacu pada pencapaian tujuan setiap satuan pelajaran.
c) Diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
3) Komponen Strategi
Strategi merujuk pada pendekatan dan metode serta peralatan
mengajar yang digunakan dalam pengajaran. Tetapi pada hakikatnya
strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja.
Pembicaraan strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu
saja. Pembicaraan strategi pengajaran tergambar dari cara yang
66
ditempuh dalam melaksanakan pengajaan, mengadakan penilaian,
pelaksanaan bimbiungan dan mengatur kegiatan, baik yang secara
umum berlaku maupun yang bersifat khusus dalam pengajaran.
Strategi pelaksanaan kurikulum berhubungan dengan
bagaimana kurikulum itu dilaksanakan disekolah. Kurikulum
merupakan rencana, ide, harapan, yang harus diwujudkan secara
nyata disekolah, sehingga mampu mampu mengantarkan anak didik
mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum yang baik tidak akan
mencapai hasil yang maksimal, jika pelaksanaannya menghasilkan
sesuatu yang baik bagi anak didik. Komponen strategi pelaksanaan
kurikulum meliputi pengajaran, penilaian, bimbingan dan
penyuluhan dan pengaturan kegiatan sekolah.
4) Komponen Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam
pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin
diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sedangkan dalam
pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari
berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya
terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi,
kelaikan (feasibility) program.
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu
program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan
diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan
untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-
komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu
komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah
berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk
penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk
67
pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil
evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan
menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan
pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh
guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya
dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik,
memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu
pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya.
Evaluasi merupakan suatu komponen kurikulum, karena
dengan evaluasi dapat di peroleh informasi akurat tentang
penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar
siswa.berdasarkan informasi itu dapat dibuat keputusan tentang
kurikulum itu sendiri,pembelajaran kesulitan dan upaya bimbingan
yang perlu di lakukan.
Tabel 3.1
Struktur Kurikulum Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah
Mata PelajaranAlokasi Waktu
Kelas I dan II Kelas III – VI
1. Pendidikan Agama
27
3
2. Bahasa Indonesia 6
3. Matematika 6
4. Ilmu Pengetahuan Alam 4
5. Ilmu Pengetahuan Sosial 5
6. Kerajinan Tangan dan Kesenian 4
7. Pendidikan Jasmani 3
Jumlah 27 31
68
Berikut adalah penjelasan struktur kurikulum untuk Kelas Rendah
(Kelas I dan II):
1) Pengelolaan kegiatan pembelajaran dalam mata pelajaran dan
kegiatan belajar pembiasaan dengan menggunakan pendekatan
tematik diorganisasikan sepenuhnya oleh sekolah dan madrasah.
2) Penjelasan teknis pendekatan tematik diatur dalam pedoman
tersendiri.
3) Alokasi waktu total yang disediakan adalah 27 jam pelajaran per
minggu. Daerah, sekolah atau madrasah dapat menambah alokasi
waktu total atau mengubah alokasi waktu mata pelajaran sesuai
dengan kebutuhan siswa, sekolah, madrasah atau daerah.
4) Satu jam pelajaran tatap muka dilaksanakan selama 35 menit. 4
5) Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (2 semester) adalah 34-
40 minggu dan jam tatap muka per minggu adalah 34-40 minggu
dan jam tatap muka per minggu adalah 945 menit (16 jam), jumlah
jam tatap muka per tahun adalah 544 jam (32.640).
6) Alokasi waktu sebanyak 27 jam pelajaran pada dasarnya dapat
diatur dengan bobot berkisar: (a) 15% untuk Agama; (b) 50% untuk
Membaca dan Menulis Permulaan serta Berhitung; dan (c)35%
untuk Sains, Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan Kesenian,
dan Pendidikan Jasmani.
7) Sekolah dasar dan madrasah dapat mengenalkan teknologi
informasi dan komunikasi sesuai dengan kemampuannya.
Secara garis besar struktur kurikulum berisi:
1. Sejumlah mata pelajaran
2. Kegiatan belajar pembiasaan
3. Alokasi waktu
Mata pelajaran merupakan seperangkat kompetensi dasar yang
dibakukan dan substansi pelajaran mata pelajaran tertentu per satuan
pendidikan dan per kelas selama masa persekolahan. Mata pelajaran
memuat sejumlah kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa per
69
kelas dan per satuan pendidikan sesuai dengan tingkatan pencapaian
hasil belajarnya. Tolok ukur kompetensi dinyatakan dalam indikator.
Mata pelajaran mengutamakan kegiatan intruksional yang
berjadwal dan berstruktur. Yang dimaksud kegiatan belajar pembiasaan
yaitu kegiatan yang mengutamakan pembentukan dan pengendalian
perilaku yang diwujudkan dalam kegiatan rutin, spontan, dan
pengenalan unsur-unsur penting kehidupan masyarakat. Alokasi waktu
menunjukkan satuan waktu yang digunakan untuk tatap muka.
Kegiatan pembelajaran pembiasaan diselenggarakan secara
berkesinambungan mulai dari pendidikan taman kanak-kanak,
pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan menengah. Pada
pendidikan kanak-kanak dan raudhatul athfal serta pendidikan dasar
diselenggarakan melalui kegiatan terprogram yang diberikan alokasi
waktu secara khusus. Sedangkan pada sekolah menengah atas dan yang
sederajat diselenggarakan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang tidak
didan berikan alokasi secara khusus.
5 Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indoneisa disusun
untuk meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia secara nasional.
Saat ini berbagai informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan hadir dan
tidak dapat dicegah. Bagi sebagian masyarakat hal tersebut bermanfaat
bagi kehidupan. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan salah satu sarana yang dapat mengakses berbagai informasi
dan kemajuan tersebut. Untuk itu kemahiran berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia secara lisan dan tertulis harus benar-benar dimiliki
dan ditingkatkan. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak.
Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan
indikatornya yang dapat diukur dan diamati. Kompetensi dapat dicapai
melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan
bahan pelajaran secara kontekstual. Kompetensi dikembangkan sejak
70
taman kanak-kanak, kelas I SD sampai kelas XII yang menggambarkan
satu rangkaian kemampuan yang bertahap, berkelanjutan, dan konsisten
seiring dengan perkembangan psikologis peserta didik.
2. Aspek-aspek Pembelajaran Bahasa
Menurut Hoetomo MA (2005:531-532) terampil adalah cakap dalam
menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan. Keterampilan adalah kecakapan
untuk menyelesaikan tugas. atau kecakapan yang disyaratkan. Dalam
pengertian luas, jelas bahwa setiap cara yang digunakan untuk
mengembangkan manusia, bermutu dan memiliki pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan sebagaimana diisyaratkan (Suparno,
2001:27).
a. Aspek-aspek Keterampilan Bahasa
Sehubungan dengan penggunaan bahasa, terdapat empat
keterampilan dasar bahasa, yaitu mendengarkan (menyimak), berbicara,
membaca, dan menulis.
1) Keterampilan Menyimak
Menyimak adalah keterampilan memahami bahasa lisan yang
bersifat reseftif. Dengan demikian di sini berarti bukan sekedar
mendengarkan bunyi-bunyi bahasa melainkan sekaligus
memahaminya. Dalam bahasa pertama (bahasa ibu), kita
memperoleh keterampilan mendengarkan melalui proses yang tidak
kita sadari sehingga kitapun tidak menyadari begitu kompleksnya
proses pemerolehan keterampilan mendengar tersebut. Berikut ini
secara singkat disajikan disekripsi mengenai aspek-aspek yang
terkait dalam upaya belajar memahami apa yang kita sajikan dalam
bahasa kedua.
Berikut ini adalah keterampilan-keterampilan mikro yang
terlibat ketika kita berupaya untuk memahami apa yang kita dengar:
a) Menyimpan/mengingat unsur bahasa yang didengar
menggunakan daya ingat jangka pendek (short term memory).
71
b) Berupaya membedakan bunyi-bunyi yang yang membedakan arti
dalam bahasa target.
c) Menyadari adanya bentuk-bentuk tekanan dan nada, warna suara
dan intonasi, menyadari adanya reduksi bentuk-bentuk kata.
d) Membedakan dan memahami arti dari kata-kata yang didengar.
e) Mengenal bentuk-bentuk kata yang khusus (typical word-order
patterns).
2) Keterampilan Berbicara
Kemudian sehubungan dengan keterampilan berbicara secara
garis besar ada tiga jenis situasi berbicara, yaitu interaktif, semiaktif,
dan noninteraktif. Situasi-situasi berbicara interaktif, misalnya
percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat telepon yang
memungkinkan adanya pergantuan anatara berbicara dan
mendengarkan, dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi,
pengulangan atau kiat dapat memintal lawan berbicara,
memperlambat tempo bicara dari lawan bicara.
Kemudian ada pula situasi berbicara yang semiaktif, misalnya
dalam berpidato di hadapan umum secara langsung. Dalam situasi
ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi terhadap
pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari
ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka. Beberapa situasi berbicara
dapat dikatakan bersifat noninteraktif, misalnya berpidato melalui
radio atau televisi.
a) Mengucapkan bunyi-bunyi yang berbeda secara jelas sehingga
pendengar dapat membedakannya.
b) Menggunakan tekanan dan nada serta intonasi secara jelas dan
tepat sehingga pendengar dapat memahami apa yang diucapkan
pembicara.
c) Menggunakan bentuk-bentuk kata, urutan kata, serta pilihan kata
yang tepat.
72
d) Menggunakan register atau ragam bahasa yang sesuai terhadap
situasi komunikasi termasuk sesuai ditinjau dari hubungan antar
pembicara dan pendengar.
e) Berupaya agar kalimat-kalimat utama jelas bagi pendengar.
3) Keterampilan Membaca
Membaca adalah keterampilan reseptif bahasa tulis.
Keterampilan membaca dapat dikembangkan secara tersendiri,
terpisah dari keterampilan mendengar dan berbicara. Tetapi, pada
masyarakat yang memilki tradisi lireasi yang telah berkembang,
seringkali keterampilan membaca dikembangkan secara terintergrasi
dengan keterampilan menyimak dan berbicara.
a) Mengenal sistem tulisan yang digunakan.
b) Mengenal kosakata.
c) Menentukan kata-kata kunci yang mngindentifikasikan topik dan
gagasan utama.
d) Menentukan makna kata-kata, termasuk kosakata split, dari
konteks tertulis.
e) Mengenal kelas kata gramatikal, kata benda, kata sifat, dan
sebagainya.
4) Keterampilan Menulis
Menulis adalah keterampilan produktif dengan menggunakan
tulisan. Menulis dapat dikatakan suatu keterampilan berbahasa yang
paling rumit di antara jenis-jenis keterampilan berbahasa lainnya. Ini
karena menulis bukanlah sekedar menyalin kata-kata dan kalimat-
kalimat, melainkan juga mengembangkan dan menuangkan pikiran-
pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur.
a) Menggunakan ortografi dengan benar, termasuk di sini
penggunaan ejaan.
b) Memilih kata yang tepat.
73
c) Menggunakan bentuk kata dengan benar.
d) Mengurutkan kata-kata dengan benar.
e) Menggunakan struktur kalimat yang tepat dan jelas bagi pembaca.
Keterampilan menulis adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam bidang tulis menulis sehingga tenaga potensial
dalam menulis. Keterampilan menulis untuk saat sekarang telah
menjadi rebutan dan setiap orang berusaha untuk dapat berperan
dalam dunia menulis. Banyak orang berusaha meningkatkan
keterampilan menulisnya dengan harapan dapat menjadi penulis
handal.
b. Perpaduan Antaraspek dalam Pembelajaran
Dalam Kurikulum Bahasa Indonesia SD tahun 2004,
pembelajaran Bahasa Indonesia dimulai dengan aspek mendengarkan
yang Standar Kompetensinya telah ditetapkan oleh BSNP. Standar
kKompetensi tersebut dijabarkan dalam bentuk tabel yang terdiri dari
Kompetensi Dasar, Hasil Belajar, Indikator dan Materi pokok seperti
yang biasa kita temui dalam silabus pembelajaran.
Kemudian setelah aspek mendengarkan, diikuti oleh aspek-
aspek lainnya yaitu Aspek Berbicara, Aspek Membaca dan Aspek
Menulis. Aspek-aspek tersebut berurutan seperti itu dan sama dari
mulai kelas 1 sampai dengan kelas 6.
74