MODUL ORGAN ENDOKRIN METABOLIK DAN GIZI
“WANITA DENGAN BENGKAK PADA KEDUA TUNGKAI”
KELOMPOK IX
030.09.227 Savitri Sirait
030.09.229 Sela Arini Putri
030.09.231 Shane Sakinah
030.09 232 Shendy Noor Pratiwi
030.09.233 Sherley Meiske Pakasi
030.09.235 Shinta Restyana Widya
030.09.236 Silvani Ully Siahaan
030.09.237 Siswanto
030.09.238 Siti Halida Zoraida SDA
030.09.239 Sitti Monica A Ambon
030.09.240 Sonia Laras Putri
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta, 14 Maret 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Pada diskusi kali ini, kami membahas tentang komplikasi diabetes melitus (DM) yaitu
nefropati diabetika. Diskusi kali ini terbagi menjadi dua sesi, di mana pada sesi pertama pada
hari Jumat tanggal 9 Maret 2012, pukul 10.00 – 11.40 (1 jam 40 menit) yang menjadi ketua
kelompok adalah Siti Halida Zoraida Soraya dengan sekretaris Shane Sakinah. Sedangkan yang
menjadi tutor kelompok adalah dr. Novi. Pada sesi pertama kami membahas tentang masalah
utama dan masalah tambahan yang teridentifikasi ada pada pasien ini yang didapatkan dari hasil
anamnesis, berkaitan dengan hipotesis kita yaitu nefropati diabetik dan sindroma nefrotik. Kita
juga membahas masalah tambahan pada pemeriksaan fisik dan penunjang pada urin yang
ditemukan glukosuria dan proteinuria. Pada akhir sesi pertama, kami membuat diagnosis kerja
yaitu Nefropati Diabetik et causa Diabetes mellitus Tipe 2, dan masih membutuhkan hasil
pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis. Learning issue kelompok kami pada
diskusi pertama mengenai
Diskusi sesi kedua diadakan pada hari Senin tanggal 12 Maret 2012, pukul 13.00-14.50
(1 jam 50 menit)
Topik diskusi mengenai seorang wanita, 48 tahun, mengeluh bengkak pada kedua
tungkai. Baik hari pertama maupun hari kedua, diskusi kami berjalan lancar dan tepat waktu.
Semua anggota ikut berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya masing-masing sehingga
kami dapat menyelesaikan kasus tersebut.
Demikianlah makalah ini kami susun sebaik-baiknya dengan segala kekurangan dan
kelebihan. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Skenario kasus
Seorang wanita 48 tahun, mengeluh bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata
kakinya sehingga ia tidak lagi dapat memakai sepatunya. Ia menyadari hal ini sejak 2-3 bulan
yang lalu. Seorang temannya memberinya lasix yang katanya sedikit menolong, tapi sekarang
obat itu sudah habis. Berat badannya bertambah hingga kira-kira 10 kg dalam waktu 2-3 bulan
terakhir. Sebelum ini dia mengeluh sering kencing dan mudah lelah serta mengantuk. Seorang
temannya mengatakan mungkin ia menderita kencing manis dan memberinya tablet yang
katanya harus diminum setiap pagi sebelum makan. Ia memang merasakan lebih enak. Ia tidak
pernah pergi lagi ke dokter.
Pada matanya tampak edema periorbital dan edema yang bersifat pitting pada tangan,
kaki dan kedua tungkainya. Ia merasa kebal pada kaki hingga pertengahan betisnya. Pada
pemeriksaan urin didapatkan glukosa +2, protein +3, leukosit 0-2/LPB, eritrosit 0-1/LPB.
2.1.1 Identitas pasien
Nama : -
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : -
Agama : -
Alamat : -
Tanggal berobat : -
2.1.2 Anamnesis tambahan
Untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan beberapa data tambahan dari anamnesis pasien,
antara lain:
Riwayat Penyakit Sekarang
Sudah berapa lama timbul keluhan-keluhan yang terjadi?
Apakah sering makan dan minum?
Volume urin saat sering kencing, apakah sekali kluar banyak atau tidak?
Apakah ada keluhan lain seperti gangguan penglihatan?
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya?
Apakah pasien pernah atau sedang mengidap penyakit kelainan metabolik atau
vaskular?
Riwayat Pengobatan
Obat-obat apa sajakah yang sudah dikonsumsi selama keluhan terjadi?
Riwayat Keluarga
Adakah anggota keluarga yang pernah atau sedang mengalami keluhan yang
sama?
Adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit metabolik (DM) atau
vaskular (hipertensi)?
2.1.3 Hipotesis
1. Mikroangiopati Diabetika
Merupakan komplikasi menahun dari Diabetes Melitus tipe 2 yang berupa nefropati,
retinopati, dan neuropati.
Nefropati berakibat fungsi ginjal makin lama makin mundur, terjadi albuminuri,
hematuri, ambang renal terhadap glukosa meningkat. Akhirnya terjadi gagal ginjal
terminal yang mengharuskan dialisis seumur hidup atau yang efektif dengan transplantasi
ginjal. Merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi
Diabetes Melitus, dan penyebab tersering karena komplikasi kardiovaskular. Pasien
termasuk kepada stadium 4, karena sudah ditemukan adanya proteinuria walaupun belum
didapatkan hasil jumlah makroalbuminuria.
Retinopati, pembuluh retina mengalami penyempitan, karena merupakan end artery
(tidak memiliki kolateral) sumbatan pada pembuluh retina berakibat kebutaan. Tapi pada
pasien ini belum diketahui adanya penurunan fungsi penglihatan, perlu dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan tambahan.
Neuropati paling sering ditemukan pada pasien Diabetes Melitus. Resiko yang dapat
dihadapi yaitu infeksi, ulkus yang tidak kunjung sembuh, dan amputasi jari atau kaki.
Manifestasi dapat bermacam-macam, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Hal ini berawal
dari hiperglikemia berkepanjangan yang berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga
aliran darah ke saraf menurun.
Gejala yang mendukung:
- Sering BAK (polakisuria)
- Mudah lelah dan mengantuk
- Pitting edema kedua tungkai dan kedua tangan (perifer) dan edema periorbital
- Bertambahnya BB
- Merasa tertolong oleh Lasix (furosemid = diuretik kuat)
- Konsumsi tablet (kemungkinan obat anti diabetika) setiap pagi hari sebelum makan
yang meringankan penderitaan pasien
- Kebal pada kaki hingga pertengahan betis = Neuropati Diabetika
- Glukosuria +3
- Proteinuria +2 = Nefropati Diabetika grade 4
2. Sindrom Nefrotik et causa Diabetes Glomeruloskerosis
Sindrom nefrotik merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif >3,5gram/24jam/1,73m2 disertai hipoalbuminemia,
edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoaguabilitas. Sindrom nefrotik dapat
disebabkan oleh glomerulonefritis (GN) primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan,
obat atau toksin, penyakit jaringan ikat, dan penyakit sistemik. Contoh penyakit sistemik
salah satunya adalah Diabetes Glomerulosklerosis. Dan pada orang dewasa paling sering
disebabkan oleh gangguan sistemik.
Gejala yang mendukung:
- Sering BAK (polakisuria)
- Mudah lelah dan mengantuk
- Pitting edema kedua tungkai dan kedua tangan (perifer) dan edema periorbital yang
mungkin pada akhirnya akan menjadi anasarka
- Bertambahnya BB
- Merasa tertolong oleh Lasix (furosemid = diuretik kuat)
- Konsumsi tablet (kemungkinan obat anti diabetika) setiap pagi hari sebelum makan
yang meringankan penderitaan pasien
- Glukosuria +3
- Proteinuria +2
2.1.4 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : -
Suhu : -
Nadi : -
Pernafasan : -
Antropometri
Tinggi badan : -
Berat badan : -
BMI : -
Kepala :
Mata : edema periorbital
Hidung : -
Telinga : -
Mulut : -
Tenggorok : -
Leher : -
Thorax
Jantung : -
Paru : -
Abdomen
Hepar : -
Lien : -
Usus : -
Extremitas
Tangan : edema bersifat pitting
Tungkai : edema bersifat pitting pada kedua tungkai
Pemeriksaan syaraf : baal pada kaki hingga pertengahan betis
Interpretasi
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya edema periorbital, edema bersifat pitting pada
tangan dan kedua tungkai, berat badan pasien juga bertambah 10 kg dalam waktu 2-3 bulan
ketika di anamnesis. Edema pada paien ini dapat terjadi akibat proteinuria yang dialami pasien,
protein plasma banyak keluar di urin sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi protein
plasma yang akan menimbulkan penurunan tekanan osmotik koloid plasma.1 ketika tekanan
onkotik menurun maka cairan yang ada pada plasma masuk ke interstisial sehingga cairan
menumpuk disana. Edema periorbital terjadi karena jaringan penyusunnya berupa jaringan ikat
longgar sehingga cairan lebih mudah untuk masuk kesana.
Edema bersifat pitting terjadi bila cairan interstisial meningkat sampai batas tekanan
positif, maka akan ada akumulasi hebat cairan bebas dalam jaringan, pada batas tekanan ini,
jaringan bersifat lemah dan memungkinkan cairan dalam jumlah besar untuk berakumulasi
dengan hanya menambah sedikit dengan tekanan hidrostatik cairan interstisial. Cairan
ekstraseluler yang kebanyakan berakumulasi adalah cairan bebas karena cairan ini mendorong
brush pile(lapisan sikat) filamen proteoglikan hingga terpisah, karenanya sekarang cairan dapat
mengalir bebas melalui rongga jaringan karena tidak dalam bentuk gel. Bila hal ini terjadi,
edema tersebut akan dikatakan pitting edema karena kita dapat menekan ibu jari kita pada
jaringan dan mendorong cairan keluar dari area tersebut, bila ibu jari diangkat akan terbentuk
suatu lekukan dikulit selama beberapa detik sampai cairan kembali lagi dari jaringan sekitarnya.1
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada kasus ini adalah Urinalisa (pemeriksaan
laboratorium urin). Hasil urinalisa yang didapat adalah sebagai berikut :
No. Jenis Hasil Nilai Normal Keterangan
1.
2.
3.
4.
Glukosa urin
Protein urin
Leukosit
Eritrosit
+2
+3
0-2/LPB
0-1/LPB
Negatif
Negatif
0-5 (0-3)/LPB
0-1/LPB
Urin normal tidak
mengandung glukosa,
dengan adanya glukosa
pada urin menggambarkan
meningkatnya kadar
glukosa darah.1
Urin terlihat keruh, yang
berarti cukup banyak
protein berada di urin.1
Normal.2
Normal.2
Glukosa yang ditemukan di urin dilaporkan secara semikuantitatif, bernilai +2 yang
berarti keberadaan glukosa di urin (glukosuria) tidak sebanyak jika hasilnya +4. Adanya
glukosuria ini menandakan bahwa terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah, selain itu nilai
ambang ginjal terhadap glukosa meningkat disertai oleh menurunnya daya reabsorpsi tubulus.
Hal ini sering terjadi pada penderita yang didagnosis Diabetes Melitus. Namun, glukosuria dapat
terjadi tidak sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, oleh karena itu glukosuria
tidak selalu dapat dipakai untuk menunjang diagnosis diabetes mellitus.2 Pada kasus ini,
glukosuria yang terjadi jika dinilai dari hasilnya +2, dapat terjadi kemungkinan karena pasien ini
telah meminum obat yang diberi temannya yang kelompok kami curigai sebagai salah satu obat
diabetes.
Sama halnya dengan glukosa, protein dalam urin (proteinuria) dilaporkan pula secara
semikuantitatif. Pada kasus ini proteinuria yang terjadi bernilai +3, yang berarti urin menjadi
sangat keruh akibat adanya protein. Protein normalnya tidak ditemukan dalam urin. Namun,
sejumlah kecil protein dapat dideteksi dari individu sehat karena perubahan fisiologis. Selama
olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan protein dalam
jumlah yang signifikan muncul dalam urin. Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin.
Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik
yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes melitus, dan hipertensi. Sedangkan
peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan petanda yang sensitif
untuk beberapa tipe penyakit tubulointerstitiel. Pada kasus ini dicurigai terjadi peningkatan
protein akibat dari komplikasi Diabetes Melitus yang telah mengakibatkan glomerolus pada
ginjal mengalami sklerosis sehingga pada filtrasi glomerolus, protein dapat lolos dan masuk ke
dalam urin. Patofisiologi lebih jelasnya akan dijelaskan pada pembahasan setelah ini.2
2.1.6 Pemeriksaan penunjang anjuran
Oleh karena kecurigaan kelompok kami mengarah kepada Diabetes Melitus yang telah
terjadi komplikasi di ginjal (Nefropati Diabetika) dan Neuropati Diabetika (dilihat dari hasil
anamnesisnya), maka kelompok kami menganjurkan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu :
1. Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk menentukan ada tidaknya DM pada pasien ini.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa, hanya dengan ditemukaanya glukosuria
belum dapat mendiagnosis pasien menderita DM, sehingga perlu juga untuk melakukan
pemeriksaan kadar gula darah ini.3 Selain itu, sebagai dokter kita juga dapat menetukan
seberapa parah hiperglikemi yang dialami pasien dengan pemeriksaan ini, sehingga
dapat merencanakan penatalaksanaan yang tepat.
Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus:
Kadar glukosa darah sewaktu >= 200 mg/dl.
Atau
Kadar glukosa darah puasa >= 126 mg/dl.
Atau
Kadar glukosa plasma >= 200/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram TTGO.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):
3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam wkatu 5 menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.3
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi:
- < 140 mg/dL normal- 140 - <200g/dL toleransi glukosa terganggu (belum Diabetes Mellitus,
tetapimemiliki risiko terjadi penyakit kardiovaskular seperti penderita Diabetes Mellitus)
- >= 200 mg/dL diabetes melitus
2. Pemeriksaan Kimia Darah Untuk Faal Ginjal
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan Ureum dan Kreatinin. Kreatinin
adalah produk akhir dari metabolism keratin otot dan kreati fosfat (protein) yang
disintesa di hati, ditemukan dalam otot rangka dan darah, lalu akan diekskresikan dalam
urin. Pemeriksaan kreatinin berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus. Apabila
terjadi peningkatan dari nilai normal menandakan adanya penurunan fungsi ginjal, dan
hal ini dapat terjadi pada nefropati diabetika.
Ureum sendiri adalah senyawa ammonia yang berasal dari metabolism asam amino yang
diubah oleh hati menjadi ureum. Produk ini diekskresikan oleh ginjal melalui urin.
Peningkatan kadar ureum dalam darah berbahaya, sebab dapat terjadi shok yang
berujung pada kematian. Sama halnya dengan kreatinin, peningkatan ureum dalam darah
dapat disebabkan oleh menurunnya fungsi ginjal untuk menekskresi ureum tersebut.
Kadar normal dalam darah :
Kreatinin : 0,6-1,3 mg/dl (dewasa)
Ureum : 10-50 mg/dl.2
3. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata yang perlu dilakukan adalah visus dan funduskopi untuk melihat
retinanya. Menurut penelitian, kebutaan pada diabetik dijumpai 25 kali dibandingkan
non-diabetik. Penyebab utama penurunan daya penglihatan ialah retinopati diabetik.3
4. Pemeriksaan Profil Lemak Darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kadar kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL
dalam darah. Sebab, penderita diabetes mellitus mempunyai resiko komplikasi
(makroangiopati) yaitu dapat terjadinya Infark Miokard dan Stroke akibat aterosklerosis.
Proses aterosklerosisnya sendiri dapat terbentuk akibat adanya akumulasi lemak pada
dinding pembuluh darah.2
5. Pemeriksaan Kimia Darah untuk Faal Hati
Pemeriksaan ini dikhususkan untuk memeriksa kadar albumin dalam darah. Albumin
merupakan protein yang larut dalam air, membentuk lebih dari 50 % protein plasma.
Albumin berfungsi untuk mempertahankan tekanan koloid osmotik darah sehingga
cairan vascular dapat dipertahankan. Penurunan kadar albumin dalam darah
mengakibatkan keluarnya cairan vascular menuju ke jaringan interstitial dan terjadilah
oedema. Penurunan ini bisa terjadi pada beberapa penyakit, pada kasus ini dicurigai
dapat terjadi penurunan akibat adanya proteinuria sebagai akibat dari penurunan fungsi
ginjal. Pemeriksaan ini hanya bertujuan untuk menentukan seberapa parah kehilangan
albumin yang terjadi.2
2.2 Faktor Resiko
Faktor resiko yang ditemukan pada pasien ini adalah usia pasien yang berusia 18 tahun
dan hasil BMI 19,6 yang masih termasuk Normal. Selain itu kebiasaan pasien meminum
softdrink.
2.3 Daftar Masalah
Keluhan utama : bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata kakinya sejak 2-3 bulan yang
lalu.
Keluhan tambahan : sering kencing, dan mudah lelah serta mengantuk sejak 2-3 bulan yang lalu.
2.3.1 Pengkajian Masalah
Daftar masalah Hipotesis Hipotesis penyebab Dasar masalah
Usia 48 tahunFactor resiko, Usia yang rentan mengalami diabetes mellitus yang tipe 2
anamnesis
Bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata kaki sejak 2-3 bulan yang lalu
- nefropathy diabetikum
- gangguan ginjal
- efek samping akibat penggunaan obat diabetes yang tidak sesuai dengan jenis diabetes pasien ini
- karena nefropathy diabetikum nya, karena proteinuria maka akan menurun kan albumin plasma.
Anamnesis
Riwayat pemakaian lasix
- obat diuresis- obat golongan furosemide yang merupakan diuresis, meningkatkan pengeluaran cairan
Anamnesis
Berat badan bertambah 10 kg
- nafsu makan bertambah
-Intrasel hipoglikemi yang mebuat otak terus menerus merangsang pusat lapar, jadi merasa lapar terus dan makan
Anamnesis
- oedem
yang berlebihan
- kadar albumin plasma yang menurun, sehingga fungsinya untuk mengatur tekanan onkotik intravaskular juga menurun→maka akan terjadi ekstravasasi plasma ke interstisial dan mengakibatkan edema
Mudah lelah serta mengantuk
- diabetes mellitus tipe 1, 2
- gangguan pada insulin menyebabkan gangguan masuknya glukosa kedalam sel, sehingga terjadi defisiensi glukosa intrasel, sel yang tidak mendapatkan nutrisi menyebabkan pasien sering mengeluh lemas dan cepat lelah
Anamnesis
Sering kencing
(poliuri)- diabetes mellitus tipe 1,2
- kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan tekanan osmotik darah meningkat, sehingga akan terjadi diuresis osmotic
Anamnesis
Pemberian obat DM tanpa kontol dokter
- diabetes mellitus tidak terkontrol
- menyebabkan hiperglikeima yang terus menerus tetapi intrasellular hipoglikemia, sehingga merespon otak untuk merangsang pusat lapar dan menjadi makan terus menerus
Anamnesis
Oedem periorbital dan pitting oedem pada tangan, kaki dan kedua tungkainya
- nefropathy diabetikum
-Karena adanya kerusakan pada filtrasi glomerulus maka terjadi proteinuria→kadar albumin dalam plasma menurun, sehingga fungsinya untuk mengatur tekanan onkotik intravaskular juga
Pemeriksaan fisik
menurun→maka akan terjadi ekstravasasi plasma ke interstisial dan mengakibatkan pitting edema pada tangan, kaki dan kedua tungkai serta edema periorbital.
Kebal pada kaki hingga pertengahan betisnya
- neuropathy diabetikum
-Akibat dari hiperglikemia yang lain yaitu akan menyebabkan glukosa menjadi tereduksi menjadi sorbitol di dalam sel yng mengandung enzim aldosareduktase. . Penumpukan sorbitol pada sel Schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf (polineuropati)
Pemeriksaan fisik
Glukosa +2 - diabetes mellitus tipe 1, 2
- Ketika kadar glukosa darah meninggi ketingkat pada saat glukosa yang difiltrasi melebighi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorbsi (170mg%), maka glukosa akan timbul di urin
Hasil laboratorium urin
Protein +3 Nefropathy diabetikum
Glukosuria dapat menyebabkan hiperfiltrasi untuk kerja ginjal, hal ini dapat menjadi awal dari mekanisme kerusakan ginjal. Karena adanya kerusakan pada filtrasi glomerulus maka memungkinkan protein ikut keluar ke dalam urin.
Hasil laboratorium urin
2.4 Diagnosis dan Analisis
Diagnosis kerja adalah Diabtes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabtes Melitus
(IDDM), atas indikasi sebagai berikut :
1. DM tipe 1 secara klinis onsetnya pada usia < 20 tahun, dan pasien masih berumur 18
tahun. Karena pada umumnya destruksi sel β sudah terjadi sejak lahir, namun manifestasi
klinisnya baru tampak saat mulai pubertas.
2. Berat Badan normal. Menurut perhitungan BMI pasien adalah 19,5 dimana masih dalam
rentang normal. DM tipe 1 tidak tergantung pada obesitas, DM tipe 1 bisa terjadi pada
orang dengan BB normal karena faktor DM nya berasal dari dalam tubuh yaitu destruksi
sel β pancreas.
3. Keton +2. Pada DM tipe 1 lebih mudah terjadi ketonuria karena DM tipe 1 sama sekali
tidak memproduksi insulin sehingga sel sangat kekurangan glukosa. Sebagai kompensasi
tubuh untuk memberikan energi pada sel dengan meningkatkan lipolisis. Di samping itu,
lipolisis juga menyebabkan FFA darah meningkat dan bila menumpuk bersama benda
keton, pasien akan sampai ke tahap ketoasidosis dimana terjadi penurunan kesadaran,
seperti yang tampak pada pasien ini adalah keluhan mengantuk.
Dan diagnosis bandingnya adalah Diabetes Melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM). DM tipe 2 bisa disingkirkan karena memperhatikan faktor usia dan
BMI pasien. Pada DM tipe 2 biasanya terjadi pada orang yang usianya > 45 tahun dan gemuk.
Selain itu, DM tipe 2 tidak mudah terjadi ketonuria karena masih ada insulin yang dihasilkan
oleh sel β pankreas sehingga masih ada glukosa yang dapat masuk ke dalam sel untuk digunakan
sebagai energi, jadi lipolisis tidak terlalu ditingkatkan.
Untuk menegakkan diagnosis pasti kami masih membutuhkan pemeriksaan gula darah agar kita
dapat mengetahui dengan pasti seberapa berat hiperglikemi yang diderita pasien. Hasil
pemeriksaan gula darah yang menunjukan DM :
Gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl; atau
Gula darah puasa ≥ 126 mg/dl; atau
Gula darah setelah 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl.1
2.5 Patofisiologi kasus
Berdasarkan diagnosis yang telah ditetapkan pada pasien ini, dimana dinyatakan bahwa
pasien menderita Nefropati Diabetik et causa Diabetes mellitus Tipe 2 (Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus) yang ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang muncul serta pemeriksaan
laboratorium urin. Walaupun kriteria diagnosis untuk DM sebenarnya adalah pemeriksaan kadar
gula dalam darah, maka pemeriksaan gula darah sangat diperlukan. Agar kita dapat mengetahui
dengan pasti seberapa berat hiperglikemi yang diderita pasien. Berikut akan dibahas mengenai
patofisiologi terjadinya gejala-gejala yang dialami pasien dalam kaitannya dengan diagnosisnya
yaitu Nefropati Diabetik et causa Diabetes mellitus Tipe 2.
Keluhan utama dari pasien berusia 48 tahun ini yaitu datang dengan keluhan bengkak pada
kedua tungkai kaki hingga ke mata kaki. Keadaan ini bisa disebabkan karena perjalanan penyakit
DM yang dialami oleh pasien ini. . Pada pasien dengan DM, keluhan yang tentu sering timbul
(khas) adalah 3P (Polidipsi, Poliuria, Polifagi).1 Awalnya pasien mengeluhkan sering kencing
oleh karena adanya defisiensi insulin maka kadar glukosa darah meninggi akibat kurangnya
insulin yang berfungsi untuk memasukan glukosa ke dalam sel yang berguna untuk sumber
energi sel tersebut, akibatnya terjadi hiperglikemia. Keadaan ini menyebabkan jumlah glukosa
yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus untuk mengabsorpsi sehingga glukosa dapat
keluar di urin (glukosuria).
Glukosuria dapat menyebabkan hiperfiltrasi untuk kerja ginjal, hal ini dapat menjadi awal
dari mekanisme kerusakan ginjal. Filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan
meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat
lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.2 Mekanisme peningkatan laju
filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik kenungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen
oleh efek yang tergantung dari glukosa. Karena adanya kerusakan pada filtrasi glomerulus maka
memungkinkan protein ikut keluar ke dalam urin (proteinuria). Hal ini juga berdampak pada
kadar albumin dalam plasma yang menurun (kurangnya protein), sehingga fungsinya untuk
mengatur tekanan onkotik intravaskular juga menurun. Dengan demikian, maka akan terjadi
ekstravasasi plasma ke interstisial dan mengakibatkan pitting edema pada tangan, kaki dan
kedua tungkai serta edema periorbital. Pitting edema merupakan edema yang jika ditekan,
sulit kembali seperti semula. Edema periorbital dapat terjadi karena jaringan penyusunnya
berupa jaringan ikat longgar sehingga memudahkan cairan untuk masuk.
Pada riwayat pengobatan didapatkan bahwa pasien pernah mengkonsumsi Lasix. Obat ini
merupakan furosemid (diuretik kuat) yang berfungsi untuk menghilangkan air dan garam dari
tubuh. Di ginjal, garam (terdiri dari natrium dan klorida), air, dan molekul kecil lainnya yang
biasanya akan disaring keluar dari darah dan masuk ke dalam tubulus ginjal. Furosemide bekerja
dengan menghalangi penyerapan natrium, klorida, dan air dari cairan yang disaring dalam
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan yang mendalam output urin (diuresis).3 Hal ini dapat
menyebabkan pasien mengatakan setelah minum obat ini dapat sedikit menolong. Namun,
setelah tidak menggunakan obat ini maka berat badannya menjadi naik kira-kira 10 kg
dalam 2-3 bulan yang dapat disebabkan karena edema yang terjadi.
Akibat dari hiperglikemia yang lain yaitu akan menyebabkan glukosa menjadi tereduksi
menjadi sorbitol di dalam sel yng mengandung enzim aldosareduktase. Alkohol heksahidrat ini
tidak dapat melalui membran sel dan salah satu akibatnya adalah konsentrasi dalam sel akan
meningkat dan sel membengkak. Penumpukan sorbitol pada sel Schwann dan neuron akan
mengurangi konduksi saraf (polineuropati), terutama mempengaruhi sistem saraf otonom, reflek,
dan fungsi sensorik.4 Maka dengan demikian pada pasien ini didapati rasa kebal pada kaki
hingga pertengahan betis. Gejala ini bisa merupakan lanjutan atau komplikasi dari perjalanan
penyakit DM yang dialami pasien yang disebut neuropati diabetik.
2.6 Rencana Penatalaksanaan SONIA
Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman
dan sehat.
Tatalaksana awal yang kita berikan pada pasien ini adalah pemberian cairan dengan
infuse NaCl untuk memperbaiki keadaan umum, dan supaya kesadaran membaik.
Kemudian bisa diberikan suntik insulin sesuai dengan hasil dari kadar gula darah pasien
ini.
Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun
neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas
DM.
Pilar utama pengelolaan DM
2.7 Prognosis CITRA
2.8 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan yang
terkontrol. Tanpa didukung oleh pengelolaan yang tepat, diabetes dapat
menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi yang disebabkan dapat berupa:
Komplikasi Akut
Hipoglikemia
Hipog l i kemia d i t anda i dengan menurunnya kada r g lukosa h ingga
mencapa i <60 mg /d l . Ge j a l a h ipog l i kemia t e rd i r i da r i ge j a l a ad rene rg ik
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
Ketoasidosis Diabetik
Keadaan ini berhubungan dengan defisiensi insulin, jumlah insulin yang terbatas dalam
tubuh menyebabkan glukosa tidak dapat digunakan sebagai s u m b e r e n e r g i ,
s e h i n g g a t u b u h m e l a k u k a n p e n y e i m b a n g a n d e n g a n memetabolisme
lemak. Hasil dari metabolisme ini adalah asam lemak bebas dan senyawa keton. Akumulasi
keton dalam tubuh inilah yang menyebabkan terjadinya asidosis atau ketoasidosis. Gejala
klinisnya dapat berupa kesadaran menurun, napas cepat dan dalam (kus smau l ) ,
s e r t a t anda - t anda deh id ra s i . Se l a in i t u , s e seo rang d ika t akan mengalami
ketoasidosis diabetik jika hasil pemeriksaan laboratoriumnya:
Hiperglikemia (glukosa darah >250 mg/dl)
Na serum <140 meq/l
Asidosis metabolik (pH <7,3; bikarbonat <15 meq/l)
Ketosis (ketonemia dan atau ketonuria)
Komplikasi Kronis (Menahun)
Makroangiopati:
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah perifer (tepi)
Pembuluh darah otak
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat
timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul
lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. hiperinsulinemia merupakan suatu faktor
resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko
kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 IU/ml akan meningkatkan risiko
mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita
diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit
pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV.
Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan
factor utama terjadinya proses gangren diabetik. Pada penderita dengan gangren dapat
mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai faktor pencetus koma, ataupun kematian.
Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.
Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan
neurologis akibat iskemia
Mikroangiopati:
Retinopati Diabetik
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman
penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan.
Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan
proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat, dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik,
sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula
darah, bahkan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang
terlalu singkat.
Nefropati Diabetik
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab
terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke
dalam kemih (mis. albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif.
Nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0.5 gr/24 jam), terdapat
retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol
metabolisme dan kontrol tekanan darah.
Neuropati Diabetik
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita
DM, lebih 50% diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris,
motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif dimana terjadi degenerasi
serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya
adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi
pada struktur saraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan mioinositol,
penurunan Na/K ATP-ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur saraf, demielinisasi
segmental, atau atrofi aksonal.
Komplikasi dengan mekanisme gabungan:
1. Rentan infeksi, contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih, infeksi
kulit, dan infeksi kaki (kaki diabetik).
2. Disfungsi ereksi (impotensi)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Informasi yang Kurang
Pada kasus ini kelompok kami menyimpulkan diagnosis kerja kita adalah dibetes mellitus
tipe 1. Tetapi pada kasus ini tidak diketahui ada atau tidaknya factor resiko mengenai riwayat
keluarga yang mengalami DM. Selain itu gejala DM yang tidak ditemukan pada kasus yaitu
polifagia dan tidak diketahui riwayat penurunan berat badan.
Kurangnya informasi pemeriksaan fisik mengenai tanda vital, terutama pernafasan, yang
apabila sudah terjadi asidosis metabolic dapat ditemukan pernafasan kussmaul (cepat dan
dalam), dan untuk mengetahui derajat dehidrasi dari turgor kulit yang berkurang, lidah dan bibir
kering.
Pemeriksaan laboratorium yang kita butuhkan untuk mendiagnosis DM adalah
pemeriksaan gula darah. Selain itu pemeriksaan lain yang dibutuhkan adalah faal ginjal untuk
melihat apakah telah terjadi penurunan fungsi ginjal atau tidak, dan analisis gas darah untuk
mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basa, apakah sudah terjadi asidosis atau
belum.
3.2 Diabetes Melitus
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang terjadi karena
kelainan sekresi hormon insulin, aktivitas/kerja insulin atau kedua-duanya yang ditandai oleh
hiperglikemia dan glukosuria.1 Kelainan pada sekresi/kerja insulin tersebut menyebabkan
abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.
Gejala :
Gejala khas DM:
Poliuria, polidipsi, polifagi
Gejala lain :
Kesemutan, pruritus, infeksi yang sulit sembuh, cepat lelah dan mengantuk,berat
badan menurun dengan cepat tanpa sebab yang jelas, pengelihatan kabur
Kriteria diagnosa DM :
1. Gejala khas DM + kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dl
2. Gejala khas DM + kadar glukosa darah puasa ≥ 126mg/dl
3. kadar glukosa plasma ≥ 200mg/dl pada 2 jam sesudah diberi beban glukosa 75gr pada
TTGO.
Klasifikasi dan etiologi
Menurut American Diabetes Association (ADA), klasifikasi Diabetes Melitus adalah
sebagai berikut :10
1. Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau childhood-onset diabetes
atau insulin-dependent diabetes mellitus(IDDM ) atau Ketosis prone, karena tanpa
insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah
“juvenile onset” sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 umumnya terjadi pada masa
anak-anak, dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun,
selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40. Pada pasien DM tipe 1
umumnya tidak obesitas tetapi berat badannya dapat normal ataupun kurus.
Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar
glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap
stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan
histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel
Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-
acid decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat
pada pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto
atau myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA)
DR3 atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana
sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel
beta pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan
defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap sel
beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan
konsumsi susu sapi pada masa bayi.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik.
Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat idiopatik
ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia.
Gejala yang dapat ditemukan adalah gejala khas dan gejala lain pada diabetes, adanya
ketoasidosis, turunnya berat badan sampai somnolen.11
2. Diabetes Melitus tipe 2
Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 atau adult-onset diabetes atau obesity-related
diabetes atau non-insulin-dependent diabetes mellitus( NIDDM ) tidak memiliki
hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien
mempunyai sel beta yang masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen
tetapi tidak bergantung seumur hidup). DM tipe 2 ini 90% dari semua kasus diabetes dan
biasanya dimulai pada usia lebih dari 45tahun. DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang
predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin
terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat pada sel beta
pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor
glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis.
Defek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang diabetogenik
(asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah
kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2
adalah berbeda-beda untuk setiap ras.12
3. Diabetes Melitus tipe lain
- Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada fungsi sel beta,
dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif muda (<25 tahun) atau
disebut maturity-onset diabetes of the young (MODY). Terjadi gangguan sekresi insulin
namun kerja insulin di jaringan tetap normal. Saat ini telah diketahui abnormalitas pada 6
lokus di beberapa kromosom, yang paling sering adalah mutasi kromosom 12, juga
mutasi di kromosom 7p yang mengkode glukokinase. Selain itu juga telah diidentifikasi
kelaian genetik yang mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin menjadi
insulin.
Tatalaksana DM
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes dinamakan terapi insulin. Tujuan terapi ini
terutama untuk :
1. Mempertahankan glukosa darah dalam kadar yang normal atau mendekati normal.
2. Menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kronis pada diabetes.
Keberhasilan terapi insulin juga tergantung terhadap gaya hidup seperti program diet dan
olahraga secara teratur.
Satu-satunya jalan pemberian insulin adalah melalui suntikan, bisa suntikan di bawah
kulit (subcutan/sc), suntikan ke dalam otot (intramuscular/im), atau suntukan ke dalam
pembuluh vena (intravena/iv). Ada pula yang dipakai secara terus menerus dengan
pompa (insulin pump/CSII) atau sistem tembak (tekan semprot) ke dalam kulit (insulin
medijector).
Indikasi penggunaan terapi insulin harus memenuhi kriteria:
- Menggunakan insulin lebih dari 3 kali sehari
- Kadar glukosa darah sering tidak teratur
- Lelah menggunakan terapi injeksi insulin
- Ingin mengurangi resiko hipoglikemi
- Ingin mengurangi resiko komplikasi yang berkelanjutan
- Ingin lebih bebas beraktifitas dan gaya hidup yang lebih fleksibel
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Mengecek kadar glukosa darah (setidaknya 4 hari sekali, sebelum makan) untuk
mengetahui berapa dosis insulin yang diperlukan untuk mengontrol kadar glukosa
darah tubuh
2. Mulai memahami makanan yang dikonsumsi.
3. Perhatikan secara teratur (setiap setelah makan) pompa insulin untuk meminimalisir
kerusakan.
Menurut studi yang dilakukan National Institute of Health selama 10 tahun terhadap 1000
penderita diabetes melitus tipe 1, didapatkan bahwa penggunaan terapi insulin yang
intensif, seperti contohnya menggunakan pompa insulin, dapat mengurangi komplikasi
diabetes secara efektif. Studi ini menunjukan bahwa terapi insulin intensif:
- Mengurangi komplikasi kebutaan 76 %
- Mengurangi komplikasi amputasi 60 %
- Mengurangi resiko terkena penyakit ginjal 54 %
Pompa insulin bekerja seperti pankreas dan telah diprogram secara otomatis untuk
memasukan insulin ke dalam tubuh kapan pun diperlukan. Terapi pompa insulin atau
yang dikenal dengan sebutan Continuous Subcutaneous Insulin Infusion (CSII)
merupakan terapi yang paling menyerupai metode fisiologi tranfer insulin ke dalam
tubuh. Insulin yang dipergunakan dalam pompa insulin adalah insulin “prandial” (short
atau rapid acting insulin), sehingga dosis basal akan tertutupi oleh dosis prandial “bolus”
yang diberikan secara intensif selama 24 jam.
Keuntungan penggunaan pompa insulin:
1. Terbebas dari penggunan multiple daily injection insulin
2. Penurunan kadar HbA1C yang terkontrol
3. Mengurangi frekuensi terkena hipoglikemia
4. Mengurangi variasi kadar glukosa darah
5. Meningkatkan fleksibilitas dan manajemen diabetes
Kekurangan Penggunaan pompa insulin yakni:
1. Ada resiko infeksi jika tidak mengganti insertion site pada cannula secara teratur
2. Pemeriksaan gula darah yang lebih sering memiliki resiko terkena hiperglikemi
yang dapat mengakibatkan diabetic ketoacidosis yang lebih besar jika tidak
mempergunakan pompa dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengevaluasi pengendalian (kontrol) gula darah dilakukan:
Dapat dilakukan beberapa pemeriksaan untuk pemantauan pengelolaan diabetes mellitus
(DM), yaitu kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin,
khususnya HbA1C. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini
dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.
Pemeriksaan HbA1C:
- Merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi
pengendalian gula darah. Hasil pemeriksaan HbA1C memberikan gambaran rata-rata
gula darah selama periode waktu enam sampai dua belas minggu (2-3 bulan).
- HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu,
HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita
DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan
lalu (umur eritrosit) dan melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.
- Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Pada
penyandang diabetes kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7%. Sebaiknya,
penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter
yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes:
- Kadar Glukosa Darah Puasa : 80–120mg/dl
- Kadar Glukosa Plasma Puasa : 90–130mg/dl
- Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose) : 100–140mg/dl
- Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose) : 110–150mg/dl
- Kadar Insulin : <7 %
- Kadar HbA1c : <7mg/dl
- Kadar Kolesterol HDL : >45mg/dl (pria) 24
- Kadar Kolesterol HDL : >55mg/dl (wanita)
- Kadar Trigliserida : <200mg/dl
- Tekanan Darah : <130/80mmHg
DAFTAR PUSTAKA
1. Priyana A. Patologi Klinik. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti; 2007;51-2.
2. Sutedjo AY. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil
Pemeriksaan. Yogyakarta: Amara Books;2009;79,81,84,97,115.
2. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta: InternaPublishing; 2009; 1880-83.
3. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS (disarikan dari
Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia : Perkeni 2006). Alwi Shahab.
Subbagian Endokrinologi Metabolik. Bagian Ilmu Penyakit Dalam. FK Unsri/ RSMH
Palembang.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th Ed. Jakarta: InternaPublishing; 2010; p. 1942-1951.
5. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2007; p. 286-293.
6. Jameson JL. Harrison’s Endocrinology. 2nd Ed. United State: McGraw-Hill Companies;
2010.
7. Gan S, Wilmana F, Suyatna F. Farmakologi dan Terapi. 5th Ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2008.
8. Goodman, Gilman. Dasar Farmakologi. 10th Ed. Jakarta:EGC.
9. Diabetes Mellitus. Available at: http://www.medicinenet.com/diabetes_mellitus/article.htm.
Accessed on: September 19, 2011.
BAB V
PENUTUP DAN UCAPAN TERIMAKASIH
Ini mau diisi kesimpulan ato ga??? Klo cth makalah ga ada
kesimpulan…yang je;as bawahnya ucapan terimakasih..
Sekian penjelasan kami mengenai hasil diskusi kasus pertama. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih kepada tutor pembimbing dan para narasumber yang kemudian akan menilai
makalah dan presentasi kami. Kritik dan saran akan kami jadikan pembelajaran untuk diskusi,
pembuatan makalah, ataupun seminar selanjutnya. Semoga ilmu yang dipelajari dapat berguna.