BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini biasanya mengenai paru-paru (TB
pulmoner) tetapi dapat juga mengenai organ selain paru-paru (TB extrapulmoner).
Pada TB ekstrapulmonal, organ yang terlibat diantaranya, kelenjar getah bening,
otak, tulang temporal, rongga sinonasal, hidung, mata, faring, kelenjar liur, dan
termasuk salah satunya adalah laring.
TB laring atau dikenal sebagai laringitis TB jarang bersifat primer tanpa
disertai kelainan paru dan terjadi karena komplikasi suatu TB paru stadium lanjut
ataupun dengan lesi minimal. Pada pertengahan tahun 1900, TB laring memiliki
prevalensi yang cukup tinggi di dunia dan 37% merupakan penderita yang disertai
TB paru dengan prognosis yang buruk. Dahulu TB laring terjadi pada kelompok
usia muda, namun sekarang terjadi pada usia 50-60 tahun dimana laki-laki lebih
banyak daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.
Diagnosis TB laring dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium, radiologis, bakteriologis, histopatologis, serta
pemeriksaan serologis seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) dapat dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan beberapa diagnosis
1
banding. Namun pemeriksaan yang menjadi standar baku emas untuk diagnosis
pasti suatu laringitis TB adalah biopsi laring.
Semenjak tahun 1950-an angka TB dapat ditekan dengan pemakaian Obat
Anti Tuberkulosis (OAT), penggabungan metode deteksi serta pencegahan secara
dini, perubahan gaya hidup, dan edukasi, sehingga dapat menekan penyebaran
infeksi ke ekstra pulmonal dan ke lingkungan sekitar. Dua dekade terakhir terjadi
peningkatan insiden TB laring yang disebabkan peningkatan penyakit
imunosupresif, faktor usia, meningkatnya jumlah imigran dari daerah resiko tinggi
TB, dan terjadinya resistensi terhadap OAT.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Laring
2.1.1 Anatomi Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Laring terletak di bagian anterior leher setinggi corpus
vertebrae cervicales III-VI. Laring menghubungkan bagian inferior faring dengan
trakea. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah
batas kaudal cartilago cricoid. Kerangka laring terdiri dari dari satu tulang, yaitu
os hyoid dan sembilan tulang rawan yang berhubungan melalui ligamentum dan
membrana.
Os hyoid terletak pada bagian superior laring dan berbentuk U. Pada
permukaan superior os hyoid melekat tendon dan otot-otot lidah, mandibula, dan
kranium. Pada bagian bawah os hyoid terdapat dua buah alae atau sayap cartilago
tiroid yang menggantung pada ligamentum tiroid dan akan menyatu di bagian
tengah yang disebut dengan Adam’s Apple (jakun). Dari sembilan tulang rawan
terdapat tiga yang tunggal, yaitu:
a. Cartilago thyroidea
Merupakan cartilago terbesar dari tulang-tulang rawan laring. Bagian dua
pertiga cartilago thyroidea berupa lembar-lembar yang bersatu di bidang median
untuk membentuk prominentia laryngea (Adam’s apple). Tepat di atas
prominentia laryngea (Adam’s apple), kedua lembar berpisah untuk membentuk
3
incisura thyroidea yang berbentuk V. Tepi posterior masing-masing lembar
(lamina) menonjol ke atas sebagai cornu superior dan ke bawah sebagai cornu
inferior. Tepi superior dan kedua cornu superior cartilago thyroidea dihubungkan
dengan os hyoideum oleh membrana thyrohyoidea. Bagian median membrana
tyrohyoidea ini yang lebih tebal, dikenal sebagai ligamentum thyrohyoideum
medianum, bagian-bagian lateral yang menebal adalah ligamentum
thyrohyoideum laterale yang dapat mengandung beberapa cartilagines triticeae
yang menyerupai butir-butir gandum dan membantu menutup lubang laring
sewaktu menelan. Cornu inferior bersendi dengan permukaan lateral cartilago
cricoidea pada articulatio cricothyroidea. Gerak-gerak utama pada kedua sendi ini
adalah rotasi dan gerak luncur cartilago thyroidea yang menghasilkan perubahan
ukuran panjang plica vokalis.
b. Cartilago cricoidea
Berbentuk seperti cincin stempel yang tangkainya menghadap ke depan.
Bagian posterior (stempel) cartilago cricoidea adalah lempengnya, dan bagian
anterior (tangkai) membentuk lengkungnya. Meskipun cartilago ini jauh lebih
kecil daripada cartilago thyroidea, tulang rawan ini lebih tebal dan lebih kuat.
Cartilago cricoidea dihubungkan pada tepi bawah cartilago thyroidea oleh
ligamentum cricothyroideum medianum dan pada cartilago trachealis I oleh
ligamentum cricotracheale. Ligamentum cricothyroideum menyebabkan adanya
titik lunak di bawah cartilago thyroidea. Di sini laring paling dekat dengan kulit
dan paling mudah di capai.
4
c. Cartilago epiglottica
Membuat epiglotis lentur, bentuknya menyerupai daun dan terletak di
belakang radix linguae serta os hyoideum, dan di depan aditus laryngis,
membentuk bagian superior dinding anterior dan tepi superior aditus laryngis.
Bagian superior epiglotis adalah lebar dan bebas, ujung inferiornya meruncing
melekat pada ligamentum thyro-epiglotticum dalam sudut yang dibentuk oleh
kedua lembar cartilago thyroidea. Permukaan anterior cartilago epiglottica
berhubungan dengan os hyoideum melalui ligamentum hyo-epiglotticum.
Membrana quadrangularis adalah selembar jaringan ikat sub-mukosa yang tipis,
dn terbentang dari cartilago arytenoidea ke cartilago epiglottica. Tepi inferior
membrana quadrangularis ini yang bebas membentuk ligamentum vestibulare
yang dilapisi secara longgar oleh plica vestibularis. Plica ini terletak superior dari
plica vocalis dan terbentang dari cartilago thyroidea ke cartilago arytenoidea.
Kemudian tiga cartilago berpasangan, yaitu:
a. Cartilago arytenoidea
Berbentuk seperti limas bersisi tiga. Tulang rawan ini bersendi dengan
bagian-bagian lateral tepi atas lempeng cartilago cricoidea. Masing-masing tulang
rawan di sebelah atas memiliki apex (puncak), di sebelah anterior sebuah
processus vocalis, dan sebuah processus muscularis yang menonjol ke lateral dari
alasnya. Apex cartilago arytenoidea dilekatkan pada plica ary-epiglottica,
processus vocalis pada ligamentum vocale, dan processus muscularis pada
musculus crico-arytenoideus posterior et lateralis.
b. Cartilago corniculata
5
c. Cartilago cuneiformis
Berupa bintil-bintil kecil di bagian posterior plica ary-epiglottica yang
melekat pada apex cartilaginis arytenoideae. Hal ini serupa dengan cartilago
corniculata.
Bagian dalam laring. Cavitas laryngis meluas dari aditus laryngis yang
merupakan sarana untuk berhubungan dengan laryngofaring, sampai setinggi tepi
bawah cartilago criocoidea untuk beralih ke dalam lumen tenggorok. Cavitas
laryngis dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
Vestibulum laryngis yang terletak superior terhadap plica vestibularis
Ventriculus laryngis yang terletak antara plica vestibularis dan di atas plica
vocalis (ke lateral ventriculus laryngis meluas sebagai sinus laryngis, dari
masing-masing sinus sebuah sacculus laryngis yang buntu, menonjol ke atas
antara plica vestibularis dan lamina cartilaginis thyroideae).
Cavitas infraglottica, yakni cavitas laryngis inferior yang meluas dari plica
vocalis ke tepi inferior cartilago cricoidea.
Otot-otot laring. Otot-otot laring dapat dibedakan menjadi kelompok otot
ekstrinsik dan kelompok otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik menggerakkan laring
sebagai kesatuan. Musculi infrahyoidei berfungsi sebagai otot-otot depresor os
hyoideum dan laring, sedangkan musculi suprahyoidei dan musculus
stylopharyngeus berfungsi sebagai elevator os hyoideum dan laring. Otot-otot
intrinsik mengadakan gerak pada bagian laring, mengubah panjang dan
ketegangan plica vocalis, serta luas dan bentuk rima glotis. Semua otot intrinsik
6
laring kecuali satu, dipersarafi oleh N. Laryngeus rekuren (cabang N. X);
musculus cricothyroideus dipersarafi oleh N. Laryngeus internus.
Saraf-saraf laring. Saraf-saraf laring berasal dari nervus vagus melalui
ramus internus dan ramus eksternus nervus laryngeus superior dan nervus
laryngeus rekuren. Nevus laryngeus superior dilepaskan dari pertengahan
ganglion inferius cabang nervus vagus yang terletak pada ujung superior trigonum
caroticum. Saraf ini berakhir menjadi dua cabang di dalam sarung karotis (carotid
sheath): nervus laryngeus internus (sensoris dan otonom) dan nervus laryngeus
eksternus (motoris). Nervus laryngeus internus menembus membrana
thyrohyoidea bersama arteri laryngea superior dan mengantar serabut sensoris
kepada membrana mukosa laring yang terdapat superior dari plica vocalis. Nervus
laryngeus eksternus menurun di belakang musculus sternothyroideus bersama
arteri thyroidea superior. Mula-mula letaknya pada musculus constrictor
pharyngis inferior dan kemudian menembus otot ini dan mempersarafinya serta
juga musculus cricothyroideus.
Nervus laryngeus rekuren mempersarafi semua otot intrinsik kecuali
musculus cricothyroideus. Nervus ini membawa serabut sensoris kepada membran
mukosa laring inferior dan plica vocalis. Bagian akhirnya, yakni nervus laryngeus
inferior memasuki laring dengan melintas di sebelah dalam tepi inferior musculus
constrictor pharyngis inferior. Saraf ini terpecah menjadi ramus anterior dan
ramus posterior yang mengiringi arteri laryngea inferior ke dalam laryng.
Vaskularisasi laring. Laring mendapat pasokan darah dari cabang-cabang
arteri thyroidea superior dan arteri thyroidea inferior. Arteri laryngea superior
7
mengiringi ramus internus nervi laryngealis superior melalui membran
thyrohyoidea dan kemudian bercabang-cabang untuk mengantar darah kepada
permukaan dalam laring. Arteri laryngea inferior mengiringi nervus laryngeus
inferior dan memasok darah kepada membran mukosa dan otot-otot di aspek
inferior laring.
Vena-vena laring mengikuti arteri-arteri laring. Vena laryngea superior
bersatu dengan vena thyroidea superior lalu bermuara ke dalam vena jugularis
interna. Vena laryngea inferior bersatu dengan vena thyroidea inferior atau
pleksus vena-vena tiroid yang beranastomose pada aspek anterior trakea.
Gambar 1. Anatomi Laring
Gambar 2. Laring penampang lateral
8
Gambar 3. Laring penampang posterior
2.1.2 Fisiologi Laring
Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi,
sirkulasi, menelan, emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk
mencegah agar makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glotis yang secara bersamaan. Benda asing yang
telah masuk ke dalam trakea dan sekret yang berasal dari paru juga dapat
dikeluarkan lewat reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan mengatur besar
kecilnya rima glotis. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara maka didalam
traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Oleh
karena itu laring juga mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam proses menelan mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan
laring bagian bawah keatas, menutup aditus laringeus, serta mendorong bolus
makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring. Laring
mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh,
9
menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan fungsinya untuk fonasi dengan
membuat suara serta mementukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada
diatur oleh ketegangan plica vocalis. Bila plica vocalis dalam aduksi, maka
m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi
kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan
menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plica vocalis kini dalam
keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid
akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plica vocalis akan
mengendor. Kontraksi serta mengendornya plica vocalis akan menentukan tinggi
rendahnya nada.
Gambar 4. Bentuk laring saat respirasi dan fonasi
2.2 Laringitis
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah
laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi
baik akut maupun kronik. Hampir setiap orang dapat terkena laringitis, biasanya
berkaitan dengan infeksi virus pada traktus respiratorius bagian atas. Akan tetapi
inflamasi tesebut juga dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Berdasarkan
10
hasil studi laringitis terutama menyerang pada usia 18-40 tahun untuk dewasa
sedangkan pada anak-anak umumnya terkena pada usia diatas 3 tahun.
2.2.1 Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan
oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus
dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae. Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rhinofaringitis (common cold). Pada anak laringitis akut ini dapat menimbulkan
sumbatan jalan napas, sedangkan pada dewasa tidak secepat pada anak.
Penyebab lain dari laringitis akut, antara lain: karena perubahan musim/
cuaca, pemakaian suara yang berlebihan, trauma, bahan kimia, merokok dan
minum-minum alkohol dan alergi.
Gejala dan tanda pada laringitis akut terdapat gejala radang umum,
seperti demam, malaise, serta gejala lokal, seperti suara parau sampai tidak dapat
bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau berbicara, serta gejala
sumbatan laring. Selain itu terdapat gejala batuk kering dan lama kelamaan
disertai dengan dahak kental.
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, membengkak,
terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya terdapat juga tanda radang akut di
hidung atau sinus paranasal atau paru-paru.
11
2.2.2 Laringitis Kronis
Laringitis kronis adalah inflamasi pada laring yang lebih dari 3 minggu.
Penyebab paling sering adalah sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip
hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan
suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.
Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan
kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi skuamosa. Gejalanya ialah
suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering
mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal. Pada
pemeriksaan tampak mukosa menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis.
Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dilakukan
biopsi.
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring
serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien
diminta untuk tidak banyak bicara (vocal rest).
2.3 Laringitis TB
2.3.1 Definisi
Termasuk ke dalam penyakit tuberkulosi ekstrapulmoner dan salah satu
laringitis kronis spesifik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosa.
2.3.2 Etiologi
Mycobacterium tuberculosa merupakan kuman penyebab TB laring yang
merupakan kuman basil tahan asam. Robert Koch pada tahun 1882 menemukan
12
kuman ini tidak membentuk eksotoksin maupun endotoksin dan fraksi protein
akan menyebabkan nekrosis pada jaringan, sedangkan fraksi lemak bersifat tahan
asam dan merupakan faktor penyebab fibrosis, terbentuknya tuberkuloid, serta
tuberkel.
Mycobacterium tuberculosa berukuran 2 sampai 4 mikrometer dan dapat
tumbuh subur pada pO2 140mmHg. Kuman dilepaskan ke udara ketika seseorang
berbicara, bersin, atau batuk. Untuk droplet partikel kuman berukuran yang
berukuran >5-10 mikrometer dapat tersebar dalam radius 1,5 meter. Apabila
terhirup, kuman akan dibersihkan oleh silia saluran pernafasan bagian atas. Pada
kuman dengan ukuran <5mikrometer akan menembus jauh ke dalam bronkiolus,
sehingga dapat menimbulkan suatu proses infeksi.
2.3.3 Patogenesis
Patogenesis TB dapat menular melalui inhalasi droplet yang dihirup
seseorang dan dapat menembus sistem mukosiliar saluran pernafasan atas dan
diteruskan ke organ paru. Kuman Mycobacterium tuberkulosis dapat
menimbulkan gejala pada seseorang berdasarkan beberapa faktor, diantaranya
virulensi dan jumlah kuman dalam tubuh serta daya tahan tubuh manusia itu
sendiri.
Bebeberapa teori yang menyebabkan terjadinya kontaminasi laring oleh
kuman Mycobacterium tubeculosa, diantaranya:
1. Teori bronkogenik
Dimana laring mengalami infeksi melalui kontak langsung dari sekret atau
sputum yang kaya kuman Mycobacterium tubeculosa, baik pada cabang
13
bronkus atau pada mukosa laring. Dengan kata lain laring mengalami
gangguan seiring dengan kelainan yang terjadi di paru. Suatu penelitian
melaporkan lokasi lesi pada laring paling sering terjadi pada bagian posterior
laring berupa edema, granuloma, hiperplasia reaktif, ulserasi, dan tuberkel
epiteloid.
2. Teori hematogenik
Pada teori ini kelainan hanya terjadi di laring dan tidak memperlihatkan
kelainan pada paru. Kuman Mycobacterium tubeculosa menyebar melalui
darah dan sistim limfatik, dan beberapa penelitian membuktikan lesi pada
laring paling sering ditemukan pada epiglotis dan bagian anterior laring berupa
edema polipoid, hiperplasia, dan ulserasi minimal.
Infeksi awal pada subepitelial berupa gambaran fase inflamasi akut difus
seperti hiperemis, edema, dan infiltrasi sel-sel eksudat. Kemudian terbentuknya
granuloma tuberkel yang avaskuler pada jaringan submukosa dengan daerah
perkijuan yang dikelilingi sel epiteloid pada bagian tengah dan sel mononukleus
pada bagian perifer. Tuberkel yang berdekatan bersatu hingga mukosa di atasnya
meregang atau pecah dan terjadi ulserasi.
Ulkus yang timbul membesar, biasanya dangkal dan ditutupi oleh perkijuan
dan dirasakan nyeri oleh penderita, dan bila ulkus semakin dalam akan mengenai
cartilago laring sehingga terjadi perikondritis atau kondritis terutama cartilago
aritenoid dan epiglotis. Kerusakan tulang rawan yang terjadi mengakibatkan
terbentuknya nanah yang berbau dan selanjutnya akan terbentuk sekuester. Pada
stadium ini keadaan penderita sangat buruk dan dapat berakibat fatal.
14
2.3.4 Gejala Klinis
Secara klinis, laringitis TB terdiri atas 4 stadium, yaitu:
1. Stadium inflitrasi
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis ialah mukosa
laring bagian posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini
mukosa laring berwarna pucat. Kemudian di daerah sub-mukosa terbentuk
tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna
kebiruan. Tuberkel itu makin membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan
bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat
meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus.
Gambar 5. Stadium infiltrasi
2. Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan serta dirasakan sangat nyeri oleh pasien.
15
Gambar 6. Stadium ulserasi
3. Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring dan yang paling
sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi
kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
melanjut dan terbentuk sekuester (squester). Pada stadium ini keadaan umum
pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka
proses berlanjut dan masuk dalam stadium terakhir yaitu stadium
fibrotuberkulosis.
4. Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara dan subglotik.
16
Gambar 7. Stadium fibrotuberkulosis
2.3.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan laring dapat terlihat mukosa yang
udem, hiperemis dan difus pada sepertiga posterior laring atau terlihat lesi
eksofitik granular yang menyerupai gambaran suatu karsinoma. Auerbach dan
Bailey seperti yang dikutip Chi Wang dkk menyatakan lesi yang terjadi pada
laring berupa ulkus yang multipel dan tersebar, serta lesi hipertrofi pada laring.
Kelainan laring pada penderita TB laring menunjukkan gambaran lesi
putih pada mukosa (38,5%), terdapat ulkus (13,50%), massa granulomatosa
(13,50%), peradangan nonspesifik (26,9%), terdapatnya semua gambaran klinis
(53,8%), dan tidak ada pergerakan pita suara (11,5%). Pada kasus tidak terdapat
pergerakan pita suara yang terjadi bilateral diperlukan tindakan trakeostomi untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas atas.
17
Pemeriksaan radiologi. Gambaran radiologi berupa infiltrasi pada daerah
apikal, lesi fibrokalsifikasi, terdapat kavitas, adanya gambaran granuloma-
nodular, atau terdapat gambaran opak pada lapangan paru.
Pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis merupakan
pemeriksaan untuk diagnosis pasti TB, namun tidak semua penderita TB
mempunyai pemeriksaan bakteriologis positif. Bilasan bronkus, jaringan paru,
cairan pleura, cairan serebrospinal, urin, feses, dan jaringan biopsi dapat
digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis dengan menggunakan pewarnaan
Ziehl Nielsen, selain pemeriksaan pada sputum.
Pemeriksaan biakan kuman. Biakan kuman Mycobacterium tubeculosa
pada sputum memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan. Hasil positif pada biakan kuman penderita TB memiliki tingkat
keakuratan yang cukup tinggi 84,6%.
Pemeriksaan histopatologi. Biopsi laring menjadi standar baku emas pada
TB laring ataupun keganasan laring, walaupun pemeriksaan sputum dan rontgen
toraks sudah cukup membantu. Gambaran mikroskopis pada TB memperlihatkan
suatu kelompok sel epitel numerous dan sel Giant Langhans multipel dengan
menggunakan pewarnaan HE, sedangkan basil tahan asam akan terlihat dengan
pewarnaan Ziehl Nielsen. Pemeriksaan uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat
bantu diagnostik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah timbulnya reaksi
hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein akibat terjadinya suatu proses infeksi di
dalam tubuh.
18
Pada TB laring yang disertai pembesaran kelenjar getah bening, dapat
dilakukan pemeriksaan histopatologi biopsi aspirasi jarum halus.
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
b. Gejala dan pemeriksaan klinis
c. Laboratorium
d. Foto rontgen thoraks
e. Laringoskopi langsung/tak langsung
f. Pemeriksaan patologi anatomi
2.3.7 Diagnosa Banding
Diagnosis Banding TB laring sulit dibedakan dengan gambaran karsinoma
laring, untuk itu perlu ketepatan diagnosis dan pemeriksaan penunjang dalam
menegakkan diagnosis secara pasti.
Ling, Zhou, dan Wang melaporkan bahwa TB laring sering salah diagnosis
dengan keganasan laring (42,9%), polip pita suara (21,4%), papiloma laring
(14,3%), epiglositis akut (14,3%), dan kista pita suara (7,2%).11 Beberapa
diagnosis banding lainnya yaitu sifilis, sarkoidosis, granulomatosis Wagener’s,
dan infeksi jamur.
2.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Pemberian OAT pada TB bertujuan menurunkan mata
rantai penularan, mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan
mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT.
19
American Thoracic Society (ATS) menyatakan prinsip pengobatan TB
ekstrapulmonal tidaklah berbeda dengan TB pulmonal, termasuk pengobatan
untuk TB laring. Pada kasus-kasus TB dengan penyulit terdapat perbedaan dari
dosis, waktu pengobatan, dan kombinasi obat, seperti TB meningitis, TB tulang,
yang memiliki penanganan berbeda.
Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar yang dipakai untuk
pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal secara umum. Dosis OAT
adalah dosis individual yang sesuai dengan berat badan.
Evaluasi keteraturan berobat merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan dalam pengobatan TB. Ketidakteraturan konsumsi obat akan
menyebabkan timbulnya masalah resisten multi obat (Multi Drug Resistance/
MDR). Selain tidak teraturnya konsumsi obat, faktor HIV dan faktor kuman juga
dapat menyebabkan MDR.
Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2 minggu.6 Suara
serak yang terjadi karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan, namun
pergerakan pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat bersifat menetap. Yelken
melaporkan respon OAT terhadap laring cukup baik rata-rata 2 bulan dimana
sebagian kasus lesi yang terjadi sebelumnya tidak terlihat lagi.
Pemberian kortikosteroid pada kasus-kasus dengan fiksasi pita suara dapat
diberikan untuk mencegah fibrosis yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas
atas. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB di Indonesia,
menyatakan kortikosteroid tidak memberikan peranan penting pada TB laring.
20
yang disertai faktor-faktor penyulit, seperti pada TB milier, TB meningitis, TB
dengan efusi pleura, dan TB disertai sepsis dan keadaan umum yang buruk.
Tabel 1. Dosis dan efek samping dari obat anti tuberkulosis lini pertama
Nama Obat Dosis Harian Efek SampingIsoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
4-6 mg/kgBB (max. 300 mg)
8-12 mg/kgBB (max 600 mg)
20-30 mg/kgBB
15-18 mg/kg
15-20 mg/kg
Hepatitis, neuropati perifer, kulit memerah, demam, agranulositosis, ginekomastia
Hepatitis, gangguan pencernaan, demam, kulit memerah, trombositopenia, nefritis interstitial, sindrom flu
Hepatitis, hiperurisemia, muntah, nyeri sendi, kulit memerah
Ototoksik, nefrotoksik Neuritis retrobulbar, nyeri sendi, hiperurisemia, neuropati perifer
2.3.9 Komplikasi
Komplikasi penyebaran kuman Mycobacterium tubeculosa secara limfogen
atau hematogen dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
akibat meluasnya penyebaran fokus primer ke bagian tubuh lain. Komplikasi di
paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi pleura, empiema,
endobronkitis, atelektasis, penyebaran milier, dan bronkiektasis.
Selain komplikasi yang terjadi di paru, komplikasi di laring dapat terjadi,
diantaranya stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis, subglotis
stenosis, gangguan otot laring, dan pararalisis pita suara ketika krikoaritenoid atau
21
nervus laringeal rekuren mengalami trauma dan memerlukan tindakan bedah
untuk menanggulanginya.
22
BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis yang biasanya mengenai paru-paru (TB pulmoner)
tetapi dapat juga mengenai organ selain paru-paru (TB extrapulmoner)
diantaranya, kelenjar getah bening, otak, tulang temporal, rongga sinonasal,
hidung, mata, faring, kelenjar liur, dan termasuk salah satunya adalah laring.
Gejala klinis yang muncul pada psien laringitis TB dapat berupa suara
serak, yang diikuti nyeri menelan dan sukar menelan, pada beberapa kasus disertai
batuk dan stridor yang disebabkan obstruksi jalan nafas akibat lesi yang hipertrofi
atau fiksasi dari krikoaritenoid.
Diagnosis laringitis TB dapat ditegakkan berdasarkan, anamnesis, gejala
dan pemeriksaan klinis, laboratorium, foto rontgen thoraks, laringoskopi
langsung/tak langsung, serta pemeriksaan patologi anatomi.
Prinsip pengobatan TB ekstrapulmonal tidaklah berbeda dengan TB
pulmonal, termasuk pengobatan untuk TB laring. Evaluasi keteraturan berobat
merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pengobatan TB.
23