LAPORAN KASUS
GASTROENTERITIS dengan DEHIDRASI
SEDANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
LAB IPD RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KANJURUHAN KEPANJEN
MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
1
Penyakit diare atau gastroenteritis merupakan suatu penyakit penting disekitar
masyarakat yang masih merupakan sebab utama kesakitan dan kematian
seseorang terutama pada anak.Hal ini tercemin banyak orang yang menderita
penyakit diare atau gastroenteritis yang masuk keluar dari Rumah Sakit.Akibat
dari penyakit diare banyak faktor diantaranya kesehatan lingkungan, higene
perorangan, keadaan gizi, faktor sosial ekonomi, menentukan serangan penyakit
diare, walaupun banyak kasus diare yang mengalami dehidrasi namun banyak
yang meninggal bila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang tepat.
Masyarakat pada umumnya selalu menganggap suatu hal penyakit diare
adalah sepele, sedangkan jika mengetahui yang terjadi sebenarnya banyak
penderita diare yang mengalami kematian.Penyakit gastrointeritis merupakan
penyakit yang harus sege ra ditangani karena dapat mengalami dehidrasi berat
yang mengakibatkan syok hipovolemik dan mengalami kematian.
Masalah pada penyakit gastrointeritis atau diare yang dapat mengakibatkan
kematian berupa komplikasi lain dan masalah lain yang berkaitan dengan diare
belum sepenuhnya ditanggulangi secara memadai, namun berbagai peran untuk
mencegah kematian yang berupa komplikasi dan masalah lain seperti pelayanan
kesehatan yang baik dan terpenuhi, dalam mencegah penyakit diare dengan
memberikan pendidikan kesehatan kepada semua warga masyarakat tentang
penyakit gastroenteriritis serta peran keluarga dan warga sekitarnya sangat
mendorong turunnya terjadinya penyakit gastroenteritis karena dari keluargalah
pola hidup seseorang terbentuk. Dengan pola hidup yang sehat dan bersih dapat
mencegah terjadinya penyakit gastrointeritis.
2
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus gastroenteritis dengan dehidrasi sedang di
ruang Penyakit Dalam kelas III RSUD Kanjuruhan Kepanjen.
BAB II
STATUS PENDERITA
3
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. R
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Pakisaji
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal periksa : 19 Mei 2011
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Mencret
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD kanjuruhan dengan keluhan mencret
selama seharian ini. Dalam satu hari, pasien mencret lebih dari 5 kali.
Mencret berwarna kuning dengan konsistensi cair, terdapat lendir dan
tidak ada darahnya. Selain itu, pasien juga mengeluh mual (+) dan
muntah (+). Pasien mengaku bahwa yang dimuntahkan itu adalah
makanan dan minuman yang sudah ditelannya. Dalam satu hari, pasien
muntah lebih dari 5 kali. BAK jarang dan sedikit. Pasien juga
mengeluh, perutnya terasa kembung dan nyeri serta seluruh badannya
terasa lemas. Pasien juga merasa kehausan dan lidahnya terasa kering.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Disangkal
4
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak terdapat anggota keluarga dengan riwayat penyakit
yang sama dengan pasien.
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat minum alkohol (-)
- Riwayat minum jamu-jamuan (-)
- Jarang mencuci tangan sebelum makan (+)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak gelisah, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi
kesan cukup.
2. Tanda Vital
Tensi : 70/60 mmHg
Nadi : 100 x / menit
Pernafasan : 20 x /menit
Suhu : 39,5 oC
3. Kulit
Turgor kulit lambat (+) , ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie
(-), spider nevi (-).
4. Kepala
5
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-),
atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan
mimic wajah / bells palsy (-).
5. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata terlihat agak cekung.
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
7. Mulut
Bibir pucat (-), mukosa bibir kering (+), bibir cianosis (-), gusi
berdarah (-).
8. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
10. Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-),
spider nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).
Cor :
6
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri bawah : SIC V 1 cm medial Linea Medio
Clavicularis Sinistra
batas kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
pinggang jantung : SIC III Linea Para Sternalis Sinistra
(batas jantung terkesan normal)
Auskultasi: Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-)
Dinamis (depan dan belakang)
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sedikit agak cembung
7
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), hepar tidak teraba,
pembesaran lien (-).
Perkusi : tympani
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
13. Ektremitas
Palmar eritema (-/-)
akral dingin Oedem
- -
- -
- -
- -
14. Sistem genetalia: dalam batas normal.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
DL : Tanggal 20 Mei 2011 :
Hb 15,0
Hitung leukosit 27.290
8
Hitung jenis 1/-/5/86/3/5
LED 8
GDS 56
DL : Tanggal 20 Mei 2011
SGOT 59
SGPT 43
Ureum 62
Kreatinin 3,06
FL : Tanggal 21 Mei 2011:
Makroskopis
Warna : coklat
Konsistensi : cair
Darah : (-)
Lendir : (+)
Mikroskopis
Eritrosit : (-)
Leukosit : (-)
Amuba : (-)
Telur : (-)
Sisa makanan: (-)
Larva : (-)
Bakteri : (+)
Lain-lain : (-)
9
E. RESUME
• Berdasarkan anamnesa didapatkan:
Pasien datang ke IGD RSUD kanjuruhan dengan keluhan mencret selama
seharian ini. Dalam satu hari, pasien mencret lebih dari 5 kali. Mencret
berwarna kuning dengan konsistensi cair, terdapat lendir dan tidak ada
darahnya. Selain itu, pasien juga mengeluh mual (+) dan muntah (+).
Pasien mengaku bahwa yang dimuntahkan itu adalah makanan dan
minuman yang sudah ditelannya. Dalam satu hari, pasien muntah lebih
dari 5 kali. BAK jarang dan sedikit. Pasien juga mengeluh, perutnya terasa
kembung dan nyeri serta seluruh badannya terasa lemas. Pasien juga
merasa kehausan dan lidahnya terasa kering.
• Berdasarkan Pemeriksaan fisik didapatkan:
Mata terlihat agak cekung (+), mukosa bibir kering (+), pemeriksaan
auskultasi pada abdomen didapatkan adanya bising usus yang meningkat,
Turgor kulit lambat (+).
Berdasarkan Pemeriksaan penunjang didapatkan:
Darah lengkap ↑ ureum-kreatinin azotemia pre renal due to
GEDS (dehidrasi (+))
Darah lengkap leukositosis, LED ↓ infeksi bakterial due to
GEDS
Darah lengkap hipoglikemi
Feses lengkap GEDS cc infeksi Bakteri +
10
F. DIFFERENTIAL DIAGNOSA
Cholera
E.coli
G. DIAGNOSIS
Gastroenteritis dengan dehidrasi sedang
H. PENATALAKSANAAN
1. Non Medika mentosa
a. Edukasi tentang penyakitnya
b. Tirah baring
2. Medikamentosa
IVFD : Infus RL 40 tpm
Cefotaxime 3x1
Metronidazole 3x1
Ranitidin 2x1
Metoclorpramid 3x1
Ciprofloxacin 2x1
New diatabs 2 tablet/BAB
I. FOLLOW UP
Nama : Tn. R
Diagnosis : Gastroenteritis dengan dehidrasi sedang
Tabel flowsheet penderita
11
No Tanggal Vital sign Keluhan Rencana
1 91-5-2011 T : 90/60
RR: 21 x/menit
N : 100 x/menit
S : 39,2 0C
muntah-muntah (+)>
5x, mencret (+) > 5x,
nyeri perut, badan terasa
lemas
RL 40 tpm
Cefotaksim 3x1
Metronidazole 3x1
Ranitidine 2x1
Metoclorpramid 3x1
Ciproflokxacin 2x1
New Diatabs 2 tab/BAB
2 20-5-2011 T : 70/50
RR: 18 x/menit
N : 74 x/menit
S : 37,2 0C
muntah-muntah (+) tapi
sedikit berkurang,
mencret (+) juga sedikit
berkurang,masih sedikit
lemes.
Guyur RL I fl monitoring
TTV jika TD > 90 RL 20
tpm.
Terapi dilanjutkan
3 22-5-2011 T : 110/60
RR: 18 x/menit
N : 76 x/menit
S: 36,5 0C
sudah tidak mual dan
muntah, mencret (-)
sudah mau makan dan
minum walaupun masih
sedikit
Terapi dilanjutkan
TINJAUAN PUSTAKA
GASTROENTERITIS AKUT dengan DEHIDRASI SEDANG
A. Pendahuluan
12
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang
dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14
hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Infeksi diare dapat disebabkan oleh
Virus, Bakteri, dan Parasit.
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak
dalam waktu yang singkat.
Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya
dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare
infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne
infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp,
Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
13
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali
setiap tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan
diare 3 kali setiap tahun.
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan,
Denpasar, Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001
penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp,
Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter
Jejuni, V. Cholera non-01, dan Salmonella paratyphi A.
B. Epidemiologi
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika
Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien
pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk
sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi
setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut
setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Bila angka itu diterapkan di
Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per
tahun. Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare
14
didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita
rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli,
dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella
dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri,
Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien
diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman
terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS,
merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi
untuk diare infeksi.
C. Patofisiologi
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi
diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi
bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan
diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan
abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,
tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara
makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.
Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala
15
dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat
cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan
leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas.
Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan
osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare.
Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau
akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy,
inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
16
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan
mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu
bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat
mengatasi pertahanan mukosa usus.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel.
Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor
antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di
bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat
pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
17
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel
epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi
inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat
dilepaskannya mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif
lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan
kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti
demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat
invasif misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang
dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman
EPEC serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus.
Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan
merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP
intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus
serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
18
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di
pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik
aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe
1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-
HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan
penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat
antisekretorik pada enterosit.
D. Diagnosis
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan
pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan
riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat
pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri
baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1.
19
Manifestasi Klinik
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah
dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di
badan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan
cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi
20
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang
isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas
berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan
lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada
keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard
juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-
ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal
menurun dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan
timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat
tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis
metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah
dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi
ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang
menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
21
Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung
leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik
infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus
diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi
patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan
kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah
laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan
netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip
palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin
feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia
secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp,
yang dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita
diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses
atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang
nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan
cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum,
kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan
22
radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak
membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.
Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri
1. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan
makanan yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada
makanan yang tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin
stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan
nyeri abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam
sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah
putih tidak terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit
kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan
antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang
ditelan.
Bacillus cereus
23
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk
spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan
diare, dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali
berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah
asupan makanan terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang
abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi
oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob,
membentuk spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan
makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala
berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-produk daging
yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian
diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini
akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih
dari 105 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa
keracunan makanan C perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan
tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya
tidak diperlukan. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
24
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma
dan menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian
dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin
kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan
meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan.
Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara
cepat menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien
kekurangan elektrolit dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah
yang signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan.
Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus
yang parah memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya
diare. Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau
doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan
pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan
menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral
25
memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin
parenteral.
Escherichia coli patogen
E coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong.
Mekanisme patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa.
Ada beberapa agen penting, yaitu :
1) Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2) Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3) Enteroadherent E. coli (EAEC).
4) Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5) Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami
gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen.
Diare berat jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali
atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5
hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi
sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih. Lekositosis
sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit
self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli,
lekosit feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada
lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan
pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
26
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare
dihindari pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap
trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3
hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan mempersingkat
penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari
pada diare yang berhubungan dengan EHEC.
2. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan
respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari
demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses
berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada
orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap
selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis
ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk
gejala pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan
Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat
terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.
27
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah
merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan
sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,
tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari.
Terapi antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya
penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik
yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan
di Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella
typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala
demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang
abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya
kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih
se. Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering
ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi
adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat
meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi
komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun),
28
immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau
norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin
generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi
oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab
demam tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam
panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi
sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan
memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan
terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem
retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan
Peyer pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan
ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan
gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-
14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri
abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi.
50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi
29
splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan
kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi
pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk
terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah
positif pada 90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis.
Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama
jangka waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis
kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh
dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2
minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering
kambuh dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan
flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi
sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10
hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14
hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang
rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
30
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C.
Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised..
Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari
asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72
jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90%
pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala
lain yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise.
Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur
feses dapat ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif
terhadap eritromisin dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih
kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau
pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi
antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral
selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus
telah dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi
individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan
31
membuat kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan
koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak memperpendek
berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau diare
lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan
sesuai dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme
tersebut menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin
labil. Terminal ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat,
walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen,
yang dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau
eritema multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien
terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis
ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri
berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik
tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang
parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon
nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah
ini terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus
terjadi 7-10 hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi.
32
EHEC dapat merupakan penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157
: H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic Uremic
Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC) telah meneliti
bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut
atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang
menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan
kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat
(hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi
berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang biasa
terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan
abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran
kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi.
Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya
lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit <
30%), trombositopenia (<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20
mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari
setelah terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-
anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti diare.Penggunaan
antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS
akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke
33
penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa
proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi
lebih jarang dari pada HUS. Jika tersangka EHEC, harus dilakukan
kultur feses E. coli. Serotipe biasanya dilakukan pada laboratorium
khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal
dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau
resiko komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang
menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan
antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat
memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Aeromonas menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin,
enterotoksin, dan sitotoksin. Gejala diare cair, muntah, dan demam
ringan. Kadang-kadang feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam
7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang
atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia,
termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien
immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim
sulfametoksazole.
Plesiomonas
34
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik
fakultatif. Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang
mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala
paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare
berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa
ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan
antibiotik adalah tritoprim sulfametoksazole.
E. Penatalaksanaan
I. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan
dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang
tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi
intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri
dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium
klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara
komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan
dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok
teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1
cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.
35
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline
normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium
sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik
dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi
oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar
dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara
:
BD plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor:
36
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter
15
Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan
cairan:
Cara I :
Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari
berat badan saat itu.
Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan
mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau
sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg
pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
37
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :
Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :
Na1 = Kadar Natrium plasma normal;
BW1 = Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria
dan 50% untuk wanita ;
Na2 = Kadar natrium plasma sekarang ;
BW2 = volume air badan sekarang.
Dibawah ini cara menentukan tingkatan dehidrasi, menurut WHO derajat
dehidrasi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
a. Dehidrasi ringan : BB turun 5%
b. Dehidrasi sedang : BB turun 8 %
c. Dehidrasi berat : BB turun > 10 %
CARA MENILAI DEHIDRASI (WHO, 1992)
GEJALA DAN TANDA
TAK DEHIDRASI
DEHIDRASI TAK BERAT
DEHIDRASI BERAT
1. Keadaan Umum
Baik Rewel, gelisah, lemah. Apatis, tidak sadar
2. Mata Tidak cekung Cekung & kering Sangat cekung,
3. Air Mata Jika menangis masih ada
Jika menangis tidak ada
Jika menangis tidak ada
4. Bibir Tidak kering Kering Sangat kering
5. Rasa Haus Tidak merasa haus
Haus sekali, jika diberi minum rakus.
Tidak bisa minum
38
6. Cubitan Kulit
Jika dicubit cepat kembali
Jika dicubit kembali lambat
dicubit kembali sangat lambat.
PRINSIP PENATALAKSANAAN DIARE
1. Mencegah terjadinya dehidrasi
2. Mengobati Dehidrasi
3. Memberi makanan
4. Mengobati masalah lain
CARA MELAKUKAN REHIDRASI
DERAJAT
DEHIDRASIKELOMPOK
USIAJENIS
CAIRANVOLUME ml/kg BB
WAKTU
RINGAN Semua kelompok
Oral 50 Tiap 4 jam
SEDANG Semua kelompok
Oral 70 Tiap 4 jam
BERAT Anak Intra vena 70 Tiap 3 jam
BERAT dan SYOK Semua kelompok
Intra vena 70 – 100 Tiap 4 jam
II. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
39
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi
antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.
III. Obat anti diare
Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase
sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi
akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama
hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula
digunakan lebih aman pada anak.
Kelompok opiat
40
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg
3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari.
Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan
absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi
frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman
dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan
gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius
atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar
kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan
konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau
diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran
41
cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan
reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.
F. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia
dan asidosis metabolik.
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul
Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak
adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
42
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya
setelah infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya
menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien
menderita kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk
mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan
Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui. Artritis pasca infeksi dapat
terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena Campylobakter,
Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
G. Prognosa
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya
sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti
kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan
pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare
infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2
% yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.
H. Pencegahan
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan
hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia. Karena makanan dan air
43
merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian khusus.
Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang
digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan
tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau
atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika
berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah
manusia atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk
pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus
dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh
dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel
yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh
dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang
tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral
kini tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin
oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin
tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek
samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya
memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin
44
tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4
kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.
45
BAB III
PENUTUP
Telah dilaporkan laporan kasus seorang penderita Tn.R, Perempuan, 32
tahun dengan diagnosis Gastroenteritis dengan dehidrasi sedang, telah dirawat di
ruang Penyakit Dalam kelas III RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN dari
tanggal 19 Mei - 23 Mei 2011. Pasien datang ke IGD RSUD kanjuruhan dengan
keluhan mencret. Selain itu, pasien juga mengeluh mual (+) dan muntah (+).
Setiap kali makan, pasien pasti merasa mual dan kemudian muntah. Pasien
mengaku bahwa yang dimuntahkan itu adalah makanan dan minuman yang sudah
ditelannya. BAK jarang dan sedikit. Pasien juga mengeluh, perutnya terasa
kembung dan nyeri serta seluruh badannya terasa lemas. Pasien juga merasa
kehausan dan lidahnya terasa kering. Hasil Pemeriksaan laboratorium didapatkan
adanya infeksi Bakteri.
Pasien diperbolehkan pulang pada tanggal 23 Mei 2011.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the
Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases
2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition.
New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik
Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-
01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management
of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology
2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med
Hyg 2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
47
ketiga. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI ;1996. 451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea).
Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi
Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi.
Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 – 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan
Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from
http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit
Dalam FK UI, 2001. 49-56.
48
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew
WL, Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors.
Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy
Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-
hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.
49