BAB 1
PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Demam Dengue
telah meningkat dengan faktor (by a factor of) 30 selama 50 tahun terakhir. Insidens
Demam Dengue terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban,
menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan
sekitar 30.000 kematian terutama anak anak. Penyakit ini endemik di 100 negara
termasuk Asia. Dengan pemanasan global (Global Warming) dalam mana “biting
rate” perilaku menggigit nyamuk meningkat maka akan terjadi perluasan dan eskalasi
kasus Demam Dengue. Pemanasan global dan perubahan lingkungan merupakan
variabel utama penyebab meluasnya kasus kasus Demam Berdarah di berbagai
belahan dunia.1,2
Di Indonesia, jumlah kasus Demam Berdarah cenderung meningkat dari tahun
ke tahun. Meningkatnya angka demam berdarah di berbagai kota di Indonesia
disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Indonesia merupakan salah satu negara endemik Demam Dengue yang setiap
tahun selalu terjadi KLB di berbagai kota dan setiap 5 tahun sekali terjadi KLB besar
1,3
Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 di
tahun 1968 menjadi 35,19/100.000 penduduk pada tahun 1998,1,2 namun angka
kematian menurun dari 41,3% di tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008.3
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD). Sejak
tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ vital yang
1
mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal
(atypical), dan sering berakibat fatal. Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004
mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan
susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan
kondisi yang memperberat.
Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan
bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai
komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan
manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya
bervariasi dari 0,5-20,9%. Laporan kasus ini dibuat untuk membahas keterlibatan
susunan saraf pusat (SSP) dan organ liver akibat infeksi virus dengue.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
An. L yang berumur 10 Bulan berjenis kelamin perempuan dibawa ke IGD
dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi sejak siang
hari SMRS. Sebelumnya ibu pasien menjelaskan bahwa pasien panas badan yang
dirasakan sejak hari kamis sore ( PHK-5). Pasien juga mual dan muntah sejak hari
kamis, muntah cair sebanyak 4 kali, muntah yang terakhir berwarna kehitaman.
Pasien juga mencret sebanyak 3 kali sejak hari jumat dengan warna kehitaman seperti
petis. Buang air kecil warna biasa, namun volumenya sedikit dan jarang. Mimisan
sejak 1 hari SMRS tapi tidak banyak. Nafsu makan menurun tetapi masih mau
minum susu.
Sebelumnya pasien periksa ke Poli Anak RSM Babat dan dirujuk dengan
diagnosis severe dengue. DSA yang bersangkutan mencurigai bahwa penurunan
kesadaran ini di sebabkan oleh infeksi virus dengue, maka beliau memberikan saran
untuk di rujuk ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Menurut penjelasan
ibunya, pasien ini sebelumnya tidak pernah mengeluh sakit seperti ini. Namun di
sekitar tempat tinggal pasien banyak yang terkena penyakit demam berdarah.
Pasien merupakan anak pertama dan saat ini biaya pengobatan ditanggung
sendiri oleh keluarga dan kesan sosial ekonomi cukup. Riwayat kelahiran pasien :
2700 gr/ Spt B/ lahir di Bidan Desa / langsung menangis. Riwayat imunisasi : pasien
sudah diberikan imunisasi lengkap sesuai usia, namun ibu pasien lupa mengingat
jadwal pemberiannya, dan riwayat nutrisi : ASI selama 2 minggu pertama, kemudian
dilanjut susu formula hingga saat ini.
3
Pada saat di IGD RSML pasien tampak lemah, kesadaran apatis, dan kesan
status gizi kurang. Berat badan pasien 8.5 kg. Suhu tubuh pasien 40ºC, nadi 160 x/mnt
teraba lemah dan cepat. Pemeriksaan kepala dan leher menunjukkan pasien tampak
dispneu, tidak didapatkan anemis, ikterus, cyanosis, maupun pernafasan cuping
hidung. Pada pemeriksaan dada didapatkan pengembangan dada simetris, tidak ada
retraksi, pemeriksaan jantung suara S1S2 tunggal dan tidak ada murmur. Frekuensi
nafas pasien 40 x/mnt dengan pemakaian oksigen nasal canule 2 lpm, dan didapatkan
suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang paru, tanpa adanya suara nafas
tambahan ronki ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen tampak distended, hepar
dan lien tak teraba, turgor kulit cukup, didapatkan ascites, tidak ada meteorismus, dan
bising usus normal. Pemeriksaan ekstremitas hangat kering dan pucat, serta CRT<2
detik. Status gizi pasien gizi normal.
Dilakukan pemeriksaan laboraturium dan Rontgen thorax pada tanggal 24
November 2012. Hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan diffcount
0/0/42/45/13, hematokrit 28.7, hemoglobin 9.9, LED 38/69, leukosit 7200, dan
trombosit 34.00, NS-1 positif, SGOT 1382, SGPT 456, dan gula darah acak 120..
Pemeriksaan Rontgen Thorax menunjukkan adanya efusi pleura dextra.
4
Kesimpulan : efusi pleura dextra
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan
problem list Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) grade III dengan ensefalopati
dengue dan liver involvement. Penatalaksanaan selama dirawat di rumah sakit dengan
pemakaian oksigen nc 2 lpm, IVFD KaEn 1B 850 cc/24 jam, nistatin oral drops, inj
dexamethasone 2 x 1.5 mg, inj Ranitidine 2 x 9 mg iv, inj Metamizole Na 3 x 100 mg
iv, inj ondansentron 4 mg, N-asetilsistein 2 x 5 tetes, Starmuno® 2 x 1 sendok takar,
Urdahex® 2 x 80 mg, sucralfate 3 x ½ sendok takar, drip Cernevit® ½ ampul,
Aminoleban® 75 cc, Colistin® (polymixin) 3 x 250.000 IU po. Pasien dirawat di ICU
selama 3 hari, kemudian dipindah ke ruang perawatan dan dirawat selama 3 hari.
5
L, 5 Bulan
Hari pertama dirawat pasien panas sudah mulai berkurang dan kesadaran
masih menurun. Hasil pemeriksaan hematologis rutin menunjukkan diffcount
0/1/43/31/25, hematokrit 27.5, hemoglobin 9.5, LED 20/45, leukosit 8900, trombosit
32.000.
Pemeriksaan pasien hari kedua, pasien kesadaran pasien mulai membaik.
Kesan umum masih lemah. Hasil pemeriksaan hematologis rutin menunjukkan
diffcount 0/0/48/33/19, hematokrit 23.5, hemoglobin 7.8, LED 20/45, leukosit 7100,
trombosit 59.000, SGOT 1386, SGPT 679. Pasien diperbolehkan keluar ICU dan
pindah ruang perawatan. Pemeriksaan hari ketiga dirawat, pasien sudah sadar. Terapi
dilanjutkan.
Pada hari ke-4 dirawat, pasien sudah sadar dan keluhan lain tidak didapatkan.
Pemeriksaan hematologi rutin : diffcount : 0/0/12/74/14, hematokrit : 23.3,
hemoglobin 7.9, leukosit : 45.800, trombosit : 148.000, SGOT 492, SGPT 512. Hari
kelima dirawat kondisi pasien baik, dan terapi ditambah injeksi ceftriaxone 3 x 250
mg iv dan pasien rencana KRS besok.
Hasil pemeriksaan hematologi rutin hari keenam : diffcount 0/0/78/12/10,
hematokrit 2.6, hemoglobin 8,0, leukosit 25.600, trombosit 147.000, SGOT 347,
6
SGPT 378. Pasien diijinkan KRS dan diberi terapi oral N-aselsistein 2x1, paracetamol
drop 0.8 cc jika panas, cefixime 2 x 25 mg.
Rontgen An. L dengan efusi pleura dextra
BAB 3
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien dibawa ke IGD RSML dengan diagnosis DHF grade III
dengan ensefalopati dan liver involvement akibat virus dengue (kriteria WHO 1997).
Dengan kriteria WHO 2009 diagnosis pasien ini adalah severe dengue with : severe
CNS impairment and liver involvement. Infeksi virus dengue dikonfirmasi dengan
pemeriksaan NS-1 yang positif saat pasien datang ke RSML.
7
Gambar 1. Negara dengan Resiko Transmisi Virus Dengue
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferientiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah dengue
disertai syok (dengue shock syndrome). Manifestasi klinis yang bervariasi
menunjukkan fenomena gunung es dimana DBD dan DSS sebagai puncaknya
sedangkan kasus dengue ringan dan demam dengue merupakan dasarnya,1,2 Perjalanan
penyakit sering sukar diramalkan dimana sebagian kasus dengan renjatan berat dapat
disembuhkan walau hanya dengan pengobatan sederhana sedang sebagian lain datang
dengan kasus ringan tetapi meninggal dunia dalam waktu singkat walau telah
mendapat perawatan dan pengobatan intensif .
8
Gambar 2. Klasifikasi Infeksi Virus Dengue menurut WHO 1997
Dalam waktu lima puluh tahun terakhir, insiden infeksi dengue meningkat
tigapuluh kali dengan peningkatan luas geografi ke negara-negara baru dan terjadi
penyebaran infeksi virus dengue dari daerah perkotaan ke pedesaan. Di Indonesia
angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 di tahun
1968 menjadi 35,19/100.000 penduduk pada tahun 1998, namun angka kematian
menurun dari 41,3% di tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008.
Gambar 2. Klasifikasi Infeksi Virus Dengue menurut WHO 2009
9
Gambar 3. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD).
Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ
vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal
(atypical), dan sering berakibat fatal. Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004
mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan
susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan
kondisi yang memperberat.
Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan
bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai
komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan
manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya
bervariasi dari 0,5-20,9%7-10 Laporan tahun 2003-2006 dari Uttar Pradesh, India
10
mendapatkan 118/563 (20,9%) dengan acute febrile ensefalopati (AFE) dan acute
undifferentiated febrile illness (AUFI) positif antibodi dengue. Selain itu terdapat
laporan pergeseran usia pasien infeksi virus dengue ke usia yang lebih tua, sedangkan
ensefalopati dengue laporannya masih terbatas. Cam dkk mendapatkan semua pasien
ensefalopati dengue yang hidup sembuh sempurna, tetapi berbeda dengan studi oleh
Misra dkk, Kamath dkk, Kumar dkk yang melaporkan gejala sisa dalam studi mereka.
Gambar 4. Manifestasi Atipikal Infeksi Virus Dengue
Tabel 1. Derajat Kerusakan Liver berdasarkan Kadar Serum Transaminase
Grade 0 normal levels of liver enzymes
Grade 1 mild elevation in the liver enzymes, not exceeding the double of
reference value
Grade 2 elevated liver enzymes, with the levels of the enzymes increased
to more than three times the reference values
Grade 3 acute hepatitis, with liver enzymes levels increased to at least 10
times their normal values
Grade 4 evidence of hepatic failure (high PT)or hepato-renal involvement
(high creatinin)
11
Pada pasien didapatkan kadar SGOT 1382 IU dan kadar SGPT 456 IU.
Berdasarkan derajat kerusakan liver, pasien termasuk dalam grade 3, dimana terdapat
peningkatan enzim liver lebih dari 10 x kadar normal. Peningkatan enzim liver
sampai saat ini masih didasarkan atas hipotesis. Di dalam tubuh manusia, virus
berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial, dengan target utama virus dengue
adalah APC ( Antigen Presenting Cells ) di mana pada umumnya berupa monosit atau
makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena.
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT umum terjadi pada infeksi dengue. Hasil
penelitian memperlihatkan peningkatan kadar SGOT dan SGPT serum pada anak
yang mengalami infeksi dengue. Kadar SGOT lebih tinggi daripada SGPT serum.
Kadar SGOT yang lebih tinggi dari SGPT serum membedakan infeksi virus dengue
dengan infeksi lainnya. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Kalayanarooj
dkk, Kuo dkk, dan Lei dkk.
Pada penelitian sebelumnya kadar SGOT dan SGPT serum terlihat jelas
peningkatannya pada DBD dan SSD dibandingkan dengan DD. Pada SSD
peningkatan kadar SGOT dan SGPT serum terjadi karena adanya hipoperfusi hati
diakibatkan syok yang lama. Mohan dkk menerangkan bahwa peningkatan kadar
SGOT dan SGPT serum pada infeksi dengue terjadi oleh karena gangguan fungsi hati
yang bersifat sementara terutama pada DBD dan SSD.
Virus dengue merupakan virus yang bersifat hepatotropik. Apakah kerusakan
hati terjadi akibat efek langsung infeksi virus dengue atau respon host terhadap infeksi
masih belum jelas. Gangguan fungsi hati pada infeksi dengue akan menyebabkan
gangguan faktor pembekuan yang dapat menimbulkan perdrahan masif serta gagal
hati (fulminant liver failure).
12
Pada kasus ini memperlihatkan kadar SGOT serum lebih tinggi dibanding
kadar SGPT serum dengan rasio 2-3:1. Hasil sama dengan penelitian oleh
Kalayanarooj dkk dan berbeda dengan penelitian oleh Lei dkk dengan rasio SGOT
dan SGPT serum 1-1,5 : 1. Pada infeksi virus dengue kerusakan organ diakibatkan
oleh proses iskemia dan hati bukanlah organ utama yang terganggu seperti pada
hepatitis karena virus. Telah dibuktikan bahwa terdapat hubungan kadar SGOT dan
SGPT serum dengan spektrum klinis infeksi dengue. Pada anak dengan infeksi
dengue, semakin tinggi kadar SGOT dan SGPT serum, semakin berat spektrum klinis
penyakitnya.
Tidak ada terapi khusus untuk mengatasi hepatitis akut akibat infeksi virus
dengue ini. Seperti pada pasien ini yang diberikan hanya terapi simptomatis dan
suportif. Pasien diberi terapi N-asetilsitein dengan mengambil efek hepatoprotektor.
Pasien juga mengalami penurunan kesadaran akibat telah terjadi ensefalopati
dengue. Diagnosis ensefalopati dengue berdasarkan diagnosis klinis DHF menurut
kriteria WHO (1997) dengan keterlibatan susunan saraf pusat terdiri dari onset
mendadak hiperpireksia, perubahan kesadaran sementara (gelisah, iritabel atau
koma), nyeri kepala, muntah, dengan atau tanpa kejang, serta profil cairan
serebrospinal (CSS) normal. Semua kriteria memenuhi diagnosis pada pasien, kecuali
profil cairan serebrospinal yang tidak dievaluasi.
Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh syok berat akibat syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan ataupun kelebihan cairan, gangguan metabolisme
seperti sindrom Reye, penggunaan obat hepatotoksik, penyakit hati yang mendasari
seperti karier hepatitis B atau thalasemia, gangguan keseimbangan elektrolit seperti
hiponatremia dan hipokalsemia, hipoksemia, hipoglikemia, perdarahan intrakranial,
edema serebral, gagal hati, atau gagal ginjal.
13
Berdasarkan klasifikasi DBD menurut WHO 1997 didapatkan DBD dengan
syok dan DBD tanpa syok yang mengalami ensefalopati dengue. Pada pasien dengan
DBD tanpa syok, ensefalopati dengue disertai penyakit penyerta seperti diare karena
mempermudah terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme. Studi yang
dilakukan oleh Cam dkk mendapatkan 67% pasien DBD dengan syok.
Laporan Cam dkk mendemonstrasikan kemungkinan dampak neurotropik
langsung virus dengue, pada studi binatang menunjukkan bahwa virus menyebabkan
kerusakan sawar darah otak yang dimediasi oleh sitokin. Studi yang lain mengamati
virus dengue pada CSS (5/6 pasien) dengan ensefalitis menunjukkan bahwa virus
dapat melewati sawar darah otak dan secara langsung menginvasi otak.
Studi postmortem pasien DBD yang meninggal disertai infeksi SSP
menunjukkan lesi yang tidak spesifik, edema, kongesti vaskular dan perdarahan fokal.
Reaksi silang antigen dapat terjadi di antara famili Flaviviridae seperti infeksi
Japanese encephalitis sebelumnya dapat menyebabkan reaksi silang dengan infeksi
dengue, sehingga deteksi keduanya diperlukan pada daerah kedua jenis virus ini
beredar seperti di Indonesia.
Gambar 5. Klasifikasi Hepatik Ensefalopati
Gejala ensefalopati yang lain tidak atau jarang menyertai DBD kecuali kejang.
Hal ini ditunjang dengan studi oleh Cam dkk yang mendapatkan 77,8% pasien
ensefalopati dengue disertai dengan kejang, sedangkan kami hanya mendapatkan 8/20
14
pasien ensefalopati dengue dengan kejang dan lebih banyak pasien dengan perdarahan
saluran cerna.
Keterlibatan fungsi hati sering ditemukan selama infeksi dengue, khususnya
pada pasien DBD, namun pada umumnya ringan dan tidak meningkat lebih dari lima
kali nilai normal. Peningkatan enzim hati pada pasien DBD sering ditemukan dan
dapat merefleksikan gangguan hati, sehingga menyebabkan hepatic encephalopathy
seperti yang dilaporkan banyak penulis. Selain itu kerusakan hati dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi kompleks protrombin, 11/13 pasien. Studi Wichman dkk
mendapatkan perdarahan saluran cerna pada 45% kasus ensefalopati dengue dengan
keterlibatan hati.
Pada pasien dengan manifestasi tidak lazim seperti ensefalopati dengue,
terdapat kemungkinan superimposed infection atau disfungsi organ multipel yang
dicetuskan oleh cedera mukosa saluran cerna lewat translokasi bakteri atau respon
inflamasi sistemik. Pada keadaan ini antibiotik dapat diberikan untuk mengobati atau
mencegah keadaan tersebut.
Gambar 6. Derajat Hepatik Ensefalopati
15
Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa segera
ditukar dengan larutan NaCl (0.9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema
otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg, mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila
perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD enselopati mudah terjadi infeksi bakteri
sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi
ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila obat-obat
tersebut sudah menunjukkan tanda resistan, maka obat ini dapat diganti dengan obat-
obat yang masih sensitive dengan kuman-kuman infeksi sekunder, seperti cefotaxime,
cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat, amoxilline+clavulanat, dan kadang-kadang dapat
dikombinasikan dengan aminoglycoside. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang
tidak diperlukan (misalnya: antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan
atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan transfusi tukar. Pada masa
penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.
Pada pasien ini terjadi hepatik ensefalopati akibat infeksi dengue, yang dikenal
dengan ensefalopati dengue. derajat 3 dimana telah terjadi gangguan kesadaran.
Diberikan terapi polymyxin-B dengan tujuan selain sebagai antibiotik gram negatif,
juga menurut penelitian dapat menurunkan endotoksin dan menekan respon IL-6,
16
serta meningkatkan rasio asam amino rantai cabang dibanding asam amino aromatik
yang banyak tertimbun pada hepatic encephalopathy. Selain itu diberikan
aminoleban® yang mengandung asam amino rantai cabang untuk membantu
mengembalikan jumlah AARC yang menurun. Asam amino aromatik meningkat
karena kita tahu pada hepatitis akut dalam hal ini karena infeksi dengue terjadi
kegagalan deaminisasi di hati. Serta terjadi penurunan AARC akibat katabolisme di
otot dan ginjal. AAA akan bersaing dengan AARC dalam menembus BBB yang
permeabilitasnya terganggu pada hepatic encephalopathy. AAA bersifat toksik bagi
otak, karena mempengaruhi detoksifikasi amonia di otak.
Gambar 7. Kejadian Infeksi Virus Dengue
.
17
18
BB aktual : 8.5 kgBB ideal : 9.8 kg
Status gizi =8.5/9.8 x 100 % =86.73 % GIZI KURANG
BB aktual : 8.5 kgBB ideal : 9.8 kg
Status gizi =8.5/9.8 x 100 % =86.73 % GIZI KURANG
BAB 4
KESIMPULAN
Saat ini pasien diagnosis DHF grade III dengan ensefalopati dan liver
involvement akibat virus dengue (kriteria WHO 1997). Dengan kriteria WHO 2009
diagnosis pasien ini adalah severe dengue with : severe CNS impairment and liver
involvement. Infeksi virus dengue dikonfirmasi dengan adanya hasil NS-1 yang
positif.
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD).
Kasus dengue juga dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ vital yang
mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal
(atypical), dan sering berakibat fatal. Unusual manifestation infeksi virus dengue
berupa keterlibatan susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal,
infeksi ganda dan kondisi yang memperberat.
Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan
bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai
komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan
manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya
bervariasi dari 0,5-20,9%. Keterlibatan organ liver sebagai pencetus ensefalopati
dengue juga mulai diperhitungkan. Seringkali pasien dengan infeksi dengue terjadi
peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Hasil penelitian memperlihatkan peningkatan
kadar SGOT dan SGPT serum pada anak yang mengalami infeksi dengue. Kadar
19
SGOT lebih tinggi daripada SGPT serum. Kadar SGOT yang lebih tinggi dari SGPT
serum membedakan infeksi virus dengue dengan infeksi lainnya.
Keterlibatan fungsi hati sering ditemukan selama infeksi dengue. Peningkatan
enzim hati pada pasien DBD sering ditemukan dan dapat merefleksikan gangguan
hati, sehingga menyebabkan hepatic encephalopathy. Telah dibuktikan bahwa
terdapat hubungan kadar SGOT dan SGPT serum dengan spektrum klinis infeksi
dengue. Pada anak dengan infeksi dengue, semakin tinggi kadar SGOT dan SGPT
serum, semakin berat spektrum klinis penyakitnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi : Demam Berdarah Dengue. Jakarta :
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Rampegan, N.H, Karyanti, M.R., Hadinegoro, S.R. 2010. Ensefalopati Dengue pada
Anak. Sari Pediatri. 12(6) : 419-425.
3. Darajat, A., Sekarwana, N., Setiabudi, D. 2008. Hubungan Kadar Aspartat
Aminotransferase (AST) dan Alanin Aminotransferase (ALT) Serum dengan
Spektrum Klinis Infesksi Virus Dengue pada Anak. Sari Pediatri. 9(5) : 359-362.
4. Gulati, S and Maheshwari, A. 2007. Atypical Manifestation of Dengue. Trop Med Int
Health. 12(9) : 1087-1095.
5. Ageep, A.K, Elgasim, S. 2012. A correlation study between clinical manifestations of
dengue fever and the degree of liver injury. J Microb Antimirobial.4(2) : 45-48.
6. Kanade, T and Shah, I. 2011. Dengue encephlopathy. J Vector Borne. pp.180-181.
7. Deen, J.L, Harris, E., Wills, B. 2006. The WHO Dengue classification and case
definitions : time for a reassessment. Lancet. 368 : 170-73.
8. Soegijanto, S., Budiyanto, Kartika, Taufik, Amor. 2011. Update Management of
Dengue Complication in Pediatric. Int J Infectious Dis. 2(1) : 1-11.
9. Seneviratne, S.L, Malavige, G.N., de Silva, H.J. 2006. Pathogenesis of liver
involvement during dengue viral infections. The Royal Society of Tropical Medicine
and Hygiene. 100 : 608—614
10. Wiwatnitkit, J. 2007. Liver Dysfunction in Dengue Infection, an Analysis of The
Previously Published Thai Cases. J Ayub Med Coll Abbottabad. 19(1) : 10-12.
11. Soegijanto, Soegeng. 2001. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue. Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) –
Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001.
12. Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue. Seminar
Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga.
Surabaya, 12 Mei 2001.
21
13. Souja, L.J. 2007. The Impact of Dengue on Liver Function as Evaluated by
Aminotransferase Levels. . The Brazillian J of Infect Dis.. 207(4) : 407-411.
14. Souja, L.J. 2002. Hepatitis in Dengue Shock Syndrome. The Brazillian J of Infect Dis.
6(6):322-327
15. Seema and Jain, S.K. 2005. Molecular Mechanism of Pathogenesis of Dengue Virus :
Entry and Fusion with Target Cell. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 20 (2)
92-103.
16. Cam BV, Fonsmark L, Hue NB, Phuong NT, Poulsen A, Heegaard ED. Prospective
case-control study of encephalopathy in children with dengue hemorrhagic fever. Am
J Trop Med Hyg 2001; 65: 848-51.
22