LAPORAN PENDAHULUAN
APENDIKSITIS
A. DEFINISI
Apendiksitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada
apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering
ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiksitis sering disalahartikan
dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum.
merupakan peradangan pada apendik verniformis. Apendik verniformis
merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan
panjang 2 – 6 inci. Lokasi apendik pada daerah illiaka kanan, di bawah katup
iliacecal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik Mc Burney.
B. ETIOLOGI
Apendiksitis disebabkan oleh penyumbatan lumen appendik oleh
hyperplasia Folikel lympoid Fecalit, benda asing striktur karena Fibrasi karena
adanya peradangan sebelumnya atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan
mucus yang memproduksi mukosa mengalami bendungan.Namun elastisitas
dinding appendik mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan tekanan intra
lumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
akan menyebabkan edema dan ulserasi mukosa. Apendisitis merupakan infeksi
bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :
1. Hiperplasia dari folikel limfoid
2. Adanya fekalit (masa keras dari feses) dalam lumen appendiks
3. tumor appendiks
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolitica.
Menurut penelitian, etiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan
rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendisitis.
Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.
C. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema dan ulserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus
dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang
dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis
supuratif akut.
Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks
yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding
appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.
Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke
arah appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih
panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan pada orang
tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.
D. PATHWAY
E. KLASIFIKASI
Apendik dapat dibagi atas dua bagian yaitu.
1. Apendisitis Akut : jarang ditemui pada anak dibawah 5 tahun dan orang
tua diatas 50 tahun. Apendicitis akut dapat dibagi atas tiga bagian :
a. Apendicitis acut focalik atau segmentalis
Terjadi pada bagian distal yang meradang seluruh rongga apendiks
sepertiga distal berisi nanah.
b. Apendicitis acut purulenta diffusa
Pembentukan nanah yang berlebihan jika radangnya lebih hebat
dan dapat terjadi mikrosis dan pembusukan yang disebut
appendicitis gangrenous. Pada appendicitis gangrenous dapat
terjadi perfulasi akibat mikrosis kedalam rongga perut dan
mengakibatkan peritonitis.
c. Apendicitis acut traumatic.
Disebabkan oleh karena trauma karena kecelakaan pada operasi
didapatkan tampak lapisan eksudat dalam rongga maupun
permukaan.
2. Apendisitis KroniS
Apendisitis kronis dibagi atas dua bagian antara lain :
a. Appendicitis cronik focalis
Secara mikroskopis nampak fibrosis setempat yang melingkar,
sehingga dapat menyebabkan stenosis.
b. Appendicitis cronik obliterative
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendiks pada jaringan sub
mukosa dan sub serosa, sehingga terjadi obliterasi (hilangnya
lumen) terutama dibagian distal dengan menghilangnya selaput
lender pada bagian tersebut.
F. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu :
1. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen
atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit
ini samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa
kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit
menghilang kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri
menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak
(Tucker Jeffry, 2010).
2. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan (Tucker
Jeffry, 2010).
3. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan
terdapat nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita
hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan
dengan biasanya (Tucker Jeffry, 2010).
4. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin
ditemukan juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak
retrocaecal (Tucker Jeffry, 2010).
5. Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila
posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri
(Tucker Jeffry, 2010).
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh
demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada
titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan
dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau
diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks
melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbar;
bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada
pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks
dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah
otot rektum kanan dapat terjadi. Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan
palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang
terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat
lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien
memburuk.
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik
dan terlihat distensi perut
2. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).
3. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk
menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks
yang meradang terletak di daerah pelvic.
4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks
yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang
meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah
satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%
(Sylvia, 2000).
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan
angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-
Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97% (Sylvia, 2000).
a. Abdominal X-Ray BOF
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG terutama pada wanita dan juga bila dicurigai
adanya abses. Pemeriksaan USG dilakukan bila sudah terjadi
infiltrat apendikularis. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
c. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-
komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki
sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode
diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis kronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa
appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh
fekalit.
d. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi
abses.
3. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik
ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu
juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.
4. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi
appendicitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi
apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi.
I. DIAGNOSIS
Diagnosis apendisitis akut biasanya berdasarkan gejala klinis dan tes
laboratorium. Diagnosis ditegakkan bila memenuhi :
1. Gambaran klinis yang mengarah ke appendicitis seperti Nyeri di sekitar
umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun),
nausea, dan sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu
tubuh ringan
2. Demam lebih dari 37,50C
3. Laboratorium : lekositosis yaitu lekosit > 10.000 /dl biasanya pada
perforasi terdapat pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
4. USG yang mungkin di temukan pada pemeriksaan ini :
a. Lampiran buncit berisi cairan dengan diameter lebih dari 5 mm
b. Ketebalan dinding 3 mm atau lebih besar
c. Tidak adanya gerak peristaltik dan noncompressibility usus buntu
d. Perubahan pericaecal.
e. Massa pada appendix
5. Laporoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium
sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda.
6. CT scan : dilakukan jika di duga terdapat perforasi atau pembentukan
abses karena akan memberikan karakteristik yang yang tepat terhadap
massa inflamasi, luas dan lokasinya.
J. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelamin
1. Pada anak-anak balita
Intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri
divertikulitis hampirsama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda,
yaitu pada daerah periumbilikal.Pada pencitraan dapat diketahui adanya
inflammatory mass di daerah abdomentengah. Diagnosis banding yang
agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut,karena memiliki gejala-
gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual,muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses (Wilkinson, 2006).
2. Pada anak-anak usia sekolah
Gastroenteritis, konstipasi, infark omentum
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan
appendicitis,tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi,
merupakan salah satupenyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada
anak-anak dan gejala-gejalanya dapatmenyerupai appendicitis. Pada infark
omentum, dapat teraba massa pada abdomendan nyerinya tidak berpindah
(Wilkinson, 2006).
3. Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn`s
disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum
dapat membantumenyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit padaskrotumnya (Wilkinson, 2006).
4. Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak
berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing.
Pada PID, nyerinya bilateral dandirasakan pada abdomen bawah. Pada
kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bilaterjadi ruptur ataupun torsi
(Wilkinson, 2006).
5. Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis
banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari
traktusgastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi
ulkus, dankolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan
gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untukdibedakan dengan appendicitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan.Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidakberpindah. Pada
orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkandengan
pemeriksaan laboratorium (Wilkinson, 2006).
K. PENATALAKSANAAN
Tindakan penanganan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik (Craig Sandy, 2010).
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan
drainage (mengeluarkan nanah) (Craig Sandy, 2010).
L. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah
2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada
anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempur na memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.
Hal ini terjadi bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh
omentum (Sylvia, 2000).
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin
hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis (Sylvia, 2000).
M. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam
masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua,
alamat, umur pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orang tua, agama
dan suku bangsa
2. Riwayat Keperawatan
Riwayat kesehatan saat ini
Klien dengan post appendiktomy mempunyai keluhan utama
nyeri yang disebabkan insisi abdomen.
Riwayat kesehatan masa lalu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti
hipertensi, operasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah
masuk rumah sakit, obat-abatan yang pernah digunakan
apakah mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa yang
pernah diderita.
Riwayat penyakit keluarga
Adalah keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama
dialami oleh pasien (diabetes mellitus, hipertensi, gangguan
jiwa atau penyakit kronis lainnya) dan upaya yang dilakukan
beserta genogramnya genogramnya .
Pola fungsi kesehatan (Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual)
- Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup post
appendiktomy akan mempengaruhi pengetahuan dan
kemampuan dalam merawat diri.
- Pola nutrisi dan metabolisme
Klien dengan pre appendiktomy terdapat mual dan
muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, Keluarga
mengatakan saat masuk RS pasien hanya mampu
menghabiskan ⅓ porsi makanan, Saat pengkajian
keluarga mengatakan pasien sedikit minum, sehingga
diperlukan terapi cairan intravena.
- Pola eliminasi
Mengkaji pola BAK dan BAB pasien pre dan post
appendiktomy.
- Pola aktifitas dan latihan
Pasien dengan pre appendiktomy terganggu aktifitasnya
akibat adanya kelemahan fisik, tetapi pasien mampu
untuk duduk, berpindah, berdiri dan berjalan.
- Pola istirahat
Pasien dengan post appendiktomy mengatakan tidak
dapat tidur dengan nyenyak, pikiran kacau, terus
gelisah.
- Pola kognitf dan perseptual (sensoris)
Kondisi kesehatan pasien dengan pre dan post
appendiktomy mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan
dalam menjalankan perannya selama sakit, pasien
mampu memberikan penjelasan tentang keadaan yang
dialaminya.
- Pola persepsi dan konsep diri
Pola emosional pasien pre appendiktomy sedikit
terganggu karena pikiran kacau dan sulit tidur.
- Peran dan tanggung jawab
Keluarga ikut berperan aktif dalam menjaga kesehatan
fisik pasien.
Pola reproduksi dan sexual
- Mengkaji perilaku dan pola seksual pada pasien pre dsn
post appendiktomy.
- Pola penanggulangan stress
Pada pasien pre dan post appendiktomy stres timbul
akibat pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya, pasien merasakan pikirannya kacau.
Keluarga pasien cukup perhatian selama pasien
dirawat di rumah sakit.
- Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka
pasien akan menjadi cemas dan takut, serta kebiasaan
ibadahnya akan terganggu, dimana pasien dan keluarga
percaya bahwa masalah pasien murni masalah medis
dan menyerahkan seluruh pengobatan pada petugas
kesehatan.
Pengkajian riwayat Nyeri
P : Provocating ( pemacu ) dan paliative yaitu faktor yang
meningkatkan atau mengurangi nyeri
Q : Quality dan Quantity
Supervisial : tajam, menusuk, membakar
Dalam : tajam, tumpul, nyeri terus
Visceral : tajam, tumpul, nyeri terus, kejang
R : Region atau radiation ( area atau daerah ) : penjalaran
S : Severty atau keganasan : intensitas nyeri
T : Time ( waktu serangan, lamanya, kekerapan muncul).
Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum
- Sistem kardiovaskuler (mengetahui tanda-tanda vital,
ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan
kelainan bunyi jantung)
- Sistem hematologi (mengetahui ada tidaknya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali)
- Sistem urogenital (ada tidaknya ketegangan kandung
kemih dan keluhan sakit pinggang)
- Sistem muskuloskeletal (mengetahui ada tidaknya
kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi
dan terdapat fraktur atau tidak)
- Sistem kekebalan tubuh (mengetahui ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening)
Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan darah rutin (mengetahui adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi).
- Pemeriksaan foto abdomen (mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan).
Data Subyektif
Sebelum operasi
- Nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut kanan
bawah
- Mual, muntah, kembung
- Tidak nafsu makan, demam
- Tungkai kanan tidak dapat diluruskan
- Diare atau konstipasi
Sesudah operasi
- Nyeri daerah operasi
- Lemas
- Haus
- Mual, kembung
- Pusing
Data Obyektif
Sebelum operasi
- Nyeri tekan di titik Mc. Berney
- Spasme otot
- Takhikardi, takipnea
- Pucat, gelisah
- Bising usus berkurang atau tidak ada
- Demam 38 - 38,5oC
Sesudah operasi
- Terdapat luka operasi di kuadran kanan bawah
abdomen
- Terpasang infuse
- Terdapat drain/pipa lambung
- Bising usus berkurang
- Selaput mukosa mulut kering
b. Diagnosa Keprawatan
1. Pre Operasi
Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis
Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan
infornasi terkait penyakit yang dialami.
Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh
berhubungan dengan
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan aktif : mual,muntah ditandai dengan penurunan turgor
kulit, membran mucus/ kulit kering
2. Post Operasi
Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya
organisme sekunder akibat pembedahan dan masukan
parenteral.
Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme
tubuh.
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan
dengan:
Agen injuri (biologi, kimia,
fisik, psikologis), kerusakan
jaringan
DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan
nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek, sulit
atau gerakan kacau,
menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama ….
Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan
menggunakan manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
Tidak mengalami gangguan tidur
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
Tingkatkan istirahat
- Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang
dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan
tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kurang Pengetahuan
Berhubungan dengan :
keterbatasan kognitif,
interpretasi terhadap
informasi yang salah,
kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-sumber
informasi.
DS: Menyatakan secara
verbal adanya masalah
DO: ketidakakuratan
mengikuti instruksi,
perilaku tidak sesuai
NOC:
Kowlwdge : disease process
Kowledge : health Behavior
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….
pasien menunjukkan pengetahuan tentang proses
penyakit dengan kriteria hasil:
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman
tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program
pengobatan
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan
prosedur yang dijelaskan secara benar
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali
apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan
lainnya
NIC :
Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul
pada penyakit, dengan cara yang tepat
Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang
tepat
Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara
yang tepat
Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
Sediakan bagi keluarga informasi tentang
kemajuan pasien dengan cara yang tepat
Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk
memasukkan atau mencerna
nutrisi oleh karena faktor
biologis, psikologis atau
ekonomi.
DS:
- Nyeri abdomen
- Muntah
- Kejang perut
- Rasa penuh tiba-tiba
setelah makan
DO:
NOC:
a. Nutritional status: Adequacy of nutrient
b. Nutritional Status : food and Fluid Intake
c. Weight Control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama….nutrisi kurang teratasi dengan indikator:
Albumin serum
Pre albumin serum
Hematokrit
Hemoglobin
Total iron binding capacity
Jumlah limfosit
NIC:
Kaji adanya alergi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
serat untuk mencegah konstipasi
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan
makanan harian.
Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama
jam makan
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein,
Hb dan kadar Ht
Monitor mual dan muntah
Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
- Diare
- Rontok rambut yang
berlebih
- Kurang nafsu makan
- Bising usus berlebih
- Konjungtiva pucat
- Denyut nadi lemah
jaringan konjungtiva
Monitor intake nuntrisi
Informasikan pada klien dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan
suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga
intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama
makan
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Defisit Volume Cairan
Berhubungan dengan:
- Kehilangan volume
cairan secara aktif
- Kegagalan mekanisme
pengaturan
DS :
- Haus
DO:
- Penurunan turgor
kulit/lidah
- Membran mukosa/kulit
kering
- Peningkatan denyut nadi,
penurunan tekanan darah,
penurunan
NOC:
Fluid balance
Hydration
Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…..
defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia
dan BB, BJ urine normal,
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas
normal
Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor
kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada
rasa haus yang berlebihan
Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal
Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal
NIC :
Pertahankan catatan intake dan output yang
akurat
Monitor status hidrasi ( kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan
Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi
cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin,
total protein )
Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam
Kolaborasi pemberian cairan IV
Monitor status nutrisi
Berikan cairan oral
Berikan penggantian nasogatrik sesuai output
(50 – 100cc/jam)
Dorong keluarga untuk membantu pasien
makan
volume/tekanan nadi
- Pengisian vena menurun
- Perubahan status mental
- Konsentrasi urine
meningkat
- Temperatur tubuh
meningkat
- Kehilangan berat badan
secara tiba-tiba
- Penurunan urine output
- HMT meningkat
- Kelemahan
pH urin dalam batas normal
Intake oral dan intravena adekuat
Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
muncul meburuk
Atur kemungkinan tranfusi
Persiapan untuk tranfusi
Pasang kateter jika perlu
Monitor intake dan urin output setiap 8 jam
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi
Faktor-faktor risiko :
- Prosedur Infasif
- Kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan
lingkungan
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan
lingkungan patogen
- Imonusupresi
- Tidak adekuat pertahanan
sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan
respon inflamasi)
- Penyakit kronik
- Imunosupresi
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama……
pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah
timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal
Menunjukkan perilaku hidup sehat
Status imun, gastrointestinal, genitourinaria
dalam batas normal
NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
- Malnutrisi
- Pertahan primer tidak
adekuat (kerusakan kulit,
trauma jaringan,
gangguan peristaltik)
kemerahan, panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4
jam
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Hipertermia
Berhubungan dengan :
- penyakit/ trauma
- peningkatan
metabolisme
- aktivitas yang
berlebih
- dehidrasi
DO/DS:
kenaikan suhu tubuh
diatas rentang normal
serangan atau konvulsi
(kejang)
kulit kemerahan
pertambahan RR
takikardi
NOC:
Thermoregulasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama………..pasien menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas normal dengan kreiteria hasil:
Suhu 36 – 37C
Nadi dan RR dalam rentang normal
Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada
pusing, merasa nyaman
NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik:
Kelola Antibiotik:………………………..
Selimuti pasien
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Kulit teraba panas/
hangat
Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:EGC.
Joanne McCloskey,dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC). United
States of America : Mosby
Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC
Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku
Pertama. Edisi 4. Jakarta: EGC
Rothrock, Jane C. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif.
Jakarta:EGC.
Smeltzer, Suzzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Volume 2.
Jakarta:EGC.
Smeltzer, SC, Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume
2, Edisi 8. Jakarta: EGC
Sue Moorhead,dkk.2008 . Nursing Outcome Classification (NOC). United States
of American : Mosby.
Syamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:EGC.
Sylvia, A Price. 2000. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Jilid ll.
Jakarta:EGC.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 7.
Jakarta:EGC
Top Related