1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Bila mengalami
pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.1
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada pria yang berusia
lanjut. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna
ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 50 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.2 Di Indonesia, BPH menempati urutan
kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umum, diperkirakan
hampir 50 persen merupakan pria yang berusia di atas 50 tahun. Gejala yang timbul
pada BPH berhubungan dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala berkaitan dengan
obtruksi yaitu susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% laki- laki
mengeluh kekuatan dan pancaran urine berkurang.3
BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini
diakibatkan dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal
sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang disebabkan oleh pembesaran
kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama
kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal. Keluhan
yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa Lower Urinary Tract Symptom
(LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptom) maupun iritasi (storage
symptom) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi nokturia pancaran miksi
lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi,
dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak
semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.4
2
Pada makalah ini penulis membahas mengenai Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) dari definisi, gejala klinis, sampai pada penatalaksanaannya. Melalui makalah
ini diharapkan penulis maupun pembaca dapat mengerti lebih dalam mengenai Benign
Prostate Hyperplasia (BPH).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini :
1. Memahami definisi, etiologi, faktor risiko, gambaran klinis, patofisiologi, diagnosis,
komplikasi dan penatalaksanaan dari penyakit BPH.
2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Bedah Umum RSUP
Haji Adam Malik Medan
1.3. Manfaat
Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang terlibat
dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan makalah ini
pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai BPH
sehingga penanganan yang lebih cepat dan tepat dapat dilakukan untuk mengurangi
angka morbiditas pasien.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak ganas. BPH
kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada
akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada
penderita.5,6
BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan
cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE). BPH prostat teraba
membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,
walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu
dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.7,8
2.2. Epidemiologi
Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan
dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama.9
BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu
saluran kemih.1,10 Sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo
ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-
1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama.9
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat,
diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau
lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah (Lower
Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.7 BPH mempengaruhi kualitas kehidupan
pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur > 50 tahun.8,9
4
2.3. Anatomi dan Fisiologi
Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.1,10
Secara umumnya, kalenjar prostat terbentuk dari glandular fibromaskuler dan
juga stroma, di mana, prostat berbentuk piramida, berada di dasar musculofascial pelvis
dimana dan dikelilingi oleh selaput tipis dari jaringan ikat.6,10
Gambar 2.1. Gambaran Anatomi Prostat
5
Lanjutan dari yang di atas, secara histologinya, prostat dapat dibagi menjadi 3
bagian atau zona yakni perifer, sentral dan transisi. Zona perifer, memenuhi hampir
70% dari bagian kalenjar prostat di mana ia mempunyai duktus yang menyambung
dengan urethra prostat bagian distal. Zona sentral atau bagian tengah pula mengambil
25% ruang prostat dan juga seperti zona perifer tadi, ia juga memiliki duktus akan tetapi
menyambung dengan uretra prostat di bagian tengah, sesuai dengan bagiannya. Zona
transisi, atau bagian yang terakhir dari kalnjar prostat terdiri dari dua lobus, dan juga
seperti dua zona sebelumnya, juga memiliki duktus yang mana duktusnya menyambung
hampir ke daerah sphincter pada urethra prostat dan menempati 5% ruangan prostat.10
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang masa kanak-kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas di bawah stimulus testosterone. Kelenjar ini mencapai
ukuran maksimal pada usia sekitar 20 tahun dan tetap dalam ukuran ini sampai usia
mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai
berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosterone oleh testis.11
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifa
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium, dan koagulasi serta
fibrinolisin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan
berkontraksi bersama dengan kontraksi vas deferens dan cairan dari prostat keluar
bercampur dengan semen yang lainnya.11
2.4. Etiologi
Etiologi dari BPH masih belum dimengerti sepenuhnya, tetapi diduga terdapat
pengaruh dari berbagai faktor dan dikendalikan secara hormonal. Prostat terdiri dari
elemen stroma dan epitel, perubahan pada masing – masing atau kedua elemen tersebut
dapat menimbulkan pembesaran prostat dan gejala yang berhubungan dengan BPH.
Kedua elemen tersebut dapat dijadikan sasaran dalam penatalaksanaan BPH. 12
Berdasarkan observasi dan penelitian klinis pada pria didapati BPH berkembang
dibawah pengaruh hormonal, pembuangan testis didapati mengurangi ukuran prostat
serta memberi perbaikan pada gejala berkemih akibat BPH. Penelitian yang lebih lanjut
juga menunjukkan hubungan positif antara tingkat testosteron bebas dan esterogen
terhadap ukuran/volume dari prostat. Penelitian tersebut menunjukkan faktor usia dan
BPH mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar esterogen.12
6
2.4.1 Peran Androgen
Meskipun bukan penyebab langsung dari BPH, androgen berperan dalam proses
perkembangan prostat selama masa pubertas dan penambahan usia yang berkaitan
dengan BPH. Seiring bertambahnya usia, kadar dihidrotestosteron (DHT) dan reseptor
androgen (Androgen Receptor/AR) tidak menunjukkan perubahan meskipun kadar
testosterone perifer menurun. Pada penelitian tidak didapati hubungan jelas antara
konsentrasi androgen pada sirkulasi dan ukuran prostat pada pria yang bertambah tua.
Bioavabilitas testoteron berkorelasi negatif dengan ukuran prostat, sedangkan rasio
estradiol dibanding testosterone berkorelasi positif dengan ukuran prostat. 13
Pada otak, otot rangka, dan epitel seminiferous – testosteron secara langsung
merangsang proses yang behubungan dengan androgen. Pada prostat testosteron terlebih
dahulu diubah menjadi dihidrotestotsteron oleh 5α-reduktase – suatu enzim steroid pada
membran inti sel. Sekitar 90% dari androgen total prostat berada dalam bentuk DHT. Di
dalam sel DHT dan testosteron berikatan dengan reseptor androgen yang sama, namun
DHT memiliki afinitas lebih tinggi terhadap reseptor androgen dan bersifat lebih poten
dibanding testosteron. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian berikatan dengan
daerah pengikat DNA spesifik pada inti sel yang berakibat pada peningkatan transkripsi
gen androgen-dependent dan menstimulasi sintesis protein. 13
2.4.2. Peran Reseptor Androgen
Berbeda dengan organ androgen-dependent lain, prostat mempertahankan
kemampuannya merespon terhadap androgen sepanjang hidup. Reseptor androgen pada
penis mengalami penurunan ekspresi secara drastis pada akhir masa pubertas, sehingga
penis kehilangan kemampuan bertumbuh terkait androgen. Pada prostat hiperplasia
didapati peningkatan kadar AR pada inti sel, keadaan ini bersama dengan peningkatan
kadar esterogen pada pria usia lanjut dapat meningkatkan ekspresi AR pada prostat dan
mengakibatkan pertumbuhan yang lebih lanjut. Pertumbuhan ini terjadi meskipun kadar
androgen perifer yang menurun dan kadar DHT prostat yang terkesan normal. 13
2.4.3. Peran DHT dan 5α-reduktase
7
Pada BPH kadar dihidrotestosteron prostat tidak didapati meningkat, kadar DHT
yang menetap pada prostat pria usia lanjut menunjukkan proses pertumbuhan androgen-
dependent yang bertahan pada usia lanjut. Terdapat dua tipe 5α-reduktase yang telah
ditemukan, keduanya dikode oleh gen yang berbeda. Enzim 5α-reduktase tipe 1
merupakan enzim yang lebih dominan pada jaringan diluar prostat seperti kulit dan
hepar, sindroma defisiensi enzim ini sering dijumpai pada pemakaian inhibitor 5α-
reduktase seperti dutasteride, namun tidak menunjukkan efek signifikan pada pemakian
finasteride. Peran enzim tipe 1 ini pada pertumbuhan prostat normal dan abnormal
masih perlu diteliti, terdapat bukti penelitian bahwa isoform tipe 1 ini lebih berperan
dalam kanker prostat dibanding BPH. 13
Enzim 5α-reduktase tipe 2 merupakan enzim yang dominan dalam jaringan
prostat, enzim ini sensitif terhadap inhibisi oleh dutasteride dan finasteride. Studi
imunohistokimia menunjukkan isoform tipe 2 ini terdapat terutama pada sel stroma. Sel
epitel secara umum tidak memiliki protein tipe 2 tersebut, protein tipe 2 tersebut hanya
ditemui pada beberapa sel basal epitel. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa sel
stroma memegang peranan utama dalam pertumbuhan androgen-dependent prostat. 13
Gambar 2.2. Cara Kerja Testosteron pada Sel Stroma dan Sel Epitel Prostat. 13
8
Testosteron berdifusi ke dalam sel stroma dan epitel prostat dan dapat berikatan
langsung dengan AR pada membran inti pada sel epitel, testosterone pada sel stroma
terlebih dahulu diubah menjadi DHT oleh enzim 5α-reduktase dalam sitoplasma sel
stroma. DHT yang telah diubah dalam sel stroma tersebut dapat bekerja secara
langsung/autokrin pada sel tersebut atau bekerja secara parakrin berdifusi ke sel epitel
berdekatan. DHT yang dihasilkan pada perifer (kulit dan hepar) juga dapat bekerja
secara endokrin dengan memasuki sirkulasi dan bekerja pada prostat. Pada keadaan
tertentu sel basal epitel yg memiliki enzim 5α-reduktase dapat menjadi sumber DHT. 13
2.4.4. Peran Esterogen
Pada hewan coba didapati hubungan antara esterogen dengan pathogenesis BPH,
namun pada manusia hubungan ini masih belum jelas. Esterogen diduga bekerja dalam
proses induksi AR, esterogen dapat mensensitasi prostat hewan coba yang menua
terhadap efek androgen. Pada prostat hewan coba dijumpai reseptor esterogen afinitas
tinggi dalam jumlah banyak, pemberian esterogen mengakibatkan peningkatan jumlah
kolagen total pada prostat.Terdapat sekurangnya dua bentuk reseptor esterogen
(estrogen receptor/ER), ER-α yang diekspresikan pada sel stroma prostat dan ER-β
yang diekspresikan pada sel epitel prostat. Pada penelitian in-vitro dijumpai
peningkatan kadar fibroblast growth factor (FGF)-2, FGF-7, dan faktor pertumbuhan
lain sejalan upregulation dari ER-α pada sel stroma prostat. 13
2.4.5. Peran Apoptosis dan Faktor Pertumbuhan
Apoptosis merupakan mekanisme fisiologis yang penting dalam
mempertahankan homeostatsis glandular normal. Kondensasi dan fragmentasi sel
mendahului fagositosis dan degradasi dimana sel yang menjalani apoptosis akan
difagosit oleh sel berdekatan dan didegradasi dengan enzim lisosom. Apoptosis
diaktifkan tanpa proses sistem imun, namum membutuhkan RNA dan sintesis protein.
Androgen (testosterone dan DHT) diduga menekan apoptosis pada prostat. Pola
pertumbuhan hiperplastik abnormal seperti pada BPH mungkin diinduksi oleh faktor
pertumbuhan lokal yang meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis. 13
Growth Factor merupakan molekul peptida kecil yang menstimulasi (atau pada
keadaan tertentu menekan) proses pembelahan dan diferensiasi sel. Pada prostat normal,
hiperplastik, maupun neoplastik dapat ditemukan berbagai faktor pertumbuhan seperti
9
basic fibroblastic growth factor (bFGF)-2, bFGF-1, Int-2, keratinocyte growth factor
(KGF), transforming growth factor (TGF-β), dan epidermal growth factor (EGF). Pada
BPH dijumpai peningkatan aktivitas faktor pertumbuhan yang berkaitan dengan DHT,
sedangkan TGF- β yang berperan dalam menekan pertumbuhan mengalami
downregulation. 13
Gambar 2.3. Skema hiperplasia prostat yang diduga terjadi akibat ketidakseimbangan
pertumbuhan dan kematian sel. 13
2.5. Patofisiologi
Secara garis besar gejala BPH dapat timbul dari komponen primer obstruktif
dari prostat atau komponen sekunder dari respon kandung kemih terhadap peningkatan
resistensi bladder outlet. Komponen obstruktif dapat dibagi lagi menhadi obstruksi
mekanik dan obstruksi dinamik. Obstruksi mekanis terjadi akibat pembesaran prostat
yang berakibat protrusi prostat ke lumen uretra atau bladder neck yang mengarah ke
peningkatan resistensi bladder outlet. Komponen dinamik dari obstruksi prostat
mengakibatkan perbedaan gejala yang dirasakan pasien, stroma prostat yang kaya akan
otot polos dan kolagen banyak dipersarafi saraf adrenergik sehingga stimulasi otonom
akan mengakibatkan peningkatan tonus pada uretra prostatika. 12
10
Gambar 2.4. Skema patofisiologi dan manifestasi klinis BPH yang melibatkan interaksi
antara obstruki uretra, kompensasi detrusor, dan produksi urin. 13
Hiperplasia prostat dimulai dari zona transisi prostat, semua nodul BPH
berkembang dari zona transisi atau daerah periuretra. Pada awalnya nodul hipeplastik
terbentuk pada sfingter preprostat, namun seiring berkembangnya penyakit nodul dapat
ditemukan pada hampir seluruh zona transisi prostat. Namun perlu diperhatikan bahwa
zona transisi prostat membesar seiring bertambahnya usia tanpa berhubunga dengan
perkembangan nodul. 13
Salah satu fitur unik dari prostat manusia adalah dijumpainya kapsul prostat,
struktur ini yang memegang peranan penting pada timbulnya lower urinary tract
syndrome (LUTS). Anjing merupakan satu-satunya spesies yang secara alami
mengalami BPH disamping manusia, namun gejala obstruksi jarang terjadi karena
prostat anjing tidak memiliki kapsul. Kapsul prostat diduga menyalurkan tekanan dari
jaringan yang berkembang ke uretra sehingga terjadi peningkatan resistensi uretra, teori
ini didukung oleh bukti klinis dimana insisi kapsul prostat transuretra memberi
perbaikan gejala yang signifikan meskipun ukuran prostat tidak berubah. 13
11
Kontraksi dari otot polos juga memegang peranan dalam gejala BPH, stimulasi
dari persarafan adrenergic menujukkan peningkatan resistensi uretra sedangkan
hambatan pada reseptor alfa menghilangkan efek tersebut. Namun blokade pada
reseptor alfa tidak menurukan tegangan pasif pada prostat yang juga mengakibatkan
resistensi uretra. Reseptor α1A merupakan subtipe adrenoreseptor yang paling banyak
ditemukan pada prostat, reseptro ini memediasi tegangan aktif pada otot polos prostat
manusia. Aktivitas berlebihan otonom memegang peranan dalam timbulnya gejala
LUTS pada pria penderita BPH. 13
Kandung kemih mengalami respon adaptasi terhadap obstruksi bladder outlet,
namun banyak gejala LUTS pada penderita BHP berhubungan dengan perubahan pada
fungsi kandung kemih akibat adaptasi tersebut – bukan disebabkan oleh obstruksi secara
langsung. Perubahan struktur kandung kemih dapat menimbulkan instabilitas dan
penurunan compliance yang berhubungan dengan gejala frequency dan urgency,
berikutnya perubahan kontraktilitas detrusor berakibat pada perlunya tekanan tambahan,
hesistancy, dan intermittency, serta peningkatan residu urin. 13
2.6. Manifestasi Klinis
Gejala BPH dapat dibagi menjadi gejala obtruktif dan iritatif, gejala obstruktif
meliputi hesistancy, penurunan aliran dan pancaran, perasaan tidak lampias, perlunya
mengedan atau usaha tambahan, serta urin yang menetes paska buang air kecil. Gejala
iritatif meliputi peningkatan frekuensi, urgency, dan nocturia atau buang air kecil pada
malam hari. Gejala LUTS pada BPH dinilai derajatnya berdasarkan kriteria
international prostate symptom score (I-PSS) dalam bentuk kuisioner untuk
menentukan derajat dan penatalaksanaannya.12
Tanda dari BPH didapat dari pemeriksaan digital rectal examination (DRE) dan
pemeriksaan neurologis pada pasien. Ukuran serta konsistensi prostat perlu dinilai pada
pemeriksaan DRE, meskipun ukuran prostat tidak berhubungan dengan gejala dan
derajat obstruksi. Pada BPH umumnya dijumpai prostat yang kenyal dan elastis,
permukaannya halus, dan tidak disertai nyeri. 12
12
Tabel 2.1. Tabel Skor IPSS
13
2.7. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh
setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang
bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.
2.7.1. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara
yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya.
Anamnesis itu meliputi : 14
1. Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
2. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami
cedera, infeksi, atau pembedahan)
3. Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
4. Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
5. Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom
Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom
score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan
pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki
nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien
dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut.15
Skor 0-7: bergejala ringan
Skor 8-19: bergejala sedang
Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan
tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7
kemungkinan jawaban.
14
2.7.2. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk
mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat
diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan
DRE cenderung underestimate daripada pengukuran dengan menggunakan metode lain,
sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang
besar.14
Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-
34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini
dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan
neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas
bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks
bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah
sakral.14
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan radiologis, ada beberapa modalitas yang dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis BPH, yaitu antara lain : 15, 16
1. Foto Rontgen dan IVP
Foto polos berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, dan kadang
kala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urine. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan
kemungkinan adanya:
Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan buli – buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di
sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail (Fish Hook Appearance)
Penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli–buli. Pemeriksaan IVP sekarang tidak direkomendasikan lagi pada
BPH.
15
Gambar 2.5.. Tampak Fish Hook appearance (ditandai dengan anak panah)
pada gambar di atas
Gambar 2.6. Tampak defek penekanan pada bagian inferior buli – buli (panah) yang
diakibatkan oleh BPH
16
2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi yang sering dilakukan adalah ultrasonografi transrektal
atau TRUS. TRUS bisa mengukur besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk
melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urine, dan mencari
kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli – buli. Pada BPH gambaran yang
ditemukan adalah daerah hipoechoic terutama sering dijumpai di area transisional
zone (TZ). Pengukuran volume pada prostat dilakukan dengan mengukur prostat
dalam 3 dimensi yang berbeda yaitu dengan mengukur dimensi transversal dan
anteroposterior pada potongan aksial dan dimensi longitudional pada potongan
sagital. Volume prostat dihitung dengan rumus Volume = transversal x
anteroposterior x longitudinal x 0.52.
Gambar 2.7. Tampak ukuran prostat membesar,tampak indentasi kaudal ke buli-buli
17
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat digunakan sebagai modalitas untuk
menegakkan BPH antara lain : 16
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.
BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau
penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antaranya: karsinoma buli-buli in
situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan.
Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter,
pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada
leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.
2. Faal Ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pascabedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien
LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8%
jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar
kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai
petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih
bagian atas.
3. PSA
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat
lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih
mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat
diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Makin tinggi kadar PSA makin cepat laju
pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada
kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA
18
sekitar 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3
mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Serum
PSA meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan lahan
menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang
dianggap normal berdasarkan usia adalah :
40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan
PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok
dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia
ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya
karsinoma prostat.
4. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi
mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave),
waktu yang dibutuhkan untuk mencapaipancaran maksimum, dan lama pancaran.
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi
gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil
uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran
urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena obstruksi pada
leher buli - buli atau kelemahan otot detrusor.
5. Pemeriksaan Residual Urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang
tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang
19
normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Pemeriksaan residual urine
dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa
urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu
dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui
kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan
bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih,
hingga terjadi bakteriemia. Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume
residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu
dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak
selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urineatau beratnya obstruksi. Hal
ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume
residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun,
bagaimanapun adanya residu urine menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.
6. Ureterosistoskop
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli
buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu
buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat
sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya
pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi
perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan
sebagai pemeriksaan rutin pada BPH. Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan
dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP,
TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan
hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu
dalam mencari lesi pada buli – buli.
7. Pemeriksaan Urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai
pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan
20
uro-dinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah
itu disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi
otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani
pembedahan. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada
evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif,
urodinamika saat ini merupakan pemeriksaanyang paling baik dalam menentukan
derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu
tindakan pembedahan. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas
93%,dan nilai prediksi positif sebesar 95%.3
2.8. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.Terapi
yang dilakukan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi
obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah
sebagai berikut ini : 15
1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Ini ditujukan
untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak
menggangu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan
mengkonsumsi kopiatau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,(4)
jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang
kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan,
IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan
miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi lain.
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai tahap
tertentu.Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
21
membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa.
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang
pasienmemerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berartipasien
perlumendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi
medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponenstatik.Jenis obat yang digunakan adalah:
a. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapatberupa:
preparat non selektif: fenoksibenzamin
preparat selektif masa kerja pendek:prazosin, afluzosin, dan indoramin
preparat selektif dengan masa kerja lama:doksazosin, dan terazosin,
b. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dandutasteride
Tabel 2.2. Klasifikasi Obat – obat untuk BPH
3. Terapi intervensi
Pembedahan
Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu
22
adalah pembedahan, yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang
menyebabkan obstruksi. Hanya saja pembedahan ini dapat menimbulkan
berbagai macam penyulit pada saat operasi maupun pasca bedah. Indikasi
pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya
adalah:
Retensi urine,
Infeksi saluran kemih berulang
Hematuria makroskopik
Batu buli-buli
Gagal ginjal
Divertikulum buli-buli
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai
negara, yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi
prostat transuretra (TURP).
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan
paling efisien diantara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan
gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan
transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan
retropubik yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika hingga saat
ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli
multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka
dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.
Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura
uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan denganTURP
ataupun TUIP.
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada
pasien BPH. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi di kulit
perut, lama rawatan lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak
berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Komplikasi dini yang terjadi pada saat
operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga
membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang
beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun dan lama reseksi lebih dari
23
90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%.
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress, striktura
uretra, kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang
berukuran kecil, dan disfungsi ereksi.2 TUIP atau insisi leher buli-buli
(bladderneck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil
(kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak
diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Dengan TUIP waktu yang
dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan
dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
Laser Prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun
ke tahun mengalami penyempurnaan. Jika dibandingkan dengan pembedahan,
pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan
penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam meningkatkan perbaikan
gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini
membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat
diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi, sering banyak menimbulkan
disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat
miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca
TURP.
2.9. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan
adalah sebagai berikut : 15
24
Trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat serat detrusor akibat tekanan intra
vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi.
Sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor
Divertikel, bila sakulasi menjadi besar. Komplikasi lain adalah pembentukan
batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga
terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut
diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.2
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera
ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi karsinoma
prostat. Menurut penelitian, karsinoma prostat merupakan karsinoma pembunuh nomor
2 pada pria setelah karsinoma paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan
berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.16
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
25
Nama Pasien : SS
Umur : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Sei Padang No 11
Status : Menikah
Pekerjaan : Tukang becak
Tanggal Masuk : 23 Juni 2015
Anamnesis
Keluhan utama : Tidak bisa buang air kecil
Telaah :
Hal ini telah dialami pasien sejak ± 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sekitar 1
minggu sebelumnya os mengeluh sulit buang air kecil, kencing hanya menetes
sedikit demi sedikit.
Sejak 5 tahun ini pasien juga mengeluhkan sering terbangun malam karena ingin
BAK sekitar 6 – 7 kali/hari. Pasien juga mengeluhkan harus mengedan saat BAK,
pancaran kencing melemah, kencing terputus – putus, dan merasa tidak lampias
setelah BAK.
Riwayat trauma pada saluran kemih dan trauma pada tulang belakang, kencing
berdarah, kencing berpasir, kencing bercabang, infeksi pada saluran kencing, dan
nyeri saat berkemih disangkal oleh pasien. Riwayat tidak bisa kencing sebelumnya
disangkal. Riwayat demam, sesak napas dan mual muntah disangkal oleh pasien. .
RPT : Tidak dijumpai
RPO : Tidak jelas
Status presens
Sensorium : Compos mentis Keadaan Umum : Baik
Tekanan darah: 110/70 mmHg Keadaan Gizi : Baik
Nadi : 84 x/i
26
Pernafasan : 18 x/i
Suhu : 36,3 K C
Pemeriksaan Fisik
Kepala : - Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+)
- T/H/M : Tidak dijumpai kelainan.
Leher : - Pembesaran KGB (-)
- Trakea Medial
Toraks : - Inspeksi : Simetris fusiformis
- Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : + Paru : SP vesikuler, ST tidak dijumpai
+ Jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)
Abdomen : - Inspeksi : Simetris, distensi (-)
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), defens muskular (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : peristaltik (+) normal
Ekstrimitas : - Superior : Pols 84x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat,
CRT <3’’, TD: 110/70 mmHg, Fraktur (-), Edema (-)
- Inferior : Fraktur (-), Edema (-)
Status Urologi
Sudut Costovertebra : - Inspeksi : Bulging (-), jejas (-), kemerahan (-)
- Palpasi : Massa (-), ballotement (-), nyeri tekan (-)
- Perkusi : Nyeri ketok (-)
Suprapubik : - Inspeksi : Bulging (-), jejas (-)
- Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), buli kosong
Genital : - Jenis kelamin laki-laki
DRE : - Perineum biasa, sphincter ani ketat, mukosa licin
27
- Prostat teraba membesar simetris, permukaan licin,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), nodul (-)
- Sarung tangan : feses (-), lendir (-), darah (-)
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (12 Juni 2015)
Darah Lengkap
Hb 13,10 g%
Eritrosit 5,05 x 106/mm3
Leukosit 11,79 x 103/mm3
Hematokrit 40.10 %
Trombosit 283 x 103/mm3
Fungsi Hati
Albumin 4 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 25,1 mg/dL
Kreatinin 1,09 mg/dL
Kgd Ad random 87,4 mg/dl
Elektrolit
Natrium 135 mEq/L
Kalium 4,2 mEq/L
Klorida 99 mEq/L
PSA 100 ng/mL
28
Hasil Pemeriksaan USG Ginjal, Buli, Prostat (12 Juni 2015)
Kesimpulan
LK : Acoustic shadow (-), Hidronefrosis (-), Parenkim baik
RK : Acoustic shadow (-), Hidronefrosis (-), Parenkim baik
VU : Acoustic shadow (-), Massa (-)
Prostat : Volume 4,6 x 4,9 x 4,7 = 55 gr
Kesan : Hiperplasia prostat
Diagnosis:
- Benign Prostate Hyperplasia susp malignancy
Penatalaksanaan:
-IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
-Inj. Ceftriakson 1 gr/12 jam
Rencana:
29
- Biopsi prostat
3.2. Follow up Pasien
Tanggal 23 Juni 2015
S : Nyeri (-)
O : CM, TD 120/80 mmHg, HR 88 x/i, RR 18 x/I
A : BPH susp malignancy
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Tgl 24 Juni 2015
Pasien dilakukan biopsi prostat
BAB 4
30
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan
cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE). BPH prostat teraba
membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,
walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu
dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.
Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Etiologi dari BPH masih belum dimengerti sepenuhnya, tetapi diduga terdapat
pengaruh dari berbagai faktor dan dikendalikan secara hormonal. Prostat terdiri dari
elemen stroma dan epitel, perubahan pada masing – masing atau kedua elemen tersebut
dapat menimbulkan pembesaran prostat dan gejala yang berhubungan dengan BPH.
Kedua elemen tersebut dapat dijadikan sasaran dalam penatalaksanaan BPH.
Gejala BPH dapat dibagi menjadi gejala obtruktif dan iritatif, gejala obstruktif
meliputi hesistancy, penurunan aliran dan pancaran, perasaan tidak lampias, perlunya
mengedan atau usaha tambahan, serta urin yang menetes paska buang air kecil. Gejala
iritatif meliputi peningkatan frekuensi, urgency, dan nocturia atau buang air kecil pada
malam hari. Gejala LUTS pada BPH dinilai derajatnya berdasarkan kriteria
international prostate symptom score (I-PSS) dalam bentuk kuisioner untuk
menentukan derajat dan penatalaksanaannya
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal
dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan
oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang
bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.
4.2. Saran
31
Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam
menghadapi pasien yang datang dengan kejadian BPH. Hal ini penting untuk dapat
mengenali tanda – tanda kegawatdaruratan pada pasien BPH sehingga penanganan dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan tidak terlambat. Sebelumnya resusitasi awal dan
perbaikan status hemodinamik harus terlebih dahulu dilakukan sebelum menentukan
pola penanganan yang sesuai dengan kasus.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Purnomo B. B. 2011, Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. 123-128. Jakarta : Sagung
Seto.
2. Roehborn C. G. 2009. Benign Prostatic Hyperplasia : Etiology Pathophysiology,
Epidemiology and Natural History.
3. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam: Kapita
selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.
4. Barkin J. 2011. Benign Prostate Hyperplasia and Lower Urinary Tract Symptom :
evidence and approaches for the best case management.
5. Roehborn, Calus G, McConnell, John D. Etiology, Pathophysiology, and Natural
History of Benign prostatic hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 8th ed. W.B.
Saunders ; 2002. p. 1297-1330
6. Connell JD Mc. Etiology, Pathophisiology and Diagnosis of Benign Prostatic
Hiperplasia. In : Campbell’s Urology Tenth Ed, W.B. Saunders : 2012
7. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi
Medika. 2002. No 7 tahun ke XXVIII
8. Kirby, Roger S, Christmas, Timothy J. Benign Prostatic Hiperplasia. Second
Edition. Mosby International.1997.
9. Leveillee. Prostate Hyperplasia, Benign. 2006. http://www.emedicine.com. [diakses
29 April 2014]
10. Kim & Belldegrun (eds). Urology Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery, 8th
Edition, Brunicardi et al (eds). USA: Mc Graw-Hill Medical Publishing Division.
2006. 1036-1060
11. Guyton. Buku ajar fisiologi kedokteran bagian III. Jakarta. EGC : 1994.
12. Wein, A.J, et al., 2012. Campbell-Walsh Urology. Edisi 10. USA : Elsevier.
13. Tanagho, E.A., et al., 2008. Smith’s General Urology, Edisi 17. .USA : The
McGraw-Hill Companies.
14. AVA Practice guideline comitte. AVA guideline on management BPH. Chapter 1.
Diagnose and treatment recommendation. J Urol. 170:530-547, 2003.
15. Amela Dull, M.D., Robert W. Reagan, JR., M.D., and Robert R. Bahnson, M.D.
Managing Benign Prostatic Hyperplasia. Ohio State University College of
Medicine and Public Health, Columbus. 2002.
33
16. Rahardjo, D. Prostat: kelainan-kelainan, diagnosis, penanganan. Jakarta : Asian
medical, 15.1996