BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Botol BOD, Pipet, Buret, Erlenmayer, Pipet
Hisap, Hot Plate, Pipet tetes, Corong Gelas, Pipet Ukur, Pipet Volume, Gelas
Beaker, Alat Refluks, Corong Pemisah, dan Timbangan Digital. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah Larutan MnSO4, Larutan Alkali-Iodida-Azida, Asam sulfat
pekat, Amilum, Larutan standar Tiosulfat, Larutan Standar Dikromat, Aquades,
HCl 6N, dan n-hexane.
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Penentuan Biological Oxygen Demand (BOD)
a. Pembuatan Reagen
1. Larutan MnSO4
Sebanyak 120 g MnSO4 . 4 H2O atau 100 g MnSO4 . 2 H2O atau
91 g MnSO4. H2O dilarutkan ke dalam air suling dan kemudian
diencerkan menjadi 250 mL dengan air suling
2. Larutan Alkali-Iodida-Azida
Sebanyak 125 g NaOH dan 37,5 g KI dilarutkan ke dalam air
suling, dan diencerkan menjadi 250 mL. Sebanyak 10 g NaN3 dilarutkan
ke dalam 40 mL air suling. Kemudian kedua larutan tersebut
dicampurkan.
3. Asam Sulfat Pekat
4. Larutan Kanji
Sebanyak 1,25 g kanji dicampurkan ke dalam sedikit air suling
dingin sehingga membentuk suspensi. Larutan ini dituang ke dalam 200
mL air suling yang mendidih sambil diaduk. Larutan diencerkan menjadi
250 mL dan dididihkan beberapa menit, didiamkan semalam kemudian
ambil bagian jernihnya. Awetkan larutan ini dengan 0,3125 g asam
salisilat atau dengan ditambahkan beberapa tetes toluen.
19
5. Larutan Standar Tiosulfat
Air suling dididihkan beberapa menit, kemudian didinginkan.
Sebanyak 3,1025 g Na2S2O3 . 5 H2O dilarutkan ke dalam air suling
tersebut kemudian diencerkan menjadi 500 mL. Larutan ini diawetkan
dengan menambahkan 2,5 mL kloroform atau 0,2 g NaOH atau 2 g
borak.
6. Larutan Standar Dikromat
Sebanyak ± 1 g K2Cr2O7 dikeringkan dalam oven 103 oC selama 2
jam, dinginkan dalam desikator. Ambil sebanyak 0,613 g K2Cr2O7 dan
dilarutkan ke dalam air suling, kemudian diencerkan menjadi 500 mL.
b. Prosedur Penentuan BOD
1. Standarisasi Larutan Tiosulfat
Dilarutkan 2 g KI ke dalam 100 mL air suling dalam erlenmayer.
Kemudian ditambahakan 10 mL Larutan H2SO4 0,01 N dan 20 mL
larutan standar dikromat. Diletakan Erlenmayer di tempat gelap selama
5 menit dan encerkan menjadi 200 mL. Dititrasi dengan tiosulfat
sehingga warna menjadi kuning muda (mendekati titik akhir),
Kemudian Ditambahkan 1-2 mL larutan kanji dan lanjutkan titrasi
hingga warna biru tepat hilang. Dihitung normalitas larutan standar
tiosulfat sebagai berikut :
N tiosulfat =
2. Pengukuran Oksigen Terlarut
Diambil contoh air secara hati hati dengan botol BOD 160 mL,
kemudian ditambahkan berturut-turut 2 mL Larutan MnSO4 dan 2 mL
larutan alkali-iodida-azide. Di tutup botol BOD secara hati-hati
sehingga tidak terdapat gelembung udara, di kocok dengan membolak-
balikan botol selama 15 menit. Kemudian didiamkan beberapa saat
hingga terjadi pengendapan secara sempurna. Dialirkan 2 mL H2SO4
20
pekat secara hati-hati melalui leher botol dan botol ditutup kembali,
dikocok sehingga semua endapan larut dengan sempurna. Dipipet 25
mL larutan dari botol BOD dan masukan ke dalam erlenmayer 250
mL. dititrasi dengan tiosulfat sampai warna kuning muda, kemudian
ditambahkan 1-2 mL larutan kanji dan dititrasi kembali hingga warna
biru tepat hilang. Dicatat jumlah larutan tiosulfat yang diperguakan.
3. Perhitungan
Untuk setiap 25 mL contoh air, 1 mL tiosulfat yang terpakai adalah
setara dengan 2 mg/L DO . karena larutan tio tidak dapat dibuat tepat
0,025 N, maka dihitung factor tionya sebagai berikut :
Faktor tio (F1) =
Terjadi Pemindahan sejumlah volume contoh air karena pemindahan
pereaksi seharusnya tidak 25 mL contoh yang dipipet untuk titrasi
namun :
Oksigen terlarut (mg/L) = F1 x F2 x 2 x mL tiosulfat
Perhitungan BOD5 dilakukan dengan:
BOD5 mg/L =
D1 = DO dari contoh awal (baik dengan dan tanpa pengenceran)
D2 = DO dari contoh air setelah diinkubasi selama 5 hari
P = Faktor Pengenceran
3.2.2 Penentuan Chemical Oxygen Demand (COD)
a. Pembuatan reagen COD
1. Larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,0250 N
Ditimbang sebanyak 1,2259 gram K2Cr2O7 yang telah
dikeringkan kemudian dilarutkan dalam akuabidest. Larutan
21
dipindahkan secara kuantitatif ke labu ukur 1 L dan diencerkan sampai
tanda batas.
2. Larutan perak sulfat-asam sulfat (AgSO4-H2SO4)
Sebanyak 1 gram Ag2SO4 (perak sulfat) dilarutkan dalam
akuabidest kemudian ditambahkan dengan 300 mL H2SO4 (asam
sulfat) pekat. Larutan kemudian diencerkan menjadi 1 L dan
didiamkan selama semalam agar AgSO4 larut sempurna.
3. Larutan ferro amonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2) 0,1 N
Sebanyak 39 gram ferro amonium sulfat heksahidrat
(Fe(NH4)2(SO4)2).6H2O) dilarutkan dalam akuabidest. Larutan
ditambah 20,0 mL H2SO4 pekat, didinginkan kemudian diencerkan
menjadi 1 L dengan akuabidest.
Standarisasi larutan ferro amonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2) 0,1 N
Sebanyak 25 mL larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,025 N
dipipet ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 20 mL H2SO4
pekat dan 2-3 tetes indikator ferroin. Larutan tersebut dititrasi dengan
(Fe(NH4)2(SO4)2) 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru
kehijauan menjadi merah bata.
4. Indikator ferroin
Sebanyak 1,4850 gram ortophenantrolin dan 0,6950 gram
FeSO4.7H2O dilarutkan dalam 100 mL akuabidest.
b. Prosedur penentuan COD
Sebanyak 25,0 mL sampel limbah cair dipipet kedalam labu refluks
kemudian ditambahkan 0,4 g HgSO4 ; 10,0 mL K2Cr2O7 0,025 N ; 25,0 mL
larutan AgSO4-H2SO4 dan beberapa batu didih, selanjutnya larutan
dikocok. Air pendingin dialirkan melalui kondensor. Kemudian larutan
dalam labu refluks dididihkan di atas penangas (proses refluks) selama 2
jam. Setelah 2 jam, sampel didinginkan lalu ditambahkan akuades sampai
volumenya kira-kira 150 mL. Selanjutnya sampel ditambah 1-2 tetes
indikator ferroin dan dititrasi dengan larutan Fe (NH4)2(SO4)2 0,0926 N
22
sampai terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi merah bata.
Volume titran yang diperlukan dicatat. Prosedur di atas juga dilakukan
untuk blanko (SNI 06-6989.15-2004).
Perhitungan COD :
COD (mg/L) =
Keterangan :
a = volume Fe(NH4)2(SO4)2 untuk blanko (mL)
b = volume Fe(NH4)2(SO4)2 untuk sampel air (mL)
N = Normalitas larutan Fe(NH4)2(SO4)2
3.2.3 Penentuan Kadar Minyak
Sebanyak 200 mL contoh uji (sampel) dimasukkan ke corong pisah,
kemudian ditambahkan 20 mL pelarut n-heksana. Larutan dikocok dengan kuat
selama 2 menit dan lapisan dibiarkan memisah. Lapisan n-heksana dipindahkan
ke dalam labu bersih dan kering yang telah ditimbang. Lapisan air diekstraksi
2 kali lagi dengan pelarut 20 mL tiap kalinya, dimana sebelumnya wadah
contoh uji dicuci dengan tiap bagian pelarut. Ekstrak dalam labu destilasi yang
telah ditimbang digabung dan dikocok dengan 3 g Na2SO4 anhidrat, disaring.
Kemudian ditambahkan 10 mL sampai dengan 20 mL pelarut n-heksana.
Pelarut didestilasi dalam penangas air pada suhu 85°C. Saat terlihat kondensasi
pelarut berhenti, labu dipindahkan dari penangas air, kemudian didinginkan
dalam desikator selama 30 menit dan labu ditimbang sampai diperoleh berat
tetap (SNI 06-6989.10-2004).
Perhitungan kadar minyak :
kadar minyak (mg/L) =
23
Keterangan :
a = berat labu + sampel (mg)
b = berat labu kosong (mg)
3.2.4 Penentuan kadar H2S
a. Pembuatan Reagen H2S
1. HCl Pekat
2. Larutan standar iodium 0,0250 N
Sebanyak 22 g KI dilarutkan dalam sedikit aquades kemudian
dimasukkan 3,2 g Iodin. Setelah ioidin larut sempurna, larutan
diencerkan sampai 1000 mL dan di standarisasi kembali dengan
0,0250 N Na2S2O3 dan menggunakan larutkan kanji sebagai indikator.
3. Larutan standar Natrium Tiosulfat 0,0250 N.
4. Larutan kanji.
b. Prosedur Kerja Penentuan H2S
Masukan sejumlah standar iodium (KIO3) ke dalam erlenmayer 500 mL,
estimasikan jumlah larutan iodine melebihi jumlah sulfide terlarut.
Ditambahkan sejumlah aquades untuk menjadikan volume larutan 20 mL.
ditambahkan 2 mL HCl pekat. Dipipet 200 mL sampel ke dalam
erlenmayer. Jika warna larutan standar iodine hilang tambahkan kembali
larutan standar iodine sampai warna kembali timbul. Titrasi balik
kelebihan iodine dengan larutan Na2S2O3, tambahkan beberapa tetes
indikator amilum saat warna larutan menjadi kuning muda (mendekati titik
akhir titrasi), dilanjutkan titrasi hingga warna biru tepat hilang. Catat
volume yang digunakan dan hitung :
Mg S2-/L =
24
Dimana,
A = mL larutan iodine
B = normalitas larutn iodine
C = mL Na2S2O3
D = normalitas mL Na2S2O3
3.3 Titik Lokasi Pengambilan Sampel
a. Titik 1 (T1), sampel di ambil pada inlet separator 1. Pada lokasi ini air
limbah baru keluar dari pembangkit dan belum mengalami pengolahan.
b. Titik 2 (T2), sampel di ambil pada outlet separator 2. Pada lokasi ini
limbah cair dilewatkan pada ijuk. Terjadi proses pengolahan secara biologi
25
T1 T2
T3
T4
yaitu pengolahan limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk
mendegradasikan senyawa-senyawa organik dalam air limbah menjadi
senyawa-senyawa sederhana.
c. Titik 3 (T3), sampel diambil pada separator 3 pada separator ini terjadi
proses aerasi.
d. Titik 4 (T4), sampel diambil pada air hasil pengolahan pada system
pengolahan limbah. Air hasil pengolahan ini dimanfaatkan untuk
menyiram tanaman.
3.4 Hasil Pengukuran
3.4.1 Data Pengukuran BOD
Lokasi Pengambilan
Sampel
Kadar BOD5
(mg/L)
Baku Mutu BOD5*
(mg/L)
Baku Mutu BOD5**
(mg/L)
Inlet Separator 1 62, 5095 6 150
Separator 2 48, 2593 6 150
Separator 3 1,2342 6 150
Bak Penampungan Air 29,7333 6 150
* baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007
** baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995
3.4.2 Data Pengukuran COD
Lokasi Pengambilan
Sampel
Kadar COD
(mg/L)
Baku Mutu COD*
(mg/L)
Baku Mutu COD**
(mg/L)
Inlet Separator 1 136,54 50 300
Separator 2 97,92 50 300
Separator 3 92,41 50 300
Bak Penampungan Air 62,06 50 300
*baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007
** baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995
3.4.3 Data Pengukuran Kadar Minyak
26
Lokasi Pengambilan
Sampel
Kadar Minyak
Mineral
(mg/L)
Baku Mutu Minyak
mineral*
(mg/L)
Baku Mutu Minyak
mineral**
(mg/L)
Inlet Separator 1 222.200 1 50
Separator 2 100 1 50
Separator 3 50 1 50
Bak Penampungan Air 0 1 50
* baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007
** baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995
3.4.4 Data Pengukuran Kadar H2S
Lokasi Pengambilan
Sampel
Kadar H2S
(mg/L)
Nilai baku Mutu
H2S*
(mg/L)
Nilai baku Mutu
H2S**
(mg/L)
Inlet Separator 1 17,2864 0,002 0,10
Separator 2 0,6208 0,002 0,10
Separator 3 1,7120 0,002 0,10
Bak penampungan air 0,02560 0,002 0,10
* baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007
**baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995
3.5 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa kualitas air pada sistem pengolahan limbah PT.
Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Bali Pesanggaran Denpasar yang
diteliti, maka dapat diketahui efektifitas pada masing-masing tahap pengolahan
limbah serta air dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan.
3.5.1 Sistem Pengolahan Limbah cair PT. Indonesia Power dengan Separator
Pada pengolahan limbah dengan menggunakan separator, limbah dari
hasil perusahaan PT. Indonesia Power berupa minyak dan oli yang tercampur
dengan air dipisahkan dengan mengalirkan limbah tersebut menuju kolam-kolam
27
yang dibedakan menjadi 3 kolam yang disebut kolam separator, dimana pada
kolam separator 1 minyak lebih banyak dibandingkan dengan air maka minyak
dipompa dan dipindahkan ke dalam tangki penampungan, Pada separator 2 air dan
minyak yang berasal dari separator 1, dipisahkan kembali sama seperti pada
proses yang ada pada separator 1 dimana minyak yang memiliki masa jenis lenih
rendah berada dibagian atas dari pada air dan pada proses ini kandungan minyak
sudah mulai sedikit selanjutnya limbah cair masuk ke separator 3. Pada separator
3 terjadi penguraian sisa-sisa minyak terlarut dalam air dengan bantuan
mikroorganisme dan sistem blower untuk membantu menyediakan oksigen,
separator 3 ini juga disebut dengan kolam aerasi. Setelah melalui kolam aerasi,
limbah cair kemudian dialirkan ke kolam biofiltrasi (Waste Water Garden).
Kolam ini tersusun atas tumpukan pasir dan koral serta tumbuhan yang berfungsi
sebagai media filtrasi dan pengikat minyak. Setelah melewati kolam biofiltrasi, air
limbah diteruskan ke bak penampung untuk dimanfaatkan dalam menyiram
tanaman.
3.5.2. Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD5)
Kebutuhan oksigen biologi (Biologi Oxygen Demand) adalah jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk
mencegah atau mengoksidasi limbah organic yang terdapat di air lingkungan
(sunu, 2001). Menurut alaerts dan santika (1984), secara umum BOD diukur
dalam jangka waktu lima hari sehingga dikenal sebagai BOD5 artinya, banyaknya
oksigen yang dipergunakan oleh mikroorganisme pengurai dalam menguraikan
bahan organic baik yang terlarut maupun yang tersuspensi selama lima hari lpada
suhu 200C. Hal ini dikarenakan dalam waktu lima hari bahan organic yang
diuraikan sudah mencapai hasil yang maksimum. Nilai BOD air tergantung pada
suhu, aktifitas biologis, cahaya matahari dan oksigen terlarut dalam suatu
perairan. Hasil analisis BOD5 pada T1, T2, T3 dan T4 dibandingkan dengan baku
mutu seperti tertera pada gambar 3.1.
28
Gambar 3.1. Hasil Analisis BOD5 pada T1, T2, T3. Dan T4 Dibandingkan dengan Baku
Mutu
Dari data tersebut menunjukan nilai rata-rata BOD5 dari inlet separator 1,
outlet separator 2, separator 3 dan pada bak penampungan masih berada dibawah
ambang batas baku mutu kualitas air golongan 2 menurut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No.KEP-51/MENLH/10/1995, tentang baku mutu limbah cair
bagi kegiatan industri. Sedangkan jika dibandingkan dengan baku mutu air kelas 3
menurut Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007, nilai rata-rata BOD5 pada
limbah cairnya masih jauh diatas baku mutu.
Tingginya nilai BOD pada limbah cair PT. Indonesia Power disebabkan
oleh kandungan oli (pelumas) dan minyak sisa-sisa pencucian mesin diesel yang
tercampur dengan air. Limbah ini dipisahkan dengan mengalirkan limbah tersebut
menuju separator-separator yang dibedakan menjadi 3 separator, serta terakhir
melalui kolam biofiltrasi (Waste Water Garden).
Seperti terlihat pada grafik, separator 1 (T1) memiliki kandungan BOD5
paling tinggi dibandingkan separator lainnya, hal ini disebabkan karena pada
separator 1 (inlet separator) kandungan minyak dan pelumas sisa pencucian mesin
diesel dalam limbah cair sangat tinggi. Pada separator 2 (T2) terjadi penurunan
BOD5 sebesar 22,79% dari nilai BOD5 pada T1. Penurunan ini disebabkan karena
29
pada separator 1 sebagian besar minyak telah dipisahkan dari limbah cair,
sehingga kandungan minyak dalam limbah cair yang masuk ke separator 2 telah
menurun . Pada separator 3 (T3) nilai BOD5 turun tajam,telah terjadi penurunan
nilai BOD 98,11% dari nilai BOD awal, hal ini disebabkan karena telah
berkurangnya kandungan minyak (bahan organic) pada limbah cair setelah
melalui separator 2 (T2) dan sisa minyak (bahan Organik) terlarut pada separator
3 juga telah diolah dengan bantuan mikroorganisme secara biologis sehingga
terjadi pendegradasian bahan organik oleh mikroorganisme serta terjadinya
pengendapan pada bagian bawah sistem pengolahan, sehingga air pada separator 3
memiliki kandungan minyak (bahan Organik) yang sedikit. Hal ini didukung
Sunu (2001) yang menyatakan semakin tinggi nilai BOD, maka semakin tinggi
pula aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan bahan organic serta semakin
tinggi pula bahan organic yang terkandung di perairan tersebut. Pada bak
penampungan (T4) kembali terjadi peningkatan nilai BOD5 setelah limbah cair
dari separator 3 melewati Waste Water Garden (WWG), peningkatan nilai BOD5
diduga dipengaruhi akibat kondisi terlarutnya gas-gas dalam kondisi anaerob
(CH4, NH3, H2S) dan material-material pasir dalam limbah air setelah melewati
WWG, mengingat sistem Waste Water Garden (WWG) yang digunakan pada
kolam biofiltrasi menggunakan tumpukan pasir, batu koral dan tanaman sebagai
media filtrasi. Terlarutnya material-material pasir dari WWG pada limbah cair
ditunjukan dengan keruhnya warna air yang ditampung pada bak penampungan
akhir.
3.5.3 Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)
Kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD)
merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan
organic dan anorganik dalam suatu perairan. Metode analisis yang digunakan
dalam menganalisis COD adalah dengan titrimetri K2Cr2O7. Hasil analisis COD
pada T1, T2, T3 dan T4 dibandingkan dengan baku mutu seperti tertera pada
gambar 3.2.
30
Gambar 3.2. Hasil Analisis COD Pada T1, T2, T3 dan T4 Dibandingkan dengan
Baku Mutu
Pada gambar dapat dilihat nilai kandungan COD dari inlet separator 1
(T1), separator 2 (T2), separator 3 (T3) dan air hasil pengolahan (T3) masih
berada di atas baku mutu menurut baku mutu air kelas 3 Pergub Bali No. 8 Tahun
2007.
Tingginya kandungan COD dimungkinkan karena tingginya kandungan
bahan organic dan anorganik pada air limbah tersebut. Hal ini terbukti dengan
tingginya nilai BOD5 pada semua lokasi pengambilan sampel. Tingginya nilai
COD diperkirakan karena limbah cair tersebut memiliki kandungan bahan organik
yang tinggi yang terkandung pada minyak solar yang dipergunakan sebagai bahan
bakar mesin-mesin serta oli sebagai bahan pelumas PLTD (Mahendra, 2008).
Pada inlet separator 1 kandungan COD yang tinggi ini disebabkan karena
air limbah hasil proses pembangkitan belum mengalami proses pengolahan dan
masih banyak terkandung bahan organic dan anorganik. Pada outlet separator 2
kadar COD sudah mulai menurun dikarenakan setelah limbah masuk ke separator
1, terjadi proses pemisahan antara minyak dan air secara alami yaitu berdasarkan
31
berat jenisnya dimana nantinya minyak pada bagian atas akan disedot dan
dipisahkan dengan air. Selanjutnya air yang masih mengandung sedikit minyak
tersebut dialirkan menuju separator 2. Pada lokasi ini limbah cair dilewatkan pada
ijuk. Terjadi proses pengolahan secara biologi yaitu pengolahan limbah dengan
memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasikan senyawa-senyawa
organik dalam air limbah menjadi senyawa-senyawa sederhana.
Kadar COD pada separator 3 tidak begitu jauh berbeda dengan separator 2.
Hal ini disebabkan karena pada separator 3 seharusnya terjadi proses aerasi
dengan penggunaan blower namun pada kenyataannya system aerasi ini tidak
dioperasikan pada waktu pengambilan sampel sehingga kadar COD pada
separator 3 tidak jauh berbeda dengan separator 2. Hal ini juga dapat disebabkan
karena pada waktu pengambilan sampel tidak memperhatikan resident time
sehingga tidak diketahui berapa lama waktu alir dan diamnya sampel dalam
separator menuju separator lain. Pada bak penampungan air setelah hasil
pengolahan kandungan COD mulai menurun karena setelah limbah dilewatkan
pada separator 3 air limbah dialirkan menuju septic biofiltrasi setelah itu baru air
dialirkan menuju bak penampungan dan dapat dimanfaatkan sebagai air untuk
menyiram tanaman.
Pada Gambar 2 juga dapat diperhatikan bahwa walaupun nilai COD pada
keempat lokasi pengambilan sampel masih berada di atas baku mutu yang telah
ditetapkan Pergub No.8 Tahun 2007 namun hasil analisis COD dari T1, T2, T3,
dan T4 telah mengalami penurunan sebesar 54,55%. Penurunan ini dikarenakan
dalam system pengolahan limbah telah terjadi pendegradasian bahan organic serta
adanya pengendapan bahan anorganik pada bagian bawah separator. Bahan
anorganik dan organic juga melewati saringan biofiltrasi seperti ijuk, koral serta
akar tanaman.
3.5.4 Kadar Minyak
Minyak yang mencemari perairan dapat berasal dari kendaraan bermotor,
limbah industry maupun limbah domestic. Minyak dapat membentuk ester dan
alcohol atau gliserol dengan asam lemak. Gliserid dari asam lemak ini berupa
32
cairan, apabila dalam keadaan biasa dikenal sebagai minyak dan apabila dalam
bentuk padat dan kental dikenal sebagai lemak. Minyak tergolong benda yang
tidak mudah di uraikan oleh bakteri.
Hasil analisis minyak pada T1, T2, T3 dan T4 jika dibandingkan dengan
baku mutu seperti tertera pada gambar dibawah ini.
Gambar 3.3 Hasil Analisis Minyak pada T1, T2, T3 dan T4 dibandingkan dengan
Baku Mutu
Pada gambar tersebut hasil analisis minyak dari inlet separator 1 (T1)
berada jauh diatas baku mutu air kelas 3 yaitu sebesar 222200 ppm. Tingginya
kandungan minyak tersebut disebabkan karena tempat pengambilan sampel ini
merupakan tempat pertama keluarnya air limbah setelah dari mesin Pembangkit
Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang kemungkinan air limbahnya masih bercampur
dengan solar serta pada lokasi ini belum terjadi pengolahan air limbah, sehingga
kandungan minyaknya masih sangat tingggi. Sedangkan hasil analisis minyak
dari outlet separator 2 (T2) mengalami penurunan cukup signifikan yaitu sebesar
100 ppm. Dimana pada separator 2, air limbah yang telah diambil bagian
minyaknya di separator 1 melewati ijuk menuju ke outlet separator 2. Ijuk tersebut
berfungsi untuk pertumbuhan atau tempat berkumpulnya mikroorganisme untuk
menguraikan sisa minyak dari separator 1. Hasil analisis minyak pada separator 3
33
(T3) sebesar 50 ppm dan tempat terakhir pengambilan sampel air limbah adalah
tempat penampungn air setelah melalui tempat biofiltrasi dimana tempat
biofiltrasi tersebut dapat menurunkan lagi kadar minyak dari separator 3 dengan
bantuan bakteri pendegradasi minyak sehingga minyak akan mengendap di bagian
bawah yaitu pada bagian pasir dan koralnya. Bak tempat penampungan terakhir
(T4) memiliki kandungan minyak sebesar 0 ppm.
Jika dibandingkan dengan baku mutu Pergub dan baku mutu KLH, nilai
kadar minyak dari T1 berada sangat jauh diatas kedua baku mutu tersebut. Begitu
pula pada kadar minyak pada T2 dan T3. Tetapi pada T4, kadar minyak
didapatkan sebesar 0 ppm. Kemungkinan pada T4 masih mengandung emulsi
minyak dalam kadar yang sangat kecil, sehingga tidak dapat terdeteksi dengan
metoda gravimetri, dimana metoda ini dapat digunakan untuk contoh uji yang
mengandung minyak lebih besar dari 10 mg/L. Hal ini menunjukkan efisiensi
pengolahan limbah minyak yang cukup tinggi.
Penurunan ini dikarenakan minyak yang terdapat dalam air limbah
tersebut telah melalui pengolahan secara fisik yaitu dengan cara gaya gravitasi,
dimana berat jenis minyak lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis air,
sehingga minyak akan berada pada lapisan atas dan air berada pada lapisan
bawah. Maka lapisan atas yang mengandung minyak akan diambil, sehingga
jumlah minyak akan berkurang. Selain itu, juga terjadi proses pendegradasian
sisa-sisa minyak oleh mikroorganisme.
Hal ini didukung oleh Wardhana (1995) yang menyatakan bahwa lapisan
minyak yang menutupi permukaan air juga dapat terdegradasi oleh
mikroorganisme tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Selain itu,
penurunan kandungan minyak juga dikarenakan terjadinya penguapan minyak.
Menurut Kristanto (2002), minyak tidak larut dalam air, melainkan dakan
mengapung. Semua jenis minyak mengandung senyawa volatile yang segera dapat
mengap. Sisa minyak yang tidak menguap akan mengalami emulsifikasi yang
mengakibatkan air dan minyak dapat bercampur.
34
3.5.5 Sulfida terlarut (H2S)
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan bentuk sulfur yang terdapat diperairan.
Reduksi anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob dalam proses
dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan bau yang kurang sedap dan
meningkatkan korosifitas logam (Effendi, 2003). Lebih lanjut menurut Sunu
(2001) bahwa hidrogen sulfida (H2S) mempunyai daya reduksi yang kuat sehingga
dapat merusak fasilitas yang dilalui dan menimbulkan bau yang menyengat. Hasil
analisis hidrogen sulfida (H2S) pada T1,T2, dan T3 dibandingkan dengan baku
mutu seperti tertera pada tabel di bawah ini:
Gambar 3.4. Hasil analisis H2S Pada T1, T2, T3 dan T4 Dibandingkan dengan
Baku Mutu
Pada Gambar 3.4 menunjukkan bahwa nilai Hidrogen sulfida dari inlet
separator 1 (T1),separator 2 (T2) ,separator 3 (T3) dan hasil pengolahan (T4)
masih berada di atas baku mutu air kelas 3 yaitu 0,002 mg/L. Tingginya
kandungan sulfida pada air limbah kemungkinan karena sulfida dalam senyawa
H2S berasal dari hasil degradasi bahan-bahan organik (termasuk minyak) yang
diuraikan oleh mikroorganisme baik dalam keadaan aerob maupun anaerob.
Selain itu, tingginya kandungan H2S kemungkinan juga berasal dari senyawa
35
belerang organik yang terkandung dalam air limbah. Karena secara alami
senyawa-senyawa belerang organik sering merupakan sumber H2S (Saeni,1989).
Hidrogen sulfida (H2S) mempunyai daya reduksi yang kuat sehingga dapat
merusak fasilitas yang dilalui dan menimbulkan bau yang menyengat (Sunu,
2001). Menurut Saeni (1991), dalam keadaan anaerobik senyawa sulfat direduksi
secara kimia oleh bakteri Desulfovibrio membentuk gas H2S dengan reaksi
sebagai berikut :
SO42- + bahan organik S2- + H2O + CO2
S2- + 2H+ bakteri H2S (bau busuk)
Pada tabel, dapat diperhatikan juga bahwa walaupun nilai hidrogen sulfida
pada keempat lokasi pengambilan sampel masih berada di atas baku mutu yang
telah ditetapkan namun hasil hidrogen sulfida dari T1 ke T2, telah mengalami
penurunan sebesar 96,41 % . Namun mengalami kenaikan lagi pada T3 dan turun
pada T4. Turunnya nilai H2S kemungkinan karena sulfida menguap ke atmosfir
sebagai garam yang tidak larut. Penurunan H2S ini juga kemungkinan karena
peningkatan jumlah oksigen pada blower dan dipergunakan oleh bakteri untuk
mereduksi persenyawaan sulfat oleh bakteri aerobik dengan reaksi sebagai berikut
:
H2S + 2O2 bakteri H2SO4
Dari data yang diperoleh, pada separator 3 (T3) terjadi peningkatan H2S. Hal ini
kemungkinan karena sampel air limbah yang diambil tidak berdasarkan resident
time limbah tersebut sehingga hasil yang diperoleh tidak mengalami penurunan.
Asam sulfat merupakan asam kuat yang dapat bereaksi dengan logam-logam yang
merupakan bahan-bahan dari pipa dan dapat menimbulkan korosi (Saeni,1991).
36
Top Related