Download - Kecap Ikan Buddy Kristianto 12.70.0175 d5 Unika Soegijapranata

Transcript

HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan percobaan pembuatan kecap ikan dengan berbagai jenis perlakuan dapat dilihat pada tabel 1, grafik 1 dan grafik 2.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap IkanKelPerlakuanWarnaRasaAromaSalinitas (%)Penampakan

D1Enzim papain 0,4%++++++++2,5 ++

D2Enzim papain 0,8%++++++++++++3,3++

D3Enzim papain 1,2%+++++++3,5++

D4Enzim papain 1,6%++++++++++3,2++

D5Enzim papain 2%+++++++++2,9 ++

D6Enzim papain 2,5%+++++++++++3,6++

Keterangan:Warna :Rasa :+ : tidak coklat gelap+ : sangat tidak asin++ : kurang coklat gelap++ : kurang asin+++ : agak coklat gelap+++ : agak asin++++ : coklat gelap++++ : asin+++++ : sangat coklat gelap+++++ : sangat asin

Aroma : Penampakan :+ : sangat tidak tajam+ : sangat cair++ : kurang tajam ++ : cair+++ : agak tajam +++: agak kental++++ : tajam ++++ : kental+++++ : sangat tajam +++++ : sangat kental

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa dengan penambahan konsentrasi enzim papain yang berbeda dalam pembuatan kecap ikan, akan mempengaruhi warna, rasa, aroma, salinitas, dan penambakan kecap ikan yang dihasilkan. Dari segi warna, didapatkan kecap ikan berwarna kuning agak coklat hingga coklat gelap, dimana kecap ikan kelompok D1, D3, dan D5 memiliki warna kurang coklat gelap, kecap ikan kelompok D4 dan D6 memiliki warna agak coklat gelap, dan warna kecap ikan yang paling gelap dimiliki kecap ikan kelompok D2 yang berwarna coklat gelap. Dari segi rasa, dihasilkan rasa yang cukup bervariasi, mulai dari kecap ikan yang kurang asin milik kelompok D3, kecap ikan yang agak asin milik kelompok D1, kecap ikan yang asin milik kelompok D4 dan D5, serta kecap ikan yang sangat asin milik kelompok D2 dan D6. Dari segi aroma, kecap ikan seluruh kelompok memiliki aroma yang agak tajam. Dari segi salinitas, diperoleh salinitas yang paling rendah dimiliki oleh kecap ikan kelompok D1 yaitu sebesar 2,5%, sedangkan salinitas yang paling tinggi dimiliki oleh kecap ikan milik kelompok D6 yaitu sebesar 3,6%. Dari segi penampakan, penampakan kecap ikan dari seluruh kelompok adalah cair.

Grafik 1 Hasil Pengamatan Salinitas Kecap Ikan

Dapat dilihat pada grafik 1. hasil pengamatan salinitas kecap ikan diatas, kecap ikan yang dihasilkan dengan berbagai macam perlakuan penambahan kosnentrasi enzim papain yang berbeda memiliki salinitas yang cukup bervariasi. Kecap ikan dengan salinitas yang paling rendah dimiliki oleh kecap ikan kelompok D1 dengan penambahan enzim papain sebesar 0,4%, yaitu sebesar 2,5%, sedangkan salinitas yang paling tinggi dimiliki oleh kecap ikan milik kelompok D6 dengan penambahan enzim papain sebesar 2%, yaitu sebesar 3,6%. Grafik 2. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Penambahan Enzim Papain Terhadap Salinitas dan Rasa Kecap Ikan

Keterangan:Rasa :1 : sangat tidak asin2 : kurang asin3 : agak asin4 : asin5 : sangat asin

Dari grafik 2 diatas, diketahui bahwa kecap ikan dengan salinitas yang paling rendah dimiliki oleh kecap ikan kelompok D1 dengan penambahan enzim papain sebesar 0,4%, yaitu sebesar 2,5, sedangkan salinitas yang paling tinggi dimiliki oleh kecap ikan milik kelompok D6 dengan penambahan enzim papain sebesar 2%, yaitu sebesar 3,6. Jika dilihat dari grafik tersebut, menunjukkan tren peningkatan niali salinitas seiring bertambah besarnya konsentrasi enzim yang ditambahkan. Bertambah besarnya nilai salinitas juga diikuti dengan semakin asinnya rasa dari kecap ikan yang dihasilkan. Namun tren semakin asinnya kecap ikan dengan bertambah tingginya nilai salinitas kecap ikan tidak ditunjukkan oleh sampel kelompok D3 yang justru menunjukkan penurunan rasa asin ketika salinitasnya menunjukkan angka yang cukup tinggi dibandingkan kelompok lainnya.

19

20

PEMBAHASAN

Meskipun Ibrahim (2010) menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production bahwa bahan yang paling sering digunakan dalam pembuatan kecap ikan adalah jenis ikan pelagis seperti ikan-ikan kecil dan juga sarden. Namun dalam praktikum pembuatan kecap ikan ini, digunakan limbah ikan tongkol sisa bahan pembuatan surimi, seperti kepala, tulang, dan sisik yang tidak terpakai. Penggunaan bahan-bahan sisa tadi, didukung oleh Iskandar (1995) yang menjelaskan bahwa selain daging, bagian lain dari ikan yang tidak dapat dikonsumsi, seperti kepala, tulang, dan sisik ikan dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi produk yang lebih bermanfaat dan memiliki nilai yang lebih tinggi, seperti kecap ikan. Dalam artikel karya Sangjindavong et al. (2009) yang berjudul Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste juga mendukung penggunaan bahan sisa pembuatan surimi, seperti kepala, tulang, sisik, dan kulit ikan menjadi sumber bahan pembuatan kecap ikan.

Menurut Astawan &Astawan (1991) kecap ikan merupakan produk olahan hasil hidrolisa ikan yang dapat dibuat dengan cara fermentasi (garam), baik secara enzimatis maupun kimiawi. Ibrahim (2010) menjelaskan bahwa kecap ikan merupakan produk yang dapat dibuat dengan harga atau biaya yang murah dari berbagai macam jenis bahan ikan mentah, baik dari ikan kecil ataupun dari bahan yang umumnya tidak dikonsumsi. Komposisi kimia dari kecap ikan adalah 61,40-79,20% air, 0,9-13,70% protein kasar, dan 25,80% mineral. Kecap ikan sendiri memiliki warna coklat dan merupakan bumbu penyedap yang biasanya digunakan di sebian besar negara di Asia Tenggara. Kecap ikan megandung berbagai macam campuran asam amino dan berbagai produk turunan dari protein. Meskipun kecap ikan tidak digunakan secara langsung sebagai pangan fungsional dikarenakan tingginya konsentrasi sodium kloridanya, kecap ikan boleh jadi berguna sebagai sumber zat aktif biologis, bahan tambahan makanan tradisional, bumbu, penyedap, dan juga terkadang menjadi bahan pengganti untuk kecap kedelai.

Kecap ikan digunakan secara luas di daratan Asia bagian selatan seperti Cina, Indocina, Filipina, Thailand, dan Jepang. Ikan seperti sarden dan makarel, anchovy, udang, dan tiram dapat diautolisis atau dihidrolisis dengan penambahan enzim proteolitik halofilik disertai penambahan NaCl. Enzim yang terlibat dapat berupa cathepsin A, C, dan Enzim serupa tripsin, yang ketiganya merupakan enzim protease endogenous. Komposisi komponen ekstrak yang muncul dalam produk kecap ikan mirip dengan bahan baku pembuatannya. Untuk meningkatkan kualitas kecap dapat dilakukan dengan perbaikan pada yield dan flavornya (Shahidi & Botta, 1994).

Dalam pembuatan kecap ikan ini, digunakan bahan berupa ikan tongkol dan proses pembuatan kecap ikan diawali dengan menghilangkan daging ikan dan mengambil bahan yang biasanya tidak digunakan seperti kepala, ekor, dan tulang ikan. Tulang, kepala tanpa mata dan ekor ikan dihancurkan terlebih dahulu. Penghancuran bahan ini didukung oleh Astuti (1996) yang menjelaskan bahwa dengan menghancurkan bahan, dapat memudahkan proses ekstraksi. Saleh et al.(1996) juga menjelaskan bahwa dengan menghancurkan bahan menjadi lebih halus, maka luas permukaan bahan menjadi semakin besar, hal ini akan menyebabkan kemampuan bahan untuk melepaskan flavor kecap menjadi semakin besar. Hancuran bahan yang telah halus dimasukkkan ke dalam wadah fermentasi dan dilakukan penambahan enzim papain (kelompok D1 0,4%, kelompok D2 0,8%, kelompok D3 1,2%, kelompok D4 1,6%, kelompok D5 2% dan kelompok D6 2,5%). Penambahan enzim papain menurut Afrianto & Liviawaty (1989) berfungsi untuk mempercepat penguraian protein, sehingga proses pembuatan kecap ikan yang bila dengan penggaraman hingga berbulan-bulan, dengan adanya enzim protease dapat dipercepat menjadi tiga hari. Sangjindavong et al. (2009) menjelaskan bahwa enzim protease dibutuhkan untuk fermentasi kecap ikan. Hariono et al. (2005) menyebutkan bahwa enzim protease dapat diperoleh dari dan tanaman, dan enzim yang dapat digunakan dalam pembuatan kecap ikan adalah bromelin, papain atau ficin. Dalam praktikum ini digunakan enzim papain. Menurut Lisdiana & Soemadi, (1997) enzim papain adalah enzim yang dapat diperoleh dari buah, batang dan daun pepaya dan juga daunnya. Astawan & Astawan (1988) menjelaskan bahwa enzim papain bersifat proteolitik sehingga dapat memecah protein menjadi komponen yang lebih sederhana. Enzim papain ini nantinya akan merusak bahan baku kecap dan akan menghasilkan komponen penyusun flavor kecap ikan seperti peptida, pepton dan asam amino. Winarno (1995) menambahkan bahwa papain tergolong dalam kelompok enzim protease sulfhidril golongan protein. Enzim ini termasuk golongan endopeptidase yang memecah protein dari dalam. Berdasarkan jurnal Use of Koji and Protease in Fish Sauce Fermentation karya Hariono et al. (2005) menyatakan enzim protease seperti papain berguna untuk mempercepat proses fermentasi dalam pengolahan kecap ikan tanpa mempengaruhi karakteristik rasa dan kalitas gizi dari kecap ikan yang dihasilkan dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh proses fermentasi tradisional. Namun menurut teori dari Afrianto & Liviawaty (1989), meskipun proses pembuatannya relatif cepat, namun mutu kecap ikan yang dihasilkan lebih rendah daripada kecap ikan yang dibuat secara tradisional dengan metode penggaraman. Hal ini terjadi karena dalam proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease terbentuk senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap.

Selanjutnya bahan yang telah ditambah dengan enzim diinkubasi selama 3 hari dalam wadah yang tertutup rapat. Penutupan bertujuan untuk menciptakan kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat serta untuk mencegah adanya kontaminan (kotoran) yang masuk. Pada dasarnya, fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam tubuh ikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim atau fermen yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol. Proses penguraian ini dapat berlangsung dengan atau tanpa aktivitas mikroorganisme, terutama dari golongan jamur dan ragi. Enzim yang berperan dalam proses fermentasi terutama didominasi oleh enzim proteolitis yang mampu mengubah protein menjadi komponen yang lebih sederhana (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Setelah 3 hari fermentasi, wadah dibuka dan ditambahkan air sebanyak 250 ml ke dalam wadah lalu disaring. Tujuan penambahan air adalah untuk melarutkan dan mengekstrak hasil dari fermentasi, kemudian dilakukan penyaringan terhadap cairan hasil fermentasi tersebut dengan menggunakan kain saring. Penyaringan bertujuan agar cairan hasil fermentasi tersebut bebas dari kotoran atau ampas yang tidak digunakan. Filtrat diambil dan direbus hingga mendidih selama 30 menit. Kemudian bumbu bumbu yang terdiri dari 50 gram garam, 50 gram gula jawa dan 50 gram bawang putih dimasukkan. Bumbu digunakan untuk menambah aroma dan cita rasa. Sebelum dimasukkan, bumbu-bumbu tadi dihaluskan terbelih dahulu dengan tujuan agar bumbu dapat lebih cepat tercampur dengan filtrat, karena bila dihaluskan akan memperbesar luas permukaan dan akan dapat memperbesar luas kontak bumbu-bumbu tadi dengan filtrat. Pengadukan selama pemasakan dilakukan dengan tujuan agar bumbu-bumbu yang tadi ditambahkan dapat tercampur merata secara sempurna dan juga bertujuan untuk mencegah kecap ikan gosong karena panas yang tidak merata (Moeljanto, 1992). Sedangkan pemasakannya sendiri berguna untuk mengoptimalkan pencampuran bumbu dan flavor khas dari kecap.

Penambahan gula jawa mengakibatkan warna coklat karamel dan viskositasnya naik sehingga kecap tradisional memiliki sifat kekentalan yang spesifik. Selain itu juga, selama proses pemasakan, akibat pengaruh suhu yang cukup tinggi menyebabkan terjadi pembentukan warna yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan (reaksi Maillard) antara asam amino yang berasal dari ikan dengan gula reduksi pada gula jawa (Lees & Jackson, 1973). Fachruddin (1997) juga menjelaskan bahwa dengan penambahan gula jawa akan dapat mengurangi rasa asin yang berlebihan dan juga berperan sebagai pengawet alami. Penambahan bawang putih secara alami memberikan daya awet pada kecap ikan dikarenakan bawang putih mengandung zat allicin yang merupakan antimikrobia yang efektif membunuh bakteri. Selain itu, bawang putih juga ikut memberi tambahan cita rasa dan aroma pada kecap ikan (Fachruddin, 1997). Penambahan garam berfungsi menguatkan rasa kecap ikan, memberi rasa asin, dan mengawetkan produk karena dapat menurunkan aw serta mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme (Desrosier & Desrosier, 1997).

Menurut Deswati & Armaini (2004), jumlah garam yang ditambahkan akan menentukan apakah suatu organisme dapat tumbuh atau tidak selama proses fermentasi tersebut berlangsung Kemurnian garam minimum yang baik untuk digunakan dalam proses fermentasi adalah 99%. Mutu garam yang lebih rendah dari 99% akan berpengaruh sangat buruk pada perpacuan antara kecepatan penetrasi ke dalam daging ikan dengan laju pembusukan. Selain itu juga akan berpengaruh buruk terhadap penampakkan, rasa, bau, warna, tekstur, serta daya awet produk. Afrianto & Liviawaty (1989) menjelaskan bahwa kualitas dari kecap ikan sangat ditentukan dari jumlah garam yang ditambahkan dan juga lamanya proses fermentasi yang dilakukan. Dalam artikel berjudul Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production yang ditulis oleh Ibrahim (2010), dijelaskan bahwa asam amino merupakan penyumbang terbesar palabilitas kecap ikan yang merupakan hasil pemecahan protein ikan yang dipengaruhi oleh reaksi enzim. Umumnya, komposisi asam amino bergantung pada jumlah garam yang ditambahkan dan juga bahan baku ikan yang digunakan untuk pembuatan kecap ikan. Dijelaskan pula bahwa dengan mengurangi kandungan garam dalam proses pembuatan kecap ikan dapat membantu meningkatkan laju fermentasi dimana hal ini juga meningkatkan kandungan nutrisi dengan mengurangi kandungan sodium dalam kecap ikan.

Setelah mendidih dan agak dingin dilakukan penyaringan kedua. Penyaringan ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan ampas dari kecap ikan dan hanya diambil filtratnya saja. Setelah itu, filtat kecap ikan dimasukkan ke dalam sebuah wadah untuk diamati secara sensoris meliputi warna, rasa, aroma serta diuji presentase salinitasnya menggunakan hand refractometer. Pengukuran salinitas dengan hand refractometer dilakukan setelah 1 ml sampel kecap ditambah dengan 9 ml akuades. Menurut Arpah (1993), pengukuran salinitas dengan hand refractometer ini dilakukan dengan mengukur kandungan total padatan terlarut, seperti gula, garam, dan protein. Prinsip kerja dari hand refractometer adalah refraksi cahaya, sehingga dibutuhkan pencahayaan yang cukup ketika menggunakan alat ini.

Berdasarkan hasil pengamatan uji sensori yang meliputi warna, rasa, aroma, dan penampakan, dari segi warna didapatkan kecap ikan berwarna kuning agak coklat hingga coklat gelap. Kecap ikan kelompok D1, D3, dan D5 memiliki warna kurang coklat gelap, kecap ikan kelompok D4 dan D6 memiliki warna agak coklat gelap, dan warna kecap ikan yang paling gelap dimiliki kecap ikan kelompok D2 yang berwarna coklat gelap. Warna dari kecap ikan ini, sesuai dengan pernyataan Ibrahim (2010) yang menyebutkan bahwa warna dari kecap ikan adalah coklat. Menurut,Lees & Jackson (1973) dan Astawan & Astawan (1988) warna coklat ini merupakan hasil reaksi karamelisasi gula dan juga reaksi maillard, dimana komponen rasa seperti asam amino dan gula bereaksi saat proses pemasakan dengan suhu cukup tinggi dilakukan. Dalam artikel karya Lopetcharat & Park (2002) disebutkan bahwa sebagian besar nitrogen yang terdapat pada kecap ikan merupakan asam amino bebas dan peptide yang berkontribusi dalam pembentukan dan pengembangan warna coklat pada kecap ikan. Lay (1994) menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan, seharusnya warna dari kecap ikan semakin coklat, hal ini dikarenakan semakin banyak enzim yang ditambahkan, maka akan semakin banyak pula komponen rasa yang dihasilkan dan bereaksi dengan gula pereduksi. Suhu pemasakan merupakan faktor penting dalam terbentuknya warna coklat, karena menurut Petrucci (1992), semakin tinggi suhu yang digunakan, maka akan semakin gelap warnanya. Teori Petrucci (1992) inilah yang mendasari perbedaan warna yang terjadi pada sampel tiap kelompok. Meskipun menggunakan bahan yang sama, belum tentu ketika proses pemasakannya dilakukan, suhu yang digunakan untuk memasak antar kelompok adalah sama. Selain itu, ketidaksesuaian yang terjadi dapat dimungkinkan akibat waktu pemasakan yang tidak sama pada semua kelompok seperti yang disampaikan oleh Rasyid (2006). Panelis juga dapat menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan landasan teori yang ada dikarenakan pengamatan sensoris tersebut bersifat subjektif, sehingga data yang dihasilkan bersifat relative dan tidak seakurat bila pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat (Aitken et al., 1982).

Dari segi aroma, kecap ikan seluruh kelompok memiliki aroma yang agak tajam. Menurut Amstrong (1995), komponen aroma dalam kecap ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Hasil yang didapatkan ini kurang sesuai dengan pendapat dari Astawan & Astawan (1988) yang menyebutkan bahwa semakin banyak protease yang ditambahkan maka akan semakin tinggi pula hidrolisis protein, sehingga aroma yang dihasilkan semakin kuat karena akan semakin banyak terbentuk komponen peptida, peptonm dan asam amino yang menghasilkan aroma yang khas. Selain itu, Kasmidjo (1990) juga mendukung bahwa aroma kecap ikan juga dipengaruhi oleh penambahan bumbu. Dimana seperti yang Fachruddin (1997) nyatakan, bahwa bawang putih dan gula juga ikut memberi tambahan cita rasa dan aroma pada kecap ikan. Ketidaksesuaian hasil dapat diakibatkan sifat dari uji sensoris yang bersifat subjektif, dimana data hasil pengamatan yang didapat dari panelis belum tentu tepat seperti bila mengukur menggunakan alat (Aitken et al., 1982).

Dari segi rasa, dihasilkan rasa yang cukup bervariasi, mulai dari kecap ikan yang kurang asin milik kelompok D3, kecap ikan yang agak asin milik kelompok D1, kecap ikan yang asin milik kelompok D4 dan D5, serta kecap ikan yang sangat asin milik kelompok D2 dan D6. Dalam artikel berjudul Pengaruh Perbedaan jenis Viscera Ikan Sebagai Bahan Baku dan Penambahan Enzim Tripsin Terhadap Mutu Kecap Ikan karya Permanasari et al. (2014), dijelaskan bahwa komposisi dari asam amino dan senyawa-senyawa lainnya adalah faktor pembentuk rasa pada kecap ikan. Selama proses fermentasi, protein akan terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida, kemudian asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk. Degradasi protein kecap ikan akan menjadi asam amino bebas yang merupakan penyebab pembentukan cita rasa enak pada kecap ikan. Seharusnya, seperti yang juga dinyatakan oleh Astawan & Astawan (1988), dengan semakin banyak konsentrasi enzim yang ditambahkan, akan menghasilkan rasa kecap ikan yang lebih kuat, karena semakin banyak protein dalam bahan yang terhidrolisis pada proses fermentasi. Namun pada sampel kelompok D2 yang menggunakan enzim sebanyak 0,8% dihasilkan kecap dengan rasa sangat asin yang sama dengan sampel kelompok D6 yang menggunakan enzim sebanyak 2,5%. Selain itu, didapatkan juga sampel kelompok D3 yang menggunakan enzim papain sebanyak 1,2% lebih tidak asin disbanding kelompok D1 dan D2 yang menggunakan enzim yang lebih sedikit. Rasa sampel kelompok D3 yang kurang asin juga kurang sesuai dengan hasil pengukuran salinitas yang cukup besar bila dibandingkan dengan salinitas kelompok lainnya. Tidak sesusainya hasil pengamatan percobaan dapat disebabkan beberapa hal. Menurut Astawan & Astawan (1988) rasa kecap ikan ini dapat dipengaruhi dari penambahan bumbu dan rempah-rempah yang digunakan untuk meningkatkan aroma dan citarasa produk akhir. Dimana seperti yang Fachruddin (1997) nyatakan bahwa bawang putih dan gula juga ikut memberi tambahan cita rasa dan aroma pada kecap ikan. Ketidaksesuaian hasil juga dapat diakibatkan sifat dari uji sensoris yang bersifat subjektif, dimana data hasil pengamatan yang didapat dari panelis belum tentu tepat seperti bila mengukur menggunakan alat (Aitken et al., 1982). Ketidaksesuaian hasil pada kelompok D3 dengan besar salinitasnya juga dapat diakibatkan pembacaan alat yang kurang tepat atau dapat juga diakibtakan sampel yang diukur masih terlalu pekat, sehingga hasil yang didapatkan kurang akurat.

Dari segi salinitas, diperoleh salinitas yang paling rendah dimiliki oleh kecap ikan kelompok D1yang menggunakan enzim sebanyak 0,4% yaitu sebesar 2,5, sedangkan salinitas yang paling tinggi dimiliki oleh kecap ikan milik kelompok D6 yang menggunakan enzim sebanyak 2,5% yaitu sebesar 3,6%. Bila dilihat dari hasil terkecil dan terbesar, hasil tersebut telah memenuhi teori dari Astawan & Astawan (1988) yang menjelaskan bahwa dengan semakin banyknya enzim yang digunakan maka akan semakin kuat rasa dari kecap ikan yang dihasilkan, dimana rasa yang semakin kuat ini diikuti dengan bertambah besarnya salinitas. Namun, pada hasil pengamatan, didapatkan data yang cukup fluktuatif dimana tingkat salinitas sampel kelompok D2 dan D3 justru lebih besar dibandingkan milik kelompok D4 dan D5 yang menggunakan enzim lebih banyak. Kemudian salinitas kelompok D3yang tingkat salinitasnya 3,5% namun memiliki rasa yang kurang asin. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi akibat beberapa hal, seperti proses pemasakan kecap ikan tiap kelompok dilakukan dengan suhu yang berbeda dengan lama pemasakan yang berbeda-beda, uji sensoris yang bersifat subjektif, sehingga data yang didapat kurang akurat (Aitken et al., 1982), pembacaan alat hand refractometer yang kurang tepat, dan juga akibat masih terlalu pekatnya sampel yang diukur, sehingga data hasil pengujian yang didapatkan menjadi kurang maksimal.

Dari segi penampakan, penampakan kecap ikan dari seluruh kelompok adalah cair. Hasil percobaan ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2010) yang menjelaskan bahwa kecap ikan merupakan suatu produk fermentasi dari ikan yang bentuknya cair. Dimana menurut Kasmidjo (1990) viskositas dari kecap ikan juga ikut dipengaruhi oleh penambahan bahan seperti gula jawa, suhu pemasakan , dan lamanya proses pemasakan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap dan kualitas kecap yang dihasilkan menurut Astawan & Astawan (1991), Afrianto & Liviawaty (1989), Lopercharat & Park (2002), dan Ibrahim (2010) adalah sebagai berikut : Metode pembuatan Pembuatan kecap ikan dengan metode tradisional yang hanya dengan melakukan penambahan garam dan dilakukan proses fermentasi yang cukup lama dapat menghasilkan cita rasa yang lebih enak, namun waktu pembuatannya sangat lama. Bila kecap ikan dibuat dengan melakukan atau menggunakan enzim protease, kecap dapat dibuat dalam waktu beberapa hari saja, namun citarasa yang dihasilkan tidak senikmat atau seenak kecap yang dibuat dengan cara tradisional. Lamanya waktu fermentasiFermentasi yang terlalu singkat akan menghasilkan kecap yang kurang baik karena belum sempurnanya proses fermentasi dan belum banyak komponen flavor yang dihasilkan. Namun, bila fermentasi dilakukan terlalu lama akan menghasilkan cita rasa yang kurang diminati. Kondisi fermentasiKondisi lingkungan yang mendukung terjadinya proses fermentasi haruslah tercapai atau diciptakan agar proses fermentasi berjalan sempurna. KebersihanKebersihan dalam pembuatan kecap ikan haruslah dijaga agar tidak terkontaminasi. Banyaknya bahan tambahan lainBahan tambahan seperti rempah, gula, dan garam tentunya akan mempengaruhi cita rasa dari kecap ikan yang dihasilkan. Konsentrasi garam yang digunakan dan pemilihan bahan bakuKualitas dari kecap ikan sangat ditentukan dari jumlah garam yang ditambahkan, dikarenakan asam amino merupakan penyumbang terbesar palabilitas kecap ikan yang merupakan hasil pemecahan protein ikan yang dipengaruhi oleh reaksi enzim. Umumnya, komposisi asam amino bergantung pada jumlah garam yang ditambahkan dan juga bahan baku ikan yang digunakan untuk pembuatan kecap ikan. Dijelaskan pula bahwa dengan mengurangi kandungan garam dalam proses pembuatan kecap ikan dapat membantu meningkatkan laju fermentasi dimana hal ini juga meningkatkan kandungan nutrisi dengan mengurangi kandungan sodium dalam kecap ikan.

Dalam artikel jurnal yang berjudul Halobacterium sp. SP1(1) as a starter culture for accelerating fish sauce fermentation karya Akolkar et al. (2010) dijelaskan tentang penggunaan Halobacterium sp. sebagai starter dalam fermentasi kecap ikan memiliki pengaruh yang signifikan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa jenis ikan juga mempengaruhi kualitas kecap ikan yang dihasilkan, karena jenis ikan yang berbeda akan memberikan sumber protein yang berbeda-beda. Dimana dalam penelitian tersebut, disebutkan bahwa ikan pomfret adalah sumber protein terbaik dengan penambahan NaCl sebanyak 25% adalah kondisi optimum produksi protease Halobacterium sp.sebagai kultur starter kecap ikan. Halobacterium sp. tersebut dapat mengurangi waktu fermentasi pembuatan kecap ikan, meningkatkan dan memperbaiki flavor dan aroma dari kecap ikan , serta meningkatkan nilai gizi dari kecap ikan yang dihasilkan. Kandungan histidin pada kecap ikan juga rendah. Kemudian dari artikel berjudul Characterization of Protease From Aspergillus oryzae Surface Culture and Application in Fish Sauce Processing karya Le Van Viet Man dan Tran Thi Anh Tuyet (2006) yang meneliti tentang enzim protease yang tahan garam dari Aspergillus oryzae. Hal tersebut diteliti karena pengaruh ion Ca+ terhadap aktivitas protease itu cukup kompleks, dimana pada konsentrasi yang rendah, ion tersebut dapat mengaktifkan protease, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat aktifitas protease. Dari hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa enzim protease dari Aspergillus oryzae cukup tahan terhadap garam dan cocok digunakan untuk mempercepat proteolisis protein dan meningkatkan kandungan asam amino bebas dan nitrogen. Dari kedua artikel jurnal ini, dapat diketahui bahwa selain dari tumbuhan seperti nanas yang mengandung enzim bromelin dan pepaya yang mengandung enzim papain, kita dapat memperoleh dan menggunakan enzim protease dari microorganisme yang mengahasilkan enzim protease seperti Halobacterium sp. dan Aspergillus oryzae untuk pembuatan kecap ikan.

KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan suatu produk cair hasil fermentasi ikan. Proses pembuatan kecap ikan dalam praktikum ini adalah secara enzimatik yang prosesnya cukup singkat. Enzim yang digunakan dalam fermentasi kecap ikan adalah enzim protease yang mampu mengurai protein menjadi beberapa komponen seperti peptida, pepton, dan asam amino yang berkontribusi terhadap rasa dan aroma khas kecap ikan. Dengan adanya enzim papain, fermentasi dapat berjalan lebih cepat bila dibandingkan hanya dengan penambahan garam seperti pembuatan kecap asin secara tradisional. Adonan yang dimasukkan dalam baskom dan ditutup rapat dengan plastik bertujuan untuk menciptakan kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan dengan baik dan mencegah masuknya kontaminan. Penghalusan bahan dilakukan untuk memudahkan ekstraksi dan memudahkan keluarnya komponen flavor. Bawang putih sebagai salah satu bumbu dalam membuat kecap ikan memiliki khasiat membunuh bakteri, karena adanya allicin yang efektif membunuh bakteri. Penambahan garam akan memberi rasa asin, efek pengawetan, dan menguatkan rasa. Penambahan gula jawa berguna untuk meningkatkan citarasa, memberi warna, dan mengurangi rasa asin pada kecap ikan. Warna dan penampakan kecap ikan dipengaruhi suhu pemasakan, lamanya waktu pemasakan, dan jumlah gula jawa yang ditambahkan. Semakin banyak enzim yang digunakan, maka akan menghasilkan kecap ikan yang berwarna semakin coklat, rasa yang semakin asin, aroma semakin tajam, kadar salinitas yang semakin besar, dan penampakan yang semakin cair. Semakin tinggi salinitasnya, semakin asin juga rasa dari kecap ikan yang dihasilkan. Uji organoleptik mempunyai kelemahan, karena cenderung bersifat subyektif. Selain dari tumbuhan seperti nanas dan papaya, enzim protease untuk membuat kecap ikan juga dapat diperoleh dari mikroorganisme seperti Halobacterium sp. dan Aspergillus oryzae.Semarang, 18 Oktober 2014Praktikan,Asisten Dosen :-Yuni Rusiana

Buddy Kristianto12.70.0175

DAFTAR PUSTAKA1. 2. 3. 4.

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Aitken, A.; I. M. Mackie; J. H. Windsor. (1992). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Akolkar, A.V.; D. Durai; and A.J. Desai. (2010). Halobacterium sp. SP1(1) as a starter culture for accelerating fish sauce fermentation. Journal of Applied Microbiology No. 109, pp 4453.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Astawan, M.W. & M.Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Astuti, S.H. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 2 No. 1.

Desrosier, N. W. dan Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan . Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Deswati & Armaini. (2004). Pemanfaatan Ikan Bernilai Ekonomis Rendah untuk Pembuatan Kecap Ikan di Tempat Pelelangan Ikan Gaung Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang. Warta Pengabdian Andalas Volume XVI Nomor 24 Juni 2010.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Hariono, I.; Yeap S.E.; Kok T. N. and Ang G. T. (2005). Use of Koji and Protease in Fish Sauce Fermentation. Singapore J Pri Ind 32: 19-29

Ibrahim, Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172. Iskandar, H. M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboraturium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Le Van Viet Man and Tran Thi Anh Tuyet. (2006). Characterization of Protease From Aspergillus oryzae Surface Culture and Application in Fish Sauce Processing. Journal Science & Technology Development, Vol 9, No.5.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W. Soemardi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV.Aneka. Solo.

Lopetcharat, K. & J. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made From Pacific Whitting anf Surimi By-product During Fermentation Stage. Journal of Food Science Vol. 67, No.2.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Permanasari, Intan Ayu, Ratna Ibrahim, dan Laras Rianingsih. (2014). Pengaruh Perbedaan jenis Viscera Ikan Sebagai Bahan Baku dan Penambahan Enzim Tripsin Terhadap Mutu Kecap Ikan. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Volume 3, Nomer 2, Tahun 2004, Halaman 82-89

Petrucci, R.H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.

Rasyid, M. J. (2006). Optimalisasi Fermentasi dengan Pemanfaatan Enzim Kulit Nanas dan Pepaya pada Pembuatan Kecap Asin Limbah Kepala Udang Windu (Panaeus monodon Fabricus). Majalah Teknik Industri Vol. 11 No. 19, hal. 1-15.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sangjindavong, Mathana, Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 795

Shahidi, F. and J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.

Winarno, F. G. ( 1995 ). Enzim Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.LAMPIRAN5.1. Foto Kecap Ikan

Gambar 1. Foto Sampel Kecap Ikan kelompok D1 hingga D6

5.2. PerhitunganRumus:% Salinitas =

Kelompok D1% Salinitas =

Kelompok D2% Salinitas =

Kelompok D3% Salinitas = Kelompok D4% Salinitas =

Kelompok D5% Salinitas =

Kelompok D6% Salinitas =

5.3. Hasil Viper

5.4. Laporan Sementara dan Diagram Alir