KAJIAN TEMATIK DIREKTORAT ANGGARANBIDANG PEREKONOMIAN DAN KEMARITIMAN
TAHUN 2016
ANALISIS STRATEGI PENCAPAIAN EFEKTIVITASPELAKSANAAN ANGGARAN ASURANSI PERTANIAN
DALAM APBN MELALUI ANALISIS SWOT
SUBDIREKTORAT ANGGARAN BIDANG PERTANIAN,KELAUTAN DAN KEHUTANAN
DESEMBER 2016
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan ……………………………………………................ 1B. Landasan Teori……………………................................................. 6
1. Asuransi Pertanian…...……………………............................... 62. Efektivitas...........…………………………………….…........... 83. Teori SWOT...........................................…………………........ 12
C. Pembahasan......…………………..………...................................... 131. Kekuatan (Strength).………………………………………...... 13
1.1. Keterlibatan BUMN Bidang Asuransi SebagaiPelaksana Asuransi Pertanian.........................................
13
1.2. Dukungan dari Legislatif dan Eksekutif......................... 152. Kelemahan (Weakness).............................................................. 15
2.1. Kontribusi Pembayaran Premi Asuransi dari APBDBelum Memadai.............................................................
15
2.2. Belum Membudayanya Sadar Asuransi di Indonesia..... 173. Peluang (Opportunity)................................................................ 17
3.1. Cakupan dan Potensi Komoditas Yang DiasuransikanAkan Terus Berkembang................................................
17
3.2. Cakupan dan Potensi Luasan Lahan yangDiasuransikan.................................................................
19
4. Ancaman (Threat)...................................................................... 204.1. Kebijakan Penghematan Anggaran Belanja................... 204.2. Bencana.......................................................................... 21
D. Kesimpulan dan Saran.................................................................... 241. Kesimpulan................................................................................. 242. Saran........................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
1
A. Pendahuluan
Sektor pertanian mempunyai peran yang vital dalam menjaga stabilitas politik dan
ekonomi suatu negara. Pertanian dapat menjadi alat pemersatu bangsa mengingat pangan,
sebagai produk hasil pertanian, merupakan kebutuhan paling mendasar (primer) warga negara
yang harus terpenuhi baik untuk kelangsungan hidup maupun untuk peningkatan kualitas gizi
tiap individu. Stabilitas politik suatu negara tercermin dari stabilnya harga pangan dan
tersedianya stok pangan dan cadangannya dalam jumlah yang cukup. Pertanian juga berperan
fundamental dalam perekonomian negara mengingat banyak sektor lain yang berkaitan
langsung dengan sektor pertanian karena kedudukannya selaku penyedia bahan baku (input)
produksi.
Pertanian termasuk dalam tiga sektor terbesar yang berkontribusi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia bersama dengan sektor industri pengolahan (manufaktur)
dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Tabel 1Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Periode Tahun 2009 s.d. 2014
(dalam persen)
LAPANGAN USAHA 2009 2010 2011 2012 2013* 2014**
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, 15,29 15,29 14,71 14,50 14,42 14,33KEHUTANAN DAN PERIKANAN
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 10,56 11,16 11,82 11,81 11,29 10,493. INDUSTRI PENGOLAHAN 26,36 24,80 24,34 23,96 23,69 23,714. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 0,83 0,76 0,75 0,76 0,77 0,805. B A N G U N A N 9,90 10,25 10,16 10,26 9,98 10,056. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 13,28 13,69 13,80 13,96 14,32 14,607. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 6,31 6,56 6,62 6,67 6,99 7,398. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 7,23 7,24 7,21 7,27 7,52 7,659. JASA - JASA 10,24 10,24 10,58 10,81 11,01 10,98
PRODUK DOMESTIK BRUTO 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS 91,71 92,17 91,60 92,21 92,65 93,03Keterangan:* Angka sementara
** Angka sangat sementara
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016), http://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1207
2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di atas, terlihat bahwa sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan memberikan besaran kontribusi antara 14,33% s.d. 15,29 %
terhadap PDB selama periode tahun 2009 s.d. 2014. Sektor ini berada pada peringkat dua
penyumbang PDB terbesar setelah sektor industri pengolahan selama kurun tahun 2009 s.d.
2013. Kemudian pada tahun 2014, kedudukan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan sedikit menurun menjadi berada pada peringkat ketiga, dibawah sektor
perdagangan, hotel dan restoran.
Selain berkontribusi terhadap PDB, sektor pertanian juga turut berperan dalam
penyerapan tenaga kerja. Lebih dari 50% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pedesaan
dimana mayoritas rumah tangga bekerja dan mendapatkan penghasilan dari sektor pertanian.
Pengembangan turunan dari sektor pertanian seperti: tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, peternakan, dan perikanan menghasilkan beragam produk berbasis pertanian
yang dimanfaatkan menjadi sumber pendapatan.
Gambar 1Peta Sebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian
Sumber: Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terdapat 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian di
Indonesia yang terkonsentrasi paling banyak berada di wilayah Jawa dan Sumatera Utara.
Konsentrasi rumah tangga usaha pertanian terbanyak berikutnya berada di wilayah
Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan sebagaimana terlihat pada gambar di atas.
3
Tabel 2Jumlah Usaha Pertanian Menurut Subsektor dan Jenis Usaha
No Sektor/SubsektorRumah TanggaUsaha Pertanian
Perusahaan PertanianBerbadan Hukum
Usaha PertanianLainnya
SEKTOR PERTANIAN*) 26.135.469 4.165 5.922SUBSEKTOR1. Tanaman Pangan 17.728.162 114 1.316
Padi 14.147.861 75 589Palawija 8.624.228 47 950
2. Hortikultura 10.602.142 185 1.4553. Perkebunan 12.770.571 2.216 1.4514. Peternakan 12.969.206 636 2.1965. Perikanan 1.975.249 379 979
Budidaya Ikan 1.187.604 279 950Penangkapan Ikan 864.506 100 35
6. Kehutanan 6.782.956 656 9647. Jasa Pertanian 1.078.308
Sumber: Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013
*) Keterangan: satu rumah tangga usaha pertanian dapat mengusahakan lebih dari 1 subsektor usaha pertanian sehingga jumlah rumahtangga usaha pertanian di sektor pertanian bukan merupakan penjumlahan rumah tangga usaha pertanian dari masing-masing subsektor.
Berdasarkan Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013, rumah tangga usaha pertanian terbesar
berada pada subsektor tanaman pangan yaitu sebanyak 17,7 juta rumah tangga, diikuti dengan
subsektor peternakan sebanyak 12,9 juta rumah tangga dan subsektor perkebunan sebanyak
12,7 juta rumah tangga.
Adapun profil rumah tangga usaha pertanian berdasarkan luas kepemilikan lahan
dapat dijelaskan melalui tabel berikut:
Tabel 3Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai
NoGol Luas Lahan
(m2)
Laporan Sensus PertanianPerubahan (%)
Tahun 2003 Tahun 2013
1 <1.000 9.380.300 4.338.847 (53,75)2 1.000 – 1.999 3.602.348 3.550.185 (1,45)3 2.000 – 4.999 6.816.943 6.733.364 (1,23)4 5.000 – 9.999 4.782.812 4.555.075 (4,76)5 10.000 – 19.999 3.661.529 3.725.865 1,766 20.000 – 29.999 1.678.356 1.623.434 (3,27)7 ≥30.000 1.309.896 1.608.699 22,81
JUMLAH 31.232.184 26.135.469 (16,32)
Sumber: Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013
Berdasarkan perbandingan data Laporan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2003 dengan Tahun
4
2013 di atas, terlihat bahwa dalam 10 tahun berjalan terjadi penurunan rumah tangga usaha
pertanian sebesar 16,32%. Perubahan secara signifikan terjadi pada rumah tangga usaha
pertanian dengan penguasaan lahan kurang dari 1.000 m2 dengan 9,3 juta rumah tangga pada
tahun 2003 menjadi 4,3 juta rumah tangga pada tahun 2013.
Tingginya potensi di sektor pertanian seharusnya dapat menjadi pendorong bagi
pemerintah untuk melakukan pembangunan yang lebih intensif. Hal ini dibutuhkan
mengingat ketahanan pangan nasional merupakan salah satu tujuan dari pembangunan
nasional (Pasaribu et al. 2010). Pemerintah telah bertekad untuk mencapai kedaulatan
pangan melalui swasembada pangan yang diturunkan melalui program peningkatan produksi
pertanian. Namun diakui bahwa dalam upaya peningkatan produksi pertanian, dijumpai
berbagai kendala dalam pelaksanaannya di lapangan khususnya terkait dengan dampak
perubahan iklim global dan fenomena perdagangan internasional yang sulit dikendalikan.
Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang paling rawan terhadap
dampak negatif perubahan iklim (Yohe dan Tol, 2001). Perubahan iklim menunjukkan tren
peningkatan setiap tahunnya. Banjir dan kekeringan merupakan salah satu peristiwa yang
disebabkan oleh adanya fenomena perubahan iklim. Carter, Cheng dan Sarris (2011)
menyatakan sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang paling rentan
terhadap berbagai risiko bencana khususnya bencana banjir.
Selain bencana banjir, Estiningtyas et al. (2011) menambahkan kejadian kekeringan
sebagai faktor lainnya dari fenomena perubahan iklim yang mempengaruhi produktivitas
pertanian. Bencana banjir menyebabkan kerusakan pada tanaman padi, sedangkan kekeringan
menyebabkan kekurangan hasil produktivitas panen. Fenomena kekeringan merupakan
bencana yang terjadi setiap tahun sedangkan banjir merupakan bencana yang terjadi per tiga
tahun. Kementerian Pertanian dalam Andrayani (2013) memaparkan persoalan mendasar
yang dapat menjadi ancaman bagi sektor pertanian yang meliputi: (i) meningkatnya jumlah
penduduk, (ii) meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global,
(iii) ketersediaan infrastruktur lahan dan air, (iv) status kepemilikan lahan yang sempit,
(v) lemahnya kemampuan sistem pembenihan dan pembibitan nasional, (vi) terbatasnya
akses petani terhadap permodalan, (vii) masih tingginya suku bunga usahatani, (viii)
lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, (ix) rendahnya nilai tukar petani, (x)
masih rawannya ketahanan pangan dan tahanan energi, (xi) belum berjalannya diversifikasi
pangan dengan baik, (xii) belum padunya antar sektor dalam pembangunan pertanian, dan
(xiii) kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.
Untuk beradaptasi dengan bencana, para petani baik secara perorangan maupun
5
berkelompok telah mengembangkan berbagai pendekatan praktis tradisional seperti
menyimpan sebagian hasil panen padi dalam lumbung, menanam umbi-umbian di pekarangan
atau ladang, memelihara ternak, dan sebagainya yang lazim ditemui di Indonesia dan negara
agraris lainnya. Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) menjabarkan beberapa strategi yang
diterapkan petani dalam menghadapi risiko sebagai berikut:
Strategi produksi
Tercakup dalam kategori ini adalah diversifikasi atau memilih sistem usahatani yang
sekuen kegiatannya fleksibel, usahatani yang pembiayaannya fleksibel, dan/atau cara
pengelolaan produksinya fleksibel. Strategi yang diterapkan sebagian besar petani di
Indonesia adalah diversifikasi usahatani.
Strategi pemasaran
Tercakup dalam strategi ini adalah menjual hasil panen secara berangsur atau tidak
sekaligus, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk yang akan dihasilkan
(forward contracting), ataupun melakukan perjanjian tingkat harga antara petani dengan
pembeli tertentu untuk hasil panen yang akan datang (hedging on the future market). Yang
paling banyak dilakukan oleh petani di Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen
secara berangsur.
Strategi finansial
Tercakup dalam strategi ini adalah: (a) melakukan pencadangan dana yang cukup,
(b) melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, ataupun (c) membuat proyeksi
arus tunai berdasarkan estimasi biaya produksi, harga jual produk, dan produksi yang
realistis. Di Indonesia strategi ini mungkin diterapkan oleh sebagian petani yang termasuk
kategori mampu, itupun untuk beberapa petani yang menerapkan strategi (c) yang pada
umumnya tidak tertuang dalam bentuk formal (tertulis).
Pemanfaatan kredit informal
Contoh penerapan strategi ini adalah petani meminjam uang atau barang kebutuhan pokok
dari pihak lain (pedagang, pemilik modal perorangan). Strategi ini relatif banyak
diterapkan oleh petani di Indonesia, terutama rumah tangga petani kecil yang
berpendapatan rendah.
Asuransi pertanian.
Menjadi peserta asuransi pertanian formal untuk menutup sebagian atau semua kerugian
yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju,
ataupun sebagian petani di negara-negara berkembang. Di Indonesia asuransi pertanian
6
mulai dikembangkan sejak tahun 2015.
Dilatarbelakangi oleh kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan
terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta
sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani itu pula kemudian dirumuskan kebijakan
perlindungan dan pemberdayaan bagi petani yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Strategi perlindungan
dan pemberdayaan petani dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
Tabel 4Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Strategi perlindungan petani Strategi perberdayaan petani
1 Prasarana dan sarana produksi pertanian 1 Pendidikan dan pelatihan
2 Kepastian usaha 2 Penyuluhan dan pendampingan
3 Harga komoditas pertanian 3 Pengembangan sistem dan saranapemasaran hasil pertanian
4 Penghapusan praktik ekonomi biayatinggi
4 Konsolidasi dan jaminan luasan lahanpertanian
5 Ganti rugi gagal panen akibat kejadianluar biasa
5 Penyediaan fasilitas pembiayaan danpermodalan
6 Sistem peringatan dini danpenanganan dampak perubahan iklim
6 Kemudahan akses ilmu pengetahuan,teknologi, dan informasi
7 Asuransi pertanian 7 Penguatan kelembagaan petani
Sumber: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
B. Landasan Teori
1. Asuransi Pertanian
Kebijakan pemerintah yang cenderung hanya terfokus kepada bantuan langsung tidak
dapat memberikan peningkatan ketahanan masyarakat secara signifikan dalam situasi
bencana. Asuransi pertanian merupakan salah satu skema pembiayaan untuk melindungi
petani dari risiko akibat fenomena perubahan iklim (Dong dalam Dodon dan Sagala, 2014).
Skema asuransi memungkinkan untuk memastikan sebuah fenomena yang tidak pasti ke
dalam rencana yang pasti (Duncan dan Myers, 2000). Selain itu, asuransi dianggap menjadi
7
salah satu skema pembiayaan yang paling efektif dalam usaha meningkatkan ketahanan
ekonomi masyarakat (Hazell, Pomareda dan Valdes, 1986).
Gambar 2Peranan Asuransi dalam Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Masyarakat
Sumber: Dodon dan Sagala (2014)
Gambar 2 menjelaskan ilustrasi bagaimana kinerja asuransi dalam merespon kejadian
bencana kekeringan dan bencana banjir. Hasil survei di lapangan menunjukkan sebagian
besar masyarakat yang bekerja sebagai petani umumnya mengalami kerugian yang besar
sebagai dampak dari semakin menurunnya pendapatan dan kerugian akibat bencana yang
dialami. Asuransi pertanian memungkinkan memberikan bantuan melalui pembayaran klaim
asuransi pertanian, dimana pembiayaan ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk
mengganti kerugian yang dialaminya (Dodon dan Sagala, 2014).
Pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang
dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani
dalam bentuk asuransi pertanian. Dalam undang-undang diatas, asuransi pertanian
didefinisikan sebagai perjanjian antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk
mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani. Secara lebih teknis, program
asuransi pertanian diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor
40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian. Dalam peraturan menteri
tersebut, dijelaskan bahwa asuransi pertanian dilakukan untuk melindungi petani dari
7
salah satu skema pembiayaan yang paling efektif dalam usaha meningkatkan ketahanan
ekonomi masyarakat (Hazell, Pomareda dan Valdes, 1986).
Gambar 2Peranan Asuransi dalam Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Masyarakat
Sumber: Dodon dan Sagala (2014)
Gambar 2 menjelaskan ilustrasi bagaimana kinerja asuransi dalam merespon kejadian
bencana kekeringan dan bencana banjir. Hasil survei di lapangan menunjukkan sebagian
besar masyarakat yang bekerja sebagai petani umumnya mengalami kerugian yang besar
sebagai dampak dari semakin menurunnya pendapatan dan kerugian akibat bencana yang
dialami. Asuransi pertanian memungkinkan memberikan bantuan melalui pembayaran klaim
asuransi pertanian, dimana pembiayaan ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk
mengganti kerugian yang dialaminya (Dodon dan Sagala, 2014).
Pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang
dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani
dalam bentuk asuransi pertanian. Dalam undang-undang diatas, asuransi pertanian
didefinisikan sebagai perjanjian antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk
mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani. Secara lebih teknis, program
asuransi pertanian diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor
40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian. Dalam peraturan menteri
tersebut, dijelaskan bahwa asuransi pertanian dilakukan untuk melindungi petani dari
7
salah satu skema pembiayaan yang paling efektif dalam usaha meningkatkan ketahanan
ekonomi masyarakat (Hazell, Pomareda dan Valdes, 1986).
Gambar 2Peranan Asuransi dalam Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Masyarakat
Sumber: Dodon dan Sagala (2014)
Gambar 2 menjelaskan ilustrasi bagaimana kinerja asuransi dalam merespon kejadian
bencana kekeringan dan bencana banjir. Hasil survei di lapangan menunjukkan sebagian
besar masyarakat yang bekerja sebagai petani umumnya mengalami kerugian yang besar
sebagai dampak dari semakin menurunnya pendapatan dan kerugian akibat bencana yang
dialami. Asuransi pertanian memungkinkan memberikan bantuan melalui pembayaran klaim
asuransi pertanian, dimana pembiayaan ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk
mengganti kerugian yang dialaminya (Dodon dan Sagala, 2014).
Pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang
dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani
dalam bentuk asuransi pertanian. Dalam undang-undang diatas, asuransi pertanian
didefinisikan sebagai perjanjian antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk
mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani. Secara lebih teknis, program
asuransi pertanian diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor
40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian. Dalam peraturan menteri
tersebut, dijelaskan bahwa asuransi pertanian dilakukan untuk melindungi petani dari
8
kerugian gagal panen akibat: (i) bencana alam, (ii) serangan organisme pengganggu
tumbuhan, (iii) wabah penyakit hewan menular, dan/atau (iv) dampak perubahan iklim.
2. Efektivitas
Efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan yang telah ditetapkan
(Subagyo, 2000). Definisi secara lebih mendalam disampaikan Mandl, Dierx, dan
Ilzkovitz (2008) dalam The Effectiveness and Efficieny of Public Spending yang
mengemukakan bahwa efektivitas menghubungkan input atau output dengan tujuan akhir
yang hendak dicapai (outcome). Efektivitas menggambarkan keberhasilan sumber daya yang
digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hubungan keterkaitan antara input,
output dan outcome dijelaskan melalui gambar di bawah ini.
Gambar 3Kerangka Konseptual Mengenai Efisiensi dan Efektivitas
Sumber: Mandl, Dierx, and Ilzkovitz (2008)
Rondonuwu, Tinangon, dan Budiarso (2015) menjelaskan bahwa, secara sederhana,
efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output. Jika efisiensi berfokus
pada output dan proses, maka efektivitas berfokus pada outcome (hasil). Suatu program atau
kegiatan dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang
diharapkan atau dikatakan spending wisely. Menurut Mahmudi (2010), tingkat efektivitas
dinilai dengan mengukur hasil akhir suatu layanan dikaitkan dengan output-nya (cost of
outcome). Karena output yang dihasilkan organisasi sektor publik lebih banyak bersifat
9
output tak berwujud (intangible) yang tidak mudah dikuantifikasi, maka pengukuran
efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan (judgement).
Berkenaan dengan pelaksanaan asuransi pertanian, Sumaryanto dan Nurmanaf (2007)
menjelaskan unsur-unsur kunci yang menentukan efektivitas, viabilitas operasional dan
keberlanjutan suatu sistem asuransi pertanian yang mencakup:
a. Petani sasaran
Maksud dari petani sasaran disini adalah apakah sasarannya tertuju pada petani-petani
tertentu berdasarkan kategori menurut skala usaha, partisipasinya dalam lembaga
perkreditan, status garapan, dan sebagainya. Untuk kasus usahatani padi di Indonesia
tampaknya lebih layak tidak dilakukan pemilahan menurut skala pengusahaan,
partisipasinya dalam lembaga perkreditan ataupun status garapan. Jika difokuskan pada
petani dengan skala usaha tertentu maka kontraproduktif dengan pendekatan yang
ditempuh dalam implementasi struktur pokok landasan sebagaimana dibahas di atas.
Seandainya difokuskan pada petani yang terkait dengan lembaga perkreditan tertentu,
diperkirakan skala usaha yang efisien untuk asuransi pertanian tidak akan
tercapai karena secara empiris partisipasi petani dalam lembaga perkreditan sangat kecil.
Sementara itu jika difokuskan pada petani dengan status garapan tertentu, maka justru
akan terkendala dengan kondisi empiris di lapangan yaitu: umumnya transaksi status
garapan (sewa, bagi hasil) antara petani penggarap – pemilik lahan tidak bersifat formal;
dan status garapan sering berubah antar tahun, bahkan antar musim sehingga
kontraproduktif dengan upaya efisiensi biaya administrasi asuransi pertanian. Selain itu
juga kontraproduktif dengan manifestasi dari struktur pokok landasan asuransi pertanian
sebagaimana dibahas di atas. Mengacu pada kondisi empiris, tampaknya yang layak
dipertimbangkan sebagai basis penentuan petani sasaran adalah kombinasi dari wilayah
administratif dan daerah pengelolaan irigasi; atau wilayah tertentu yang oleh
pemerintah diprogramkan sebagai wilayah pertanian yang dicagar (terkait dengan strategi
pengendalian alih fungsi lahan sawah).
b. Cakupan komoditas usahatani
Cakupan komoditas disini adalah apakah mencakup semua komoditas ataukah komoditas
tertentu saja. Berpijak pada kondisi empiris, tampaknya lebih layak mengembangkan
asuransi pertanian pada komoditas tertentu, khususnya padi. Hal ini terkait dengan fakta
bahwa: karakteristik komoditas berimplikasi pada risiko usahatani, dan untuk tahap inisiasi
pengembangan maka asuransi pertanian komoditas tunggal lebih layak karena asuransi
pertanian adalah sangat kompleks.
10
c. Cakupan asuransi
Dalam konteks ini yang terutama adalah substansi permasalahan mengenai nilai jaminan
dan penentuan kerugian. Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam nilai jaminan dan
penentuan kerugian lazimnya dikaitkan dengan peluang terjadinya claim yang memenuhi
persyaratan dan kesanggupan petani membayar premi yang dikaitkan dengan kompensasi
yang dinikmati petani untuk melanjutkan usahatani yang dijalankan. Secara teoritis,
perhitungan tentang kisaran nilai jaminan dan penentuan kerugian memang
dapat diperoleh dari hasil studi empiris dengan pendekatan survey, tetapi hasil
perhitungan akurat hanya dapat diperoleh dari hasil kajian empiris dengan pendekatan
action research.
d. Nilai premi dan prosedur pengumpulannya
Strategi kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah dalam pengembangan produksi
padi tidak hanya berhasil meningkatkan ketahanan pangan nasional, tetapi di sisi lain juga
mempunyai ekses meningkatnya ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah.
Hal ini tak lepas dari posisi padi dalam perekonomian nasional yang sangat strategis
sehingga secara historis strategi kebijakan yang harus ditempuh seringkali sulit
menghindar dari kepentingan politik. Fakta tersebut harus dipertimbangkan dengan
seksama dalam penentuan nilai premi maupun prosedur pengumpulannya.
e. Mekanisme penyesuaian kerugian
Penentuan mekanisme penyesuaian kerugian harus memperhitungkan struktur biaya
yang dihadapi oleh asuransi pertanian maupun struktur biaya dan risiko usahatani dengan
pendekatan simultan. Oleh karena itu bentuk skim yang dipilih juga ikut menentukan.
Secara teoritis, informasi dan data yang dibutuhkan dalam merancang mekanisme
penyesuaian kerugian dapat disediakan dari hasil studi dengan pendekatan survey, tetapi
harus disempurnakan melalui pemanfaatan informasi dan data yang dihasilkan dari
penelitian dengan pendekatan kaji tindak.
f. Struktur organisasi
Struktur organisasi terkait dengan skim yang dipilih. Jika bentuk badan usaha adalah
BUMN, dengan sendirinya persoalan yang berkenaan dengan aspek property right
harus disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku. Sementara itu substansi
permasalahan yang berkenaan dengan batas yurisdiksi dan aturan representasi harus
sinkron dengan sistem administrasi pemerintahan yang dianut. Di tingkat operasional,
struktur organisasi yang dibentuk harus pula memperhatikan eksistensi kelembagaan
di tingkat petani yang relevan dengan kepentingan asuransi pertanian.
11
g. Skim pendanaan
Jika bentuk badan usaha yang dipilih adalah BUMN, maka kebijakan pemerintah yang
diberlakukan untuk badan-badan usaha milik negara akan berlaku pula sebagai acuan
pokok dalam skim pendanaan asuransi pertanian. Modifikasi mungkin diperlukan
terkait dengan keunikan sistem asuransi pertanian usahatani padi, tetapi hal tersebut
berada pada tataran operasional.
h. Susunan penjaminan ulang
Secara teknis, susunan penjaminan ulang harus diputuskan sejak asuransi pertanian akan
didirikan. Meskipun demikian, sejumlah modifikasi dan penyempurnaan tentu sangat
diperlukan seiring dengan makin banyaknya informasi dan data hasil evaluasi dan
monitoring.
i. Komunikasi dengan petani
Di antara sembilan unsur kunci yang membentuk suprastruktur skim asuransi pertanian,
komunikasi dengan petani merupakan unsur yang paling menentukan. Pembentukan
sistem komunikasi dengan petani yang kondusif membutuhkan pemahaman
komprehensif mengenai karakteristik komunitas agraris. Pengembangan sistem
komunikasi harus memperhatikan implikasi dari eksistensi kelembagaan lokal
komunitas agraris. Perlu dicatat bahwa pendekatan formal tidak selalu lebih efektif
untuk mencapai tujuan mengingat jumlah petani sangat banyak dan tersebar. Jika
pendekatan yang ditempuh adalah kelompok tani sehamparan, maka penguatan kelompok
tani merupakan syarat mutlak. Dalam konteks ini, peningkatan kemampuan kelompok
tani dalam pencatatan usahatani yang dijalankan (Farm Record Keeping – FRK) sangat
diperlukan karena sangat kondusif untuk menekan biaya operasional asuransi
pertanian. Untuk jangka panjang kemampuan dan kebiasaan pembuatan FRK seyogyanya
bukan hanya di tingkat kelompok, tetapi sampai ke tingkat petani.
Dalam penciptaan sistem komunikasi, perusahaan asuransi pertanian dengan petani,
peranan PPL sangat strategis. Peranannya tidak hanya diperlukan untuk menjembatani
kepentingan pihak asuransi dengan kepentingan petani. Pengalaman yang diperoleh
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dalam penyuluhan sangat kondusif untuk
mendukung terciptanya sistem usahatani padi yang sinergis dengan usaha asuransi
pertanian untuk usahatani padi. bahwa informasi adalah bahan baku utama untuk
pengambilan keputusan, maka arus informasi (untuk pengambilan keputusan tingkat
strategis, taktis, ataupun tingkat teknis) antara berbagai pemangku kepentingan dalam
sistem asuransi pertanian harus terjalin dengan baik dan up to date.
12
3. Teori SWOT
SWOT adalah akronim dari Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan),
Opportunities (kesempatan/peluang), dan Threats (ancaman). Analisis SWOT adalah suatu
bentuk analisis situasi dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis terhadap
kekuatan dan kelemahan suatu organisasi, juga kesempatan dan ancaman dari lingkungan
untuk merumuskan strategi organisasi (Sumaryo, 2015). Melalui analisis SWOT akan
diidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk kemudian dirumuskan strategi yang
akan ditempuh oleh organisasi baik internal maupun eksternal. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Maksud dari analisis SWOT ini adalah untuk meneliti dan menentukan dalam hal
manakah suatu organisasi/lembaga:
a. Kuat (sehingga dapat dioptimalkan);
b. Lemah (sehingga dapat segera dibenahi);
c. Kesempatan-kesempatan di luar (untuk dimanfaatkan);
d. Ancaman-ancaman dari luar (untuk diantisipasi).
Whalley (2010) merumuskan matriks analisis SWOT sebagai berikut:
Gambar 4Matriks Analisis SWOT
Sumber: Whalley (2010)
Berdasarkan matriks SWOT dari Whalley di atas, kekuatan (strengths) agar diberdayakan
sehingga sehingga peluang/kesempatan yang ada dapat dioptimalkan dan hambatan/ancaman
(threats) yang ada dapat direduksi. Sementara, kelemahan (weaknesses) agar diatasi sehingga
hambatan dalam memanfaatkan peluang/kesempatan yang ada dapat dicegah. USDA (2008)
menambahkan bahwa analisis SWOT dapat diterapkan pada bidang pertanian dan peternakan.
13
Adapaun alur proses analisis SWOT dijelaskan melalui gambar berikut:
Gambar 5Alur Proses Analisis SWOT
Sumber: Riston (2008)
Berdasarkan alur proses SWOT dari Riston di atas, terdapat dua proses analisis yaitu analisis
internal dan analisis eksternal. Analisis internal dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weaknesses) yang berasal dari dalam organisasi, sedangkan
analisis eksternal dilakukan untuk mengidentifikasi peluang (opportunities) dan ancaman
(threats) yang berasal dari luar organisasi.
C. Pembahasan
Strategi pencapaian efektivitas pelaksanaan anggaran asuransi pertanian dalam APBN melalui
analisis SWOT dapat dijelaskan menggunakan masing-masing unsur sebagai berikut :
1. Kekuatan (Strength)
1.1. Keterlibatan BUMN Bidang Asuransi Sebagai Pelaksana Asuransi Pertanian
Struktur organisasi merupakan salah satu unsur kunci yang menentukan efektivitas
dan keberlanjutan pelaksanaan asuransi pertanian. Jika bentuk badan usaha adalah BUMN,
maka harus disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku. Ketentuan pasal 38
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 mengatur bahwa pelaksanaan asuransi pertanian
dapat dilakukan melalui penugasan pemerintah kepada BUMN di bidang asuransi.
14
Berdasarkan surat Menteri Badan Usaha Milik Negara RI nomor S-587/MBU/09/2015
tanggal 21 September 2015, PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) ditunjuk untuk
melaksanakan penugasan sebagai Pelaksana Asuransi Usahatani Padi.
Penugasan BUMN sebagai pelaksana asuransi pertanian telah sesuai dengan kerangka
hukum yang berlaku dan dapat dikategorikan sebagai unsur kekuatan (Strength).
PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau lebih dikenal dengan PT Asuransi Jasindo
merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang usaha asuransi umum. BUMN ini
mempunyai pengalaman yang panjang dan mumpuni di bidang perasuransian. Dalam situs
resminya yang beralamat www.jasindo.co.id, dijelaskan sejarah berdirinya PT Asuransi Jasa
Indonesia (Persero) yang berawal dari dilaksanakannya nasionalisasi atas NV Assurantie
Maatschappij de Nederlander (perusahaan asuransi umum milik kolonial Belanda) dan Bloom
Vander (perusahaan asuransi umum milik Inggris). Kebijakan nasionalisasi tersebut
berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Setelah dilakukannya nasionalisasi, NV Assurantie Maatschappij de
Nederlander berganti nama menjadi PT Asuransi Bendasraya yang bergerak di bidang
asuransi umum dalam mata uang Rupiah. Sementara, Bloom Vander berganti nama menjadi
PT Umum Internasional Underwriters (UIU) yang bergerak pada bidang asuransi umum
dalam valuta asing. Selanjutnya melalui Keputusan Menteri Keuangan RI nomor
764/MK/IV/12/1972 tanggal 9 Desember 1972, pemerintah memutuskan untuk
menggabungkan (merger) PT Asuransi Bendasraya dan PT Umum Internasional
Underwriters menjadi sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi dengan
nama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero).
PT Asuransi Jasindo juga menunjukkan kinerja yang gemilang sehingga berhasil
dalam meraih kepercayaan publik baik dalam negeri maupun luar negeri. Layanan yang
profesional dan terpercaya ditunjukkan melalui keterlibatan Asuransi Jasindo dalam
pertanggungan dengan kategori mega risk. Penyelesaian atas klaim-klaim besar yang telah
dilakukan antara lain adalah klaim Apogee Kick Motor Satelit Palapa B2 sebesar
US$ 75 juta, BDC Failure Satelit Palapa C2 senilai US$ 31,2 juta, Battery Charging Failure
Satelit Palapa C2 sebesar US$ 36,5 juta, dan Loss of DB Satelit Garuda milik Aces
International hingga senilai US$ 101,5 juta. PT Asuransi Jasindo meraih banyak apresiasi dan
penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri diantaranya:
a. Peringkat 1 Annual Report Award 2014 Kategori BUMN Keuangan Non Listed dari
Kementerian BUMN;
15
b. Peringkat 1 Annual Report Award 2015 Kategori BUMN Keuangan Non Listed dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
c. Penghargaan Good Corporate Governance Award 2015 sebagai Perusahaan Paling
Terpercaya berdasarkan Corporate Governance Perception Index (CGPI) dari Indonesia
Institute for Corporate Governance (IICG) dan Majalah SWA;
d. Best Financial Performance General Insurance Company 2016 untuk Kategori
Perusahaan dengan Aset lebih dari Rp 5 triliun dari Warta Ekonomi;
e. Best's Financial Strength Rating B++ (Good) Tahun 2015 dan 2016 dari AM Best,
badan pemeringkat internasional yang berbasis di Hongkong dan Amerika Serikat.
1.2. Dukungan dari Legislatif dan Eksekutif
Asuransi pertanian telah mendapatkan dukungan dari parlemen dan pemerintah yang
terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dasar hukum berupa undang-
undang tersebut merupakan aturan hukum tertinggi yang menjadi acuan dalam menyusun
aturan hukum turunan secara lebih rinci dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan dalam usaha pertanian. Detail tata cara pelaksanaan asuransi pertanian yang telah
ditetapkan saat ini adalah pengaturan dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).
Dalam UU Nomor 19 Tahun 2013 disebutkan bahwa strategi perlindungan petani
dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah yaitu: (i) prasarana dan sarana produksi pertanian,
(ii) kepastian usaha, (iii) harga komoditas pertanian, (iv) penghapusan praktik ekonomi biaya
tinggi, (v) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, (vi) sistem peringatan dini dan
penanganan dampak perubahan iklim, dan (vii) asuransi pertanian. Semua langkah strategi
perlindungan petani tersebut telah mulai diimplementasikan oleh pemerintah setelah
ditetapkannya undang-undang tersebut, kecuali asuransi pertanian yang baru mulai
dditerapkankan uji cobanya mulai tahun 2015.
2. Kelemahan (Weakness)
2.1. Kontribusi Pembayaran Premi Asuransi dari APBD Belum Memadai
Salah satu unsur kunci yang menentukan efektivitas dan keberlanjutan pelaksanaan
asuransi pertanian adalah skim pendanaan. Pada tataran operasional, dapat dilakukan
modifikasi skim pendanaan mengingat keunikan sistem asuransi pertanian. Ketentuan pasal
37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 mengatur bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang
dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian. Dalam pasal 39 juga dijelaskan bahwa
16
pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi setiap petani menjadi peserta asuransi
pertanian melalui kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta, kemudahan akses terhadap
perusahaan asuransi, sosialisasi program asuransi, dan/atau bantuan pembayaran premi.
Dalam Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 02/Kpts/SR.220/B/01/2016 tentang
Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usahatani Padi, ditetapkan harga pertanggungan sebesar
Rp6.000.000,00 per hektar per musim tanam sebagai dasar perhitungan premi dan batas
maksimum ganti rugi. Pemberian ganti rugi kepada peserta AUTP dilakukan apabila terjadi
banjir, kekeringan dan atau serangan OPT yang mengakibatkan kerusakan tanaman padi yang
dipertanggungkan dengan persyaratan sebagai berikut: (i) umur padi sudah melewati 10 hari
(10 hari setelah tanam/HST), (ii) umur padi sudah melewati 30 hari (teknologi tabela), dan
(iii) intensitas kerusakan mencapai ≥75% dan luas kerusakan mencapai ≥75% pada
setiap luas petak alami. Total premi asuransi ditetapkan sebesar Rp180.000,00 per hektar (ha)
per masa tanam (MT). Besaran bantuan premi dari pemerintah adalah sebesar 80% atau
Rp144.000,00/ha/MT dan sisanya swadaya petani sebesar 20% atau Rp36.000,00/ha/MT.
Jika luas lahan yang diasuransikan kurang atau lebih dari 1 (satu) hektar, maka besarnya
premi (dan ganti rugi) dihitung secara proporsional. Sementara, melalui Keputusan Menteri
Pertanian nomor 56/Kpts/SR.230/B/06/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi
Usaha Ternak Sapi, ditetapkan harga pertanggungan sebesar Rp10.000.000,00 per ekor
per tahun sebagai dasar perhitungan premi dan batas maksimum ganti rugi. Pemberian ganti
rugi kepada peserta AUTS dilakukan apabila terjadi kematian sapi karena penyakit,
kecelakaan, atau beranak maupun kehilangan sapi karena kecurian selama jangka waktu
pertanggungan. Besaran bantuan premi dari pemerintah adalah sebesar 80% atau
Rp160.000,00/ekor/tahun dan sisanya swadaya peternak sebesar 20% atau Rp40.000,00/ekor
/tahun.
Skim pendanaan yang telah berjalan selama ini adalah pembayaran premi asuransi
pertanian ditanggung oleh 2 (dua) pihak yakni pemerintah sebesar 80% dan petani/peternak
sebesar 20%. Sementara, kontribusi dari pemerintah daerah melalui APBD baru sebatas
fasilitasi pendaftaran kepesertaan dan sosialisasi program asuransi pertanian. Belum adanya
pemerintah daerah yang berinisiatif menyiapkan anggaran pembayaran premi melalui APBD
dapat dikategorikan sebagai unsur kelemahan (weakness). Sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013, perlindungan usaha tani melalui asuransi pertanian merupakan
tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dapat dipahami bahwa
kemampuan fiskal tiap-tiap daerah beragam dan tidak merata sehingga kontribusi pembayaran
premi dari APBD tidak dapat diterapkan secara menyeluruh. Meski demikian, inisiasi ke arah
17
tersebut dipandang perlu untuk diterapkan secara bertahap dimulai dari pemerintah daerah
dengan kategori kapasitas fiskal yang tinggi dan sangat tinggi. Daftar provinsi/kabupaten/kota
sebagaimana termuat dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 37/PMK.07/2016
tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah dapat digunakan sebagai dasar acuan.
2.2. Belum Membudayanya Sadar Asuransi di Indonesia
Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia berasuransi masih tergolong rendah
dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut disebabkan karena asuransi belum dianggap
sebagai kebutuhan utama bagi sebagian besar masyarakat. Selain itu, pemahaman
masyarakat akan klaim juga masih kurang. Berdasarkan hasil analisis Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), asuransi masih menjadi kebutuhan tersier di Indonesia karena hal ini
berkaitan erat dengan tingkat pendapatan dan pendidikan seseorang. Faktor pendapatan dan
pendidikan inilah yang menyebabkan asuransi lebih banyak dimiliki oleh masyarakat dari
golongan menengah ke atas. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkembangkan asuransi mikro
yang terjangkau oleh kelompok menengah ke bawah, seperti petani dan nelayan. Di Filipina
dan Thailand, asuransi mikro sudah berjalan karena adanya kontribusi dari pemerintah.
Dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia, baru 18% atau sekitar 43,2 juta jiwa
yang sudah mengerti dan memahami asuransi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), dari jumlah keseluruhan penduduk tersebut hanya 12% atau 28,8 juta jiwa yang
benar-benar merasakan produk asuransi. Rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah minimnya literasi asuransi atau belum
sadarnya masyarakat akan pentingnya memiliki asuransi. Sebagian masyarakat beranggapan
masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak ketimbang menyisihkan penghasilan
mereka untuk keperluan proteksi diri dan harta bendanya.
3. Peluang (Opportunity)
3.1. Cakupan dan Potensi Komoditas yang Diasuransikan Akan Terus Berkembang
Salah satu unsur kunci yang menentukan efektivitas dan keberlanjutan pelaksanaan
asuransi pertanian adalah cakupan asuransi. Gambaran umum insurance in emerging markets
dijelaskan melalui gambar berikut:
18
Gambar 6Densitas dan Penetrasi Asuransi di Emerging Markets Tahun 2015
Sumber: Swiss Re Economic Research & Consulting (Sigma, 2016)
Berdasarkan data World Insurance in 2015 di atas, posisi Indonesia dalam dunia
perasuransian global menempati urutan ke-45 dari 58 emerging markets. Posisi ini sedikit
meningkat dimana sebelumnya berada di peringkat ke-46 di tahun 2014. Pada gambar di atas
terlihat posisi Indonesia, Filipina, India, Sri Langka, Vietnam, Pakistan dan Bangladesh
berada di bawah rata-rata (average) emerging markets, sementara posisi Malaysia dan
Thailand berada jauh diatas rata-rata. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati
posisi yang lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam berdasarkan nilai premi per
kapita dan densitas asuransi. Namun berdasarkan penetrasi asuransi, posisi Filipina sedikit
lebih tinggi dari Indonesia dan Vietnam. Penetrasi asuransi Indonesia yang masih di bawah
3% terhadap PDB menjadi potensi besar bagi pertumbuhan asuransi di masa mendatang
sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai unsur peluang (Opportunity).
19
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang
Fasilitas Asuransi Pertanian, diatur jenis asuransi pertanian yang dilaksanakan oleh
Kementerian Pertanian sebagai berikut:
a. Asuransi Tanaman
Asuransi Tanaman meliputi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Mulai tahun
2015, telah diimplementasikan asuransi untuk usahatani padi yang berpedoman pada
Keputusan Menteri Pertanian nomor 782/HK.160/B.1.1/10/2015 tentang Pedoman
Bantuan Premi Asuransi Usahatani Padi. Untuk tahun 2016, pedoman tersebut
diperbaharui melalui Keputusan Menteri Pertanian nomor 02/Kpts/SR.220/B/01/2016.
b. Asuransi Ternak.
Asuransi Ternak meliputi ruminansia, nonruminansia dan monogastrik/pseudoruminant.
Untuk tahun 2016, telah diimplementasikan asuransi untuk usaha ternak sapi yang
berpedoman pada Keputusan Menteri Pertanian nomor 56/Kpts/SR.230/B/06/2016 tentang
Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usaha Ternak Sapi.
Perluasan cakupan asuransi pertanian pada tahun-tahun mendatang adalah suatu
keniscayaan yang tentunya harus seiring sejalan dengan kapasitas fiskal pemerintah yang
semakin baik. Asuransi pertanian untuk tanaman yang saat ini telah diterapkan baru meliputi
salah satu tanaman pangan saja yakni usahatani padi. Sementara, dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 dijelaskan bahwa asuransi tanaman meliputi
tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Masih terbuka peluang penerapan asuransi
untuk jenis tamanan pangan lain seperti jagung dan sagu, juga untuk kelompok tanaman
lainnya seperti buah dan sayur (hortikultura) atau karet, kakao, kopi, dan tebu (perkebunan).
Hal yang sama pun berlaku untuk asuransi pertanian untuk ternak mengingat dalam Peraturan
Menteri Pertanian di atas diatur bahwa asuransi ternak meliputi ruminansia, nonruminansia
dan monogastrik/pseudoruminant. Asuransi pertanian untuk ternak yang saat ini telah
diterapkan baru meliputi salah satu ruminansia saja yakni usaha ternak sapi. Masih terbuka
peluang penerapan asuransi untuk kategori ruminansia lainnya seperti kambing dan domba,
juga untuk kelompok ternak lainnya seperti unggas (monogastrik).
3.2. Cakupan dan Potensi Luasan Lahan yang Diasuransikan
Selain pengembangan asuransi pertanian untuk komoditas sejenis lainnya, masih
terbuka kemungkinan perluasan cakupan terkait luasan lahan yang diasuransikan pada
tahun-tahun mendatang. Potensi ditemui mengingat terdapat gap yang lumayan jauh antara
luas lahan pertanian yang terdata dengan luas lahan yang telah mendapatkan perlindungan
20
asuransi sebagaimana dijelaskan melalui tabel berikut:
Tabel 5Target dan Alokasi Anggaran Asuransi Pertanian
TahunLuas Panen
(Ha)Produksi
(Ton)
Luas LahanTerasuransi
(Ha)
CakupanAsuransi
(%)
2014 13.797.307 70.846.465 - -
2015 14.116.638 75.397.841 1.000.000 7,14
2016 * 15.035.736 79.141.352 3.000.000 19,95
Sumber : Kementerian Pertanian
Melalui tabel 5 di atas, terlihat perbandingan luas lahan yang telah mendapatkan
asuransi dengan luas lahan pertanian keseluruhan yang terdata. Cakupan asuransi pertanian
untuk AUTP adalah sekitar 7,14% di tahun 2015 dan meningkat menjadi 19,95% di tahun
2016.
4. Ancaman (Threat)
4.1. Kebijakan Penghematan Anggaran Belanja
Mekanisme pelaksanaan AUTP diserahkan Kementerian Pertanian dengan
menggunakan anggaran Kementerian Pertanian (BA 018) yang berasal dari APBN untuk
membayar premi asuransi. Skema pembayaran premi asuransi dibebankan kepada pemerintah
sebesar 80% bersumber dari APBN dan sisa 20% dibebankan kepada petani. Besaran
tanggungan premi atas beban APBN sebesar Rp144.000,00 per hektar per masa tanam untuk
AUTP dan sebesar Rp160.000,00 per ekor per tahun menunjukkan adanya korelasi antara
alokasi anggaran dengan target yang akan dicapai. Semakin besar anggaran yang tersedia,
semakin besar cakupan target yang dapat dicapai, demikian pula sebaliknya. Dinamika
kebijakan di level nasional, khususnya yang terkait dengan penghematan anggaran, sedikit
banyak mempengaruhi pelaksanaan kegiatan asuransi pertanian di lapangan. Kebijakan
penghematan anggaran tahun 2016 yang terakhir ditetapkan melalui Instruksi Presiden
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan Belanja Kementerian/
Lembaga Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
Tahun Anggaran 2016, berdampak pada penyesuaian target pelaksanaan asuransi pertanian.
Gambaran mengenai pengaruh penghematan anggaran asuransi pertanian terhadap
pencapaian target AUTP dijelaskan melalui tabel berikut:
21
Tabel 6Target dan Alokasi Anggaran Asuransi Pertanian
Pada Kementerian Pertanian (BA 018)
Tahun Anggaran Target Alokasi Keterangan
2015 1 juta ha 150 miliar
2016 – APBN 3 juta ha 473,1 miliar
2016 – APBN Perubahan 0,7 juta ha 134 miliar Penghematan anggaran
Sumber : RKA-K/L Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian
Melalui Tabel 5 di atas, terlihat anggaran asuransi pertanian yang dialokasikan
Kementerian Pertanian sebesar Rp150 miliar untuk uji coba AUTP pada tahun 2015 dengan
target capaian seluas 1 juta hektar. Di tahun 2016, alokasi anggaran asuransi pertanian
mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp473,1 miliar dengan target capaian seluas 3 juta
hektar. Adanya dinamika kebijakan terkait penghematan anggaran belanja
kementerian/lembaga berdampak pada peghematan/pemotongan anggaran untuk AUTP
dalam APBN-P TA 2016 menjadi sebesar Rp134 miliar. Hal ini membawa pengaruh pada
target yang akan dicapai dari semula seluas 3 juta hektar menjadi seluas 700 ribu hektar.
Karenanya, kebijakan penghematan anggaran belanja yang dilakukan pemerintah dapat
dikategorikan sebagai unsur ancaman (threat).
4.2. Bencana
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kondisi geografis dan faktor
alam. Kondisi geografis Indonesia berada di atas pertemuan 3 lempeng tektonik dengan
hampir 200 gunung berapi, dimana 70 gunung diantaranya termasuk dalam kategori sangat
aktif. Dengan kata lain, wilayah Indonesia berada di atas jalur gempa dan letusan gunung
berapi.
Potensi bencana lainnya berasal dari faktor alam. Iklim negeri kita yang tropis
dengan curah hujan yang cukup tinggi selain memudahkan terjadinya pelapukan, juga
menyebabkan lapisan tanah menjadi tidak stabil. Banyaknya kondisi tanah yang rusak
berpotensi memunculkan longsor dan banjir. Gambaran peta wilayah bencana di Indonesia
yang dikaitkan dengan risiko mortalitas dan penurunan PDB adalah sebagai berikut:
22
Gambar 7Hotspots Risiko Bencana di Indonesia: Risiko Mortalitas
Sumber: M. Dilley et al. dalam Bappenas (2006)
Gambar 8Hotspots Risiko Bencana di Indonesia: Dampak terhadap GDP
Sumber: M. Dilley et al. dalam Bappenas (2006)
Bappenas (2006) menyampaikan bahwa bencana banjir menimbulkan risiko khusus
mengingat kecenderungan dampaknya yang sangat tinggi pada PDB dan mortalitas. Bencana
kebakaran juga patut diperhitungkan sebagaimana kerusakan akibat kebakaran lahan yang
ditunjukkan selama musim El Nino. Pada Gambar 2 terlihat pulau Jawa dan sebagian kecil
Sumatera menjadi wilayah dengan risiko bencana tertinggi dari segi korban jiwa (mortalitas).
Sementara, melalui Gambar 3 terlihat pengaruh bencana terhadap penurunan PDB dimana
sebagian besar wilayah Jawa, Sumatera dan Nusa Tenggara Timur mengalami penurunan
PDB dengan proporsi yang tertinggi di Indonesia.
Bencana yang terjadi di Indonesia memiliki keragaman jenis dan berkarakteristik
merusak dan berdampak kerugian selain kematian dan kerusakan infratsruktur namun juga
23
kerusakan lahan. Data mengenai jenis dan frekuensi bencana yang berdampak pada kerusakan
lahan di Indonesia dalam lima tahun terakhir serta data kerusakan lahan akibat bencana
dijelaskan melalui tabel berikut:
Tabel 7Frekuensi Jenis Bencana yang Berdampak Kerusakan Lahan di Indonesia
Tahun 2011 s.d. 2015
Jenis Bencana 2011 2012 2013 2014 2015 Total Rata-rata
BANJIR 554 540 683 559 492 2.828 565,6
BANJIR DAN TANAH LONGSOR 26 51 47 37 31 192 38,4
GELOMBANG PASANG / ABRASI 17 29 36 20 7 109 21,8
KEBAKARAN 492 469 20 - 3 984 246,0
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN 23 51 26 101 45 246 49,2
KEKERINGAN 221 264 66 7 7 565 113,0
LETUSAN GUNUNG API 4 7 8 5 10 34 6,8
PUTING BELIUNG 447 562 503 621 565 2.698 539,6
TANAH LONGSOR 329 291 296 600 504 2.020 404,0
TOTAL 2.113 2.264 1.685 1.950 1.664 9.676 1.935,2
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana
Tabel 8Kerusakan Lahan Akibat Bencana di Indonesia
Tahun 2011 s.d. 2015 (dalam Ha)
Jenis Bencana 2011 2012 2013 2014 2015 TotalRata-rata
BANJIR 18.265,0 38.924,5 86.719,0 116.612,0 46.120,3 306.640,7 61.328,1
BANJIR DANTANAHLONGSOR
39,0 1.473,2 2.915,0 206,0 70,4 4.703,6 940,7
GELOMBANGPASANG /ABRASI
125,0 168,0 0,0 0,0 0,0 293,0 58,6
KEBAKARAN 55,0 12,0 0,0 - 0,0 67,0 16,8
KEBAKARANHUTAN DANLAHAN
0,0 0,0 0,0 214,0 0,0 214,0 42,8
KEKERINGAN 48.545,0 43.067,0 4.068,0 0,0 434,0 96.114,0 19.222,8
LETUSANGUNUNG API
0,0 0,0 0,0 5.146,0 0,0 5.146,0 1.029,2
PUTING BELIUNG 0,0 14.189,5 875,5 0,0 1,0 15.066,0 3.013,2
TANAHLONGSOR
165,7 162,3 5.393,7 9.358,2 1.203,8 16.283,6 3.256,7
TOTAL 67.194,7 97.996,4 99.971,2 131.536,2 47.829,4 444.527,9 88.905,6
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana
24
Melalui Tabel 7 di atas terlihat data bencana yang tercatat oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang periode tahun 2011 hingga 2015 secara rata-rata
di Indonesia sebanyak 1.935 kejadian bencana setiap tahunnya yang berdampak pada
kerusakan lahan. Jenis bencana yang paling sering terjadi pada periode tersebut adalah
bencana banjir dengan frekuensi terbesar terjadi pada tahun 2013 sebesar 683 kejadian.
Sementara, jenis bencana yang paling jarang terjadi dalam periode yang sama adalah bencana
letusan gunung api.
Sementara, melalui Tabel 8 di atas terlihat maka kerusakan lahan terbesar sepanjang
lima tahun terakhir disebabkan oleh bencana banjir. Sementara, kerusakan lahan terkecil
dalam periode yang sama disebabkan oleh bencana kebakaran. Adapun kerusakan lahan
terbesar terjadi di tahun 2014 dengan luasan 131.536,2 hektar yang dominan disebabkan oleh
bencana banjir. Total kerusakan lahan yang terjadi selama periode 2011 s.d. 2015 adalah
seluas 306.640,7 hektar dengan rata-rata kerusakan lahan yang ditimbulkan seluas
61.328,1 hektar per tahun.
Tingginya luas kerusakan lahan yang disebabkan oleh bencana alam tersebut tentu
merugikan aktivitas ekonomi nasional, tidak terkecuali sektor pertanian. Bencana alam
seperti banjir, kekeringan, dan puting beliung tidak hanya mengakibatkan lahan pertanian
menjadi rusak dan petani tidak mampu melanjutkan usahanya kembali namun juga
infrastruktur yang meliputi sektor pertanian sehingga mengganggu kinerja sektor pertanian
serta merugikan petani sebagai pelaku usaha. Karenanya, kejadian bencana dapat
dikategorikan sebagai unsur ancaman (threat).
D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Pertanian termasuk dalam tiga sektor terbesar yang berkontribusi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Asuransi merupakan salah satu skema pembiayaan yang
paling efektif dalam usaha meningkatkan ketahanan ekonomi petani. Pelaksanaan asuransi
pertanian di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam UU tersebut diuraikan strategi
perlindungan petani dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (i) prasarana dan
sarana produksi pertanian, (ii) kepastian usaha, (iii) harga komoditas pertanian,
(iv) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, (v) ganti rugi gagal panen akibat kejadian
luar biasa, (vi) sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan
25
(vii) asuransi pertanian. Asuransi pertanian telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2015
dalam bentuk uji coba. Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran untuk asuransi
pertanian sebesar Rp150 miliar di tahun 2015 dan meningkat menjadi Rp473,1 miliar
di tahun 2016.
Unsur kunci yang menentukan efektivitas, viabilitas operasional dan keberlanjutan
suatu sistem asuransi pertanian menurut Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) mencakup
9 (sembilan) hal yaitu: (i) petani sasaran, (ii) cakupan komoditas usahatani,
(iii) cakupan asuransi, (iv) nilai premi dan prosedur pengumpulannya, (v) mekanisme
penyesuaian kerugian, (vi) struktur organisasi, (vii) skim pendanaan, (viii) susunan
penjaminan ulang, dan (ix) komunikasi dengan petani. Kajian ini mengacu pada
9 (sembilan) unsur tersebut serta unsur tambahan lainnya yang berkorelasi. Gabungan dari
pelbagai unsur tersebut kemudian diteliti menggunakan analisis SWOT dan diidentifikasi ke
dalam 4 kelompok yaitu kekuatan (strength) sehingga dapat dioptimalkan, kelemahan
(weakness) sehingga dapat dibenahi, peluang/kesempatan (opportunity) untuk dapat
dimanfaatkan, dan hambatan/ancaman (threat) untuk dapat diantisipasi.
Hasil analisis SWOT strategi pencapaian efektivitas pelaksanaan anggaran asuransi
pertanian adalah sebagai berikut:
a. Keterlibatan BUMN bidang asuransi sebagai pelaksana asuransi pertanian dan dukungan
dari legislatif dan eksekutif sebagai unsur kekuatan (strength).
b. Kontribusi pembayaran premi asuransi dari APBD yang belum memadai dan belum
membudayanya sadar asuransi di Indonesia sebagai unsur kelemahan (weakness).
c. Cakupan dan potensi komoditas yang diasuransikan dan potensi luas lahan yang akan
terus berkembang sebagai unsur peluang (opportunity).
d. Kebijakan penghematan anggaran belanja dan bencana sebagai unsur ancaman (threat).
2. Saran
Upaya pemerintah untuk menerapkan asuransi pertanian sebagai wujud keberpihakan
kepada petani layak mendapatkan apresiasi. Besaran anggaran dan cakupan asuransi pertanian
pada Kementerian Pertanian menunjukkan trend yang positif. Meski demikian, asuransi
pertanian memiliki keterbatasan karena hanya memberikan perlindungan terhadap risiko
gagal panen akibat bencana banjir, kekeringan dan atau serangan OPT, sementara terdapat
risiko lain yang dihadapi para petani Indonesia seperti harga jual hasil panen yang rendah,
kelangkaan pupuk sehingga menjadi mahal harganya, atau benih berkualitas yang sulit
didapat. Karenanya, strategi perlindungan kepada petani tidak dapat hanya mengandalkan
26
pada asuransi pertanian saja, namun harus terpadu pelaksanaannya bersama dengan kebijakan
lainnya seperti peningkatan prasarana dan sarana produksi pertanian, stabilisasi harga
komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, maupun pemberian subsidi
pupuk.
Pelaksanaan asuransi pertanian yang fokus pada komoditas tertentu yakni usahatani
padi dan usaha ternak sapi di tahun-tahun awal implementasi merupakan langkah yang tepat.
Fokus pelaksanaan selanjutnya adalah ekstensifikasi cakupan sehingga luasan usahatani padi
dan usaha ternak sapi yang diasuransikan meningkat pada wilayah yang tersebar secara lebih
merata diiringi dengan ketepatan sasaran dan proses yang benar.
Sehubungan dengan keterbatasan waktu dan sumber daya, dalam kajian ini belum
dilakukan analisis pembobotan, rating dan scoring masing-masing faktor SWOT, juga
belum dilakukan matriks formulasi strategi antara faktor internal dengan faktor eksternal.
Meski demikian, adanya kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sederhana
mengenai pelaksanaan anggaran asuransi pertanian di Indonesia. Mengingat asuransi
pertanian masih dalam tahun awal pelaksanaan, masih terbuka luas peluang untuk penelitian
selanjutnya secara lebih mendalam dengan landasan teori dan metode yang berbeda dan
terkini disertai alat analisis yang lebih terukur.
i
DAFTAR PUSTAKA
Andrayani, D. (2013). Asuransi Pertanian Sebagai Sarana Meningkatkan Kesejahteraan Petani;
Analisis Simulasi pada PT. Saung Mirwan dan Mitra Taninya di Kecamatan
Megamendung, Kabupaten Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2016). Data dan Informasi Bencana Indonesia.
Jakarta.
http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana
Badan Pusat Statistik. (2013). Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan Lengkap).
Jakarta.
http://st2013.bps.go.id/st2013esya/booklet/at0000.pdf
Badan Pusat Statistik. (2016). Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas
Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, 2000-2014 (Persen). Jakarta.
http://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1207
Bappenas. (2006). Preliminary Damage and Loss Assessment: Yogyakarta dan Central Java
Natural Disater. Paper presented at The 15th Annual Meeting of The Consultative
Group on Indonesia, June. Jakarta
Budiani, Ni Wayan. (2007). Efektivitas Program Penanggulangan Pengangguran Karang
Taruna ”Eka Taruna Bhakti” Desa Sumerta Kelod Kecamatan Denpasar Timur Kota
Denpasar. Jurnal Ekonomi dan Sosial INPUT. Vol. 2 No.1. Hal. 49-57. Denpasar:
Universitas Udayana.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/input/article/viewFile/3191/2288
Carter, M., Cheng, L., dan Sarris, A. (2011). The Impact of Interlinked Index Insurance and
Credit Contracts on Financial Market Deepening and Small Farm Productivity. Paper
presented at the Annual Meeting of The American Applied Economics Association,
Pittsburgh PA, July.
Duncan, J., dan Myers, R.J. (2000). Crop Insurance Under Catastropic Risk. American Journal
of Agricultural Economics. Vo. 82 No.4 page 842-855.
ii
Dodon, dan Sagala, Saut A.H. (2014). Asuransi Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan
Ekonomi Masyarakat Petani dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota B. SAPPK V4N1 Hal.57-63. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Estiningtiyas, W. Boer, I, Buono, A. dan Rakhman, A. (2011). Delinasi Risiko Iklim dan
Evaluasi Model Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi dalam Mendukung
Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) pada Sistem Usahatani
Berbasis Padi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.
Hazell, P.B., Pomareda, C., dan Valdes, A. (1986). Crop Insurance for Agricultural
Development: Issues and Experience. IICA Biblioteca. Venezuela.
Kurniawan, Agung. (2005). Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan.
Mahmudi. (2010). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN.
Mandl U., Dierx A., & Ilzkovitz, Fabienne. (2008). Effectiveness and Efficiency of Public
Spending. Economic Papers 201. February 2008. Brussels: European Commission.
http://ec.europa.eu/economy_finance/publications/publication16267_en.pdf
Pasaribu M.S., I.S. Agung, N.K. Agustin, E. M. Lokollo, H. Tarigan, Y. Supriyatna. (2010).
Laporan Akhir Penelitian : Pengembangan Asuransi Usahatani Padi untuk
Menanggulangi Risiko Kerugian 75% Akibat Banjir, Kekeringan, dan Hama Penyakit.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian. Bogor
Riston, Neil. (2008). Strategic Management. Neil Ritson & Ventus Publishing ApS. ISBN 978-
87-7681-417-5
http://www.kau.edu.sa/Files/0057862/Subjects/Strategic%20Management%20Book.pdf
Rondonuwu R.H., Tinangon J.J., & Budiarso, Novi. (2015). Analisis Efisiensi dan Efektivitas
Pengelolaan Keuangan Daerah pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Minahasa.
Jurnal EMBA Vol.3 No.4 Desember 2015, Hal.23-32. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.
Sigma. (2016). World Insurance in 2015: Steady Growth Amid Regional Disparities. Swiss Re
Sigma No. 3/2016. June 2016
http://www.swissre.com/library/sigma3_2016_en.html
iii
Subagyo, A. Wito. (2000). Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan dalam
Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan: Studi Kasus di Kabupaten Kediri Jawa Timur.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sumaryo. (2015). Strategi Pengembangan Widyaiswara Menghadapi Tunututan Peningkatan
Kebutuhan Unit Pengguna. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Kementerian Keuangan.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-pengembangan-
sdm/21218-strategi-pengembangan-widyaiswara-menghadapi-tuntutan-peningkatan-
kebutuhan-unit-pengguna
Sumaryanto, dan Nurmanaf, A.R. (2007). Simpul-simpul Strategis Pengembangan Asuransi
Pertanian untuk Usahatani Padi di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 25
No. 2 Hal 89-103, Desember 2007.
Sumaryanto, dan Nurmanaf, A.R. (2007). Simpul-simpul Strategis Pengembangan Asuransi
Pertanian untuk Usahatani Padi di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 25
No. 2 Hal 89-103, Desember 2007.
USDA. (2008). SWOT Analysis: A Tool for Making Better Business Decisions. Washington D.C.
United States Departement of Agriculture, Risk Management Agency.
www.rma.usda.gov/pubs/2011/swot_brochure.pdf
Whalley, Andrew. (2010). Strategic Marketing. Andrew Whalley and Ventus Publishing ApS.
ISBN 978-87-7681-643-8.
http://library.ku.ac.ke/wp-content/downloads/2011/08/Bookboon/Strategy/strategic-
marketing.pdf
Yohe, Gary., dan Tol, Richard S.J. (2001). Indicators for Social and Economic Coping
Capacity – Moving Towards a Working Definition of Adaptive Capacity. September
2001. Global Environmental Change
www.start.org/Projects/AIACC.../gyoheindicators.doc.pdf
Peraturan:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas
Asuransi Pertanian
Top Related