KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT
KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
oleh:
SONY SAMUELTA SURBAKTI
E34101055
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT
KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
Oleh:
SONY SAMUELTA SURBAKTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN Sony Samuelta. E 34101055. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur Dengan pembimbing:
Ir. Haryanto, MS dan Dr. Rinekso Soekmadi, Msc. F
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) adalah salah satu dari empat hutan
lindung yang ada di Kabupaten Pasir. Pemerintah Kabupaten Pasir mengeluarkan
kebijakan untuk mengatur pengelolaan HLGL, yaitu kebijakan yang mengatur
langsung kepada kegiatan pengelolaan dan kebijakan yang ditujukan kepada para
stakeholder HLGL. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan HLGL
dan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan supaya fungsi dari HLGL tetap
dalam prinsip-prinsip kelestarian.
HLGL dikelola oleh 10 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder tersebut adalah Masyarakat
Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului, Dinas Kehutanan
Pasir, Bappeda Pasir, UPTD Planologi Balikpapan, BKSDA Seksi Konservasi
Wilayah III Pasir Kalimantan Timur, Persatuan Masyarakat Adat Paser dan TBI
Indonesia selaku LSM dan PT. Rizky Kacida Reana sebagai pihak swasta yang
memiliki IUPHKK yang berada di sekitar kawasan HLGL.
Masyarakat Desa Rantau Layung, Pinang Jatus, dan Dusun Mului
melakukan kegiatan pengelolaan yang termasuk ke dalam pemanfaatan kawasan
dan khusus untuk Dusun Mului kegiatan pengelolaan mereka selain pemanfaatan
juga melakukan penggunaan kawasan yang merubah fungsi dari HLGL, hal ini
tidak sesuai dengan UU 41/1999 dan Keppres 32/1990.
Dinas Kehutanan melakukan kegiatan pengelolaan berupa perencanaan
yang terutang dalam Renstra Dinas Kehutanan tahun 2001-2005. Program-
program tersebut antara lain penyuluhan kepada masyarakat, rehabilitasi, penataan
batas, dan lain sebagainya. Tetapi program kerja tersebut belum ada yang dapat
terlaksana oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir di kawasan HLGL, hanya
penataan batas yang sudah terlaksana, itu pun masih belum maksimal karena
implementasi yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang
dikeluarkan oleh Bupati Pasir.
Bappeda menyusun RTRWK Pasir 2001-2005 tidak melibatkan
masyarakat sekitar dan dalam kawasan HLGL. UPTD Planologi dalam
melaksanakan orientasi batas tidak melibatkan ketua adat setempat sebagai bahan
masukan bagi penataan batas HLGL.
BKSDA dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan belum melakukan
secara maksimal dalam hal pengawasan peredaran satwaliar dan tumbuhan dari
dalam kawasan HLGL. PT. Rizky Kacida Reana melakukan kegiatan pengelolaan
berupa penggunaan kawasan yang berbentuk penggunaan jalan eks-logging yang
membelah HLGL. Aksesibilitas yang mudah ini harus menjadi perhatian khusus
oleh Dinas Kehutanan Pasir, karena seringnya terjadi pembalakan haram
menggunakan jalan ini.
Tidak adanya satu unit pengelolaan yang khusus mengelola kawasan
HLGL secara menyeluruh menjadi satu dari tiga akar masalah kebijakan yang ada.
Menurut PP 44/2004 suatu KPHL (Kesatuan Pengelola Hutan Lindung) menjadi
salah satu syarat pengelolaan suatu kawasan hutan lindung. Penataan batas yang
ada sekarang juga menjadi akar masalah dalam pengelolaan HLGL. Terjadinya
konflik antara masyarakat dan instansi pemerintah menunjukkan lemahnya peran
pemerintah dalam mengelola kawasan. Konflik yang dilihat melalui pendekatan
kebijakan adalah akar masalah yang terakhir. Masyarakat sebagai stakeholder
yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap HLGL tidak
diikutsertakan dalam implementasi kebijakan telah dilakukan.
Penelitian ini merekomendasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Pasir
harus segera membentuk suatu unit manajemen yang kuat dan solid dalam
mengelola secara keseluruhan kawasan HLGL. Pelibatan masyarakat dalam
penataan batas partispatif adalah rekomendasi kebijakan untuk memecahkan
masalah dalam penataan batas.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota hujan dan nyaman Bogor pada tanggal 23
Agustus1982 dari pasangan terkasih Drs. Sehati Surbakti dan Rinteta Tarigan.
Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.
Penulis menempuh badai kehidupan pendidikan menengah atas di SMUN
1 Bogor dan akhirnya lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, merupakan
rencana Tuhan, penulis lolos dalam seleksi Undangan Siswa Masuk IPB (USMI)
pada jurusan tercinta Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas “ter-asik”
Kehutanan.
Selama berjuang di bangku perkuliahan, penulis menjadi anggota
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) pada Kelompok Pemerhati Burung “prenjak”, Kelompok
Pemerhati Reptil Amfibi “phyton”, dan Fotografi dan Multimedia Konservasi
Alam “FOKA”. Pada bulan Juni-Agustus 2005 penulis mengikuti Praktek
Pengenalan di BKPH Rawa Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung
Slamet-KPH Banyumas Timur serta Praktek Pengelolaan Hutan di Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada bulan Februari-Mei 2005, penulis
melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Meru Betiri-Jawa Timur. Selama
perkuliahan penulis aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dalam
Komisi Kesenian (KOMKES) dari tahun 2001-2006. Pada tahun 2004, untuk
mengembangkan kreatifitas dan keahlian dalam bidang konservasi, penulis ikut
ambil bagian sebagai “angkatan pioneer” Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB dalam
Divisi Primata Departemen Pengabdian Masyarakat.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan, penulis
melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah (dalam keadaan jatuh bangun
baik fisik “plasmodium” maupun mental) dengan judul “Kajian Kebijakan
Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur”
dengan pembimbing “para orang-orang pintar” Ir. Haryanto, MS dan Dr. Ir.
Rinekso Soekmadi, Msc. F.
KATA PENGANTAR
Sedalam-dalamnya penulis menyadari hanya karena berkat Tuhan sajalah
karya penelitian ini dapat terwujud. Yang menjadi judul dari penelitian ini adalah
“Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir
Kalimantan Timur”.
Isi dari karya ini dibuat untuk mengkaji kebijakan pengelolaan hutan di
Indonesia yang telah ada dan mencoba merumuskan rekomendasi kebijakan yang
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemecahan akar masalah
yang ada dalam pengelolaan hutan melalui pendekatan kebijakan.
Masukan dan kritik untuk penelitian ini sangat diharapkan bagi penulis
untuk kebaikan kita semua yang berada di dalam sektor kehutanan dan masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Berharap penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi para
pengambil keputusan dalam pengelolaan hutan lestari. Mari kita bangun kembali
kejayaan kehutanan Indonesia kita.
Bogor, 15 Juni 2006
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala kemuliaan hanya bagi Tuhanku Yesus Kristus yang telah menjadi
Tuhan dan Juruselamatku, yang karena oleh-Nya, dari-Nya, hanya untuk-Nya
penelitian dan hasil buah karya ini dapat selesai. Dengan perasaan rendah hati dan
hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak dan Mamak tersayang, tercinta, dan terkasih atas segala doa,
pengorbanan, air mata, keringat, dan kekuatan yang dicurahkan kepada
penulis (terima kasih Tuhan atas mereka).
2. The Surbakti Family: Sari Peulisa Surbakti, S.Hut, Rehulina Surbakti, S.
Sos ….., dan Tawarta Sakty Surbakti, C.S. Sos (ini doa Bang!!) atas
makian, jeritan kesakitan, doa, dan harapan (aku tahu itu semua untuk
kebaikanku, mari kita lebih indahkan keluarga kita!!) Tuhan Yesus baik.
3. Ir. Haryanto, MS (Babeh) dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc. F (pembela
DKSHE), senang bergaul dengan orang-orang pintar.
4. Saudara-saudaraku di “rumah keduaku” KOMKES, khususnya angkatan
perusak mental lawan `38 (Darma ”Katro” Bonifacius Hutabarat, Tommy
“Tante” Sinambela, Ganda “Otto nai” Sinaga, Maria “Maryanto”, Vivin
“Tobing”, Berlian “Brutu”, Emma “diem aza sih”, Wisye “WC” So Wat,
Ara “Gokil” Gultom, Michael “Mekel” Hutahuruk), tolong jaga rumah kita
sepeninggalan Bapak kalian ini. Yesus berkati.
5. Saudara-saudaraku di KSH 38 (aku bangga bersaudara dengan kalian
semua), khusus Santun “Nope”, Edith “Buaya”, Irma “Unyil”, dan juga
para calon pengambil keputusan akhir pengelolaan kawasan “anak-anak
MKK”.
6. Saudara-saudaraku di PMK-E dan KEMAKI-E, khusus buat Monic “Aci”
(thanks konsumsinya, benar enak dan menguras kantongku).
7. Bapak dan Ibu di Departement of Forest Resource Conservation and
Ecotourism, khususnya Ir Dones Rinaldi, MSc. F selaku “pembimbing
ketiga” (thanks Pap atas saat-saat spiritual, keahlian, dan semprotannya!!),
Mr. Acu (selaku “pembimbing keempat”), Ibu Epan, Ibu Titin, dan Pak
Husein (kapan kita ngegosip lagi?), Tuti, Eti, Yatna, Opik (“gandeng”),
Dudi (Pak RT), Dewi dan Oyip (Ibu-ibu MKK), Bambang (laboran MKK),
Dr. Lilik Budi Prasetyo (GIS specialist) atas pinjaman lab SDAF, serta
crew SDAF yang rela tempatnya dijajah.
8. Tropenbos Internasional Indonesia atas bantuan informasi dan fasilitas
selama kegiatan penelitian, khusus kepada Dr. Dicky Simorangkir “Abang
Forester Idol” (Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk
penelitian ini. Saya sudah lulus nih, Bang. Saya siap diajak kerjasama),
Indra, S. Hut, Tunggul Butar Butar (atas sangsangnya), Pijar (kapan
kita……lagi?), Sariman “Crystal”, Alfred (saudaraku seiman di
Balikpapan), Sultan Lubis, Pak Djun, Yana, Alfa (kakakku), Esmeralda
(adikku), Devi, Elisabeth Wetik, dan Mba Alice (tercantik di kantor).
9. Kepada para stakeholder HLGL yaitu Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda
Pasir, BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur,
Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, Dusun Mului, PeMA
(Persatuan Masyarakat Adat Paser), UPTD Planologi Balikpapan, dan PT.
RKR. Terima kasih banyak.
11. Pihak-pihak yang karena terlalu banyak dan tidak dapat disebutkan satu-
persatu yang mendorong terbentuknya karya ini.
10. Tuhan Yesus “Alpha and Omega” yang pertama dan yang terakhir (Pribadi
yang memegang masa depanku dan aku tidak takut lagi akan masa
depan!!!).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
C. Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Stakeholder ....................................................................... 3
B. Analisisis Stakeholder ........................................................................ 4
C. Pengertian Kebijakan Publik .............................................................. 8
D. Pengelolaan Hutan Multi-stakeholder ................................................ 12
E. Desentralisasi dan Peran serta Masyarakat di dalam Pengelolaan
Hutan .................................................................................................. 15
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah dan Status Kawasan ............................................................. 17
B. Kondisi Fisik Kawasan ..................................................................... 17
1. Letak dan Luas.............................................................................. 17
2. Iklim.............................................................................................. 18
3. Hidrolgi......................................................................................... 18
4. Tanah dan Geologi........................................................................ 18
C. Kondisi Biologi ................................................................................. . 19
1. Keanekaragaman Flora ................................................................. 19
2. Keanekaragaman Fauna ................................................................ 19
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................ 20
IV. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 22
B. Ruang Lingkup dan Peralatan ................................................................ 22
C. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 22
D. Analisis dan Sintesis Data...................................................................... 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Ideal Pengelolaan HLGL................................................ 29
B. Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL ............................ 30
B.1 Masyarakat Desa Rantau Layung ..................................... 31
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus.......................................... 34
B.3 Masyarakat Dusun Mului.................................................. 35
B.4 Dinas Kehutanan Pasir ...................................................... 38
B.5 Bappeda Pasir ................................................................... 40
B.6 UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan .......................... 42
B.7 Tropenbos Internasional Indonesia ................................... 43
B.8 Persatuan Masyarakat Adat Paser ..................................... 45
B.9 BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir
Kalimantan Timur ............................................................ 47
B.10 PT. Rizky Kacida Reana .................................................. 47
C. Penggolongan Stakeholder HLGL.................................................... 49
D. Interaksi antar Stakeholder dalam pengelolaan HLGL .................... 52
E. Evaluasi Kebijakan ........................................................................... 56
E.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan HLGL...................... 56
E.1.1 Kehadiran Unit Pengelola.................................................... 56
E.1.2 Pengukuhan Kawasan .......................................................... 57
E.1.3 Konflik Melalui Pendekatan Kebijakan............................... 59
E.1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu ................................... 59
E.1.3.2 Penggunaan Kawasan .......................................................... 60
E.1.3.3 Konflik antar Stakeholder.................................................... 61
E.2 Kesenjangan (gaps) dalam Pengelolaan HLGL................... 65
F. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HLGL ................................... 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................... 72
B. Saran................................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73
LAMPIRAN ...................................................................................................... 75
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Daftar Responden ............................................................................... 24
2. Observasi Lapang ............................................................................... 25
3. Penelusuran Dokumen dan Wawancara ............................................. 25
4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan HLGL ................ 33
5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan HLGL .................... 35
6. Interaksi masyarakat Dusun Mului dengan HLGL ............................. 38
7. Program Penelitian yang diwadahi oleh TBI Indonesia............................... 44
8. Jenis Pengaruh,asal kewenangan, dan bentuk kepentingan
stakeholder HLGL………………………………………………………… 52
9. Pemanfaatan satwa yang dilakukan oleh masyarakat ......................... 60
10. Analisis isi dan implementasi peraturan perundangan dan kebijakan
yang dikeluarkan oleh stakeholder HLGL .......................................... 63
10. Bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh stekholder HLGL .............. 69
11. Rekomendasi kebijakan stakeholder HLGL berdasarkan analisis
isi dari kebijakan yang dikeluarkan stakeholder..........................................
70
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Stakeholder table................................................................................. 7
Gambar 2. Proses pembuatan kebijakan................................................................9
Gambar 3. Tiga elemen sistem kebijakan .............................................................10
Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level........................................... 14
Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan................................. 14
Gambar 6. Peta Lokasi Hutan Lindung Gunung Lumut...................................... 18
Gambar 7. Kerangka penelitian.......................................................................... 27
Gambar 8. Pohon madu (Koompasia malacensis[1] ) dan
burung kuau (Argusianus argus[2] )................................................. 32
Gambar 9. Sejarah perpindahan warga Dusun Mului…….........................….... 36
Gambar 10. Penggolongan stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut........... 49
Gambar 11. Interaksi stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut.................... 55
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel 12. Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ................... 75
Tabel 13. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan.................... 77
Tabel 14. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung ............................................. ............................ 81
Tabel 15. UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang............................. 82
Tabel 16. PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional............................................................................. 83
Tabel 18. PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.................. 84
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kabupaten Pasir adalah salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan
Timur yang sebagian wilayahnya terdiri dari kawasan hutan. Sesuai dengan
keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang
penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Kalimantan Timur, Kabupaten
Pasir memiliki kawasan hutan seluas 628.730 Ha dan berdasarkan fungsinya
terdiri dari hutan lindung dengan luas 116.952 Ha, cagar alam dengan luas
109.302 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas 145.350, hutan produksi dengan
luas 257.126 Ha, serta kawasan non budidaya kehutanan lainnya dengan luas 531.
664 Ha. Pemerintah Kabupaten Pasir, menurut PP No. 44 tahun 2004 tentang
perencanaan kehutanan, memiliki wewenang dari pemerintah pusat dalam
mengelola kawasan hutannya, termasuk Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).
Kawasan HLGL menjadi sangat penting karena kawasan ini merupakan
hulu dari 2 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Kendilo dan DAS Telake
yang menjadi sumber air bagi masyarakat Kabupaten Pasir dan sekitarnya. Selain
itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang tinggi, baik
flora maupun fauna yang mewakili jenis-jenis yang endemik untuk Pulau
Kalimantan. Diantaranya seperti owa kalimantan (Hylobates muellerii), lutung
merah (Presbytis rubicunda), lutung dahi putih (Presbytis frontata), bekantan
(Nasalis larvatus), beruang madu (Helarctos malayanus), burung kuau/merak
kalimantan (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros).
Keanekaragaman flora yang memiliki nilai endemisitas tinggi seperti kayu ulin
(Eusideroxylon zwagerii) dan meranti (Shorea spp). Upaya melakukan kegiatan
yang bertujuan untuk melestarikan kawasan HLGL menjadi sangat penting demi
menjaga kelestarian dari fungsi hutan lindung tersebut.
Mengingat pentingnya kawasan HLGL, maka Pemerintah Kabupaten Pasir
mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan HLGL diantaranya
2
tentang penataan batas, uraian tugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, hubungan
atara para “stakeholder”1 HLGL, dan lain sebagainya.
Berdasarkan dari berbagai informasi yang ada, kinerja kebijakan yang
dikeluarkan oleh para stakeholder HLGL, implementasi kebijakan dirasakan
masih belum memenuhi harapan karena masih adanya masalah yang berkaitan
dengan konflik antara stakeholder HLGL, illegal logging, dan lain sebagainya.
Maka evaluasi kebijakan ini diharapkan mampu mengidentifikasi akar masalah
dan kesenjangan kebijakan yang terjadi akibat dari berbagai kebijakan yang
dikeluarkan oleh para stakeholder HLGL. Sehingga dapat dirumuskan
rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang tepat untuk menyelesaikan
berbagai masalah tersebut.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengevaluasi setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan HLGL
2. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang sejalan
dengan prinsip-prinip kelestarian
C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi
perbaikan kebijakan pengelolaan HLGL, khususnya bagi pihak pengelola.
1 Istilah stakeholder diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi para pihak, pemangku para
pihak, dan pihak terkait. Dalam penelitian ini digunakan istilah stakeholder untuk mempertahankan makna yang terkandung di dalamnya.
3
II. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Stakeholder
Freeman (1984)2 mendefinisikan stakeholder sebagai suatu grup atau
individu yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh tujuan dari suatu
kegiatan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Roling dan Wagemaker
(1998)2 mengemukakan definisi yang lebih mendalam yaitu orang yang
berkepentingan terhadap sumberdaya alam yang terdiri dari pengguna sumberdaya
alam ataupun para pengelola lainnya.
Stakeholder adalah orang-orang atau organisasi-organisasi yang
dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau dapat mendukung berhasilnya suatu kegiatan
bahkan dapat menghambat tujuan dari suatu kegiatan (Social Development
Department of USA, 1995)3.
Menurut Project Management Institut (1996)4 stakeholder adalah individu
atau suatu organisasi yang secara aktif ikut serta dalam suatu kegiatan, atau
mempunyai kepentingan baik yang berdampak negatif maupun positif sebagai
bagian dari kegagalan ataupun kesuksesan dari suatu kegiatan.
Stakeholder adalah setiap orang atau kelompok yang terlibat oleh atau
dapat terpengaruh oleh suatu keputusan atau oleh suatu kegiatan (Dick, 1997)5.
Mengacu pada UNHABITAT and UNEP (2001)6, stakeholder adalah:
1. Mereka yang kepentingannya terpengaruh oleh suatu program atau mereka
yang kegiatannya secara kuat mempengaruhi suatu program
2. Mereka yang menyampaikan informasi, sumberdaya, dan keahliannya
dibutuhkan untuk perencanaan dan pengimplementasian suatu program
3. Mereka yang mengontrol implementasi dan alat
2 Melalui publikasi internet pada Http://www.idrc.ca. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006. 3 Melalui publikasi internet pada Http://www.euforic.org. Diakses pada tanggal 5 Mei 2006 4 Melalui publikasi internet pada Http://www.stsc.hill.af. Diakses pada tanggal 5 Mei 2006 5 Melalui publikasi internet pada Http://www.scu.edu.au. Diakses pada tanggal 10 Mei 2006. 6 Melalui publikasi internet pada Http://www.unhabitat.org. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006
4
B. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder adalah suatu pendekatan untuk memahami suatu
sistem dengan cara mengidentifikasi pemeran utama atau stakeholder utama dari
suatu sistem dan menilai kepentingan mereka dalam sistem tersebut. Definisi ini
sangat berguna dalam mendefinisikan analisis stakeholder dengan pendekatan
pengelolaan sumberdaya alam dan menyatakan batasannya tetapi ini tidak dapat
diharapkan untuk memecahkan semua masalah atau gambaran yang ada di dalam
sebuah sistem (Grimble et al. 1995).
Menurut Allen dan Kilvington dalam Hermawan et al. (2005), analisis
stakeholder adalah suatu identifikasi pihak-pihak utama, analisis kepentingan, dan
bagaimana kepentingan tersebut berpengaruh terhadap suatu program. Pendapat
lain menyatakan bahwa analisis para pihak adalah suatu ringkasan yang mampu
menggambarkan para pihak yang mempengaruhi dan terkena dampak atau
dipengaruhi pada suatu sistem pengelolaan (Harding, 2002 dalam Hermawan et
al. 2005).
Identifikasi stakeholder dilakukan dengan cara mengelompokkan yang
menjadi kebutuhan dan harapan dari individu ataupun kelompok lalu mengolah
harapan tersebut untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan.
Menurut Social Developement of USA (2006) tujuan dari kegiatan
identifikasi stakeholder adalah untuk membantu mengidentifikasi:
a. Orang atau kelompok yang termasuk dalam anggota penunjang kegiatan
(walaupun anggotanya dibentuk pada saat perencanaan kegiatan atau pada
saat implementasi kegiatan)
b. Aturan-aturan dalam pelaksanaan suatu kegiatan
c. Siapa yang membangun ataupun yang memelihara hubungan antara
stakeholder
d. Siapa yang akan diinformasikan dan dimintai saran tentang kegiatan
tersebut
e. Akan sangat membantu dalam pengambilan keputusan
5
Menurut Rolling dan Wagemaker (1998) kegunaan dari kegiatan
identifikasi stakeholder adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui secara tepat pola interaksi antara stakeholder yang ada
b. Secara analisis dapat memodifikasi campur tangan terhadap stakeholder
c. Sebagai alat mengelola pembuatan kebijakan
d. Sebagai alat untuk memperkirakan terjadinya konflik
Grimble dan Wellard (1996) menekankan pentingya kegunaan dari analisis
stakeholder dalam memahami kempleksitas dan perbandingan antara tujuan dari
sistem dengan stakeholder. Demikian juga Freeman dan Gilbert (1987)
mengemukakan konsep “pengelolaan stakeholder” sebagai batasan untuk
membantu pengelola mengetahui gangguan dan bisnis lingkungan yang kompleks.
Stakeholder analisis dimodifikasi dari metode partisipatif perencanaan
pengelolaan seperti Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural
Appraisal (PRA), yang digunakan dengan menyatukan kepentingan dan
ketidaksamaan dari kelompok yang memiliki pengaruh yang rendah (Preety et al.
1995).
Menurut (Freeman dan Gilbert, 1987) analisis stakeholder digunakan
untuk melihat perbedaan dan mempelajari kriteria para stakeholder. Adapun
kriteria tersebut adalah:
a. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari setiap stakeholder
(Freeman, 1984)
b. Kepentingan (kepentingan) dan pengaruh (influence) yang mereka punya
(Grimble dan Wellard, 1996)
c. Program maupun kebijakan yang dikeluarkan
d. Kerjasama dan koalisi yang dilakukan antara stakeholder
Grimble et al. (1995) menyatakan bahwa tahapan dalam stakeholder
analisis meliputi:
a. Mengidentifikasi tujuan utama dari analisis
b. Membangun pengertian tentang sistem dan pembuat keputusan dalam
sistem
c. Mewawancara kepentingan para stakeholder, karekteristiknya, dan
keadaannya
6
d. Mengetahui pola interaksi antara stakeholder
e. Menjelaskan pilihan-pilihan dalam pengelolaan
Kilvington (2001) dalam Hermawan et al. (2005) analisis stakeholder
digunakan untuk:
a. Mengidentifikasi karakter para stakeholder
b. Mengetahui kepentingan para stakeholder dalam hubungannya dengan
permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya
c. Mengidentifikasi konflik kepentingan antara stakeholder
d. Mengetahui hubungan antara stakeholder yang mungkin dapat dilibatkan
dalam kerjasama pengelolaan
e. Memperkirakan kapasistas para stakeholder
f. Membantu memperkirakan jenis partisipasi yang melibatkan para
stakeholder
Menurut Social Development Department of USA (1995) tahapan dalam
melakukan analisis stakeholder adalah:
a. Menggambarkan tabel stakeholder
b. Melakukan penilaian terhadap setiap kepentingan stakeholder yang
kaitannya dengan keberhasilan tujuan dan hubungan antar pengaruh
c. Mengidentifikasi resiko dan asumsi yang dapat mempengaruhi kegiatan
perencanaan dan keberhasilan pengelolaan
Pembuatan tabel stakeholder melihat aspek-aspek berikut:
a. Mengidentifikasi dan mencatat semua stakeholder potensial
b. Mengidentifikasi kepentingan mereka kaitannya dalam masalah yang ada
ditempatkan dalam tujuan dari kegiatan pengelolaan. Sebagai catatan satu
stakeholder dapat memililiki berbagai kepentingan
c. Menilai dampak dari kegiatan pengelolaan terhadap kepentingan tiap
stakeholder (positif, negatif, atau tidak diketahui)
7
Gambar 1. Stakeholder table
Stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi adalah
individu atau organisasi yang berinteraksi baik langsung maupun tak langsung
yang sangat kuat terhadap sumberdaya, sehingga stakeholder tersebut melakukan
usaha tinggi dalam memuaskan keinginan dan perlu diawasi. Stakeholder yang
memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah, hanya perlu dimonitor dengan
usaha yang minimum. Untuk stakeholder yang berada diantaranya, perlu
dilakukan pemberian informasi dan pemuasan yang seimbang (UN-HABITAT &
UNEP, 2001).
Stakeholder dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Titik awal adalah
dengan membagi daftar stakeholder ke dalam primer maupun sekunder.
Stakeholder primer adalah orang ataupun kelompok yang secara langsung
terpengaruh oleh suatu kegiatan. Termasuk para pengguna umum ataupun yang
terpengaruh negatif . Dalam banyak kasus stakeholder primer akan dikategorikan
ke dalam penilaian sosial ekonomi (ODA, 1995).
Stakeholder sekunder adalah orang atau kelompok yang menjadi jembatan
atau penghubung dalam suatu kegiatan, termasuk pemerintah atau institusi
lainnya. Terkadang kelompok ini tidak merasa sebagai stakeholder dalam suatu
kegiatan karena mereka merasa mereka yang mempunyai seluruh kegiatan
(McLaren, 2006)7.
7 Melalui publikasi internet pada Http://www.landcareresearch.com. Diakses pada tanggal 9 Mei
2006.
8
Stakeholder sekunder tidak mempunyai hubungan langsung dalam suatu
kegiatan tetapi mereka mempunyai pengaruh yang penting untuk suatu yang
sejalan dengan tujuan dari mereka sendiri. Yang termasuk ke dalam stakeholder
sekunder adalah pemerintah, pelanggan, investor, lembaga non-pemerintah, dan
lain-lain (Canadian Society of Association Executives, 2006)8.
Stakeholder kunci adalah orang atau kelompok yang mampu
mempengaruhi (influence) atau orang atau kelompok yang penting (important)
dari stakeholder untuk mencapai keberhasilan dari suatu kegiatan. Pengaruh
(influence) tersebut mengacu pada seberapa kuatnya pengaruh dari stakeholder.
Kepentingan (importance) mengacu pada para stakeholder yang masalah,
kebutuhan, dan kepentingannya menjadi prioritas dalam perencanaan kegiatan –
jika stakeholder yang penting tersebut tidak terbantu maka kegaitan tersebut tidak
dapat berhasil (Association of Social Anthropologist of UK and Commonwealth,
2006)9.
C. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-
pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk
tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah (Dunn, 2003).
Kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1)
apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu
masalah, (2) dan apa yang menyebabkan dan mempengaruhinya, (3) apa pengaruh
dan dampak dari kebijakan publik tersebut (Kartasasmita, 1997).
Kebijakan kehutanan adalah pendirian atau sikap masyarakat, golongan,
atau pemerintah yang bertujuan sedemikian rupa sehingga manfaat-manfaat yang
senantiasa diharapkan dari sumberdaya hutan ini tetap dapat diperoleh masyarakat
dengan optimal dan lestari. (Basjarudin, 1976).
Kebijakan pengelolaan hutan berwawasan lingkungan merupakan arahan-
arahan pokok yang memuat cara, maupun tindakan-tindakan yang harus dilakukan
dalam mengelola hutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan pertimbangan untuk tetap menjaga keberadaan sumberdaya 8 Melalui publikasi internet pada Http://www.csea.com. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006. 9 Melalui publikasi internet pada Http://www.theasa.org. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006
9
hutan dan mutu lingkungan hidup, serta kelangsungan dan kesinambungan
pemanfaatan sumberdaya hutan dan kehutanan di masa mendatang baik dalam
aspek ekologi, ekonomi, teknologi, politik, maupun sosial budaya (Anonymus,
1986).
Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan meliputi perumusan
masalah peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi (Dunn, 2003).
Gambar 2. Proses pembuatan kebijakan
Perumusan masalah adalah fase di dalam proses pengkajian dimana analis
yang dihadapkan pada informasi mengenai konsekuensi beberapa kebijakan,
mengalami suatu ”situasi yang menyulitkan, membingungkan, dimana kesulitan
memang tersebar ke seluruh situasi, yang kesemuanya membentuk keutuhan
kesatuan masalah”. Peramalan adalah fase dimana memungkinkan kita untuk
menghasilkan informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan yang lalu atau
yang akan datang. Rekomendasi adalah fase yang memungkinkan kita untuk
menghasilkan tentang kemungkinan bahwa serangkaian tindakan yang akan
datang akan mendatangkan akibat-akibat yang bernilai. Pemantauan adalah fase
yang memungkinakan kita menghasilkan informasi tentang sebab-sebab masa lalu
dan akibat dari kebijakan yang diterapkan. Evaluasi adalah fase yang mencakup
Evaluasi
Perumusan masalah
Pemantauan
Rekomendasi
Peramalan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Penilaian Kebijakan
10
informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan masa lalu atau kebijakan
yang akan datang.
Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum
terpenuhi, yang dapat diidenitfikasi, untuk kemudian diperbaiki atau dicapai
melalui tindakan publik (Dunn, 2003).
Analis kebijakan, dengan demikian, adalah salah satu diantara sejumlah
banyak aktor lain di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy
system), atau seluruh institusional dimana di dalamnya kebijakan dibuat,
mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik,
pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Kebijakan publik (public policy)
merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan (termasuk keputusan untuk
tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang
diformulasikan di dalam berbagai bidang (issue) dari pertahanan, energi, dan
kesehatan hingga ke pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Gambar 3. Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn, 2003) Kriteria dalam penyusunan rekomendasi kebijakan publik dalam Dunn
(2003) adalah sebagai berikut:
1. Efektivitas (effectiveness); kaitannya dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan
2. Efisiensi (efficiency); kaitannya dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efisiensi tertentu.
3. Kecukupan (adequacy); berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang
menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada
kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
Pelaku kebijakan
Lingkungan kebijakan Kebijakan publik
11
4. Perataan/kesamaan (equity); erat berhubungan dengan rasionalitas legal
dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara
kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang
berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usahanya
yang secara adil didistribusikan
5. Responsivitas (responsiveness); berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok
masyarakat tertentu. Kebijakan dapat memenuhi kriteria efektivitas,
efisiensi, dan perataan tetapi jika belum dapat menanggapi kebutuhan
aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya
perumusan suatu kebijakan.
6. Ketepatan (appropriateness); biasanya bersifat terbuka, karena definisi per
kriteria ini dimaksudkan untuk menjangkau keluar kriteria yang sudah ada.
Oleh karenanya tidak ada dan tidak dapat dibuat definisi baku mengenai
kriteria kelayakan.
D. Pengelolaan Hutan Lindung
Menurut Undang Undang No. 41 tahun 1999, yang dimaksud dengan
hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
Adapun kriteria dari hutan lindung menurut PP No. 44 tahun 2004 pasal
24, dengan memenuhi salah satu:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan
intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka
penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh
lima) atau lebih
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % (empat puluh per
seratus) atau lebih
3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau
lebih di atas permukaan laut
12
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus)
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai
Kegiatan yang dapat maupun dilarang dilakukan di dalam kawasan hutan
lindung menurut Keppres No. 32 tahun 1990 adalah: Kegiatan yang dilarang Kegiatan yang dapat dilakukan
Di dalam kawasan hutan lindung dilarang
melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang
tidak mengganggu fungsi lindung (Pasal 37
ayat 1)
Di dalam kawasan lindung dapat dilakukan
kegiatan eksplorasi mineral dan air tanah serta
kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan
bencana alam
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
4. Perlindungan dan konservasi hutan
Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan
meliputi:
a. Inventarisasi hutan
b. Pengukuhan kawasan hutan
c. Penatagunaan kawasan hutan
d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
e. Penyusunan rencana kehutanan.
Setiap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak ada definisi
yang jelas tentang arti atau definisi yang pasti dan lengkap dari pengelolaan hutan.
E. Pengelolaan hutan multi-stakeholder
Menurut Johnson and Scholes (2005) stakeholder adalah sekumpulan
orang atau kelompok yang membentuk organisasi tertentu untuk mencapai tujuan
organisasi ataupun untuk memenuhi tujuan pribadi anggota organisasi tersebut.
13
Yang termasuk dalam stakeholder pengelola hutan adalah komunitas lokal,
pemerintah, lemabaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, BUMN/D, koperasi
dan usaha swasta atau dapat lebih jelas terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level
Dari gambar di atas dapatlah dikatakan bahwa perlu adanya pembangunan
kelembagaan antar stakeholder dalam pengelolaan kawasan hutan tertentu. Sistem
pengelolaan hutan tidak saja multi-stkeholder, tetapi juga di berbagai tingkatan
(multi-level) dan lintas tingkatan (PT. Graha Manunggal Wirasembada, 2001).
Pada tingkat nasional, kelembagaan yang mengelola bidang kehutanan
berada di bawah Departemen Kehutanan, pada tingkat propinsi di bawah Dinas
Kehutanan Propinsi dan pada tingkat Kabupaten di bawah Dinas Kehutanan
Kabupaten. Dinas Kehutanan Propinsi bertanggung jawab pada Gubernur serta
kepada Menteri Kehutanan kaitannya dengan tugas pembantuan. Di tingkat
Kabupaten, Dinas Kehutanan bertanggung jawab pada Bupati (Kelompok Kerja
Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, 2001).
Kebijakan harus didukung dengan mekanisme tata praja yang berorientasi
pada pada transparansi, efektifitas dan pertanggung-gugatan (akuntabilitas)
Desa
LSM
Perguruan Tinggi Pemda
koperasi Swasta
desa
kecamatan
daerah
nasional
BUMN
14
Komunitas global
Lembaga Publik di tingkat pusat: Fungsi koordinasi
Lembaga independen: LSM,
universitas
Konvensi perjanjian internasional
Instrumen kebijakan pusat
Instrumen kebijakan daerah
Lembaga publik tingkat Kabupaten
Lembaga pemerintah di daerah
Lembaga swasta pro-konservasi
Proses publik untuk menjamin akuntabilitas
Program konservasi sumberdaya hutan: pengelolaan kawasan
lindung, pemanfaatan berkelanjutan
Masalah lapangan: Tata batas, konflik SDH,
pembagian biaya dan manfaat, dsb
Umpan balik
publik. Gambar berikut menyajikan data skema tata praja yang menjamin
pengurusan hutan yang bertanggung-gugat (Putro, 2004):
Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan Kesulitan yang dialami oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah:
1. Luasnya cakupan kawasan konservasi di Indonesia
2. Minimnya dana untuk konservasi
3. Terbatasnya sumberdaya manusia
4. Kuatnya ego departemen sektoral (seperti Departemen
Pertambangan atau Departemen Pertanian) untuk mengeksploitasi
kawasan konservasi, yang memuncukan konflik antar departemen,
disamping inter Departemen Kehutanan sendiri.
5. Lemahnya penegakan hukum (Anonymous, 2003).
Implikasi kebijakan pembangunan Negara Indonesia yang bersifat sektoral
dan sentralis dari pengelolaan sumberdaya alam telah membuat tiadanya ruang
bagi masyarakat untuk memberikan kontrol dan lemahnya penegakan hukum
dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan (Noorhalis, 2002).
15
F. Desentralisasi dan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan hutan
Desentralisasi adalah penyelengaraan pemerintahan yang memberikan
kekuasaan lebih besar kepada daerah, baik dalam penyerahan tugas, kewajiban,
kewenangan maupun maupun tanggung jawab tertentu. Desentralisasi
dimaksudkan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (Yusuf, 1996).
Sebenarnya, desentralisasi adalah alat atau cara untuk mencapai
pemerintahan yang sebaik-baiknya, dan bukanlah desentralisasi itu sendiri yang
menjadi tujuan. Pengelolaan sumberdaya alam maupun kawasan konservasi bisa
saja dilakukan oleh pemerintah pusat. Tetapi, hal tersebut sangat tergantung dari
kemapuan pemerintah pusat itu sendiri, adanya sistem pemerintahan yang baik
(good governance) serta tersedianya sumberdaya, baik sumberdaya manusia,
maupun sumberdaya lainnya dari segi kuantitas maupun kualitas. Disamping itu
juga terdapat berbagai prasyarat lainnya seperti pengelolaan yang adil, transparan,
akuntabilitas dan peran serta masyarakat (Anonymous, 2003).
Peran serta masyarakat menurut Arimbi dalam Anonymous (1993) adalah
proses komunikasi dua arah yang terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Peran serta
didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang
suatu kebijakan (feed-forward information) dan komunikasi dari masyarakat
kepada pemerintah tentang atas kebijakan tersebut (feedback information).
Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan
sifatnya, yaitu yang pertama, peran serta masyrakat yang bersifat konsultatif,
dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan
untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat yang
mengambil keputusan. Kedua, adalah peran serta masyarakat yang bersifat
kemitraan, dimana masyarakat dan dan pejabat pembuat keputusan berunding
untuk mendapatkan pemecahan masalah dan secara bersama pula membuat
keputusan (Arimbi dan Santosa, 1993).
Menurut Santosa dan Arimbi (1993) manfaat lain dari peran serta
masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu:
16
1. Sebagai proses pembuatan suatu kebijakan; karena masyarakat sebagai
kelompok yang berpotensi menanggung akibat dari suatu kebijakan,
memiliki hak untuk dikonsultasi (rights to consult)
2. Sebagai suatu strategi; dimana melalui peran serta masyarakat suatu
kebijakan pemerintah akan mendapatkan dukungan dari masyarakat,
sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible)
3. Peran serta masyarakat juga ditujukan sebagai alat komunikasi bagi
pemerintah – yang dirancang untuk melayani pemerintah – untuk
mendapatkan informasi dan dalam pengambilan keputusan, sehingga
mendapatkan keputusan yang responsif
4. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian konflik atau masalah;
didayagunakan sebagai sutau cara untuk mengurangi atau meredakan
konflik melalui usaha pencapaian konsesus dari pendapat-pendapat
yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi tersebut adalah, dengan
bertukar pikiran maupun pandangan dapat meningkatkan pengertian
dan toleransi serta mengurangi ketidakpercayaan (mistrust) dan
kerancuan (blases).
Pasal 36 Keppres No. 32 tahun 1990 menyinggung tentang pengelolaan
kawasan lindung tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
lindung sebagai berikut:
1. Pemerintah tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan
tanggung jawabnya terhadap kawasan lindung
2. Pemerintah tingkat I dan II mengumumkan kawasan-kawasan lindung
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 34 kepada masyarakat.
Menurut Anonymous (2003), peran serta masyarakat dalam pengelolaan
kawasan lindung dapat dilihat dari faktor-faktor berikut:
1. Kedekatan masyarakat dengan kawasan
2. Adanya faktor kepentingan, baik secara historis, sosial-religi, ekologi
maupun ekonomi masyarakat lokal / adat
3. Adanya kepedulian dan komitmen (seperti yang ditunjukkan oleh
lembaga swadaya pemerintah lingkungan maupun oleh kelompok
pecinta lingkungan hidup)
17
III. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
A. Sejarah dan Status Kawasan
HLGL pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT.
Telaga Mas. Sejak tahun 1983, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.24/Kpts/Um/1983. Meskipun demikian,
sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi dalam dan sekitar kawasan
HLGL, baik oleh beberapa konsesi yang memiliki HPH dan IUPHK maupun
kegiatan illegal logging yang semakin marak akhir-akhir ini.
Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan gangguan bagi
keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran sebagian masyarakat
dalam dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka
memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk
hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik
untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).
B. Kondisi Fisik
B. 1. Letak dan Luas
HLGL terletak pada koordinat geografis 116o 02’ 57’’- 116o 50’ 41’’
Bujur Timur dan 01o 13’ 08’’- 01o 45’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini
secara administratif berada di wilayah Kecamatan Batu Sopang, Muara Komam,
Long Ikis dan Long Kali, di bawah pengawasan Dinas Kehutanan kabupaten
Pasir, Kalimantan Timur.
HLGL memiliki luas sekitar +35.550 Ha10 dengan batas wilayah:
Sebelah Utara : Desa Kepala Telake
Sebelah timur : Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei,
Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa
Pinang Jatus
Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, dan Desa Rantau Layung
Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa
Prayon, Desa Long Sayo, dan Desa Swanslutung
10 Berdasarkan data dari Laporan Hasil Orientasi Batas Kawasan Hutan di Kelompok Hutan
Lindung Gunung Lumut Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
18
Gambar 6. Peta Lokasi HLGL
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
B. 2. Iklim
Kawasan HLGL berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, berdasarkan
sistem klasifikasi Scmidth dan Ferguson (1951) termasuk dalam tipe iklim A atau
sangat basah. Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993
sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-
rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan.
B. 3. Hidrologi
HLGL merupakan merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan
mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan
sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di
kawasan tersebut. Hutan lindung tersebut merupakan daerah tangkapan air untuk
dua DAS besar yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) dan
DAS Telake.
B. 4 Tanah dan Geologi
Jenis tanah yang ada di wilayah HLGL meliputi jenis tanah Ultisol dan
Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi batuan sedimen yang mengandung
19
mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur tanah bervariasi dari kasar, cukup
halus sampai halus dengan drainase menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol
terdiri dari 2 kelompok besar tanah yaitu Tropudults dan Kandiudults. Sedangkan
formasi geologi yang membangun HLGL adalah tiga formasi batuan yaitu
Pemaluan Bed, Palaogene dan Pulau Balang Bed.
C. Kondisi Biologi
C. 1. Keanekaragaman Flora
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999)
dalam Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan
HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai
keanekaragaman jenis flora. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali
(Leea indica) dan buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan
dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa
jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (bangkirai) dan
jenis-jenis keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis
mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang
ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, tumbuhan obat, serta sarang
burung walet.
C. 2. Keanekaragaman Fauna
Kawasan HLGL memiliki keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi,
diantaranya dari kelompok mamalia adalah babi jenggot (Sus barbatus), kijang
kuning (Muntiacus atherodes), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk
napu (Tragulus napu), rusa sambar (Cervus unicolor), tenggalung malaya
(Viverra tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys
cinerea), tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus
melanotis), dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis). Untuk jenis
mamalia primata antara lain lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah
(Presbytis rubicunda), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk
(Macaca nemestrina), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus)
dan owa kelawat (Hylobates muelleri). Owa kelawat ditemukan pada komunitas
20
hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa
perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih
utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH Universitas Mulawarman, 1999
dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi,
terdapat dua jenis yang termasuk kategori lower risk (beresiko rendah) yaitu
babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawat (Hylobates muelleri).
Untuk kelompok burung (aves), dalam kawasan HLGL keanekaragaman
jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis yang endemik di Pulau Kalimantan
adalah bondol kalimantan (Lonchura fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis
gymnocephala), sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan pentis kalimantan
(Prionochilos xanthopyangius). Jenis-jenis enggang seperti julang emas (Aceros
undulatus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang jambul (Aceros
comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros
corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena
puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus),
tukik tikus (Sasia abnormis), sempur hujan sungai (Cymbirhynchus
macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus),
elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain
sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di
kawasan HLGL diantaranya Ular cincin emas (Boiga dendrophilia) dan katak
tanduk (Megophrys nasuta).
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Wilayah kawasan Hutan Gunung Lumut sebelum ditetapkan menjadi
kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat adat
Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga
secara tradisional sesungguhnya wilayah HLGL dan sekitarnya telah terbagi ke
dalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa di sekitarnya
dan satu dusun berada dalam kawasan yang termasuk dalam empat kecamatan.
Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah
aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti Sungai Pias, Sungai
Tiwei, Sungai Mului, Sungai Kesungai dan lain-lain (Saragih, 2004). Pada
21
umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah,
kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan
bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan
(Wahyuni et al., 2004).
Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai
sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian,
perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan
protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian
juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan
air bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Sungai Kendilo
dan Sungai Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan
HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik itu dari
wilayah hutan lindung maupun dari hutan di sekitar hutan lindung. Seperti
kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran, dan daging/ikan),
obat-obatan, dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar kawasan
HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis
pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung.
Kebutuhan protein hewani dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan
kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang
tambahan bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.
Pada umumnya masyarakat desa-desa yang berada dalam dan di sekitar
HLGL bekerja di bidang pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian yang
masih tradisional (Wahyuni et al., 2004). Jenis mata pencaharian lain masyarakat
adalah berdagang, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan serta bidang
lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan
yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah sekitar kawasan HLGL.
Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah
dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada
saat gagal panen), menjadi tukang ojek motor, dan buruh.
22
IV. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dalam kawasan HLGL yang berlokasi di desa
sekitar kawasan yaitu Desa Rantau Layung dan Desa Pinang Jatus, komunitas
dalam kawasan yaitu Dusun Mului, Kabupaten Pasir, dan Kota Balikpapan
Propinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama 54 hari efektif
yaitu pada bulan Oktober 2005 sampai dengan Februari 2006.
B. Ruang Lingkup dan Peralatan
Ruang Lingkup penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait
(stakeholder) dalam setiap pengelolaan HLGL, seperti masyarakat sekitar dan
dalam kawasan, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi
Wilayah Paser, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik lokal (Persatuan
Masyarakat Adat Paser) maupun internasional (Tropenbos Internasional
Indonesia), pihak swasta yaitu HPH (PT. Rizky Kacida Reana), dan pihak-pihak
terkait lainnya.
Peralatan penelitian yang digunakan adalah peta kawasan HLGL, tape
recorder, kamera, handycam, panduan wawancara dan alat tulis.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode:
1. Metode pengamatan (observation) langsung, dengan tujuan mengamati
secara langsung pihak-pihak terkait (stakeholder) dalam hal pengelolaan
kawasan HLGL, mengetahui masalah-masalah yang ada di lapangan.
2. Metode wawancara mendalam (in-depth interviewing), yaitu wawancara
responden setiap stakeholder secara mendalam untuk memahami setiap
jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara fleksibel, terbuka, tidak baku,
informal, dan tepat sasaran.
23
3. Studi pustaka dan literatur
Studi ini dilakukan untuk menunjang keabsahan dan pendalaman data untuk
menganalisis data yang akan dilakukan.
Adapun data-data yang diambil terdiri atas data pokok dan data penunjang,
yaitu:
a. Data Pokok, adalah data yang diambil melalui pengamatan langsung di
lapangan (observasi lapang) dan wawancara mendalam yang di dalamnya
meliputi:
• Masyarakat lokal: biodata, bentuk interaksi dengan kawasan HLGL,
kerarifan lokal masyarakat adat yang kaitannya dengan pengelolaan
hutan, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder)
yang lain, harapan terhadap HLGL, pola interaksi dengan para
stakehoder yang lain.
• HPH: biodata, bentuk interaksi yang mereka lakukan terhadap kawasan
HLGL, kontribusi yang diberikan terhadap pengelolaan HLGL,
kontribusi yang diberikan pada masyarakat sekitar HPH, harapan
terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan
terhadap HLGL, interaksi dengan para stakehoder yang lain.
• Pemda: Sejarah kawasan, visi dan misi (terutama di sektor kehutanan),
bentuk interaksi dengan kawasan HLGL, potensi kawasan hutan di
Kabupaten Pasir, permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam
kawasan HLGL dan penyelesaiannya, program maupun rencana strategi
pembangunan kehutanan di Kabupaten Pasir, kebijakan yang
dikeluarkan kaitannya dengan pengelolaan kawasan HLGL, harapan
terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan
terhadap HLGL, rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Pasir, pola
interaksi dengan para stakehoder yang lain.
• LSM: Sejarah kawasan, visi misi LSM, potensi kawasan HLGL,
kontribusi terhadap kawasan HLGL, harapan terhadap para pengelola
kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, pola
interaksi dengan para stakehoder yang lain.
• Masalah-masalah pengelolaan hutan yang terjadi di lapangan.
24
b. Data Penunjang
Adapun data sekunder yang akan diambil meliputi rencana strategis sektor
kehutanan Kabupaten Pasir tahun 2001-2005, potensi kehutanan Kabupaten Pasir,
potensi HLGL, undang-undang yang berkaitan dengan sektor kehutanan, rencana
tata ruang Kabupaten Pasir, kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan
kawasan HLGL serta semua kebijakan yang berkaitan dengan kawasan HLGL. Tabel 1. Daftar nama responden
No. Nama Posisi/Jabatan Institusi 1. Ir. Abdul Azis Maulana, MSi Kepala Dinas Dinas Kehutanan Pasir 2. Gatot Bintara, DS, S.Sos Kepala Seksi Inventarisasi
Pengkodean dan Perpetaan Dinas Kehutanan Pasir
3. Ir. Bambang Purwanto Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Lindung
Dinas Kehutanan Pasir
4. A.S Fathur Rahman Kepala Bidang Program Pembangunan
Bappeda
5. Romif Erwinadi Kepala Sub Bidang Perhubungan
Bappeda
7. Samsuddin Staf Dinas Dinas Sosial 8 Dedi Armansyah Ketua Dewan Adat PeMA Paser 9. Ardiansyah Sekretaris PeMA Paser 10. Dr. Dicky Simorangkir Ketua Tim Program Tropenbos Internasional
Indonesia 11. Tunggul Butar Butar Forest Partnership Team Tropenbos Internasional
Indonesia 12. Jidan Wakil Ketua Adat Dusun Muluy 13. Jahan Anggota masyarakat Dusun Muluy 14. Jiham Anggota masyarakat Dusun Muluy 15. Semok Ketua Adat Desa Rantau Layung 16. Abdul Rifai Kepala Desa Desa Rantau Layung17. Marli Ketua RT Desa Rantau Layung18. Ali Wakil Ketua Adat Desa Rantau Layung 19. Abad Tetua masyarakat Desa Rantau Layung 20. Nasrul Anggota masyarakat Desa Rantau Layung 21. Madan Anggota masyarakat Desa Rantau Layung 22. Lawut Ketua adat Desa Pinang Jatus 23. Jeket Anggota masyarakat Desa Pinang Jatus 24. Sumadi Kepala Desa Desa Pinang Jatus 25. Graham Anggota masyarakat Desa Pinang Jatus 26. Doni Anggota masyarakat Desa Pinang Jatus
25
Tabel 2. Observasi lapang Sumber data Jenis data Tujuan penelitian
Kawasan HLGL
• Keadaan implementasi kebijakan di kawasan HLGL
• Potensi kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan
hutan lindung lestari
Tabel 3. Penelusuran dokumen dan wawancara
Sumber data Jenis data Tujuan Masyarakat Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului
• Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
• Kearifan lokal kaitannya dengan pengelolaan kawasan
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Dinas Kehutanan Kabupaten Paser
• Visi dan misi • Renstra 2001-2005 • Peta kawasan • Tupoksi • Sejarah kawasan • Bentuk kerjasama dengan
stakeholder lain • Bentuk kepentingan dengan
kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Paser
• RTRW Kabupaten Paser • Bentuk kerjasama dengan
stakeholder lain • Peta kondisi penutupan lahan
Kabupaten Paser • Tupoksi • Bentuk kepentingan dengan
kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir
• Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
26
• Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan
• Kebijakan yang dikeluarkan berkaitan dengan pengelolaan kawasan
• Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Persatuan Masyarakat Adat Paser • Visi dan misi • Kerjasama dengan stakeholder lain • Bentuk kepentingan dengan
kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Tropenbos Internasional Indonesia
• Visi dan misi • Program yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan • Bentuk kepentingan dengan
kawasan • Bentuk kerjasama dengan
stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
PT. Rizky Kacida Reana • Bentuk kepentingan dengan kawasan
• Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
27
BEHAVIOR SITUATION STRUCTURE PERFORMANCE
Karakteristik SDA dan SDM Hubungan antara SDM dan SDA Masalah di lapangan
Kebijakan tiap stakeholder
Hubungan antara stakeholder
Perturan informal Rekomenedasi Kebijakan
Pengelolaan HLGL Lestari (expected performance)
Kawasan yang khas Tata batas Illegal logging Pengelolaan kawasan dengan paradigma lama Stakeholder masih ego sektoral
Stakeholder HLGL Jenis kebijakan tiap stakeholder Interaksi antar stakeholder dalam konteks kelembagaan pengelolaan HLGL
Program dan aktivitas para stakeholder HLGL
Indikator-indikator kinerja yang dapat diamati di lapangan antara lain:
perburuan, illegal logging, perladangan bergulir dan lain
sebaginya (exisisting performance)
Gambar 7. Kerangka penelitian
28
D. Analisis dan Sintesis Data
Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data menggunakan analisis deskriptif
dan tabulasi (penyajian data dalam bentuk tabel).
Data-data yang telah diambil dan dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan
metode content analysis (analisis isi) yang mendeskripsikan setiap isi dari kebijakan
yang ada dalam pengelolaan HLGL.
Analisis hirarki digunakan untuk melihat antara keterkaitan perundang-undangan
yang berlaku dari undang-undang skala nasional, peraturan pemerintah daerah, Surat
Keputusan Bupati, kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta, hingga kearifan
lokal masyarakat sekitar dan dalam hutan yang berkaitan dalam pengelolaan HLGL.
Data yang diperoleh diklasifikasi berdasarkan Situation, Structure, Behavior, dan
Performance (SSBP). Kemudian data disintesakan untuk memahami kondisi dari
Situation, Stucture, Behavior, dan Performance dari HLGL. Metode SSBP digunakan
untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dari pengelolaan HLGL lestari.
29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Ideal Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut
Pengelolaan hutan lindung menurut PP No. 25 tahun 2000 tentang
Perencanaan Kehutanan menyatakan bahwa wewenang pengelolaan kawasan hutan
lindung ada di tangan di tangan Pemerintah Kabupaten. Untuk itulah Pemerintah
Kabupaten Pasir membentuk Dinas Kehutanan Pasir pada tahun 2001 sebagai instansi
yang berada langsung di bawah Bupati Pasir yang bertanggung jawab terhadap
pengelolaan setiap kawasan hutan kecuali cagar alam.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, studi pustaka, dan wawancara
mendalam dapat diketahui sampai dengan sekarang kawasan HLGL masih berada
dalam tanggung jawab Dinas Kehutanan Pasir. Hal ini ini tidak sesuai dengan
peraturan perundangan yang ada. Mengacu pada PP No. 44 tahun 2004 tentang
Perencanaan Hutan, yang bertanggung jawab terhadap setiap pengelolaan kawasan
hutan lindung adalah sebuah unit pengelolaan yang khusus mengelola satu kawasan
hutan lindung atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang dibentuk oleh
Pemerintah Kabupaten Pasir.
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
4. Perlindungan dan konservasi hutan
Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan
meliputi:
1. Inventarisasi hutan
2. Pengukuhan kawasan hutan
3. Penatagunaan kawasan hutan
4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
5. Penyusunan rencana kehutanan
30
Kawasan HLGL memerlukan satu unit pengelola karena dari sekian
banyaknya stakeholder HLGL tidak ada satu pun yang melakukan kegiatan
pengelolaan secara menyeluruh. Stakeholder HLGL hanya melakukan hanya di salah
satu kegiatan pengelolaan hutan.
Kaitannya dalam pembentukan satu unit pengelola, Pemerintah Kabupaten
Pasir mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang
pembentukan kelompok kerja pengelolaan hutan lindung gunung lumut dan Surat
Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem
informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial Kabupaten
Pasir. Kebijakan di atas dapat digunakan sebagai langkah awal dari pelibatan seluruh
stakeholder Kabupaten Pasir dalam mengelola kawasan HLGL secara keseluruhan.
Melalui kebijakan tersebut Pemerintah Kabupaten Pasir diharapkan mampu
membentuk suatu unit pengelola khusus atau KPHL HLGL yang bertanggung jawab
langsung kepada Bupati Pasir.
B. Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL
B.1. Masyarakat Desa Rantau Layung
Desa Rantau Layung terletak di sekitar kawasan HLGL yang sebagian
wilayahnya adalah kawasan HLGL. Secara administratif Desa Rantau Layung berada
di Kecamatan Batu Sopang serta di utara berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, Desa
Long Sayo, dan Tiwei, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Buta, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Long Gelang, Kecamatan Kuaro, dan sebelah sebelah
barat berbatasan dengan Desa Long Sayo, Desa Prayon dan Desa Uko.
Menurut data statistik kecamatan Desa Rantau Layung memiliki luas 183,18
km2. Jumlah kepala keluarga Desa Rantau Layung adalah 58 kepala keluarga dengan
jumlah penduduk total 149 jumlah jiwa. Desa Rantau Layung mayoritas adalah suku
Paser Kendilo.11
Sebelum menempati daerah yang sekarang Desa Rantau Layung terletak di
rantau sungai Kesungai. Pada masa penjajahan Belanda Mereka hidup terpencar 11 Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
31
antara satu dengan yang lainnya tetapi masih dalam satu daerah. Kemudian Belanda
menawarkan kepada warga Rantau Layung untuk pindah ke Long Ikis atau Batu
Kajang, karena di sana akses untuk keluar lebih mudah. Tetapi pada tahun 1945
warga Rantau Layung memilih untuk kembali ke daerahnya semula, tetapi hingga
sekarang masih ada warga Rantau Layung yang memutuskan untuk menetap di Long
Ikis dan Batu Kajang. Asal kata desa tersebut adalah karena adanya pohon layung,
sejenis duren, yang ada di daerah asal mereka dulu.
Warga Rantau Layung bermata pencaharian utama sebagai petani di ladang
mereka yang ditanami oleh padi ladang. Ladang mereka terletak di sekitar desa
mereka tetapi tidak berada di dalam kawasan HLGL. Lahan tempat mereka berladang
bervariasi luasnya yaitu sekitar ±1 ha setiap kepala keluarga tetapi dapat lebih luas
sesuai dengan kemampuan dari setiap kepala keluarga tersebut.
Desa Rantau Layung menerapkan kebijakan adat bahwa setiap kepala keluarga
berhak memiliki 1 ha kebun. Kebun tersebut oleh setiap kepala keluarga ditanami
rambutan, durian, pisang, singkong, ubi, rotan, dan juga pinang.
Warga Rantau Layung sangat tergantung pada HLGL karena tanpa HLGL
warga Rantau Layung tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tambahan mereka.
Cara yang mereka lakukan adalah warga Rantau Layung sangat bergantung pada
HLGL. Hal ini dapat dilihat dari cara memenuhi kebutuhan biaya hidup
tambahannya, warga Rantau Layung melakukan kegiatan mengambil hasil hutan ke
dalam kawasan HLGL. Adapun hasil hutan yang mereka ambil berupa burung, rotan,
madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang, babi hutan, dan juga
ikan.
Madu yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung diambil dari pohon madu
(Koompasia malacensis) yang berada tersebar di dalam maupun di sekitar kawasan
HLGL. Karena hal tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Rantau
Layung dan akan dikenai denda yang sangat besar bila ada yang menebang pohon
tersebut karena itu sama saja dengan membunuh kehidupan dari suatu keluarga.
32
Sumber (2): http://bird.incoming.jp/08/jpgl/1063.jpg
Gambar 8. Pohon madu (Koompasia malacensis[1] ) dan burung kuau (Argusianus argus[2] )
Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau
lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang
yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum
dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon
madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai
menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan
siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu
tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung
dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau
tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar.
Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang
memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter
madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000.
Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung berasal dari luar kawasan
HLGL tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan.
Sebab rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan panjang-
2 1
33
panjang. Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya
mengambil rotan pada saat mereka membutuhkan saja.
Warga Rantau Layung menangkap burung di dalam kawasan HLGL. Burung
yang mereka tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir
yang datang khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga
Rantau Layung menangkap burung pada musim kering, karena musim kering
memudahkan mereka untuk melihat burung yang akan mereka tangkap.
Burung merak kalimantan atau burung kuau (Argusianus argus) diburu khusus
untuk dijadikan bahan pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan
di rumah-rumah. Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, bubut
alang-alang selain itu burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka
karena bunyi yang bagus menurut mereka.
Berburu hewan buruan seperti kijang kancil (Tragulus napu), rusa (Cervus
timorensis), babi hutan (Sus barbatus), dan juga kijang (Muntiacus muntjak)
dilakukan oleh warga Rantau Layung untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan
juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan
adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual. Tabel 4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan kawasan Hutan Lindung Gunung
Lumut
Keluarga Berladang Mengumpulkan
madu
Berburu Mencari
gaharu
Mencari
burung
Mencari
rotan
1 __
2 __ __ __
3 __ __ __
4 __ __ __
5 __ __
6 __ __ __
34
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus
Desa Pinang Jatus terletak di dalam wilayah administratif Kecamatan Long
Kali, yang berbatasan di utara dengan Desa Muara Lambakan, dan Perkuin, sebelah
selatan dengan Desa Tiwei dan Desa Rantau Layung, sebelah timur dengan Desa
Belimbing, dan sebelah barat dengan Desa Swanselutung.
Desa Pinang Jatus terdiri dari 60 kepala keluarga dengan jumlah total penduduk
283 jumlah jiwa. Mayoritas penduduk Desa Pinang Jatus adalah suku Paser Telake.
Dinamakan Desa Pinang Jatus karena pada jaman dahulu kala ada seseorang
yang melanggar perturan adat di desa tersebut sebanyak 100 real, tetapi karena tidak
mampu maka orang tersebut mengganti dengan 100 batang pohon pinang. Pada tahun
1960 agama Kristen masuk ke desa tersebut, maka sebagian warga Desa Pinang Jatus
memeluk agama Kristen. Banyak dari warga Desa Muara Lambakan yang tidak mau
memeluk agama Islam pindah ke Desa Pinang Jatus.
Berbeda dengan Dusun Mului yang berada di dalam kawasan dan Desa Rantau
Layung yang sebagian wilayahnya terdiri merupakan kawasan HLGL, maka Desa
Pinang Jatus adalah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL dengan
jarak kurang lebih 20 km dari pusat desa.
Bertani padi ladang di sekitar desa adalah mata pencaharian utama mereka.
Dengan pembagian 1 ha atau lebih sesuai dengan kemampuan dari masing-masing
kepala keluarga.
Warga Desa Pinang Jatus tidak terlalu tergantung dengan kawasan HLGL
karena jarak yang jauh antara desa dengan kawasan. Hampir semua kebutuhan hidup
warga Desa Pinang Jatus dapat dicukupi dari daerah sekitar mereka. Akan tetapi
warga Pinang Jatus tetap mengandalkan hasil hutan yang berasal dari kawasan HLGL
sebagai sumber penghasilan tambahan mereka.
35
Tabel 5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan kawasan HLGL
Keluarga Berladang Mengumpulkan
madu
Berburu Mencari
gaharu
Mencari
burung
Mencari
rotan
1 __ __
2 __ __ __ __ __
3 __ __ __ __
4 __ __ __ __
5 __ __
B.3 Masyarakat Dusun Mului
Dusun Mului merupakan komunitas suku Paser yang berada di dalam kawasan
HLGL, yang secara administratif masuk ke dalam Desa Swanselutung, Kecamatan
Muara Komam, dengan luas wilayah 496,78 km2. Mempunyai batas wilayah utara
berbatasan dengan Desa Kepala Telake, selatan dengan Desa Muara Payang, timur
dengan Desa Long Sayo, dan barat dengan Desa Lusan12.
Dusun Mului terdiri dari 18 kepala keluarga dengan 118 jumlah jiwa yang
menempati 58 rumah yang berada di sepanjang jalan logging PT. Rizky Kacida
Reana kilometer 58. Dusun Mului termasuk RT 8 yang merupakan bagian dari Desa
Swanselutung.
Pada tahun 1970-an warga Mului hidup berpencar antara satu keluarga dengan
yang lainnya yaitu di daerah hulu Sungai Sowan dan Sungai Mului atau yang lebih
dikenal dengan daerah Mului Lama. Mereka beralih tempat pada tahun 2001 atas
bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Pasir warga Mului direlokasi dari tempatnya
yang lama ke tempat yang baru dalam bagian dari proyek masyarakat tertinggal.
Dinas Sosial berrtujuan menempatkan mereka ke daerah yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan lingkungan daerah yang lama dirasakan tidak sehat lingkungan, hal ini
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang relatif tidak bertambah dari tahun ke tahun
karena banyaknya balita masyarakat Dusun Mului yang menderita sakit penyakit dan
meninggal sebelum tumbuh remaja.
12 Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
36
Gambar 9. Sejarah perpindahan warga Dusun Mului
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
Masyarakat Dusun Mului hidup dari bercocok tanam padi ladang yang ditanam
secara bergulir dari satu daerah ke daerah yang lain, yang meraka namakan ladang
bergulir. Mereka menolak ungkapan ladang berpindah karena apa yang mereka
lakukan berbeda, yaitu dengan kembali ke tempat semula setelah berpindah beberapa
kali. Luas dari ladang mereka berbeda-beda antara satu keluarga dengan yang lainnya
tergantung kesanggupan masing keluarga.
Tanaman lain yang menjadi komoditi warga Mului berupa kopi, rotan, pisang,
durian, elai, dan tanaman buah-buahan lainnya. Tanaman tersebut mereka tanam di
sekitar dusun mereka tempati. Hasil dari tanaman buah tersebut dijual dan dapat
menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat. Selain bertani mereka juga berternak
ayam karena mudah dipelihara dan dapat mencari makanannya sendiri.
Warga Mului sangat bergantung pada HLGL. Hal ini dapat dilihat dari untuk
memenuhi kebutuhan biaya lainnya warga Mului mencukupi kebutuhannya dengan
cara mengambil hasil hutan ke dalam kawasan HLGL. Adapun yang mereka ambil
37
seperti burung, rotan, madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang,
babi hutan, dan juga ikan.
Warga Mului memiliki kebijakan adat sendiri dalam mengatur pola
pemanfaatan hasil hutan yang bertujuan untuk mencegah terjadi kerusakan hutan dan
juga untuk kesejahteraan masyarakat Mului sendiri.
Madu yang dimanfaatkan oleh warga Mului diambil dari pohon madu
(Koompasia malacensis) yang berada tersebar di dalam kawasan HLGL. Karena hal
tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Mului dan akan dikenai denda
yang sangat besar bila ada yang menebang pohon tersebut karena itu sama saja
dengan membunuh penghidupan dari suatu keluarga.
Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau
lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang
yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum
dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon
madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai
menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan
siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu
tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung
dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau
tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar.
Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang
memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter
madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000.
Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Mului berasal dari luar kawasan HLGL
tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan. Sebab
rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan panjang-panjang.
Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya mengambil
rotan diwaktu senggang mereka saja.
Warga Mului menangkap burung di kawasan HLGL. Burung yang mereka
tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir yang datang
38
khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga Mului menangkap
burung pada musim kering, karena musim kering memudahkan mereka untuk melihat
burung yang akan mereka tangkap.
Burung merak Kalimantan atau burung kuau diburu khusus untuk di jadikan
pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan di rumah-rumah.
Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, dan punai selain itu
burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka karena bunyi yang
menurut mereka bagus.
Berburu hewan buruan seperti kijang kancil (Tragulus napu), rusa (Cervus
timorensis), babi hutan (Sus barbatus), dan juga kijang (Muntiacus muntjak)
dilakukan oleh warga Mului untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan juga
sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan
adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual. Tabel 6. Interaksi Masyarakat Dusun Mului dengan Kawasan HLGL Keluarga Berladang Mengumpulkan
madu Berburu Mencari
gaharu Mencari burung
Mencari rotan
1 2 __ __ __
3 __ __ __
4 __ 5 __ __
6 __ __ 7 __ __ 8 __
B.4 Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir adalah instansi pemerintah yang langsung
dibawahi oleh Bupati Kabupaten Pasir. Sesuai dengan surat keputusan Bupati Pasir
nomor 17 tahun 2001 tentang uraian tugas Dinas Kehutanan Pasir, bahwa Dinas
Kehutanan Pasir mempunyai tugas melaksanakan kewenangan otonomi daerah
kabupaten di bidang kehutanan sesuai dengan data inventarisasi kewenangan
Pemerintahan Kabupaten Kabupaten Pasir sebagai daerah otonom, yang ditetapkan
oleh Bupati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. Dinas ini
juga mempunyai fungsi sebagai perumus kebijaksanaan teknis sesuai dengan lingkup
39
tugasnya, penerbitan rekomendasi teknis perijinan dan pelayangan umum serta
pembinaan terhadap unit pelaksanaan teknis dinas dan cabang dinas dalam lingkup
tugasnya.
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dibagi menjadi lima sub dinas yang terdiri
dari:
1. Sub Dinas Pembinaan Hutan
2. Sub Dinas Penyuluhan
3. Sub Dinas Pengusahaan Hutan
4. Sub Dinas Penataan Hutan
5. Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengelolaan HLGL dalam Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir secara langsung
ditangani oleh Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
yang memiliki tugas membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan sebagian tugas
bidang perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan sesuai dengan kebijaksanaan
teknis yang telah ditetapkan. Adapun fungsi dari sub dinas ini adalah:
1. Pengumpulan dan pensistematisan, pengolahan, dan penyajian data
2. Pengaturan dan perumusan cara penjagaan, pengawasan guna mewujudakan
perlindungan hutan
3. Penghimpunan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
masalah hutan dan kehutanan
4. Penyelesaian masalah yang berhubungan dengan sengketa hukum dan
perundang-undangan kehutanan
5. Pengkordinasian upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan
6. Pengaturan dan perumusan bagi terwujudnya perlindungan flora dan fauna
7. Pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan bidang tugasnya
8. Pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Kepala Dinas
9. Pemberian penilaian dan penandatanganan BP3 bawahannya
Sub Dinas Perlindungan Hutan dan pengendalian kebakaran hutan terdiri:
1. Seksi Pengamanan Hutan dan Monitiring
2. Seksi Pengeloaan Hutan Lindung
40
3. Seksi Kebakaran Hutan
Seksi pengelolaan hutan lindung mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Membantu kepala sub dinas sesuai dengan bidang tugasnya
2. Mengumpulkan, mensistematiskan, mengolah, dan menyajikan data
3. Mengatur, merumuskan pengelolaan hutan lindung, dan mengatur serta
merumuskan bagi terwujudnya perlindungan flora dan fauna
4. Melaksanakan kegiatan yang yang sesuai dengan bidang tugasnya
5. Melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya maupun oleh kepala dinas
6. Memberikan penilaian dan menandatangani BP3 bawahannya
B.5 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pasir
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) merupakan lembaga
pemerintah daerah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang
direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kabupaten Pasir.
Bappeda merencanakan pembangunan wilayah Kabupaten Pasir dalam skala makro di
semua bidang kerja Kabupaten Pasir termasuk bidang kehutanan.
Hasil yang didapat oleh Bappeda dituangkan dalam bentuk Program
Perencanaan Daerah (Propeda) dan juga dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten. Melalui Propeda dan RTRW, Bappeda menuangkan apa yang
menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah kabupaten dengan tujuan
untuk menciptakan kesinergisan dan supaya tidak terjadi tumpang tindih kepentingan
masing-masing instansi.
Wewenang Bappeda berdasar Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Bappeda No.
14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda kabupaten Pasir adalah sebagai lembaga
koordinatif dengan perencanaan daerah pada seluruh sektor (Nooryashini et. al.,
2004). Dalam pengelolaan HLGL, Bappeda mengambil peran dan posisi sebagai
perencana dan pembuat kebijakan tidak sebagai dinas teknis yang bekerja secara
operasional. Menurut Surat Keputusan Bupati Pasir No. 10 tahun 2000, tugas pokok
Bappeda adalah membantu Bupati Pasir (dalam menentukan kebijaksanaan di bidang
perencanaan pembangunan serta penilaian atas pelaksanaannya. Prinsipnya dalam
41
suatu program kerja atau kegiatan, Bappeda berwenang dalam masalah makro
sedangkan teknisnya dinas terkait yang melaksanakan.
Dalam pengelolaan Kabupaten Pasir, Bappeda bekerjasama dengan instansi-
instansi lainnya seperti Dinas Perhubungan, Sub Dinas Pengairan, Kantor Pertanahan,
Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas
Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Pasir, Dinas Bapedalda Pasir, Badan Seketariat
Daerah Pasir, dan Dinas Kehutanan Pasir. Dan untuk pengelolaan kawasan HLGL
Bappeda bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Pasir, Tropenbos Internasional
Indonesia, dan Badan Pengedalian Dampak Lingkungan Pasir dalam bentuk pelatihan
GIS (Geographic Information System).
Dalam bidang kerjanya Bappeda tidak mengeluarkan kebijakan yang
mengatur secara langsung pengelolaan HLGL, karena Bappeda hanya berbentuk
badan atau lembaga, bukan dinas terkait dengan bidang kehutanan. Bappeda
mengumpulkan setiap data yang ada dari Dinas Kehutanan yang dituangkan dalam
RTRW Kabupaten Pasir.
Sesuai dengan Surat Keputusan Bupati No. 357 tahun 2005 tentang
Pembentukan Tim Forum Sistem Informasi Geografis Pasir dalam Kegiatan
Penyusunan Basis Data Spasial Kabupten Pasir maka dapat dilihat adanya kerjasama
antara seluruh instansi pemerintah untuk menyusun database masing-masing
informasi yang hasil akhirnya adalah terciptanya RTRW Kabupaten Pasir tahun
2006-2011. Karena selama ini yang menjadi penyusun utama RTRW adalah
Bappeda. Dengan adanya forum ini, RTRW Kabupaten Pasir akan menjadi lebih
valid karena melibatkan semua instansi pemerintah daerah yang mewakili
kepentingannya masing-masing. Maka tumpang tindih kepentingan dan konflik lahan
dapat dihindari.
Menurut Undang Undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang pasal 36
menyebutkan bahwa adalah hak setiap orang untuk mengetahui rencana tata ruang
dan berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam buku RTRW Kabupaten Pasir tahun 2001,
dapat dilihat bahwa pelibatan masyarakat tidak ada sama sekali. Hanya camat saja
42
yang mewakili masyarakat, padahal apa yang diinginkan oleh masyarakat belum tentu
dapat terakomodir oleh camat.
Desa-desa di sekitar kawasan HLGL tidak mengetahui bahwa desa mereka
menjadi bagian dari kawasan lindung menurut RTRWK tahun 2001. Untuk pelibatan
masyarakat di desa-desa sekitar Kawasan HLGL, cukup ketua adat beserta wakilnya
saja yang mengetahui rencana penyusunan RTRW Kabupaten Pasir. Ini berguna
untuk menghindari ketidaktahuan masyarakat antara kawasan HLGL dengan lahan
yang diusahakan oleh masyarakat untuk berladang dan berkebun rotan.
A. 6 UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan
Kegiatan yang dilakukan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan di
Kabupaten Pasir secara umum adalah mendukung dalam penyediaan peta dan
melakukan pengukuran terfokus pada pal batas, inventarisasi potensi kayu dalam
areal hutan produksi, pemantauan pemukiman di dalam kawasan hutan, membuat
perencanaan hutan serta pemantauan perkembangan kawasan hutan. Kegiatan yang
dilakukan di kawasan HLGL, diantaranya adalah melakukan pengukuran dan
pembuatan tata batas kawasan hutan dan pemukiman dalam kawasan yang kemudian
diikuti dengan rekonstruksi batas; kawasan HLGL sudah dilakukan 2x rekonstruksi
pal batas yaitu pada tahun 1990 dan tahun 2003. Dengan panjang batas yang ditata
batas berturut-turut adalah 20.600 Km dan 121.575 Km dengan ukuran pal batas yang
dibuat UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan 15x15x30 cm terbuat dari kayu jenis
ulin (Eusideroxylon zwageri) atau kayu kelas awet setempat. Kondisi pal batas
kawasan HLGL terakhir yang dilakukan tim orientasi batas UPTD Planologi
Kehutanan Balikpapan tahun 2003 menghasilkan data sebanyak 1208 buah pal batas
dengan rincian sebanyak 223 buah pal batas rusak akibat lapuk dan sebanyak 979
buah hilang atau tidak ditemukan karena dirusak dan dicabut oleh masyarakat sekitar
kawasan serta masih terdapat 3 buah pal batas dalam kondisi baik (UPTD Planologi
Kehutanan Balikpapan, 2003).
43
B.7 Tropenbos Internasonal Indonesia
Tropenbos Internasional Indonesia (TBI Indonesia) merupakan lembaga non
pemerintah yang bergerak di bidang kehutanan yang berdiri di tahun 1987. Inti dari
lembaga non pemerintah ini adalah penelitian di bidang kehutanan dan baru-baru ini
menambah kegiatan besarnya dalam forest partnership yang tujuan akhirnya adalah
untuk kegiatan penelitian.
TBI Indonesia memiliki visi yaitu mendukung usaha-usaha pengeloalaan
hutan secara lestari untuk kepentingan masyarakat, konservasi, dan pembangunan
yang berkelanjutan. Misi TBI Indonesia adalah mendukung usaha-usaha pemnfaaatan
dan pengelolaan hutan secara lebih baik bagi kepentingan lingkungan yang sehat,
pembangunan yang berkelanjutan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
khususnya di Kalimantan Timur.
Karena merupakan lembaga non pemerintah, maka TBI Indonesia tidak
mengeluarkan kebijakan yang menunjang pengelolaan kawasan HLGL. Tetapi dalam
kegiatannya, TBI Indonesia mendukung pengelolaan HLGL dan juga berinteraksi
dengan lembaga pemerintahan untuk memberi masukan-masukan guna menyusun
kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan HLGL kepada Pemerintah
Kabupaten Pasir.
Kegiatan penelitian yang telah diwadahi oleh TBI Indonesia untuk kemajuan
pengelolaan HLGL dinyatakan dalam tabel di bawah ini.
44
Tabel 7. Program penelitian yang diwadahi oleh TBI Indonesia
No. Program Penelitian Deskripsi Program Pihak-pihak yang Terlibat
1. Pertukaran nilai-nilai keanekaragam hayati dan eksploitasi hutan di area hutan tertentu wilayah Gunung Lumut, Untir-Beratus dan sekitarnya (Trade-off biodiversity values and forest exploitation in selected forest areas of the Gunung Lumut Untir-Beratus extention area)
Penelitian ini bertujuan mempelajari pertukaran antara pelestarian keaneakaragam hayati dan ekstraksi produk-produk hutan (kayu dan non kayu) untuk membantu Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah dalam melakukan peran mereka untuk menutupi biaya pelestarian yang kian meningkat.
Centre for Environmental Science (Netherlands), National Herbarium (Netherlands), The van Vollenhove Institute (Netherlands), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Samarinda), Herbarium Loka Litbang Satwa Primata Wanariset (Samboja),
2. Desain dan pengembangan suatu sistem monitoring dan sertifikasi yang efektif untuk mendukung pengelolaan hutan produksi yang berkelanjutan di Indonesia (Design and development of an effective monitoring and certification system to support sustainable management of production forest in Indonesia)
Penelitian ini akan menyeleksi dan mengadaptasikan suatu model pengelolaan hutan berkelanjutan dengan memperhatikan proses desentralisasi yang sedang berlangsung saat ini dan mempertimbangkan hak-hak dan kemitraan dari semua pihak terkait yang relevan serta mengembangkan sistem informasi yang efektif dan layak untuk mendukung model pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan untuk memantau praktek di tingkat konsesi.
International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (Netherlands), Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS (Surakarta), CIFOR (Bogor), Fakultas Kehutanan IPB (Bogor), Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Departemen Kehutanan, PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari
3. Pengelolaan hutan hujan tropis yang berkelanjutan di Kalimantan: Pengembangan silvikultur dan konservasi genetik Ulin (Eusideroxylon zwageri) (Sustainable management of the tropical rainforest in Kalimantan: Silviculture development and genetic conservation of Ulin (Eusideroxylon zwageri)
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan strategi pengelolaan berkelanjutan dari sumber genetik ulin untuk tujuan pelestariandan ditujukan pada penanganan isu-isu silvikultur dan pelestarian sumber genetik dari ulin, pemberdayaan masyarakat lokal untuk melakukan kegiatan pelestarian genetik (secara in situ dan ex situ) dan menyediakan bibit tanaman generatif dan vegetatif untuk rehabilitasi tegakan alam yang rusak
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman (Yogyakarta), Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan (Samarinda), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Samarinda), Herbarium Loka Litbang Satwa Primata Wanariset (Samboja)
4. Analisis Kelembagaan dalam Era Kebijakan Desentralisasi Kehutanan– Kasus di Propinsi
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelembagaan kebijakan kehutanan era desentralisasi di Indonesia yang
Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan (Samarinda), Badan Penelitian dan
45
Kalimantan Timur Indonesia (An Institutional Analysis of Forest Policy Decentralisation - The case of East Kalimantan Province, Indonesia)
dapat memberikan keuntungan untuk masyarakat lokal dan mendorong kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan sehingga memperoleh pemahaman tindakan yang lebih baik akan pemanfaatan sumberdayahutan dan untuk mengusulkan perubahan kebijakan yang mampu mendorong kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan
Pengembangan (Litbang) Kehutanan, Departemen Kehutanan
5. Penilaian Keanekaragaman hayati di kawasan HLGL
Kegiatan ini merupakan rencana kegiatan TBI Indonesia pada tahun 2005. TBI Indonesia bermaksud melaksanakan ekspedisi kehati atau Biodiversity Assessment untuk mengumpulkan data kenakaragaman hayati yang baru, yang dapat digunakan untuk mendukung implementasi rencana pengelolaan HLGL
Centre for Environmental Science (Netherlands), National Herbarium (Netherlands), Naturalis (Netherlands), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Samarinda), Herbarium Loka Litbang Satwa Primata Wanariset (Samboja), Balitbang Kehutanan Kalimantan (Samarinda), LIPI
B.8 Persatuan Masyarakat Adat Paser
Persatuan Masyarakat Adat Paser (PeMA Paser) adalah sebuah lembaga
swadaya masyarakat lokal yang ada di Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Long Ikis.
Lembaga ini berdiri di tahun 2000 yang dulunya bernama Aliansi Masyarakat Adat
Paser yang kemudian berubah nama menjadi Persatuan Masyarakat Adat Paser dalam
Kongres Aliansi Masyarakat Adat. Pada tahun 2002 resmi menjadi anggota AMAN
(Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Adapun yang menjadi tujuan dididrikannya PeMA adalah sebagai berikut:
1. Menjadi wadah perjuangan bersama dalam menegakkan hak-hak dan hukum
adat masyarakat adat Paser
2. Mengembalikan kepercayaan diri, harkat, dan martabat masyarakat adat Paser
46
3. Meningkatkan rasa percaya diri, harkat, dan mertabat perempuan masyarakat
adat Paser sehingga mereka mampu menikmati hak-haknya
4. Mengembalikan kedaulatan masyarakat adat Paser untuk mempertahankan
hak ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, hukum adat dan
beragama
5. Mengembangkan kemampuan masyarakat adat Paser dalam mengelola
sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh PeMA Paser selama ini adalah:
1. Menghadirkan berbagai pertemuan kerjasama dengan pemerintah daerah,
LSM lokal, nasional maupun internasional, berkaitan dengan pembahasan
kebijakan, antara lain mengenai kehutanan (hutan lindung) pengelolaan
sumberdaya alam, dan lain-lain
2. Melakukan sosialisasi kegiatan PeMA Paser
3. Memfasilitasi penyelesaian konflik di dalam masyarakat adat sendiri
4. Memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan
5. Memfasilitasi pelatihan-pelatihan di dalam masyarakat adat untuk
menguatkan kapasitas kelembagaan dan komunitas
6. Mengikuti berbagai pelatihan guna meningkatkan kapasitas personil PeMA
Paser
7. Mempersiapkan oraganisasi untuk menjadi wadah pengelola bantuan secara
langsung
8. Melakukan sosialisasi kegiatan loket di beberapa desa yang termasuk ke
dalam DAS Adang dan berbagai persiapan lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan ini
9. Melakukan kegiatan pembangunan ekonomi kerakyatan dengan membuat
kelompok usaha bersama yang dikelola oleh perempuan adat
10. Melakukan kegiatan pendokumentasian adat
Sesuai dengan tujuan utamanya, PeMA Paser dapat dikatakan salah satu
stakeholder dari pengelola kawasan HLGL. Hal ini dikarenakan PeMA sudah banyak
melakukan kegiatan dan berinteraksi dengan masyarakat di desa-desa dalam maupun
47
sekitar kawasan HLGL. Yang menjadi kelebihan dari PeMA Paser dibandingkan
dengan stakeholder lainnya adalah bahwa PeMA Paser dapat diterima oleh
masyarakat adat di desa sekitar HLGL karena anggota dari PeMA Paser merupakan
orang asli dari suku Paser dan fasih berbahasa Paser.
B.9. Badan Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Pasir
Badan Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Pasir (BKSDA) Pasir
menjadi salah satu stakeholder dalam pengelolaan HLGL karena BKSDA
bertanggungjawab dalam peredaran satwa maupun tumbuhan di seluruh Kabupaten
Pasir. Dengan menggunakan SATS (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa) yang
dikeluarkan oleh BKSDA, setiap orang dapat melakukan kegiatan pengangkutan
tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan hutan di Kabupaten Pasir dan juga dapat
mengeluarkannya dari wilayah Kabupaten Pasir.
Hubungan BKSDA Pasir dengan instansi pemerintahan yang lain selama ini
dirasakan kurang baik karena perbedaan garis koordinasi. BKSDA langsung dibawah
garis koordinasi Pemerintah Pusat atau Departemen Kehutanan sedangkan instansi
lainnya di bawah garis koordinasi Kepala Pemerintah Daerah atau Bupati Pasir.
Tetapi akhir-akhir ini hubungan BKSDA dengan instansi pemerintah Kabupaten
Pasir, dalam hal ini Dinas Kehutanan, mulai terjalin kerjasama. Dapat dilihat dari
kegiatan inventarisasi anggrek hitam yang dilakukan oleh kedua instansi ini guna
menyelamatkan populasi dari anggrek hitam yang ada di kawasan hutan yang
berdekatan dengan pemukiman penduduk.
B.10. PT. Rizky Kacida Reana
Sejak Indonesia mengalami masa desentralisasi dan pengeluaran izin atas
usaha kayu diberikan oleh pemerintah kabupaten yaitu Dishut. PT. Rizky Kacida
Reana (PT. RKR) mendapatkan izin pemanfaatan kayu hasil hutan sejak tahun 1970-
an. PT. RKR merupakan salah satu perusahaan swasta yang beroperasi di bidang
pengusahaan kayu di Kabupaten Pasir yang memegang IUPHHK dari 15 IUPHHK
yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Pasir tahun 2001.
48
Saat ini sedang menunggu keputusan Menteri Kehutanan untuk mengubah
izin IUPHHK menjadi HPH PT. RKR baru memulai kegiatan pada bulan Januari
tahun 2003 dengan luas areal konsesi sebesar 30.000 ha di desa Lusan dan Binangon,
Kecamatan Muara Komam; areal konsesi berjarak 100 km dari kawasan HLGL
Produksi hasil tebangan PT. RKR setiap bulan adalah sekitar 4000 m3 dengan izin
tebangan seluas 1000 Ha/tahun (MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004).
Pelaksana teknis PT. RKR adalah PT. Tran Jaya Pratama dengan jumlah
karyawan sebanyak ± 60 orang. Lokasi karyawan (camp karyawan) berada di km 70
dari Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis Kabupaten Pasir. Total jumlah karyawan
PT. RKR keseluruhan mencapai 125 orang dengan status kerja harian, borongan dan
bulanan (MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004). Mayoritas karyawan PT.
RKR merupakan pendatang dari Pulau Jawa. Lokasi kantor perwakilan berada di
Simpang Lombok.
Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar kawasan HLGL diberi hak
dan kewajiban oleh Pemerintah Pusat (untuk pemegang HPH) dan Kabupaten Pasir
(untuk pemegang IUPHHK). Semua perusahaan tersebut mempunyai kewajiban
untuk merehablitasi lahan dan hutan dan membayar retribusi (Nooryashini et al.,
2004).
PT. RKR melakukan pembinaan desa dalam program pemberdayaan
masyarakat untuk dusun Mului, desa Muara Payang, Long Sayo, Swan Selutung, dan
Lusan. Jenis bantuan yang diberikan pada dusun Mului berupa bahan bakar solar
untuk gen set satu drum (1000 liter) setiap bulan serta dana insentif Rp
150.000/bulan. Selain itu PT. RKR juga mengontrak pekerja sebagai hawkman dari
Muluy dengan status harian, walaupun akhirnya banyak masyarakat Mului yang
mengundurkan diri dan tidak memperpanjang kontrak karena pekerjaan yang
dirasakan terlalu berat. PT. RKR juga membina pembangunan Dusun Mului dengan
memberikan papan kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah-rumah
masyarakat.
49
C. Penggolongan Stakeholder HLGL
HLGL dikelola oleh para stakeholder yang mengelola dengan cara dan
kegiatannya masing-masing menurut kepentingan dan tugasnya. Dilihat dari
identifikasi stakeholder di atas dapat terlihat bahwa ada 10 stakeholder yang
mengelola kawasan HLGL.
Mengacu pada Freeman dan Gilbert (1987), kriteria yang digunakan dalam
pengklasifikasian stakeholder terhadap suatu kegiatan adalah berdasarkan:
1. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari setiap stakeholder
(Freeman, 1984)
2. Kepentingan (kepentingan) dan pengaruh (influence) yang mereka miliki
(Grimble dan Wellard, 1996)
3. Program maupun kebijakan yang dikeluarkan
4. Kerjasama dan koalisi yang dilakukan antara stakeholder
Berdasarkan kriteria di atas maka penggolongan stakeholder HLGL
digambarkan dalam tabel stakeholder (stakeholder mapping) berikut:
Gambar 10. Penggolongan stakeholder HLGL
50
Melihat gambar tersebut dapat dilihat bahwa stakeholder HLGL memiliki
beragam posisi dalam hal kepentingan dan pengaruhnya terhadap kawasan HLGL.
Kepentingan stakeholder dilihat dari seberapa tinggi atau rendahnya kepentingan dari
stakeholder terhadap kawasan HLGL baik dari pemanfaatan hutan, penggunaan
kawasan, penataan hutan, rehabilitasi hutan, serta perlindungan dan konservasi hutan
(UU No. 41 tahun 1999). Kepentingan dari sebuah stakeholder dianalisis dari tingkat
ketergantungan dari stakeholder terhadap kawasan dan juga dilihat berdasarkan
stakeholder yang paling awal terkena dampak jika adanya perubahan yang terjadi
pada kawasan, baik yang positif maupun negatif. Sedangkan pengaruh dianalisis
berdasarkan seberapa kuatnya kekuasaan yang dimiliki oleh stakeholder dapat
mempengaruhi pengelolaan kawasan HLGL.
Masyarakat desa sekitar dan dalam hutan yang ada di HLGL, Desa Rantau
Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului merupakan stakeholder yang memiliki
pengaruh dan kepentingan tinggi. Memiliki kepentingan yang tergolong tinggi karena
masyarakat ketiga desa ini sangat bergantung kepada kawasan HLGL. Kebutuhan
masyarakat dicukupi dari kawasan HLGL yang meliputi kegiatan berburu satwa
sebagai sumber protein dan penghasilan, kegiatan pengumpulan madu hutan, rotan,
dan gaharu yang mencukupi kebutuhan mereka dalam penghasilan rumah tangga
tambahan. Khusus untuk masyarakat Dusun Mului, kawasan HLGL menjadi tempat
bagi kegiatan berladang mereka. Kegiatan berladang ini sudah ada sebelum penetapan
kawasan HLGL.
Ketiga stakeholder ini memiliki pengaruh yang tinggi karena jika ditelusuri
dengan seksama sejarah yang dimiliki oleh mereka erat kaitannya dengan kawasan
HLGL karena mereka sudah ada jauh sebelum adanya penetapan HLGL (1983),
bahkan jauh juga dari penetapan areal konsesi dari PT. Telaga Mas (1970). Maka
ketiga stakeholder ini memiliki pengaruh yang tinggi berdasarkan hak tenurial dari
leluhur mereka dan akan sangat sulit untuk mentraslokasi mereka ke tempat yang
baru.
Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda Pasir, UPTD Planologi Kehutanan
Balikpapan, dan BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir berada digolongkan
51
sebagai stakeholder yang memiliki pengaruh yang tinggi tetapi memiliki kepentingan
rendah. Dinas Kehutanan Pasir dan Bappeda Pasir berpengaruh tinggi karena kedua
institusi ini memiliki wewenang langsung dari pemerintah daerah dalam hal ini
Bupati Pasir. Dinas Kehutanan memiliki wewenang langsung dalam hal pengelolaan
seluruh kawasan Hutan yang berada dalam wilayah adminstratif Kabupaten Pasir (PP
No. 62 tahun 1998 dan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990), kecuali kawasan
dengan status kawasan pelestarian alam, kawasan suaka margasatwa, dan taman buru
(UU No. 5 tahun 1990, UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 68 tahun 1998). Bappeda
Pasir memiliki wewewang yang juga berasal Bupati Pasir dalam hal perencanaan
tingkat kabupaten Pasir (tugas pokok dan fungsi Bappeda No. 14 tahun 2002 tentang
fungsi Bappeda Kabupaten Pasir serta Perda Kabupaten Pasir No. 20 tahun 2000).
Kaitannya dengan pengelolaan HLGL adalah Bappeda Pasir bertugas untuk
menyusun RTRW Kabupaten Pasir yang salah satu isinya adalah perencanaan
kawasan lindung karena HLGL termasuk ke dalam kriteria kawasan lindung.
UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan memiliki wewenang yang berasal
dari Gubernur Propinsi Kalimantan Timur (Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50
tahun 2000 Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah), dimana hasil dari
segala kegiatan UPTD ini akan digunakan sebagai dasar penataan batas kawasan
HLGL. BKSDA Seksi Koservasi Wilayah Pasir memiliki pengaruh yang tinggi dalam
hal pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa dari seluruh kawasan hutan yang ada
di Kabupaten Pasir tanpa terkecuali. Asal kewenangan dari BKSDA ini adalah
langsung dari pemerintah pusat atau Departemen Kehutanan, sesuai dengan UU No. 5
tahun 1990 dan UU No. 41 tahun 1999.
52
Tabel 8. Jenis pengaruh, asal kewenangan, dan bentuk kepentingan stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut
Stakeholder Asal
kewenangan
Jenis
pengaruh
Bentuk kepentingan
Masyarakat Desa Rantau
Layung
Kerarifan lokal Hak tenurial Pemanfaatan hutan
Masyarakat Desa Pinang
Jatus
Kerarifan lokal Hak tenurial Pemanfaatan hutan
Masyarakat Dusun Mului Kerarifan lokal Hak tenurial Pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan
Dinas Kehutanan Pemkab Pasir Hak mandat Penataan hutan
Perencanaan hutan
Rehabilitasi
Perlindungan dan konservasi hutan
Bappeda Pemkab Pasir Hak Mandat Penataan hutan
UPTD Planologi
Balikpapan
Pemprop
Kaltim
Hak Mandat Penataan hutan
BKSDA Pasir Pemerintah
Pusat
Hak Mandat Pelindungan dan konservasi hutan
TBI - - Perlindungan dan konservasi hutan
PeMA Paser - - Perlindungan hutan
PT. RKR - - Penggunaan kawasan
D. Interaksi antara Stakeholder dalam Pengelolaan HLGL
Dalam mengelola semua hutan lindung yang berada di Kabupaten Pasir,
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir memiliki sub dinas yang langsung mempunyai
tugas dalam mengelola HLGL yaitu sub dinas perlindungan hutan dan pengendalian
kebakaran hutan. Tetapi dalam pengelolaan HLGL Dinas Kehutanan Pasir belum
melakukan upaya yang maksimal karena berbagai macam kendala.
Masalah yang dihadapi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir adalah usia
yang masih tergolong muda, berdiri tahun 2001. Sehingga dalam pelaksanaan tugas
antara sub dinas dan juga peralatan yang menunjang pengelolaan hutan lindung
dirasakan menjadi faktor penghambat dalam pengelolaan HLGL. Dinas Kehutanan
Pasir dalam menjaga kawasan hutan lindung seluruh Kabupaten Pasir, dengan luas
53
total 116.952 ha (Maulana, 2004) hanya memiliki 2 personil polisi kehutanan.
Walaupun dalam bulan Februari kemarin ada penambahan 2 personil polisi
kehutanan, tetap jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah total kawasan hutan
lindung.
Pengaturan yang ditetapkan di Dinas Kehutanan, 2 orang personil Polisi
Kehutanan yang ada digilir 2 orang personil per kawasan per minggu. Tetapi pada
kenyataannya patroli ke dalam kawasan HLGL dapat mencapai enam bulan sekali
karena minimnya dana yang tersedia untuk kegiatan pengamanan kawasan.
Peralatan yang dimiliki Dinas Kehutanan dalam pengelolaan hutan lindung
khususnya dalam bidang pengamanan kawasan hutan sangat minim. Radio yang
harusnya menjadi alat komunikasi antara kawasan dengan Dinas Kehutanan Pasir
tidak ada sehingga alur komunikasi tidak terbentuk. Radio sangat penting dalam
pengelolaan khususnya pengamanan kawasan karena banyaknya illegal logging yang
terjadi di dalam kawasan karena adanya akses yang membelah HLGL. Mobil maupun
motor patroli yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan tidak mencukupi dalam
pengelolaan kawasan hutan, mobil patroli hanya berjumlah satu buah dan motor
patroli hanya berjumlah 2 buah dan keadaannya tidak layak untuk dijadikan
kendaraan patroli ataupun untuk meninjau kawasan.
Kawasan HLGL sebelum adanya peta Tata Guna Hutan Kesepakatan adalah
merupakan areal HPH PT. Telaga Mas dan PT. Telaga Mas dilarang untuk
melakukan aktivitas di plot yang ditetapkan sebagai kawasan HLGL. Maka
aksesibilitas yang membelah HLGL dan juga yang mengitari kawasan ini bekas jalan
logging. Dengan memantau keadaan di lapangan, terlihat bahwa jalan tersebut
digunakan sebagai jalan keluar masuk yang bebas oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab untuk melakukan kegiatan penebangan liar. Jalan yang ditemukan sering
digunakan dalam kegiatan penebangan liar ini terdapat di jalan menuju Desa Rantau
Layung dan Desa Pinang Jatus.
Selama ini masyarakat sekitar dan dalam kawasan belum dilibatkan dalam
pengamanan kawasan karena selama ini Dinas Kehutanan Pasir tidak membangun
usaha pendekatan persuasif dengan masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan.
54
Pelibatan masyarakat sangat penting untuk mengefisisensikan dana dan juga usaha.
Khusus untuk Dusun Mului Dinas Kehutanan perlu membangun jaringan komunikasi
karena dusun ini berada di dalam kawasan HLGL dan menurut laporan mereka sering
terjadi pencurian kayu di wilayah dusun mereka. Karena itu Dinas Kehutanan
bekerjasama dengan PT. RKR membentuk Himpunan Warga Mului yang bertujuan
khusus untuk kegiatan pengamanan kawasan. Desa Rantau Layung dan Desa Pinang
Jatus diharapkan diikutsertakan juga dalam pengamanan kawasan karena letak kedua
desa ini merupakan pintu masuk dari jalan yang sering digunakan dalam kegiatan
illegal logging.
Sebenarnya masyarakat desa-desa sekitar dan dalam kawasan HLGL sudah
mengetahui dan sering melihat langsung kegiatan penebangan liar tersebut. Tetapi
karena ketakutan dan keterbatasan dana yang dimiliki oleh masyarakat maka
masyarakat merasa tidak perlu melapor kepada Dinas Kehutanan Pasir. Untuk itu
perlunya radio yang menghubungkan antara masyarakat desa sekitar dan dalam
kawasan dengan Dinas Kehutanan Pasir untuk mencegah dan menanggulangi
kegiatan penebangan liar. Pos jaga Polisi Kehutanan juga sangat diperlukan dalam
kegiatan pengamanan kawasan karena jika dilihat secara langsung kawasan HLGL
mudah dijangkau oleh siapa pun. Juga Dinas Kehutanan Pasir tidak mengeluarkan
izin resmi untuk mengawasi dan mengontrol pihak-pihak yang memasuki kawasan
ini.
Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat tiga desa (Desa Rantau Layung,
Dusun Mului, dan Desa Pinang Jatus) meliputi pengumpulan madu, berburu satwa,
berladang (khusus Dusun Mului), mencari rotan, mencari gaharu, dan mencari
burung. Jika dilihat secara langsung dapat jelas terlihat pelibatan masyarakat dalam
mengelola hutan dengan stakeholder lain sangat rendah. Padahal sebenarnya
masyarakat merupakan kunci dari pengelolaan HLGL karena faktanya masyarakat
ketiga desa ini sudah memanfaatkan HLGL jauh sebelum adanya SK Penunjukkan
yang dibuat oleh Menteri Kehutanan tahun 1982. Dusun Mului yang paling
tergantung dengan keberadaan HLGL karena mereka berada di dalam kawasan dan
55
hampir sebagian kebutuhan hidup mereka dicukupi dari sumberdaya alam yang ada di
dalam Kawasan HLGL.
Dinas Kehutanan Pasir yang diharapkan sebagai ujung tombak dari
pengelolaan HLGL juga belum melakukan upaya yang berarti dalam membangun
kerjasama dengan masyarakat. Ini terbukti dari masih banyaknya masyarakat desa
yang belum mengetahui arti dan fungsi dari HLGL. Dengan bekerjasama dengan
UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan Bappeda Pasir, Dinas Kehutanan Pasir
harusnya bekerja sama dalam sosialisasi untuk batas-batas kawasan HLGL dengan
hutan yang sudah dikelola oleh masyarakat.
Masyarakat Dusun Mului harus diberi pengertian lebih lanjut karena dusun ini
memanfaatkan HLGL dengan merubah fungsi kawasan yaitu dengan cara membabat
hutan yang ada dan menggantikannya dengan ladang untuk menanam padi. Hal ini
jika terus dibiarkan akan merusak dan mengesampingkan fungsi lindung dari HLGL
karena enclave yang ada sekarang pasti akan semakin meluas di hari kedepannya. Hal
ini juga dirasakan oleh PeMA, yang merupakan LSM lokal, memiliki usul untuk
memindahkan masyarakat Dusun Mului ke daerah yang lebih layak dan tidak
mengganggu fungsi dari HLGL yaitu ke daerah Tompok dan Long Sayung. Tetapi
karena tidak ada hubungan kerjasama yang jelas antara Dinas Kehutanan dan
Bappeda dengan PeMA maka usul ini belum sampai dilaksanakan sampai sekarang.
Gambar 11. Interaksi stakeholder HLGL
56
E. Evaluasi Kebijakan Pengelolaan HLGL
Dalam kegiatannya selama ini, para stakeholder HLGL belum mengeluarkan
kebijakan tentang pengelolaan hutan lindung ini secara khusus. Kebijakan yang ada
masih berupa surat keputusan Bupati tentang suatu kegiatan ataupun program yang
dilakukan di dalam kawasan HLGL. Untuk itulah yang dilakukan adalah melihat
implementasi dari surat keputusan bupati, program yang telah direncanakan serta
implementasi di lapangan melalui Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, serta Keputusan Menteri yang berlaku di Indonesia.
E. 1 Permasalahan kebijakan pengelolaan HLGL
E. 1.1 Kehadiran unit pengelola HLGL
HLGL dalam keberadaannya sekarang dikelola oleh stakeholder yang
mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kegiatan yang dikategorikan ke dalam
pengelolaan HLGL. Tidak ada stakeholder yang mengelola kawasan HLGL yang
meliputi semua kegiatan pengelolaan yang disebutkan oleh UU No. 41 tahun 1999
dan PP No. 44 tahun 2004.
Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului
melakukan kegiatan yang bersifat lebih ke arah pemanfaatan hasil hutan non kayu
yaitu perburuan satwa, menangkap burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan
gaharu, dan mencari rotan.
Dinas Kehutanan Pasir melakukan kegiatan pengelolaan HLGL memfokuskan
kegiatan pengelolaan ke arah perencanaan. Menurut rencana strategis Dinas
Kehutanan Pasir tahun 2001-2005 kegiatan yang direncanakan oleh Dinas Kehutanan
Pasir yaitu penyuluhan kehutanan, penataan batas, pengawasan dan pengendalian
perusakan kawasan hutan, pembuatan papan himbauan, inventarisasi flora dan fauna,
pemeliharaan batas hutan lindung, dan penataan hutan. Dari semua kegiatan yang
direncanakan oleh Dinas Kehutanan Pasir, hanya dalam penyuluhan dan kegiatan
penataan batas saja yang dapat terlaksana.
Bappeda Pasir kaitannya dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung hanya ke
arah penetapan HLGL ke dalam kawasan lindung yang ditetapkan ke dalam RTRW
57
Kabupaten Pasir tahun 2001-2005. UPTD Planologi Balikpapan dalam pengelolaan
HLGL melakukan kegiatan tentang penataan batas berupa orientasi batas yang telah
dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir.
Kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh Tropenbos Internasional Indonesia
semuanya adalah bersifat penelitian yang dapat digunakan sebagai bahan masukan
bagi para stakeholder lain dalam melakukan aktivitas pengelolaan HLGL, khususnya
bagi Pemerintah Kabupaten Pasir. Begitu pula dengan PeMA, tidak mengeluarkan
kebijakan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengelolaan HLGL karena
kegiatan atau program yang telah dilakukan PeMA lebih mengarah kepada
masyarakat sekitar dan dalam HLGL.
BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur memiliki
kewenangan yang berasal dari pemerintah pusat. Dalam kegiatannya BKSDA hanya
mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan cagar alam yang pengelolaannya langsung
dipegang oleh pemerintah pusat. BKSDA hanya memiliki wewenang dalam
pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa dari dalam seluruh kawasan hutan di
Kabupaten Pasir, termasuk HLGL, sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan SK
MenHut No. 62/Kpts-II/1998.
Sebagai stakeholder swasta, PT. RKR melakukan kegiatan pengelolaan
kawasan HLGL hanya ke dalam kegiatan penggunaan kawasan yaitu penggunaan
jalan bekas logging yang membelah kawasan HLGL.
Ketidakhadiran unit pengelola HLGL menunjukkan bahwa masih lemahnya
peran pemerintah Kabupaten Pasir dan juga belum jelasnya kebijakan yang
memberikan panduan tentang lahirnya sebuah unit pengelola hutan lindung.
E. 1.2 Pengukuhan kawasan HLGL
Di tahun 1986, kegiatan penataan batas HLGL pernah dilakukan oleh Sub
Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Balikpapan sesuai dengan Berita Acara Tata
Batas No. 02/BATB/IV/Sub.1-1/1986. Dalam Buku Berita acara tersebut dijelaskan
bahwa telah dilakukan pembuatan pal batas walaupun hanya meliputi bagian kawasan
HLGL dengan panjang trayek 100.975 meter. Dalam kegiatan ini pembuatan pal
58
batas belum mancakup keseluruhan kawasan HLGL (belum temu gelang) karena
keterbatasan dana.
Dalam perencanaan strategik (renstra) Dinas Kehutanan Pasir tahun 2001-
2005 dinyatakan bahwa akan diadakannya kegiatan yaitu kegiatan pemeliharaan batas
hutan lindung yang ditargetkan di tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005. Kegiatan
tersebut diadakan oleh Dinas Kehutanan tetapi kegiatan tersebut tidak sesuai dengan
petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Bupati Pasir. Yang seharusnya dilakukan
adalah pemasangan pal batas berupa kayu atau beton, tetapi pada pelaksanaan hanya
menandai pohon sekitar dengan cat merah. Resiko hal tersebut dapat berupa
penghapusan ataupun pergeseran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atau
bisa pula luntur karena terhapus oleh aliran hujan pada batang pohon. Pelaksanaan
kegiatan penataaan batas dan juga pemeliharaan batas yang ditargetkan empat kali
dalam setahun tetapi hanya delaksanakan sekali dalam empat tahun.
Pada tahun 2001, Bupati Pasir mengeluarkan SK No. 746 tahun 2001 tentang
petunjuk teknis pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan
lindung dan kawasan konservasi lainnya. Dalam surat ini disebutkan bahwa adanya
pelibatan masyarakat yang diwakili oleh tokoh masyarakat adat ataupun tokoh
masyarakat setempat. Hal ini dimaksudkan agar hutan lindung tidak melintasi hutan
milik masyarakat yang digunakan untuk berkebun, menghindari konflik. Karena
dalam pemasangan batas akan dilakukan rintis batas sejauh 2 meter di sekitar pal
batas dan di sepanjang jalur rintis.
Menurut laporan hasil orientasi batas kawasan HLGL pada tahun 2003, UPTD
telah melakukan kegiatan orientasi batas di kawasan HLGL. Hasil laporan tersebut
menyatakan bahwa dari panjang batas 121,575 km terdapat total pal batas 1208 buah,
dengan rincian 223 buah rusak, 979 buah hilang, dan 3 buah dalam kondisi yang
masih baik. Ini dapat dapat dilihat bahwa dari total 1208 buah, pal batas yang tidak
jelas kondisinya ada 3 buah (tidak dinyatakan) dan dari jumlah pal batas yang hilang,
maka kawasan HLGL belum menghasilkan batas yang temu gelang.
Di Desa Rantau Layung pernah ditemukan konflik karena pelaksanaan surat
keputusan Bupati di atas yang tidak lengkap yaitu di tahun 2002/2003. Orang-orang
59
yang melaksanakan kegiatan rekonstruksi batas tersebut tidak melibatkan pihak desa
dan juga masyarakat, hasilnya terjadinya pembabatan kebun rotan milik masyarakat
untuk pemasangan pal batas.
Menurut Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 22
menyebutkan bahwa tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok
berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Juga menurut PP
No. 34 tahun 2002 pasal 12 menyebutkan bahwa pembagian hutan ke dalam blok-
blok, terdiri dari blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. HLGL
pembagian kawasannya belum sampai pada tahap pembagian hutan berdasarkan blok-
blok pengelolaan. Maka Dinas Kehutanan sebagai stakeholder yang bertugas
merancang pengelolaan hutan lindung maka dirasakan perlu untuk memasukkan
kegiatan penataan kawasan HLGL ke dalam blok-blok yang bertujuan untuk
mempermudah kegiatan pengelolaan.
Kegiatan pengukuhan kawasan HLGL yang telah ada sekarang menunjukkan
juga bahwa masih lemahnya peran dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Pasir.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali penataan batas dilakukan hasil yang didapat
masih belum temu gelang.
E. 1.3 Konflik melalui pendekatan kebijakan
E. 1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu
Dalam pemanfaatan Hutan Lindung menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 26
dan PP N.34 tahun 2002 pasal 18, pemanfaatan yang dapat dilakukan dalam hutan
lindung berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan
hasil hutan non kayu. Juga PP No. 34 tahun 2002 menambahkan bahwa pemanfaatan
yang dilakukan di dalam hutan lindung hanya dapat dilakukan dalam blok
pemanfaatan.
Selama ini kawasan hutan lindung hanya dimanfaatkan oleh masyarakat desa
sekitar dan dalam hutan yaitu Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Desa
Mului. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat ketiga desa tersebut adalah berburu
satwa, mencari gaharu, mencari burung, berladang, mengumpulkan madu, dan
60
mencari rotan. Karena belum adanya penataan batas yang dilakukan oleh Dinas
Kehutanan Pasir, ke dalam blok-blok maka masyarakat sampai sekarang dapat bebas
melakukan kegiatan di atas.
Masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan berburu satwa diantaranya kancil,
rusa, landak, kijang, burung. Menurut PP No. 34 tahun 2002 pasal 21 kegiatan
perburuan satwa di dalam hutan lindung diperkenankan dengan syarat perburuan
dilakukan dengan cara tradisional dan satwa yang diburu bukan satwa yang
dilindungi. Tabel 9. Pemanfaatan satwa yang dilakukan oleh masyarakat
Jenis satwa
Status Digunakan untuk
Kuau (Argusianus argus) Dilindungi Daging dikonsumsi, bulu menjadi hiasan rumah
Murai batu Tidak dilindungi Dijual Madi hijau Tidak dilindungi Dijual Cucak kelabu Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Kucica hutan Tidak dilindungi Dijual Kucica kampung Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Merbah mata merah Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Berinji kelabu Tidak dilindungi Dijual Punai Tidak dilindungi Dijual Delimukan jamrud Tidak dilindungi Dijual Kancil (Tragulus napu) Dilindungi Dikonsumsi Babi hutan (Sus barbatus) Tidak dilindungi Dijual, dikonsumsi Kijang (Muntiacus muntjak) Dilindungi Dijual, dikonsumsi Landak (Hystrix brachyura) Dilindungi Dikonsumsi Rusa (Cervus timorensis) Dilindungi Dijual, dikonsumsi Melihat tabel di atas dapat dilihat bahwa masyarakat desa sekitar dan dalam
hutan melakukan perburuan satwa jenis-jenis kebanyakan yang dilindungi. Dinas
Kehutanan bekerjasama dengan BKSDA Sekesi Konservasi Pasir perlu melakukan
penyuluhan khusus tentang jenis-jenis yang dilindungi tersebut. Serta BKSDA perlu
melakukan pengawasan secara ketat dalam peredaran satwa dari kawasan HLGL
dengan peninjauan ke kawasan HLGL dan melakukan penertiban terhadap para
pengumpul di pasar.
E. 1.3.2 Penggunaan kawasan
Warga Dusun Mului menggunakan kawasan HLGL untuk kegiatan sehari-hari
mereka dengan kegiatan bercocok tanam. Jika dilihat secara langsung kegiatan ini
61
tidak dibenarkan karena sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 pasal 38 merubah
fungsi lindung dari hutan lindung dan berdampak sangat besar bagi Dusun Mului
sendiri dan Kabupaten Pasir pada umumnya.
Sesuai dengan Keppres No. 32 tahun 1990 menyatakan bahwa menjadi tugas
dari Pemerintah Daerah tingkat II untuk mengadakan penyuluhan masyarakat tentang
kawasan hutan. Dinas Kehutanan Pasir pada saat ini belum melakukan penyuluhan
dan pengertian pada masyarakat desa dalam dan sekitar HLGL tentang arti dan
manfaat HLGL.
E.1.3.3 Konflik antar stakeholder
Menurut SK Bupati Pasir No 746 tahun 2001 tentang petunjuk teknis
pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan
kawasan konservasi lainnya menyebutkan bahwa pelaksanaan rekonstruksi batas
melibatkan tokoh masyarakat adat setempat tetapi dalam pelaksanaan tidak dilakukan
bahkan pemberitahuan kepada pihak desa setempat juga tidak dilakukan. Menurut PP
44 tahun 2004 pasal 20 ayat 4 menyebutkan bahwa panitia tata batas harus dapat
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah di dalam kawasan
dan di sepanjang batas kawasan hutan. Tokoh masyarakat ada dilibatkan sebagai
bahan masukkan dan pertimbangan bagi penataan batas kawasan HLGL untuk dapat
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hak milik masyarakat secara turun
temurun (hak tenurial) dan hak milik berdasarkan adat (hutan adat).
SK Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja
pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut tidak mengikutsertakan tokoh
masyarakat adat sekitar dan dalam HLGL dalam pengelolaan HLGL. Hal ini menjadi
sangat perlu, untuk menjaga agar kegiatan pengelolaan HLGL yang dilakukan oleh
anggota dari kelompok kerja ini tidak bertentangan dengan kearifan lokal yang ada di
desa sekitar dan dalam kawasan HLGL. Dan juga pelibatan pihak desa sekitar hutan
belum ada.
Rencana strategis Dinas Kehutanan Pasir 2001-2005 menyatakan program-
program yang berkaitan dengan pengelolaan HLGL yaitu penyuluhan kehutanan,
62
penataan batas, pengawasan dan pengendalian perusakan kawasan hutan, pembuatan
papan himbauan, inventarisasi flora dan fauna, pemeliharaan batas hutan lindung, dan
penataan hutan. Tetapi dalam implementasi di lapangan belum ada. Program yang
baru dapat terpenuhi hanya dalam hal penataan batas walaupun tidak secara benar
dilakukan karena tidak sesuai dengan SK Bupati Pasir No 746 tahun 2001.
Kurangnya personil Polisi Kehutanan dan terlalu luasnya kawasan yang harus
dikelola menjadi hal yang harus diperhatikan.
Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim
forum sistem informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial
Kabupaten Pasir masih juga belum melibatkan tokoh masyarakat adat setempat
sebagai bahan pertimbangan.
RTRW Kabupaten Pasir 2001-2005 yang telah ditetapkan oleh Bupati Pasir
juga masih memiliki kendala dalam hal pelibatan masyarakat sekitar dan dalam
kawasan. Hal ini dapat dilihat dari ketidaktahuan masyarakat sekitar dan dalam
kawasan bahwa kawasan HLGL termasuk dalam kawasan lindung dari Kabupaten
Pasir. Sesuai dengan UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, hak setiap orang
dalam ikut serta menyusun RTRW.
Laporan Hasil orientasi batas kawasan HLGL tahun 2003 memperlihatkan
bahwa kerjasama antara Dinas Kehutanan dan UPTD Planologi Balikpapan masih
belum erat. Dalam panitia orientasi tata batas tidak adanya anggota yang berasal dari
Dinas Kehutanan Pasir. Menurut PP No.44 tahun 2004 yang bertanggung jawab
dalam hal penataan batas adalah Pemerintah Kabupaten dan yang membentuk tim
penataan batas adalah juga Pemerintah Kabupaten Pasir. Pemerintah Propinsi hanya
mengeluarkan pedoman penyelenggaran penataan batas saja.
63
Tabel 10. Analisis isi dan implementasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder Jenis Kebijakan/Kearifan Instansi yang
mengeluarkan Isi Implementasi Evaluasi
Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun 2001 tentang petunjuk teknis pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya
Pemerintah daerah
Adanya pelibatan tokoh masyarakat adat setempat
Pada saat pelaksanaan, terjadi konflik karena batas HLGL melewati batas kebun rotan milik warga Bentuk pal tidak sesuai dengan semestinya
Sosialisasi yang kurang kepada masyarakat dan pelibatan langsung tokoh masyarakat dalam penyusunan tata batas HLGL Pengawasan rekonstruksi oleh yang berwenang
Keputusan Bupati No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan HLGL
Pemerintah daerah
Pelibatan semua stakeholder dalam pengelolaan HLGL
Masih dalam proses Tidak adanya pelibatan masyarakat khususnya ketua adat setempat
Keputusan Bupati Pasir No. 357 tahun 2005 tentang Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial kabupaten pasir
Pemerintah daerah
Para stakeholder HLGL ikut serta dalam forum tersebut
Tokoh masyarakat adat setempat tidak diikutsertakan dalam forum tersebut
Tidak adanya pelibatan tokoh masyarakat adat setempat tidak diikutsertakan dalam forum tersebut
Renstra Dinas Kehutanan Pasir 2001-2005
Dinas Kehutanan
• Program penyuluhan • Kegiatan penataan batas • Patroli tidak ada
• Program penyuluhan belum tercapai
• Pelaksanaan penataan batas yang tidak sesuai dengan Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun 2001
Implementasi secara penuh untuk setiap pelaksanaan kebijakan Kurangnya personil PolHut
RTRW Kabupaten Pasir 2001-2005 Bappeda Pasir Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam menyusun RTRW Kabupaten
Dalam penyusunan batas HLGL, masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan tidak diikutsertakan
Masyarakat tidak diikutsertakan, minimal ketua adat dan kepala desa
64
SATS (SK MenHut No. 62 Kpts-II 1998)
BKSDA Pasir Semua jenis tumbuhan atau satwa yang berasal dari kawasan hutan yang berada di Kabupaten Pasir berada dalam pengawasan BKSDA Pasir
• Belum adanya pengawasan yang dilakukan oleh BKSDA Pasir dalam pelaksanaanya
• Masyarakat masih memanfaatkan jenis satwa yang dilindungi
• BKSDA harus segera melakukan pengawasan rutin terhadap pengumpul
• Penyuluhan terhadap masyarakat dalam dan sekitar kawasan akan status dari jenis-jenis yang dilindungi
• Kerjasama antara BKSDA Pasir dan Dinas Kehutanan Pasir
Laporan hasil orientasi batas kawasan HLGL tahun 2003
UPTD Planologi Balikpapan
Penataan batas kawasan HLGL
Belum temu gelang Rekonstruksi ulang untuk penataan batas Tidak adanya kerja sama dengan Dinas Kehutanan
Kearifan lokal Masyarakat Pelarangan tentang perburuan satwa induk dan jumlah yang dibatasi (tidak boleh lebih dari 1 ekor per jenis)
Masyarakat dalam dan sekitar kawasan tidak pernah melakukan perburuan dengan skala besar
Pengawasan di pasar, khususnya terhadap para pengumpul
Kearifan lokal Masyarakat Pelarangan penebangan pohon madu (Koompasia malacensis)
Masyarakat tidak pernah menebang pohon jenis ini karena menyangkut masa depan suatu keluarga
⎯
65
E. 2 Kesenjangan (Gaps) dalam pelaksanaan pengelolaan HLGL
Kaitannya dengan pengelolaan HLGL yang telah ada, terlihat bahwa adanya
kesenjangan yang terjadi. Kegiatan pengelolaan HLGL yang selama ini terjadi belum
memenuhi harapan karena tidak adanya suatu unit menajemen yang khusus dalam
mengelola kawasan HLGL. Dalam PP No. 44, KPHL berfungsi dalam setiap aktivitas
pengelolaan hutan lindung, mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan
(monitoring) kegiatan yang dilakukan oleh setiap stakeholder. Masayarakat sebagai
stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi dan stakeholder yang paling pertama
kali terkena dampak bila terjadinya kerusakan HLGL tidak diikutsertakan secara
aktif. Belum adanya saling kerjasama aktif antara Dinas Kehutanan dan UPTD
Planologi beserta masyarakat dalam kegiatan penataan batas. Dan juga yang menjadi
kesenjangan dalam pengelolaan HLGL adalah adanya tumpang tindih kewenangan
antara Pemerintah Kabupaten dan Propinsi dalam penataan batas.
F. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HLGL
Pengelolaan HLGL selama ini sudah mengadopsi semua kebijakan yang
dikeluarkan oleh 10 stakeholder utama HLGL yang sudah disebutkan sebelumnya
tetapi masih memiliki kecenderungan untuk sulit diterima oleh semua pihak. Adanya
perbedaan dalam nilai kepentingan dan pengaruh setiap stakeholder menjadi kendala
utama sulitnya mewujudkan kebijakan yang mampu untuk diterima oleh semua
pihak.
Mengacu pada Dunn (2003), yang menjadi kriteria dalam merumuskan
kebijakan publik adalah dengan melihat hal-hal berikut:
1. Efektivitas (effectiveness); kaitannya dengan apakah suatu alternatif mencapai
hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya
tindakan
2. Efesisensi (efficiency) ; kaitannya dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efisiensi tertentu.
3. Kecukupan (adequacy); berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan
66
adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Perataan / kesamaan (equity); erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan
sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada
perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usahanya yang secara adil
didistribusikan
5. Responsivitas (responsiveness); berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok
masyarakat tertentu. Kebijakan dapat memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi,
dan perataan tetapi jika belum dapat menanggapi kebutuhan aktual dari
kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya perumusan suatu
kebijakan.
6. Ketepatan (appropiateness); biasanya bersifat terbuka, karena definisi per
kriteria ini dimaksudkan untuk menjangkau keluar kriteria yang sudah ada.
Oleh karenanya tidak ada dan tidak dapat dibuat definisi baku mengenai
kriteria kelayakan.
Pemerintah Kabupaten Pasir dalam hal ini Bupati Pasir mengeluarkan
kebijakan yang berkaitan dengan penataan batas yaitu Surat Keputusan Bupati Pasir
No. 746 tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini terlihat bahwa sebenarnya ada
peranan masyarakat dalam penataan batas tetapi masih hanya bersifat penulisan di
atas kertas tidak sampai kepada perundingan dengan masyarakat dalam hal tumpang
tindih kepentingan lahan. Di satu sisi Pemerintah Kabupaten Pasir ingin
merekonstruksi batas HLGL tetapi di sisi lain masyarakat ingin supaya HLGL tetap
dengan syarat tidak mengganggu kepentingan dari mereka dalam hal penggunaan
kawasan dengan bentuk kebun rotan, ladang mereka, ataupun bentuk lain dari
penggunaan kawasan. Dalam pengikutsertaan masyarakat pihak desa harus
mengetahui isi dari surat keputusan ini, karena untuk menghindari anggapan
masyarakat bahwa adanya “orang asing” yang memasuki wilayah atau tempat
masyarakat berusaha.
67
Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok
kerja pengelolaan HLGL dapat terlihat peranan masyarakat terabaikan karena pihak
yang terlibat dalam kelompok kerja HLGL ini hanya sampai kepada tingkat
kecamatan bukan tingkat desa. Juga perlu diperhatikan fungsi dari ketua adat sekitar
dan dalam kawasan. Hal ini dirasakan perlu karena pada dasarnya yang menjadi
stakeholder kunci dari pengelolaan HLGL adalah masyarakat sekitar dan dalam
kawasan, serta fungsi ketua adat adalah menghindari pengelolaan yang tidak sesuai
dengan adat istiadat suku Paser yang dapat menyebabkan dampak negatif bagi
masyarakat sekitar dan dalam hutan. Hak tenurial di sini harus diperhatikan karena
pada dasarnya masyarakat sudah ada sebelum hutan yang menjadi sandaran hidup
mereka ditetapkan menjadi hutan lindung.
Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Seksi Konservasi Wilayah Pasir juga
perlu dilibatkan dalam kelompok kerja ini, setidaknya mereka ditempatkan dalam
posisi anggota tidak tetap karena BKSDA sebenarnya langsung bertanggung jawab
kepada Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan). Peran BKSDA adalah sebagai
pengawas dalam alur distribusi jenis tumbuhan dan satwa dari kawasan HLGL.
Laporan hasil orientasi batas kawasan hutan di kelompok HLGL Dinas
Kehutanan Kabupaten Pasir Kalimantan Timur yang dikeluarkan oleh UPTD
Planologi Kehutanan Balikpapan terlihat bahwa adanya pal batas yang hilang
sebanyak 979 atau dapat disimpulkan masih belum temu gelang. Karena pentingnya
status kawasan salah satunya adalah penataan batas maka UPTD Planolgi Balikpapan
harus segera melakukan kegiatan rekonstruksi batas kawasan HLGL bekerja sama
dengan Dinas Kehutanan Pasir dengan tujuan harus segera mendapatkan batas
kawasan yang temu gelang.
Laporan ini juga harus diklarifikasi tentang pelanggaran yang dimaksud. Hal
ini dapat dilihat dari butir 5 lampiran 5 yang menyebutkan pemukiman Mului sebagai
pelanggaran. Jika dilihat dari sejarahnya Dusun Mului menetap di sana atas dasar
program desa tertinggal yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Pasir. Maka UPTD
Planologi Kehutanan Balikpapan harus mencari klarifikasi kepada Dinas Sosial Pasir.
68
Penataan kawasan yang meliputi pembagian kawasan ke dalam blok-blok
dapat menjadi salah satu solusi bagi masalah enclave Dusun Mului. Pemukiman dan
perladangan di dusun Mului dapat menjadi bagian dari blok penyangga dari HLGL.
Menurut UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 34 tahun 2002 yang dimaksud
dengan pengelolaan hutan adalah meliputi kegiatan:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
4. Perlindungan dan konservasi hutan
Stakeholder yang berada di Kabupaten Pasir selama ini melakukan kegiatan
pengelolaan HLGL hanya salah satu dari kegiatan pengelolaan hutan (UU No. 41
tahun 1999 dan PP No. 34 tahun 2002), belum adanya stakeholder HLGL melakukan
semua kegiatan pengelolaan secara meneluruh (tabel 10). Untuk mencapai tujuan dari
fungsi lindung dari kawasan HLGL maka Pemerintah Kabupaten Pasir perlu untuk
mengeluarkan kebijakan yang isinya menetapkan satu unit kegiatan pengelolaan yang
jelas, yang mengelola kawasan HLGL secara total baik dari sisi penataan hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan perlindungan dan konservasi hutan sesuai
dengan PP No. 44 tahun 2004.
69
Tabel 10. Bentuk pengelolaan stakeholder HLGL dengan kawasan HLGL
Stakeholder Bentuk interaksi dengan HLGL Jenis pengelolaan (UU No. 41 tahun 1999)
Rantau Layung
Berburu, mencari burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, mencari rotan
Pemanfaatan hutan
Pinang Jatus Berburu, mencari burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, mencari rotan
Pemanfaatan hutan
Mului Berburu, mencari burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, mencari rotan Berladang
Pemanfaatan hutan Penggunaan kawasan
Dinas Kehutanan
Penyusunan Renstra 2001-2005 Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
Bappeda Penyusunan RTRW Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
BKSDA Pengawasan peredaran jenis tumbuhan dan satwa dari kawasan
Perlindungan dan konservasi hutan
UPTD Planologi
Penataan batas kawasan Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
TBI Indonesia Penelitian Perlindungan dan konservasi hutan
PeMA Paser Memajukan masyarakat sekitar dan dalam kawasan
PT. RKR Penggunaan jalan dalam kawasan Penggunaan kawasan
70
Tabel 11. Rekomendasi kebijakan stakeholder HLGL berdasarkan analisis isi dari kebijakan yang dikeluarkan stakeholder
Kebijakan Isi Rekomendasi Tujuan
Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun 2001 tentang petunjuk teknis pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya
Petunjuk teknis pelaksanaan penataan batas kawasan hutan Pasir
Kerjasama antara DisHut dan masyarakat sekitar dan dalam kawasan Memasukkan peran serta masyarakat dalam penataan batas kawasan HLGL Pihak desa mendapat informasi yang jelas dan langsung dari Pemerintah Kabupaten Pasir
Masyarakat mengerti dan sadar akan arti dan fungsi HLGL Menghindari masalah teknis yang berhubungan dengan masyarakat
Keputusan Bupati No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan HLGL
Forum GIS Masyarakat perlu mengetahui penyusunan RTRWK
Menghindari konflik lahan
Keputusan Bupati Pasir No. 357 tahun 2005 tentang Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial kabupaten pasir
Tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan HLGL
Pelibatan tokoh masyarakat adat sekitar dan dalam kawasan BKSDA Pasir juga ikut dalam kelompok kerja
Masyarakat ikut serta secara aktif menjaga kawasan HLGL Menghindari pengelolaan yang bersifat negatif bagi adat istiadat suku Paser
Renstra Dinas Kehutanan Pasir Program kerja DisHut tahun 2001-2005
Kerjasama antara DisHut dan Bappeda secara aktif Mempertimbangkan hasil-hasil penelitian dari TBI dalam pengelolaan HLGL Pengawasan secara intensif akses yang membelah HLGL
Tercapainya tujuan akhir pengelolaan HLGL yaitu terjaganya fungsi dari hutan lindung lestari Menghindari terjadinya tumpang tindih kepentingan lahan antar instansi Kabupaten Pasir
RTRW Kabupaten Pasir Tata ruang Kab. Pasir Kerjasama antara masyarakat dan Bappeda
Menghindari terjadinya konflik lahan
SATS (SK MenHut No. 62 Kpts-II 1998) Izin peredaran tumbuhan dan satwa
Perjanjian kerjasama antara BKSDA Pasir dengan DisHut Pasir dan sosialisasi yang berkesinambungan dengan masyarakat sekitar dan dalam hutan
Menghindari terjadinya extinction of endemic species
Laporan Hasil orientasi batas kawasan HLGL tahun 2003
Penataan batas Kerjasama antara UPTD Planologi dan DisHut Pasir Klarifikasi tentang pemukiman Mului dengan Dinas Sosial Pasir Pelibatan masyarakat bukan hanya
Menghindari terjadinya konflik lahan
71
sebagai tenaga buruh tetapi sebagai bahan pertimbangan Pembagian kawasan HLGL ke dalam blok-blok
72
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan:
1. Dari penelitian ini yang menjadi akar masalah dari kebijakan pengelolaan
HLGL adalah:
a. Keberadaan unit pengelola HLGL,
b. Pengukuhan kawasan, dan
c. Konflik antara stakeholder melalui pendekatan kebijakan.
2. Kesenjangan-kesenjangan kebijakan dapat dilihat dari masalah di lapangan
berupa:
a. Tidak adanya unit pengelola HLGL yang aktivitasnya mencakup seluruh
aktivitas pengelolaan hutan
b. Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam kegiatan penataan batas
c. Tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten dalam hal penataan batas
3. Untuk mengatasi kesenjangan kebijakan yang ada, maka penelitian ini
merekomendasikan:
a. Membentuk unit pengelolaan HLGL yang melibatkan secara optimal peran
stakeholder HLGL
b. Melakukan penataan batas partisipatif bersama masyarakat
c. Menetapkan kebijakan yang khusus mengelola HLGL
B. Saran:
1. Melakukan kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Pasir dengan
Pemerintah Pusat dalam pembentukan unit pengelolaan HLGL
2. Dinas Kehutanan perlu melibatkan masyarakat dalam hal penataan batas
partisipatif sebagai langkah pertama untuk menyelesaikan masalah kebijakan
yang ada
73
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1986. Kebijaksanaan Pengelolaan Hutan dengan Pertimbangan
Lingkungan Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Kehutanan Berwawasan Lingkungan. Bogor: Laporan Proyek Penelitian Pengembangan Efisisensi Pengunaan Sumber-sumber Kehutanan.
Anonymous. 2001. Pekerjaan Kebijakan Makro Kehutanan. Jakarta: Laporan Pembaharuan Kebijakan dan Sistem Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi.
Anonymous, 2003. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat. Jakarta:Techical Report ICEL.
Arimbi, H. P dan Mas Achmad Santosa. 1993. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan. Jakarta: WALHI dan Friends of the Earth – Indonesia.
Dunn, Wiliam. N. 2002. Analisis Kebijakan Publik. Muhajir Darwin, penerjemah. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Freeman, R.E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Pitman, Boston, MA, USA.
Freeman, R.; Gilbert, D., Jr 1987. Managing Stakeholder Relations. Lexington Books, Toronto, Canada.
Grimble, R.; Chan, M.K.; Aglionby, J.; Quan, J. 1995. Trees and Trade-Offs: A Stakeholder Approach to Natural Resource Management. International Institute for Environment and Development. Gatekeeper Series 52.London, United Kingdom.
Grimble, R.; Wellard, K. 1996. Stakeholder Methodologies in Natural Resource Management: A Review of Principles, Contexts, Experiences and Opportunities. London.
Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, 2001. Program Kehutanan Kabupaten Kutai Barat. Sendawar: Pemerintah Kabupaten Kutai Barat.
Manktelow, Rachel. 2005. Stakeholder Analysis & Stakeholder Management. USA. Noorhalis. 2002. Menggali Kearifan di Kaki Meratus. PT. Grafika Wangi
Kalimantan. Banjarmasin. ODA (Overseas Development Administration). 1995. Guidance Note 0n How to Do
Stakeholder Analysis of Aid Projects and Programmes. ODA, London, UK. Pretty, J.; Guijt, I.; Scoones, I.; Thompson, J. 1995. A Trainer’s Guide for
Participatory Learning And Action. International Institute for Environment and Development, London, United Kingdom.
Project Management Institute. 1996. Project Management Body of Knowledge. 130 South State Road, Upper Darby, PA 19082 USA.
Röling, N.; Jiggins, J. 1998. The Ecological Knowledge System, Facilitating Sustainable Agriculture: Participatory Learning and Adaptive Management in
74
Times of Environmental Uncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom.
Röling, N.; Wagemakers, M. 1998. Facilitating Sustainable Agriculture: Participatory Learning and Adaptive Management in Times of Environmental Uncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Widodo, J. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia.
Wiratno, Daru Indriyo, Ahmad Syarifudin dan Ani Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement.
Yusuf, Asep Warlan. 1996. Sendi Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah dalam Kerangka Perwujudan Otonomi yang Nyata, Dinamis dan Bertanggung Jawab. Bandung: Citra Aditya.
75
Content Analysis Peraturan Yang Berlaku Di Indonesia Tentang Hutan Lindung Disandingkan Dengan Keadaan Di Lapangan Tabel 12. Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Kebijakan Keterangan Kenyataan di lapangan Yang harus dilakukan Peraturan Isi
UU 41/1999 Pasal 1
Definisi hutan lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Masyarakat Dusun Mului, Desa Rantau Layung, dan Desa Pinang Jatus tidak tahu tentang definisi dari hutan lindung
Perlu adanya sosialisasi yang berkelanjutan tentang definisi dari Hutan Lindung di desa-desa dalam atau sekitar kawasan yang dilkukan oleh Pemda.
UU 41/1999 Pasal 6
Pembagian hutan berdasarkan fungsi hutan
Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. hutan konservasi, b. hutan lindung, dan c. hutan produksi.
Masyarakat Dusun Mului, Desa Rantau Layung, dan Desa Pinang Jatus tidak tahu tentang fungsi dari Hutan Lindung secara keseluruhan
Perlu sosialisasi dari pihak Pemda untuk mengadakan sosialisasi dengan warga Dusun Mului, Desa Rantau Layung, dan Desa Pinang Jatus
UU 41/1999 Pasal 15
Pengukuhan kawasan hutan
Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai berikut : a. penunjukan kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan hutan, dan d. penetapan kawasan hutan.
• Kawasan HLGL baru sebatas SK penunjukan
• Berdasarkan kenyataan di lapangan penataan batas tidak diseratai dengan pemasangan pal batas permanen
• Pemetaan sudah dilkukan oleh Pemda, dalam hal ini Bappeda dalam RTWK Pasir.
• Perlu dengan segera membuat SK Penetapan HLGL
• Perlu segera menata ulang kawasan HLGL yang disertai oleh pemasangan pal batas.
UU 41/1999 Pasal 22
Tata hutan dan rencana pegelolaan
Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
• Belum adanya pembagian ekosisistem yang jelas
• Belum adanya blok-blok yang membagi kawasan HLGL
Perlu segera adanya pembagian kawasan berdasarkan blok karena ada pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat
UU Pemanfaatan Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa • Adanya pemanfaatan yang dilakukan Perlu dilakukan pengawasan
76
41/1999 Pasal 26
hutan lindung pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
oleh masyarakat berupa berladang • Pemanfaatan yang dilakukan oleh
Tropenbos bekerja sama dengan Wanariset dan Loka Satwa Primata, berupa kegiatan penelitian
terhadap kegiatan pemanfaatan
UU 41/1999 Pasal 38
Penggunaan kawasan
Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
• Adanya pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat berupa berladang
• Adanya akses yang membelah kasasan HLGL
Perlu dilakukan pengawasan yang ketat karena akses ini digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kegiatan illegal logging
UU 41/1999
Pasal
Perlindungan hutan oleh polisi kehutanan
Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
• Dinas Kehutanan Pasir hanya memiliki 2 personel Polisi Kehutanan
• Jarangnya personel Polisi Kehutanan untuk melakukan patroli di dalam kawasan HLGL
Perlu penambahan personel polisi kehutanan karena banyak terjadi pelanggaran illegal logging
Tabel 13. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan
Kebijakan Keterangan Kenyataan di lapangan Yang harus dilakukan
77
Peraturan Isi PP
34/2002 Pasal 12
Tata hutan pada hutan lindung
(1) Tata hutan pada hutan lindung dilaksanakan pada setiap unit pengelolaan, yang memuat kegiatan: a. penentuan batas-batas hutan yang ditata; b. inventarisasi, identifikasi, dan perisalahan kondisi kawasan hutan; c. pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di hutan dan sekitarnya; d. pembagian hutan ke dalam blok-blok; e. registrasi; dan f. pengukuran dan pemetaan. (2) Pembagian hutan ke dalam blok-blok, terdiri dari: a. blok perlindungan; b. blok pemanfaatan; dan c. blok lainnya
• Belum adanya penataan batas yang jelas berupa pemasangan pal-pal batas
• Belum adanya pembagian kawasan HLGL ke dalam blok-blok
• Penataan batas kawasan • Pembagian kawasan ke dalam blok-blok
untuk pembagian khususnya dalam pemanfaatan kawasan
PP 34/2002 Pasal 18
Pemanfaatan hutan pada hutan lindung
(1) Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat berupa: a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; atau c. pemungutan hasil hutan bukan kayu. (2) Pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan.
Masyarakat memanfaatkan sudah memanfaatkan kawasan berupa: mencari gaharu, perlebahan, buah-buahan.
Pengawasan tentang pemanfaatan hutan dan kawasan HLGL terhadap masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan HLGL
PP 34/2002 Pasal 19
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung
(1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung berupa segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan. (2) Pemanfaatan kawasan meliputi: a. usaha budidaya tanaman obat (herba); b. usaha budidaya tanaman hias; c. usaha budidaya jamur;
Warga Mului mengubah fungsi lahan dalam kegiatan berladang
78
d. usaha budidaya perlebahan; e. usaha budidaya penangkaran satwa liar; atau f. usaha budidaya sarang burung walet. (3) Dalam pelaksanaan pemanfaatan kawasan pada hutan lindung tidak boleh: a. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; b. membangun sarana dan prasarana permanen; dan/atau c. mengganggu fungsi kawasan.
PP 34/2002 Pasal 21
Pemungutan hasil hutan non kayu pada hutan lindung
(1) Kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c, dapat dilaksanakan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu yang sudah ada secara alami dengan tidak merusak fungsi utama kawasan. (2) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain berupa: a. mengambil rotan; b. mengambil madu; c. mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya; atau d. perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional. (3) Masyarakat dilarang melakukan pemungutan hasil hutan yang dilindungi undang-undang.
Masih adanya masyarakat yang melakukan kegiatan perburuan terhadap jenis-jenis satwa yang dilindungi oleh undang-undang
Perlunya kontrol terhadap penyebaran tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan HLGL yang dilakukan oleh BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir bekerjasama dengan Dinas Kehutanan
79
PP 34/2002 Pasal 72
Penggunaan kawasan hutan
1) Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan secara selektif untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi. 2) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam: a. hutan lindung; atau b. hutan produksi 3) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi penggunaan untuk: a. tujuan strategis; dan atau b. kepentingan umum terbatas. 4) Penggunaan kawasan hutan untuk tujuan strategis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi kegiatan; a. kepentingan religi; b. pertahanan dan keamanan; c. pertambangan; d.pembangunan ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan; e. pembangunan jaringan telekomunikasi; atau f. pembangunan jaringan instalasi air. 5) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan umum terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b antara lain meliputi kegiatan pembangunan; a. jalan umum dan jalan (rel) kereta api; b. saluran air bersih dan atau air limbah; c. pengairan; d. bak penampungan air; e. fasilitas umum; f. repeater telekomunikasi
Adanya akses yang membelah HLGL
Perlu pengawasan terhadap akses ini karena akses ini digunakan untuk jalan keluar masuk kegiatan illegal logging
80
g. stasiun pemancar radio; atau h. stasiun relay televisi
81
Tabel 14. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Kebijakan Keterangan Kenyataan di lapangan Yang harus dilakukan Peraturan Isi Keppres
32/90 Pasal 36
Penetapan kawasan lindung
(1) Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung. (2) Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada masyarakat
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir belum maksimal dalm pemberitahuan tentang kawasan Hutan
Perlunya penyuluhan secara berkelanjutan tentang pentapan kawasan HLGL khususnya kepada masyarakat Desa/Dusun yang berada di dalam atau sekitar kawasan Huan LIndung Gunung Lumut
Keppres 32/90
Pasal 39
Pengendalian kawasan lindung
(1) Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban.
Tidak adanya patroli yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan di dalam kawasan HLGL
Perlu adanya penmbahan personel Polisi Khusus Kehutanan
82
Tabel 15. UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Kebijakan Keterangan Kenyataan di lapangan Yang harus dilakukan Peraturan Isi
UU 24/1992 Pasal 4
Hak dan kewajiban
1. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. 2. Setiap orang berhak untuk a. mengetahui rencana tata ruang; b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Masyarakat tidak diikutsertakan dalam penetapan kawasan HLGL
Rekonstruksi ulang penataan batas serta manfaat dari penetapan kawasan HLGL yang melibatkan masyarakat
83
Tabel 16. PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Kebijakan Keterangan Kenyataan di lapangan Yang harus dilakukan
Peraturan Isi PP No. 47 tahun 1997
Pasal 10
Jenis kawasan lindung
2. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; c. kawasan resapan air.
Masyarakat desa sekitar kawasan belum mengetahui arti dan fungsi dari hutan lindung
Sosialisasi tentang arti dan fungsi hutan lindung
PP No. 47 tahun 1997
Pasal 33
Kriteria kawasan hutan lindung
(1) Kriteria kawasan lindung untuk kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf (a )adalah : a. kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 atau lebih; b. kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih; dan/atau c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 m atau lebih.
- -
84
Tabel 18. PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Kebijakan Keterangan Kenyataan di lapangan Yang harus dilakukan Peraturan Isi PP No. 44 tahun 2004
Pasal 3
Jenis kegiatan perencanaan hutan
(1) Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan: a. Inventarisasi hutan; b. Pengukuan kawasan hutan; c. Penatagunaan kawasan hutan; d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan e. Penyusunan rencana kehutanan.
Belum adanya pengukuhan kawasan dengan SK Penetapan Tata batas belum temu gelang
Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir harus segera mengusulkan kepada Menteri Kehutanan tentang Penetapan HLGL UPTD Planologi beserta Dinas Kehutanan bekerja sama dalam penataan batas dan harus temu gelang (syarat pengukuhan kawasan)
PP No. 44 tahun 2004
Pasal 4
Syarat perencanaan hutan
Perencanaan kehutanan dilaksanakan : a. secara transparan, partis ipatif dan bertanggung-gugat; b. secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat serta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan berwawasan global; c. dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan tradisional.
Belum adanya pelibatan masyarakat Kearifan tradisonal masyarakat desa sekitar dan dalam hutan masih diabaikan
Seluruh stakeholder duduk bersama untuk mendapatkan bentuk pengelolaan HLGL yang terbaik
PP No. 44 tahun 2004
Pasal 28
Unit pengelolaan hutan (1) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (2) huruf c dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi pada hutan
konservasi; b. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pada hutan
lindung; c. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi pada hutan
produksi.
Belum adanya unit pengelolaan HLGL
85
PP No. 44 tahun 2004
Pasal 32
Bagian dari unit pengelola dan tanggung jawab intitusi pengelola
(1) Pada setiap unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola. (2) Institusi pengelola bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi: a. perencanaan pengelolaan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan pengelolaan; dan d. pengendalian dan pengawasan.
Belum adanya unit pengelola HLGL
Top Related