i
IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW
DALAM PERSPEKTIF MUS{T{AFA< S{ABRI< (1869-1954)
Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Ilmu Agama
Oleh:
Muhib Rosyidi
NIM: 11.2.00.1.05.09.0003
Pembimbing:
Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA
KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN
SEKOLAH PASCASARJANA (SPS)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
ii
iii
SURAT KETERANGAN PENGESAHAN PENGUJI
Tesis dengan judul Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam
Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi Analisis atas Relasi
Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi
dengan Nomor Pokok: 11.2.00.1.05.09.0003, telah lulus dalam ujian
pendahuluan tesis pada hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014 M, dan
telah diperbaiki sesuai saran dan komentar Tim Penguji sehingga dapat
diajukan ke sidang ujian promosi magister.
Tim Penguji:
Dr. Yusuf Rahman, MA ……...…………….…
(Ketua sidang/merangkap Penguji) Tanggal
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA .……………………….
(Penguji 1) Tanggal
Dr. Fuad Jabali, MA ……...…………………
(Penguji 2) Tanggal
Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawar, MA …….....………………..
(Pembimbing/merangkap Penguji 1) Tanggal
iv
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah diadakan pembimbingan, tesis dengan judul Ijtihad
Nabi Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954):
Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang telah
ditulis oleh:
Nama : Muhib Rosyidi
NIM : 11.2.00.1.05.09.0003
Program : Magister (S2)
Konsentrasi : Tafsir Hadis
Telah melalui work in progress I, II, III dan Ujian Pendahuluan
dan serta telah diperiksa dan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Dengan ini saya menyetujui untuk diajukan pada ujian Promosi.
Ciputat, Februari 2014
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Said Agil Husain al-Munawwar, MA
vi
vii
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhib Rosyidi
Tempat Tanggal Lahir : Lamongan, 15 Agustus 1987
Nim : 11.2.00.1.05.09.0003
Jenjang Pendidikan : S2 Studi Islam
Konsentrasi : Tafsir Hadis
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul “Ijtihad Nabi
Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi
Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis,” adalah hasil
karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya.
Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu apabila di
dalamnya terdapat plagiasi yang dapat berakibat diberikan sanksi
berupa pencabutan gelar oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, maka saya siap
menanggung resikonya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 15 Februari 2014
Yang Membuat Pernyataan
MUHIB ROSYIDI
viii
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
rahmat, karunia, dan kesabaran sehingga penulisan tesis ini bisa
diselesaikan. Shalawat dan salam penulis sampaikan pada Nabi
Muhammad Saw yang dengan segala pengetahuan dan ijtihadnya telah
memberikan jalan yang benar pada wahyu Allah Yang Agung.
Penulis berterima kasih pada segenap pihak yang turut
membantu atas terselesaikannya tesis ini. Pertama penulis sampaikan
pada segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidauyatullah Jakarta, Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar MA
selaku pembimbing, Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Prof. Dr. Suwito,
MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA selaku direktur dan pimpinan yang
selalu membuka gagasan dan wawasan baru. Juga kepada Kemenag
yang telah memberikan beasiswa selama 2 tahun menempuh studi
menyelesaikan tulisan ini.
Kepada seluruh keluarga, orang tua bapak Murochis dan ibu
Muntamah atas segala doa , ridho dan nasehat kehidupannya. kakak
Muhammad Muhbib dan Widati Rosyida atas segala dorongan dan
bantuannya. Tak lupa pada istri tercinta Ewi Nerni S.Hi, M.H, atas
segala dukungan, kesabaran dan pengertiannya sehingga hingga
akhirnya terselesaikan tesis ini.
Dengan selesainya tulisan ini, harapan besar adalah adanya
kedekatan pada sosok Muhammad Saw untuk selalu menemani sisi
kehidupan penulis maupun pembaca semua. Perlu difahami bahwa ia
adalah manusia biasa, yang bisa salah, lupa, menangis, atau tertawa.
Yang beda hanyalah karena ia menerima misi Allah yang tak terkira.
Namun justru karena itu, ia telah menjadi model untuk selalu
dicermati dan difahami kehidupannya. Sehingga, karena itulah penulis
percaya bahwa ia hadir di bumi ini tidak untuk dipuja, dibanggakan,
ataupun dimuliakan, namun ia hadir untuk diikuti, ditaati dan
ditemani.
Jika memang untuk membaca Alquran kita harus bersikap
seolah Alquran turun untuk kita, Maka bacalah hadis seolah Nabi
Muhammad Saw adalah sahabat karibmu.
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam tesis ini mengacu
kepada pedoman ALA-LC Romanization Tables.
A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf latin adalah
sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
Ba> b Be
Ta> T Te
Tha> Th Te dan ha
Ji>m J Je
H{a> h} Ha (titik bawah)
Kha> Kh Ka dan ha
Da>l D De
Dha>l Dh De dan ha
Ra R Er
Zay Z Zet
Si>n S Es
Shi>n Sh Es dan ha
S{ad s} Es (titik di bawah)
D{a>d d} De (titik di bawah)
T{a> t} Te (titik di bawah)
Z{a> z} Zet (titik di bawah)
‘Ayn …‘… Koma terbalik di atas
Ghayn Gh Ge dan ha
Fa> F Ef
Qa>f Q Qi
xi
Ka>f K Ka
La>m L El
Mi>m M Em
Nu>n N En
Wa>wu W We
Ha, ta>
marbut}
ah
H Ha*
Hamza
h
….’… Apostrof
Ya> Y Ye
*Untuk huruf (ة), ta> marbu>t}ah dalam kata benda majemuk
(mud}a>f) dilambangkan dengan huruf t (te).
B. Vokal
1. Vokal Tunggal 2. Vokal Rangkap
▬▬ = a يـ = ay
وـ = ▬▬ = aw
▬▬ = u
3. Mad atau Vokal Panjang
<a = ـا
<i = ـي
<u = ـو
C. Kata Sandang
= al-qalam
= al-shams
= wa al-‘as}r
D. Shaddah atau Tashdi>d
= nazzala
= nu’i’ima
= al-h{ajju
xii
ABSTRAK
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang “Ijtihad Nabi
Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi
Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis,” pada tesis ini
menyimpulkan bahwa otoritas hadis yang beraviliasi terhadap Ijtihad
Nabi tidak memiliki otoritas yang cukup sebagai sumber hukum Islam,
meskipun dalam beberapa hal hadis tersebut menyampaikan sebuah
kebenaran informasi.
Tesis ini memperkuat pendapat ‘Abd al-Jali>l ‘Isa> ‘Abd al-Nasr
(2001), Muhammad Sayid T{ant{awi (2009) dan Yu>suf al-Qarad{a>wi>
(2002) bahwa keberadaan ijtihad Nabi Muhammad adalah benar
adanya dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaan Nabi Muhammad
yang tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya. Tesis ini juga
melemahkan para penulis biografi Muhammad kontemporer seperti
Muh{ammad H{usain Haekal (2000) yang sangat terpengaruh dengan
perkembangan sains modern dengan mengesampingkan sisi kenabian,
kemukjizatan dan ketuhanan dalam hidup Nabi.
Berkaitan dengan kajian hadis Nabi, dalam hal respon Sahabat
terhadap hadis Nabi terutama yang memiliki afiliasi terhadai ijtihad
menjadi point tersendiri dalam metode kritik matan. Respon ini
menjadi metode yang sangat penting untuk mengetahui kapan Nabi
Muhammad tampil sebagai serang Nabi ataukah sebagai manusia
biasa. Dengan kata lain, dalam memahami hadis seorang muslim harus
seolah menjadi Sahabat yang mengerti tentang pemilahan sisi
kenabian, ijtihad dan kemanusiaan Nabi Muhammad.
Pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan library
research. Penelitian ini merupakan studi naskah atau content analysis
dengan menggunakan metode interpretatif. Sedangkan pendekatan
yang digunakan dalam tesis ini adalah sosiologis-teologis dan filosofis
yuridis. Sosiologis-teologis untuk mengkaji makna kenabian
Muhammad saw yang terikat dengan aspek sosialogis kemanusiaanya.
Sedangkan filosofis-yuridis digunakan untuk menggambarkan dampak
ada atau tidaknya ijtihad Nabi terhadap pemikiran dan hukum Islam.
xiii
Abstract
The research on The Ijtihad of Prophet Muhammad saw in the
Perspective of Must}afa> S{abri> (1869-1954); Analysis Study of the
Ijtihad of the Prophet and the Authority of the Hadith concludes that
the authority of the hadith which is affiliated to the Ijtihad of the
prophet does not have sufficient authority as a source of Islamic law,
although in some respects this hadith convey a truth information.
This thesis reinforces the opinion of ‘Abd al-Jali>l Isa >, ‘Abd al-
Nasr (2001), Muhammad Sayyid T{ant}awi> (2009), and Yusuf al-
Qarad{a>wi> about the Ijtihad of Muhammad. They argue that the
existence of Ijtihad of Prophet Muhammad was true and it’s part
arguments of his humanity. It also weakens the contemporary
biographers of Muhammad such as Muhammad H{usein Haikal (2000)
who is highly affected by the development of modern science and
takes aside the prophetic aspect, miracle, and divinity in the life of the
prophet.
In this study, The Companions response to hadiths related to
Ijtihad, has been a separated point in the critical method of matn
hadith. Their response is an important method to know whether
Muhammad appeared as a prophet or he acted as an ordinary man. In
other words, moslem must act according to Companions who
understood the prophetic, Ijtihad, and humanitarian side of
Muhammad.
This is a content analysis study by using interpretative method.
Data in this thesis was collected trough library research. It used
theological-sociological approach to examine the meaning of prophetic
of Muhammad related to humanity sociological aspects and
philosophical-sociological approach to describe whether there is an
impact of Ijtihad of prophet in the Islamic legal thought or not.
xiv
xv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................. i
Surat Keterangan Pengesahan Penguji ........................................... iii
Surat Persetujuan Pembimbing ........................................................ v
Surat Keterangan .......................................................................... vii
Pengantar ....................................................................................... ix
Pedoman Transliterasi ..................................................................... x
Abstrak ......................................................................................... xii
Daftar Isi ....................................................................................... xv
Bab I Pendahuluan ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ............................ 11
1. Identifikasi Masalah ................................................. 11
2. Batasan Masalah....................................................... 12
3. Rumusan Masalah .................................................... 13
C. Studi Terdahulu .............................................................. 13
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................ 17
E. Metodologi Penelitian .................................................... 19
1. Jenis Penelitian ......................................................... 19
2. Sumber Data ............................................................. 20
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data .................. 21
F. Sistematika Penulisan .................................................... 21
Bab II Kenabian: Antara Rahmat Allas Swt dan Kecerdasan
Akal Manusia ............................................................... 23
A. Kedudukan Nabi dalam Alquran dan Sunah .................. 24
1. Nabi dalam Alquran ................................................. 25
2. Nabi dalam Hadis ..................................................... 28
B. Pandangan Ulama Tentang Kenabian ............................ 30
1. Mukjizat ................................................................... 33
2. Sifat Maksum ........................................................... 34
xvi
C. Hadis Menjadi Bagian dari Mukjizat Kenabian ............ 37
1. Fenomena Alam dan Sains ....................................... 39
2. Nasehat Nabi pada Para Sahabat ............................. 41
3. Tindakan Kemanusiaan Nabi ................................... 43
4. Kekeliruan Nabi ....................................................... 45
D. Hadis Nabi Muhammad sebelum Menerima Wahyu
Alquran ........................................................................... 46
1. Kecerdasan Rahmat Pra-Kenabian ........................... 46
2. Kecerdasan Akal Pra-Kenabian................................ 50
Bab III Mus}t}afa> S{abri> dan Problematika Ijtihad Nabi ............... 53
A. Alam Pemikiran Mus{t{afa< S{abri< (1869-1954) ................. 53
1. Biografi Singkat ....................................................... 53
2. Karya dan Alam Pikiran ........................................... 56
3. Kritik Terhadap Sarjana Modern ............................. 58
B. Makna Ijtihad dalam Kepribadian Nabi ......................... 60
1. Pengertian Ijtihad dalam Islam ................................. 61
2. Antara yang Setuju dan Tidak akan Adanya Ijtihad
Nabi ........................................................................... 63
C. Hadis-Hadis bernuansa Ijtihad Nabi Muhammad Saw. . 68
1. Ijtihad yang Disalahkan atau Dibenarkan oleh
wahyu ....................................................................... 70
2. Ijtihad Nabi sebagai Respon atas Ijtihad Sahabat ... 72
3. Ijtihad Nabi yang Salah namun tidak
Dibenarkan dengan Wahyu ...................................... 74
D. Keberadaan Wahyu Allah Dalam Hadis Nabi................ 76
E. Posisi Hadis antara Wahyu dan Ijtihad .......................... 82
F. Respon Sahabat atas Ijtihad Nabi .................................. 87
Bab IV Implikasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis .................... 93
A. Interrelasi Ijtihad Nabi dan Hadis sebagai sumber
hukum ............................................................................ 93
1. Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan
non Tashri>’iyyah ...................................................... 96
xvii
2. Kerancuan Perdebatan Sunnah Tashri’i >yyah
dan non Tashri’i >yyah ............................................. 100
3. Dari Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan
non Tashri>’iyyah ke Sunnah Ijtiha>diyah dan
Wah{yiyyah ............................................................. 103
B. Universalitas Hadis dan Ijtihad yang Lokal-
Temporal ...................................................................... 108
1. Universalitas hadis Nabi Muhammad Saw. .......... 109
2. Ijtihad Nabi sebagai Hadis yang Universal dan
Lokal Temporal ..................................................... 111
3. Menyikapi Semangat dan Hasil Ijtihad Nabi ........ 112
a. Ijtihad Nabi yang Dibenarkan Wahyu ............. 112
b. Ijtihad Nabi Terhadap Kasus Duniawi ............ 113
c. Ijtihad Nabi Terhadap Hukum Agama ............ 115
d. Ijtihad Nabi sebagai Nasehat dan Model
Kesempurnaan Ijtihad Manusia ....................... 117
C. Respon Sahabat Sebagai Metode Kritik Matan
Hadis ............................................................................ 118
1. Kemanusiaan Sahabat dalam Melihat Nabi .......... 119
2. Respon Sahabat terhadap Ijtihad Nabi .................. 121
a. Menjadikan Nabi Model Kehidupan ............... 121
b. Mengubah Ijtihad Nabi demi ‘Illah ................. 122
c. Merespon Hal yang Dikhususkan bagi Nabi .. 124
d. Nabi yang Paling Tahu Soal Agama ............... 126
3. Respon Sahabat Terhadap Matan Hadis sebagai
Model Kritik Matan Kontemporer ........................ 127
Bab V Penutup ....................................................................... 131
A. Kesimpulan ................................................................... 131
B. Saran ............................................................................. 132
Daftar Pustaka ............................................................................. 133
Glosarium .................................................................................... 143
Indeks .......................................................................................... 145
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Muhammad Saw menuai banyak perdebatan dan
kritik karena menyebut dirinya sebagai utusan Tuhan kepada manusia
namun justru berbentuk manusia. Kritik pertama bahkan datang dari
orang kafir yang tak rela jika seorang nabi ternyata mempunyai
tingkah-laku yang sama seperti manusia lainnya.1 Namun, hal ini
secara umum tidaklah menjadi perdebatan di kalangan muslim.
Tindakan kemanusiaan, atau al-af’a>l al-jibliyyah, dalam istilah
Sulaima>n al-Ashqa>r ternyata banyak yang memang tidak ada
kaitannya dengan misi kenabian.2 Tindakan seperti makan, minum,
tidur, benci, marah dan sebagainya adalah sifat manusia yang secara
umum tidak terkait dengan ajaran agama.3 Ciri kemanusiaan tertinggi
adalah akal. Pemikiran akal inilah yang kemudian disebut sebagai
ijtihad.4 Namun, yang perlu dipertanyakan berikutnya adalah benarkah
bahwa Muhammad pernah berijtihad? Jika benar, apakah ijtihad Nabi
menjadi bagian dari ajaran agama?
Dua pertanyaan di atas memerlukan jawaban yang cukup
panjang karena akan berimbas bukan hanya dari segi teologi Islam,
namun juga yuridis dan filosofis. Untuk itu, kenabian memang bukan
hal yang mudah untuk dijelaskan. Ibn Khaldu>n (1332-1406) misalnya
1QS. Al-Furqa>n [25]: 7.
2Muh{ammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala al-
Ah}ka>m al-Shar‘iyah (Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976), 219. 3Walaupun, jika kemudian dianggap itu datang dari sosok yang memiliki
kenabian ia tetap akan menjadi panutan seperti tindak-tanduk dalam keluarga yang
muncul sebagaimana manusia pada umumnya. Lihat, Fah{d Tala>l Sali>m al-Khalidy
“Al-Manhaj al-Nabawy fi> al-Ta‘a>mul al-Usra>.” College of Basisc Education Researches 4 (2007) : 79-92.
4Karena bagaimanapun ijtihad tidak bisa lepas dari ra’y atau pertimbangan
akal manusia yang memungkinkan kesalahan dan kebenaran. Lihat, Mohammad
Nazami, “Ijtihad: Takhti’ah or Tas}wi>b.” Message of Thaqalayn, A Quarterly Journal of Islamic Studies 10, no. 2 (2009) : 74-75; Saim Kayadibi, “Ijtihad by Ra’y: The
Main Source Inspiration Behind Istihsan.” Islamic Social Science 24, no. 1 (2007) :
76.
2
menilai bahwa nabi adalah mereka yang memiliki jiwa di luar
kemanusiaan pada umumnya dan mendekati malaikat. Bahkan mereka
kemudian berinteraksi dengan malaikat dan kemudian menjadi lebih
tinggi derajatnya dan mampu berkomunikasi dengan Tuhan.5 Pada sisi
tertentu nabi adalah manusia biasa. Namun, pada sisi lain tentu ia
lebih dari sekedar manusia biasa. Karena itulah Fazlur Rahman
menyebut nabi adalah sebagai extraordinary-man yang memiliki
kelebihan luar biasa di hadapan manusia ketika berbicara tentang
Tuhan. Merekalah yang bisa menunjukkan secara pasti bahwa Tuhan
adalah Tuhan dan setan adalah setan.6 Terlebih John L. Esposito
menyampaikan bahwa Muhammad adalah intrumen manusia-Tuhan
dalam menyampaikan fiman-Nya sekaligus menjadi model teladan
yang harus diikuti orang beriman.7 Oleh karena itu, memahami dan
mengikuti Nabi Muhammad adalah penting sebagai keimanan dan
tindakan keseharian orang Islam yang sebenarnya.
Setidaknya terminologi yang bisa membedakan antara manusia
dan nabi yakni sifat maksum. Etimologi maksum diambil dari kata
dalam kalimat .8 Yakni, maksud dari maksum
adalah keterjagaan Nabi dari gangguan manusia. Namun, terminologi
ini berubah menjadi keterjagaan Nabi dari kesalahan dan dosa.9
Sebagai utusan Tuhan tentu nabi harus terhindar dari kesalahan dalam
5‘Abd al-Rahma>n ibn Muhammad ibn Khaldu>n, Al-Muqaddimah (Maroko:
Dar al-Baidha’, 2005), 146-149; Abdul Kabir Husain Solihu, “Revelation and
Prophethood in The Islamic Worldview.” Journal of Islam in Asia 6, no. 1 (2009) :
170 ; Malak Muh{ammad Thabit ‘Abd al-H{ami>d, “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z
‘Inda al-Muslimi>n.” Jurnal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 117 ; Hakim
‘Abd Na>s}ir, “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah.” Ada>b al-Kufa 1,
(2011) : 229. 6Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca
Islamica, 1994), 80. 7John L. Esposito, Terj. Arif maftuhi, Islam Warna-warni (Jakarta:
Paramadina, 2004), 10; Adis Duderija, “Toward a Methodology of Understanding the
Nature and Scope of the Concept of Sunnah.” Arab Law Quarterly 21 (2007) : 4. 8QS. Al-Ma>idah [5]: 67.
9Namun demikian, adanya kemaksuman pada diri Nabi justru meniadakan
proses ketaatan padanya karena tiadanya balasan dan hukuman. Lihat, Al-‘Any,
Asma>‘ ‘Abd al-Qa>dir ‘Abdulla>h. “Bara>’atu al-Anbiya>’ minma> nasaba Ilaihim min
Akhta>’.” Journal of Research Diyala University 52 (2011) : 37-91.
3
menyampaikan misi dari Allah Swt. Oleh karena itu nabi tidak
mungkin menyembunyikan suatu hal tentang perintah Tuhan kepada
manusia.10
Bahkan, ancaman kesalahan Nabi tidaklah muncul dari
logika belaka, namun Allah pun mengancam Nabi dalam firman-Nya
sendiri bahwa andaikata Nabi mengada-ada tentang misi Allah, maka
Dia sendiri yang akan menghukumnya.11
Namun, Qad}i ‘Iyad} (w. 544 H) menyatakan bahwa sepanjang
urusan dunia para Nabi tidak diisyaratkan jaminan atas kemaksuman.
Kekurang-pahaman para nabi tentang masalah tersebut tidak menodai
kenabiaannya, karena perhatian umat adalah kepada urusan akhirat dan
syariat keagamaan.12
Sedangkan, Muhammad al-‘Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir
mengungkapkan bahwa kemaksuman nabi menyisakan dua kelompok.
Pertama, adalah mereka yang mengatakan bahwa nabi tidak pernah
melakukan dosa. Dan kedua mereka yang menyatakan nabi pernah
melakukan dosa. Keduanya pun memiliki antitesis mendasar.
Kelompok pertama dianggap menyalahi Alquran dan sunnah yang
banyak menyatakan tentang pertaubatan para nabi. Artinya, nabi
pernah melakukan dosa. Kelompok kedua juga akan menemukan
bahwa Nabi tidaklah berdosa karena yang dilakukan para nabi
hanyalah kekeliruan yang kemudian Allah membersihkan jiwa mereka
dan menjamin kesucian mereka.13
Satu alasan yang membuat
perdebatan ini muncul adalah kerena sosok Nabi adalah orang yang
harus diikuti.14
Kemudian, bagaimanakah jika yang diikuti itu salah
atau pernah melakukan kesalahan apalagi dosa?
10
QS. Al-Takwi>r [81]: 24. Karnanya, dalam hal ketuhanan, Nabi tidak
mungkin mengarangnya ataupun berijtihad tentangnya. Lihat, Salih Kesgin, “A
Critical Analysis of the Schacht’s Argument and Contemporary Debates on Legal
Reasoning Throughout The History of Islamic Jurisprudence.” The Journal of International Social research 4 (2011) : 158.
11QS. Al-H{a>qqah [69]: 44-47.
12Abu> al-Fad}l ‘Iyad} Ibn Mu>sa>, al-Shifa> bi Ta’rif H{uqu>q al-Mus}t}afa> (Kairo:
Da>r al-H{adith, 2004), juz 2, 115-116. 13
Muh{ammad al-Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala > al-Ah}ka>m (Jedah: Da>r al-Mujtama’, tth), 23.
14Bahkan segala hal yang menjadi ciri khas kenabian seperti isra’ mi’raj
Nabi tetap menjadi perhatian terhadap sumber ajaran Islam. Lihat, ‘Abd al-
H{a>fid’Abd Muhammad al-Kabisy “Khus}u >s}iat al-Nabi> Salla Alla>hu ‘Alaihi wa
4
Ittiba>‘ kepada Nabi adalah suatu kewajiban bagi orang muslim.
Konsekuensi teolog kenabian adalah tuntunan tentang kebertuhanan.
Sedang mengenai bentuk kebertuhanan, Nabi adalah orang yang paling
otoritatif untuk menjelaskannya. Oleh karena itu, wajar jika apapun
yang dilakukan Nabi menuntut keberlakuan juga pada umatnya.
Sebagaimana dikisahkan bahwa al-H{umaidi (w. 219 H) pernah
bercerita bahwa ketika sedang bersama Imam Sha>fi’i > (w. 204 H)
datang seorang laki-laki dan bertanya tentang suatu hal. Imam Sha>fi’i >
pun menjawab, “tentang hal ini Rasulullah mengatakan demikian dan
demikian.” Orang itu pun bertanya kembali, “Lalu bagaimana menurut
anda sendiri?” Sha>fi’i pun berkata, “Subhanallah, apa kau kira aku
berada di gereja atau di tempat lain? Aku mengatakan bahwa
Rasulullah mengatakan demikian, lalu kau tanya pendapatku?”15
Inilah
bentuk ittiba>‘ para ulama terhadap Nabi. Bagaimanapun kedekatan
manusia kepada Allah dalam bentuk cinta sekalipun hanya satu
jalannya, yakni mengikuti Nabi-Nya.16
Meskipun mengikuti Nabi adalah suatu keharusan, setidaknya
secara umum muncul dua permasalahan. Pertama, perbedaan ruang dan
waktu Nabi dengan hari ini yang juga memunculkan perbedaan situasi
sosial dan peralatan.17
Kedua, visi kebertuhanan Nabi sebagai utusan
Tuhan dan tindakan keseharian kadang kala tidak nampak sebagai
bagian dari visi tersebut. Hal ini tentu karena Muhammad Saw. tidak
hanya muncul sebagai pengajar agama semata namun beliau juga
seorang ayah, hakim, pimpinan18
dan sebagainya.19
Dari masalah yang
sallama wa Dala>latuha> fi> al-Tashri>’.” Journal of The Iraqi University 1 (2010) : 166-
167. 15
Abu> ‘Abdilla>h Shamsu al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-Dhahabi> (673-
748 H), Siyaru A‘la>m al-Nubala> (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), 3279. 16
QS. Ali Imran [3]: 31. 17
Pembahasan ini kemudian menjadikan perdebatan anyata perbedaan
tekstual dan kontekstual dari Nabi. Lebih lengkap lihat, Muh}ammad al-Ghaza>li>, al-Sunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adith (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1989).
18Setidaknya kenabian dalam realitas kemanusiaan juga memunculkan sifat
sebagai panutan atas kepemimpinan. Lihat, Abed el-Rahman Tayyara, “Prophethood
and Kingship in Early Islamic Historical tought.” Der Islam 84 (2007) : 76-77. 19
Tentang hal ini salah satunya bisa dilihat pada, Muh }ammad Sa’id
Ramad}a>n al-Bu>ti>, Fiqh Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 18.
5
pertama muncullah konsep bahwa jika aspek sosial dan peralatan itu
tidak terkait dengan agama maka diperbolehkan untuk adanya
perubahan.20
Sedangkan dari masalah kedua, para ulama kemudian
membagi tindakan Nabi kepada dua hal yakni yang membawa
implikasi syari’at dan yang tidak membawa implikasi syariat.21
Di
sinilah kemudian, posisi ijtihad Nabi sebagai manusia diperdebatkan.
Mengenai ijtihad Nabi para ulama memiliki beberapa pendapat
yang berbeda. Ada di antara mereka yang mendukung adanya ijtihad
yang dilakukan Nabi sebagai seorang manusia. Namun, ada pula yang
mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berijtihad karena beliau adalah
seorang pembawa wahyu, yang jika ia memilikinya maka tidaklah ada
gunanya ijtihad. Selain itu, ada pula di antara mereka yang
mendiamkan permasalahan ini.22
Walaupun, Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010)
mengatakan bahwa secara umum sebenarnya para ulama bersepakat
dengan adanya pembolehan untuk ijtihad dalam diri Nabi mengenai hal
duniawi, namun jika terkait dengan masalah agama maka hal tersebut
dilarang.23
Sebenarnya Alquran telah menyatakan:
Ayat di atas hampir dan selalu menjadi perdebatan dalam
kaitan ada dan tidaknya ijtihad Nabi. Secara eksplisit ayat tersebut
berarti, “Tidaklah apa yang ia ucapkan berasal dari hawa nafsunya.
Ucapan itu tiada lain adalah wahyu.” (QS. Al-Najm [53]: 3-4). Artinya
Nabi memang tidak melakukan ijtihad dan hanya mengungkapkan
wahyu. Terlebih, dibuktikan banyaknya catatan yang mengatakan
bahwa jika ditanyakan kepada Nabi suatu hal, maka beliau akan
20
Muh{ammad Abu> Zahrah, Us}u>l Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr, 1958),114. 21
Secara lengkap bisa dibaca di, Yu>suf Qard}awi>, al-Sunnah Masdaran Li Ma‘rifah wa al-H{ad{a>rah (Kairo: Dar al-Shuruq, cet. 3, 2002)
22Ada dan tidaknya ijtihad secara langsung akan bersinggungan dengan
apakah pendapat Nabi itu disejajarkan dengan wahyu atau tidak. Lihat, Zainuddin
MZ, “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wahyu Ilahi atau Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel,
Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007) : 4-5. 23
M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad dalam Hukum Syarak. Terj. Safri
Mahayedin, (Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, Cet. 2 2009),
44.
6
menunggu wahyu terlebih dahulu.24
Namun, tidak semua mufasir
sebenarnya sepakat dengan hal ini. Al-Qurtu>bi> (w. 671 H) misalnya,
mengatakan bahwa yang dimaksud sebagai dhamir pada ayat tersebut
bukanlah perkataan nabi atau hadis melainkan Alquran. Al-Qurtu>bi>
mengambil dari penafsiran Qata>dah yang mengatakan bahwa ayat
tersebut menghendaki bahwa tidak ada dalam Alquran yang berasal
dari hawa nafsu Nabi, melainkan semua adalah wahyu Allah.25
Dalam masalah ini ‘Abd al-Lat}if Kasa>b setidaknya memberikan
tiga persoalan yang patut menjadi wacana khusus dalam memahami
posisi ijtihad nabi dalam tradisi Islam. Pertama rasionalisasi adanya
ijtihad dalam diri Nabi, kedua Ijtihad Nabi terkait syariat dan non-
syariat dan ketiga kemungkinan adanya kesalahan ijtihad Nabi.26
Lain
halnya, Na>diyah Shari>f al-‘Umri memberikan bahasan secara khusus
pada bukunya Ijtiha>d al-Rasu>l dengan memberikan enam bahasan
antara lain: pertama, ijtihad rasul dalam pandangan ulama ushul.
Kedua, persepsi ijtihad yang terjadi pada zaman Nabi dan
keterkaitannya dengan ijtihad Nabi. Ketiga, metode ijtihad Nabi.
Keempat, metode ijtihad pada masa sahabat. Kelima, perbandingan
ijtihad Nabi dan ijtihad yang terjadi pada yang lain.27
Ijtihad memang tidak bisa dihindarkan dari sosok manusia,
bahkan Nabi sekalipun. Alasan ini secara jelas sebenarnya menjadi
perintah Allah kepada Nabi.28
Bahwa perintah memang ditujukan kepada Nabi. Walaupun, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b
24
M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad dalam Hukum Syarak, 44. Ayat ini
juga dianggap membuktikan bahwa baik Alquran dan sunnah adalah sama-sama
wahyu dari Allah Swt. Lihat, Rihaizan bin Baru dan Rosmalizawati Abd al-Rashid.
“The Receonciliation Approach in Resolving Contradictory Prophetic Tradition.”
International Journal of Business and Social Science 2, no. 3 (2011) : 228. 25
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Ah}mad Shamshu al-Di>n al-Qurtubi> (w. 671
H), al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-Misriyah, 1980), 241-242. 26
Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa>’u h}aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah (Saudi: Da>r al-Taufi>q, 1984), 43.
27Lihat selengkapnya pada, Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla
Alla>h ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), buku ini secara umum
sebenarnya lebih banyak mengacu dan mengarahkan pada pembacaan metode ijtihad
yang dilakukan Nabi dan bukan kepada perdebatan kedudukan ijtihad itu sendiri. 28
QS. Al-H{ayr [59]: 2.
7
mencoba mereduksi bahwa pembolehan ijtihad nabi itu secara umum
hanya pada masalah duniawi dan bukan masalah agama. Karena
memang ia masih banyak merujuk pada para ulama salaf yang masih
memperdebatkannya.29
Terlebih masalah adanya respon sahabat yang
menganggap bahwa pendapat atau ijtihad nabi itu salah atau perlu
pertimbangan. Adapun di antara kalimat yang dilontarkan sebagian
sahabat Nabi seperti Sa’d ibn Mu’a >z dan Sa’d ibn ‘Uba >dah kepada
Nabi dalam suatu persoalan, atau
bahkan H{abbab ibn Munzir pernah menyatakan kepada Nabi,
. Yang pada hasilnya
kemudian nabi menyatakan bahwa beliau berijtihad dan bahkan
kemudian Nabi mengikuti ijtihad Sahabat tersebut.31
Pernyataan Sahabat kepada Nabi di atas juga membuktikan
ketidakbenaran rasionalitas Muktazilah seperti al-Jubba>’i> (w. 915)
bahwa Nabi tidak mungkin melakukan ijtihad. Al-Jubba>’i > beralasan
bahwa ijtihad hanya akan berujung pada prasangka, sedangkan wahyu
berujung pada kebenaran. Tidak mungkin seorang Nabi mengajarkan
dengan prasangkanya dan bukan wahyu.32
Alasan al-Jubba>’i > memang
logis ketika menyamakan ijtihad Nabi dengan ijtihad yang dilakukan
para ulama. Namun, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b memberikan perbedaan
mendasar bahwa ijtihad yang dilakukan selain Nabi memiliki unsur
29
Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h}aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah (Saudi: Dar al-Taufiq, 1984), 45-47.
30‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhari, Kashfu Al-Ashra>r ‘An Us{u >l Al-Fah}r
Al-Islamy Al-Bazdawy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H), Juz 3, 210. Pada
penelitian ini, hadis-hadis seperti inilah yang akan penulis lacak lebih dalam lagi
guna mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap inti penulisan tesis ini. 31
Terlebih Nabi juga memang sering bermusyawarah dengan para Sahabat
seperti pada masa peperangan. Lihat Ahmad Mat}ar Khadhir. “Musha>wara>t al-Rasu>l
Saw Li As}habihi fi> al-Ghazawa>t.” Journal of Research Diyala Unversity (2009) : 74-
86. 32
Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Adhwa’u h{aul: Qadhiyat al-Ijtiha>d fi> al-Shari>ah al-Isla>miyah (Saudi: Dar al-Taufiq, 1984), 48; Muhammad Sayyid T{ant}a>wi,
Terj. Safri Mahayedin, Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak , 46 ; Na>diyat Sharif al-
‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), 55-56; lihat pula
Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab
dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010) : 68.
8
kesalahan dan pengulangan. Berbeda dengan ijtihad Nabi yang secara
umum ulama mengatakan tidak memiliki implikasi kesalahan, dan
adapun jika terjadi kesalahan maka wahyu Allah akan mengkoreksinya
sehingga mengarah kepada kebenaran dan tidak mengakhibatkan
pengulangan kesalahan sebagaimana manusia biasa.33
Persoalan ijtihad Nabi terkait masalah agama, ‘Abd al-Lat}i>f
Kasa>b membaginya dalam tiga kelompok34
yakni; pertama, mereka
yang setuju dengan adanya ijtihad tersebut seperti Ibn H{ibba>n (270-
354 H), Imam Ma>lik (93-178 H), dan juga Imam Sha>fi’i > (150-204 H).
Adapun golongan H{anafiyah memberikan syarat kebolehan ijtihad
Nabi hanya terkait dengan yang belum ada dalam nas atau wahyu.
itupun, harus dengan cara menunggu wahyu tersebut terlebih dahulu,
yang jika wahyu tersebut belum juga ada baru hal ini menjadi tanda
pembolehan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi. Kedua, mereka yang
tidak sepakat dengan adanya ijtihad Nabi tentang agama seperti
pengikut al-Ash’a >ri> (260-324 H), Ibn H{azm (384-456 H), sebagian
pengikut Imam Sha>fi’i > (150-204 H) dan juga Imam H{anbali (164-241
H).35
Ketiga, mereka yang ber-tawaquf terkait hal ini seperti al-
Ghaza>li> (450-505 H), Abu H{asan al-Bashri> (21-110 H), dan juga al-
Qad}i ‘Abd al-Jabba>r (w. 400 H).
33
Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h{aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah, 49.
34Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h{aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah
al-Isla>miyah, 50-51. Bahkan penafsiran Nabi terhadap Alquran pun tidak dapat
dipungkiri. Lihat, ‘Ali Ramadan al-Ausy “al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qura>n al-Kari>m
wa Atha>rihi fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.” al-Turath al-‘Ilmy al-‘Araby 1 (2012) : 197. 35
Alasan yang paling patut jadi pertimbangan dalam pendapat ini adalah
bahwa Nabi tidak dibenarkan untuk mengikuti pendapatnya sendiri segala yang
terkait dengan kewahyuan (QS. Yunus [10]:15). Bagi Ibn H{azm ayat ini
menunjukkan bahwa Nabi tidak mungkin mengutarakan sesuatu yang selain Alquran
tentang Islam. lihat, ‘Ali> ibn H{azm al-Andalu>si>, al-Ih}ka>m fi> Us}ul al-Ah}ka>m (Beirut:
Da>r al-Ifa>q al-Jadi>dah, 1979), juz 5, 698. Bahkan, Nadi>r al-Jaisy mengungkapkan
bahwa Hadis tidaklah muncul dari Nabi melainkan melalui pertimbangan Nabi
terhadap Alquran. Lihat, Hasyim Taha Yasin dan Manna ‘Abd al-Ghafu>r Dah{m,
“Manhaj Nadi>r al-Jaisy (w. 778 H) fi al-Istidla>l bi al-H{adi>th al-Nabawi al-Syari>f fi
Kita>bihi Tamhi>d al-Qawa>id.” Journal of al-Anbar University for Language and Literrature 8, (2012) : 79.
9
Ijtihad Nabi secara normatif pasti bersisian dengan otoritas
hadis Nabi sebagai bagian dari ajaran Islam. Karenanya, ijtihad Nabi
secara filosofis menjadi ukuran terhadap arti kenabian itu sendiri. Hal
ini tak lepas dari pembahasan seorang muhaddis seperti Mus}t}afa> S{abri>.
Baginya, Nabi tetap harus diikuti baik dalam urusan Agama maupun
dunia karena Nabi memang tidak mengajarkan hanya soal agama tapi
juga dunia.36
Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954)37
adalah seorang ulama yang
menjabat sebagai syaikh al-isla>m38 pada masa akhir kerajaan Ottoman,
Turki. Ia adalah seorang intelektual yang sejak usia 22 tahun telah
mengajar berbagai macam ilmu seperti tafsir, hadis, usul fikih dan juga
ilmu bayan di berbagai madrasah dan juga universitas seperti Ja>mi’
Sult}a>n al-Fa>tih{ –sebuah universitas sekelas Al-Azhar Mesir kala itu–,
Da>r al-H{ikmah al-Isla>miyyah, Madrasah al-Wa>’izi >n dan sebagainya.39
Hingga akhirnya jabatan shaikh al-Isla>m –sebuah jabatan petinggi
mufti– diberikan pada tahun 1919 sebagai penghargaan atas
keilmuannya oleh Kepala Dewan Kerajaan.40
Namun demikian,
sebagaimana diketahui bahwa pada masa kehidupannya Turki
36
Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa
Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48,
no. 1 (2009) : 25. 37
Meskipun ia lahir di Turki, namun ia meninggal karena stroke dalam
pengasingannya di Mesir. Lihat. Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman
Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual
Contribution.” (Tesis di Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal,
2003), 50. 38
Adapun dalam bahasa Turki ditulis “Şeyhülislam” 39
Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa
Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48,
no. 1 (2009) : 7. Setidaknya ada dua karya tulis yang penulis temui yang
membicarakan biografi Mustafa Sabri yakni, pertama Mehmet Kadri karabela, “One
of The last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life,
Works, and Intellectual Contribution.” (Tesis di Institute of Islamic Studies Mc Gill
University, Montreal, 2003). Kedua, Mufarrih} Sulaiman al-Qawsi>, as-Shaikh Mus}t}afa> S{abri> wa Mawqifuh min al-Fikr al-Wafi>d (Riyad: Markaz al-Malik faishal,
1997). 40
Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam,
Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution”, 46.
10
mengalami gejolak politik luar biasa yang tentunya ikut
mempengaruhi sisi kehidupannya, termasuk tentang pemahaman
agama.
Keunikan Mus}t}afa> S{abri> dalam membahas posisi kenabian
dimulai ketika memberikan kritikan terhadap Muh{ammad ‘Abduh
(1849-1905). Saat itu Muh{ammad ‘Abduh melontarkan sebuah definisi
tentang Nabi. Bahwa nabi adalah manusia yang diberikan wahyu
kebenaran baik secara teoritis maupun praktis, ia tidak mengetahui
sesuatu selain kebenaran dan melakukan sesuatu selain kebenaran. Di
mana kebenaran itu bukan dari kecerdasannya, bukan pula hasil
penalarannya. Ajarannya adalah murni dari Tuhan.41
Hal yang terkesan sederhana di atas, bagi S{abri> memiliki
implikasi tersendiri terhadap posisi kemanusiaan Nabi, tentunya tak
terlepas dari ijtihad sebagai bagian dari sifat manusia. Titik poin
dalam hal ini, bagi S{abri>, kenabian adalah pada kemampuan manusian
untuk berkomunikasi kepada Tuhan dan bukan sekedar diberi wahyu
tanpa ada komunikasi timbal-balik.42
Artinya, komunikasi ini
memungkinkan adanya kemampuan Nabi untuk berijtihad terhadap
permasalahan yang ia hadapi dengan cara berkomunikasi dengan
Tuhan jika memang Nabi menganggap bahwa komunikasi itu
dibutuhkan.
Selain berbagai permasalahan kenabian di atas, Mus}t}afa> S{abri>
juga memiliki catatan yang cukup komprehensif terhadap berbagai
gagasan modern terhadap pendefinisian Nabi. S{abri> pun banyak
memberi kritikan kepada tokoh-tokoh masa itu seperti Ra>shid Rid{a>
(1865-1935), Fari>d Wajdi> (1875-1954), Zaki> Muba>rak, Muh{ammad
H{usain Haikal (1888-1956), hingga Mah{mu>d Shaltu>t (1893-1963) baik
mengenai mukjizat, kenabian maupun kerasulan yang pada akhirnya
berimplikasi erat terhadap keberadaan dan posisi ijtihad dalam diri
Nabi Muhammad. Selain itu, kedalamannya terhadap kajian kenabian
41
Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa
Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48,
no. 1 (2009) : 11. 42
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Turath, 1981), Juz 4, 152.
11
juga menjadi bahasan dalam ilmu kalam yang S{abri> geluti. Karena itu,
ia juga ikut membahas masalah mazhab seperti pada al-Maturi>di> (w.
333 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H) dan al-Baqillani> (w. 403 H). Hal ini
tentu menjadi kajian yang cukup komprehensif dalam mengkaji
pemikiran kalam sabri lebih dalam tentang kenabian, terutama ijtihad.
Namun demikian, karya-karya S{abri> tentang kenabian terutama
terkait ijtihad Nabi ini masih berserakan minimal pada tiga karyanya
yakni: pertama Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-
‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath,
1981), kedua Al-Qawl Al-Fas{l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi’l-Ghayb
Wa-Allad{i>na La> Yu’minu>n (ttp: Dar al-Salam, 1905) dan ketiga
Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar (Kairo: Matba’ah al-
Salafiyah, 1352 H).
Dengan demikian, penelitian mengenai gagasan Ijtihad Nabi
Muhammad Saw dalam perpektif Mus}t}afa> S{abri> dalam rangka analisis
relasi akal dalam bentuk ijtihad Nabi dan Naqd al-Matn ini menjadi
penting adanya sebagai tolak ukur atas otoritas hadis Nabi. Selain
menjadi bacaan tersendiri dalam studi ilmu kalam tentang kenabian,
sebenarnya membahas tentang ijtihad Nabi tidak akan lepas dari dua
konteks yang berbeda. Pertama, adalah hadis sebagai bagian dari Nabi
selain Alquran yang menjadi pedoman bagi umat Islam. Kedua, adalah
fikih karena memang ijtihad Nabi berimplikasi baik langsung maupun
tidak terhadap keberagamaan umat Islam secara menyeluruh.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari apa yang dipaparkan sebelumnya terdapat beberapa
masalah krusial yang terkait dengan posisi ijtihad Nabi dalam
pemikiran Islam. Pertama, berkaitan dengan interfensi wahyu dalam
ijtihad Nabi sebagai bagian dari sifat kemaksuman Nabi. Dengan
kemaksumannya, bagaimanapun Nabi tidak mungkin berbohong atas
suatu tindakan baik yang berkaitan dengan agama tak terkecuali juga
yang berkaitan dengan dunia. Memisahkan adanya ijtihad yang
diterima sebagai bagian dari ajaran agama dan menolak sebagian lain
tentu perlu batasan-batasan yang jelas agar tidak disalahgunakan.
12
Kedua, masalah yang cukup terkait dengan masalah pertama adalah
kedudukan otoritas hadis sebagai bagian dari ajaran Islam yang
bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Karena yang paling tahu tentang
perintah Allah tentu adalah rasul-Nya, dan dengan demikian apakah
ijtihad rasul dalam hadis merupakan bagian dari apa ajaran Allah?
Ketiga, respon sahabat terhadap ijtihad yang dilakukan Nabi.
Hal ini menjadi penting bukan hanya karena Sahabat yang pertama
langsung berkomunikasi dengan Rasul, namun respon ini juga bisa
menunjukkan apakah sahabat serta-merta mengikuti segala apa yang
diungkapkan Nabi ataukah memilih antara yang memang wahyu dan
gagasan Nabi pribadi.43
Keempat, masalah posisi Nabi yang hanya
mengantar agama Allah tanpa melakukan melakukan intervensi
terhadap isi agama itu, ataukah ia adalah mediator yang
membahasakan perintah Tuhan kepada manusia. Karenanya, ijtihad
pun dilakukan guna memudahkan manusia untuk mengetahui perintah
Tuhannya. Kelima, adalah tentang hikmah di balik perdebatan tentang
ada dan tidaknya ijtihad dalam diri seorang Nabi. Hikmah ini
memungkinkan untuk menemukan adanya titik temu antar pemahaman
yang menolak akan adanya ijtihad dalam diri Nabi dan mereka yang
membolehkan adanya ijtihad dalam diri Nabi.
Terakhir, keenam adalah sosok Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954),
baik sebagai seorang muhaddis,44
maupun sarjana yang menulis banyak
kajian dan kritikan terkait masalah kenabian, mukjizat dan akal dalam
pandangan sarjana modern.
2. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas tentunya tidak semua masalah
akan dikaji dalam tesis ini. Penulis harus melakukan pembatasan.
43
Di sinilah pentingnya untuk mengetahui asbab wurud sebuah hadis
terlebih perlu tidaknya ungkapan Nabi itu dicatat atau tidak oleh para Sahabat.
Lihat, ‘Amar bin ‘Abdullah Nasir ‘Ulwan, “Tahli>l Asba>b Ihmal Wuru>d al-H{adi>th wa
Ahammiyatu Ma’rifatih fi> Fahmi Maqa>sid al-Tashri>‘.” Al-Bayan, Journal of Quran and Hadith Studies 7 (2009) : 4.
44Ia telah menjadi Profesor bidang hadis pada 25 Desember 1918. Lihat,
Mehmet Kadri Karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mus}t}afa> S{abri>
Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution”, 40.
13
Terlebih, tulisan ini akan memotret bagaimana pemahaman Mus}t}afa>
S{abri> (1869-1954). Untuk itu pembatasan yang mungkin dilakukan
tentang keberadaan ijtihad Nabi dalam Mus}t}afa> S{abri> serta
implikasinta terhadap otoritas hadis sebagai bagian dari ajaran Agama.
Namun, pastinya tidak menutup kemungkinan permasalah lain di atas
juga akan tetap disinggung karena memang saling berkaitan dan
memang diperlukan pembacaan yang komprehensif untuk menemukan
jawaban yang lebih argumentatif.
3. Rumusan Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa perdebatan tentang ijtihad Nabi
pasti memiliki implikasi yang besar terhadap ajaran Islam. Oleh karena
itu, sosok Mus}t}afa> S{abri> yang ikut serta membincangkan dalam
masalah ini perlu dikaji dan ditelaah untuk menemukan sebuah konsep
ijtihad yang lebih bisa diterima. Untuk itu, sekurang-kurangnya dua
pertanyaan penting yang bisa diajukan. Pertama, bagaimana
sebenarnya titik temu perdebatan keberadaan ijtihad Nabi Muhammad
Saw., terutama yang dilakukan oleh Mus}t}afa> S{abri>? Kedua, implikasi
terhadap ada dan tidaknya ijtihad Nabi terhadap otoritas hadis sebagai
ajaran Islam baik secara yuridis, teologis, maupun filosofis?
C. Studi Terdahulu
Kajian tentang posisi ijtihad Nabi dalam pemikiran Islam telah
dilakukan oleh para pakar cukup banyak antara lain:
Pertama, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallama,
karya ‘Abd al-Jali>l I<sa ‘Abd al-Nasr (Kairo: Dar al-Ih}ya‘ al-‘Arabi,
1950). Kedua. Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah}ka>m al-
Shar‘i>yah karya Muh}ammad Sulaiman al-Ashqar (Kuwait: Maktabah
al-Manar, 1976). Ketiga Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala > al-Ah}ka>m
karya Muh}ammad Arush ‘Abd al-Qadi>r (Jedah: Dar al-Mujtama’, tth).
Keempat, Prophethood from the Perspective of The Qur’an karya J.W.
Fiegenbaum, (Thesis di McGill University, 1973). Kelima, al-Sunnah
Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}a>rah karya Yusuf al-Qard{a>wi> (Kairo:
Da>r al-Shuru>q, cet. 3, 2002). Dan keenam, Prophecy in Islam:
14
Philosophy and Orthodoxy karya Fazlur Rahman (London: Allen and
Ulwin, 1958)
‘Abd al-Jali>l Isa> memberikan karya yang cukup ringkas namun
cukup komprehensif membahas tentang ijtihad Nabi. Buku setebal 180
halaman ini tidak hanya membahas tentang ijtihad yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad semata namun juga membahas tentang ijtihad
yang dilakukan oleh para nabi dan rasul yang lain. Mengawali
kepentingan pembahasan ijtihad sebelum memberikan pengantar ‘Abd
Jali>l Isa> memberikan secara khusus penghargaan kepada ‘Uma>r ibn al-
Khatta>b yang menjadi inspirasi terhadap pentingnya ijtihad dalam
Islam.45
Bagi ‘Abd al-Jali>l Isa> ijtihad adalah merupakan ciri dari sifat
kemanusiaan yang hal itu ada pula dalam diri para nabi dan rasul, tentu
tak terkecuali nabi Muhammad.46
Dalam karya ini ‘Abd al-Jali>l
nampaknya ingin mempertentangkan antara yang sepakat tentang
adanya keberadaan ijtihad dalan diri para Nabi seperti Ibn Taimiyyah
(w. 728 H), Qad}i> ‘Iya>d{ (w. 544 H)), dan Ibn Khaldu>n (w. 808 H)
dengan yang tidak sepakat terhadap adanya ijtihad dalam diri para
Nabi seperti al-Jubba’i> (w. 303 H). Namun kesimpulan akhir dari ‘Abd
al-Jali>l Isa> tetap mengungkapkan bahwa ijtihad tetaplah ada dalam diri
seorang rasul karena bagaimanapun hal ini adalah suatu yang
dibolehkan dari nas Islam sendiri yakni Alquran dan sunah.47
Muh}ammad Sulaima>n al-Ashqa>r memberikan deskripsi
terhadap berbagai tindakan dan keseharian Nabi. Tindakan-tindakan
tersebut tidak hanya yang menggambarkan terhadap sosok Nabi
sebagai utusan dan pengajar agama dari Allah, namun juga sebagai
sosok manusia biasa yang bertingkah sebagaimana umumnya manusia.
Secara umum Sulaima>n al-Ashqa>r menilai bahwa tindakan Nabi
apapun itu adalah bagian dari ajaran kehidupan manusia. Bagi al-
Ashqa>r agama bukan hanya bentuk peribadatan namun juga keseharian
45
‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam (Kairo: Dar al-Ihya’ al-‘Arabi, 1950), 3.
46‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa
Sallam, 19. 47
‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam, 167.
15
manusia. Karena itu perbuatan Nabi baik itu berupa ijtihad dari Nabi
ataupun wahyu Allah adalah bagian yang harus diikuti karena
bagaimanapun, menurut al-Ashqa>r, bahwa yang paling tahu dengan
hukum Allah bagi manusia adalah Nabi itu sendiri.48
Namun demikian
bukan berarti segala tindakan nabi menjadi keharusan untuk diikuti,
hal ini karena memang karena Nabi sendiri memberitakan tentang hal
yang wajib, sunah, mubah hingga yang haram dilakukan.49
Artinya,
bagi Sulaima>n al-Ashqa>r, kewajiban seorang muslim adalah dengan
mengikuti perintahnya dan bukan secara buta mengikuti tindakan Nabi
tanpa tahu Nabi menyuruh untuk mengikuti atau tidak.50
Muh}ammad al-‘Aru>siy ‘Abd al-Qad>ir hampir sama dengan
Sulaiman al-Ashqa>r telah mengurai tentang tidakan fi‘liyah Nabi. Bagi
al-Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir menilai bahwa kemaksuman Nabi
mengindikasikan adanya penjagaan terhadap kesalahan tindakan,
namun Nabi sebagai manusia tetap memiliki hak atas nafsu dan lupa.
Artinya, maksum bukanlah berarti tidak pernah ingin atau pernah
berbuat kesalahan, namun maksum berarti dijaga untuk tidak
melakukan kesalahan, walaupun pada saat tertentu Nabi ingin dan
pernah melakukannya. Tentunya, juga terkait dengan ijtihad Nabi yang
dimungkinkan adanya kesalahan namun sebelum kesalahan itu
berlanjut maka Allah –sebagai sifat kemaksuman Nabi– akan
mengingatkan beliau.51
Karya J.W. Fiegenbaum merupakan disertasi pada tahun 1973
di McGill University. Kajiannya terhadap konsep kenabian yang
terdapat dalam Alquran menunjukkan bahwa kenabian adalah wujud
48
Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m al-Shar’iyah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamy, 1976), 202.
49Berbagai pendapat Nabi itulah yang kemudian dimaknai ijtihad Nabi.
Karenanya, dalam hal Ijtihad agama secara umum Nabi telah melakannya lebih dulu
dari pada ulama. Lihat, Al-Jami>ly, Kha>lid Rashid, “al-Ijtiha>d min ‘Asri al-Rasu>l
Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam Ila> Dhuhu>ri al-Maz{a>hib al-Fiqhiyyah.” Research and Islamic Studies (2006) : 40.
50Berbagai contoh bisa dilihat di Muhammad Sulaima>n al-Ashqar, Af‘a>l al-
Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m al-Shar‘iyah, 385-402. 51
Muhammad ‘Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> al-Ah{ka>m (Jeddah: Da>r al-Mujtama’, tth), 25.
16
eksistensi keberadaan Tuhan dan perintah-Nya.52
Namun, bagi
Fiegenbaum, kenabian dalam Alquran hanya bisa dinilai dengan
adanya Alquran itu sendiri sedang pendapat Nabi dalam hadis adalah
interpretasi di luar Alquran dan di luar sisi kenabian atau wahyu.53
Karena itu, ijtihad nabi merupakan respon pribadi Nabi terhadap
keadaan sekitar yang bisa saja keliru karena memang tidak adanya
acuan wahyu yang mendampinginya atau berkenaan dengan keadaan
tersebut.
Karya Yusuf al-Qarad{a>wi> dalam bagian pertama dari karya
setebal 312 ini mengetengahkan cukup panjang perdebatan tentang
kedudukan kenabian dalam diri Muhammad Saw. Dalam sisi tertentu
Nabi adalah seorang manusia biasa yang munkin bisa marah, benci,
maupun salah. Hal ini dibuktikan sendiri tentang adanya hadis nabi
yang mengingatkan bahwa beliau adalah selain sebagai nabi juga
sebagai manusia biasa.54
Adapun tentang ijtihad Nabi, pada bab yang
sama al-Qard{a>wi> juga menyampaikan bahwa perdebatan tentang ada
dan tidaknya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi menunjukkan bahwa
Nabi bisa saja melakukan ijtihad dalam hal permasalah dunia, namun
tidak dalam masalah agama.55
Karya Fazlur Rahman memang tidak cukup tebal, namun bagi
para peminat kajian kenabian buku ini cukup otoritatif dalam
pembahasan tersebut. Rahman, menulis dalam buku ini bukan hanya
dari sisi makna kenabian dalam Islam semata, namun ia juga
melakukan eksplorasi terhadap pemahaman filsafat Islam tentang
kenabian. Karenanya, buku ini kemudian menjadi catatan penting
tentang salah satu perbedaan inti dari filsafat barat dan Islam yakni
tentang kenabian. Di sisi lain, dalam buku tersebut Rahman juga
membeberkan kedudukan akal dalam tradisi filsafat Islam yakni al-
52
J.W. Fiegenbaum, “Prophethood From The Perspective of The Qur’an.”
(Montreal: McGill University, 1973), iii. 53
J.W. Fiegenbaum, “Prophethood From The Perspective of The Qur’an,”
241-243. 54
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah
(Kairo: Dar al-Suru>q, cet. 3, 2002), 74. 55
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.
17
Fara>bi> (w. 339 H) dan Ibn Si>na> (w. 428 H). Terkait dengan ijtihad
Nabi, Rahman mengakui bahwa akal nabi berada pada posisi di atas
akal manusia, yang disebut dengan akal aktif. Karenanya, dengan
mengutip dari Ibn Si>na>, Rahman mengatakan bahwa nabi telah
dianugerahi akal intelektual yang luar biasa. Dengan akal tersebut
Nabi mampu mengetahui hal ghaib dengan dirinya sediri tanpa
bantuan dari sumber eksternal.56
Meskipun hal ini terkesan hampir
sama dengan kedudukan para filosof, Rahman memberikan catatan
bahwa perbedaan nabi dan filosof yang paling inti adalah kekuatan
imajinatif. Imanijanif ini bukanlah hayalan, namun imajinatif murni
tentang Ilahi, yakni wahyu.57
Dengan demikian ijtihad Nabi tidaklah
mungkin terlepas dari akal aktif (wahyu) itu sendiri.
Sedangkan tesis yang penulis teliti menghendaki adanya
bangunan dasar terhadap ijtihad dan keterkaitannya dengan kenabian
Muhammad terkhusus otoritas hadis. Ijtihad tentu adalah bagian dari
olah logika manusia, namun apakah kemudian olah logika Nabi sama
dengan olah logika yang dilakukan oleh manusia biasa. Hal ini menjadi
titik tolak keharusan untuk mengikuti atau tidaknya ijtihad yang
diberikan oleh Nabi baik itu terkait dengan agama maupun tidak. Yang
nantinya tidak kemudian lari kepada adagium awal yang selalu
mempertanyakan dan mengatakan apakah kebenaran dari Nabi adalah
selalu wujud ketuhanan atau wahyu sedang kesalahan yang ada dan
pernah dilakukan dalam berbagai ijtihadnya adalah selalu wujud dari
kemanusiaan beliau?
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Tujuan penilitian ini dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan
umum dan tujuan khusus.
56
Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan
Ortidoksi. Terj. Ahsin Muhammad. (Bandung: Mizan, 2003), 49; Idris Zakaria,
“Ketuhanan, Kenabian dan kebahagiaan Menurut Ibn Sina.” Islamiyyat 32 (2010) :
46 dan 49. 57
Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, 56.
18
1. Tujuan umum
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan umum, antara lain:
a. Memberikan gambaran sosok Mus}t}afa> S{abri> (w. 1954) sebagai
seorang pemikir Muslim modern.
b. Mengelaborasi gambaran tentang ijtihad Nabi dalam perpektif
Mus}t}afa> S{abri>.
c. Menelaah secara seksama dampak keberadaan ijtihad Nabi
terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam.
2. Tujuan Khusus
Sebagaimana tergambar dalam latar belakang masalah,
penulisan ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
a. Memformat gagasan dan konsep Mus}t}afa> S{abri> tentang wahyu
dalam ijtihad Nabi dan segala anti-tesis terhadap pemikiran
modern tentangnya. Secara mendalam penulis akan menelaah
karya monumental Mus}t}afa> S{abri> yakni Mawqif al-‘Aql wa al-
‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba >dihi al-Mursali>n,
(Beirut: Da>r al-Ih}ya’ al-Tura>th, 1981) terutama pada bab tiga
dalam buku tersebut yang menggambarkan kedudukan akal
dalam kenabian Muhammad Saw.
b. Menemukan benang merah dalam perdebatan kedudukan
ijtihad Nabi sebagai wahyu ataukah kecerdasan seorang
manusia.
c. Menelaah kapan dan dalam hal apakah nabi mengharuskan atau
melakukan ijtihad.
d. Mengkaji dampak keberadaan ijtihad Nabi terhadap otoritas
hadis yang berkonsekuensi pada pemikiran dan hukum Islam.
Hal ini terlihat dari yang tergambar dalam respon Sahabat
terhadap ijtihad Nabi hingga ijtihad ulama kontemporer.
Mengenai signifikansi atau manfaat penelitian ini memiliki
signifikansi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis penelitian ini
akan memberikan khazanah ilmiah terhadap ilmu pengetahuan dan
memberikan kontribusi ilmiah dalam bentuk deskripsi analisis
mengenai pemikiran Mus}t}hafa> S{abri> sebagai pemikir Islam modern.
19
Secara praktis, tentunya penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan terhadap penelitian lebih lanjut terutama tentang
kedudukan ijtihad dalam diri seorang Nabi Muhammad dengan
berbagai dampaknya dalam tradisi keilmuan Islam baik tafsir, hadis,
maupun fikih.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi naskah (content analysis)
menyangkut kajian tentang pemikiran Shaikhul Islam Mus}t}afa> S{abri>
baik yang berasal dari sumber primer maupun sekunder. Sumber
primer yang dimaksud adalah karya Mus}t}afa> S{abri>, sedang sekunder
adalah karya orang lain baik mengenai Mus}t}afa> S{abri> maupun tentang
permasalah ijtihad Nabi yang dikaji dalam penelitian ini. Peneliti juga
menggunakan metode deskriptif-analitik karena penelitian ini
merupakan analisis dan kritik terhadap pemikiran Mus}t}afa> S{abri>.
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah
metode interpretativ yakni metode yang memberikan kebebasan yang
luas bagi peneliti dalam menafsirkan teks. Selain itu, metode inilah
yang dianggap cocok dengan keseluruhan kajian dalam penelitian ini
yang memang bersifat analitik, terkhusus masalah hadis.
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah
sosiologis-teologis dan filosofis-yuridis. Hal ini karena yang dikaji
adalah ijtihad Nabi dalam kajian Mus}t}afa> S{abri> yang tidak lepas dari
aspek sosilogis dan doktriner agama. Pendekatan sosiologis-teologis
digunakan untuk mengkaji makna kenabian Muhammad Saw yang
terikat dengan aspek sosiologis kemanusiaannya. Adapun pendekatan
filosofis-yuridis digunakan untuk menggambarkan dampak ada
ataupun tiadanya ijtihad Nabi dalam pemikiran dan hukum Islam.58
58
Bagaimanapun pendekatan studi hadis tidak akan lepas dari konteks
hukum Islam sebagai dampak dari sebuah ajaran, karenanya studi hadis besar
kemungkinannya untuk bersentuhan kepada fiqih. Lihat, Duderija, Adis. “A Pradigm
Shift in Assesing/Evaluating the Value and Significance oh Hadith in Islamic
Tought: From ‘Ulum al-Isnad to ‘Usul al-Fiqh.” Arab Law Quarterly 23 (2009) : 4.
20
Selanjutnya, penelitian ini tidak meninggalkan kajian kritik
hadis sebagai disiplin ilmu dalam tesis ini. Hal ini diutamakan terkaiat
kritik matan hadis yang banyak dibahas pada muh{addith kontemporer.
2. Sumber Data
Sumber primer dalam penulisan ini adalah karya Mus}t}afa> S{abri>
yang mengkaji baik secara langsung maupun tidak tentang ijtihad Nabi
Muhammad Saw dan tentunya juga karya tentang biografi seorang
Mus}t}afa> S{abri> itu sendiri.
Karya-karya Shaikhul Islam Mus}t}afa> S{abri> yang dibahas dalam
tulisan ini antara lain adalah:
Pertama, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-
‘A<lami>n wa ‘Iba >dihi al-Mursali>n, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath,
1981). Buku ini memberikan gambaran secara komprehensif tentang
kedudukan akal, ilmu pengetahuan, dan dunia dalam doktrin Islam
yang tergambar dari firman Allah Saw.dan para nabi-Nya. Kedua, Al-
Qawl al-Fas{l baina al-Ladhi>na Yu’minu>n bi’l-Ghaib wa-Alladhi>na La>
Yu’minu >n (ttp: Da>r al-Sala>m, 1905). Buku ini berisi kritik terhadap
pandangan Muh{ammad ‘Abduh (1849-1905), Rashid Rid{a (1865-
1935), Farid Wajdi> (1875-1954), Zaki> Muba>rak, Muh}ammad H}usain
Haika>l (1888-1956) dalam hal mukjizat, kenabian dan kerasulan.
Dalam karya ini S{abri> juga mengkoreksi pendapat Mahmud Shaltu>t
(1893-1963) tentang pendapatnya dalam hal pengangkatan Isa as ke
langit. Ketiga, Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar (Kairo:
Matba’ah al-Salafiyah, 1352 H). Buku ini adalah sebuah analisis
komparasi terhadap berbagai mazhab kalam dalam Islam. Mazhab
tersebut dirinci mulai dari yang paling awal seperti Mu’tazilah, al-
Ash’a>ri (w. 324 H), al-Maturidi> (w. 333 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H), al-
Baqillani> (w. 403 H), hingga Muh{ammad ‘Abduh (w. 1323 H) dan juga
beberapa pemahaman Barat tentang keyakinan, ketuhanan dan takdir
manusia.
Untuk biografi dari Mus}t}afa> S{abri> penulis mengambilnya dari
beberapa tulisan diantaranya: petama, Mehmet Kadri Karabela, One of
The last Ottoman Syaikhulislam, Mus{t{afa> Sabri> Efendi> (1869-1954):
His Life, Works, and Intellectual Contribution (Thesis on Institute of
21
Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003). Kedua, Mufarrih}
Sulaima>n al-Qawsi>, as-Shaikh Mus}t}afa> S{abri> wa Mawqifuh min al-
Fikr al-Wafi>d (Riyad: Markaz al-Ma>lik Fais}a>l, 1997). Ketiga, tulisan
dalam jurnal oleh Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and
Miracles: Mustafa Sabri’s response.” Journal of Islamic Studies 48, no.
1 (2009).
Sumber sekunder dari penulisan ini didapat dari karya atau
penelitian terdahulu yang membahas ijtihad Nabi Saw. dan Kenabian
dalam tradisi Islam. Baik yang menyepakati adanya ijtihad pada diri
Nabi maupun yang mengkritisi pendapat bahwa nabi pernah berijtihad
tanpa tuntunan wahyu.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Seluruh data yang ada baik dari sumber primer maupun
sekunder kemudian dikumpulkan secara seksama untuk kemudian
dianalisis konteks maupun peranannya dalam memberikan penjelasan
terhadap ada dan tidaknya ijtihad dari Nabi Muhammad Saw. Dari
data yang diperoleh kemudian akan dilakukan pengkajian terhadap
dampak dan respon dari umas Islam secara keseluruhan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk menberikan gambaran apa yang dibahas dalam tesis ini,
penulis perlu mengetengahkan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I adalah bab pendahuan yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah, perumusan, studi terdahulu yang relevan,
tujuan dan signifiikansi penelitian, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II ditulis sebagai landasan teoritis penelitian yang membahas
tentang problematika makna kenabian dalam diri Nabi
Muhammad dengan berbagai kaitannya terhadap pemikiran
Islam. Bab ini juga membahas tentang kaitan hadis sebagai
bagian dari mukjizat Nabi. Hingga, membahas tentang
kedudukan hadis Nabi sebelum menerima wahyu Alquran.
Bab III merupakan bab inti pertama yang memberikan gambaran
sosok Mus}t}afa> S{abri> dengan berbagai alam pikirannya dan
22
gagasannya mengenai ijtihad Nabi Muhammad Saw. Dalam
bab ini akan menunjukkan hadis-hadis yang bernuansa
ijtihad serta berbagai respon yang dilakukan sahabat
terhadap penerimaan ijtihad tersebut. Di sisi lain, dalam
bab ini juga akan mengetengahkan posisi wahyu dalam
hadis Nabi sebagai konsekuensi terhadap ada dan tidaknya
ijtihad.
Bab V adalah bab inti kedua yang membahas tentang implikasi
keberadaan ijtihad Nabi Muhammad terhadap otoritas hadis
sebagai sumber ajaran Islam. Dalam bab ini terbagi menjadi
tiga bagian; pertama, interrelasi perbuatan Nabi dan hadis
sebagai sumber hukum. Kedua, universalitas hadis dan
ijtihad yang lokal-temporal. Dan ketiga, gagasan terhadap
adanya respon sahabat dalam penerimaan ijtihad Nabi
sebagai metode kritik matan hadis.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran
yang peneliti ajukan dalam upaya pengembangan penelitian
dan keilmuan.
23
BAB II
KENABIAN: ANTARA
RAHMAT ALLAH SWT DAN KECERDASAN AKAL MANUSIA
Membahas ijtihad nabi memerlukan fondasi awal tentang
makna kenabian itu sendiri. Karena hal paling mendasar dalam kajian
Islam terutama ilmu kalam mencakup tiga hal yakni ila>hiyyat,
sam‘iyyat dan nubuwwat.1 Yang terakhir itulah yang menjadi pokok
pembahasan terhadap kedudukan ijtihad pada diri seorang nabi. Secara
etimologi nabi berasal dari kata atau yang secara umum
terambil dari kata yang berarti (berita atau kabar).2 Maka
adalah yakni yang diberikan kabar tentang Allah Swt.
Ada pula yang memaknainya dengan kata yakni
menaikkan dan memunculkan. Artinya, bahwa nabi adalah orang yang
dinaikkan derajatnya dibandingkan manusia yang lain.3
Adapun dari segi terminologi nabi diartikan sebagai manusia
yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada makhlukNya untuk
menyampaikan apa yang diwahyukan padanya bagi mereka. Sebagai
kemudahan Allah kepada hambanya, maka seorang nabi diutus dari
jenis manusia itu sendiri agar mudah ditiru dan diikuti segala perintah
dalan larangannya.4 Jika diperintahkan untuk menyampaikan wahyu
1Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.” Islamic Studies 48, No. 1 (2009) : 10. Menurut Mus}t}af>a S{abri>
tema kenabian dalam ilmu kalam biasanya diikuti dengan wujud eksistensi tuhan dan
berujung pada adanya hari kebangkitan. Karena itu Nabi adalah sosok kunci ajaran
sebuah agama. Lihat Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Da>r al-Ih {ya’ al-Turath, 1981) Juz 3, 160.
2H{aki>m‘Abd Na>s}ir. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah.”
Ada>b al-Ku>fa 1, (2011) : 215. 3Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z
‘Inda al-Muslimi>n.” Journal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 112; Baik Nabi
maupun rasul adalah perwujudan dari otoritas agama terhadap diri manusia. Karena,
mereka adalah yang membawa wahyu Tuhan kepada manusia untuk mengajarkan
nama dan peranan Tuhan. Lihat, Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood
in The Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashid Rid{a.” Islamic Studies 24, no. 2
(1985) : 139. 4QS. Al-Furqa>n [25] : 7-8.
24
tersebut maka ia disebut rasul, namun jika tidak ada perintah untuk
menyampaikan maka ia disebut nabi.5
Adapun kapan dimulainya Muhammad Saw sebagai Nabi, Ibn
Hisha>m (w. 213 H) menyebut dalam kitabnya bahwa kenabian
Muhammad Saw dimulai sejak pertama kali ia mengalami mimpi yang
benar atau Mimpi inilah yang menurut cerita ‘Aisyah
bahwa Nabi tidak pernah berimpi sebagaimana mimpi itu yang
sungguh terang seperti terangnya fajar pagi. Sehingga, Allah kemudian
menjadikan Muhammad Saw orang yang suka menyendiri.6
Sebagai bagian dari keimanan ajaran Islam, Nabi mempunyai
posisi sentral untuk menghubungkan manusia dengan segala perintah
Allah Swt. Nabi yang muncul di tengah masyarakat kadang tidak
sekedar diyakini sebagai bagian dari kepercayaan agama atau
keyakinan teologi namun juga dilihat dari sisi kecerdasan akalnya
sebagai manusia biasa. Untuk itu dalam bab ini akan mengetengahkan
empat bagian yang fokus membahas persoalan tersebut. Pertama,
kedudukan Nabi dalam Alquran dan sunah. Kedua, historiografi
pandangan ulama tentang kenabian. Ketiga, hadis menjadi bagian dari
mukjizat kenabian. Keempat, hadis Nabi sebelum menerima wahyu
Alquran.
A. Kedudukan Nabi dalam Alquran dan Sunah
Secara umum nabi adalah media yang menghubungkan Tuhan
kepada manusia. Oleh karena itu, memahami kenabian dalam
perpektif Alquran setidaknya memiliki dua alasan penting yakni
keyakinan terhadap adannya Allah sebagai Tuhan dan kedua
keyakinan sebagai ciptaan Tuhan.7 Sebagai makhluk ciptaanNya
sudah seharusnya memahami apa yang diinginkan Allah sebagai titah
sang Khalik kepada makhlukNya. Sedang manusia sebagai makhluk
terbatas tidak mungkin langsung berkomunikasi dengan Tuhan, tanpa
5H{aki>m ‘Abd Na>s}ir. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah,” 215.
6‘Abd al-Ma>lik ibn Hisham, al-Si>rah al-Nabawiyah (Beirut: Dar ibn Hazm,
2009) 216. 7J.W. Fiegenbaum, “Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” (Tesis
di McGill University, Montreal, 1973), 196.
25
kehendak Tuhan itu sendiri. Sehingga, Nabi diyakini sebagai
kehendak Tuhan untuk memediasi persoalan ini.
1. Nabi dalam Alquran
Meskipun seringkali diperdebatkan tentang perbedaan antara
nabi dan rasul,8 namun harus difahami bahwa dalam Alquran
keduanya tidaklah memiliki banyak perbedaan. Bahkan, Alquran
menyebut pula dengan sebutan lain seperti sha>hid, mubasshir, nad{i>r,
da>‘i, dan sira>j muni>r 9. Sebutan itu tak lain adalah bentuk fungsi dari
kenabian itu sendiri. Al-Kha>zin menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
makna sha>hid berarti bahwa nabi berkewajiban menyampaikan apa
yang diberikan Allah, ada pula yang mengartikan sebagai saksi
terhadap semua makhluk di akhirat kelak. Mubasshir yakni pemberi
kabar gembira terhadap orang-orang yang percaya akan adanya surga.
Nad}i>r berarti memberi peringkatan kepada mereka yang tidak percaya
akan adanya neraka. Da>‘i artinya sebagai penyeru terhadap
ketauhidan Allah dan mentaati segala perintahNya. Sedang sira>j
muni>r adalah sebagai penjelas terhadap segala kejahilan, kesyirikan10
dan kegelapan kepada cahaya petunjuk dan kebenaran Allah.11
Untuk tugas yang tidak sederhana itulah para nabi kemudian
diberikan wahyu berupa Injil, Taurat, Alquran dan sebagainya.
Sehingga, dalam hal ini posisi wahyu menjadi penting terhadap ada
dan tidaknya kenabian pada diri seseorang. Bahkan, Allah
8Fazlur Rahman memahami bahwa secara umum Nabi adalah mereka yang
diberikan wahyu oleh Allah sedang rasul adalah mereka yang diperintahkan
menyebarkan ajaran Tuhan kepada manusia. Atau, ada pula yang memahami bahwa
Nabi adalah mereka yang tidak membawa shariah sedang rasul adalah yang
membawa shariah. Lihat, Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Minneapolis: Blibiotheca Islamica, 1994), 82; Lihat pula perbedaan ini pembahasan
panjang pada J.W. Fiegenbaum, Prophethood From The Perspective of The Qur’an
55-113. 9QS. Al-Ahzab [33]: 45-46, 55
54 10
Kesyirikan juga menjadi pokok tersendiri dalam perintah Nabi, lihat QS. Al-
Isra’ [17]: 23. 11
‘Ala>‘u al-Di>n ibn Muh{ammad al-Kha>zin, Luba>b al-Ta‘wi>l fi> Ma‘a>ni al-Tanji>l (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyah, 1515 H) Juz 3, 530.
26
menegaskan bahwa nabi hanyalah seorang manusia dan yang
membedakan dengan yang lainnya adalah wahyu yang diberikan
kepadanya.12
Bagi Fiegenbaum, alasan ini membuktikan bahwa
kenabian bukanlah hal yang dihasilkan dari kerja intelektual intuitif
manusia sehingga bisa dilakukan siapapun. Bahkan, nabi dalam
Alquran bukanlah orang yang dengan kebijaksanaanya sendiri
menyandarkan setiap hal tentang wawasan keagamaan.13
Hal ini
menjadi logis karena jika kenabian adalah hasil kerja akal manusia
maka sangat mungkin ditemukan kesalahan dan perbedaan. Dengan
demikian, tidaklah mungkin terjadi perdebatan dan bantahan terhadap
kebenaran yang dibawanya.14
Konsekuensi terhadap kebenaran yang dibawa nabi adalah
dengan mengikuti segala apa yang diperintahkannya.15
Bahkan,
Alquran menyebutkan bahwa kebertuhanan tidaklah ada manfaatnya
tanpa adanya ittiba‘ kepada nabi.16
Tentunya, mengikuti nabi
bukanlah menyembah nabi, karena seorang nabi tidak mungkin
memerintahkan untuk menyembah dirinya melainkan menyembah
Tuhan.17
Adanya kenabian memungkinkan manusia mencontoh sosok
yang sempurna dalam kebertuhanan. Maka pantaslah jika nabi seperti
Muhammad Saw diberikan mandat sebagai tauladan atau contoh
dalam setiap sisi kehidupan.18
Tentu tidak hanya prosesi ibadah saja
yang dicontohkan dan diperintahkan kepada Nabi namun juga
12
QS. Al-Kahfi [18]: 110. 13
J.W. Fiegenbaum, “Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” 200. 14
QS. Al-Nisa>’ [5]: 145, “Kami (Allah) utus rasul-rasul itu sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan agar tak ada alasan membantah Allah sesudah diutus para rasul tersebut….”
15 QS. Al-Nisa’ [5]: 80, “Barang siapa mentaati rasul berarti ia telah mentaati
Allah…” 16
QS. A<li Imra>n [3]: 31, “Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa kalian…”
17 QS. A<li Imra>n [3]: 79, “Tidak mungkin seorang yang Kami (Allah) beri
hikmah dan kenabian akan mengatakan kepada manusia, ‘hendaklah kalian menyembahku dan bukan menyembah Allah….”
18 QS. Al-Qalam [68]: 4; Al-Taubah [9]: 128; dan Ali Imran [3]: 159.
27
berbagai hal tentang akhlak, etika terhadap siapapun seperti orang
tua,19
saudara dan bahkan dalam hal bersuku bangsa.20
Malak Muh}ammad Tha>bit21
mencatat bahwa dalam Alquran
Allah memberikan ciri yang melekat pada diri seorang selain dalam
posisi menerima wahyu. Pertama adalah berjenis kelamin laki-laki
atau . Hal ini tercermin dari kata yang ada pada Alquran
yakni pada surat Yu>suf [12] ayat 10922
dan al-An’a>m [4] ayat 9.23
Kedua adalah terlepas dari kekurangan atau , baik dalam
bentuk kekurangan fisik maupun mental termasuk terhindar dari
kemaksiatan. Hal ini tercermin dalam Alquran Surat Ta>ha> [20] ayat
25-28 dan 3624
dan surat al-Anbiya>’ [21] ayat 83-84.
Ketiga adalah kebenaran atau . Maka, apapun yang
disampaikan oleh nabi dari Allah Swt. pasti benar adanya baik dalam
bentuk perkataan ataupun tindakan. Hal ini didasari pada surat al-
Najm [53] 3-4.25
Keempat adalah menyampaikan atau . Bahwa
nabi memiliki kewajiban menyampaikan risalah yang diberikan Tuhan
kepadanya tanpa mengurangi ataupun menambahinya.26
Hal ini
19
QS. Al-Isra>’ [17]: 22. 20
QS. Al-H{ujura>t [49]: 13. 21
Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami >d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-
I‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” 118-121 22“Kami (Allah) tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki
yang Kami beri wahyu kepadanya..” 23“Dan andaikata Kami (Allah) jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami
jadikan ia seorang laki-laki…” 24
Ayat ini memperlihatkan bagaimana doa Musa kepada Allah, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkan untukku urusanku, lepaskanlah kekakuan di lidahku supaya mereka mengerti perkataanku.” Hingga Allah pun
mengabulkannya dengan berfiman, “Sungguh telah diperkenankan permintaanmu hai Musa.”
25“Dan tidaklah yang ia (Muhammad) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu melainkan hanya wahyu yang diberikan padanya.”
26 Kewajiban ini tidak bisa disangkal karena memang pemyampiakan risalah
inilah tujuan utama seorang manusia disebut sebagai Nabi. lihat ‘Ali> al-S{abu>ni>, al-Nubuwwah wa al-Anbiya>’ (Beirut: Ali>m al-Kutu>b, 1405 H), 42.
28
tercermin dalam Alquran pada surat al-Baqarah [2] ayat 159.27
Kelima
adalah maksum atau , yakni terhindar dari kesalahan dan dosa.
Hal ini didasari pada ayat Alquran surat Yu>suf [12] ayat 32 dan surat
Hu>d [11] ayat 43. Terakhir keenam adalah cerdas atau .
Bagaimanapun seorang nabi tidak mungkin memiliki sifat kebodohan
karena mereka adalah orang-orang yang akan menyelesaikan
persoalan dalam msyarakat. Untuk itu kecerdasan dalam menghadapi
masalah dan menampilkan h{ujjah atau pendapat adalah sebuah
kewajiban adanya. Sehingga, hal ini pasti didasari dengan
kecerdasan.28
2. Nabi dalam Hadis
Sebagaimana difahami bahwa kenabian adalah miniatur
perintah Allah dan Muhammad adalah miniatur Islam. Dalam maksud
yang lebih panjang, mengimani kenabian adalah wujud awal mengenai
sosok Tuhan Allah dengan segala kekuasanNya. Sedang memahami
Muhammad dalam setiap gerak-geriknya adalah memahami ajaran
Islam dalam kehidupan. Karenanya, memahami Islam tidak hanya
sekedar dari Alquran semata karena memang nabi tidak sekedar
mengajarkan apa yang ada dalam Alquran, namun juga tampil sebagai
model Alquran.29
Model ini tentunya dengan berbagai aplikatif
kehidupan keagamaan tidak sekedar cara ibadah, namun juga pakaian,
tingkah laku, tutur kata dan sebagainya.
Kaharusan taat kepada Nabi tidak hanya dijelaskan dalam
Alquran melainkan juga ditegaskan oleh Nabi sendiri:
27“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang Kami (Allah)
turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk..”
28QS. Al-An’am [4]: 83.
29Abu> Abd al-Rah{ma>n al-Nasa>’i>, Suna>n al-Kubra> (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 2001) juz 10, 193. Hadis ini meriwayatkan ketika ‘Aisyah ditanya mengenai
akhlak Nabi, yang kemudian ia jawab, dengan kalimat, .
29
30
Nabi dalan hadis disebutkan berjumlah 313 dan rasul 124.000.31
Karena itu tidak ada manusia yang tidak lepas dari hidayah Allah. Di
sisi lain Alquran sendiri menegaskan setiap kaum pasti ada yang
dipilih menjadi utusan Allah.32
Namun Muhammad Saw dalam
hadisnya menyebutkan bahwa dirinyalah nabi yang terakhir dengan
analogi sebuah bangunan.33
Artinya, tidak patut mengakui adanya
nabi setelah Muhammad Saw.
Fungsi nabi dalam hadispun relatif sama dengan apa yang
tergambar Alquran. Bedanya, terletak ada sisi aplikatif sosok nabi
dalam kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari perilaku dan sejarah Nabi
sendiri di masyarakat. Di antara aplikatif yang paling mencolok
adanya adanya pembedaan terhadap kelebihan yang ada pada diri
Muhammad Saw yakni berupa mukjizat. Di antara mukjizat itu adalah
seperti mengelurkan air dari jari,34
membagikan makanan sedikit
kepada banyak orang dan sebagainya35
dan sebagainya. Inilah yang
memungkinkan untuk kemudian setiap orang sadar bahwa memang
Nabi Muhammad Saw bukanlah sosok menusia biasa.
30
Muh{ammad ibn Isma >‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{ (Kairo:
Da>r al-Tauq al-Najah, 1422 H) juz 9, 92. 31
Ah{mad ibn H{usain ibn ‘Ali > al-Baihaqi>, al-Suna>n al-Kubra> (Beirut: Da>r al-
Kutu>b al-‘Ilmi, 2003) juz 9, 7. 32
QS. Al-Nah{l [16]: 36; Fathir [35]: 24 dan al-Ra’d [13]: 7. 33
Muh}ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 4, 186;
Muslim ibn H{ajjaj al-Nisa>bu>ri, Sah{i>h{ Muslim (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Tutath, Tth)
juz 9, 1790. 34
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{,juz 5, 122 35
Muslim ibn al-H{ajja>j al-Nisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’,
tth) Juz 3, 1624.
30
B. Pandangan Ulama tentang Kenabian
Sebagai manusia yang berfikir, selalu ada pertanyaan-
pertanyaan yang sulit untuk dijawab lewat akal semata.36
Pertanyaan
seperti kehidupan sebelum manusia lahir, kehidupan sesudah mati dan
sebagainya memerlukan jawaban yang kadang tidak bisa dijawab
lewat rasional manusia dan hanya bisa dijawab melalui ajaran agama.
Sehingga, kedudukan wahyu menjadi penting adanya dan kenabian
adalah konsekuensinya. Karena itu, secara general Muh}ammad
‘Abduh (1849-1905) mengartikan nubuwwat atau kenabian sebagai
sesuatu yang memungkinkan manusia mengenal Allah dan memahami
perintahNya. Hal ini ditujukan agar manusia menggapai kebahagiaan
dalam hidupnya baik di dunia maupun akhirat.37
Bagi ‘Abduh nabi adalah manusia yang menempatkan diri
untuk menjelaskan tentang kebenaran baik teoritis maupun praktis. Ia
tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran dan tidak melakukan
sesuatu kecuali kebenaran. Hal ini terjadi secara alami bukan dari
hasil olah pikiran ataupun pembelajaran, murni lebih kepada perintah
Tuhan atau al-ta‘li>m al-Ila>hi.38
Abu> Bakar al-Baqilani>39
(w. 403 H) mencatat bahwa akal tidak
bisa menggapai kebenaran sesuatu atau mengetahui sebuah akhibat
dari sesuatu, karena itu untuk mengetahui tentang sebuah hukum tata
kehidupan tidak ada jalan lain selain wahyu.40
Adapun al-Ash’a>ry41
36
Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of
Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 152-143. Pertanyaan mendasar tentang
akidah inilah yang kemudian memunculkan pembahasan tentang kenabian pada
mayoritas ulama kalam baik tentang nubuwwah, risalah atau semacamnya yang
bersangkutan terhadap kenabian. Lihat, Faruk Terzic, “The Problematic of
Prophethood and Miracles…” 11 37
Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d (Kairo: Da>r al-Nasr, 1969) 81-82. 38
Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles...” 11;
Muhammad ‘Abduh, Ta’liqat Shaikh Muh}ammad ‘Abduh ‘ala> Sharh{i al-Dawwani li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyah (Cairo: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1292 H) 152.
39Dia adalah Abu> bakr al-T{ib ibn Muh{ammad ibn Ja’far. Lahir di Basrah
tahun 38 H. Seorang hakim dari para ulama kalam. Ia meninggal pada tahun 103 H. 40
Al-Baqila>ni>, Kita>b al-Tamhi>d, (Beirut: maktabah al-Syariqah, 1957) 324. 41
Dia adalah Abu> H{asan ‘Ali> ibn Isma>’il ibn abi> Basyar ibn Mu>sa > al-Ash’ary.
Lahir di Bashrah tahun 60 H dan wafat pada 124 H di Baghdad. Dia sempat belajar
mazhab Muktazilah sebelum memberikan gagasan kalam tersendiri.
31
(w. 324 H) menilai bahwa akal hanya bisa menilai sesuatu yang
tampak oleh indra, namun untuk mengetahui tentang agama dan
Tuhan tidak ada jalan lain kecuali wahyu. Karena itu, akal tidak bisa
mengetahui baik dan buruk suatu yang menjadi kewajiban kepada
Tuhan dan untuk mencapainya hanya dengan lewat wahyu yang
dibawa oleh para nabi.42
Namun demikian, Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954) menilai bahwa
yang dimaksud dengan nabi adalah sosok manusia yang memiliki
hubungan khusus kepada Tuhan. Hubungan ini digunakan untuk
menjawab segala rasionalitas manusia terhadap kebesaran Tuhan dan
segala ciptaanNya. Nabi menerima wahyu dariNya, di mana wahyu
itu lebih besar dari segala penemuan akal manusia. Kedudukan
manusia seperti ini bukanlah hasil dari pencapaian usaha manusia,
melainkan keutamaan dari Allah yang diberikan kepada hambanya
yang Ia pilih.43
Dalam hal ini S{abri> mengkritik keyakinan orang barat yang
banyak menyakini keberadaan Tuhan namun tidak terhadap
keberadaan Nabi. Terlebih bagi kaum Nasrani, Isa bukan sekedar nabi
namun Tuhan.44
Artinya, kenabian dalam Islam bertujuan
menunjukkan jalan manusia kepada Tuhan sedang dalam Nasrani,
kenabian dinilai sebagai perwujudan Tuhan kepada manusia.45
Rasionalitas adanya kenabian yang selama ini diperdebatkan
lewat ilmu kalam dinilai S{abri> kurang tepat. Hal ini karena masalah
kenabian –bagi S{abri>– dimasukkan dalam kategori sam‘iyya>t dan
bukan tersendiri dalam kategori nubuwwa>t.46 Sam‘iyyat berarti segala
42
Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami >d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-
I‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” 115. 43
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Juz 4, 152.
44Lihat Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-
‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 1, 114-115 juga pada Rashid Rid}a>, al-Wah}yu al-Muh}ammadi. 99.
45Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.” 15. 46
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 1, 24-25.
32
informasi Tuhan yang hanya bisa diambil dari wahyunya dan tidak
perlu dibuktikan kebenaran dan keberadaannya. Artinya, kenabian
adalah suatu yang tidak bisa dijelaskan secara nalar melainkan dari
Alquran dan hadis itu sendiri.47
Meskipun Nabi tidak terlepas dari konteks budaya masyarakat
pada masanya, setidaknya S{abri> (w. 1954) memberikan enam alasan
kenapa kemudian kenabian adalah Rahmat Allan dan bukan hasil
kecerdasan akalnya sendiri. Pertama, jika kenabian adalah hasil
kecerdasan akal, maka Nabi Muhammad pasti bukanlah yang terakhir
karena kecerdasan sangat bergantung pada kondisi suatu peradaban.
Kedua, jika Nabi Muhammad menganggap bahwa kenabiannya adalah
hasil dari kecerdasannya, maka ia tidak mungkin mengatakan bahwa
Alquran adalah wahyu melainkan hasil dari kecerdasannya sendiri.
Ketiga, kecerdasan Nabi Saw tidak menghendaki menyembah
kepadanya melainkan kepada Allah Swt. Keempat, tidak ada satupun
orang yang bisa mengupayakan untuk menjadi seorang nabi dengan
kecerdasannya melainkan pembenaran yang langsung datang dari
wahyu ataupun mukjizat. Kelima, Nabi tidak pernah melakukan
kesalahan terhadap apa yang diwahyukan kepada mereka karena
langsung didikte oleh Allah Swt. Dan keenam, hanya para nabi yang
bisa menentukan dan menggambarkan tentang ketuhanan dan cara
peribadatan.48
Karenanya, kecerdasan intelektual saja tidak cukup
tanpa adanya wahyu sebagai bagian tak terpisahkan dari kenabian.
Selain wahyu yang dibawa para nabi dari Allah, ada dua hal
yang menjadi perhatian dalam tema kenabian yakni mukjizat dan
kemaksuman. Mukjizat dianggap sebagai kelebihan yang
membedakan manusia biasa dengan nabi sebagai manusia pilihan
Tuhan yang penuh kekuasaan. Sedangkan, kemaksuman adalah wujud
kebenaran nabi yang tidak akan dan tidak mungkin melakukan
kesalahan dalam menyampaikan pesan Tuhan.
47
Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa
Sabri’s Response.” 15. 48
Lihat lebih lengkap pembahasan ini pada, Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa
al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Juz 4, 152-155.
33
1. Mukjizat
Mukjizat berasal dari kata () secara etimologi
diartikan yakni ketidakmampuan. berarti kelemahan
dalam melakukan sesuatu atau kebalikan dari mampu dalam berbuat.
Karnanya, mukjizat kemudian diartikan sebagai bukti kebenaran nabi
Muhammad Saw. terhadap risalahnya dengan cara menjadikan
ketidakmampuan orang Arab pada masa itu.49
Namun, yang menjadi
catatan adalah bahwa mukjizat bukan kemampuan nabi, melainkan
sekedar bukti. Karena itu, Muh{ammad ‘Abduh (w. 1905) menilai
bahwa yang dimaksud mukjizat adalah sesuatu yang rasional dan
tidak memunculkan kontradiktif dari hukum Allah. Sedangkan,
mukjizat adalah tindakan Allah yang muncul pada diri Nabi.50
Dengan
kata lain, mukjizat adalah penampakan kekuasaan Allah pada diri
mereka yang Dia kehendaki.51
Setidaknya ada dua alasan mengapa mukjizat dianggap sebagai
tindakan Allah dan bukan tindakan Nabi. Pertama adalah karena nabi
tidak bisa melakukan pengulangan terhadap mukjizat yang pernah
dilakukannya.52
Kedua segala tindakan keluarbiasaan itu tidak
dipelajari oleh nabi dari siapapun bahkan dari Allah sekalipun,
sehingga pengetahuan tentang keluarbiasaan () adalah
pengetahuan di luar diri Nabi. Bahkan pada faktanya mukjizat itu
sering dimunculkan hanya pada saat-saat kritis semata seperti nabi
49
Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-
I‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n,” 120. 50
Muh{ammad Rashid Rid}a> (1865-1935), Tafsi>r Alqura>n al-H{aki>m aw Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947) juz 1, 314-315.
51Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d, 79.
52Hal inilah yang membedakannya dengan sihir, ataupun bahkan kelebihan
lain dalam diri para ulama yang dalam hal ini baik ‘Abduh maupun Rashid Rid}a>
membedakan antara mukjizat bagi Nabi dan karamah bagi seorang ulama. Lihat,
Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad
‘Abduh and Rasyid Rida.” 150.
34
Musa as. membelah lautan,53
nabi Muhammad Saw. membelah
bulan,54
ataupun nabi Isa yang bisa bicara selagi bayi.55
Mus}t}afa> S{abri> juga menilai bahwa keberadaan mukjizat
penting bagi seorang Nabi adalah karena memang pengalaman
melakukan sebuah kemukjizatan juga merupakan sebuah bukti
eksistensi manusia sebagai seorang Nabi.56
Keberadaan mukjizat menjadi penting sebagai syarat
penerimaan pesan yang disampaikan para nabi. Karena itu seorang
nabi pasti memiliki mukjizat sebagai sesuatu yang di luar kemampuan
manusia sebagai bentuk kekuasaan Tuhan. ‘Abduh menilai bahwa
keluarbiasaan para nabi, kebenaran setiap ucapannnya, atau bahkan
tindakan mereka kepada manusia menihilkan kemungkinan manusia
untuk ragu dan menganggap mereka melakukan kesalahan.57
Mukjizat tertinggi nabi Muhammad adalah Alquran. Hampir
dipastikan tidak ada orang Islam yang tidak menyepakatinya. Di sisi
lain memang Alquran sendiri yang menyatakan bahwa ia adalah
kalam Allah yang tidak tertandingi oleh jin dan manusia sekalipun.58
2. Sifat Maksum
Maksum berasal dari kata yang berarti penjagaan atau
perlindungan. Nabi diyakini sebagai orang yang maksum berarti
bahwa nabi adalah orang yang terlindungi dari kesalahan dan dosa.
Dalam arti lebih panjang maksum memiliki dua sisi yakni intelektual
dan moral. Intelektual maksum berarti ia tidak mungkin melakukan
kesalahan terhadap apa yang ia sampaikan. Sedang moral yang
maksum berarti ia nabi tidak pernah melakukan sesuatu yang amoral
atau dosa.59
53
QS. Al-Syuara> [26]: 63. 54
QS. Al-Qamar [54]: 1. 55
QS. Al-Maryam [19]: 31-33. 56
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 25-26
57Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d, 86.
58QS. Al-Baqarah [2]: 23.
59Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of
Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 146.
35
Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Alquran telah
menyebutkan bahwa para nabi pun tidak lepas dari kesalahan dan
dosa. Hal ini dilihat dari ungkapan para nabi itu sendiri seperti nabi
Adam as. dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 35-36, nabi Musa as. pada
surat al-Qas}a>s} [25] ayat 15 juga nabi Sulaiman as. pada surat S{a>d [38]
ayat 30-34. Bahkan nabi Muhammad pun tidak lepas dari tindakan-
tindakan ini seperti pada surat al-Fath{ [48] ayat 2 dan surat
Muh{ammad [47] ayat 19.60
Yusuf H.R. Seferta mencatat bahwa gagasan maksum
sebenarnya tidak disebutkan baik dalam Alquran maupun hadis.61
Namun perintah terhadap ketaatan kepada nabi sebagai contoh dan
tauladan dalam Alquran seperti pada surat al-An’am [4] ayat 91, surat
al-Anbiya>’ [21] ayat 73 dan paling jelas pada al-Ah}za>b [33] ayat 21
semua itu memberikan konsekuensi terhadap keberadaan gagasan
maksum itu sendiri.
Dalam al-Wah{yu al-Muh{ammadi> Rashid Rid{a> mencatat bahwa
nabi dibebaskan dari kesalahan yang disengaja yang menyalahi hukum
Tuhan. Hal ini karena nabi adalah yang membawa hukum Tuhan itu
sendiri.62
Karena itu, Rid{a> menganalogikan bahwa nabi adalah
perumpamaan yang jelas dalam bentuk manusia kepada manusia agar
mudah dicontoh dan diikuti. Terlebih ketaatan kepada nabi adalah
sebuah keharusan yang disampaikan Tuhan.63
Namun demikian, Seferta menyebutkan bahwa Rid{a>
memberikan penjelasan lanjutan dalam tafsirnya bahwa meskipun
kemaksuman nabi itu sesuai dengan apa yang ada pala nalar dan teks
60
Akan tetapi Alquran sendiri telah menyebutkan bahwa Nabi adalah para
pemimpin dalam memberikan pengajaran terhadap wahyu dan kebaikan dalam
tindalakan. Sehingga kesalahan itu tidak mengganggu ataupun mengecilkan nilai
kenabian itu sendiri. Lihat, Surat al-Anbiya [21] : 72 61
Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of
Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 157. 62
Maksud dibebaskan disini bukan berarti tidak melakukan kesalahan, namun
segala kesalahan yang dilakukan oleh Nabi dikoreksi dan diperbaiki oleh Allah.
Karenanya, Nabi kemudian bertaubat dan diampunilah taubatnya. Lihat, Muhammad
Rashid Rid}a>, Al-Wah{yu al-Muh{ammadi> (Beirut: Muassasah ‘Izzuddin, Cet. Ke 3,
1406 H) 37. 63
Muhammad Rashid Rid}a>, Al-Wah{yu al-Muh{ammadi> , 32.
36
agama, namun kemaksuman nabi berbeda dengan kemaksuman
malaikat. Artinya, selama nabi berbentuk manusia dan terikat pada
hukum dunia, seperti lapar, sakit, dan sebagainya maka nabi pun
masih mungkin untuk melakukan kesalahan yang tidak disengaja.
Namun, sebagai manusia yang menerima wahyu Allah, tidak mungkin
Nabi kemudian salah dalam menyampaikan wahyu itu sendiri baik
disengaja maupun tidak.64
Terlebih hal ini pernah pula disampaikan sendiri oleh Nabi
Muhammad dalam riwayat Ibn H{ibba>n (w. 354 H/965 M)
sebagaimana berikut,
65
“Bahwa sungguh aku (Muhammad) hanyalah manusia
biasa. Jika aku mengatakan sesuatu pada kalian tentang agama
kalian maka ambillah. Namun jika aku mengatakan sesuatu
tentang dunia kalian (tidak terkait dengan agama), maka
sungguh aku hanya manusia biasa.”
Dengan demikian, maka kemaksuman nabi hanya bisa
dikaitkan dengan kebenaran yang dibawanya terkait dengan masalah
agama dan bukan masalah keduniaan. Dengan kata lain, masalah
keduniaan yang diketahui oleh Nabi Muhammad tidaklah selamanya
sebaik apa yang diketahui oleh manusia lainnya. Hal ini tergambar
ketika dalam sebuah periwayatan hadis tentang pembenihan kurma
hingga nabi harus mengatakan, “Antum a’lamu bi umu >ri
dunya>kum.”66
Adapun mengenai kemaksuman Nabi Saw sebelum, meskipun
sudah penulis sampaikan pada bab sebelumnya mengenai kecerdasan
Nabi sebelum menerima wahyu, namun agaknya kemaksuman ini
64
Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of
Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 149. 65
Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah{mad ibn H{ibba>n al-Tami>mi>, Sah{ih{ ibn H{ibbba>n bi Tarti>bi ibn Balba>n (Beirut: Mausu>’ah Risalah, 1993) Juz 1, 202.
66Muslim ibn al-H{ajja>j al-Nisa>bu>ri, al-Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ih{ya>‘
al-Tura>th, tth) juz 4, 1836.
37
belum terlihat sepenuhnya sebagaimana keinginan Nabi dalam
berbuat kenakalan waktu mudanya.67
Sejalan dengan hal ini, Qad{i>
‘Iya>d{ (w. 544 H ) menyatakan bahwa kemaksuman Nabi Saw sebelum
menerima risalah cukuplah ditangguhkan. Hal ini karena larangan
atau hukum Allah belum pula datang kepada Nabi Saw. Sehingga,
andaikata pun itu pernah terjadi, maka Allah pasti mengampuninya
karena ketiadaan perintah maupun larangan sebelumnya.68
C. Hadis Menjadi Bagian dari Mukjizat Kenabian
Mukjizat adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari posisi
kenabian. Bukan hanya karena memang para nabi memiliki kelebihan
disbanding manusia pada umumnya yang kemudian itu disebuat
sebagai mukjizat, namun karena memang manusia –umat para Nabi–
dalam sejarah selalu menuntut kelebihan atau mukjizat itu sebagai
bentuk bukti kenabian. Nabi Muhammad sebagai fokus kajian
penelitian ini tentu memiliki banyak mukjizat dan yang utama adalah
Alquran. Tentunya, karena Alquranlah yang menjadi pedoman umat
manusia pada akhir zaman ini. Namun, yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana dengan hadis?
Yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah mengkaji tentang
hadis-hadis yang berkenaan dengan mukjizat Nabi, namun lebih
kepada apakah hadis itu sendiri bisa dikatakan sebagai kelebihan atau
mukjizat Nabi Muhammad? Mengingat bahwa sisi kemukjizatan
hadis (ungkapan dan tindakan Nabi) tentu memiliki implikasi yang
berbeda dengan Alquran.
Jika hadis terdiri dari sanad dan matan, maka kajian ini hanya
berfokus pada kajian matan. Karena memang yang dibahas adalah
apakah isi dari sebuah hadis itu bisa menjadi bagian dari mukjizat
nabi ataukah tidak? Di sisi lain dalam kaidah ushul hadis mengatakan
bahwa tidak semua hadis yang sahih sanadnya sahih pula matannya,
karena jika ditemukan sebuah hadis yang sahih sanandnya namun
67
Lihat pada materi kecerdasan Nabi sebelum menerima risalah pada akhir bab
ini. 68
Lihat pada catatan Z{a>fir ‘Abd al-Na>fi’ ‘Abd al-H{akim, “H {ayat al-Rasu>l al-
Ta’abudiyah qabla al-Bi’thah” Jurnal al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 17, no. 1 (2010) : 34
38
tidak dengan matannya berarti ia tidak qat‘i >, dan sesungguhnya
Alquran harus lebih didahulukan dari pada hadis.69
Perlu disadari bahwa Muhammad selain sebagai seorang Nabi
atau utusan Allah tentu ia juga adalah seorang manusia biasa.
Manusia yang juga berjalan, bisa marah, menangis, sakit dan
sebagainya. Jika dilihat dalam persepektif hadis sebagai ungkapan dan
tindakan Nabi, tentu pula hadis memiliki dua area tersebut yakni
hadis dalam posisi Muhammad Saw sebagai Nabi dan hadis dalam
posisi Muhammad sebagai manusia. Hal ini tergambar jelas
sebagaimana hadis riwayat Ibn H{ibba>n di atas.70
Misalnya hadis tentang penjelasan Nabi terkait iman, islam dan
ihsan. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa ketika Nabi
mengajarkan agama Islam kepada para Sahabat kemudian Jibril hadir
dan ikut serta mengajarkan apa itu iman, islam dan ihsan.71
Nabi
kemudian menjelaskan dengan gamblang tentang apa yang ditanyakan
oleh Jibril. Penjelasan itupun kemudian menjadi dasar agama Islam
hingga hari ini. Terkait dengan posisi informasi Nabi tersebut, tentu
Muhammad muncul sebagai sosok seorang Nabi dan bukan manusia
biasa. Hadis-hadis semisal atau dalam cakupan ibadah dan akidah
secara umum memang tidak mungkin muncul dari sosok kemanusiaan
Nabi Muhammad melainkan muncul sebagai bagian dari risalah Allah
Swt yang ia bawa. Karenanya dalam hal ini tak banyak yang
mempersoalkannya sebagai bagian dari sunnah tasyri>‘iyyah. Yang
dalam hal ini penulis bisa memasukkanya dalam kategori sunnah yang
menjadi bagian dari mukjizat kenabian Muhammad Saw. Kenapa
demikian? Setidaknya ada alasan tersendiri yang mendasari terkait
dengan definisi mukjizat itu sendiri sebagaimana penjelasan berikut.
69
Abdul Jali>l I<sa> abu> al-Nasr, Ijtiha>d al-Rasu>l Saw (Kairo: Da>r al-Ih {ya>‘ al-
Kutub al-‘Arabi, 1950), 162. 70
Dalam hal ini al-Qarafi memperkenalkan dengan adanya istilah sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghairu tasyri’iyyah. Lihat, al-Qara>fi>, al-Furu>q (Beirut:
‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, 206-209. 71
Muslim ibn Hajja>j al-Nisa>bu>ri>, Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ih{ya>‘, tt),
juz 1, 36.
39
Ibadah sebagai metode interaksi antara manusia dan Allah
tentu adalah hak prerogatif Allah. Sehingga, tidak sembarang manusia
bisa mengarang bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Untuk itulah
penjelasan Nabi dalam hal ini muncul sebagai kelebihan yang dibawa
sebagai tanda kenabian dan inilah yang dimaksud pula sebagai
mukjizat. Kemudian tentang akidah tidak ada satu manusiapun yang
mengetahui tentang hal yang ghaib kecuali manusia itu mendapatkan
pengetahuan dari Sang pemilik keghaiban itu yakni Allah Swt.72
Tentunya hal ini juga yang menjadi kelebihan dari tanda kenabian
Muhammad Saw. Dengan demikian materi agama yang terdapat
dalam hadis Nabi terutama adalah masalah ibadah dan akidah tidaklah
menjadi perhatian dan perdebatan karena memang itulah risalah yang
dibawa oleh Nabi.
Pernyataan yang perlu didiskusikan berikutnya adalah
bagaimana hadis baik ungkapam maupun tindakan Nabi yang terkait
dengan keduniaan? Apakah itu bisa menjadi bagian dari mukjizat
kenabian ataukah hal itu sama seperti yang dimiliki atau dilakukan
oleh manusia kebanyakan?
Untuk melakukan pembahasan ini setidaknya bisa dilihat dari 4
aspek materi hadis di luar materi yang terkait dengan agama: pertama,
mukjizat Nabi terkait dengan fenomena alam atau sains; kedua,
nasehat Nabi kepada para Sahabat; ketiga, tindakan kemanusiaan
seperti makan, dan pakaian; keempat, hadis tentang kekeliruan Nabi.
1. Mukjizat Nabi tentang Fenomena Alam atau Sains
Berbagai fenomena alam yang terjadi ataupun dijelaskan dalam
hadis banyak yang kemduain menjadi kajian tersendiri oleh para
sarjana muslim. Zaghlul al-Najjar (l. 1933) misalnya memberikan
dasar tentang pentingnya mengkaji tentang fenomena alam dan sains
yang terkandung dalam hadis. Dasar itu setidaknya ada dua hal;
pertama untuk meng-caunter siapapun yang meragukan al-sunnah
atau hadis Nabi. Meskipun terdapat hadis dhaif atau lemah bahkan
maudhu’ atau palsu tidak kemudian membuat siapapun enggan untuk
72
Lihat Surat Hud [11] ayat 31 dan Surat al-An‘am [6] ayat 50.
40
meyakini adanya otentitas dan kebenaran agama. Kedua,
memunculkan fakta ilmiah tentang materi hadis Nabi.73
Di antara sekian banyak mukjizat nabi Muhammad Saw yang
diingat para muslim di antaranya adalah terkait dengan fenomena
alam seperti kisah Nabi membelah bulan,74
kisah Nabi mengeluarkan
air dari sela jari-jarinya,75
ataupun penjelasan Nabi terkait fenomena
alam itu sendiri. Untuk dua contoh awal secara nalar sudah pasti
menjadi bagian dari mukjizat karena memang yang terjadi adalah
tindakan di luar batas kemampuan manusia biasa dan itulah disebut
sebagai mukjizat. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Musa
ketika menjadikan tongkat sebagai ular ataupun membelah lautan dan
juga mukjizat Nabi yang lain. Namun tentang bagaimana dengan
penjelasan nabi terkait fenomena alam dapat dilihat sebagaimana
contoh hadis berikut;
76
Hadis dari Anas ibn Malik ini menceritakan bahwa nabi
pernah bersabda, “Ketika Allah menciptakan langit dan bumi,
bumi berguncang. Maka Allah memancangkannya dengan
gunung. Malaikat pun tercangang dengan kehebatan gunung.
Meskipun secara sederhana hadis ini menjelaskan kedudukan
dan fungsi gunung sebagai penyangga agar bumi tidak mudah
bergoncang, namun dari sisi sains bagaimana Nabi bisa menjelaskan
73
Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar, Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis
(Jakarta: Mizan, 2010), 32. 74
Muhammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}ih} (Kairo: Da>r
al-Thauq, 1422 H) juz 6, 142 75
Muhammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}ih}, juz 4, 192.
Dalam hadis tersebut menjelaskan ada 300 orang yang berwudhu dari tangan Nabi. 76
Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmizi pada no. 3369. Menurutnya, hadis ini
adalah hadis gharib, dan dari jalur Anas inilah satu-satunya ia marfu’. Lihat Abu> Isa>
al-Tirmizi>, Jami’ al-Sahih (Beirut: Dar al-Ihya>’ al-Tura>th, tt) juz 5, 454. Abu> Bakar
al-Baihaqi, Su‘ab al-Ima>n (Beirut: Dar al-Kutu>b, 1410 H) juz 3, 244. Namun, Ahmad
ibn Hanbal mengatakan bahwa sanad hadis ini dhaif, lihat Ah{mad ibn H{anbal,
Musnad Ah{mad (Kairo: Mausu>’ah Qurtubah, tt) juz 3, 125.
41
ini sedangkan masa itu tentu ilmu geologi belum ada? Inilah yang
kemudian menjadi mukjizat tersendiri di mana kemudian hadis
menjadi inspirasi sains sebagaimana pula Alquran. Meskipun,
sebagaimana Alquran, hadis adalah ucapan Nabi dan bukan sumber
sains.77
Sehingga, Zaghlul al-Najjar sebagai seorang ahli geologi dan
bukan ahli ilmu hadis mencoba menjelaskan bagaimana fenomena ini
terjadi dan kesesuaiannya dengan fakta sains yang ada. Bahwa
memang gunung adalah peredam rotasi gerak bumi yang jika tidak
dipancangkan gunung, maka getaran rotasi bisa membuat alam tidak
normal.78
Dengan demikian, hadis yang tentang mukjizat Nabi terkait
fenomena alam dan sains baik itu yang murni dilakukan oleh Nabi
sendiri ataupun yang dijelaskan dalam hadisnya termasuk dalam
mukjizat kenabian. Karena, selain memang tidak bisa dilakukan oleh
manusia biasa, hal ini juga menjadi petunjuk keagungan dan
kebenaran risalah Muhammad Saw.
2. Nasehat Nabi Kepada Para Sahabat
Pembahasan nasehat ini menjadi bagian tersendiri setidaknya
karena dua alasan. Pertama, masalah ini muncul adalah respon Nabi
terhadap problem yang dihadapi oleh Sahabat dan bukan karena
perintah Allah atau wahyu. Dan kedua, masalah yang dialami oleh
Sahabat bukanlah terkait dengan wahyu.
Sebagai seorang Nabi utusan Allah, tentu Muhammad adalah
tempat bertanya bagi para Sahabat. Pertanyaan kadang tidak serta
77
Hal ini pernah pula diungkapkan oleh Mus}t}afa> S{abri>. Lihat, Mehmet Kadri
Karable, “One of the Last Ottoman Seyhulislam Mustafa Sabri Efendi (1869-1954):
His Life, Works and Intellectual Contributions.” (Tesis di McGill University,
Montreal, 2003) 66. 78
Lihat, Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar, Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis, 69; Dalam bab ini juga menjelaskan bahwa otoritas penafsiran hadis tidak
serta merta miliki para ahli hadis, namun juga akan lebih menarik jika materi hadis
terkait dengan sain maka dijelaskan oleh mereka yang ahli dibidangnya. Lihat
komentar penulis dalam, Muhib Rosyidi, “Metodologi Kritik Matan hadis Berbasis
Sains; Telaah Atas pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar”, Moderatio Diskursus Islam dan Peradaban I, no 3 : (2012), 80-81.
42
merta masalah agama tapi juga masalah kehidupan sehari-hari para
Sahabat itu sendiri. Sebagaimana beberapa hadis berikut:
79
Dari Abu> Hurairah ra berkata bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi dan berkata, “Berilah aku nasehat.” Nabi menjawab,
“Jangan marah.” Lalu Nabi mengulanginya berkali-kali, “Jangan
marah.”80
Singkatnya Nabi dalam hadis di atas selain karena Nabi
memang memiliki ciri jawa>mi’ al-kala>m atau berbicara singkat dan
padat. Namun ada pula riwayat yang mengatakan bahwa seseorang
yang meminta nasehat itu sebelumnya berkata, “Ya Rasulullah, ajari
aku sebuah perkara yang bisa memudahkanku dalam hidup, tapi
jangan terlalu banyak karena nanti aku mudah lupa.” Karena itulah
kemudian Nabi hanya memberikan nasehat singkat untuk tidak
marah.81
Ada pula nasehat Nabi yang diberikan kepada ‘Abdurrahman
ibn Samurah (w. 50 H) yang ingin meminta jabatan:
82
79
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih} (Kairo: Da>r al-Tauq al-
Naja>h, 1422 H), juz 8, 28. 80
Imam Nawani memasukkan hadis ini sebagai salah satu 40 hadis yang ia
agungkan. Hal ini karena marah ternayat imbasnya sangat besar dan marah adalah
salah satu sumber kesalahan dan dosa. Lihat, Mustafa Muhyidin Mitsu, Al-Wafi Syarah Kitab Arbain al-Nawawi, Terj. Muhil Dhofir (Jakarta: al-I’itisham, 2010)
110-113. 81
Ibn ‘Abd al-Bar (w. 463 H), al-Istizka>r (Beirut: Da>r al-Kutub, 2000) juz 8,
286. 82
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 8, 127.
43
Tentunya siapapun berhak untuk memberikan nasehat, namun
harus disadari bahwa orang tidak akan meminta nasehat kepada
mereka yang dianggap tidak memiliki nilai kebijaksanaan. Dua hadis
di atas menggambarkan bahwa memang kebijaksanaan menjadi tolok
ukur mengapa Nabi menjadi tempat Sahabat meminta nasehat.
Sedang mengenai keterkaitannya dengan mukjizat secara umum hadis
ini tidak memiliki sisi kelebihan tersendiri. Kecuali ada anggapan
bahwa Nabi memiliki kemampuan untuk memahami masalah yang
dimiliki oleh penanya. Sehingga, sebagaimana hadis pertama seolah
Nabi mengetahui bahwa masalah yang dimiliki Sahabat tersebut
adalah mudah marah. Hal ini sebenarnya tidak berdasar mengingat
ada pula nasehat Nabi yang dianggap tidak sesuai sebagai solusi bagi
para Sahabat sebagaimana yang dijelaskan nanti.
Dengan demikian, hadis yang berisikan materi nasehat kepada
Sahabat tidak lebih dari sekedar saran sepengetahuan Nabi yang tentu
sangat terkait dengan pengalaman dan praktek kehidupan Nabi
sendiri.
3. Tindakan Kemanusiaan Nabi Muhammad
Yang dimaksud dengan tindakan kemanusiaan adalah segala
tindakah yang memang biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya
dan tidak memiliki keterkaitan terhadap wahyu Tuhan. Seperti sikap
terhadap makanan maupun pakaian sebagaimana contoh berikut.
83
Dari Abu> Hurairah berkata, “Rasulullah tidak pernah mencela
makanan sekalipun. Jika ia suka maka ia makan, dan jika tidak maka ia
tinggalkan.”
83
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74.
44
84
Dari Sali>m ibn ‘Abdillah, dari ayahnya ra. bahwa Nabi Saw
pernah berkata, “Barang siapa menjulurkan pakaiannya karena
sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat,” Lalu Abu>
Bakr berkata, “Ya Rasulullah, salah satu pakaianku akan melorot
kecuali aku ikat dengan benar.” Rasul kemudian berkata, “Engkau
bukanlah orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Dari hadis pertama didapati bagaimana kebiasaan Nabi terkait
dengan makanan. Bahwa, selain makanan antara yang halal dan haram,
tentu manusia memiliki selera yang berbeda dalam hal makanan. Dan
poin penting yang lain adalah tidak sepatutnya mencela makanan yang
tidak disukai. Hal ini adalah sebuah fitrah manusia yang sehari-hari
menjadi kebiasaan manusia pada umumnya. Sehingga, dalam hal ini,
tidak semua makanan yang pernah dimakan oleh Nabi menjadi sunnah
dalam arti memiliki pahala tersendiri disamping makanan yang tidak
pernah dimakan oleh Nabi seperti kurma dan durian tentu adalah hal
yang berbeda.
Adapun dalam hadis yang kedua menjelaskan tentang adab
berpakaian, kadang menjadi perdebatan pada sebagaian kaum muslim.
Hal ini terjadi karena pemahaman pada titik poin pelarangan, yakni
apakah pada penjuluran pakaian ataukah pada tindakan kesombongan?
Bagi mereka yang menganggap bahwa penjuluran menjadi titik poin
maka mereka tidak akan menjulurkan pakainnya. Sedang bagi mereka
yang menekankan pada kesombongan, maka jika penjuluran itu tidak
berlebihan dan tidak disertai dengan kesombongan maka hal itu
diperbolehkan sebagaimana yang dilakukan Abu> Bakar.
Namun demikian, tulisan ini tidak akan mencoba mendebatkan
keduanya melainkan mendiskusikan apakah tindakan kemanusiaan
seperti makanan dan pakaian menjadi bagian dari mukjizat Nabi.
Jawabannya tentu tidak. Hal ini karena dua hal yakni; pertama bahwa
makanan dan pakaian semua diperbolehkan kecuali yang memang jelas
84
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 141.
45
adanya pelarangan baik dalam Alquran dan hadis. Kedua, makanan dan
pakaian sangat terikat dengan waktu dan tempat. Sehingga, tidak bisa
dikatakan gamis ataupun surban itu sunnah karena memang itu adalah
pakaian Arab yang baik orang Islam ataupun non muslim pada zaman
itu seperti Abu> Lahab dan Abu> Jahal juga memakai hal yang sama.
Demikian pula dengan makanan seperti roti, kurma dan sebagainya.
Dengan kata lain, sisi kemanusiaan Nabi adalah sama sebagaimana sisi
kemanusiaan pada umumnya.
4. Kekeliruan Nabi
Salah satu riwayat tentang kesalahan Nabi dalam memberikan
yang paling sering disinggung ulama adalah tentang penyerbukan
kurma secara manual sebagaimana hadis berikut.
85
Pengutipan hadis di atas bukan tanpa sebab. Hal ini, karena
hampir setiap ulama yang membahas tentang kekeliruan Nabi maka
hadis ini menjadi contoh umumnya. Seperti yang sudah dibahas di
atas bahwa kekeliruan Nabi dalam memberikan saran terkait masalah
keduniaan adalah hal yang wajar dan tidak mengurangi makna
kenabian sedikitpun. Hal ini justru memperlihatkan sisi kemanusiaan
Nabi yang memiliki kekurangan dan kelebihan pada sisi yang berbeda.
Sebagaimana yang disampaikan Qad{i> ‘Iyad{ (476-544 H) berikut:
Sepanjang berkaitan dengan urusan dunia, para nabi
tidak diisyaratkan adanya jaminan dari kesalahan (‘ismah).
Ketidaktahuan para nabi terhadap sebagian urusan atau
kesalahan persepsi mereka terhadap persoalan dunia dari yang
85
Muslim ibn Hajjaj al-Nisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-
Tura>th al-‘Arabi>, tt) juz 5, 1735.
46
sebenarnya, itu tidak menodai citra mereka. Karena, perhatian
utama mereka terkait dengan akhirat dan hal-ihwalnya serta
persoalan syariat dan aturan-aturannya.86
Dengan demikian jelaslah bahwa adanya kesalahan dan
kekeliruan Nabi tidak mungkin muncul menjadi bagian dari mukjizat
Nabi. Namun, justru menunjukkan sisi fitrah kemanusiaan
Muhammad Saw. Namun, yang menjadi pembeda antara kesalahan
Nabi Saw dan manusia pada umumnya adalah bahwa manusia hampir
pasti mengulang kesalahannya sedang Nabi Saw tidak pernah
mengulang kesalahan tersebut.87
D. Hadis Nabi Muhammad sebelum Menerima Wahyu Alquran
Kembali kepada persoalan pertama tentang makna kenabian
baik sebagai rahmat Allah Swt ataupun kecerdasan akal manusia.
Dalam hal ini perlu juga membahas bagaimana Muhammad sebelum
mendapatkan risalah pertamanya di gua Hira. Untuk itu pembahasan
terkahir pada bab ini akan difokuskan kepada dua hal yakni sisi
kecerdasan teologis dalam bentuk rahmat Allah Swt pada Muhammad
Saw sebelum menerima risalahnya dan sisi kecerdasan akal yang
terlihat dari perkembangan psikologis dan intelektual Muhammad
Saw itu sendiri.
1. Kecerdasan Rahmat Muhammad Pra-Kenabian
Maksud dari kecerdasan rahmat disini adalah kelebihan dalam
bentuk given yang langsung diberikan Allah. Kecerdasan atau
kelebihan ini tidak melalui proses pembelajaran yang panjang. Selain
itu, kecerdasan ini muncul sebagai bagian dari tanda risalah kenabian
Muhammad Saw. Berikut ini adalah tiga contoh dari kecerdasan dalam
bentuk rahmat Allah Ta’ala sebagai tanda kenabian Muhammad
sebelum menerima risalahnya.
86
Al-Qad}i ‘Iyadh, al-Syifa> bi Ta’rif Huqu>q al-Mus}t}afa> (Beirut: Da>r al-Kutu>b
al-‘Ilmiyyah, tt), juz 2, 115-116. dalam Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 21.
87Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala>
al-Ah{ka>m (Jeddah: Da>r al-Mujtama’, tth) 24.
47
Pertama, adalah kisah pembelahan dada Muhammad sewaktu
kecil. Muhammad H{usain Haekal mengisahkan bahwa pada masa itu
usia Muhammad sekitar 3 tahun. Ia dibawah pengasuhan Halimah
Sa’diyah. Saat di luar pengawasan, tiba-tiba teman seasuhan
Muhammad lari menghampiri Halimah dan berkata, “Saudaraku dari
Quraish itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Di
dibaringkan, perutnya dibedah, diambil dan dibolik-balikkan.”88
Kemudian Halimah beserta suaminya pergi menemui
Muhammad. Mereka menjumpai Muhammad sedang berdiri dengan
wajah pucat, kemudian kami tanyakan, “Kenapa kau, nak?”
Muhammad menjawab, “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki
berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka
mencari sesuatu di dalamnya, sedang aku tak tahu apa yang mereka
cari.”89
Kisah sederhana ini sebenarnya sejalan dengan apa yang
dimaksud dalam Alquran, “Bukankah sudah kami (Allah) lapangkan
dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban darimu? Yang telah
memberati punggungmu.”90 Namun demikian, kehadiran kisah ini
menegaskan bahwa memang Muhammad telah dipersiapkan jauh-jauh
hari oleh Allah untuk membawa risalah-Nya kepada manusia. Hal ini
pula yang yang menjadi cikal bakal perbedaan sikap yang diberikan
baik dari keluarga Halimah maupun keluarga Muhammad nantinya.
Kedua, kisah ramalan rahib yang mengungkapkan adanya tanda
kenabian yang dibawa Muhammad. Dalam usianya sekitar 12 tahun,
Muhammad diajak oleh pamannya Abu> T{a>lib untuk melakukan
perdagangan ke Syam. Saat perjalanan itulah Abu> T{a>lib bertemu
dengan Buh{aira dan bertanya kepada Abu> T{a>lib, “Apa hubunganmu
dengan anak ini?” Abu> T{a>lib menjawab, “Dia adalah anakku.”
88
Muhammad Husain Haekal, Terj. Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad
(Jakarta: Lentera Natra Nusa, 2000), 51. 89
Kisah lebih panjang dari riwayat Halimah lihat, Muh}ammad ibn H{ibba>n,
S{ah}ih} ibn H{ibba>n (Beirut: Mausu>’ah al-Risa>lah, 1993), juz 14, 244. Dalam riwayat
lain Ibn H{ibba>n juga meriwayatkan tentang bagaimana proses pencucian hati
Muhammad dengan air zamzam; Shaki>r Mah{mu>d Isma>’il, “Al-Ah{dath al-Ma’thurah
fi> Haya>t al-Rasu>l.” Majallah Ja>mi’ah al-Anba>r 1, no. 4 (2011) : 125. 90
QS. Al-Insyirah [94] : 1-3.
48
Mendengar hal itu Buh{aira nampaknya tidak percaya dan berkata,
“Tidak, dia pasti bukan anakmu. Ayah anak ini pasti sudah
meninggal.” “Sebenarnya dia keponakanku,” kata Abu> T{a>lib.
Mendengar hal itu Buh{aira meminta Abu> T{a>lib menceritakan
bagaimana nasib ayahnya dahulu. Akhinya Buh{aira berkata pada Abu>
T{a>lib, “Sekarang segeralah pulang ke negerimu. Jagalah anak ini baik-
baik dari orang Yahudi. Demi Allah, kalau saja orang-orang Yahudi
melihat anak ini, mereka pasti menimpakan hal yang sangat buruk
kepadanya. Sungguh, keponakanmu ini kelak akan mengemban sebuah
perkara yang sangat besar.”91
Sebagaimana kisah sebelumnya, hal ini tentu membuat Abu>
T{a>lib makin besar perhatian dan penjagaanya kepada Muhammad. Di
sisi lain perhatian dan ramalan Muhammad membuat rahib seperti
Buhaira menjadi sadar dan mengetahui akan datangnya sebuah
peristiwa besar, yakni diangkatnya seorang Nabi baru.
Yang terakhir adalah kisah yang disampaikan sendiri oleh Nabi
Muhammad sebagaimana bahwa ia tidak pernah berniat melakukan
sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa jahiliyyah,
kecuali hanya dua kali. Akan tetapi, pada kedua kesempatan itu pula
Allah Swt. menghindarkan diri Nabi dari hal buruk. Selanjutnya, Nabi
tidak pernah berniat melakukan hal buruk itu lagi sampai Allah Swt
memuliakan dirinya dengan misi kerasulan.
Pada suatu malam, Nabi berkata kepada seorang anak muda
yang menggembala domba bersamaku di dataran tinggi kota Mekah,
“Bagaimana jika kau menjaga dombaku agar aku dapat memasuki kota
Mekah untuk mengobrol sebagaimana layaknya yang dilakukan para
pemuda lainnya?” Temannya menjawab, “Baik, akan aku lakukan.”
Muhammad muda pun pergi. Setibanya di rumah pertama yang ia
lewati di Mekah, ia mendengar suara riuh. Nabi pun bertanya, “Apakah
yang terjadi?” Orang-orang menjawab, “Ada pesta pernikahan.” Nabi
pun ikut duduk mendengar tetabuhan itu. Sesaat kemudian, rupanya
Allah menutup telinganya sehingga tertidur. Lalu Nabi terbangun
91
Said Ramadha>n al-Bu>ty, Fiqh al-Si>rah al-Nabawiyah (Damaskus: Da>r al-
Fikr, 1991), 48.
49
setelah tertimpa sinar mata hari yang terbit keesokan harinya. Nabi
segera kembali menemui temannya. Kemudian teman Nabi
menanyakan tentang perjalanannya. Maka, Nabi ceritakan yang ia
alami.
Di malam yang lain, Nabi kembali meminta temannya menjaga
dombanya lagi. Kembali Nabi mengalami hal serupa, seperti yang
terjadi malam sebelumnya. Setelah itu, Nabi tidak pernah lagi berniat
melakukan hal buruk yang sama.92
Dalam kisah yang disampaikan oleh Nabi di atas menunjukkan
bahwa memang sebelum menerima risalah kenabian Muhammad sama
seperti anak muda pada umumnya. Pada usia itu Muhammad masih
memiliki sifat canda gurau, bermain dan mungkin sifat kenakalan.
Namun demikian, sifat kecerdasan rahmat dalam bentuk penjagaan
dari sifat buruk manusia telah dimiliki oleh Nabi Muhammad sejak
muda. Karena itu, sifat maksum dalam bentuk penjagaan dari dosa
sebenarnya telah dimiliki jauh sebelum menerima wahyu. Sebaliknya,
kebaikan akhlak yang dimiliki Nabi memang langsung mendapatkan
ajaran dari Allah sebagaimana perkataan Nabi berikut,
93
Bahwa sungguh kebaikan akhlak Nabi tidaklah datang dengan
sendirinya melainkan Allah yang langsung memperbaiki dan
mengajarkannya. Dengan demikian Nabi Muhammad memang telah
jauh hari dipersiapkan sebagai Nabi sebelum pertama kali ia menerima
wahyu. Kebaikan perangai ini tentu tidak bisa serta merta dipisahkan
dari sisi kenabian dan kemanusiaan yang menyatu dalam diri
Muhammad. Karenanya, meskipun Nabi berijtihad, namun sangat
mungkin Allah akan meluruskan jika terjadi kesalahan fatal pada Nabi
yang mungkin bisa merubah kesucian misi risalah Muhammad Saw.
92
Said Ramadhan al-Buty, Fiqh al-Si>rah al-Nabawiyah, 45 93
Fais}al ibn ‘Abd al-‘Azi >z ibn Fais}al, Tatriz Riya>d} al-S{alih}i>n (Riyad: Da>r al-
‘Asimah, 2002), 408.
50
2. Kecerdasan Akal Muhammad Pra-Kenabian
Selain kecerdasan rahmat yang bersifat given dari Allah tanpa
melalui proses pembelajaran, Muhammad hidup sebagaimana manusia
biasa yang berproses dengan lingkungan dan pengalaman hidupnya.
Kecerdasan akal intelektual yang ia miliki memang dimulai sejak
kecil. Dari sisi bahasa misalnya, Rasul pernah mengatakan, “Aku yang
paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraish tapi diasuh di
tengah-tengah keluarga Sa’d ibn Bakr.”94 Sehingga, hal ini yang
menjadikan pola bicara Muhammad begitu fasih dan memiliki tutur
kata yang baik di mata masyarakat, selain kemudian menjadi
kemampuan sebagai orator yang luar biasa.
Namun, disamping masalah bahasa ada hal lain yang membibit
Muhammad menjadi sosok yang memiliki psikologi yang kuat, dan
tidak mudah bergantung pada manusia yakni kehidupan masa kecilnya.
Sejak bayi ia telah menjadi yatim ditinggal ayah, belum genap 7 tahun
ibunya pun meninggal, hingga kakeknya yang sangat dihormati kaum
Quraish pun meninggal saat mengasuh Muhammad. Dalam
perkembangan intelektualnya tentu hal ini yang membuat Muhammad
menjadi manusia yang mandiri, tidak mudah menyerah dan kuat dalam
kepribadiannya. Inilah modal besar kecerdasan akal yang ia miliki.
Dari segi pandangan masyarakat Muhammad pun tak kalah
cerdasnya. Kebaikan akhlaknya yang baik itu muncul dari didikan
Allah Swt sebagaimana di atas maupun karena lingkungan keluarga
yang terpandang telah membawa Muhammad sebagai sosok yang
cerdas dan mudah dipercaya siapapun. Hingga tak heran ia kemudian
memiliki julukan al-ami>n yang berarti bisa dipercaya.
Sebuah kisah turunnya Surat al-Lahab pun menjadi saksi
tentang hal ini. Pada waktu itu perintah berdakwah sudah mulai turun
kepada Muhammad. akhirnya Muhammad kemudian mengumpulkan
seluruh keluarganya serta suku-suku di sana dan berkata, “Hai
manusia, andaikata aku berkata bahwa ada pasukan yang akan
menyerangmu di balik bukit, apakah kalian mempercayaiku?” Maka
94
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 53.
51
jawaban yang sungguh sulit diberikan kepada orang lain, “Benar, tidak
sekalipun kami mendapatimu kecuali selalu berkata benar.”95
Selanjutnya kecerdasan Muhammad dalam meyelesaikan
sebuah persoalan terlihat dalam peristiwa pembangunan Ka’bah.
Akhibat dari sebuah bencana banjir Ka’bah mengalami kerusakan
cukup berat karenanya para kabilah Quraish mengusulkan adanya
pembangunan kembali. Namun masalah muncul diakhir pembangunan
Ka’bah itu. Yakni, kabilah mana yang berhak menempatkan Hajar
Aswad yang disucikan para kabilah itu? Pertengkaran mulut terjadi
antar kabilah dan akhirnya Abu> Umayyah ibn al-Mughi>ra dari Bani
Maktum sebagai orang tertua diantara pemimpin kabilah itu berkata,
“Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama kali
memasuki pintu Shafa ini.”
Kala mereka melihat ternyata Muhammad orang pertama yang
memasuki tempat itu, mereka pun berteriak, “Inilah al-Amin, kami
dapat menerima keputusanmu.” Akhirnya mereka menceritakan
masalah ini kepada Muhammad. Dan sungguh yang menjadi perhatian
kemudian, bukanlah Muhammad yang mengangkatnya sendiri namun
ia meminta sehelai kain. Kemudian dengan kain itu dibentangkan dan
diletakkan batu ditengahnya kemudian meminta para pimpinan kabilah
untuk mengangkatnya mendekati tempat dimana batu itu harus
diletakkan. Setelah dekat barulah Muhammad meletakkan batu itu
ketempat semula.96
Inilah bentuk kecerdasan akal Muhammad yang
tidak banyak dimiliki orang lain masa itu.
Mengenai keagamaan Muhammad Saw sebelum menerima
kenabian selain karena faham yang diwariskan oleh keluarganya, Nabi
sendiri tidaklah pernah menyembah berhala. Hal ini beliau sampaikan,
“Demi Allah aku tidak pernah menyembah Lata selamanya dan tidak
pula ‘Uzza.”97
Dengan demikian terlihatlah bahwa sosok Nabi Muhammad
Saw tidak serta merta menjadi Nabi tanpa melewati proses pembibitan
95
Muh}ammad ibn Isma>il al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-Musnad, juz 6, 111. 96
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 68-69 97
Ah{mad Ibn H{ambal, Musnad al-Ima>m Ahmad (Riyadh: Muassasah Risalah,
2001) juz 38, 166
52
kecerdasan. Baik pembibitan yang ia peroleh secara teologis maupun
dari pengalaman hidupnya. Secara umum nampak bahwa memang
Muhammad sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk membawa
risalah kenabian. Kecerdasan akal dan kecerdasan teologis meliputi
segala perilaku kehidupannya dalam menyelesaikan persoalan.
53
BAB III
MUS{T{AFA< S{ABRI<
DAN PROBLEMATIKA IJTIHAD NABI
A. Alam Pemikiran Mus{t{afa> S{abri> (1869-1954)
Pembiacaraan tentang sosok Mus}t}afa> S{abri> tidak akan
berkepanjangan dalam penelitian ini. Karenanya dalam
menggambarkan sosok Mus}t}afa> S{abri> setidaknya bisa dirangkum
dalam tiga aspek berikut: pertama, sekilas tentang kehidupan dan latar
belakang yang membawai sosok pelaku dalam bentuk biografi singkat.
Kedua, karya dan alam pikiran yang membawainya sebagai seorang
tokoh intelektual Islam pada zamannya. Ketiga, kritik terhadap sarjana
modern sebagai bentuk bukti bahwa memang ia ikut serta dalam
perdebatan para sarjana Islam pada masa hidupnya.
1. Biografi Singkat
Mus}t}afa> S{abri>, ia adalah anak dari Ah}mad ibn Muh}ammad al-
Qazabadi> yang lahir pada 12 Rabiul Awwal 1286 H atau sekitar tahun
1869 M di kota Tokat ( ), Turki.1 Ia telah hafal Alquran pada umur
9 tahun, karenanya ia dikenal sebagai al-h}afiz}. Kemudian ia
melanjutkan studinya di kota Keyseri ( ). Yakni, sebuah pusat
pendidikan Islam pada masa Ottoman Turki. Di sana ia belajar
berbagai ilmu seperti mantiq dan ilmu jada>l wa al-muna>zarah.2
Setelah dari Keyseri, S{abri> berpindah ke Istanbul untuk belajar ilmu
al-‘aqa>id dan us}u>l al-fiqh. Di sana S{abri> belajar kepada seorang
intelektual Turki Ahmed Asim Effendi (1836-1911). Di Istanbul ini
S{abri> juga menikahi Ulviye Hanim pada tahun 1892 M. Dari
1‘Umar Jaida>l, “Ra>id al-Fakr al-Isla>mi al-Hadi>th: Shaikh al-Isla>m Mus{t{afa>
S{abri>”, Hira’ 5 (2006) : 58. 2Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.” Islamic Studies 48, No. 1 (2009) : 5.
54
perkawinan ini S{abri> dikaruniai dua anak perempuan Sabiha dan
Nezahet serta seorang anak laki-laki bernama Ibrahim.3
Setelah mencapai pendidikan sebagai Ru’u >s Tadri>s pada tahun
1890 S{abri> kemudian ditunjuk sebagai pengajar di Ja>mi’ Sult}a>n al-
Fa>tih. Di sana ia mengajar Tafsir, Hadis, Usul al-Fiqh dan Ilmu al-
Bayan.4 Tahun 1896 S{abri> ditunjuk sebagai Imam di masjid Besiktas
Asariye. Setahun kemudian 1897 di ditunjuk sebagai salah satu
mukha>t}ab (komentator) terhadap Huzur Dersleri, yakni yang bertugas
memberikan komentar terhadap tanya jawab Alquran dan hadis.5 Pada
masa inilah kemudian Sultan ‘Abd al-H{amid II (1842-1918)
memberikan perhatian kepada S{abri>, bahkan ia sempat berkomentar,
“Sarjana muda ini memiliki sisi lain yang berbeda dan kecerdasan yang
harus terus dibangkitkan.”6 Karena itulah kemudian Sultan ‘Abd al-
H{amid II menujuk S{abri> sebagai pimpinan perpustakaan milik Sultan
sejak 1900 hingga 1904.
Pada tahun 1904 S{abri> kembali ditunjuk sebagai pengajar di
Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih dan di sanalah kemudian ia mendapat
penghargaan berupa medali Ottoman. Lalu pada 1905 S{abri> dipilih
sebagai anggota komite sarjana dan peneliti studi Islam (Tadqiqa>t wa
Ta’lifa>t Isla>miyyah hay’ati Ilmiyyasi).7 Di sanalah ia kemudian
bergelut dengan perdebatan dan studi para sarjana Islam modern. S{abri>
juga pernah ditunjuk untuk mengajar tafsir Alquran di Madrasat al-
Wa>’izi>n dan Da>r al-Funu>n.8 Pada November 1918 S{abri> ditunjuk
sebagai anggota Academy for Islamic Philosophy. Lalu sebulah
kemudian, tepatnya 25 Desember 1918 S{abri> ditunjuk sebagai profesor
3Mehmet Kadri Karabela, One of The last Ottoman Suyaikhulislam, Mustafa
Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution (Tesis di
Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003), 37. 4Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.” 7 ; Mehmet Kadri karabela, Mustafa Sabri Efendi, 37. 5Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 38.
6Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 38.
7Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 39; Faruc Terzic, “The
Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” 7. 8Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.”, 8.
55
dalam bidang hadis di perguruan Sulemaniye Darul Hadis. Ini adalah
posisi tertinggi dalam hirarki keulamaan pada masa itu.9
Penunjukan sebagai Syaikh al-Islam
Setelah berakhirnya perang dunia I (1914-1918) Turki telah
banyak dikuasai pihak Sekutu. Ini adalah masa yang sulit bagi kerajaan
Ottoman Turki. Saat inilah kemudian Sabri ditunjuk sebagai Syaikh
al-Islam pada masa kekuasaan Damat Ferit pada Meret 1919. Saat itu
S{abri> memimpin mazhab Hanafi yang dulunya dipegang oleh
Muhammed Zahid Kevseri (1879-1952).10
Sayangnya penunjukan S{abri> sebagai Syaikh al-Islam tidak
berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian S{abri> tidak setuju
dengan kebijakan kabinet Damat Ferit yang menganggap bahwa Ferit
tidak pantas menduduki perdana menteri. Karena masalah ini, akhirnya
S{abri> melepaskan jabatannya sebagai Syaikh al-Islam pada September
1919. Namun demikian sultan Mehmet VI Vahdettin memberikan
beberapa posisi kepada S{abri> agar tidak keluar dari pemerintahan.
Pada Oktober 1919 S{abri> ditunjuk sebagai anggota Senat seumur
hidup. Bahkan kemudian ia pun diangkat kembali sebagai Syaikh al-
Islam dan menjadi Ketua Dewan Negara pada Juli 1920. Namun
demikian S{abri> pun nampaknya banyak tidak menyetujui kebijakan
para menteri di kabinet ini dan akhirnya ia pun kembali melepaskan
jabatannya sebagai Syaikh al-Islam pada 25 Sebtember 1920. Jadi,
secara keseluruhan ia menduduki jabatan Syaikh al-Islam selama 8
bulan dan 21 hari.11
Setelah bergantinya kekuasaan Turki Usmani kepada Mus}t}afa>
Kemal Ataturk (w. 1357/1938), kerajaan Ottoman mengalami
kekacauan yang cukup drastis. Hal ini membuat S{abri> meninggalkan
negaranya guna mendapatkan keselamatan bagi keluarganya.12
Selama
10 tahun sejak 1340/1922 hingga 1351/1932 S{abri> berpindah-pindah
9Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 40.
10Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 45.
11Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 45-46.
12Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.”, 8.
56
negara seperti Mesir, Hijaz, Libanon, Romania dan Yunani.13
Pada
saat-saat itu S{abri> menjadi salah seorang dari 150 tokoh terkenal yang
diawasi ketat oleh pemerintahan Turki hingga tahun 1342/1924.14
Namun pada akhirnya pada 1351/1932 S{abri> kembali ke Kairo dan ia
memperoleh ampunan dari Mus}t}afa> Kemal pada 1357/1938. S{abri> pun
menolak pemberian maaf dari Mus}t}afa> Kemal dan berkata, “Dia telah
memaafkanku, tapi aku tidak akan pernah memaafkannya.”15 Akhirnya
iapun tetap dalam pengasingannya di Kairo, Mesir dan meninggal di
sana pada 12 Maret 1954.16
2. Karya dan Alam Pikiran
Seorang Mus}t}afa> S{abri> sebagai tokoh intelektual tidak akan
lepas dari karya yang ia berikan kepada peradabannya. Setidaknya ia
telah menulis 40an buku termasuk artikel baik yang berbahasa Turki
maupun bahasa Arab. Hal yang menarik pada setiap tulisannya adalah
S{abri> selalu memulai dengan pendahuluan, kemudian memberikan
penjelasan tentang pendekatan tulisan dan metodologi yang pada saat
itu masih jarang dipakai para penulis pada umumnya.17
Dalam setiap
gaya tulisannya, cukup sulit untuk menerka keahlian seorang S{abri>
karena memang sering kali ia memasukkan berbagai bidang studi ilmu
seperti logika, studi Islam, filsafat baik klasik, pertengahan maupun
modern, literatur Arab, dan juga hukum.18
Berikut ini adalah beberapa buku karya Mus}tafa> S{abri>:
1. Islam’da Muna>kasaya hedef Olan Mes’eleler (Isu-isu Kontroversi
dalam Islam), Istanbul, 1908-1912, setebal 208 halaman.
13
Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.” 8; Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 47-48. 14
Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.”, 8. 15
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi 50. 16
Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.”, 9; Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 50. 17
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 54. 18
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 55; Faruc Terzic, “The
Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 9.
57
2. Yeni Isla>m Muctehidlerinin Kiymet-I Ilmiyyesi (Gagasan-gagasan
Intelektual Muslim Reformis Kontemporer), Istambul, 1919. 164
halaman.
3. Dini> Mucedditler, Yahud, Turkiye Icin Necat ve I’tila Yollarinda
Bir Rehbeh (Para pembaharu Agama, Sebuah Panduan untuk
keselamatan dan Kemajuan Turki), Istanbul, 1922. 365 halaman.
4. Qawli> fi> al-Mar’ah wa Muqa>ranatuhu bi-Aqwa>l Muqallidah al-
Gharb (Pendapatku tentang Perempuan dan Perbandingan dengan
Mereka yang Terpengaruh barat), kairo, 1935. 92 halaman.
5. Al-Qawl al-Fas}l Baina allad{i>na Yu’minu>n bi’l-Ghayb wa allad{i>na
La> Yu’minu>n (Persoalan Utama antara mereka yang beriman dan
Tidak Beriman), Kairo, 1942. 244 halaman.
6. Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Ala>m min Rabb al-A<lami>n wa
Iba>dihi al-Mursali>n (Kedudukan akal, Pengetahuan dan Dunia
dalam Memandangan Tuhan dan Utusan-Nya), kairo, 1950. 4
volume, 2018 halaman.19
Selain keenam di atas tentu masih banyak karya lain dari
Mus}t}afa> S{abri>. Terlebih dalam catatan Karabela, S{abri> selain menulis
buku dia juga aktif menulis artikel baik berbahasa Turki maupun Arab,
berbagai mansukrip yang tidak sempat diterbitkan, terjemahan dan
juga buku-buku sastra seperti musik dan puisi.20
Dari pembacaan sekilas tentang berbagai karyanya dan juga
kehidupannya sangat terikat dengan masalah agama dan juga masalah
sosial yang dihadapi semasa hidupnya. Terkait masalah agama, S{abri>
menjelaskan bahwa agama adalah hal dasar yang paling prinsipil dan
pendapat yang sudah baku. Jadi, agama tidak bisa dirubah oleh
siapapun.21
S{abri> secara jelas membedakan iman dari amal dan
menjelaskan bahwa Islam lebih cenderung kepada agama iman dari
pada amal semata. Hal ini dikarenakan iman seseoranglah yang
menentukan amal itu diterima atau tidak dalam agama.22
19
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 54-59. 20
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 50-64. 21
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 65. 22
Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 66.
58
S{abri> juga memiliki gagasan tersendiri mengenai tasawuf.
Tasawuf bagi S{abri> telah menempatkan dirinya sendiri terhadap reaksi
yang irrasional dan emosional melawan mazhab filsafat positifis dan
rasional yang berkembang pada abad 19 dan 20. Tentunya hal ini
memiliki kelemahan tersendiri bagi dunia modern. Bahkan, S{abri>
menilai bahwa di bawah bimbingan al-Ghaza>li> (w. 505 H), Islam telah
menjadi kepercayaan mistis dari pada agama yang rasional.23
Padahal
ilmu pengetahuan Islam seperti fiqh, tafsir dan hadis telah mencukupi
apa yang ada dalam beragama.24
Terkait dengan tasawuf dan filsafat Islam, S{abri> memberikan
pendapat berbeda terkait dengan sumber ilmu pengetahuan. S{abri>
menilai bahwa sumber pengetahuan ada tiga; pertama kelima indra,
kedua khaba>r al-s}a>diq seperti quran dan hadis, ketiga adalah akal.
Sedang ilham sebagaimana yang dipegang para sarjana muslim lain
bagi S{abri> tidak bisa menjadi dasar sumber ilmu pengetahuan. Ilham
bukanlah bagian tersendiri dalam ilmu pengetahuan, namun ia adalah
pergumulan dari akal yang bersentuhan dengan pengalaman dan
analisis. Karena itu, akallah yang pada akhirnya memastikan
kebenaran dalam proses berfikir.25
3. Kritik Terhadap Sarjana Modern
Sebagai seorang sarjana muslim dalam masa transisi Islam yang
luar biasa pada masa itu, S{abri> cukup intens memberikan kritikan dan
argumen terhadap sarjama muslim lain. Hal ini karena memang
perdebatan intelektual muslim pada masa itu cukup masif. Berikut ini
akan penulis berikan beberapa contoh sarjana muslim yang sempat
menjadi bahan kritikan oleh Mus}t}afa> S{abri> yakni; Muh{ammad ‘Abduh
(w. 1905), dan Muh{ammad H{usain Haikal ( w. 1956), Farid Wajdi> (w.
1954), dan juga Rashid Rid{a> (w. 1935). Perdebatan ini setidaknya
23
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 270 dan juz 2, 102-113
24Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 68.
25Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 69-70; Mus}t}afa> S{abri>,
Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 236.
59
menggambarkan posisi S{abri> sebagai seorang tokoh intelektual muslim
pada zamannya.
Pertama tentang definisi kenabian yang dibawa oleh
Muh{ammad ‘Abduh. Definisi ini dinilai oleh S{abri> sebagai definisi
yang ambigu, tidak jelas dan banyak memunculkan kekeliruan. Adapun
‘Abduh berpendapat bahwa Nabi adalah:
Seorang manusia yang selalu mengungkapkan
kebenaran baik secara teori maupun praktis. Yakni, ia tidak
mengetahui sesuatu selain kebenaran dan tidak melakukan
sesuatu selain kebenaran yang selalu memunculkan hikmah dan
kebijaksanaan. Semua ini terjadi secara natural, tidak dengan
upaya intelektual atau pembelajaran namun lebih kepada
petunjuk ketuhanan.26
Bagi S{abri> definisi tersebut tidak cukup karena hanya
memfokuskan pada sosok kemanusiaan yang itu bisa lahir secara
natural dan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan, S{abri> menganggap
bahwa definisi Muh{ammad ‘Abduh tentang karakteristik kemanusiaan
dalam kenabian telah mengesampingkan makna agama, wahyu,
mukjizat dan tentunya adalah makna Ketuhanan.27
Agama tidak
terpisahkan dengan kenabian, karenanya bisa saja seseorang berbuat
kebenaran dan mengungkapkan kebenaran, namun jika ia tidak
menjelaskan tentang agama tentu ia tidak dianggap sebagai nabi dan
mungkin hanya sebagai ahli hikmah semata. Demikian pula tentang
wahyu, mukjizat dan juga ketuhanan.
Kedua tentang kecerdasan seorang Nabi. S{abri> banyak
menelaah perkembangan buku sejarah kehidupan nabi Muhammad
yang ditulis oleh para sarjana muslim saat itu. Dari sejumlah buku
yang ditelaah S{abri> seperti H{aya>t Muh}ammad karya Muh{ammad
26
Muh}ammad ‘Abduh, Ta’liqa>t al-Syaikh Muhammad ‘Abduh ‘ala> Sharh al-Dawwani> li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyyah (Kairo: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1291 H),
152; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 40-41.
27Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.”, 12; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 40-41.
60
H{asain Haekal, al-Si>rah al-Muh{ammadiyah tah{ta D{aw al-Ilm wa al-
Falsafah karya Muhammad Farid Wajdi> dan beberapa lainnya, S{abri>
menyimpulkan bahwa buku-buku tersebut lebih banyak menampilkan
sosok kejeniusan seorang nabi dari pada pemberian Tuhan dalam
bentuk kenabian pada manusia.28
Bagi S{abri> kecerdasan dalam diri dan
bentuk kenabian adalah dua sisi yang berbeda. Meskipun yang tampak
kadang kejeniusan itu lebih unggul dari pada kenabian, namun
kenabian pasti lebih memiliki kelebihan dan kebenaran dari pada
hanya kejeniusan sosok manusia.29
Dalam posisi inilah sejarah nabi menjelaskan bahwa memang
kejeniusan nabi kadang ketika berujung pada kesalahan atau
ketidaktahuan Nabi, wahyu sebagai bagian dari kenabian itu lebih
banyak memberikan jawabannya. Sehingga, kejeniusan –yang dalam
bahasa lain karya dari kejeniusan ini adalah ijtihad– bisa pula memiliki
unsur kesalahan sebagaimana manusia biasa. Namun demikian, S{abri>
memahami bahwa penekanan terhadap penulisan kecerdasan sosok
nabi ini adalah karena berkembangnya fenomena yang memunculkan
apresiasi terhadap kejeniusan akal lebih besar dari pada sosok
kenabian. Hal ini kemudian menekan para Sarjana Modern untuk
memberikan bahasan yang sama sebagai bentuk “menyerah” terhadap
perdebatan logika dan teknologi modern.30
B. Makna Ijtihad dalam Kepribadian Nabi
Kepribadian Nabi yang yang masih mengandung unsur
kemanusiaan penting dalam kaitannya dengan ijtihad. Untuk itu
pembahasan tema ini akan menjabarkan apa kedudukan ijtihad dalam
kajian baik filosofis sebagai bagian dari hasil pikiran manusia maupun
pada sisi yuridis dalam perdebatan ada dan tidaknya pada diri seorang
Nabi yang muncul sebagai sumber hukum.
28
Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>
S{abri>’s Response.”, 16. 29
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 9.
30Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n
wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 113.
61
1. Pengertian Ijtihad dalam Islam
Ijtihad bermula dari kata yakni “ja ha da” yang berarti
kesulitan atau kesusahan. Kata ijtihad berasal dari kata yang
berarti kemauan dan kesulitan ( ), kata ini memiliki derivasi yang
sama dengan kata . Misalnya pada yang berarti
mencurahkan kemampuan dan daya untuk menghilangkan segala
kelemahan demi mencapai suatu tujuan tertentu.31
Dengan demikian,
respon terhadap kesulitan maupun keinginan manusia terhadap
sesuatu bisa dikatakan sebagai ijtihad.
Dalam Islam kata ijtihad selalu dikaitkan dengan penentuan
sebuah hukum tertentu. Al-Ghaza>li> (w. 505 H) misalnya mengatakan
bahwa ijtihad adalah, 32
Yakni “mencurahkan segala kemampuan seorang mujtahid
dalam mencari sebuah ilmu dengan hukum syariat.” Sejalan dengan
hal tersebut al-Baid{awi (w. 685 H) juga mengatakan bahwa ijtihad
adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum-hukum
syariat.33
Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa kata
ijtihad sering dikaitkan dengan masalah sumber hukum Islam.
Alquran dan hadis adalah sumber hukum Islam yang pasti dan diakui
oleh seluruh umat Islam. Namun demikian, jika suatu masalah tidak
ditemukan solusinya pada kedua nash tersebut disinilah fungsi ijtihad
itu bermain. Abu> Zahrah (w. 1394 H) mengatakan bahwa ijtihad
dalam hal ini adalah qiyas. Ia mengutip Imam Sha>fi’i > (w. 204 H) yang
mengatakan bahwa,
31
Wahbah Zuh{aili, Us}u>l al-Fiqh al-Islami> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986),
1037; lihat pula Ibn Munz}ir, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, tth) juz 2,
133-134. 32
‘Abd al-Wahhab Khallaf, Mas{a>dir al-Tashri’ al-Islam (Kuwait: Da>r al-
Qalami>, 1972) 7: Saim Kayadibi, “Ijtihad by Ra’y: The Main Source of Inspiration
behind Istihsan”, The American Journal of Islamic Social Science 24, no 1, (2007)
75. 33
Al-Baidhawi, Minha>jul Wus{u>l, (Beirut: Muassasah Risalah, 2006) 7.
62
Setiap persoalan pasti ada kepastian hukum dan umat
Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada
ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dilakukan
pendekatan yang pasti maka harus dicarikan pendekatan yang
sah, yakni dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.34
Pendapat Imam Sha>fi’i > (w. 204 H) tersebut menggambarkan
peran akal dalam diri manusia untuk menentukan sebuah hukum.
Manusia tidak mungkin terlepas dari daya nalar akalnya, bahkan dalam
beragama sekalipun. Secara sederhana hal ini juga tergambar dalam
hadis Mu’az ibn Jabal berikut,
35
Kata ra’y di atas menunjukkan bagaimana akal menjadi pondasi
kuat sebagai sumber dalam menentukan sebuah hukum kala wahyu
dalam hal ini Alquran dan hadis tidak mampu menjawab sebuah
persoalan. Namun demikian, pembahasan dalam tesis ini tidak terpaku
dalam soal bagaimana seorang manusia biasa berijtihad, tapi pada
seorang Nabi utusan Allah Swt.
Agaknya, pentingnya akal ini menjadi sisi utama kemanusiaan
dalam melakukan tindakan. S{abri> menilai bahwa ijtihad adalah hasil
dari penafsiran atau penalaran terhadap sebuah pengalaman dan
percobaan. Sehingga, tak mungkin Nabi berijtihad tanpa sebab.
34
Muh{ammad Abu> Zahrah, Ushul Fiqih, Terj. Hamdan rasyid dkk. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005), 336. 35
Abu> Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni> (w. 275 H), Sunan Abu> Dau>d (Beirut:
Maktabah al-‘Asriyah, Tth) juz 2, 303.
63
Bahkan S{abri> mengatakan pengalaman tanpa adanya penalaran adalah
tuli dan tindakan tanpa penalaran adalah buta.36
Dengan demikian, sebagaimana pembahasan pada bab kedua
bahwa Nabi adalah manusia biasa sebagaimana manusia umumnya
tanpa ada perbedaan.37
Sedang makna kenabian itu muncul pada
penerimaan risalah atau pesan Allah kepada Nabi untuk manusia
umumnya. Namun demikian, kemanusiaan Nabi juga menuntut
adanya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi dalam menghadapi persoalan
baik masalah agama maupun yang lainnya.
2. Antara yang Setuju dan Tidak Akan Adanya Ijtihad
Terkait masalah ijtihad dalam diri Nabi para ulama menjadi dua
kelompok yakni mereka yang setuju akan adanya ijtihad dan mereka
yang tidak setuju terhadap adanya ijtihad pada diri Nabi.38
Selain itu
ada pula sekelompok lain yang mendiamkan masalah ini. Perbedaan
ini tentu menjadi konsekuensi langsung terhadap pertanyaan apakah
ijtihad Nabi itu sejajar dengan wahyu atau tidak.39
Di sisi lain, karena
alasan rasional dan akal manusia, keharusan adanya ijtihad Nabi
menjadi penting apalagi terkait dengan masalah keduniaan bahkan
peperangan. Namun demikian sebelum membagi antara yang setuju
dan tidak, Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010 M/ 1431 H) memberikan
penjelasan bahwa sebenarnya secara umum para ulama setuju dengan
adanya ijtihad yang dilakukan Nabi mengenai hal duniawi, namun
malasah agama hal tersebutlah yang diperdebatkan bahkan dilarang.40
36
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 235-236..
37Al-‘Umri mencatat kemanusiaan Nabi bahkan menunjukkan bahwa Nabi
juga tidak mengetahui hal ghaib kecuali yang memang telah ditunjukkan Allah
kepadanya. Lihat Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985), 19-20 lihat juga surat Hud [11]: 31 dan
al-An’am [4]: 50. 38
Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat
al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010): 65. 39
Zainuddin MZ, “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wahyu Ilahi Atau Ijtihad
Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007): 4-5. 40
M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak. Terj. Safri
Mahayedin, (Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, Cet. 2 2009),
44.
64
Berkaitan dengan adanya ijtihad pada diri Nabi, Latifah Abdul
Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid setidaknya memberikan 4
gambaran. Pertama, dari sudut realitas Nabi diperbolehkan melakukan
ijtihad secara mutlak karena haru menyelesaikan persoalan baru tanpa
harus menunggu wahyu. kedua, ijtihad secara umum hanya berlaku
pada urusan keduniaan semata dan bukan pada urusan syariat. Ketiga,
meskipun dalam realitasnya Nabi berijtihad, namun dalam catatan al-
Ghaza>li> (w. 505 H)41
, tidak ada nash yang menunjukkan keharusan
ijtihad itu sendiri. Keempat, secara umum keberadaan ijtihad hanya
berlaku setelah Nabi menunggu wahyu terlebih dahulu.42
Alasan pembolehan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi bisa
dilihat dari dua aspek, pertama aspek nash baik Alquran maupun hadis
dan kedua adalah alasan rasional. Dalam kaitan nash Alquran, Allah
menyebutkan dalam surat al-An’am,
76
76
Ayat di atas berikaitan dengan masalah tawanan perang yang
disepakati Nabi setelah bermusyawarah dengan para Sahabat.43
Teguran yang disampaikan Allah Swt kepada Rasulullah nampak jelas
menjadi pedoman akan adanya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi.
Namun demikian, Nadiyah Shari>f al-‘Umri menyatakan bahwa adanya
kesalahan dalam ijtihad Nabi adalah isyarat yang jelas akan adanya
pemikiran manusia yang dalam kecerdasan apapun bisa menimbulkan
kesalahan dan inilah bedanya dengan wahyu.44
41
Abu> Hami>d Muh{ammad al-Ghaza>li>, al-Mushtashfa> min ‘Ilmi al-‘Us{u>l (Kairo: Muassasah al-Halabi, Tth), 355.
42Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat
al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010): 66. 43
Persoalan terkait musyawarah Nabi dengan Sahabat dalam hal peperangan
lihat lebih lanjut, Ah{mad Mat}ar Khad{ir, “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}h}a>bihi fi>
al-Ghazawa>t.” Jurnal Research Diyala Unversity (2009): 74-86. 44
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 47-
48.
65
Dalam kajian ‘ulum Alquran tentang teguran sebagaimana di
atas biasa disebut dengan yang secara bahasa berarti ayat-
ayat dalam Alquran yang menjelaskan teguran dan peringatan untuk
memperbaiki atau mengoreksi sebuah persoalan yang dihadapi atau
dilakukan oleh para nabi dan rasul. Peringatan ini secara tidak
langsung juga mengindikasikan bahwa nabi dan rasul telah melakukan
ijtihad.45
Harus pula difahami bahwa dalam hal permusyawaratan adalah
pula perintah Allah dan bukan sekedar keinginan Nabi.
Perintah pada surat Ali Imran ayat 139 juga
mengisyaratkan adanya permusyawaratan terhadap persoalan yang
dihadapi Nabi. Dengan demikian, Nabi diperbolehkan bahkan
diperintahkan untuk berijtihad dalam sebuah persoalan yang memang
tidak dijelaskan oleh wahyu.46
Adapun dalam hadis Nabi, Qad{i ‘Iyad{ (w. 544 H) memberikan
penjelasan dalam kitabnya al-Shifa’ tentang beberapa riwayat terkait
kesalahan Nabi dalam memberikan saran terhadap para petani
kurma.47
Nabi mengatakan,
juga48
maka baik kata ra’y maupun dhan mengindikasikan perilaku ijtihad
Nabi.
Dalam argumentasi rasional jelas bahwa manusia tidak
diciptakan seperti robot namun ia memiliki akal untuk menentukan
pilihan dan menyelesaikan persoalan. Hal ini berlaku bagi setiap
manusia tak terkecuali Nabi sekalipun. Bahkan al-Amidi (w. 631 H)
mengatakan bahwa andai Nabi tidak melakukan ijtihad sedang
45
Lebih jelas lihat pada tulisan Ami>n Muh{ammad Salla>m al-Muna>siyah,
“Nadrah fi > A<ya>t al-‘Ita>b” Jurnal Ja>mi’ah Dimasq Li al-‘Ulu>m al-Iqtis{a>diyah wa al-Qanu>niyah 23, no 1 (2007) : 322-325.
46Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 55-
56. 47
Al-Qad}i> ‘Iyad, al-Shifa’ (Kairo: al-Matba’ah al-Azhariyah, 1327 H), juz 4,
265: Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 41-43. 48
Muslim ibn Hajja>j al-Nisaburi, S{ah{ih{ Muslim (Beirut: Dar al-Ihya’ al-turath,
Tth) juz 4, 1835.
66
umatnya diperbolehkan, hal ini malah menggambarkan betapa Nabi
tidak lebih cerdas dari umatnya.49
Mengapa demikian? Karena ijtihad
diperlukan kecerdasan akal sedang mereka yang tidak pernah
melakukan ijtihad berarti tidak memiliki kecerdasan akal.
Namun demikian adanya teguran terhadap kesalahan Nabi
dalam berijtihad menunjukkan bahwa posisi ijtihad tidak bisa
disamakan dengan wahyu. ijtihad hanya menunjukkan bahwa
kedudukan Nabi tidaklah berbeda dengan manusia biasa dalam
berfikir sedang perbedaan terletak pada wahyu yang diberikan sebagai
pembetulah Allah kepada kesalahan Nabi.
Terjadinya ijtihad Nabi Saw dalam catatan Muh{ammad Shaki>b
Qa>simi> terbagi menjadi tiga kelompok ulama; pertama, mereka yang
mengatakan bahwa Nabi Saw melakukan ijtihad tanpa menunggu
wahyu. Kedua, Nabi Saw melakukan ijtihad setelah menunggu wahyu.
Dan ketiga, mereka yang mengguhkan masalah ini karena tiadanya
kejelasan dari Nabi Saw sendiri.50
Di samping adanya persetujuan ulama terhadap ijtihad yang
dilakukan Nabi, ada pula ulama yang tidak sepakat dengan adanya
ijtihad tersebut. Mereka adalah Ibn H{azm (w. 456 H), al-Maturi>di> (w.
333 H) dari golongan al-Ash‘ariyah dan al-Jubbai> (w. 303 H) dari
golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa ijtihad tidak
diperbolehkan bagi para Nabi bahkan jika tidak ada nas sekalipun.51
Hal ini dilandaskan pada ayat berikut, 52
Bahwa memang tidak patut bagi nabi untuk mengikuti sesuatu
selain wahyu yang diberikan kepadanya. Sehingga ayat ini
49
‘Ali> Shaifuddin al-Amidi>, al-Ih{kam fi> ‘Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah), 157. 50
Adapun kelompok ketiga ini menganggap babwa yang tahu bahwa Nabi
menunggu wahyu dan tidak tentu ada Nabi sendiri. Adapun contoh ijtihad akan
dijelaskan pada pembahasan beriktnya. Lihat, Muhammad Shaki>b Qa>simi>, “Ijtiha >da>t
Nabi Salla> Allah ‘alaihi wa Sallama; Qira’atan Tahliliyatan ‘Usuliyatan” Jurnal al-Da’i> 36, no. 7 (2012) : 7.
51Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat
al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” 71-72 52
Yu>nus [10]: 15.
67
menegasikan adanya ijtihad bagi seorang Nabi. Adapun ayat 67-68
Surat al-Anfal di atas, Ibn H{azm (w. 456 H) menjelaskan bahwa pada
hakekatnya Rasulullah pun memiliki pilihan yang sama seperti
Sahabat. Dalam hal ini Rasulullah lebih memilih pendapat Sahabat,
karena itulah Rasul ditegur bukan karena pendapatnya melainkan
karena kecenderungannya untuk mengikuti Sahabatnya itu.53
Namun demikian, Mus}t}afa> S{abri> menilai bahwa Ijtihad tetaplah
pernah dilakukan oleh Nabi. Hal ini terlihat baik dalam nash Alquran
maupun ungkapan Nabi sendiri. Mengenai ayat 15 dari surat Yunus di
atas S{abri> sebenarnya jelas bahwa ayat itu terkait dengan penjelasan
Nabi tentang Alquran.54
Sehingga memang tidak mungkin Nabi
mengungkapkan sesuatu yang lain mengenai pendapatnya pribadi
tentang Alquran kecuali wahyu yang diberikan kepadanya.
Adapun pendapat Mus}t}afa> S{abri> dalam hal ini bisa dilihat dari
beberapa aspek; pertama, bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad bersambungan langsung dengan wahyu yang disampaikan
kepadanya. Artinya ijtihad yang dilakukan Nabi meskipun kadang
memunculkan kesalahan namun tentu telah dipertimbangkan dengan
segala perintah dan wahyu Allah yang diberikan kepadanya.55
Kedua,
53
Abu> Muh{ammad ibn H{azm al-Andalu>si> al-Zahiri, al-Ih{ka>m fi Us{u>l al-Ah{ka>m
(Kairo: Sa’adah, Tth), 498-699. 54
Adapun secara lengkap ayat tersebut berarti, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah Alquran yang lain dari ini
atau
gantilah dia.’ Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku
sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya
aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." Dengan
demikian S{abri> menilai bahwa Nabi tidak mungkin salah dalam menyampaikan
wahyu Allah, Lihat lebih lanjut, Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ali>m min Rab al-‘A<lami>n wa Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981) Juz 4,
162-163. 55
Kenabian akan selalu menyisakan personalisasi manusia dan kekuasaan
Tuhan didalamnya. Untuk itulah kenabian tidak bisa sembarang dimiliki seseorang
melainkan khusus Allah yang memilihnya. Lihat lebih lanjut, Mus{t}afa> S{abri>, al-Qawl al-Fas}l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi al-Ghayb wa al-Ladhi>na la Yu’minu>n (Ttp:
Da>r al-Sala>m, 1905) 123-126: Mehmet Kadri Karabela, “One of the Last Ottoman
Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual
Contribution.” Tesis, Institute of Islamic Studies Mac Gill University, Montreal,
2003. 89-93.
68
Nabi adalah manusia yang maksum dan terlepas dari kesalahan karena
tertutupi oleh wahyu dan mukjizat yang melekat pada kenabiannya.
Karenanya, ijtihad yang dilakukan Nabi jika memang menimbukan
kesalahan maka akan ditutupi atau ditegur dengan adanya wahyu
yang disampaikan Allah kepadanya.56
Ketiga, kepribadian
Muhammad Saw sebagai Nabi lebih banyak mendapat perhatian
daripada kepribadian Muhammad Saw sebagai manusia. Artinya,
meskipun Nabi melakukan ijtihad sebagaimana manusia biasa, namun
karena perhatian umat terfokus pada kenabian, maka sifat ittiba’
terhadap ijtihad tersebut masih menjadi perhatian atas kenabian itu
sendiri.57
C. Hadis-Hadis Bernuansa Ijtihad Nabi Muhammad Saw.
Kemanusiaan Nabi yang berbentuk ijtihad memunculkan
banyak varian yang tergambar dalam perilaku hidupnya. Nadiyah
Sharif Al-‘Umri mencatat setidaknya ada lima bentuk ijtihad yang
dilakukan Nabi, yakni dalam bentuk prasangka, larangan, keinginan,
perintah dan doa.58
Namun demikian, tidak pula menutup adanya
bentuk ijtihad yang lain karena memang Nabi makan sebagaimana
manusia lainnya, tidur sebagaimana manusia lainnya bahkan lupa
sebagaimana manusia lainnya.59
Gambaran ijtihad Nabi setidaknya menjawab beberapa
pertanyaan berikut:
a. Tentang keberadaan ijtihad. Mulai keberadaan ijtihad Nabi
apakah kemudian memungkinkan Nabi untuk melakukan
sesuatu tanpa ijin kepda Allah. Lalu tentang materi ijtihad,
56
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ali>m min Rab al-‘A<lami>n wa Iba>dihi al-Mursalin, juz 4, 155-156.
57Mufrih{ Sulaima>n al-Qawsi, al-Shaikh Mus{t{afa> S{abri> wa Mawqifuhu min al-
Fikri al-Wafid, (Riyadh: Markaz al-Malik Faisal, 1997), 384-385. 58
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 57. 59
Dalam riwayat Muslim Nabi pernah berkata,
. Lihat, Muslim ibn al-H{ajjaj, Musnad al-Sah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’,
Tth), juz 1, 400.
69
apakah hanya terkait persoalah dunia ataukah ibadah, apakah
terkait pula masalah hal ghaib ataukah tidak.
b. Tentang benar tidaknya ijtihad. Apakah ijtihad Nabi selalu
benar atau tidak, kemudian jika memang salah apakah pernah
ijtihad Nabi salah dalam hal agama.
c. Tentang pembetulan. Apakah setiap kesalahan Nabi selalu
dibenarkan lewat wahyu Allah atau adakah yang tidak. Dan
jika tidak, apakah yang tidak terdapat pembenaran lewat
wahyu itu terkait dengan agama atau dunia semata?60
d. Tentang respon Sahabat. Apakah Sahabat selalu melaksanakan
setiap ijtihad yang diajukan Nabi ataukah
mempertimbangkannya atau bahkan menolaknya?
Adapun ketiga pertama terfokus pada keberadaan dan keadaan
Ijtihad Nabi itu sendiri, sedang mengenai respon Sahabat ini menjadi
penting karena respon ini setidaknya mampu menggambarkan pola dan
metode penerimaan hadis Nabi oleh para Sahabat. Di samping itu, bisa
pula menggambarkan bagaimana para Sahabat memilah kapan
perkataan Nabi harus diikuti tanpa pertimbangan dan kapan
dibutuhkan pertimbangan sebagai wujud dari pertanyaan –atau hadis–
pada masa itu.
Namun demikian penulis tidak akan memberikan seluruh
gambaran ijtihad dalam tulisan ini melainkan terfokus pada beberapa
hal saja yakni: pertama, ijtihad Nabi yang dibenarkan dan disalahkan
oleh wahyu, kedua, ijtihad Nabi dan respon Sahabat, yakni ijtihad
yang diterima, dipertimbangkan dan ditolak oleh Sahabat, dan ketiga,
ijtihad Nabi yang salah namun tidak dibenarkan dengan wahyu.
Ketiga pembagian ini penulis berikan karena adanya beberapan
pandangan. Pertama, kemaksuman Nabi memungkinkan Nabi tidak
melakukan kesalahan dan jika salah akan ada teguran. Kedua, tindakan
adalah respon terhadap adanya suatu persoalan yang dalam hal ini
60
Dalam penggambaran ijtihad Nabi al-‘Umry tidak menyebut tentang respon
Sahabat sebagai bagian dari wawasan yang bisa didapat. Menurut penulis hal ini
mungkin karena memang al-‘Umri terfokus para perilaku Nabi. lihat, Na>diyat Sharif
al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 57-59.
70
Sahabat adalah lawan bicara Nabi. Ketiga, fakta harus diterima bahwa
ada pula kesalahan ijtihad Nabi namun tidak dibenarkan oleh wahyu.
1. Ijtihad Nabi yang Dibenarkan dan Disalahkan oleh Wahyu
Ijtihad Nabi yang dibenarkan oleh wahyu di antaranya adalah
adanya keinginan Nabi untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul
Maqdis ke Ka’bah sebagaimana riwayat berikut:
41161
“Rasulullah shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama
16/17 bulan. Namun, Nabi lebih menyukai untuk mengahadap
ke ka’bah. Karenanya turunlah ayat, “Sungguh kami (Allah)
sering melihatmu (Muhammad) menengadahkan wajahmu ke
langit.62’ Maka setelah itu Rasul shalat mengahadap ka’bah.”
Hadis di atas menggambarkan bagaimana ijtihad Nabi yang
telah lama meninginkan untuk menghadap kiblat ke Ka’bah kemudian
mendapat jawaban dari Allah berupa perintah untuk memindahkan
kiblat. Nadiyah Sharif Al-‘Umri memasukkan ijtihad ini ke dalam
ijtihad berbentuk harapan atau keinginan.63
Hal ini menjelaskan bahwa
ijtihad yang dilakukan Nabi dalam hal agama tidak berbentuk tindakan
atau perintah Nabi sendiri karena agama memang murni perintah dan
bukan pendapat Muhammad pribadi sebagaimana dijelaskan dalam
surat Yunus ayat 50 sebelumnya. Selain itu pembenaran atas ijtihad
Nabi memang bagian dari pemikiran Nabi yang menganggap bahwa
Ka’bah lebih cocok dari Baitul Maqdis. Peristiwa ini juga
menggambarkan bagaimana pembelajaran Islam kepada Nabi dan para
61
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Musnad al-Sah{ih{, (Kairo: Dar al-Tauq al-
Najah, 1422 H) juz 1, 88. 62
Maksudnya yakni menunggu wahyu. 63
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 71-
78.
71
Sahabat kala itu untuk menyingkirkan kesalahan agama Yahudi dari
Islam.64
Ijtihad Nabi yang disalahkan atau ditegur oleh wahyu di
antaranya adalah ketika Nabi dan para Sahabat bemusyawarah tentang
tawanan perang Badar. Nabi kemudian menanyakan kepada Abu Bakar
tentang pendapatnya mengenai tawanan itu. Abu Bakar menjawab,
“Ya Rasulullah, mereka dulu adalah bagian dari kita dan keluarga kita.
Apakah tidak lebih baik kita mengambil uang tebusan agar kita
menjadi kuat terhadap kaum kafir. Maka, semoga allah pun
memberikan hidayah kepada mereka untuk masuk Islam.” Nabi pun
bertanya hal yang sama kepada ‘Umar, lalu ‘Umar menjawab, “Tidak
ya Rasulullah, aku tidak sepakat dengan pendapat Abu Bakar, mereka
(tawanan) itu adalah pimpinan kaum kafir, maka hendaklah mereka
dibunuh.”
Saat itu Nabi Saw agaknya lebih cenderung kepada pendapat
Abu Bakar. Namun tiba-tiba Nabi dan Abu Bakar menangis, lalu
‘Umar pun bertanya, “Ya Rasul apa yang membuatmu dan sahabatmu
menangis?” Nabi menjawab, “Aku menangis karena aku setuju untuk
meminta tebusan dari tawanan ini.” Kemudian turunlah ayat Alquran,
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta
benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu)….”65 Akhirnya tawanan itupun dibunuh sebagaimana
perintah Allah. 66
Dengan demikian dari hadis di atas secara sederhana
memperlihatkan bagaimana ijtihad Nabi Saw yang jika keliru tentu
akan ditegur atau dibenarkan oleh Allah lewat wahyu. Namun,
demikian tentu tidak semua wahyu disampaikan kepada Nabi untuk
memberikan teguran buat beliau melainkan pula untuk para Sahabat
yang ikut menjadi pertimbangan Nabi.67
64
Abu ‘Abdullah al-Qurtubi (w. 671), al-Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qura>n, (Kairo: Dar
al-Kutub, 1964 M), juz 2, 161. 65
Al-Anfa>l [8]: 67-68. 66
Hadis lebih lengkap lihat. Sah{ih{ Muslim, juz 3, 1383. 67
Bisa pula lihat kisah lain tentang turunnya awal surah al-Naba.
72
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ayat-ayat
teguran ayat al-‘ita >b hal yang lumrah dialami oleh Nabi dan menjadi
bagian dari sisi kemanusiaannya. Namun harus difahami bahwa
kesalahan yang dilakukan Nabi bukanlah tindakan maksiat atau
melawan Allah Swt. Amin Muhammad Salla>m68
mengatakan bahwa
kesalahan itu memang ada, namun bukan berarti menjadi maksiat atau
bahkan menurunkan derajat kenabian itu sendiri. Setidaknya hal ini
bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, adalah bahwa nabi memiliki sifat
maksum, karenanya segala kesalahan akan dimaafkan dan diampuni
sehingga tiada dosa dariNya. Kedua, makna ijtihad adalah adalah
mencari ilmu atau kesimpulan atas sebuah persoalan. Karenanya, tidak
ada dosa di dalamnya. Bahkan, kesalahannya pun akan menuai pahala
dari Allah sebagaimana ungkapan Nabi sendiri. “Jika seorang hakim
menentukan persoalan kemudian berijtihad dan ijtihadnya benar maka
ia mendapatkan dua pahala, sedang jika ijtihadnya salah ia masih
mendapatkan satu pahala.”69
2. Ijtihad Nabi sebagai Respon atas Sahabat
Ada pula riwayat tentang siasat perang yang disampaikan Nabi
kepada para Sahabat namun ternyata ada Sahabat yang menganggap
bahwa siasat itu salah dan ia pun menawarkan siasat baru bagi Nabi.
Kejadian ini terjadi pada saat perang Badar.
Pada waktu perang Badar, Nabi Muhammad Saw mendahului
orang Quraish menuju mata air. Kemudian H{abbab ibn Munz}ir
menemui Nabi Saw dan berkata, “Ya Rasulullah, apakah anda sengaja
memilih posisi ini? Ataukah posisi ini telah dipilihkan Allah sehingga
kita tidak berpindah? Ataukah ini hanya tipu daya dalam peperangan?”
Nabi menjawab, “Hal ini hanyalah taktik dan tipu daya peperangan.”
Selanjutnya H{abbab menyarankan, “Ya Rasul, posisi ini menurutku
kurang strategis. Lebih baik kita menyuruh beberapa orang untuk
menjaga sumber air dan kita buat telaga yang mengalir dari air ini.
68
Ami>n Muh{ammad Salla>m al-Muna>siyah, “Nadrah fi > A<ya>t al-‘Ita>b,” 326-327. 69
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Musnad al-Sah{ih{, juz 9, 108.
73
Sehingga, kita bisa berperang tanpa kehausan, sedangkan musuh pasti
kehausan.” Akhirnya hal ini pun disetujui oleh Nabi.70
Hadis di atas mengisyaratkan sebuah respon Sahabat kepada
Nabi yang ternyata jika ada sebuah saran Nabi dan pada saat yang
sama Sahabat memiliki saran lain yang berbeda maka ia pun
mengutarakannya pada Nabi. Adapula isyarat yang menunjukkan
bahwa tidak selamanya perintah Nabi itu dilakukan dengan serta merta
oleh Sahabat. Namun, jika Nabi jelaskan bahwa perintah tersebut
berasal dari Allah, maka pasti Sahabat langsung mengerjakannya.
Adapun kisah lainnya pada nasehat Nabi kepada anak
angkatnya Zaid ibn Harithah yang ingin menceraikan istrinya Zainab
bint Jahsh. Akan tetapi, Nabi dengan ijtihadnya menyuruh Zaid untuk
tidak menceraikan Zainab dengan mengatakan, “Tetaplah pegang
istrimu (jangan ceraikan), dan bertakwalah kepada Allah.” Namun
ternyata Allah justru meperingatkan Nabi bahwa apa yang ia katakan
pada Zaid, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,”
tidaklah benar adanya. Meskipun, nasehat ini adalah suatu kebijakan
yang luar biasa dari Nabi agar kekhawatiran terhadap buruknya
hubungan dengan Zaid dan istrinya tidak terjadi dan bisa tetap
harmonis.
Akan tetapi Allah justru menggambarkan bahwa Ia mengetahui
bahwa apa yang ada di dalamnya adalah kekeliruan. Keinginan Nabi
untuk menikahi Zaenab harus dilanjutkan agar tidak ada lagi rasa
keberatan bagi siapapun nantinya untuk menikahi isteri anak angkat
mereka sendiri. Dengan catatan, tentu ia telah resmi bercerai dengan
anak angkatnya tersebut.71
Awal kasus ini sebenarnya karena keinginan Nabi untuk
menikahkan Zaid ibn Harithah dengan Zainab bint Jahsy. Namun, saat
Nabi melamar Zainab untuk Zaid ternyata Zainab enggan untuk
menerimanya. Karena itu turunlah sebuah ayat yang menegaskan
bahwa tidak pantas seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan
70
Abdul Jalil Isa Abu al-Nasr, Ijtihad Rasulullah Saw. terj. Wawan Djunaedi.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2001) 190-192 71
Al-Ahzab [33]: 37
74
yang jika Rasul sudah menetapkan sesuatu untuknya namun ia enggan
melakukannya.72
Akhirnya, setelah ayat ini turun berkenaan dengan
Zainab maka ia pun akhirnya menyetujui perintah Nabi tersebut.
Perlu diketahui bahwa dari kisah ini perintah Nabi bukanlah
ijtihad yang ia lakukan sendiri melainkan perintah yang datang dari
Allah. Karena itu, wahyu pun ikut serta di dalam penunjukan
pernikahan ini.73
Itulah kenapa Nabi agak memaksa adanya pernikahan
ini. Meskipun pada akhirnya terjadi perceraian di dalamnya.
Adapun pesan sebenarnya peristiwa ini adalah sebagaimana
yang dijelaskan Allah pada ayat di atas. Yakni, pembolehan dengan
menikahi istri anak angkat. Yang pada awalnya tindakan ini dianggap
tabu dan menyalahi kebiasaan masyarakat Arab kala itu.
3. Ijtihad Nabi yang Salah namun Tidak Dibenarkan dengan
Wahyu
Terkait masalah ijtihad Nabi yang keliru namun tidak
dibenarkan dengan adanya wahyu Allah adalah tentang saran Nabi
kepada para petani kurma di Madinah. Diriwayatkan dalam S{ah{ih{
Muslim bahwa suatu ketika Nabi pernah pergi ke Madinah dan melihat
para petani sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu Nabi berkata,
“Apa yang kalian lakukan itu?” Mereka menjawab, “Kami telah
terbiasa melakukannya.” Nabi pun memberi saran, “Jika kalian tidak
melakukan itu, mungkin akan lebih baik.” Akhirnya para petani kurma
pun tidak lagi melakukannya, namun ternyata panennya berkurang.
Akhirnya mereka pun lapor ke Nabi dan kemudian Nabi berkata,
“Sungguh aku hanya manusia biasa. Jika aku perintahkan kalian
tentang agama kalian maka taatilah, namun jika aku perintahkan
tentang suatu hal dari pendapatku, maka sungguh aku pun hanya
manusia biasa.”74
72
Al-Ahzab [33]:36 73
Abdul Jalil Isa Abu al-Nasr, Ijtihad Rasulullah Saw. (Jakarta: Pustaka Azam,
2001), 129. Lihat pula tafsir Sihabuddin Mah{mud al-Alu>si, Ru>h{ al-Ma’a>ni. (Beirut:
Dar al-Kutub, 1415 H) juz 11, 204. 74
Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, juz 3, 1745.
75
Dalam riwayat lain Nabi mengatakan, “Jika hal itu bermanfaat
maka lakukanlah, sungguh aku hanya memberikan saran dengan
prasangkaku, maka janganlah ikuti prasangkaku. Namun, jika aku
ajarkan kalian sesuatu tentang Allah, maka terimalah. Karena sungguh
aku tidak akan pernah berbohong tentang Allah Swt.”75 al-‘Umri juga
memberikan riwayat lain tentang jawaban Nabi yakni, “Sungguh jika
ada suatu hal terkait dengan agama kalian maka akulah yang lebih tau.
Namun jika terkait masalah dunia kalian maka kalianlah yang lebih
tahu.”76 Dan juga, “Sungguh kalian lebih mengetahui tentang dunia
kalian.”77
Peristiwa di atas banyak menyita perhatian para pengkaji hadis
terkait dengan ijtihad Nabi yang keliru. Sebagaimana pada bab
sebelumnya bahwa Muhammad adalah manusia biasa yang sama
sebagaimana manusia lainnya.
sebenarnya kesalahan ini adalah hal wajar yang biasa saja.
Namun, jika dilihat sebagai kepribadian kenabian yang ada pada diri
Muhammad tentu menjadi problem tersendiri.
Al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa pendapat Nabi yang
terkait dengan masalah kehidupan dunia sebagaimana di atas bukanlah
tanggung jawab dan materi dari kenabian Muhammad Saw.78
Selain
itu Nabi dalam sejarahnya memang tidak pernah belajar tentang
pertanian. Sehingga, ketidaktahuan Nabi terahadap penyerbukan
pohon kurma adalah menjadi sebuah kewajaran. Selain itu Ibn Khaldu>n
(w. 808 H) mengatakan bahwa adapun perkataan Nabi terkait dengan
kehidupan dunia seperti pertanian dan pengobatan adalah berdasarkan
pengalaman dan pengamatan yang sehari-hari ia lakukan, tentunya
tanpa adanya wahyu di sana.79
Menutup pada poin berbagai model ijtihad dan dampaknya di
atas dapat diambil beberapa benang merah menarik sebagai berikut.
Pertama, bahwa Nabi memang manusia biasa yang tidak terlepas dari
75
Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim. 76
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 107. 77
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 108. 78
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 109. 79
Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 109-110.
76
sisi kemanusia seperti ijtihad, kesalahan dan juga kritik. Sebaliknya,
hal ini juga menunjukkan bahwa Nabi bukanlah wujud Tuhan dalam
bentuk manusia suci tanpa kesalahan. Kedua, proses penerimaan hadis
dari Sahabat tidak sekedar wujud ketaatan buta, namun juga diproses
lewat logika yang memungkinkan interfensi Sahabat di dalam
pendapat Nabi dalam hadis itu sendiri. Ketiga, kemaksuman Nabi
bukanlah pada kesucian Nabi dari kesalahan, namun penjagaan
terhadap kesalahan Nabi yang jika itu terjadi dan berimbas dalam misi
kenabiannya, maka Wahyu Allah pun ikut interfensi dalam pembetulan
ijtihad tersebut.
Untuk masalah ketiga di atas, maka pembahasan wahyu dalam
kaitannya dengan hadis menjadi perlu didudukkan dengan jelas. Hal ini
agar kemudian dapat dipahami manakah yang kemudian ijtihad Nabi
dan manakah hadis Nabi yang sebenarnya bagian dari wahyu Allah itu
sendiri.
D. Keberadaan Wahyu Allah dalam Hadis Nabi Saw
Wahyu berasal dari kata yang berasal dari kosa kata
– – . Ibn Munzir (w. 316 H) berpendapat bahwa
wahyu berarti pengetahuan yang tersembunyi.80
Karena itu ilham juga
disamakan dengan wahyu. Sejalan dengan hal tersebut al-Raghib al-
Ishfahani (w. 502 H) juga menyampaikan bahwa wahyu adalah isyarat
yang cepat.81
Dalam Islam wahyu ini kemudian memiliki setidaknya
beberapa istilah. Pertama, wahyu adalah pemberitahuan atau
informasi dari Allah Swt yang diberikan kepada hamba-Nya yang
terpilih untuk menjadi sebuah petunjuk ataupun ilmu dengan jalan
yang cepat dan tidak biasa dilakukan oleh manusia.82
Kedua, wahyu
adalah informasi yang diberikan Allah Swt kepada para nabiNya yang
80
Ibn Manz{u>r (w. 740), Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, Tth) juz 3,
892. 81
Al-Raghib al-Isfaha>ni, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qura>n (Mesir: Matba’ah al-
Maimuniyah, 1324 H) 515. 82
Muh{ammad al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Ifra>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-
Fikr, Tth) juz 1, 56.
77
berbentuk berita ghaib, ajaran agama maupun hukum tertentu. Di
antara mereka ada yang sudah terbukukan dan juga ada yang tidak.83
Ketiga, wahyu adalah segala bentuk perkataan Allah Swt dan yang
semakna yang disampaikan para rasul.84
Dengan demikian wahyu
adalah berita dari para Nabi yang dalam berita itu mereka
mengungkapkan bahwa Allahlah sumbernya perkataannya.
Mengenai wahyu dalam Alquran tidak memiliki perdebatan.
Disamping karena periwayatan Alquran yang dilakukan secara
mutawatir oleh para Sahabat, di dalam Alquran sendiri menyebutkan
ungkapan-ungkapan perkataan Allah Swt kepada para hamba
pilihanNya. Misalnya, percakapan Allah kepada Adam,85
perintah
kepada Nuh,86
Musa87
as. dan sebagainya. Karena itulah Alquran tetap
dipegang sebagai pedoman yang memang diyakini Allahlah sumber
satu-satunya.
Hadis yang paling mungkin dianggap sebagai wahyu adalah
hadis qudsi. Hadis jenis ini hampir tidak akan pernah disebut sebagai
ijtihad nabi. Karena memang hadis jenis ini memiliki indikasi bahwa
yang berkepentingan dalam isi atau objek matan hadisnya adalah
Allah sebagai sumber wahyu itu sendiri. Makna hadis qudsi sendiri
diambil dari kata al-quds yang berarti suci, di mana yang dimaksud
tentu adalah Allah Swt. Untuk itu, hadis qudsi adalah jenis hadis yang
menunjukkan bahwa Rasulullah adalah yang memiliki otoritas dalam
pemilihan kata sedang isi atau materi dari hadis tersebut memiliki
korelasi terhadap kesucian Allah. Atau, segala sesuatu yang
dikabarkan Allah kepada para nabi-Nya, maka kemudian kabar itu pun
disampaikan kepada manusia dengan ungkapan dari nabi sendiri. Hal
83
Muh}ammad Rashid Rid{a, al-Wah{yu al-Muh{ammadi (Kairo: Da>r al-Mana>r,
1935) 41. 84
H{asan Dhiya’ al-Di>n ‘Itr, Nubuwwatu Muh{ammad fi> al-Qura>n (Suriah: Da>r
al-Nasr, 1973) 145; Lihat juga Minhad Muhammad S{alih{ ‘A<tiyah, “al-Wahyu fi> al-
Qura>n wa Mauqifu al-Musyriqi>na Minhu”, Majallah Kuliyah al-Tarbiyyah al-Asasiyah 66 (2010) 177.
85QS. Al-Baqarah [2]:32.
86QS. Nu>h [71]: 1.
87QS. Ta>ha> [20]:9-13.
78
ini tentu tidak sama dengan Alquran yang lafadnya pun diyakini dari
Allah.88
Setidaknya sisi kesucian dari hadis qudsi memiliki dua model
berbeda. Pertama adalah berisi tentang segala kegiatan atau pekerjaan
yang dilakukan oleh Allah dan kedua adalah tentang segala yang
dilakukan oleh Allah. Untuk yang pertama bisa terlihat dari beberapa
kalimat yang sering digunakan oleh nabi seperti: 89
,90 atau
91 . Hadis-hadis tersebut mengindikasikan tindakan Allah
dengan ungkapan nabi bahwa Allah melakukan ini dan itu. Karena
tindakan ini adalah tindakan yang dilakukan oleh Allah Yang Maha
Suci, hadis jenis ini pun digolongkan pada hadis qudsi.92
Sedangkan untuk hadis yang menyatakan ungkapan atau
perkataan Allah bisa dilihat dalam beberapa hadis seperti: 93
94, juga
95
Atau dengan kata lain makna al-quds dalam hadis-hadis tersebut
adalah isi dari ungkapan atau perkataan Allah didalamnya yang
memuat bahwa Allah mengatakan ini dan itu.
Tentunya, baik hadis qudsi yang mengungkapkan perkerjaan
maupun perkataan Allah ini tidak bisa dianggap sebagai ijtihad Nabi.
Namun, sebagaimana difahami awal bahwa hadis qudsi adalah isinya
dari Allah atau mengenai tindakan Allah namun lafadnya muncul dari
88
Ima>n Khalifah H{ami>d, “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith al-
Qudsiyah.” Al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 13, no. 4 (2006), 229. 89
Muh{ammad ibn H{ibba>n (w. 354), S{ah{ih{ ibn H{ibba>n, (Beirut: Muassasah
Risa>lah, 1993), juz 2, 67. 90
Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 1, 162; Lihat juga Muhammad ibn
Hibban, S{ah{ih{ Ibn H{ibba>n, juz 1. 499. 91
Abu> Sa’id ibn al-‘Araby, Mu’jam ibn al-‘Araby (Saudi: Da>r ibn Jauzi, 1997)
juz 3, 1040 92
Ima>n Khalifah H{ami>d, “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith al-
Qudsiyah.” 231-232. 93
Muslim ibn hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 1, 351. 94
Abu> Muhammad Abdullah al-Dari>mi>, Musnad al-Dari>mi>, (Saudi: Da>r al-
Mughni, 2000) juz 3, 1814. 95
Abu> Bakr Ah{mad ibn Ibrahim al-Isma’ili>, al-Mu’jam fi> Asa>mi Shaikh Abi Bakr al-Isma>’ily, (Madinah: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-Hukm, 1410 H) juz 3, 792.
79
Nabi. Untuk itu, sisi kemanusaan atau ijtihad Muhammad dalam hal
ini pun tetap berlaku yakni pada pola pemilihan kalimat atau lafaz
agar mudah difahami oleh manusia pada umumnya.96
Jika kemudian hadis dimaknai sebagai segala yang datang dari
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya, lalu apakah
ia juga dianggap sebagai wahyu? Hal ini tentu memerlukan untuk
kembali melihat bagaimana penafsiran para ulama terhadap surat al-
Najm ayat 3 dan 4. Penafsiran ini setidaknya menentukan apakah
segala yang disampaikan Nabi sebagai wahyu ataukah ijtihad Nabi
sendiri.
Ibn Kathi>r (w. 774 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa
maksud “Nabi tidak pernah berbicara menurut hawa nafsunya” adalah
bahwa memang Nabi memang menyampaikan segala yang
diperintahkan tanpa ada pengurangan dan ada tambahan di dalamnya.
Pendapat ini mengindikasikan bahwa memang segala informasi dari
Nabi bukanlah ijtihad melainkan wahyu. Ibn Kathi>r setidaknya
menyampaikan beberapa riwayat berikut:
‘Abdullah ibn ‘Umar pernah bercerita, “Dulu aku mencatat
segala yang aku dengar dari Nabi Saw. karena aku ingin
menghafalnya. Namun, orang Quraish melarangku dan berkata,
‘Kenapa kau mencatat segala yang datang dari Nabi padahal ia adalah
manusia biasa yang kadang berkata dengan emosionalnya!’ Maka aku
laporkan hal tersebut kepada Nabi dan beliau berkata, ‘Catatlah, demi
Allah yang nyawaku ada dalam genggamannya. Tidaklah datang
dariku kecuali kebenaran.’”97
Adapun dalam riwayat lain Nabi juga mengungkapkan bahwa,
“Sungguh segala yang aku beritahukan kepadamu adalah dari Allah
semata dan tidak ada keraguan di dalamnya.”98
96
Dalam hal ini Nabi memiliki otoritas untuk menetukan bagaimana pola
kalimat agar mudah dan sesuai dengan lawan bicara Nabi sendiri. Sehingga,
kemampuan Nabi dalam berbahasa pun menjadi penentunya. Lihat kesimpulan tesis
Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ah{a>dith al-Qudsiyah: Dira>sah Balaghiyah.” 2007,
Fakultas Adab, Universitas Ghaza, 194-195. 97
Ibn Kathir (w. 774 H), Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m (Kairo: Dar al-Tayiibah,
1999) juz 7, 443. 98
Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m, juz 7, 443.
80
Penyataan di atas mengindikasikan bahwa ucapan Nabi Saw
adalah memang kebenaran. Persoalannya adalah apakah kebenaran itu
bagian dari wahyu? Ataukah segala yang dari Nabi namun terkait
dengan agama semata? Setidaknya dapat difahami bahwa yang
dialami oleh Ibn ‘Umar di atas adalah penentangan dari seorang
Quraish yang pada saat yang sama Nabi ingin menunjukan bahwa apa
yang datang darinya pastilah kebenaran. Namun apakah makna haq di
atas berarti Alquran atau hadis juga?\
Setidaknya Abu> H{afs} (w. 775 H) ketika menafsirkan surat al-
Najm ayat 3-4 menyatakan
bahwa kata pada surat al-Najm tersebut memang memiliki dua
dhamir yang berbeda. Pertama, pertama secara z}ahir tentu dhamirnya
adalah Nabi Muhammad Saw. Kedua, namun harus difahami bahwa
objek dari pembicaraan ini adalah Alquran. Hal ini sejalan dengan
kata haq yang ada pada hadis di atas dan juga diulang perkataan
tersebut dalam Alquran yakni .99
Jadi, z}amir
dari kata tersebut bukanlah Nabi sendiri melainkan adalah Alquran.100
Sejalan dengan hal ini sebenarnya sudah disampaikan pada
pembahasan sebelumnya bahwa adalah jika Nabi menyampaikan hal
terkait dengan Allah maka pastilah hal itu benar. Namun, jika yang
disampaikan adalah hal lain selain Allah atau ajarannya maka hal itu
bisa jadi datang dari ijtihad Nabi sendiri. Setidaknya Imam Taba>ri> (w.
310 H) memberikan alasan sebuah riwayat dari Sahabat yang juga
memiliki pendapat ini yakni dari Qata>dah. Dalam hal ini Qata>dah
memberikan pernyataan bahwa ayat 3 dan 4 dari Surat al-Najm
tersebut bermakna bahwa Allah memberikan wahyu kepada Jibril dan
Jibril memberikannya kepada Muhammad Saw. atau dengan kata lain
99
Al-Ja>siyah [45]: 29. 100
Abu Hafz Siraj al-Di>n al-Dimasqy (w. 775 H), al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-Kita>b
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Imiyyah, 1997) juz 18, 107. Adapun mengenai kapan
beliau wafat penulis menemukan pula dalam terbitan Dar al-Kutub di Beirut tertulis
wafat pada 880 H.
81
‘tidaklah Alquran itu perkataan dari hawa nafsu Muhammad Saw
melainkan ia adalah wahyu dari Allah yang diberikan kepadanya.’101
Dengan demikian kesimpulan dari penafsiran para ulama
tentang makna dari pembacaraan Nabi berupa wahyu dalam surat al-
Najm tersebut adalah Alquran. Sehingga, mengenai hadis maka hal ini
bisa saja ia menjadi wahyu jika memang terkait dengan ketuhanan dan
segala ajarannya. Namun jika terkait soal keduniaan dan kehidupan
sehari-hari sebagaimana kebutuhan manusia biasa maka hal itu bisa
berarti ijtihad Nabi Saw.
Dari berbagai pembahasan tentang ijtihad Nabi Saw di atas
nampak kemudian bisa disimpulkan beberapa hal mengenai ciri yang
bisa diperoleh dari ijtihad Nabi Saw yang terkandung di dalam hadis.
Pertama, tentu adalah ketiadaan kabar dari Nabi Saw bahwa
yang ia ucapkan adalah wahyu Allah ataupun hal yang berkait dengan
Allah sebagai hadis qudsi.
Kedua, bukan terkait tentang hal ketuhanan dan kebertuhanan.
Yakni, yang terkait dengan hal ghaib karena tentu Nabi Saw sendiri
pun tidak mengetahuinya tanpa diberitahu oleh Allah ataupun diberi
kemampuan untuk mengetahuinya. Sedang kebertuhanan adalah hal
yang terkait dengan cara bertuhan atau peribadatan. Bahwa Allahlah
yang paling tahu dan satu-satunya yang mengetahui bagaimana cara
beribadah kepadaNya. Karenanya, pengetahuan Nabi tidaklah sampai
kepada kehendak ataupun ijtihad untuk membentuk sebuah
peribadatan sendiri. Di sisi lain, hadis mengenai pemindahan arah
kiblat di atas menggambarkan bagaimana Nabi Saw sendiri hanya
pasrah pada Allah dalam hal ini. Namun demikian, perlu menjadi
catatan bahwa dalam hal kedua ini Nabi kadang tidak menyampaikan
kabar ini seolah dari Allah melainkan dari dirinya pribadi.
Ketiga, adalah hal-hal yang sudah dijadikan hukumnya atau
halal-haramnya dalam Alquran seperti hukum waris, makanan yang
haram dan sebagainya. Dalam hal ini tidak ditemukan dan tidaklah
101
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qura>n (Riyadh:
Muassasah al-Risalah, 2000) juz 22, 497-498. Dalam hal ini al-Tabari menyebut
dengan ungkapan
82
mungkin Nabi menyalahi wahyu Allah. Meskipun, secara umum
bahwa isi kandungan dalam Alquran tidaklah hanya sekitar hal
ketuhanan dan kebertuhanan semata melainkan di sana banyak terkait
soal sosial kemasyarakatan.
E. Posisi Hadis antara Wahyu dan Ijtihad
Dari berbagai polemik ijtihad Nabi di atas beserta pembahasan
tentang posisi hadis qudsi sebagai bagian dari wahyu Allah yang
include di dalam hadis, Maka tiba saatnya memetakan bagaimana
sesungguhnya posisi hadis sebagai wahyu ataupun ijtihad itu sendiri.
Nabi Muhammad sebagaimana difahami oleh Mus}tafa> S{abri>
bukan hanya manusia biasa yang tampil sebagai model bagi manusia
lain ataupun sekedar manusia yang menerima wahyu dari Allah lalu
kemudian disampaikan kepada manusia. Nabi adalah orang yang
memiliki kekhususan dalam hal pewahyuan tidak hanya soal
menerima namun pula bagaimana mengolahnya untuk disampaikan
kepada manusia. Kekhususan ini adalah tentang pemahaman itu
sendiri yang muncul sekaligus baik sebagai ciri kemanusiaan dan juga
keilahian yang muncul pada Nabi. Di sinilah difahami bahwa
kenabian adalah kemampuan manusia untuk berkomunikasi kepada
Tuhan dan bukan sekedar menerima wahyu namun juga ikut
berkomunikasi timbal balik antar keduanya.102
Artinya, komunikasi
ini memungkinkan adanya kemampuan Nabi untuk berijtihad
terhadap permasalahan yang ia hadapi dengan cara berkomunikasi
dengan Tuhan jika memang Nabi menganggap bahwa kemunikasi itu
dibutuhkan.103
Keberadaan ijtihad dalam hadis memang tidak bisa dipungkiri
adanya sebagai bagian dari kemanusiaan Nabi. Kemanusiaan ini
102
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981) Juz 4, 152.
103Salah satu contoh adalah pada perintiwa perintah kewajiban shalat yang
berkenaan dengan jumlahnya. Dalam hal hadis ini menggambarkan bagaimana sosok
Muhammad berijtihad dengan nalarnya untuk menyesuaikan perintah Tuhan
terhadap kemampuan manusia yakni pengikutnya nanti. Lihat pada kisah Isra’ Mi’raj
Nabi pada Muh{ammad ibn Isma’i>l al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1,
78.
83
memang ada namun tentu dengan adanya pengetahuan terhadap yang
ghaib seperti wahyu dan kedekatannya kepada Allah tentu memiliki
entri poin yang berbeda dibandingkan dengan manusia lainnya.
Karena ijtihad adalah hasil pertimbangan pemikiran terhadap
persoalan dalam wawasan akal fikiran manusia. Sedangkan Nabi
dengan segala keimanan dan hidayah Tuhan memiliki wawasan yang
berbeda sebagaimana pada umumnya.
Mus}tafa> S{abri> juga memahami bahwa memang menunjukkan
sisi kemanusiaan Nabi kadang sering dianggap sebagai bentuk ingkar
terhadap kenabian Muhammad. Padahal, sifat kemanusiaan yang
bercampur dengan pengetahuan hidayah dan keilahian ini justru
menunjukkan pada kelebihan Muhammad itu sendiri dibanding
manusia pada umumnya.104
Dari uraian di atas setidaknya ada beberapa yang mampu
menunjukkan garis pembatas antara wahyu dan ijtihad Nabi dalam
hadis. Garis pembatas ini setidaknya adalah gambaran tentang ciri
khas dari hadis-hadis yang memiliki korelasi terhadap wahyu Allah
dan hadis-hadis yang memiliki korelasi terhadap ijtihad nabi sendiri.
Adapun ciri khas tersebut antara lain:
Pertama, pada sandaran hadis yang diungkapkan Nabi Saw.
Jika Nabi Saw menyandarkannya kepada Allah baik perkataan
maupun perbuatan Allah Ta’ala maka sudah pasti hadis tersebut
bukanlah ijtihad melainkan wahyu. Sebaliknya, jika Nabi tidak
menyebutkannya maka sangat dimungkinkan bahwa ungkapan atau
hadis tersebut adalah ijtihad beliau. Dalam hal ini biasanya dikenal
dengan istilah hadis qudsi.
Sebagaimana penjabaran di atas, hadis qudsi secara materinya
diyakini adalah dari Allah hal ini karena memang Nabi sendiri yang
menyandarkannya. Artinya Nabi dalam hal ini menjadi periwayat dan
bukan sumber ungkapan. Namun demikian Nabi dengan
104
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 7-8.
84
kecerdasannya dalam penggunaan bahasa Arab105
menjadi piawai
dalam menyampaikan apa yang dipesankan Allah dengan bahasanya
sendiri. Sehingga, di sinilah letak perbedaan hadis dengan Alquran
yang lafaznya pun dari Allah Swt sendiri.
Dengan demikian posisi ijtihad Nabi dalam hadis qudsi terletak
pada bagaimana cara Nabi dalam menyampaikan kabar tersebut.
Selain keagungan bahsa Arab Nabi, hal ini pun menjadi sarana yang
memudahkan Sahabat dalam menerima kabar, perintah maupun
larangan Nabi secara langsung.106
Kedua, pada materi atau isi hadis yang diungkapkan oleh Nabi
Saw. Hadis Nabi Saw yang mengungkapkan materi tentang
ketuhanan, hal ghaib dan tata cara peribadatan tentu bukanlah
wilayah ijtihad Nabi. Karena, Nabi tidak memiliki sedikit andil dalam
menentukannya. Sebagaimana yang digambarkan Muhammad Sahrur
bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak melakukan interfensi dan
ijtihad karena pengetahuan ini adalah murni dari Allah.107
Adapun
tentang perintah peribadatan yang dianggap sulit jika dilakukan oleh
manusia, Nabi kemudian memberikan tanggapan berupa konfirmasi
timbal balik sebagaimana pada kasus perintah awal shalat sehari 50
kali pada peristiwa Isra’ Mi’raj.108
Karena itu, ijtihad Nabi dalam
masalah ini adalah tentang bagaimana penerapannya baik dalam
tindakan ataupun pemahaman manusia. Sehingga, dengan ijtihad Nabi
inilah dimungkinkan adanya kemudahan bagi kehidupan manusia
dalam berketuhanan.
Begitu pula hadis yang berkenaan dengan hal yang ghaib
seperti surga, neraka, malaikat, jin dan yang lainnya, Nabi memang
tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan selain yang memang
105
Hal ini sesuai dengan pernyataan Nabi bahwa beliaulah orang yang paling
fasih berbahasa Arab dan pernah belajar Arab di suku pedalaman Bani Sa’ad. Lihat,
Abu Muhammad al-Baghawi, Sharh{u Sunnah (Beirut: Maktabah Islamiyah, 1973)
juz 4, 202. 106
Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ah{adis al-Qudsiyah: Dira>sah Balaghiyah.”
195. 107
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogjakarta:
eLSAQ Press, 2004) 194-196. 108
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer , 194-196.
85
dipaparkan petunjukya oleh Allah. Namun demikian, karena hal ini
adalah ghaib tentu tidak mudah menjelaskannya kepada manusia. Di
sinilah Nabi dituntut untuk menjelaskan sejelas dan senyata mungkin.
Bahkan, Marwah Ibrahim ketika menelaah gaya bahasa Nabi dalam
menjelaskan hal yang ghaib ini mengatakan bahwa penjelasan Nabi
adalah penjelasan yang sangat mudah dan sempurna bagi penerima
kabar tersebut seolah-olah Nabi memang benar-benar mengetahuinya
dan pernah disana.109
Sebaliknya, jika Nabi mengungkapkan materi hadis tentang
keduniaan di luar penjelasan wahyu dan tidak terkait dengan masalah
hal ghaib maupun masalah ketuhanan dan kebertuhanan sebagaimana
kasus penyerbukan kurma di atas tentu difahami sebagai ijtihad Nabi
sendiri.
Ketiga, pada cakupan lawan biacara hadis apakah itu umum
ataukah khusus. Maksud dari keumuman hadis disini adalah tentang
ucapan Nabi yang menyebutkan makna keumuman perintah. Salah
satu contoh pada
Informasi ini tentu bisa dimaknai sebagai
wahyu. Selain karena materi hadis ini berisi tentang anjuran tata cara
beibadah, panggilan terhadap keseluruhan mengindikasikan pada
ketaatan pada seluruh manusia pula.
Tidak jauh berbeda dengan Alquran yang juga memberikan
indikasi khusus dan umum terutama yang khusus pada Nabi, hadis
Nabi Saw juga kadang hanya bisa difungsikan pada lawan biacara
Nabi saat itu saja, atau mungkin pada mereka yang memiliki ‘illah
yang sama. Salah satu contohnya adalah apa yang diberikan pada Abu
Bakar tentang pembolehannya memanjangkan kain dibawah mata
kaki.111
Tentu ini bisa dimaknai sebagai ijtihad Nabi, sehingga khusus
bagi Abu Bakar dan siapapun yang sama kondisinya diperbolehkan
untuk melakukannya. Sebaliknya inti persoalan adalah siapapun tidak
boleh sombong. Adapun contoh lain yang sama bisa dilihat pada kasus
109
Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ahadis al-Qudsiyah: Dirasah balaghiyah.”
195. 110
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 2, 623. 111
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74.
86
Zubair ibn Awwam dan Abdurrahma>n ibn ‘Auf yang diperbolehkan
oleh nabi memakai pakaian dari sutera karena alasan penyakit yang
mereka derita.112
Keempat, terletak pada materi hadis yang tetap dan berubah
ubah. Muhammas Shahrur dalam hal ini berpendapat bahwa ijtihad
Nabi mengenai hal keduniaan dan ilmu pengetahuan adalah dengan
cara memberikan batasan-batasan kepada hal-hal yang memang telah
dihalalkan oleh wahyu113
. Contoh yang paling sederhana adalah
tentang perubahan sikap nabi terhadap mereka yang berziarah
kubur.114
Pada awalnya Nabi tidak menyetujui hal ini karena
banyaknya orang yang berziarah justru masuk dalam kesyirikan
dengan meminta kepada mereka yang meninggal. Lambat laun dengan
berkembangnya pemahaman masyarakat maka Nabi pun
membolehkannya karena memang ziarah tidak diharamkan dan bisa
dijadikan sarana mengingat kematian. Dengan demikian diketahui
bahwa pembatasan yang dilakukan oleh Nabi tidak masuk dalam hal
yang haram melainkan hal yang dihalalkan semata.
Selain empat hal di atas perlu juga difahami bahwa hadis-hadis
yang berkenaan dengan sisi kemanusiaan pada umumnya seperti
berjalan, makan, pakaian, ataupun cara tidur adalah sebuah kewajaran
manusia yang timbul dari pengalaman dan pembelajaran terhadap
lingkungan. Artinya dalam hal ini ijtihad Nabi hampir pasti
mendominasi dan menjadi pilihan Nabi tanpa harus menunggu wahyu.
Namun demikian, Mus}tafa> S{abri> memahami bahwa pengetahuan
keilahian tidak juga dilepaskan begitu saja ketika ijtihad dilakukan
112
Lihat Muslim Ibh Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’ al-
Turath, tt) juz 3, 1636. 113
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 194-196., 223 114
Muhammad ibn H{ibba>n, S{ah{ih{ Ibn H{ibba>n, Juz 12, 212; Dalam hadis ini
Nabi tidak hanya merubah pendapatnya tentang ziarah melainkan juga tentang
makan daging kurban lebih dari tiga hari dan juga minum dari tempat bekas darah.
Hal ini disadari bahwa Nabi hanya melakukan pembatasan pada hal yang dihalalkan,
namun jika ada pengharaman atas sesuatu Nabi pun memberitahunya sebagaimana
pada hadis ini dimana Nabi memberikan peringatan bahwa minum dari tempat
apapun boleh asal tidak menyebabkan mabuk.
87
oleh Nabi.115
Hal ini terlihat dari adanya beberapa makanan yang
kemudian diharamkan, ataupun batasan aurat116
yang kemudian
dijelaskan baik dalam Alquran maupun hadis itu sendiri. Hal ini
mengindikasikan adanya keterbatasan pengetahuan Nabi yang jika
hanya berdasarkan pada pengalaman Arab masa itu saja tidak cukup
untuk menjadi jawaban umat Islam hingga akhir zaman. Sebagai
contoh adalah pelarangan daging babi117
yang tentunya keberadaan
penyakit seperti cacing Pita masa masa modern tidak pernah
dijelaskan oleh Nabi sebelumnya.
F. Respon Para Sahabat
Setelah membahas posisi ijtihad Nabi dalam hadis di atas,
perlu kemudian melihat bagaimana pola ijtihad Nabi tersebut
dipandang oleh para Sahabat. Hal ini akan berfungsi maka kala
seorang muslim harus pula melihat ijtihad Nabi dalam hadis itu.
Pemantauan ini pula akan membuat seseorang yang hendak
melakukan studi hadis memiliki pola pikir dan cara pandang yang
sama sebagaimana Sahabat. Sehingga, hadis Nabi pada akhirnya akan
difahami secara baik dan benar sebagaimana para Sahabat
memahaminya.
Setiap umat muslim akan memahami bahwa pemahaman dan
pengetahuan Sahabat tentang hadis adalah yang paling baik.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dari 3 hal. Pertama, Sahabat adalah
orang yang paling dekat hidupnya dengan Nabi. Kedua, Sahabat
adalah lawan bicara Nabi. Ketiga, selain masalah agama yang
disampaikan oleh Nabi, hadis merupakan solusi dari berbagai
persoalan kehidupan Sahabat. Karenanya, memahami ijtihad Nabi
yang lebih relevan tentu melihat bagaimana pandangan dan respon
Sahabat terhadap kenabian Muhammad dan pendapat (ijtihad) beliau
di dalamnya.
115
Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 10
116An-Nu>r [24]: 31.
117Al-Maidah [5]: 3.
88
Sebagaimana difahami Sahabat adalah mereka yang dekat
dengan Nabi. Kedekatan ini memiliki persepsi berbeda pada beberapa
ulama. Ah{mad Ibn H{ambal (w. 241 H), sebagaimana catatan Khatib
al-Bagda>di> (w. 463 H) menyampaikan bahwa Sahabat adalah, 118
Yakni bahwa sahabat adalah orang yang pernah bertemu
dengan Nabi Saw., baik sebulan, sehari ataupun satu waktu saja. Al-
Bagdady menyampaikan pula bahwa Imam Bukhari menambahkan
dengan syarat bahwa mereka adalah kaum muslim.119
Kondisi Sahabat secara umum digambarkan oleh Nabi sebagai
generasi terbaik dalam Islam. Sebagaimana ungkapan hadis berikut.
Bahwa Nabi Saw., mengatakan sebaik-baik zaman adalah
zaman Nabi kemudian berikutnya dan berikutnya. Pernyataan ini
tentu membuktikan bagaimana sifat para Sahabat dihadapan Nabi. Di
mana, para Sahabat sangat dipercaya Nabi sebagai kaum yang terbaik
yang Nabi lihat. Terlebih Nuruddin ‘Itr menyatakan bahwa Nabi
Muhammad menerima dan mempercayai pernyataan siapapun yang
datang kepada beliau selama ia beriman kepada Allah dan rasul-
Nya.120
Padangan Sahabat terhadap kenabian Muhammad Saw bisa
pula dilihat dari cara para Sahabat mendapatkan hadis. ‘Umar pernah
mengungkapkan bahwa ia dan salah seorang Sahabat dari Bani
118
Khatib al-Bagdady, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah (Beirut: Da>r al-
Kutub, 1988), 51; lihat juga Ibn Atsir, Asa>d al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-Sah{a>bah (Kairo:
Da>r Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 1995) 14. 119
Khatib al-Bagda>dy, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah, 15. 120
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulu>m al-H{adis, 107-108. Hal ini juga dicontohkan Nabi
ketika dalam peristiwa penerimaan Nabi terhadap kabar dari orang Arab Badui yang
mengaku melihat hilal bulan Ramadhan sedang Sahabat yang lain tidak. Lihat, Abu
Abdurrahman al-Nasa’i (w. 303), Sunan al-Nasa’i (Beirut: Muassasah Risalah, 2001)
juz 3, 97.
89
Umayyah ibn Yazid bergiliran dalam mendapatkan informasi dari
Nabi. Kegiatan ini dilakukan ‘Umar dengan cara jika sahabatnya tadi
pergi ke Nabi maka ‘Umar cukup mendengar dari Sahabatnya
tersebut, namun pada lain hari ‘Umarlah yang datang dan kemudian ia
memberitahukan informasi baik wahyu maupun yang lain kepada
temannya tersebut.121
Pandangan Sahabat terhadap kenabian juga terlihat bagaimana
ketaatan Sahabat pada Nabi Muhammad. Ketaatan ini kadang tidak
sekedar pada hal yang diperintahkan bahkan juga pada hal yang
sekedar pernah dilakukan oleh Nabi. Terlebih keikutsertaan ini
bahkan tidak disertai pengetahuan oleh Sahabat tentang manfaat
keikutsertaan tersebut. Hal ini pernah terjadi pula pada ‘Umar ketika
ia akan mencium Hajar Aswad. Ia berkata, “Sungguh, seandainya aku
tidak melihat Muhammad menciummu dan menyentuhmu nisacaya
aku tidak akan melakukannya.”122
Selain itu ada pula riwayat Ibn ‘Umar yang menceritakan
tentang cincin emas yang dipakai Nabi. Suatu hari Nabi pernah
memakai cincin emas, maka semua orang pun mengikutinya. Akan
tetapi Nabi kemudian hari mengungkapkan, “Aku telah memakai
cincin emas, kemudian aku pun melepaskannya.” Maka Ibn ‘Umar
berkata, “Sungguh aku tidak akan pernah lagi memakai cincin emas
dan seluruh manusia pun melepasnya.”123
Ada pula pernyataan dari ‘Ali bahwa ketika lewat jenazah di
depan Nabi, beliau pun berdiri dan semua orang pun akhirnya ikut
berdiri. Kemudian Nabi pun duduk dan yang lain pun demikian.124
Beberapa riwayat di atas menyebutkan bagaimana ketaatan
para Sahabat yang begitu tinggi meskipun tanpa adanya perintah
untuk mengikutinya. Namun demikian secara rasional al-Amidi (w.
631 H) memberikan pendapat setidaknya ada 4 alasan mengapa Nabi
121
Lihat Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ al-Bukhari (Riyadh: Da>r al-
Tauq al-Najjah, 1422 H) juz 1, 39. 122
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ Bukhari, juz 2, 151. 123
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ Bukhari, juz 9, 96 124
Ibn Ma>jah, Suna>n Ibn Ma>jah (Riyadh: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Araby, tth)
juz 1, 493
90
menjadi model bagi para Sahabat. Pertama, perbuatan Nabi
mengandung hal yang wajib dan yang tidak dalam mengikutinya,
namun mengikuti yang tidak wajib itu dianggap lebih menentramkan
hati dari pada meninggalkannya. Kedua, kenabian adalah kedudukan
yang mulia. Dalam arti, mengikutinya pun berarti mengagungkan dan
menghormatinya. Ketiga, perbuatan Nabi dianggap sebagai penjelasan
terhadap segala ucapan Nabi, maka mengikutinya berarti pula
mengikuti ucapannya. Keempat, perbuatan Nabi pasti mengandung
kebenaran, maka mengikutinya berarti mengikuti kebenaran.125
Selintas pandangan di atas memang mengindikasikan
bagaimana para Sahabat menganggap Muhammad sebagai nabi yang
memang layak diikuti segala perilakunya. Namun demikian, jika
dilihat lebih lanjut pandangan Nabi terkait persoalan kehidupan
pribadi yang bersentuhan dengan sisi kemanusiaan kadang tidak
menjadi perhatian tersendiri bagi para Sahabat. Karenanya kadang
pula dalam hal ini Sahabat tidak kemudian mengikuti saran Nabi
bahkan terkesan tidak menganggapnya sebagai perintah umum kepada
para Sahabat.
Salah satu contohnya adalah yang terkait saran Nabi terhadap
Bari>rah untuk ruju’ dengan suaminya, Mughi >th.
126
Ibn ‘Abbas bercerita, “Adalah suami Bari>rah adalah seorang
budak bernama Mughi>th. Aku melihatnya mengitari Bari>rah sambil
menangis, hingga air matanya mengalir ke jenggotnya.” Kemudian
Nabi berkata kepada ‘Abbas, “Hai ‘Abbas apakah engkau tidak heran
betapa cintanya Mughits kepada Bari>rah dan betapa bencinya Bari>rah
kepada Mughi>th.” Lalu Nabi pun menyarankan pada Bari>rah,
125
Shaif al-Di>n Abu> H{asan al-Amidy, al-Ih{kam fi> Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983) 255-255 126
Muhamad ibn Isma’il al-Bukhari, Musnad al-Bukhari, juz 7, 48.
91
“Bagaimana menurutmu jika kau kembali pada Mughi>th?” Bari>rah
menjawab, “Ya Rasulullah, apakah ini perintah?” Nabi menjawab,
“Ini hanyalah saran.” Bari >rah menjawab, “Tidak, aku tidak lagi
tertarik kepadanya.”
Secara jelas hadis di atas terlihat bagaimana seorang Sahabat
juga menimbang perintah Nabi apakah perlu dilakukan atau tidak.
Respon tersebut juga dapat difahami bahwa memang jika berkenaan
dengan hal pribadi yang kadang tidak terkait agama seperti soal sikap
suka dan tidak pada seseorang, tentu tidak ada kewajiban untuk
mengikuti perintah tersebut.
Selain hal pribadi, ternyata Sahabat juga memberikan sebuah
pertimbangan tentang sikap dan perintah Nabi, yakni apakah perintah
tersebut dari Allah atau hasil ijtihad pribadi Nabi. Tentunya ijtihad ini
pasti terkait dengan hal keduniaan selain akidah dan ibadah yang
memang Sahabat bahkan Nabi sekalipun tidak mungkin
mengarangnya. Salah satu contohnya adalah sikap Sahabat Sa’ad ibn
Mu’az dan Sa’ad ibn ‘Ubadah kepada Nabi saat beliau menyampaikan
sebuah taktik peperangan, keduanya malah berkata 127
. Hingga akhirnya Nabi pun
mengungkapkan bahwa pendapatnya bukanlah wahyu melainkan
taktik perang belaka. Disinilah kemudian Nabi mengikuti pendapat
kedua Sahabat tersebut dan meninggalkan pendapatnya sendiri.
Meskipun terdapat perbedaan apakah peperangan menjadi
bagian dari ajaran agama atau tidak, namun disadari bahwa taktik
perang adalah masalah pengalaman dan pengetahuan. Hal ini tentu
berbeda dengan masalah ibadah dan akidah yang sahabat hanya
menerima tanpa mempertimbangkanya kepada Nabi.
Dengan demikian bisa dilihat bagaimana kemudian ketaatan
Sahabat kepada Nabi tidaklah buta melainkan dengan daya nalar yang
sangat rasional. Setidaknya contoh di atas bisa memberikan gambaran
127
‘Abdul Malik ibn ‘Abdullah al-Juwaini (w. 478), Niha>yat al-Matlab fi> Niha>yat al-Mazhab (Riyadh: Da>r al-Manhaj, 2007) juz 18, 98; lihat juga ‘Abdul
‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhari, Kashfu Al-Asra>r ‘An Us{u>l Al-Fah}r Al-Islamy Al-Bazdawy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H), Juz 3, 210
92
sebagaimana berikut. Pertama, pokok persoalan kenabian adalah bagi
Sahabat adalah wahyu. Karenanya, dalam berijtihad Nabi di depan
Sahabat memiliki standar yang sama dengan Sahabat lainnya. Kedua,
Jika ijtihad Nabi tersebut terkait soal privasi Sahabat dalam hal yang
diperbolehkan, maka Sahabat akan memilih sebagaimana yang mereka
anggap baik. Ketiga, namun demikian, wahyu sebagai keistimewaan
Nabi dalam berkomunikasi kepada Tuhan dianggap mampu
menjembatani segala kesalahan, artinya mengikuti Nabi dalam hal
apapun hampir tidak mungkin jatuh pada tindakan dosa. Karenanya
sebagian orang menganggap bahwa mengikuti Nabi dalam segala hal
adalah baik, meskipun tidak ada janji pahala di dalamnya.
93
BAB IV
IMPLIKASI IJTIHAD NABI DAN OTORITAS HADIS
Setelah membahas tentang ijtihad Nabi dari berbagai sisi maka
perlu pula melihat bagaimana implikasi dari kedudukan ijtihad Nabi
pada ajaran Islam. Implikasi ijtihad ini pada fungsinya akan melihat
bagaimana ijtihad Nabi sebagai bagian dari kemanusiaan dan otoritas
ijtihad tersebut sebagai hadis Nabi, yang tak lain adalah sumber ajaran
Islam.
Setidaknya pembahasan implikasi ijtihad ini bisa ditelaah
melalui 3 hal berikut. Pertama, interrelasi perbuatan Nabi dan hadis
sebagai sumber hukum. Hal ini ditujukan untuk mengetahui posisi
ijtihad Nabi sebagai hadis yang berfungsi sebagai sumber hukum
Islam. Kedua, universalitas hadis dan ijtihad yang lokal-temporal.
Bahwa hadis bernilai universal sebagai sumber ajaran Islam tentu akan
berbeda dengan ijtihad yang terikat pada waktu dan kondisi tertentu.
Untuk itu, pembahasan ini perlu dipaparkan agar ijtihad tetap bisa
menjadi bagian dari hadis yang universal tersebut. Ketiga, respon
Sahabat sebagai metode kritik matan hadis. Sebagai poin akhir dari
penelitian ini akan mencoba mendesain bagaimana respon Sahabat
terhadap hadis terutama yang beraviliasi dengan ijtihad Nabi sebagai
metode kritik matan. Karena sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa manusia yang memiliki pemahaman paling baik terhadap hadis
tentu adalah Sahabat.
A. Interrelasi Ijtihad Nabi dan Hadis Sebagai Sumber Hukum
Secara jelas ketaatan kepada Nabi tidak hanya dijelaskan oleh
Nabi sendiri melainkan juga didasarkan pada Alquran sebagai bagian
dari firman Allah.1 Selain sebagai model atau tauladan hamba
sempurna Tuhan,2 Nabi Muhammad ternyata juga diberikan
1Lihat QS. al-Anfal [8]: 20; al-Nisa [4]: 69 dan 80.
2QS. al-Ahzab [33]: 21
94
wewenang untuk menentukan sebuah aturan.3 Maka, aturan Nabi
Muhammad Saw yang tergambar dalam hadis merupakan ajaran Islam
yang benar.
Mengikuti Nabi adalah jawaban atas tuntutan Alquran di atas.4
‘Ata>’ ibn Khalil menegaskan bahwa mengikuti Nabi jika dihubungkan
dengan berbagai jenis perbuatan terbagi menjadi empat cara pandang.
Pertama, dalam masalah keseharian Nabi yang sama seperti manusia
biasa atau al-af’a>l al-Jibliyyah maka dipandangan mubah baik bagi
Rasul maupun umatnya. Kedua, perbuatan yang merupakan
kekhususan bagi Nabi maka ia dipandangan haram untuk dilakukan
oleh umatnya. Ketiga, perbuatan yang ditujukan secara jelas dari Nabi
untuk dilakukan oleh umat Islam, maka ia dipandangan wajib untuk
diikuti. Dan keempat, perbuatan selain dari tiga yang pertama yang
nantinya harus dicarikan dalil lain (qari>nah) atas keharusan untuk
mengikutinya ataupun meninggalkannya.5
Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam cacatan Muhammad al-‘Aru>sy
mengenalkan tiga aspek yang harus difahami terkait masalah ketaatan
pada tindakan Nabi. Pertama, bahwa tindakan yang dilakukan umat
Muhammad Saw adalah pula tindakan yang dilakukan olehnya baik
mengenai masalah haram, halal, wajib, sunnah dan sebagainya,
kecuali yang memang dijelaskan kekhususannya. Hal ini tentu, karena
Nabi Saw adalah model ajaran Islam itu sendiri. Kedua, segala
tindakan Nabi Saw adalah dalil dari hukum sebuah tindakan itu
sendiri baik haram, halal, mudah dan sebagainya. Ketiga, adanya
tindakan yang berkaitan dengan sebuah konteks status, maka tidak
bisa dilakukan secara umum kecuali mereka yang berperan dalam
3QS. al-A’raf [7]: 157-158. Azami menilai bahwa ayat ini memberikan
indikasi bahwa konsekuensi keimanan kepada Allah adalah pula dengan cara
mentaati dan mengikuti ajaran atau aturan yang dibuat atau dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Lihat, M.M. Azami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), 31. 4QS. Ali Imran [3]: 31.
5‘Ata ibn Khalil, Taysir al-Wus}u>l ila> al-Us}ul: Dira>sat fi> Us}ul al-Fiqh
(Beirut: Da>r al-Ummah, 2000). 102-103.
95
status tersebut. Misalkan; tindakan imam berbeda dengan makmum
atau tindakan pemimpin berbeda dengan rakyatnya.6
Selain cara pandang dalam penerimaan hadis di atas perlu juga
difahami apa sajakah inti atau isi dari risalah kenabian itu.
Muhammad Shahrur setidaknya meletakkan tiga pembagian dalam isi
risalah ini. Pertama, adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritual
keimanan seperit shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua, akhlak.
Dan ketiga, tentang perundang-undangan.7 Artinya selain dari ketiga
hal tersebut Nabi Muhammad adalah sama perbuatannya, persepsinya
dan tentu ijtihadnya sebagaimana manusia biasa.
Tentang ketiga tema ini Shahrur menilai bahwa masalah
pertama dan kedua tiada ijtihad di dalamnya. Sedang masalah ketiga
yakni tentang syariat atau perundang-undangan menjadi wilayah
pokok ijtihad bagi seluruh umat Islam. Dalam hal ini posisi Nabi
dalam risalahnya hanya bertumpu pada batas maksimal atau
minimalnya atau h{udu>diyyah. Sedang pertengahan dari itu ijtihad
berperan untuk menyesuaikan sebagaimana situasi dan konteksnya.8
Ijtihad ini tentu tidak saja dilakukan oleh umat Islam saja namun juga
oleh Nabi sendiri. Untuk itu, hal seperti pembentukan masyarakat
Arab zaman Nabi, keseharian beliau ataupun ketentuan atas tindakan
masyarakat adalah bentuk dari ijtihad Nabi dalam hadis tanpa harus
menunggu wahyu. Dengan kata lain, ia tidak bersifat abadi baik dalam
hukum mapun pelaksanaanya.9
Meskipun pandangan ini terkesan ekstrim, namun sebenarnya
para ulama hadis kontemporer telah mendiskusikan isi hadis dengan
6Contoh riil pada masalah ini adalah bahwa seorang makmum tidak
membaca dhahir sebagaimana imam atau pada kasus perintah perang hanya bisa
dilakukan oleh pemimpin. Lihat pada Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m, 190-191.
7Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogjakarta:
ElsaQ Press, 2004), 193 8Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 212-213
9Shahrur memberikan penambahan dalam hal ini, bahkan jika didatangkan
ratusan hadis sahih sekalipun namun ternhyata kondisi itu hanya sesuai pada konteks
zaman Nabi tidak kemudian menjadi hal yang seharusnya dilakukan. Lihat,
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 223
96
memisahkannya ke dalam dua tema besar. Yakni, hadis yang memiliki
implikasi syariat dengan segala kewajiban untuk mentaatinya dan
hadis yang tidak memiliki implikasi syariat dengan ijtihad manusia
sebagai alat perabanya.
1. Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non-Tashri>’iyyah
Orang yang pertama kali membagi Nabi menurut statusnya
dalam menyampaikan hadis yakni Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi> (684 H).
setidaknya ada empat pembagian yang ia lakukan.10
Pertama, bahwa
sebagian ini hadis adalah berisi tabligh atau fatwa yang dengannya
maka siapapun yang menerimanya harus melaksanakannya termasuk
uamt muslim hingga akhir zaman. Kedua, sebagian hadis lain adalah
keputusan Nabi dengan status hakim. Karenanya, dalam hal ini
siapapun tidak boleh melakukannya kecuali dalam posisi sebagai
hakim.11
Ketiga, adalah posisi Nabi sebagai kepala negara.
Sebagaimana yang kedua, bagi siapapun tidak dibenarkan melakukan
hal yang sama selama ia tidak berkedudukan sebagai kepala negara.
Sebagaimana pembolehan Nabi atas kepemilikan tanah bagi mereka
yang menghidupkannya.12
Pemisahan di atas memiliki implikasi terhadap fungsi hadis itu
sendiri. Karenanya, kemudian Mah{mud Shaltu>t (w. 1963 H)
menjelaskan bahwa sunnah secara umum dapat dibagi dua yakni
sunnah tasyri>’iyyah dan non tasyri>’iyyah. Shaltu>t dalam memberikan
gambaran sunnah non tasyri>’iyyah dalam tiga kategori yakni;
pertama, sunnah dalam konteks kebutuhan hidup manusia sepeti
makan, minum, berdiri, jalan, tidur dan sebagainya. Kedua adalah
sunnah yang terkait dengan respon terhadap problem sosial
masyarakat seperti pertanian, kedokteran dan panjang pendeknya
baju. Ketiga, sunnah yang terkait dengan pengaturan manusia dalam
10
Pembahasan panjangnya bisa dilihat pada Shiahab al-Din al-Qarafi, al-Furu>q (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, 105-208.
11Seperti pada hadis pembolehan pemakaian sutera oleh beberapa Sahabat di
atas. 12
Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut: maktabah Asriyah, tt) juz 3,
178.
97
peperangan seperti strategi perang, mengatur barisan dan
sebagianya.13
Artinya, semua riwayat yang berkaitan dengan hal
tersebut bukan merupakan syariat yang berkaitan dengan tntutan
berbeuat ataupun meninggalkannya.
Lain dari pada itu, ‘Abdul Wahab Khalaf (w. 1955)
memberikan pandangan lain bawa sunnah yang tidak menuntut
terhadap adanya kewajiban untuk diikuti terbagi dengan tiga katergori
lain yakni: pertama, berasal dari tabiat kemanusiaan Nabi. Kedua, apa
yang datang dari Nabi berupa padangan ilmu pengetahuan dan ketiga,
apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syariat yang menunjukkan
bahwa itu khusus bagi Nabi dan bukan perintah secara umum.14
Selain istilah sunnah non tashri>’iyyah yang digunakan oleh dua
ulama di atas ada pula istilah lain. Al-Shaukani (w. 1250) misalnya
menggunakan tiga istilah sekaligus yakni sunnah laisa fi>hi uswah
(bukan untuk dicontoh), sunnah laisa fi>hi ta’assin (bukan untuk
dijadikan dasar) dan sunnah la> bihi iqtida’ (tidak untuk diikuti).15
Al-
Juwaini (w. 478 H) mengatakan sebagai sunnah la> istimsaka (tidak
untuk jadi pegangan),16
bahkan al-Ghaza>li> (w. 505 H) memberikan
istilah la h{ukma lahu aslan (tidak mengandung hukum sama sekali).17
Dalam kajian ilmu hadis setidaknya Ibn Qutaibah (w. 276 H)
bisa menjadi titik awal pembahasan ini. Dalam kitabnya Ta’wil
Mukhtalif al-Hadith, Ibn Qutaibah menyampaikan bahwa sunnah
terbagi menjadi 3 macam.18
Pertama, sunnah yang diberikan Allah
melalui perantara jibril baik berbentuk hadis qudsi mapun hal yang
berikaitan hukum penjelas terhadap Alquran seperti hadis berikut.
13
Mahmut Shaltut, al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa Shari’ah (t.tp.: Dar al-Qalam,
1966), 509. 14
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh (Kuwait : Dar al-Qalam, 1978)
43-33. 15
Al-Shaukani, Irsha>d al-Fuh}ul ila> Tahqi>q al-H}aq min ‘Ilm al-‘Ushul (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999) juz 1, 165.
16Al-Juwaini, Al-Burha>n fi> Us}ul al-Fiqh (Mesir: al-Wafa’, 1518 H) 321.
17Al-Ghazali, Al-Mankul min Ta’liqa>t al-‘Us}ul (Damaskus: Dar al-Fikr,
1400 H) 255. 18
Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) 181-
184.
98
19
“haramnya (dinikahi) saudara sepersusuan sama dengan
haramnya (dinikahi) saudara satu nasab.”
Kedua, adalah ketika Nabi Saw diizinkan oleh Allah untuk
menetapkan sesuatu dengan menggunakan ijtihadnya untuk
memberikan keringanan sesuai dengan alasan hukum yang ada.
Seperti yang terjadi pada Zubair ibn Awwam dan Abdurrahma>n ibn
‘Auf yang diperbolehkan oleh nabi memakai pakaian dari sutera
karena alasan penyakit yang mereka derita.20
Ketiga adalah sunnah
yang ditetapkan Nabi sebagai pelajaran akhlak. Jika diikuti ia akan
mendapat keutamaan dan jika tidak ia tidak akan berakhibat dosa. Hal
ini seperti makan binatang ternak yang memakan kotoran.21
Adapun dalam tafsir al-Mana>r, Rashid Rid{a> (w. 1935) ketika
menjelaskan Surat al-A’raf ayat 158 mengatakan bahwa mengikuti
atau ittiba’ kepada Nabi adalah pada hal yang berkenaan dengan
syariat yang dibawanya yakni Alquran maupun sesuatu yang ia
jelaskan darinya.22
Tentu, tidak termasuk di dalamnya kebiasaan yang
dilakukan Nabi.23
disamping itu, lebih lanjut Ibn ‘Ashur (w. 1393 H)
menjelaskan bahwa memang kadang perbuatan Nabi seolah
mengandung sebuah shariat tertentu namun ternyata hal tersebut
19
Hadis ini berkenaan dengan anak perempuan Hamzah, lihat Muhammad
ibn Ismail al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{ (Riyadh: Dar Tahauq, 1422 H)
juz 3, 170. 20
Lihat Muslim Ibh Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’ al-
Turath, tt) juz 3, 1636. 21
Dalam hal ini istilah yang dipakai biasanya adalah al-jalla>lah. Lihat,
Ah{mad ibn al-H{usain al-Baihaqi, Ma’rifat Sunan wa al-Athar (Beirut: dar al-
Qutbiyyah, 1991) juz 14, 106. 22
Muhammad Rashid Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r (Kairo: Dar al-Manar, 1947)
juz 3, 303. Namun demikian, Ridha menyadari bahwa banyak ulama yang masih
menganggap bahwa apapun yang dilakukan Nabi adalah sunnah. Hal inilah yang
harus dikoreksi. Meskipun, bagi mereka yang melakukan perbuatan Nabi namun
sekedar untuk mengingat dan sebagai bukti cinta tanpa ada keyakinan bahwa hal itu
perintah agama dan tidak membahayakan akidah maka tentu hal ini juga dianggap
positif. Lihat, Rashid Rid{a, Tafsi>r Al-Manar>, juz 3,305. 23
Lihat sebagimana yang dikutip oleh Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah non-Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi (Yogjakarta: Arruz Media, 2011)
178-179.
99
justru untuk menjelaskan sesuatu yang lain. Seperti hajinya Nabi
menggunakan unta. Tentu ini bukanlah perintah Nabi bahwa haji
harus menggunakan unta, melainkan pada saat itu agar mudah
difahami oleh banyak Sahabat maka Nabi pun menggunakan unta.24
Selain berbagai pandangan di atas, Al-Qarad{a>wi> menjelaskan
sebagaimana yang dikutib oleh Tarmizi M. Jakfar bahwa sunnah non
tashri>’iyyah memiliki dua posisi; pertama adalah pada perbuatan nabi
yang tidak ada perintah dan larangan didalamnya, maka hal ini
menjadi mubah dan kedua perbuatan Nabi yang terdapat di dalamnya
perintah dan larangan, maka hal ini masuk dalam kategori irsyad atau
anjuran semata.25
Pendapat ini sebenarnya sejalan dengan istilah yang
dipakai oleh Sulaima>n al-Ashqa>r dengan kata iba>h{ah atau
pembolehan. Al-Ashqa>r memberikan dua istilah iba>h{ah dengan istilah
iba>h{ah aqliyyah dan iba>h{ah shar’iyyah. Iba>h{ah aqliyyah adalah
kebolehan terhadap apa yang dilakukan Nabi berdasarkan argumentasi
rasional cara makan, minum, tidur, pengobatan dan sebagainya.
Sedang, ibah{ah syar’iyyah adalah kebolehan yang didasarkan pada
shari’at seperti menikahi istri anak angkat dan yang lainnya yang
diperbolehkan oleh syariat.26
Adapun bagi Muh{ammad al-‘Aru>sy27
sebagaimana yang ia
kutib dari Ibn H{azm (w. 456 H) bahwa isyarat mubah ini muncul dari
apa yang diungkapkan Nabi dalam sebuah hadis,
“Tinggalkanlah/biarkanlah apa-apa yang aku biarkan untuk kalian.
Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena pertanyaan
dan perselisihan mereka pada para Nabinya. Jika aku larang kalian
sesuatu maka jauhilah, dan jika aku perintah kalian sesuatu maka
kerjakanlah semampu kalian.”
24
Al-T{ahir ibn ‘Ashur, Maqa>s{id al-Shari’ah al-Isla>miyyah (Kairo: Dar al-
Salam, 2005) 27. 25
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi, 128-129
26Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala al-
Ah}ka>m al-Syar’iyyah (Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976), 195 dan 395. 27
Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha ‘ala> al-Ah{ka>m, 202.
100
Perintah untuk mendiamkan apa yang dibiarkan Rasul dan
mengerjakan perintah semampunya inilah yang kemudian menjadi
alasan bahwa seseorang harus melakukan semampunya saja. Artinya,
jika ia tidak mampu maka tidak ada dosa baginya. Selain itu Ibn
H{azm (w. 456 H) melanjutkan, adanya penjelasan dalam Alquran 28
bukan menggunakan .
Sehingga, siapapun yang memahami bahasa Arab pasti akan
mengatakan bahwa ungkapan pertama adalah menujukkan anjukan
dan bukan kewajiban. Maka, siapapun boleh mengikutinya ataupun
meninggalkannya.
Istilah-istilah tersebut muncul tentu bukan tanpa alasan.
Melainkan, memang banyak ditemukan hadis-hadis yang pada
akhirnya tidak bisa digunakan pada masa kekinian karena perbedaan
ruang, waktu dan peralatan. Sedang konsekuensi adanya hadis ini
terkait penggunaanya sebagai sumber hukum Islam tidak dimasukkan
dalam golongan tasyri’ atau tidak ada kewajiban untuk mentaatinya.29
Pandangan ini yang kemudian bagi Sulaima>n al-Ashqa>r menegaskan
bahwa perbuatan Nabi akan dipandang sebagai sunnah hanya apabila
terletak di dalamnya otoritas, sedang kalau tidak ada kepastian
otoritasnya ia bukan sunnah tetapi sama seperti perbuatan manusia
pada umumnya.30
2. Kerancuan Perdebatan Sunnah Tashri>’iyyah dan non-
Tashri>’iyyah
Meskipun penjelasan antara sunnah tashri>’iyyah dan non-
tashri>’iyyah ini cukup banyak diperdebatkan ternyata hal ini masih
menyisakan beberapa persolan. Pertama, adalah tentang garis pembeda
yang manakah tashri>’iyyah dan mana yang tidak. Hal ini nampaknya
sama seperti perbedaan apakah Nabi hanya sebagai penjelas soal
ketuhanan dan kebertuhanan semata ataukah soal keduniaan juga?
28
QS. al-Ah{zab [33] : 21. 29
Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah. cet. 3,
(Kairo: Dar al-Suru>q, 2002) 48. 30
Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah, 189.
101
Kedua, adalah tentang status hukum dari sunnah non-tashri>’iyyah itu
sendiri. Apakah semua hadis yang dimaksud sebagai sunnah
tashri>’iyyah itu akan dibuang begitu saja atau haruskah bagaimana?
Orang yang cukup keras terhadap pembagian sunnah ini adalah
Sulaima>n ibn Sha>lih{ al-Khurasy. Al-Khurasy bahkan mengatakan
bahwa hal ini adalah bid’ah karena memang tidak pernah disebutkan
oleh ulama salaf.31
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut Tarmizi M.
Jakfar menyatakan bahwa sejak zaman Nabi sebenarnya kasus
pemilahan terhadap perbuatan Nabi sudah dilakukan oleh Sahabat.
Hal ini bisa dilihat pada hadis-hadis yang sudah dijelaskan
sebelumnya seperti: pernyataan H{abab ibn Munzir tentang strategi
perang yang diusulkan Nabi namun H{abab ternyata memiliki ide yang
lain32
atau tentang Bara>rah yang menolah rujuk dengan suaminya
padahal sudah diberikan saran oleh Rasulullah.33
Untuk itu, pemahaman tentang tiadanya pertimbangan perintah
Nabi yang berimplikasi terhadap tindakan umat atau tashri’
sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi sekalipun. Akan tetapi perlu
pula disadari bahwa tidak pernah kemudian Sahabat membaginya
sebagai tashri>’iyyah maupun non-tashri>’iyyah.
Persoalan berikutnya yang diungkapkan oleh al-Khurasy adalah
tentang kriteria yang bisa membagi keduanya. Hal ini cukup rumit
dilakukan bahkan bisa jadi setiap orang akan berpendapat berbeda
sebagaimana pembahasan sebelumnya. Terlebih yang paling tahu
perbedaan keduanya tentu adalah Nabi sendiri.
Dalam pandangan lain al-Maudu>di (w. 1979) mencoba
mendudukkan masalah ini terhadap bahasa teoritis dan praktis. Dalam
pandangan teoritis, kata al-Maudu>di, perbedaan antara kapasitas serta
fungsi menusia dan kenabian Rasulullah Saw tidaklah bisa ditolak
31
Sulaiman ibn Shalih al-Khurasy, Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafii, 2003) 187
32Lihat penjelasan pada bab 3 sebelumnya atau lihat ‘Abd al-Jalil Isa Abu>
al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam (Kairo: Da>r al-Ih{ya’ al-
‘Arabi, 1950) 190-192. 33
Lihat hadis dalam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad S{ah{ih{, juz 7, 48.
102
begitu saja. Rasulullah datang untuk mengajarkan manusia agar taat
kepada Allah dan bukan mengikuti kehendak pribadinya. Kewenangan
yang ia miliki bukanlah berdasarkan kualitas kemanusiaan yang ia
miliki namun berdasarkan peranan yang ia dapatkan dari Allah
sebagai utusan yang menjelaskan perintah Allah sebagai Tuhan
kepada manusia.34
Problem sebenarnya menurut al-Maudu>di terletak dalam
pandangan praktis. Dalam hal ini persoalan lebih rumit karena
kapasitas kenabian dan kapasitas kemanusiaan menyatu dalam diri
Muhammad. Karenanya perbedaan tidak terlihat begitu jelas. Terlebih
segala perbuatan yang Nabi lakukan juga pasti dengan
mempertimbangkan pengetahuan akan wahyu Alquran yang langsung
ia terima. Untuk itu, al-Maudu>di menyatakan bahwa bagi umat Islam
tidak selayaknya memutuskan sendiri bahwa sebagian sunnah hanya
merupakan tindakan manusiawi dan tidak mengikat. Terlebih
pertanyaan Sahabat seperti H{abab ibn Munzir dalam riwayat perang
Badar sebelumnya menunjukkan bahwa Sahabat sekalipun akan
hampir selalu melakukan apa yang dilakukan Nabi kecuali hal itu
memang benar-benar dianggap bisa ditawar ataupun diinterpretasikan
dengan perbuatan lain.
Al-Maududi kemudian menawarkan dua cara untuk mengetahui
bagian dari sunnah itu yang tidak mengikat yakni dengan cara:
pertama, dengan alat informasi khusus dari Alquran atau hadis yang
membuat suatu hal menjadi jelas. Kedua, dengan menerapkan prinsip-
prinsip penafsiran yang mapan. Misalnya, masalah makanan35
dan
minuman yang mendetail yang dilakukan oleh Nabi memang tidak
mengikat, namun ada batasan umum yang dijelaskan oleh Alquran
maupun suatu hadis yang mengikat.
Membedakan sisi sunnah dalam sisi kenabian dan kemanusiaan
memang bukan hal yang mudah. Namun menurut al-Maududi, yang
34
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi. 134-135
35Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought (Cambridge:
Cambridge Univeristy Press, tth) 78; lihat pula Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi, 135-136.
103
bisa dilakukan adalah dengan memungkinkan adanya penafsiran
terhadap apa yang dilakukan Nabi meskipun tindakan itu adalah
tindakan manusiawi belaka.36
Akan tetapi, jika memang jelas bahwa
sunnah itu berkaitan dengan Allah atau perintah dariNya maka sudah
selayaknya dan semestinya tidak ada lagi perdebatan.
Dengan demikian, perdebatan tentang sunnah tashri>’iyyah ini
bisa diambil dari tiga sisi yang berbeda. Pertama, adalah sisi
keniscayaan adanya sunnah non-tashri>’iyyah. Hal ini siapapun dan
bahkan para Sahabat pun terlihat bahwa mereka kadang memandang
perbuatan Nabi tidak selamanya berimplikasi terhadap ketaatan atau
tashri’. Sehingga kepastian akan adanya sunnah non tashri>’iyyah
sudahlah jelas.
Kedua, tentang otoritas penentu kriteria tashri>’iyyah dan non
tashri>’iyyah. Hal ini sangtalah sulit diambil titik-temunya selain
perkataan al-Khurasy bahwa yang paling mengetahui tentu adalah
Nabi sendiri yang berbuat. Bahkan, kekeliruan Sahabat dalam sistem
pertanian kurma yang ditawarkan Nabi pun terlihat dalam masalah
ini. Bahwa, Sahabat sendiri tidak mengetahui apakah ini sunnah yang
tashri>’iyyah atau tidak. Ketiga, mengenai ruang lingkup antara sunnah
tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah. Hal ini akan selalu menuai
perdebatan yang sama seperti perdebatan apakah Nabi hanya
menyampaikan pada masalah keduniaan ataukah hanya terkait
keagamaan belaka. Karenanya, pembedaan seperti al-Qara>fi> akan
banyak lagi macamnya jika dilihat dari status seperti guru, suami,
ayah, penasehat, pimpinan perang, imam, pedagang, dan sebagainya
yang menyatu dalam kepribadian Nabi.
3. Dari Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non-Tashri>’iyyah
ke Sunnah Ijtihadiyah dan Wahyiyyah
Dari problematika yang berkepanjangan di atas tentu tidak lagi
penulis kemudian ikut serta memperdebatkannya ataupun mencarikan
ruang lingkup yang memang saling terkait antara tashri>’iyyah dan non
tashri>’iyyah. Sebagaimana penjelasan pada bab sebelumnya dan
36
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought, 79.
104
beberapa tema di atas, pokok persoalan antara sisi kemanusiaan dan
kenabian Muhammad yang ada dalam hadis bukanlah terletak pada
perdebatan tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah. Mengapa demikian?
Setidaknya dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, bahwa
urusan tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah adalah urusan praktis yang
terikat dengan aplikasi lansung yang dilakukan oleh umat Islam,
sedang hadis adalah sebagaimana dasarnya adalah berkaitan dengan
tindakan Nabi. Karenanya, jika keduanya dipertemukan tentu akan
menuai banyak kesulitan dalam mengkategorikannya karena memang
beda medannya. Kedua. Wujud dari sisi kemanusiaan adalah akal, dan
hasil dari akal adalah ijtihad. Sedangkan, wujud dari kenabian adalah
risalah Tuhan, dan hasil dari risalah Tuhan adalah wahyu yang
disampaikan oleh Nabi. Karenanya, membahas sisi kenabian dan
kemanusiaan Nabi dalam hadis yang paling tepat bukan pada sisi
tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah melainkan pada sunnah ijtiha>diyah
dan sunnah wah{yiyyah.
Sunnah ijtiha>diyah adalah segala sunnah yang dihasilkan oleh
Nabi melalui ijtihadnya sediri. Tentunya, hal ini sangat erat dengan
sisi kemanusiaannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa ijtihad Nabi
tentu akan pula didasari dengan pengetahuannya terhadap Alquran
yang telah diterimanya, terkecuali hal-hal yang memang belum
diterimanya waktu itu. Sedang sunnah wah{yiyyah adalah segala
sunnah Nabi yang berkaitan langsung dengan penjelasan Allah Swt
kepada Nabi. Adapun contoh dari hal ini bisa dilihat dari apa yang
disampaikan Nabi berkaitan dengan ketuhanan, berketuhanan, atau
segala sesuatu di mana Nabi menyandarkannya kepada Allah sebagai
sumbernya.
Salah satu contoh sederhana adalah apa yang disampaikan nabi
tentang bawang putih. Suatu ketika banyak Sahabat setelah makan
bawang kemudian masuk masjid lalu Nabi mencium bau tersebut dan
berkata,
105
37
“Sungguh siapa yang memakan pohon yang bau (bawang putih)
ini, maka jangan mendekati masjid.” Lalu orang-orang mengira bahwa
Nabi mengharamkannya, hingga terdengarlah kabar itu pada Nabi, lalu
Nabi berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada hak
bagiku mengharamkan apa yang dihalalkan Allah untukku, hanya saja
pohon itu (bawang putih) termasuk jenis tanaman yang tidak aku sukai
aromanya.”
Secara jelas Nabi sendiri mengatakan bahwa terkait tentang
halal dan haramnya sesuatu pasti Nabi tidak akan sembarangan
menggunakan ijtihadnya melainkan akan menunggu wahyu atau
perintah Allah secara langsung. Namun demikian, ada pula ijtihad
yang dimiliki oleh Nabi yang didasarkan pada sisi kemanusiaannya
pribadi tentang suka dan tidaknya pada sesuatu. Tentu hal ini adalah
manusiawi belaka selama tidak melanggar perintah atau wahyu yang
baku.38
Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam H{ujjatul Ba>lighah-nya telah
menyinggung hal ini. Meskipun ia memisahkan sunnah terhadap
sunnah dalam konteks penyampaian risalah dan yang bukan dalam
konteks penyampaian risalah. Al-Dahlawi juga menyinggung soal
ijtihad.39
Dalam konteks kedua sudah dipastikan akan berisi ijtihad
Nabi dengan segala pertimbangannya baik pengalaman, kebiasaan
maupun wahyu yang ia terima. Namun dalam konteks yang pertama,
ternyata ijtihad Nabi juga masih berpengaruh di dalamnya. Dalam
kategori konteks risalah, al-Dahlawi membaginya menjadi empat hal
37
Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 395. 38
Berbeda dengan penulis, Tarmizi dalam penelitiannya menanggap bahwa
hal inilah yang mengindikasikan adanya pemisahan Sahabat antara tashri>’iyyah dan
non-tashri>’iyyah, namun penulis menganggap bahwa inilah pemisah antara sunnah
ijtihadiyah dan sunnah wahyiyyah. Lihat Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi. 161.
39Syah Waliyullah al-Dahlawi, H{ujjatul al-Ba>lighah (Beirut: Da>r al-
Ma’rifah, tth) 128-129.
106
yakni tentang keghaiban, syariat, kebijaksanaan dan kemaslahatan
umum dan amal utama. Di sini, dua hal yang terakhir, menurut al-
Dahlawi, Nabi masih pula menggunakan ijtihadnya. Dalam arti Allah
hanya mengajarkan kaidah-kaidahnya, kemudian Nabi yang
mengeluarkan hukumnya.40
Dengan demikian tidak lagi perlu memperdebatkan mana yang
tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah karena memang dalam diri Nabi sisi
kemanusiaan dan kenabian tidak bisa dipisahkan. Bahkan, dengan
adanya sisi kemanusiaan yakni ijtihad ini justru shari’ah kemudian
mudah dilakukan oleh manusia. Lihat misalnya pada perintah Allah
kepada Nabi tentang perintah shalat 50 kali.41
Andaikata sisi
kemanusiaan atau ijtihad tersebut tidak digunakan Nabi tentu akan
memberatkan manusia dalam melakukan perintah Allah tersebut.
Adapun tentang berita dalam sunnah Nabi, Ibn Qayyim (w. 751
H) telah memiliki dua kriteria. Pertama, berita yang bersumber dari
wahyu. berita jenis ini sudah pasti telah disepakati kebenarannya
kaena Nabi tidak mungkin berbohong mengenainya. Berita kedua
adalah dugaan Nabi mengenai persoalan dunia. Hal ini tergambar jelas
dalam riwayat tentang penyerbukan kurma. Dimana, Nabi mengatakan
bahwa jika yang disampaikan adalah wahyu maka pastilah
kebenarannya, namun jika tidak tentu ijtihadnya bisa jadi sama baik
benar maupun salahnya sebagaimana ijtihad manusia biasa42
Sehingga,
jelaslah bahwa manksud dari Ibn Qayyim dalam menjelaskan isi berita
dari sunnah itu terbagi menjadi dua yakni sunnah wah{yiyyah dan
sunnah ijtiha>diyah.
Al-Qarad{a>wi> juga sempat berkomentar tentang ijtihad Nabi,
meskipun ia lebih memfokuskan perdebatan antara tashri>’iyyah dan
non-tashri >’iyyah dari Sunnah. Bagi al-Qarad{a>wi>, Nabi tetaplah
40
Lihat penjelasan lengkap pada Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi, 174-175.
41Lihat para riwayat kisah Isra’ Mi’raj. Lihat penjelasan pada bab 3. Lihat
pula pada Musim ibn H{ajjaj, S{ah{ih} Muslim, juz 1, 145. 42
Ibn Qayyim, Mifta>h Da>r al-Sa’adah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993) juz 2, 590-591.
107
manusia biasa yang berijtihad, bahkan dalam sebuah persoalan agama
sekalipun. Ia contohkan dalam sebuah riwayat,
43
Suatu ketika datang seorang perempuan dari Junainah kepada
Nabi dan berkata, “Ibuku telah bernazar untuk melaksanakan haji,
namun ia telah meninggal sebelum bisa melaksanakan haji, maka
bolehkan aku haji untuknya?” Rasul kemudian menjawab, “Ya,
berhajilah untuknya. Bukankah jika ibumu memounyai hutang kau
akan membayarkannya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang kepada
Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”
Hadis di atas mengindikasikan bagaimana Nabi memberikan
analogi nazar dengan hutang yang harus dibayar. Tentu, ini dianggap
sebagai upaya ijtihad Nabi dalam menjawab persoalan Sahabat.
Sehingga ijtihad Nabi adalah hal yang sangat manusiawi. Namun
demikian, al-Qarad{a>wi> mengungkapkan bahwa terkadang ijtihad Nabi
bisa saja salah namun wahyu segera turun untuk memperbaiki
kesalahannya. Inilah keistimewaan Nabi Saw dibanding dengan ijtihad
pada ulama pada umumnya.44
Ungkapan al-Qarad{a>wi> di atas memang tidak sepenuhnya salah,
namun ada hal yang harus dikoreksi bahwa ada kalanya Nabi memang
berijtihad dan salah namun tidak dibenarkan oleh wahyu. Hal ini
terjadi pada contoh yang sering diungkapkan yakni soal penyerbukan
kurma. Namun demikian, al-Qarad{a>wi> memiliki argumen bahwa
masalah penyerbukan kurma adalah wilayah non-tashri>’iyyah dan
Ijtihad Nabi hanya berlaku pada masalah peperangan dan keduniaan.45
Tentunya hal ini menjadi aneh, karena contoh yang diberikan sendiri
adalah ijtihad Nabi masalah haji, apakah bagian dari masalah
43
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 3, 18. 44
Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64. 45
Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.
108
keduaniaan? Tentu tidak, artinya bahwa memang sisi kemanusiaan
Nabi juga ikut serta dalam menjelaskan syariat.
B. Universalitas Hadis dan Ijtihad yang Lokal-Temporal
Persoalan berikutnya tentang ijtihad Nabi ini adalah bagaimana
kita bersikap terhadap ijtihad tersebut. Sebagaimana difahami pada
bab sebelumnya bahwa memang Nabi telah berijtihad dan tidak hanya
masalah keduniaan semata namun juga berkaitan dengan masalah
agama.
Sebelum sampai pada bagaimana kita berisikap terhadap
adanya ijtihad Nabi ini ada baiknya kita lihat terlebih dahulu sumber
ijtihad Nabi. Nabi Muhammad Saw secara pribadi memang tidak bisa
dipisahkan dari sisi kemanusiaan dan kenabiannya. Karenanya
pengetahuan yang ia peroleh pun melalui kedua alat itu. Pertama,
tentu adalah wahyu baik Alquran maupun lainnya (yang akhirnya
berbentuk hadis) yang selalu menyertainya ketika menyelesaikan
sebuah persoalan. Kedua, adalah faktor sosial masyarakat Arab yang
terikat dengan zaman baik dari segi budaya, peralatan, makanan,
peperangan dan sebagainya. Hal inilah yang kemudian membuat
kesempurnaan Nabi dalam berijtihad yang hampir sulit ditemukan
kesalahannya karena kecerdasannya itu.
Sebenarnya al-Qarad{a>wi> pernah mengungkit sedikit mengenai
hal ini ketika ijtihad Nabi ia kaitkan dengan sunnah tashri’iyyah dan
non tashri’iyyah. Baginya, ijtihad hanya berlaku pada sisi sunnah non-
tashri’iyyah karenanya dalam masalah ini kita, kata al-Qarad{a>wi>
boleh menolak ataupun sependapat dengan dengan Nabi. Ia
mencontohkan bahwa keputusan Barirah yang enggan rujuk kepada
suaminya adalah contoh yang jelas dalam hal ini.46
Persoalan yang bersisa dari gagasan al-Qarad{a>wi> di atas adalah
apakah semua hadis yang beriafiliasi terhadap ijtihad Nabi dalam hal
keduniaan boleh ditolak begitu saja? Ataukah justru ada hal yang
membolehkan kita untuk mempertimbangkan dan juga menafsirkan
kepada hal yang lain? Agaknya pendapat al-Maududi dalam hal ini
46
Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.
109
lebih bisa diterima ketika mengatakan bahwa sunnah yang terkait
dengan hal keduniaan bukanlah berarti sunnah kemanusiaan semata
(hal ini karena memang sisi kenabian dan kemanusiaan tidak bisa
dipisahkan), melainkan semata-mata bahwa sunnah ini dimaksudkan
untuk tujuan berbeda. Oleh sebab itu, harus ditafsirkan dengan cara
yang berbeda pula.47
Salah satu contohnya adalah cara makan Nabi dengan tiga
jari.48
“Rasulullah biasa makan dengan tiga jari, dan menjilatinya
sebelum mencuci tangannya.”
Hal ini tentu selain kita mengingat bahwa pada masa Nabi
makanan yang sering adanya adalah kurma dan roti, tentu tidak
membutuhkan banyak jari terlebih peralatan modern seperti sendok,
garpu dan sebagainya. Namun, bukanlah alat itu yang menjadi
pelajarannya, melainkan bahwa kita dalam makan sesuatu hendaknya
tidak berlebihan. Inilah yang kemudian kita tafsirkan dengan adanya
semangat Alquran yang menyebutkan untuk makan dan minum
namun tidak berlebih-lebihan. “Makan dan minumlah, namun jangan
berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.”49
1. Universalitas Hadis Nabi Muhammad Saw.
Kembali pada pokok persoalan awal bahwa hadis
bagaimanapun telah menjadi sumber ajaran Islam. Karena,
sebagimana ungkapan al-Sha>tibi, yang dicatat oleh Abu Zahrah50
memang Alquran lebih banyak menjelaskan sesuatu yang bersifat
general dan Nabi kemudian diberi tanggung jawab untuk
47
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought, 79. 48
Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 3, 1605. 49
QS. al-A’raf [7]: 31. 50
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Hamdan Rasyid dkk (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005) 151.
110
menjelaskannya seperti cara shalat, haji, puasa dan sebagainya.
Karena itu ketaatan kepada Allah takkan berarti tanpa ketaatan
kepada Nabi sebagi pembawa firman Allah sendiri.51
Ketatan ini harus
bersifat universal dan tidak berubah sampai kapanpun.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ketaatan kepada
Allah yang harus dilakukan seumur hidup harus pula disertai dengan
ketaatan kepada Rasul, dan hadislah yang menjadi bagian tak
terpisahkan darinya. Selain karena Islam yang dibawa Nabi
Muhammad adalah agama terakhir dari Allah kepada manusia
setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan keharusan
universalitas hadis itu.52
Pertama, jumlah umat Islam yang begitu banyak tersebar
dengan berbagai budaya, wilayah geografis, dan kondisi sosial
berbeda tentu tidak sama dengan apa yang dialami Nabi. artinya,
Islam bukanlah agara orang Arab melainkan agama seluruh manusia.
Kedua, kenyataan bahwa saat ini umat Islam tidak menyatu
dalam satu daulah isla>miyah, maka konsekuensi kelanjutan hadis
sebagai bagian dari sumber ajaran Islam pun tak selamanya bisa
terlaksana dengan sama. Terlebih pada negara yang jumlah umat
Islam minoritas.
Ketiga, dalam keputusannya, Nabi telah memberikan contoh
agar menyesuaikan Islam sebagaimana kondisi masyarakat. Hal ini
tergambar pada perubahan yang dibuat Nabi dalam hukum ziarah
kubur bagi umat Islam.53
Dimana kekhawatiran Nabi terhadap akidah
Sahabat yang belum matang dan sangat rentan terhadap kekufuran
dan kemusyrikan membuat Nabi melarangnya, namun tatkala
pemahaman itu cukup maka Nabipun kemudian membolehkannya.54
51
QS. An-Nisa [40] : 80. 52
Sebenarnya banyak hal yang membahas hal ini, namun penulis mencoba
menyederhanakan dari apa yang penulsi anggap perlu. Lihat misalnya pada, Suryadi,
Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis, atau Hanim Ilyas, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama, yang terkumpul dalam Bunga Rampai Wacana Hadis Kontemporer (Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002) 138-180.
53Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 672.
54Lihat Fais{al ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Najdi, Tatri>z Riya>d{ al-S}a>lihi>n (Riyadh:
Da>r al-‘Asimah, 2002) 386. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa jika hari ini di
111
Kempat, adanya peran Sahabat sebagai orang yang dekat
dengan Nabi namun mecoba menafsirkan perintah Nabi dengan
menyesuikan zamannya. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar ibn
Khattab saat menjadi khalifah namun tidak menghukum orang yang
mencuri karena pada masa itu terjadi kekeringan.
Kelima, Islam adalah agama rah{matan lil ‘a>lami>n. Karenanya ia
harus selalu bisa terlaksana dan difahami agar selalau s}a>lih{ li kulli
zama>n wa maka>n.
2. Ijtihad Nabi Sebagai Hadis yang Universal dan Lokal Temporal
Kelima hal sebelumnya memang akan menjadi pembahasan
terus menerus agar hadis mudah difahami dan diaplikasikan oleh umat
Islam. Namun, agaknya ada usaha yang berbeda jika kemudian yang
digunakan adalah ijtihad Nabi. Ijtihad sebagai upaya nalar manusia tak
terkecuali Nabi tentu sangat tergantung pada pengetahuan internal dan
eksternalnya. Yang dalam hal ini pengtahuan internal Nabi adalah sisi
kehidupan sosial yang mempengaruhi cara berfikir dan
pengetahuannya sedang sisi eksternalnya adalah wahyu yang kapan
saja bisa datang baik sekedar menginformasikan hal baru, ataupun
mengingatkan ketika terjadi kesalahan.
Contoh ijtihad Nabi yang lokal temporal namun berisi pesan
universal adalah berikut,
55
Bahwa Rasulullah pernah melarang tiga hal dan kemudian
membolehkannya. Yakni, tentang ziarah kubur, menyimpan daging
kurban lebih dari tiga hari, minum dari wadah kulit. Tentunya
perbahan ini harus melihat konteks sebab perubahan itu terjadi.
suatu daerah masih terdapat umat Islam yang melakukan ziarah namun masih
tercampur di dalamnya unsur kekufuran dan kesyirikan maka hal itu seharusnya
dilarang hingga mereka mengetahui fungi ziarah yang sebenarnya. 55
Muslim ibn H{ajjah, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 3, 672.
112
Pertama tentang ziarah yang menjadi problematika sebenarnya adalah
bukan ziarah melainkan adalah masalah kesyirikan dan kekufuran
sebagiman dijelaskan sebelumnya. Kedua, adalah jaminan masyarakat
untuk mendapatkan daging kurban dan ketiga adalah dilarangnya
mabuk. Di sinilah sebenarnya secara langusng Nabi telah mengajrakan
bahwa ada sisi lokal temporal pada apa yang ia sampaikan dan ada sisi
universal yang sampai kapanpun harus terlaksana.
Dengan demikian, kesimpulan universal dari hadis di atas
adalah sampai kapanpun kesyirikan dan mabuk adalah hal yang
dilarang dalam agama karena jelasnya dalam wahyu Alquran dan
menjamin ketiadaan lapar dalam diri umat Islam adalah kewajiban
yang tidak boleh dilupakan.
3. Menyikapi Semangat dan Hasil Ijtihad Nabi
Setelah perbincangan mengenai Ijtihad telah benar adanya dan
berbagai kaitan dan contohnya telah disebutkan, maka saatnya kita
mediskusikan bagaiman menyikapi adanya ijtihad Nabi itu. Setidaknya
ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya perbedaan sikap kita
terhadap ijtihad Nabi dalam hadis yang berbeda dengan sikap kita
terhadap Nabi yang disertai dengan adanya perintah Alquran.
Setidaknya ada 4 ruang lingkup yang harus difahami secara
berbeda dalam ijtihad Nabi. antara lain:
a. Ijtihad Nabi yang dibenarkan Wahyu
Untuk masalah ijtihad model pertama ini sikap kita jelas akan
menerimanya karena alasan wahyu. Alasan ini tentu tidak perlu
diperdebatkan karena Nabi bertugas menyampaikan wahyu Tuhan,
oleh karenanya wahyulah yang kemudian menjadi alasan utama ijtihad
Nabi wajib diterima. Contoh seperti ijtihad Nabi tentang keinginannya
merubah kiblat, meringankan jumlah shalat dalam sehari bagi umat
Islam, keharusan Nabi menikahi anak angkatnya, ataupun kesalahan
Nabi dalam mengikuti pendapat Abu Bakar dalam menerima tawanan
perang dan sebagainya adalah model ijtihad Nabi yang kemudian
dibenarkan wahyu.
113
Masalah ini membuktikan gambaran sebenarnya kemanusiaan
Nabi yang tidaklah jauh berbeda dengan manusia yang sangat
tergantung pada wahyu, terlebih pada hal-hal terkait masalah yang
ghaib dan ketuhanan.
b. Ijtihad Nabi Terhadap Kasus Duniawi
Untuk kasus kedua ini memang yang cukup banyak
diperdebatkan. Terlebih dalam kajian sunnah tashri>’iyyah dan non-
tashri>’iyyah ijtihad ini menjadi hal yang kadang tak lagi diperhatikan.
Namun, hadis tetaplah ungkapan Nabi yang bisa salah dan benar
terlebih menyangkut dunia. Hal ini karena memang disadari bahwa
sumber ijtihad Nabi adalah wawasan Alquran yang ia dapatkan dari
Allah secara langsung dan pengalaman kehidupannya yang mungkin
berbeda dengan pengalaman kehidupan masyarakat lainnya.
Oleh karena itu, hadis seperti kesalahan dalam penyerbukan
kurma, ketidakmauan Bara>rah untuk rujuk dengan suaminya, ataupun
masalah H{abab ibn Munzir tentang siasat perang tentu memiliki cara
pandang dan perpektif lain. Adapun jika terjadi kesalahan dalam hal
ini, maka sumber kesalahan itu pun dari dua hal. Pertama, adalah
ketiadaan informasi dari wahyu Allah Swt. Kedua, pengalaman
kehidupan Nabi dalam hidup bermasyarakat maupun berprofesi.
Misalnya kesalahan Nabi dalam mengusulkan model menyerbukan
kurma, tentu disadari bahwa memang Nabi tidak pernah bekerja
sebagai petani, sehingga mau tidak mau pengetahuan Nabi tentang hal
ini tidak lebih baik dari para petani itu.
Kedekatan Nabi kepada Allah membuatnya sangat mungin
untuk dituntun sebagai model kehidupan atau uswah,56
terlebih
masalah akhlak. Untuk itu dalam menyikap sisi kehidupan Nabi yang
perlu dilakukan ada beberapa hal. Pertama, adalah kemudian mencari
semangat dari Ijtihad Nabi itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk
difahami bahwa pemahaman Nabi tentang kehidupan sedikit banyak ia
juga dapatkan dari pemahamannya dalam Alquran. Misalnya masalah
56
QS. Al-Qalam [68]: 3; Lihat pula riwayat Abu> Hurairah dalam Ah{mad ibn
H{usain al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmi, 2002) juz 10,
323.
114
seperti makan tiga jari57
di atas bukan keikutsertaan melakukan hal
yang sama yang menjadi persoalan, selain karena berbeda objek
makanan dan budaya, tentu sikap Nabi adalah cerminan dari keharusan
untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Begitu pun, hal ini terjadi
pada kasus memanjangkan pakaian hingga bawah mata kaki yang
dilarang Nabi. Ketika, Abu Bakar bertanya tentang pakaiannya, jawab
Nabi ia bukan termasuk yang didalamnya karena poin pentingnya
adalah kesombongan bagi pemakainya.58
Al-Qarad{a>wi> dalam hal ini bahkan lebih keras ketika
menganggapnya bid’ah, yakni tentang memegang tongkat sebagai hal
yang pernah dilakukan Nabi. Tentu al-Qarad{a>wi> tidak sepenuhnya
salah, karena yang ia maksud bid’ah adalah mereka yang menganggap
bahwa membawa tongkat adalah sunnah yang diperintahkan Nabi dan
bernilai pahala.59
Tindakan seperti itu ada mengada-ada, karena Nabi
menggunakannya untuk suatu tujuan seperti bersandar atau mengusir
binatang. Karenanya semangat yang harus diambil dari hadis ini
adalah seseorang harus kuat dan terhindar dari hal yang
membahayakan diri. Inilah yang memang bisa kita fahami dari apa
yang diungkapkan wahyu60
bahwa kita tidak boleh membahayakan diri
dan apa yang dilakukan Nabi tersebut.
Kedua, melakukan kontekstualisasi sebagaimana karakter
sosial masyarakat yang ada. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan
segala peralatan dan teknologi yang ada pada masa Nabi dan hari ini.
Misalkan masalah Nabi haji naik unta, tentu siapapun bahkan orang
Arab sendiri tidak akan melakukan hal yang sama. Ataupun hal yang
berkaitan dengan ibadah, namun ia bukan masalah ibadahnya. Seperti
menentukan arah kiblat yang dulu harus mengira dan bahkan sebagian
cukup hanya dengan sikap yakin saja maka hari ini harus dirubah
dengan adanya berbagai teknologi yang ada. Atau, masalah
57
Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 3, 1605. 58
Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74. 59
Yusuf Al-Qaradawi, terj. Abdul Hayyie al-Kattani. al-Sunnah wa al-Bid’ah (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) 25-30
60QS. Al-Baqarah {{2} : 195.
115
menentukan awal bulan Hijriyah.61
Dulu, tentu sistem perhitungan
tidak se-moderen hari ini, sehingga mata kepala menjadi dasar utama.
Namun ketika ilmu astronomi hari ini telah maju, maka selayaknya
kita mengikuti zaman yang ada.
Ketiga, kepada sebuah informasi yang tidak perlu pelaksanaan
seperti masalah sains, ramalan masa depan dan sebagianya. Maka yang
harus dilakukan adalah menelaah kebenarannya dan menujukkannya
sebagai bagian dari keutamaan Nabi dalam memberikan informasi.
Bisa jadi informasi tersebut menjadi hal yang mutlak adanya
sebagaimana apa yang diungkapkan Nabi, bisa pula itu kiasan terhadap
penemuan sains modern.62
Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak hal dari
Nabi yang bisa tetap dilakukan sampai hari ini, terlebih masalah etika,
pengobatan, karakter sosial, ungkapan doa dan sebagainya. Tentu
patut kita contoh kebiasaan Nabi yang selalu ramah hingga Sahabat
seperti Jari>r tang mengatakan bahwa sejak masuk Islam ia tidak pernah
melihat Rasulullah kecuali tersenyum selalu wajahnya.63
Atau soal
khasiat madu, jintan hitam, bekam dan sebagainya yang menjadi
tradisi pengobatan masa Nabi.64
Berbagai pengobatan itu masih bisa
dilakukan hingga saat ini. Untuk kondisi penyakit terntentu, karena
memang jenis penyakit pun berkembang seiring zaman, maka sudah
selayaknya pengobatan pun berubah.
c. Ijtihad Nabi Terhadap Hukum Agama
Salah satu ijtihad Nabi yang ia lakukan dalam hal ini adalah
masalah menghajikan orang yang sudah meninggal sebagaimana
disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, Nabi berijtihad dengan
mengqiyaskan nazar dengan hutang yang harus dibayar.
61
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 762. 62
Lihat salah satu contohnya pada Bab II tentang Mukjizat Nabi tentang
Fenomena Alam dan Sains. 63
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 24 64
Bahkan dalam hal ini Bukhari membuat bab tersendiri dalam al-Musnad
al-Sahihnya tentang kedokterah. Lihat pada, Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 122.
116
Pada awalnya mungkin kita berprasangka beribadah untuk
orang lain tidak ada dasarnya telebih wahyu Alquran sendiri
mengatakan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala dari
orang lain.65
Karena itu pandangan kita terhadap riwayat tentang
mengganti haji itu menjadi pindah poinnya yakni kepada qiyas Nabi
tentang nazar dan hutang. Oleh karena itu, jika seseorang yang
meninggal masih punya hutang hendaklah dibayar, karena ada qiyas
inilah dibolehkannya mengganti haji. Untuk itu, tidak sembarangan
bisa mengganti haji, kecuali orang yang meninggal telah bernazar pada
masa hidupnya. Sungguh qiyas inilah yang kemudian menjadi sandaran
dan bukan pada perintah Nabi untuk mengganti haji.
Contoh riwayat lain terdapat pada hadis tentang Nabi yang
mencium ‘Aisyah saat sedang berpuasa. Peristiwa tersebut pun
dilaporkan ‘Umar pada Nabi apakah ia batal atau tidak dalam
berpuasa. Nabi pun menjawab dengan bertanya kepada Umar,
“Bagaimana menurutmu jika kamu berkumur-kumur saat sedang
puasa?” Umar menjawab, “Tidak mengapa Ya Rasul.” Nabi pun
menambahkan, “Demikianlan pula pada apa yang kamu lakukan itu.”66
Dari dua contoh di atas, menunjukkan bahwa memang sandaran
hukum tetaplah pada wahyu yang didapat oleh Nabi baik dalam
Alquran maupun hadsi Nabi sendiri yang ia jelaskan pada Sahabat.
Karenanya, dalam masalah ini ada dua hal yang harus diambil.
Pertama, adalah pada hasil ijtihad Nabi itu sendiri, yakni bahwa Nabi
adalah orang yang paling faham terhadap Alquran dan wahyu,
karenanya ialah yang paling berhak melakukan qiyas. Hasil ijtihad ini
harus ditaati dan dilaksanakan. Kedua, adalah model ijtihad berbentuk
qiyas itu kemudian menjadi dasar ulama fikih dalam berijtihad.
65
Al-An’am [4] :145. Ayat ini berkenaan dengan tangisan bagi mayit, lihat
pada Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 79. 66
Abu al-‘Ala> memperdepatkan siapa yang dicium oleh Nabi apakah ‘Aisyah
atau Ummu Salamah. Namun, adapun tentang ‘Aisyah Abu Daud dan Nasa’i
menganggap hadis ini munkar, namun di sahihkan oleh Ibn H{uzaimah, Ibn H{ibba>n
dan H{a>kim. Lihat, Abu al-‘Ala>. Mubarakfuri>, Tuh{fat al-Ah{wa>zi (Beirut: dar al-Kutub
al-‘Ilmi, tt) juz 3, 359.
117
d. Ijtihad Nabi Sebagai Nasehat dan Model Kesempurnaan
Ijtihad Manusia
Model ijtihad lain yang sering dilakukan Nabi adalah tentang
nasehat. Tentu bisa difahami bahwa Nabi adalah orang yang paling
dekat dengan Allah, karenanya patut kemudian para Sahabat
menjadikannya sandaran untuk bertanya bukan hanya masalah ibadah
dan akidah melainkan juga nasehat hidup. Karena memang masalah
yang dihadapi Sahabat bukan hanya terfokus pada ibadah dan akidah
melainkan juga masalah kehidupan dunia.
Misalkan pada pilihan menikah yang ditanyakan oleh Ma’qil
ibn Yasar kepada Nabi bahwa ia ingin menikah dengan salah seorang
perempuan namun ia mandul. Nabi pun melarang Ma’qil untuk
menikahinya. Bahkan Ia datang berkali-kali dan akhrinya Nabi
mengungkapkan bahwa, “Nikahilah orang yang penyayang dan subur
(banyak anak), sungguh aku bangga dengan banyaknya umatku.”67
Ada pula riwayat lain dari ‘Abdullah ibn ‘Umar yang bertanya
Islam seperti apakah yang paling baik. Nabi menjawab, “Engkau
memberi makan kepada yang lain, dan mengucapkan salam kepada
siapapun yang kau temui, baik kau kenal maupun tidak.” Namun
demikian pertanyaan ini juga ditanyakan oleh ‘Amru ibn ‘As namun
dengan ungkapan sedikit berbebda, yakni orang Islam seperti apakah
yang paling baik? Nabi menjawab, “Yakni orang yang bisa menjamin
keselamatan orang lain dari lidah dan tangannya.”68
Ungkapan nabi yang pertama memberikan pandangan memang
pernikahan bukan hanya bertujuan menyatukan dua individu
melainkan pula mendapatkan keturunan. Hal ini tentu bisa difahami
sebagu tujuan orang melakukan hubungan suami-istri. Meskipun tidak
didapatkan informasi dari wahyu bahwa bangga dan tidaknya Nabi
dengan banyaknya umat adalah perintah Allah.
Sedang tentang riwayat kedua meskipun didapati jawaban
berbeda, hal ini tentu tidak kemudian dianggap bahwa Nabi tidak
67
Abu Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni>, Sunan Abu> Dau>d (Beirut: Maktabah
al’Ashriyah, tt) juz 8, 20. 68
Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 65.
118
konsisten dalam menjawab. Namun titik poin masalah Islam disini
memang masalah akhlak. Karenanya jawaban bisa berfariasi oleh Nabi,
namun pemaknaannya tetap bahwa akhlak adalah sombol Islam yang
paling utama.
Dengan demikian, untuk masalah nasehat ini yang menjadi
sikap seorang muslim adalah dengan melakukannya sedapat mungkin
atau sebisa mungkin. Hal ini tentu karna kadar seseorang mungkin saja
berbeda dalam melaksanakaannya, misalnya orang yang terlanjur
menikah namun baru ketahuan mandul atau orang bisu yang tidak bisa
mengucapkan salam tentu hal ini tidak menjadi beban dan dosa bagi
mereka. Di sisi lain, perintah ini hanyalah wujud dari keutamaan
ajaran Islam semata. Bahwa kemudian Nabi memberikan jawaban
yang berbeda adalah bentuk yang paling baik agar jalan keutamaan
terlebih masalah akhlak tidak hanya satu namun banyak jalannya.
Adapun masalah menyikap adanya riwayat tentang kesalahan
Nabi, hal ini sungguh tidak sama sekali mengurangi keutamaannya
dalam kenabian. Karena secara umum kesalahan itu jika tidak terkait
masalah agama dan etika maka hal itu memang bukan menjadi fokus
pandangan soal kenabian. Namun, jika nabi melakukan kesalahan
dalam masalah agama dan etika secara umum pasti wahyu akan
memperbaikinya untuk menjaga kesempurnaan agama dan akhlak
Nabi.
C. Respon Sahabat sebagai Metode Kritik Matan Hadis
Sebagai pembahasan terakhir dalam tulisan ini, penulis akan
ungkapkan bagaimana respon Sahabat terhadap Nabi terkhusus yang
menjadi ijtihad beliau. Ketika Rasulullah mengatakan bahwa Sahabat
sezamannyalah sebagai kaum yang baik baik, maka sudah seharusnya
umat Islam juga melihat bagaimana sikap dan respon Sahabat tersebut
kepada Nabinya. Hal ini kemudian bisa menjadi pandangan awal
model kritik matan terbaik. Alasan utamanya, kritik matan yang
dilakukan Sahabat sebagai orang yang paling dekat dengan Nabi akan
dianggap pula sebagai orang yang paling faham tentang Nabi.
meskipun tidak dipungkiri bahwa kekeliruan petani kurma Madinah
terhadap pendapat Nabi adalah bagian lain dari kesalahfahaman sikap
119
Sahabat terhadap ijtihad Nabi. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang
harus difahami. Pertama, sisi kemanusiaan Sahabat dalam melihat
Nabi. Kedua, berbagai model respon Sahabat terhadap ijtihad dan
tingkah-laku Nabi. Ketiga, bagaimana respon ini menjadi model kritik
matan hadis sebagai bagian dari kajian ilmu hadis.
1. Kemanusiaan Sahabat dalam Melihat Nabi
Keutamaan Sahabat cukup besar dihadapan Nabi Saw.
karenanya Nabi menyebut mereka sebagai generasi terbaik umat.
Namun demikian, Sahabat tetaplah murni manusia biasa yang tidak
mengetahui soal wahyu sebagaimana Nabi Saw. Karenanya prasangka
Sahabat tentu berbeda dengan Nabi Saw yang langsung dibimbing
oleh Allah dalam menentukan sebuah keputusan.
Setidaknya kemanusiaan ini terlihat dari dua hal bahwa
sebagian Sahabat menganggap bahwa segala apa yang dikatakan Nabi
adalah perintah dan larangan yang bersifat wajib atau haram. Sehingga
saran seperti untuk tidak melakukan penyerbukan kurma dianggap
adalah larangan yang bersifat haram. Inilah yang justru memunculkan
kekeliruan.69
Dalam hal ini Al-Qarad{a>wi> menjelaskan bahwa Islam
menjanjikan pahala yang besar bagi petani, namun memang tidak
mungkin agama menjelaskan keharusan bagaimana cara bertanam,
tentang jenin tanaman yang ditanam atau hal lain yang lebih mendetail
yang mungkin tiap daerah bisa saja berbeda.70
Namun demikian, ketaatan Sahabat ini tidak kemudian
dianggap sebagai bagian dari kebodohan dalam menyikapi Nabi
melainkan inilah sisi kemanusiaan Sahabat yang sangat hormat dan
cinta pada Nabi. Sehingga, apapun yang disarankan beliau akan selalu
dilakukan.
Hal lain yang bisa memperlihatkan sisi kemanusiaan Sahabat
adalah apa yang diungkapkan Abu Bakar dalam pendapatnya terhadap
tawanan perang. Ketika Nabi bertanya kepada Abu bakar tentang
69
Dalam hal ini al-Qarad{a>wi> memahami bahwa hadis ini sebagai bagian dari
sunnah non tashri’iyyah. Lihat Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi, 277
70Yusuf al-Qarad{awi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-had{a>rah, 16.
120
nasib tawanan Badar. Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, mereka
dulu adalah bagian dari kita dan keluarga kita. Apakah tidak lebih baik
kita mengambil uang tebusan agar kita menjadi kuat terhadap kaum
kafir. Maka, semoga allah pun memberikan hidayah kepada mereka
untuk masuk Islam.” Nabi pun bertanya hal yang sama kepada ‘Umar,
lalu ‘Umar menjawab, “Tidak ya Rasulullah, aku tidak sepakat dengan
pendapat Abu Bakar, mereka (tawanan) itu adalah pimpinan kaum
kafir, maka hendaklah mereka dibunuh.”
Saat itu Nabi agaknya lebih cenderung kepada pendapat Abu
Bakar. Namun tiba-tiba Nabi dan Abu Bakar menangis, lalu Umar pun
bertanya, “Ya Rasul apa yang membuatmu dan sahabatmu menangis?”
Nabi menjawab, “Aku menangis karena aku setuju untuk meminta
tebusan dari tawanan ini.” Kemudian turunlah ayat Alquran, “Tidak
patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta
benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu)….”71 Akhirnya tawanan itupun dibunuh sebagaimana
perintah Allah.72
Jawaban Abu Bakar tentu menjadi pertimbangan siapapun yang
dalam kondisi yang sama lalu ditanyakan oleh Nabi tentang hal itu.
Namun, sebagaimana kisah di atas bahwa baik Nabi maupun Abu
Bakar dengan sifat kasih sayangnya ternyata salah dalam menentukan
hukuman bagi tawanan tersebut. Dengan demikian kemanusiaan para
Sahabat adalah hal yang sangat normal mengingat mereka adalah
manusia biasa. Namun, karena mereka adalah orang terdekat Nabi
maka cara mereka menerima hadsi pun patut menjadi pelajaran
penting. Bahkan, Ra’fat Liay Husain73
menyatakan dalam tulisannya
bahwa mereka adalah ahli ushul yang sebenarnya. Mereka yang
mengetahui bagaimana Nabi menerima wahyu dan bagaimana Nabi
menjelaskannya. Dalam hal ini Ibnu Rushd (w. 595 H) juga
berpendapat bahwa mereka tidak membutuhkan ilmu usul fiqh dalam
71
Al-Anfa>l [8]: 67-68. 72
Hadis lebih lengkap lihat. Sah{ih{ Muslim, juz 3, 1383. 73
Ra’fat Luay H {usain, “al-Isha>rat al-Us{uliyyah ‘Inda al-S{ah{abah,” Jurnal Kulliyah al-‘Ulum al-Islami 5, no. 10 (2010) : 157
121
membahas ini sebagaimana orang Arab yang tak perlu melatih diri
untuk berbicara sebagaimana mereka berbicara. Karena itu dalam
hipotesis sementara dapat dipastikan bahwa fatwa mereka dan
pendapat mereka terhadap Nabi pastilah benar ketika membahas
sebuah permasalahan.74
2. Respon Sahabat Terhadap Ijtihad Nabi
Untuk memahami lebih lanjut tentang bagaimana cara Sahabat
dalam memahami hadis ijtihad ini, ada baiknya melihat bagaimana
model respon Sahabat dalam beberapa persoalan berikut.
a. Menjadikan Nabi Model Kehidupan
Siapapun ketika memahami ayat 31 dari Surat A<li Imran pasti
akan mencoba menjadikan apa yang dilakukan Nabi menjadi tindakan
yang ada pada dirinya.Terlebih hal ini pasti pula diikuti oleh para
Sahabat Nabi yang sangat mencintai Nabi Saw karena kedekatannya.
Ibnu ‘Umar misalnya adalah satu Sahabat yang paling ingin mengikuti
segala tindakan Nabi. Dalam suatu riwayat Ibn ‘Umar pernah
menceritakan bahwa ketika Nabi Saw memakai cincin emas maka
semua orang kemudian menirukannya dengan memakai cincin emas.
Namun kemudian nabi berkata, “Aku telah memakai cincin emas dan
kini aku telah melepaskannya.” Maka semua orang melepas cincinya
bahkan Ibn ‘Umar berkata, “Sungguh aku tidak akan memakai cincin
lagi selamanya.”75
Selain masalah cincin ada pula tentang jenggot dan tongkat
sebagaimana sebelumnya dikisahkan dan sebagainya. Semua ini adalah
bentuk umum penerimaan Sahabat terhadap apa yang dilakukan oleh
Nabi.
Namun demikian, Nabi pun tidak sembarangan segala yang
dilakukan oleh Sahabat meskipun niatnya untuk kebaikan itu harus
dibiarkan saja. Hal ini adalah terkait tindakan Sahabat yang berlebihan
dalam beragama. Terkhusus biasanya pada kisah ‘Abdullah ibn ‘Amr
74
Abu Walid Muhammad Ibn Rusd, al-D{aru>ry fi ‘Us{u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r
al-Ghurub al-Islami, 1994), 35. 75
Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 156.
122
ibn al-‘Ash yang berkata, “Aku pernah berpuasa setiap hari dan
menghatamkan Alquran tiap malam, namun ketika berita itu sampai
pada Nabi maka ia pun mendatangiku,” Lalu Nabi berkata, “Benarkah
kamu melakukan yang demikian itu?” ‘Abdullah menjawab, “Benar ya
Rasul, sungguh aku tidaklah melakukannya kecuali mengharap
kebaikan.” Dan ternyata Nabi pun melarangnya dan menjelaskan
tentang bagaiman cara shalat malam, puasa Daud dan cara
menghatamkan Alquran yang benar.76
Mengenai hal ini bahkan ada riwayat lain dari Anas r.a yang
menunjukkan ketidaksukaan Nabi terhadap cara Sahabat tersebut
dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh akulah orang yang paling
takut kepada Allah dan paling bertakwa kepadaNya. Tetapi kadang
aku berpuasa kadang berbuka, kadang juga shalat (tahajjud) kdang
juga tidur, aku juga menikah. Siapa yang tidak suka sunnahku maka ia
bukan golonganku.”77
Dari kisah di atas menunjukkan bahwa mengikuti Nabi pun ada
aturannya dan tidak dibenarkan berlebih-lebihan. Namun demikian
semua itu kita sadari bukan dengan niatan buruk melainkan
kebaikanlah yang ingin diperoleh Sahabat.
b. Mengubah Ijtihad Nabi Demi ‘Illah
Sahabat Nabi sebenarnya tidak hanya meniru secara buta
segala apa yang dilakukan Nabi, melainkan dengan melihat pula apa
yang menjadi pertimbangan Nabi saat melakukannya. Karena itu,
sebagian Sahabat terutama yang cukup dekat dengan Nabi mengetahui
kapan Nabi Saw berijtihad dan kapan ia tidak berijtihad. Untuk itu,
sebagaimana cara menyikapi ijtihad Nabi di atas dengan mengambil
semangatnya dan mengaplikasikannya secara berbeda pernah
dilakukan pula oleh ‘Umar ibn Khattab saat memimpin umat Islam.
Setelah menaklukan Irak, ‘Umar tidak lantas membagikan tanahnya
kepada umat Islam begitu saja melainkan mewakafkannya untuk
penduduk setempat yang menjadi muslim. ‘Umar mengatakan, “Aku
76
Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih}, 2, 813. 77
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad, juz 7, 2.
123
menginginkan suatu keputusan yang bermanfaat untuk generasi
sekarang dan yang akan datang.”78
Mengenai hal di atas, Ibn Qudamah (w. 629 H) sebagaimana
yang dikutip oleh al-Qarad{a>wi> mengatakan perbedaan keputusan Nabi
dan ‘Umar adalah karena kebutuhan pada waktu itu memang berbeda.
Pada masa Nabi umat Islam masik kecil dan sangat membutuhkan
perniagaan, namun pada masa ‘Umar umat Islam telah menyebar dan
kesejahteraan umum jauh lebih utama.79
Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Mujahid. Kisah ini
diceritakan oleh al-Shaukani (w. 1250) dalam kitabnya Nail al-At}>ar
bahwa Ibn Abi Nujaih pernah berkata, “Aku bertanya pada Mujahid,
mengapa penduduk Syiria wajib membayar paka 4 dinar, sedang
penduduk Yaman hanya 2 dinar? Lalu Mujahid menjawab bahwa
kebijakan itu menyesuaikan kemampuan mereka.” Al-Shaukani
menjelaskan bahwa hal itu tentu bukan berarti Sahabat tidak
mengetahui apa yang dilakukan Nabi, namun mereka memahaminya
dari apa yang diinginkan Nabi dalam menarik pajak tersebut.80
Bahkan, al-Qarad{a>wi> menjelaskan bahwa bisa jadi urusan menarik
pajak adalah urusan politik yang di dalamnya tidak terkait soal
ketaatan secara mutlak namun menyesuaikan kebutuhan masyarakat
yang ada.81
Dengan demikian, perubahan sikap Sahabat dalam menjalankan
sunnah Nabi tidak hanya terpaku pada hasil ijtihad Nabi semata
melainkan pada semangat atau pesan yang ada dalam hasil ijtihad
tersebut. Tentunya, hal ini akan lebih mudah dilakukan dan
diaplikasikan pada setiap ruang dan waktu yang memiliki kondisi
berbeda.
78
Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas{daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 99. 79
Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 99-
100. 80
al-Shaukani, Nailul Aut}ar (Beirut: Dar al-Kutub, 1995) juz 8, 217-219 81
Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 101.
124
c. Merespon Hal yang Dikhususkan bagi Nabi Saw
Yang dimaksud dengan hal yang dikhususkan bagi Nabi Saw
adalah segala perkara baik yang mubah, wajib maupun haram bagi
Rasulullah Saw yang tidak untuk dilakukan oleh umat Islam.82
Perlu
difahami bahwa tidak semua yang dilakukan oleh Nabi Saw boleh
dilakukan oleh Sahabat. Pelarangan ini ada yang memang muncul
dengan penjelasannya dari wahyu Alquran secara langsung namun ada
pula yang muncul dari Nabi Saw.
Bagi Muhammad al-‘Aru >sy dalam Alquran pengkhususan ini
cukup jelas jika dilihat dari mukhatab atau lawan bicara Alquran. Jika
Alquran menyebut secara umum seperti atau
tentu difahami sebagai perintah kepada manusia secara umum. Namun
jika panggilan itu berupa atau tentu difahami
sebagai pengkhususan terhadapa nabi.83
Salah satu hal yang langsung diutarakan oleh Alquran adalah
kekhususan istri Nabi yang tidak boleh menikah sepeninggal Nabi.
Untuk alasan ini Alquran telah menjelaskan sendiri bahwa istri Nabi
adalah orang diutamakan sebaga ibu orang mukmin,84
dan mereka akan
selalu dijaga kehormatannya. Karena itu, Nabi pun tidak mungkin
menceraikan mereka. Karena jika Nabi menceraikan mereka tentu
mereka akan dibenci oleh keluarga dan suku mereka.85
Namun demikian, ada pula hal yang kemudian hanya boleh
dilakukan Nabi karena nabi khawatir hal itu pasti memberatkan
umatnya. Contohnya yakni tentang puasa terus-menerus atau wis{al.
Dari Ibn ‘Umar menceritakan bahwa Rasulullah melakukan wishal di
awal Ramadhan, maka semua orang pun melakukannya. Namun,
ternyata Nabi melarangnya dan berkata, “Kalian tidaklah sama dengan
82
‘Abd al-Ha>fiz ‘Abd Muhammad, “Khus {us{iya>t al-Nabi> Saw wa Dala>latuha>
fi> Tashri>’” Jurnal al-Jami’ah al-‘Iraqiyah 25, no. 1 (2010) : 167; Dalam tulisan ini
‘Abd al-Ha>fiz memberikan tiga model kekhususan Nabi yakni: pertama, terkait soal
pernikahan. Kedua, masalah thaharah dan ibadah. Ketiga masalah jihad, warisan dan
tabarruk (kemuliaan). 83
Lihat lebih lengkap pada Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala al-Ah{ka>m, 170-171
84Al-Ah{zab [33]: 6.
85Al-Ah{zab [33]: 53.
125
ku, sebab Allah yang memberiku makan dan minum.”86 Sehingga,
disadari bahwa apa yang dilakukan Nabi ada yang menjadi kekhususan
baginya yang tidak selayaknya dilakukan oleh Nabi, tentunya karena
alasan yang berbeda pula. Bahwa jika ini dilakukan oleh umat Islam
tentu akan sangat berat baginya. Adapun apa yang diungkapkan Nabi
di atas, menurut penulis adalah kiasan bahwa hal itu sangat berat dan
agar umatnya mau meninggalkan tindakan itu. Hal ini karena memang
Nabi hanyalah manusia yang sama seperti yang lain, bedanya ia
menerima wahyu dan yang lain tidak.87
Misalnya yang kadang diperdebatkan adalah jumlah istri Nabi
yang lebih dari empat. Padahal, dalam riwayat Ibn ‘Umar bahwa
Ghailan ibn Salamah ketika masuk Islam ia memiliki istri 10 orang
namun Nabi menyuruhnya untuk menceraikan yang enam dan
mengambil 4 saja.88
Tentunya hal ini berbeda dengan apa yang
dilakukan Nabi, namun apakah pembatasan ini ijtihad atau wahyu.
secara umum tidak ada ungkapan Nabi yang menyatakan bahwa
penetapan ini adalah wahyu selain ulama kemudian menetapkannya
sebagaimana yang ada dalam Surat al-Nisa ayat 4. Namun, urusan
poligami ini bukan masalah batasan yang harus difahami, namun
tujuan pernikahanlah yang harusnya menjadi titik poinnya.
Masalah ini, sebenarnya telah selesai ketika memang turun ayat
yang mengkhususkan Nabi dalam masalah pernikahan sebagaimana
pada ungkapan Bahwa kekhususan ini hanya
bagi Nabi dan hukan orang mukmin yang lain. Meskipun wahyu
membenarkan ini, namun akal manusia mungkin sebagian akan
menentangnya. Akan tetapi, jika dilihat bagaimana kondisi status
perempuan masa Nabi Saw tersebut, tentu akan disadari bahwa hal ini
adalah untuk mengangkat derajat perempuan dan hanya Nabi lah yang
bisa melakukannya pada masa itu.
86
Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 776 87
Al-Kahfi [18]: 110 88
Abu> Isa> Al-Tirmizi, Sunan Tirmizi (Mesir: Shirkah Maktabah Mus{t{afa> al-
Ba>bi>, 1975) juz 3, 427. 89
Lihat lebih lengkap pada surat al-Ahzab [33] : 50
126
Poligami bukanlah masalah yang mudah. Bahkan, Nabi
mengatakan siapa yang punya istri dua namun tidak adil ia akan
berjalan miring pada hari kiamat.90
Bukankah ini yang seharusnya
menjadi catatan! Bukan pula orang berpendapat bahwa poligami
adalah sunnah hukumnya. Bahwa tindakan tersebut sunnah Nabi
adalah benar adanya. Namun, dari catatan ini menunjukkan bahwa
Nabi bukan menganjurkan atau menyuruh poligami, namun hanya
membolehkan poligami. Alasan lain bahwa Nabi menikahi lebih dari
empat adalah guna melindungi perempuan lemah bukan urusah sahwat
belaka. Tentunya, inilah semangat adanya poligami itu dan bukan
urusan sahwat.
d. Nabi yang Paling Tahu Soal Agama
Masalah yang terakhir ini adalah segala yang dari Nabi sesuai
petunjuk Allah, yakni masalah hal yang ketuhanan dan kebertuhanan
atau masalah ibadah dan akidah. Dalam masalah ini hampir tidak
pernah seorang Sahabat pun menanyakan alasannya melainkan selalu
melakukan dan mempercayainya tanpa mempersoalkannya.
Salah satu contohnya adalah apa yang diungkapkan oleh Umar
saat mencium Hajar Aswad ketika haji bahwa, “Sungguh aku tahu kau
hanyalah sebuah batu yang tidak memberi manfaat atau madharat.
Andai aku tidak melihat Nabi menyentuh dan menciummu maka aku
tidak akan pernah menyentuh dan menciummu pula.”91
Contoh lain adalah segala tindakan Allah yang disampaikan
oleh Nabi seperti hal yang dicintai olehNya ataupun yang dibenci
olehnya. Salah satunya adalah ungkapan Nabi bahwa, “Siapa yang
senang bertemu Allah, maka Allah pun akan senang bertemu
dengannya, dan siapa yang benci bertemu dengan Allah Allah pun
akan membencinya." Lalu ‘Aisyah bertanya, “Bagaimana dengan
membeci kematian?” “Bukankah kita semua membenci kematian”
Jawab Nabi. Kemudian Nabi menjelaskan, “Orang beriman akan
senang jika dikabarkan padanya nikmat Allah, karena itu orang
90
Abu Daud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu> Dau>d, juz 2, 242. 91
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih}, juz 2, 149.
127
mukmin akan senang bertemu denganNya dan Allah pun demikian.
Sedang orang kafir akan benci dikabarkan tentang azabNya, karena
mereka punbenci bertemu dengannya, begitu pula dengan Allah.”92
Seperti pula laknat Allah kepada kaum Yahudi dan Nasari yang
membuat kuburan Nabinya sebagai tempat ibadah.93
Tentu, dalam hal
ini Nabi tidak mungkin berijtihad dengan menyandarkannya pada
Allah, melainkan Allahlah yang pasti memberi tahu Muhammad
tentang hal ini.
Karena itu, masalah yang terkait dengan kebertuhanan ataupun
yang disandarkan pada tindakan Allah adalah hal yang mutlak harus
dilakukan dan dipercaya. Tentunya, setelah sanad dari riwayat itu
sudah bisa diyakinkan kebenarannya.
3. Respon Sahabat Terhadap Matan Hadis sebagai Model Kritik
Matan Kontemporer
Sebagai akhir pembahasan dalam tesis ini setidaknya ada hal
yang harus kemudian menjadi kelanjutan terhadap pemahaman hadis
Nabi. Al-Adlabi mengungkapkan bahwa kajian hadis hari ini memang
telah mulai bergeser dari naqli kepada aqli. Dimana yang maksud dari
kajian naqli hadis adalah kajian yang mengupayakan kebenaran
periwayatan hadis. Studi hadis ini terfokus lebih banyak kepada sanad
hadis, dan bukan isi hadis yang justru menjadi objek pembicaraan Nabi
atau yang sering disebut dengan kritik sanad. Sedang aqli adalah
kajian matan hadis yakni isi yang disampaikan oleh Nabi, atau yang
sering disebut dengan kritik matan.94
Penulis menilai kritik setidaknya ada dua alasan kenapa kritik
matan hari ini menjadi fokus para ulam hadis. Pertama, kajian kritik
sanad yang sudah lebih dulu dikaji oleh para ulama hadis masa awal
telah lebih mudah dilacak pada masa kini sehingga perdebatan
mengenai hal ini tidak lagi banyak menjadi fokus. Namun, bukan
berarti menyepelekan kajian kritik sanad, melainkan sudah banyak
92
Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 4, 2065. 93
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 88. 94
Lihat Salah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi>, Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) 3-7.
128
bacaan yang memudahkan untuk melakukan kajian ini. Kedua, hadis
yang telah ada 15 abad itu, harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan peradaban yang berbeda. Karenanya, tidak mungkin ia
dilakuakan secara tekstual, melainkan upaya kontekstual menjadi
penting. Berbeda dengan upaya yang pertama, bahwa upaya yang
kedua sisi rasionalitas lebih dominan dari pada tekstual hadis itu
sendiri.
Berbagai pandangan Sahabat di atas terhadap ijtihad Nabi
adalah sisi penting dari kritik matan sendiri. Sekaligus hal ini
membuktikan bahwa kirtik matan ternyata sudah dilakukan oleh
Sahabat langsung kepada Nabi. Yakni terhadap ungkapan Nabi yang
beraviliasi terhadap ijtihad beliau. Meskipun riwayat ini tidak banyak,
namun setidaknya menggambarkan apa dan bagaimana pertimbangan
Sahabat dalam menerima dan metaati ungkapan dan tindakan Nabi.
Al-Adla>bi> sebenarnya sudah menyinggung tentang krtik matan
yang dilakukan oleh Sahabat dalam kitabnya. Namun, karena beliau
tidak terfokus dalam kajian ijtihad Nabi maka contoh yang berikan
adalah upaya kritik matan yang dilakukan oleh Sahabat kepada
Sahabat lain dan bukan kepada Nabi.95
Sehingga, contoh yang
diberikan oleh al-Adla>bi> masih seputar hadis yang berkaitan dengan
hal ghaib dan kebertuhanan seperti ritual ibadah. Di mana, menurut
penulis masalah ini lebih membutuhkan kritik sanad dari pada matan
karena tidak adanya ijtihad Nabi di dalamnya kecuali beberapa saja.
Ijtihad sebagai bagian dari kemanusiaan Nabi tidak bisa
dilepaskan begitu saja dalam kajian hadis. ijtihad sebagai hasil usaha
rasional kepada problematika yang terikat ruang dan waktu tertentu
hanya bisa dikaji dengan sisi rasionalitas pula dan bukan pada kajian
sanad. Meskipun sebelum mengkaji sebuah matan hadis, selayaknya
sanad sudah tidak lagi diperdebatkan. Mengapa demikian, karena
kritik yang dilakukan oleh Sahabat terhadap ijtihad Nabi tidak
memerlukan kajian sanad karena langsung diungkapkan kepada Nabi.
95
Contohnya pada kritik ‘Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang tangisan
kepada mayit. Lihat Salah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi>, Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis 86-96
129
Selain itu, Sahabat pun perlu mengetahui apakah ungkapan Nabi itu
adalah bagian dari wahyu atau yang menjelaskan wahyu, ataukah ia
hanya respon lain atau ijtihad diluar tema wahyu yang ada.
Mengikuti Nabi di luar perintah wahyu sebagaimana yang
dilakukan Sahabat, secara umum Muhammad al-‘Aru>sy menilai bisa
dilihat dari dua dalil baik aqli maupun naqli. Dalil aqli mengatakan
bahwa tindakan Nabi pasti bernilai wajib atau sunnah, namun
ketiadaan perintah lebih mendekatkan pada sunnah dari pada wajib.
Sedang dalil naqli dalam ayat karena
menggunakan kata lakum dan bukan ‘alaikum, maka hukum sunnah
lebih dekat dari pada wajib.96
Dari berbagai gambaran ijtihad Nabi di atas dan berbagai pula
respon Sahabat terhadapnya setidaknya ada empat tahapan yang bisa
dilakukan untuk melanjutkan kritik Sahabat terhadap ijtihad Nabi
dalam hadis agar bisa tetap terlaksana hingga saat ini. Pertama,
dengan memilah tema-tema yang ungkapkan atau diperbuat oleh Nabi
berdasarkan pada wahyu dan Ijtihad. Kedua, jika memang hal itu
adalah ijtihad Nabi dan bukan bersumber dari wahyu, maka harus
dikroscek kondisi sosial atau sekitar Nabi saat mengungkapkan hal
tersebut atau asbab wurudnya.
Ketiga, setelah itu dimungkinkan untuk mencari legal specific
atau pesan moral yang jelas di dalamnya. Hal inilah sebenarnya yang
dianggap sebagai sisi rasionalitas yang ada dibalik ijtihad Nabi.
Keempat, memahami lingkungan baru dimana hadis ijtihad tersebut
akan digunakan sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal
saat hadis itu dimunculkan. Kelima, jika terajdi persamaan yang lebih
dominan maka bisa jadi ijtihad Nabi dilakukan sebagaimana mestinya
yang juag dilakukan oleh Nabi. Namun jika terjadi perbedaan yang
dominan maka dilakukanlah penyesuain legal specific tersebut dengan
lingkungan yang baru tanpa menghilangkan legal spesific yang pernah
96
Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m, 201
130
ada.97
Keenam, adanya keyakinan sebagaimana di atas bahwa sumber
ijtihad Nabi selain dari pada rasionalitas yang ia miliki, namun juga
Alquran yang sudah menyatu dalam segala tindakannya. Dengan
demikian harus juga dimengerti alasan rasional Sahabat untuk
menerima ataupun menolak apa yang disampaikan Nabi.
Adapun ungkapan yang lebih jelas tentang hal ini adalah sama
seperti yang diungkapkan bahwa memahami Alquran harus seolah
bahwa untuk dialah Alquran itu diturunkan. Sama halnya dengan
hadis, bahwa mereka yang ingin mengungkapkan hadis, maka ia pun
harus tampil sebagai Sahabat yang langsung ikut merespon –dengan
segala rasionalitasnya– apa yang pernah diungkapkan Nabi.
97
Pada lima hal dari langkah kritik matan yang dilakukan Nabi penulis
elaborasi dari tulisan M. Sa’ad Ibrahim, “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran
Islam” al-Tahrir 4, no. (2004): 168.
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan tesis ini difokuskan pada hadis sebagai bagian dari
dua sisi yakni kenabian dan kemanusiaan. Dari penelusuran terhadap
perdebatan ulama hadis dan kitab hadis ditemukan bahwa Nabi
mengeluarkan sebuah pernyataan berbentuk hadis tidak hanya ia
peroleh dari wahyu melainkan juga hasi ijtihad pribadinya. Sehingga
hadis kemudian terbagi menjadi hadis sebagai wahyu Allah dan hadis
sebagai ijtihad Nabi.
Dari beberapa pembahasan terdahulu menunjukkan hadis yang
beraviliasi terhadap ijtihad Nabi tidak memiliki otoritas yang cukup
sebagai sumber hukum Islam, meskipun dalam beberapa hal hadis
tersebut menyampaikan sebuah kebenaran informasi. Sisi kemanusiaan
yang ada dalam ijtihad Nabi masih memungkinkan terjadi kesalahan,
meskipun tidak sebanding dengan kebenaran yang ia sampaikan.
Namun demikian ijtihad Nabi meskipun muncul dari olah logika,
sumber ijtihad tersebut tidak hanya akal semata melainkan juga wahyu
yang ia peroleh. Untuk itu, mencari semangat wahyu dibalik ijtihad
Nabi adalah sebuah keharusan dalam memahami hadis selain
memahami konteks yang dihadapi Nabi saat hadis itu diungkapkan.
Tesis ini pada akhirnya mendukung pendapat ‘Abd al-Jali>l ‘Isa>
‘Abd al-Nasr, Muh{ammad Sayyid T}ant}a>wi> dan Yu>suf Qara>d{awi> yang
menyatakan bahwa keberadaan ijtihad Nabi Muhammad adalah benar
adanya dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaan yang tidak jauh
berbeda dengan manusia lainnya yang bisa salah, bisa benar, dan bisa
dipertimbangkan. Namun, tesis ini agaknya melemahkan gagasan
Muh{ammad H{usain Haikal yang menuliskan bahwa kemanusiaan dan
ijtihad Nabi tidak ada kaitannya dengan sisi kenabian dan wahyu yang
didapatkannya dari Allah, terlebih mukjizat yang didapatkannya.
Implikasi dari adanya ijtihad Nabi memungkinkan untuk
memahami hadis dengan kesadaran bahwa wahyu adalah pertimbangan
utama. Wahyu tidak akan berubah pada setai zamannya. Berbeda
132
dengan ijtihad yang karena ia adalah pertimbangan yang sangat terikat
dengan ruang dan waktu, maka mempertimbangan dan mencari
semangat ijtihad adalah sebuah kewajiban. Ijtihad tidak kemudian
ditinggalkan begitu saja namun ia bisa diaplikasikan baik dalam
bentuk yang sama dengan semangat yang sama, maupun bentuk yang
berbeda dengan semangat yang sama.
Berkaitan dengan upaya pemahaman ijtihad Nabi tentu
Sahabat sebagai lawan bicara Nabi adalah yang paling otoritas dalam
emahamin hal ini. Untuk itu, pemahaman dan respon Sahabat ini
menjadi sangat penting dalam mengetahui kapan Nabi Muhammad
tampil sebagai seorang Nabi dan kapan sebagai manusia biasa. Dengan
kata lain, dalam memahami hadis seseorang haruslah tampil menjadi
seorang Sahabat Nabi yang mengerti tentang pemilahan sisi kenabian,
ijtihad dan kemanusiaan Nabi Muhammad Saw.
B. Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semestinya memahami
bahwa semua Nabi Muhammad adalah wahyu yang harus ditaati dan
diikuti sebagaimana yang terucap. Sebaliknya, harus mengetahui
apakah ucapan Nabi itu wahyu ataukah ijtihad beliau terhadap suatu
persoalan. Sehingga, rasionalitas menjadi penting dalam memahami
apa yang diungkapkan dalam sebuah hadis karena memang hadis yang
muncul dari ijtihad Nabi sanagt pula terikatdengan rasionalitas Nabi
dalam menghadapi sebuah persoalan.
Sebagai kelanjutan penelitian ini perlu setidaknya dua hal yang
harus dikembangan. Pertama, adalah upaya kontekstualisasi ijtihad
Nabi terhadap porblematika kekinian yang rasional, komprehensif dan
didasari dengan semangat wahyu. Kedua, jika seseorang membaca
Alquran ia harus seoalah menjadi yang menerimanya, maka kritik
matan ala Sahabat pun menjadi wajib bagi mereka yang ingin
memahami hadis. Sehingga, siapapun yang hendak memahami hadis
maka ia harus faham dua sisi rasional yang saling berhadapan yakni
rasionalitas Nabi dalam berijtihad dan rasionalitas Sahabat dalam
menerima Ijtihad tersebut.
133
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Disertasi dan Tesis
‘Abduh, Muh{ammad. Risa>lah al-Tauh{i>d. Kairo: Da>r al-Nasr, 1969.
_______. Ta’liqa>t al-Syaikh Muhammad ‘Abduh ‘ala> Sharh al-Dawwani> li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyyah. Kairo: al-Matba’ah al-
Khairiyyah, 1291 H.
‘Abd al-‘Aziz al-Najdi, Fais{al ibn. Tatri>z Riya>d{ al-S}a>lihi>n. Riyadh:
Da>r al-‘Asimah, 2002.
‘Abd Al-Qa>dir, Muhammad al-‘Arusiy. Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha>
‘ala al-Ah}ka>m. Jeddah: Dar al-Mujtama’, tth.
Abu> Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni> (w. 275 H), Sunan Abu> Dau>d. Beirut:
Maktabah al-‘Asriyah, Tth. Abu> Zahrah, Muh{ammad. Ushul Fiqih, Terj. Hamdan rasyid dkk.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
Abu> Al-Nas}r, ‘Abd al-Jalil Isa. Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam. Kairo: Da>r al-Ih{ya’ al-‘Arabi, 1950.
Al-Alu>si, Sihabuddin Mah{mud. Ru>h{ al-Ma’a>ni. Beirut: Dar al-Kutub,
1415 H.
Al-Amidy, Shaif al-Di>n Abu> H{asan. al-Ih{kam fi> Us{u>l al-Ah{ka>m.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
Al-Andalu>si>, ‘Ali ibn H{azm. Al-Ih}ka>m fi> Us}ul al-Ah}kam. Beirut: Dar
al-Ifa>q al-Jadi>dah, 1979.
Al-Ashqa>r, Muhammad Sulaima>n. Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala
al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah. Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy,
1976.
Al-Adlabi>, Salah{uddin ibn Ah{mad. Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik
Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Azami, M.M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
Al-Bagdady, Khatib. Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah. Beirut: Da>r
al-Kutub, 1988.
Al-Baghawi, Abu Muhammad. Sharh{u Sunnah. Beirut: Maktabah
Islamiyah, 1973. Al-Baidhawi, Minha>jul Wus{u>l. Beirut: Muassasah Risalah, 2006. Al-Baihaqi, Abu> Bakar. Su’ab al-Ima>n. Beirut: Dar al-Kutu>b, 1410 H.
134
Al-Baihaqi, Ahmad ibn Husain ibn ‘Ali. al-Suna>n al-Kubra>. Beirut:
Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmi, 2003.
_______. Ma’rifat Sunan wa al-Athar. Beirut: Dar al-Qutbiyyah, 1991.
Al-Baqila>ni>. Kita>b al-Tamhi>d. Beirut: Maktabah al-Syariqah, 1957.
Al-Bukha>ri, Muh}ammad ibn Ismail. Sah{i>h{ al-Bukha>ri, Kairo: Dar al-
Tauq al-Najah, 1422 H.
Al-Bukhari, ‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad. Kashfu Al-Ashra>r ‘An Us{ul Al-
Fah}r Al-Islamy Al-Bazdawy. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1308 H.
Al-Bu>ti>, Muhammad Sa’id Ramad}an. Fiqh Sirah. Beirut: Da>r al-Fikr,
1980.
Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Thought. Cambridge: Cambridge Univeristy Press, tth.
Al-Dari>mi>, Abu> Muhammad Abdullah. Musnad al-Dari>mi>. Saudi: Da>r
al-Mughni, 2000.
Al-Dhahabi>, Abu> ‘Abdilla>h Shamshu al-Di>n Muhammad ibn Ah}mad.
Siyaru A’la>m al-Nubala>. Riyadh: Bait al-Afka>r al-Dauliyah,
2004.
Al-Dahlawi, Syah Waliyullah. H{ujjatul al-Ba>lighah. Beirut: Da>r al-
Ma’rifah, tth.
Esposito, John L. Islam Warna-warni. Terj. Arif maftuhi, Jakarta:
Paramadina, 2004.
Fiegenbaum, “J.W. Prophethood from the Perspective of the Qur’an.”
Tesis di Mc Gill University, Montreal, 1973.
Al-Ghaza>li>, Al-Mankul min Ta’liqa>t al-Us}ul. Damaskus: Dar al-Fikr,
1400 H.
Al-Ghaza>li>, Abu> Hami>d Muh{ammad. al-Mushtashfa> min ‘Ilmi al-‘Us{u>l. Kairo: Muassasah al-Halabi, Tth.
Al-Ghaza>li>, Muh{ammad. al-Sunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-
H{adith. Kairo: Dar al-Syuru>q, 1989.
Al-Ghaza>li>, Muh{ammad. Studi Kritis atas Sunnah Nabi antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Terj. Muhammad al-
Baqir, Bandung: Mizan, 1996.
Haekal, Muhammad Husain. Terj. Ali Audah, Sejarah Hidup
Muhammad. Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2000.
135
Ibn al-‘Araby, Abu> Sa’id. Mu’jam ibn al-‘Araby. Saudi: Da>r ibn Jauzi,
1997.
Ibn ‘Ashur, Al-T{ahir. Maqa>s{id al-Shari’ah al-Isla>miyyah. Kairo: Dar
al-Salam, 2005. Ibn Atsir, Asa>d al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-Sah{a>bah. Kairo: Da>r Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1994.
Ibn Fais}al, Fais}al ibn ‘Abd al-‘Azi>z. Tatriz Riya>d} al-S{alih}i>n. Riyad:
Da>r al-‘Asimah, 2002.
Ibn H{anbal, Ah{mad. Musnad Ah{mad. Kairo: Mausu>’ah Qurtubah, tt.
Ibn H{ibba>n (w. 354), Muh{ammad. S{ah{ih{ ibn H{ibba>n, Beirut:
Muassasah Risa>lah, 1993. Ibn H{azm, Abu> Muh{ammad al-Andalu>si> al-Zahiri. al-Ih{ka>m fi Us{u>l al-
Ah{ka>m. Kairo: Sa’adah, Tth. Ibn Kathi>r (w. 774 H), Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m. Kairo: Dar al-
Tayiibah, 1999. Ibn Khaldu>n, Abd al-Rah{ma>n ibn Muh{ammad. Al-Muqaddimah.
Maroko: Da>r al-Baidha’, 2005.
Ibn Khalil, ‘Ata’. Taysir al-Wus}u>l ila> al-Us}ul: Dira>sat fi> Us}ul al-Fiqh.
Beirut: Da>r al-Ummah, 2000.
Ibn Ma>jah, Suna>n Ibn Ma>jah. Riyadh: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Araby,
tth. Ibn Manz{u>r (w. 740), Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, Tth. Ibn Mu>sa>, Abu> al-Fad}l ‘Iyad}. al-Shifa> bi Ta’rif H{uqu>q al-Mus}t}afa.
Kairo: Dar al-Hadith, 2004.
Ibn Rusd, Abu Walid Muhammad. al-D{aru>ry fi ‘Us{u>l al-Fiqh. Beirut:
Da>r al-Ghurub al-Islami, 1994.
Ibn Qatadah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Ibn Qayyim, Mifta>h Da>r al-Sa’adah. Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1993.
Ibrahim al-Isma’ili>, Abu> Bakr Ah{mad ibn. al-Mu’jam fi> Asa>mi Shaikh Abi Bakr al-Isma>’ily. Madinah: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-
Hukm, 1410 H.
Al-Isfaha>ni, al-Raghib. al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qura>n. Mesir:
Matba’ah al-Maimuniyah, 1324 H. ‘Itr, H{asan Dhiya’ al-Di>n. Nubuwwatu Muh{ammad fi> al-Qura>n\.
Suriah: Da>r al-Nasr, 1973.
136
‘Iyadh, Al-Qad}i. al-Shifa> bi Ta’rif Huqu>q al-Musht}afa>. Beirut: Da>r al-
Kutu>b al-‘Ilmiyyah, tt.
Jakfar,Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf
al-Qardhawi. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Al-Juwaini, Al-Burha>n fi> Us}ul al-Fiqh. Mesir: al-Wafa’, 1518 H.
Al-Juwaini (w. 578), ‘Abdul Malik ibn ‘Abdullah. Niha>yat al-Matlab fi>
Niha>yat al-Mazhab. Riyadh: Da>r al-Manhaj, 2007.
Karabela, Mehmet Kadri. “One of The last Ottoman Syaikhulislam,
Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and
Intellectual Contribution.” Tesis di Institute of Islamic Studies
Mc Gill University, Montreal, 2003.
Kasa>b, ‘Abd al-Lat}i>f. Adhwa’u h{aul: Qadhiyat al-Ijtiha>d fi> al-Shari>ah
al-Isla>miyah. Saudi: Dar al-Taufi>q, 1984.
Khallaf, ‘Abd al-Wahab. Mas{a>dir al-Tashri’ al-Islam. Kuwait: Da>r al-
Qalami>, 1972.
_______. ‘Ilm Us}ul al-Fiqh. Kuwait : Dar al-Qalam, 1978.
Al-Kha>zin, ‘Ala>‘u al-Di>n ibn Muh{ammad. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni
al-Tanji>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1515 H.
Al-Khurasy, Sulaiman ibn Shalih. terj. Abdul Ghaffar. Pemikiran
Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan. Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafii, 2003.
Mubarakfuri>, Abu al-‘Ala>.Tuh{fat al-Ah{wa>zi. Beirut: dar al-Kutub al-
‘Ilmi, tt.
Al-Najjar, Zaghlul Raghib Muhammad. Buku Induk Mukjizat Ilmiah
Hadis. Jakarta: Mizan, 2010.
Al-Nasa’i (w. 303), Abu Abdurrahman. Sunan al-Nasa’i. Beirut:
Muassasah Risalah, 2001. Al-Nasr, Abdul Jalil Isa Abu. Ijtihad Rasulullah Saw. Jakarta: Pustaka
Azam, 2001.
Al-Nisa>bu>ri, Muslim ibn H{ajjaj. Sah{i>h{ Muslim. Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-
Turath, tt.
Al-Qarafi. al-Furuq. Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt.
Al-Qarad}a>wi>, Yusuf. al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah.
cet. 3, Kairo: Dar al-Suru>q, 2002.
137
_______. terj. Abdul Hayyie al-Kattani. al-Sunnah wa al-Bid’ah.
Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Al-Qawsi, Mufrih{ Sulaima>n. al-Shaikh Mus{t{afa> S{abri> wa Mawqifuhu min al-Fikri al-Wafid. Riyadh: Markaz al-Malik Faisal, 1997.
Al-Qurtubi>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Ah}mad Shamshu al-Di>n
(w. 671 H). al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qura>n. Kairo: Dar al-Kutub
al-Misriyah, 1980.
Rahman, Fazlur. Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat
dan Ortodoksi. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2003.
_______. Major Themes of The Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca
Islamica, 1994.
Rid{a, Muh}ammad Rashid. al-Wah{yu al-Muh{ammadi. Kairo: Da>r al-
Mana>r, 1935. _______. Tafsi>r Alqura>n al-H{aki>m aw Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: Dar al-
Manar, 1947.
S{abri>, Mus{t}afa>. al-Qawl al-Fas}l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi al-Ghayb wa al-Ladhi>na la Yu’minu>n. Ttp: Da>r al-Sala>m, 1905.
_______. Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n
wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981.
_______. Al-Qawl al-Fas{l Bayna al-ladhina Yu’minu >n bi al-Ghayb
Wa-al-ladhi>na la> Yu’minu >n. Ttp: Dar al-Salam, 1905.
_______. Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar. Kairo: Matba’ah
al-Salafiyah, 1352 H.
Al-Shaukani, Irsha>d al-Fuh}ul ila> Tahqi>q al-H}aq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogjakarta: eLSAQ Press, 2004.
Shaltut, Mahmut. al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa Shari’ah. t.tp.: Dar al-Qalam,
1966. Siraj al-Di>n al-Dimasqy (w. 775 H), Abu Hafz. al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-
Kita>b. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Imiyyah, 1997.
Suryadi, dkk. Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002.
Sya’ban, Marwah Ibrahim. “al-Ahadis al-Qudsiyah: Dirasah balaghiyah.” Fakultas Adab. Universitas Ghaza, 2007.
Al-S{abu>ni>, ‘Ali.> al-Nubuwwah wa al-Anbiya>’. Beirut: Ali>m al-Kutu>b,
1405 H.
138
Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qura>n.
Riyadh: Muassasah al-Risalah, 2000. T{ant}awi>, M. Sayyid. Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak. Terj. Safri
Mahayedin, Cet. 2, Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara
Malaysia, 2009.
Al-Tirmizi, Abu> Isa>. Sunan Tirmizi. Mesir: Shirkah Maktabah Mus{t{afa>
al-Ba>bi>, 1975.
Al-‘Umri, Na>diyat Sharif. Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa
Sallam. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985.
Zuh{aili, Wahbah. Us}u>l al-Fiqh al-Islami>. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Terj. Hamdan Rasyid dkk.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
Al-Zarqa>ni, Muh{ammad, Mana>hil al-‘Ifra>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n. Beirut:
Da>r al-Fikr, Tth.
Jurnal Ilmiah
‘A<tiyah, Minhad Muhammad S{alih{. “al-Wahyu fi> al-Qura>n wa
Mauqifu al-Musyriqi>na Minhu”, Majallaj Kuliyah al-Tarbiyyah
al-Asasiyah 66 (2010) : 166-179.
‘Abd al-H{ami>d, Malak Muh}ammad Tha>bit. “Mafhu>m al-Nubuwah wa
al-I’ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” Journal of The Iraqi University 25,
no. 1 (2010) : 111-134.
‘Abd Na>s}ir, H{aki>m. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-
Nubuwah.” Adab al-Kufa 1, (2011) : 213-237.
Al-‘Any, Asma>’ ‘Abd al-Qa>dir ‘Abdulla>h. “Bara>’atu al-Anbiya>’
minma> nasaba Ilaihim min Akhta>’.” Journal of Research Diyala
University 52 (2011) : 37-91.
Al-Ausy, ‘Ali Ramadan. “al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qura>n al-Kari>m wa
Atha>rihi fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.” al-Turath al-‘Ilmy al-‘Araby
1 (2012) : 197-218.
Bin Baru, Rihaizan , dan Rosmalizawati ‘Abd Rashid. “The
Reconciliation Approach in Resolving Contradictory Prophetic
Tradition.” International Journal of Business and Social Science
2, no. 3 (2011) : 227-232.
139
Duderija, Adis. “A Pradigm Shift in Assesing/Evaluating the Value
and Significance oh Hadith in Islamic Tought: From ‘Ulum al-
Isnad to ‘Usul al-Fiqh.” Arab Law Quarterly 23 (2009) : 1-12.
Duderija, Adis. “Toward a Methodology of Understanding the Nature
and Scope of the Concept of Sunnah.” Arab Law Quarterly 21
(2007) : 1-12.
H{ami>d, Ima>n Khalifah. “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith al-
Qudsiyah.” Al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 13, no. 4 (2006) : 225-244 H{usain, Ra’fat Luay. “al-Isha>rat al-Us{uliyyah ‘Inda al-S{ah{abah,”
Jurnal Kulliyah al-‘Ulum al-Islami 5, no. 10 (2010) : 157-214.
Hamudi, Ibrahim Taha. “Al-Iqra>r al-Nabawy, Siya>ghuhu wa Anwa>’uhu
wa Mara>t}ibuhu fi al-Hadi>th al-Shari>f.” Research Diyala
University 33 (2009) : 81-109.
Ibrahim, M. Sa’ad. “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam”
al-Tahrir 4, no. (2004): 162-169.
Al-Jami>ly, Kha>lid Rashid, “al-Ijtiha>d min ‘Asri al-Rasu>l Salla Alla>h
‘Alaihi wa Sallam Ila> Dhuhu>ri al-Maz{a>hib al-Fiqhiyyah.”
Research and Islamic Studies (2006) : 37-71.
Jaida>l, ‘Umar. “Ra>id al-Fakr al-Isla>mi al-Hadi>th: Shaikh al-Isla>m
Mus{t{afa> S{abri>”, Hira’ 5 (2006) : 32-51.
Kayadibi, Saim. “Ijtihad by Ra’y: The Main Saource Inspiration
behind Istihsan.” Jurnal Islamic Social Science 24, no. 1 (2007) :
73-95.
Al-Kabsy, ‘Abd al-H{a>fiz} ‘Abd Muh }ammad. “Khus}us}iat al-Nabi Salla
Allah ‘Alaihi wa Sallam wa Dala>latuha> fi> al-Tashri>’.” Journal of
The Iraqi University 1 (2010) : 159-188.
Al-Khalidy, Fah{d Tala>l Sali>m. “Al-Manhaj al-Nabawy fi> al-Ta’a>mul
al-Usray.” College of Basic Education Researches 4 (2007) : 79-
92.
Kesgin, Salih. “A critical Analysis of The Schacht’s Argument and
Contemporary Debates on Legal Reasoning throughout the
History of Islamic Jurisprudence.” The Journal of International
Sosial Research 4 (2011) : 157-166.
Khadhir, Ah{mad Mat}ar. “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}h}a>bihi fi> al-
Ghazawa>t.” Jurnal Research Diyala Unversity (2009) : 75-86.
140
Majid, Latifah Abdul. dan Mohd Nasir Abdul Majid. “Perkaitan
Antara Ayat al-Kitab dengan Ijtihad Rasulullah Saw.” Jurnal
Islamiyyat 32, (2010) : 63-87.
al-Muna>siyah, Ami>n Muh{ammad Salla>m, “Nadrah fi> A<ya>t al-‘Ita>b”
Jurnal Ja>mi’ah Dimasq Li al-‘Ulu>m al-Iqtis{a>diyah wa al-
Qanu>niyah 23, no 1 (2007) : 321-361.
MZ, Zainuddin. “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wah{yu Ilahi Atau
Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007) :
1-17.
Nazami, Mohammad. “Ijtihad: Takhti’ah or Taswib.” Message of
Thaqalayn, A Quarterly Journal of Islamic Studies 10, no. 2
(2009) : 71-86.
Rosyidi, Muhib. “Metodologi Kritik Matan hadis Berbasis Sains;
Telaah Atas pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar”, Moderatio
Diskursus Islam dan Peradaban I, no 3, (2012) : 61-82.
S}a>lih, S}a>diq Khali>l. “Khit}a>b al-Nabi> Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallama
wa Atha>ruha> fi> al-Mufassiri>n.” Journal Research and Islamic
Studies (2009) : 75-106.
Shaki>r Mah{mu>d Isma>’il, “Al-Ah{dath al-Ma’thurah fi> Haya>t al-Rasu>l
Qabla Bi’t}ah” Majallah Ja>mi’ah al-Anba>r 1, no. 4 (2011) :122-
137.
Solihu, Abdul Kabir Husain. “Revelation and Prophethood in the
Islamic Worldview.” International Islamic University Malaysia,
Islam in Asia 6, no. 1 (2009) : 167-189.
Tayyara, Abed el-Rahman. “Prophethood and Kingship in Early
Islamic Historical Thought.” Der Islam 84 (2007) : 73-102.
Terzic, Faruk. “The Problematic of Prophethood and Miracles:
Mus}tafa> S{abri>’s response.” Islamabad, International Islamic
University, Islamic Studies 48, no. 1, ( 2009) : 5-33.
‘Ulwan, ‘Amar bin ‘Abdullah Nasir. “Tah{li>l Asba>b Ihmal Wuru>d al-
H{adi>th wa Ahammiyatu Ma’rifatih fi> Fahmi Maqa>sid al-
Tashri>’.” Al-Bayan, Journal of Quran and Hadith Studies 7
(2009) : 1-9.
141
Yasin, Hasyim Taha, Manna ‘Abd al-Ghafu>r Dah{m, “Manhaj Nadi>r al-
Jaisy (w. 778 H) fi al-Istidla>l bi al-Hadi>th al-Nabawi al-Shari>f fi
Kita>bihi Tamhi>d al-Qawa>id.” Journal of al-Anbar University for
Language and Literature 8, (2012) : 71-89.
Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of
Muh{ammad ‘Abduh and Rashid Rid{a.” Islamic Studies 24, no. 2
(1985) : 139-165.
Zakaria, Idris. “Ketuhanan, Kenabian, dan Kebahagiaan Menurut Ibn
Sina.” Jurnal Islamiyyat 32, (2010) : 135-156.
142
143
GLOSARIUM
Ijtihad : Ialah sebuah usaha yang sungguh-sungguh,
bisa dilaksanakan siapa saja untuk
memutuskan suatu perkara atau persoalan
tertentu dengan menggunakan akal yang
sehat atau pertimbangan yang matang, atau
hasil dari olah logika
Hadis : Ialah segala sesuatu yang disandarkan pada
Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya
Wahyu : Ialah pengetahuan atau informasi yang
disampaikan Allah kepada makhluknya
baik melalui perantara maupun tidak
Maksum : Ialah terpeliharanya seseorang dari
kesalahan yang disengaja yang menyalahi
hukum Tuhan
Mukjizat : Ialah seuatu kejadian diluar adat kebiasaan,
melemahkan manusia atau makhluk lain,
baik sendiri-sendiri atau kelompok untuk
membuat tandingannya yang serupa
Nubuwwah : Ialah peran yang ada pada diri manusia
yang diutus oleh Allah Swt. untuk
menyampaikan pesan kepada makhlukNya
Al-af’a>l al-Jibliyyah : Ialah segala tindakan atau kebiasaa yang
sama yang dimiliki oleh semua manusia
atau difahami sebagai sisi kemanusiaan
Daulah Islamiyyah : Ialah sebuah tatanan negara atau politik
yang berdasarkan akidah Islam dan
menerapkan syariat Islam atas manusia
yang hidup di wilayah-wilayah yang ada
dalam cakupan hukum tersebut.
144
Legal Specific : Ialah sebuah pesan moral atau inti
persoalan yang terdapat dalam sebuah
kejadian atau ungkapan
Sunnah : Segala sesuatu yang menjadi kebiasaan
atau pernah dilakukan oleh seseorang, atau
ajaran Nabi yang tidak muncul dalam
Alquran
Sunnah tashri>’iyyah : Ialah sunnah yang bersandarkan pada diri
Nabi dan memiliki implikasi syariat di
dalamnya, atau segala perbuatan Nabi yang
mengharuskan atau mewajibkan umat
Islam untuk mengikutinya
Sunnah non-
tashri>’iyyah
: Ialah sunnah yang didasarkan pada diri
Nabi namun tidak memiliki implikasi
syariat di dalamnya, atau segala perbuatan
Nabi yang tidak mengharuskan atau
mewajibkan bagi umat Islam untuk
mengikutinya
Sunnah wah{yiyyah : Ialah sunnah Nabi dalam sebuah tindakan
atau persoalan yang didasarkan informasi
atau pengetahuan yang didapat Nabi dari
Allah atau wahyu
Sunnah Ijtihadiyyah : Ialah sunnah Nabi dalam sebuah tindakan
atau persoalan yang didasarkan pada hasil
pembacaan sebuah persoalan atau ijtihad
Ibah{ah Aqliyyah : Kebolehan terhadap sesuatu berdasarkan
pada pertimbangan akal atau rasional
Ibah{ah Shar’iyyah : Kebolehan terhadap sesuatu berbadaskan
pada syariat atau ketentuan agama
Asbab wurud : Ialah suatu kejadian yang mengitari saat
sebuah hadis diucapkan oleh Nabi atau
yang menjadi sebab munculnya hadis
tersebut
145
INDEKS
A
‘Abd al-Jali>l I<sa ‘Abd al-Nasr-------- 13, 14
‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b -------------------- 6, 7, 8
‘Abdurrahman ibn Samurah --------------- 42
‘Ata>’ ibn Khalil ------------------------------ 94
Abdul Wahab Khalaf ------------------------ 97
Abdurrahma>n ibn ‘Auf ---------------- 86, 98
Abu H{asan al-Bashri -------------------------- 8
Abu> Bakar al-Baqilani ---------------------- 30
Abu> H{afs --------------------------------------- 80
Abu> Hurairah----------------------- 42, 43, 113
Abu> T{a>lib --------------------------------- 47, 48
Abu> Umayya ibn al-Mughi>ra ------------- 51
Ah{mad Ibn H{ambal ------------------ 8, 51, 88
Al-Adlabi ------------------------------ 127, 128
al-af’a>l al-Jibliyyah ----------------------- 1, 94
al-Amidi ----------------------------------- 65, 66
al-Ash’a>ri ------------------------------ 8, 20, 30
Al-Azhar ----------------------------------------- 9
al-Baid{awi ------------------------------------- 61
al-Baqillani ------------------------------- 11, 20
al-Fara>bi> ---------------------------------------- 17
al-Ghaza>li ---------------------- 4, 8, 58, 64, 97
al-H{umaidi --------------------------------------- 4
al-Jubba’i ----------------------------------- 7, 14
Al-Juwaini ------------------------------- 97, 136
al-Khurasy ----------------------------- 101, 103
al-Maturi>di -------------------------- 11, 20, 66
al-Maududi --------------------- 101, 102, 108
Al-Nawawi ------------------------------------ 75
al-Qad}i ‘Abd al-Jabba>r ----------------------- 8
al-Qara>fi> ----------------------------- 38, 96, 103
al-Qarad{awi 13, 16, 99, 106, 108, 114, 119
Al-Qurtu>bi> --------------------------------------- 6
al-Raghib al-Ishfahani ---------------------- 76
Al-Shaukani ---------------------- 97, 123, 137
al-Syatibi ------------------------------------- 109
Amin Muhammad Salla>m ------------------ 72
aqliyyah ---------------------------------------- 99
B
Buh{aira ----------------------------------------- 47
D
Da>r al-Funu>n ---------------------------------- 54
Da>r al-H{ikmah al-Isla>miyyah --------------- 9
Damat Ferit ----------------------------------- 55
F
Fari>d Wajdi ------------------------------------ 10
Faruk Terzic ----------------- 9, 10, 21, 30, 31
Fazlur Rahman ------------- 2, 14, 16, 17, 25
Fiegenbaum ------------------------ 16, 26, 134
H
H{abab ibn Munzir ------------------7, 72, 102
Halimah Sa’diyah ---------------------------- 47
I
iba>h{ah ------------------------------------------- 99
Ibn ‘Arabi --------------------------------- 11, 20
Ibn ‘Ashur ------------------------------- 98, 135
Ibn H{anbal ------------------------------------- 88
Ibn H{azm-------------------- 8, 66, 67, 99, 100
Ibn H{ibba>n -- 8, 36, 38, 47, 78, 86, 116, 135
Ibn Hisha>m ------------------------------------ 24
Ibn Kathir -------------------------------------- 79
Ibn Khaldu>n ------------------ 1, 2,14, 75, 135
Ibn Qayyim ---------------------------- 106, 135
Ibn Qudamah --------------------------------- 123
Ibn Qutaibah ---------------------------------- 97
Ibn Si>na ---------------------------------------- 17
146
Ibn Taimiyyah --------------------------- 14, 94
ijtiha>diyah------------------------------------ 104
Imam H{anbali ----------------------------------- 8
Imam Ma>lik ------------------------------------- 8
Imam Sha>fi’i -------------------------------- 4, 8
Imam Taba>ri> ----------------------------------- 80
J
J.W. Fiegenbaum ----- 13, 15, 16, 24, 25, 26
Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih --------------------- 9, 54
John L. Esposito -------------------------------- 2
K
Khatib al-Bagda>di --------------------------- 88
M
Ma’qil ibn Yasar --------------------------- 117
Madrasah al-Wa>’izi>n --------------------- 9, 54
Mah{mu>d Shaltu>t ------------------- 20, 96, 10
Malak Muh}ammad Tha>bit - 23, 27, 31, 33,
138
Mehmet Kadri Karabela 12, 20, 54, 55, 56,
57, 58, 67
Mu’az ibn Jabal ------------------------------- 62
Mu’tazilah ------------------------------------- 20
Mufarrih} Sulaima>n al-Qawsi -------------- 21
Muh{ammad ‘Abduh 10, 20, 23, 30, 33, 34,
58, 59, 141
Muh{ammad al-‘Aru>sy 46, 95, 99, 124, 129
Muh{ammad H{usain H{aikal ----- 10, 58, 131
Muh{ammad Shaki>b Qa>simi ---------------- 66
Muh}ammad ‘Abduh -------------------- 30, 59
Muh}ammad Sulaiman al-Ashqar 13, 14, 15
Muhammad al-‘Aru>sy -- 3, 15, 94, 124, 129
Muhammad Shahrur --------------- 84, 86, 95
Mus}t}afa> Kemal Ataturk -------------------- 55
Mus}t}afa> S{abri 9, 10, 11, 12, 13, 18, 19, 20,
21, 23, 31, 32, 34, 41, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 62, 63, 67, 68, 82, 83,
86, 87, 137, 139, 140
N
Na>diyah Shari>f al-‘Umri ------ 6, 64, 68, 70
Nuruddin ‘Itr ---------------------------------- 88
Q
Qad{i ‘Iyad ------------------- 3, 14, 37, 45, 65
Qata>dah -------------------------------- 6, 80, 97
Quraish ----------------- 47, 50, 51, 72, 79, 80
R
Ra’fat Liay Husain ------------------------ 120
Rahman -------------------- 4, 16, 25, 137, 140
Rashid Rid{a 10, 20, 23, 35, 58, 77, 98, 141
S
S{abri - 10, 11, 13, 18, 19, 20, 21, 23, 31, 32,
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 67,
68, 82, 83, 86, 137, 139, 140
Sa’d ibn ‘Uba>dah ------------------------------ 7
Sa’d ibn Mu’a>z --------------------------------- 7
Sali>m ibn ‘Abdillah-------------------------- 44
Sayyid T{ant}a>wi> ---------------------------- 5, 63
shar’iyyah -------------------------------------- 99
Sulaima>n al-Ashqa>r ------ 1, 14, 15, 99, 100
Sulaima>n ibn Sha>lih{ al-Khurasy-------- 101
Sultan ‘Abd al-H{amid ---------------------- 54
syaikh al-isla>m ---------------------------------- 9
T
Tarmizi M. Jakfar ---- 46, 98, 99, 101, 102,
105, 106, 119
147
tasyri>‘iyyah ------------------------------- 38, 96
Turki -------------------------- 9, 53, 55, 56, 57
W
wah{yiyyah ----------------------------------- 104
Waliyullah al-Dahlawi -------------------- 105
Y
Yusuf H.R. Seferta - 23, 30, 33, 34, 35, 36,
141
Z
Zaghlul al-Najjar ------------------------ 39, 41
Zaid ibn Harithah ---------------------------- 73
Zaki> Muba>rak ---------------------------- 10, 20
Zubair ibn Awwam --------------------- 86, 98
148
TENTANG PENULIS
Nama : Muhib Rosyidi
TTL : Lamongan, 15 Agustus 1987
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Orang Tua : Ayah : Murochis
Ibu : Muntamah
Nama Istri : Ewi Nerni, S.Hi, M.H
Pekerjaan : Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Prof.
Dr. HAMKA
Alamat Asal : Jl. Kelapa Sawit II, Rt. 005/010 Kel. Utan
Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur
No. Telp/Hp : 08568538518
E-mail : [email protected]
Pendidikan Formal
o TK Aisiyah Lamongan, 1991 – 1993
o MI Muhammadiyah 04 Blimbing Lamongan, 1993 – 2000
o SMP Muhammadiyah 12 Sendang Lamongan, 2000 – 2003
o MTS Al-Ishlah Lamongan, 2000 – 2003
o MA Al-Ishlah Lamongan, 2003 – 2006
o Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Jurusan Tafsir-Hadis Jakarta, 2006 – 2010
o Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
Konsentrasi Hadis dan Kenabian Jakarta, 2011 – 2014
Pendidikan Non Formal
Pelatihan ESQ Profesional Angkatan 4, Jakarta 2008
Pelatihan Leadership Skill Training di Forum Indonesia Muda FIM
(Forum Indonesia Muda) angkatan 8, Padang-Sumatra Barat 2009
Pelatihan Tamyiz (Terjemah al-Quran Mandiri 24 Jam), Bogor
2013
149
Pelatihan Pembelajaran Bahasan Arab BKS-PTIS dengan Al-
‘Arabiyah li al-Jami>’ Saudi Arabia, Univeristas Muhammadiyah
Malang, Jawa Timur 2014
Pengalaman Organisasi
Bendahara Umum OSIS SMP 12 Sendang 2002 - 2003
Ketua Bidang Keagamaan BESMA (Badan Eksekutif MA Al-
Islah) 2005 -2006
Ketua Umum OPPI (Organsasi Pondok Pesantren Al-Ishlah) 2005 -
2006
Ketua Asrama IMM Cabang Ciputat 2007 – 2008
Ketua Komisariat Ushuluddin dan Filsafat 2008 -2009
Sekertaris Menteri Kemahasiswaan BEM UIN Jakarta 2007-2008
Ketua Bidang I (Keorganisasian) IMM Cabang Ciputat 2009 –
2010
Anggota FIM Forum Indonesia Muda (Youth Indonesian Forum)
2010 - 2011
Karya Tulis
Kontekstualisasi Hadis-Hadis Korupsi (Sebuah Kajian Hadis
Maud{u‘i >) (2010), Skripsi-tidak diterbitkan
Editor buku, Dahsyatnya Energi Listrik Manusia, RM Book
(Rakyat Merdeka Group), 2011
Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Sunnag. Jurnal
Tajdid 2, no. 1 (2011),FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA
Membumikan Agama ala Nahdlatul Ulama. Jurnal Qur’a>n and
H{adi>th Studies 2, no. 1 (2012) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Editor Buku Ajar, Kemuhammadiyahan Untuk Perguruan Tinggi,
UHAMKA Press, 2013
Metodologi Kritik Matan Hadis Berbasis Sains; Telaah Pemikiran
Zaghlul Raghib al-Najjar. Jurnal Moderatio 2 (2013) Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Top Related