BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki tiga perempat wilayah berupa laut (5,8 juta km2) dan
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari ikan laut
seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari total potensi ikan laut dunia.
Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil
dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat
berlangsung secara (Dahuri, 2004). Salah satu potensi laut yang perlu
dikembangkan yakni ikan tuna.
Ikan tuna merupakan salah satu komoditi perikanan Indonesia yang
banyak diminati oleh konsumen luar negeri karena rasanya yang lezat dan bergizi
tinggi. . Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging, lemak
antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral
kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin,
riboflavin dan niasin). Ikan tuna di Indonesia yang paling banyak di ekspor salah
satunya tuna loin beku (Wicaksono, 2009). Loin tuna adalah potongan ¼
memanjang ikan tuna, terdiri atas sisi kiri atas, sisi kiri bawah, sisi kanan atas dan
sisi kanan bawah, tidak termasuk kepala, tulang tengah dan ekor ikan.
Keunggulan teknik loin adalah tidak membutuhkan waktu yang lama untuk proses
pembuatannya, berbeda dengan teknik steak yang membutuhkan waktu lama
dalam proses dikarenakan pemotongan bentuk daging ikan tuna menjadi kecil
(Junianto, 2003).
Negara-negara importir tuna loin diantaranya adalah Jepang, USA,
Australia, dan beberapa negara Eropa, telah mensyaratkan agar negara-negara
yang mengekspor produknya telah menerapkan program manajemen mutu
berdasarkan konsep HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point)
karena akan memberikan jaminan mutu bahwa produk yang dihasilkan aman
(safe) untuk dikonsumsi, layak mutunya dalam arti higienis, dan tidak merugikan
secara ekonomi bagi konsumen (junianto, 2003)
1
HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu
sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses
yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidak amanan
pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). HACCP menekankan
pentingnya mutu keamanan pangan, untuk itu dalam penerapannya HACCP wajib
diterapkan pada perusahaan pengolahan perikanan terutama pada seluruh mata
rantai proses pengolahan produk tuna loin beku dengan mengidentifikasi CCP
mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan Kadarisman
2006).
CV. Cahaya Mandiri Gorontalo adalah perusahaan yang bergerak dalam
bidang pengolahan tuna loin beku yang menerapkan konsep HACCP pada setiap
proses pengolahan tuna loin, dengan tujuan untuk menjaga keamanan produk
yang dihasilkan. Hal ini dilakukan karena CV. Cahaya Mandiri merupakan cabang
pabrik pengolahan tuna loin dari PT. Era Mandiri yang bertempat di Jakarta, yang
sudah melakukan ekspor kebeberapa negara (Amerika, Kanada, Jepang, Malaysia,
Singapura) sehingga pengiriman produk oleh CV. Cahaya Mandiri ke PT. Era
Mandiri wajib menerapkan konsep HACCP disetiap proses pengolahan tuna loin.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa perlu untuk melihat
secara langsung bagaimana penerapan HACCP di CV. Cahaya Mandiri Gorontalo
pada setiap tahapan proses pengolahan tuna loin dan adakah tindakan pencegahan
yang dilakukan oleh CV. Cahaya Mandiri Gorontalo untuk mencegah CCP
apabila pada salah satu tahapan produksi teridentifikasi CCP.
1.2 Tujuan
Tujuan pelaksanaan praktek kerja lapangan (PKL) ini adalah
1. Mengetahui penerapan HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point )
pada produk tuna loin beku di CV. Cahaya Mandiri Gorontalo
2. Mengetahui tahapan proses yang teridentifikasi CCP.
1.3 Manfaat
1. Menambah wawasan sebagai mahasiswa teknologi hasil perikanan.
2. Memberikan informasi tentang penerapan HACCP pada proses
pembekuan ikan tuna yang baik dan tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Ikan Tuna
Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu.
mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah
dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip
punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil.
Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap
pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang
berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan,
1996).
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan
lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g
daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna
mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan
vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging.
Species Protein Lemak Karbohidrat Abu
Bluefin 28,30 g 1,40 g 0,10 g 1,50 g
Southern Bluefin 23,60 g 9,30 g 0,10 g 1,40 g
Yellow Fin 22,20 g 2,10 g 0,10 g 1,40 g
Skipjack 25,80 g 2,00 g 0,40 g 1,40 g
Marlin 25,40 g 3,00 g 0,10 g 1,40 g
Mackerel 19,80 g 16,50 g 0,10 g 1,10 g
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)
Pada CV. Cahaya Mandiri tuna yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan loin terdiri dari dua jenis yaitu tuna mata besar dan madidihang.
3
2.1.1 Karakteristik Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)
T. obesus termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang yakni
mencapai 33-35 cm. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan
yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip
punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip
dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning
terang, dan hitam pada ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm,
pada umumnya 180 cm. Ukuran layak tangkap pada ikan dimulai pada saat ikan
telah dewasa mencapai ukuran tertentu (Junianto, 2003). Menurut Magfiroh
(2000), bahwa ukuran di Laut Banda untuk ikan jantan 146,1 cm dan betina
133,5 cm, di Western Indian Ocean untuk jantan 86,85 cm dan betina 88,08 cm.
Gaspersz 1997 dalam Dahyar (2009), menyatakan bahwa T.obesus
mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut :
a. Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor.
b. Setelah dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna yang lain.
c. Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata.
d. Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4 - 1/3 kali fork length (FL).
e. Sirip dada lebih panjang dari T. albacores dan selalu melewati belakang
sebuah garis di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip
anal.
f. Mempunyai 7-10 garis yang berwarna putih dan tidak terputus-putus,
menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan tuna sirip kuning.
Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk T.obesus, secara
horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan Barat
Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan
tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan
Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik
(Gaspersz, 1997 dalam Dahyar 2009)
4
Menurut Ditjen Perikanan (1990), bahwa klasifikasi T. obesus adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scombroidae
Family : Scombridae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus obesus
Bentuk tubuh dari T. obesus secara utuh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tuna mata besarSumber : (Ditjen Perikanan, 1990).
2.1.2 Karakteristik Tuna Madidihang (Thunnus albacores)
T. albacores merupakan ikan pengembara samudera, yakni mengarungi
samudera dengan bergerombol dan perenang cepat karena bentuk tubuhnya yang
dinamis. T. albacores memiliki ciri-ciri yaitu bentuk badan yang memanjang,
bulat seperti cerutu, tapisan insang 26-34 pada busur insang pertama, memiliki
dua cuping/lidah di antara kedua sirip perutnya, jari-jari keras sirip punggung
pertama 13-14, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari
sirip tambahan. Kemudian sirip dubur berjari-jari lemah 14-15, lalu 7-10 jari-jari
sirip tambahan.
5
Untuk jenis-jenis dewasa, sirip punggung kedua dan dubur tumbuh sangat
panjang, sirip dada cukup panjang. Badan bersisik kecil-kecil, korselet (jalur sisik
khusus yang mengelilingi badan di daerah sekitar sirip dada) bersisik agak besar
tetapi tidak nyata. Termasuk ikan buas, predator, karnivor, dapat mencapai 195
cm, umumnya 50-150 cm, hidup bergerombol kecil (Ditjen Perikanan, 1990).
Warna tubuh T. albacores bagian atas berpadu antara hitam dan keabu-
abuan, kuning perak pada bagian bawah, sirip-sirip punggung, perut. Sirip
tambahan kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20
garis putus-putus warna putih pucat melintang (Ditjen Perikanan,1990).
Setiap jenis ikan tuna mempunyai kebiasaan/kesukaan pada suhu air laut
yang berbeda-beda, sehingga untuk menentukan daerah penangkapan tuna harus
disesuaikan dengan suhu air sesuai dengan jenis ikan tuna yang akan ditangkap,
sedangkan T. albacores menyukai suhu perairan yang hangat seperti laut tropis
(Gaspersz,1997 dalam Dahyar 2009)
Menurut Ditjen Perikanan (1990), T. albacores dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Percomorphi
Famili : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus albacores
Adapun bentuk tubuh dari T. albacores dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Thunnus albacores, Sumber : (Ditjen Perikanan, 1990).
6
2.2 Mutu Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Mutu merupakan totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dipersyaratkan. Mutu sering
diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan terhadap
persyaratan atau kebutuhan yang diberikan oleh pelanggan (Soen’an, 2004).
Menurut Nasution (2004), mutu adalah sesuatu yang memenuhi atau sama dengan
persyaratan (Conformance To Recuirements). Komoditas ikan yang sedikit saja
dari persyaratan, maka dapat dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh
perusahaan yang menjadi tujuan distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah
sesuai dengan keinginan pelanggan, dan kebutuhan sebuah perusahaan.
Ikan tuna dalam perdagangannya dikelompokkan menurut standar atau
mutu daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan
D. Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan cara menusukkan coring
tube yaitu suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube
dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri,
sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna.
Mutu dengan grade A (terbaik) diekspor ke Jepang, grade B dan C
biasanya diekspor ke Amerika dan Uni Eropa, sedangkan grade C dan D
dipasarkan lokal. Ciri-ciri untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut
(Fadly diacu dalam Cahya, 2010):
1. Grade A
Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:
a. Warna daging untuk tuna madidihang adalah merah seperti darah segar dan
untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar,
serta tidak ada pelangi.
b. Mata bersih, terang, dan menonjol.
c. Kulit normal, warna bersih, dan cerah.
d. Tekstur daging untuk madidihang tuna keras, kenyal, dan elastis dan untuk
Tuna Mata besar dagingnya lembut, kenyal dan elastis.
e. Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh.
7
2. Grade B
Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:
a) Warna daging merah, terdapat pelangi otot daging agak elastis, jaringan
daging tidak pecah.
b) Mata bersih, terang dan menonjol.
c) Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir.
d) Tidak ada kerusakan fisik.
3. Grade C
Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:
a) Warna daging kurang merah dan ada pelangi.
b) Kulit normal dan berlendir.
c) Otot daging kurang elastis.
d) Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau
dada.
4. Grade D
Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut:
a) Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar.
b) Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi.
c) Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah.
d) Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan, seperti daging ikan yang sudah
sobek, mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas.
2.3 Tuna Loin Beku
Tuna loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku
tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan penerimaan, penyiangan atau
tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi
mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan,
pelabelan dan penyimpanan (BSN 2006). Penanganan dan pengolahan ikan tuna
loin menurut SNI 01-4104.3-2006 adalah sebagai berikut:
8
1. Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk
mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat,
cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C.
2. Penyiangan atau tanpa penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan
cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat
dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya
dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C.
3. Pencucian
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk
maksimal 4,40 C. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan
darah yang menempel di tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri
pathogen (SNI, 2006).
4. Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian
secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan
saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,40 C. Pembuatan loin ini
bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan
dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006).
5. Pengulitan dan perapihan
Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga
bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta
tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,40 C (SNI, 2006).
6. Sortasi Mutu
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang,
duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati,
cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,40 C (SNI, 2006).
7. Pembungkusan (Wrapping)
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual
vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara
9
cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal
4,4°C (SNI, 2006).
8. Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku
(freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -
180C dalam waktu maksimal 4 jam (SNI, 2006).
9. Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -180C. Tujuan dari penimbangan
ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen (SNI, 2006).
10. Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter
sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi
dan penyimpanan serta sesuai dengan label(SNI, 2006).
11. Pengemasan
Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis,
pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya
kontaminasi dari luar terhadap produk.
12. Pelabelan dan pemberian kode
Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi
tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan
disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit
pengolahan secara lengkap; bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan
tersebut; tanggal, bulan dan tahun produksi; dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
13. Penyimpanan
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu
maksimal -250C dengan penyimpangan suhu maksimal ± 20C. Penataan produk dalam
gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat
merata dan memudahkan pembongkaran.
10
2.4 Histamin
Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino
histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase (Sumner et a,. 2004). Amina
biogenik adalah komponen biologi aktif yang secara normal diproduksi melalui
proses dekarboksilasi dari asam amino dan ada dalam berbagai makanan seperti
ikan, produk dari ikan, daging merah, keju, dan makanan fermentasi. Keberadaan
amina biogenik dalam makanan ini merupakan indikator makanan itu sudah busuk
(Keer et al, 2002).
Histidin yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan
terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi
kandungan histidin. Kandungan histidin dalam daging ikan tuna segar berkisar
dari 745 sampai 1460 mg%. Ikan-ikan berdaging putih kandungan histidin rendah
dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg% setelah dibiarkan
48 jam pada suhu 250 C (Keer et al, 2002).
Histamin terbentuk karena adanya kesalahan selama proses penanganan
dan pengolahan. Jika pada saat penangkapan tidak ditangani dengan tepat maka
histidin yang terkandung pada ikan jenis scombroid tersebut dapat diubah menjadi
senyawa toksik yang disebut dengan histamin (Dalgaard et al, 2008). Penanganan
adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna.
Histamin umumnya terbentuk pada temperatur tinggi (>200 C). Pendinginan dan
pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat
penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin.
Pembentukan histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan
aktivitas bakteri. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama
proses autolisis lebih rendah dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan oleh
aktivitas bakteri selama proses pembusukkan berlangsung. Pada kondisi optimum
jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak
dapat melebihi 10-15 mg/100 gram daging ikan. (Dalgaard et al, 2008).
11
Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin dan asam amino lain pada daging
ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin),
kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Eitenmiller dan
De Souza, 1984 dalam Lehane dan Olley, 2000). Toksisitas histamin bertambah
ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin
(Rossi et al, 2002).
Jika produksi enzim decarboxylase telah terjadi, maka akan terus menerus
dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu
dingin hingga 40 C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah
disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteria jenis Proteus
morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens,
Enterobacter aerogenes,, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella
planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang
menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 –
300C (Kanki et al., 2002). Bakteri Morganella psychrotolerant dan
Photobacterium phosphoreum dapat memproduksi histamin pada suhu dingin,
dimana sebanyak 31% ikan yang disimpan pada suhu -10 C sampai 50 C terdapat
histamin sampai kadar 500 ppm (Emborg dan Dalgaard, 2008).
2.5 HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point)
HACCP (Hazzard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu
sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses
yang rawan terhadap resiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidak amanan
pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001).
Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai
bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada
pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan, karena itu
sebagai suatu sistem jaminan mutu keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan
pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan mulai dari bahan baku
sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan Kadarisman 2006).
12
HACCP adalah suatu sistem dengan pendekatan sistematik untuk
mengakses bahaya-bahaya dan resiko-resiko yang berkaitan dengan pembuatan,
distribusi dan penggunaan produk pangan. Sistem HACCP ini dikembangkan atas
dasar identifikasi titik pengendalian kritis (Critical control point) dalam tahap
pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya. (Thaheer 2005).
2.5.1 Prinsip HACCP
Secara umum, program HACCP didasarkan pada tujuh prinsip yang
dikembangkan oleh NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological
Criteria for Foods). Ketujuh prinsip itu adalah (Muhandri dan Kadarisman 2006) :
1) Analisa bahaya (hazzard), identifikasi, dan tindakan pencegahan
Bahaya adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun
fisika, yang dapat menyebabkan makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau
merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu
proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan
ekonomi.
2) Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP)
Control Point (CP) adalah suatu titik, tahap atau prosedur yang memiliki
faktor-faktor biologis, kimiawi, maupun fisikawi dapat dikendalikan. Critical
Control Point (CCP) adalah suatu titik, tahap atau prosedur yang pengendaliannya
dapat ditetapkan, bahayanya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai
batas yang diterima. Selain itu CCP adalah titik kritis dimana bila gagal
melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan
resiko penolakan konsumen.
3) Penetapan batas-batas kritis (Critical limit)
Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan
pencegahan pada suatu CCP. Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas
kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi : persyaratan teknis/administrasi,
definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan.
4) Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring)
Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu
observasi atau pengukuran untuk mengetahui apakah CCP berada dalam control,
dan untuk menghasilkan catatan yang akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan
13
pemantauan adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk mengetahui
apakah suatu proses harus dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi
penyimpangan yang terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen tertulis
dari sistem pengendalian proses.
5) Penetapan tindakan koreksi (Corective action)
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu
penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan
penetapan tindakan koreksi adalah untuk mengoreksi dan menghilangkan
penyebab penyimpangan dan mengembalikan control proses, untuk
mengidentifikasi produk yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan
menentukan posisinya.
6) Penetapan sistem pencatatan (Record keeping)
Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalam sistem HACCP. Semua
yang dipantau harus dicatat, semua tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih
sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir yang distandarkan,
pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi yang
dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan
seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan pencatatan,
dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat
dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah dapat
dievaluasi.
7) Penetapan prosedur verifikasi
Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan
audit sebagai tambahan kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan
kesesuaian dengan “Rancangan HACCP” atau perlu dimodifikasi. Untuk
menjamin dan memastikan bahwa program Hazzard Analisis Critical Control
Point) (HACCP) berjalan di dalam jalur yang tepat dan dilakukan dengan baik,
secara internal maupun eksternal. Secara internal oleh pihak manajemen
perusahaan sendiri (plant manajer yang ditunjang oleh uji laboratorium sebagai
pendukung), secara eksternal oleh pihak pemerintah yang dilakukan secara wajib
dan rutin.
14
2.5.2 Penerapan HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point)
HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan
manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut
telah memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem
produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada
produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan
akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan
regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien
(Dian, 2012).
Menurut Abdurohman (2007), aplikasi HACCP terdiri dari 12 tahapan,
yaitu:
1. Menyusun tim HACCP
Tim ini haru dipilih oleh pihak manajemen (komitmen pihak manajemen
adalah syarat paling awal yang harus ada untuk mensukseskan studi).
Perencanaan, organisasi dan identifikasi sumber-sumber daya yang penting
adalah tiga kondisi yang penting untuk penerapan metode HACCP yang berhasil.
Kesuksesan studi ini tergantung pada pengetahuan dan kompetensi
anggota-anggota tim terhadap produk, proses dan potensi bahaya yang perlu
diperhatikan, pelatihan yang sudah mereka jalani tentang prinsip-prinsip metode
ini, dan kompetensi pelatih. Tergantung pada kasusnya, tim ini bisa terdiri dari 4-
10 orang yang menguasai produk proses dan potensi bahaya yang hendak
diperhatikan. Sebagai acuan, tim HACCP ini terdiri dari pemimpin produksi,
quality control, bagian teknis dan perawatan.
2. Mendeskripsikan produk
Deskripsi produk menjelaskan karakteristik umum (komposisi, volume,
struktur), bahan pengemas dan cara pengemasan, kondisi penyimpanan, informasi
tentang pelabelan, instruksi tentang pengawetan dan penggunaannnya, kondisi
distribusi, dan kondisi penggunaan oleh konsumen. Pada prakteknya, informasi ini
juga perlu dikumpulkan untuk bahan mentah, bahan baku, produk antara, dan
produk yang harus diproses ulang jika bahan-bahan tersebut memiliki
karakteristik tertentu.
15
3. Identifikasi Pengguna
Tujuan penggunaan harus didasarkan penggunaan yang diharapkan oleh
konsumen akhir. Pada kasus-kasus tertentu, populasi yang sensitif harus
dipertimbangkan, tujuannya adalah :
a. Untuk mendaftar umur simpan yang diharapkan, penggunaan produk secara
normal, petunjuk penggunaan, penyimpangan yang dapat diduga dan masih
masuk akal, kelompok konsumen yang akan menggunkaan produk tersebut,
dan kelompok konsumen pada sensitif terhadap produk tersebut.
b. Untuk menentukan konsistensi petunjuk penggunaan dengan kondisi
penggunaan yang sesungguhnya.
c. Untuk memastikan bahwa petunjuk pelabelan produk akhir sesuai dengan
peraturan yang dibuat.
d. Jika perlu untuk mengusulkan modifikasi petunjuk penggunaan, bahkan produk
atau proses yang baru untuk menjamin keamanan konsumen.
4. Penyusunan Bagan Alir Proses
Diagram alir adalah penyajian yang mewakili tahapan-tahapan operasi
yang saling berkesinambungan. Diagram alir proses akan mengidentifikasi
tahapan-tahapan proses yang penting (dari penerimaan hingga perjalanan akhir
produk yang sedang dipelajari). Diagram alir adalah suatu gambaran yang
sistimatis dari urutan tahapan atau pelaksanaan pekerjaan yang dipergunakan
dalam produksi atau dalam menghasilkan pangan tertentu. Bentuk diagram alir
tergantung perusahaan, dapat berbentuk kata dan garis (lebih mudah dimengerti)
atau menggunakan simbol.
5. Pemeriksaan Bagan Alir di Lapangan
Tujuan dari tahapan ini adalah memvalidasi asumsi-asumsi yang dibuat
berdasarkan tahapan-tahapan proses serta pergerakan produk dan pekerja di lokasi
pengolahan pangan. Seluruh anggota tim HACCP harus dilibatkan. Proses
verifikasi tahap ini harus diprioritaskan pada tinjauan tentang proses yang
dilakukan di pabrik pada waktu-waktu yang berbeda pada saat operasi, termasuk
pada shift yang berbeda.
16
Jika tahap ini tidak dilakukan dengan teliti maka analisa yang dilakukan
selanjutnya bisa keliru. Potensi bahaya yang sesungguhnya bisa tidak
teridentifikasi dan titik-titik yang bukan titik pengendalian kritis teridentifikasi
sebagai CCP. Dengan demikian perusahaan telah membuang-buang sumber daya
dan tingkat keamanan produk menjadi berkurang.
6. Analisis Bahaya Pada Setiap Tahap dan Cara Pencegahannya
Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi
mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan
mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani
dalam rencana HACCP. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menentukan potensi
bahaya yang mana yang sepenuhnya telah dapat dikendalikan dengan upaya
pengendalian yang telah dilakukan pada program yang telah disyaratkan
sebelumnya, bangunan, peralatan, sanitasi, pelatihan perseorangan, penyimpanan,
dan transportasi.
Masing-masing upaya pengendalian perlu dibuat dalam bentuk resmi ke
dalam prosedur yang didefinisikan dengan baik atau instruksi kerja yang dibuat
oleh tim HACCP dan keefektifannya perlu dikaji ulang dengan
mempertimbangkan seluruh informasi ilmiah yang telah dikumpulkan pada tahap
pendahuluan protokol.
7. Menentukan Titik Pengendalian Kritis
Critical Control Point (CCP) adalah suatu langkah pengendalian suatu
titik, tahapan dari suatu proses yang dapat dilakukan dan perlu diterapkan untuk
mencegah bahaya keamanan pangan atau menguranginya sampai pada tingkat
yang dapat diterima. Untuk mengidentifikasi CCP biasanya dapat menggunakan
rumus Decision Tree (Diagram 1).
17
P1
P 2
P 3
P 4
Gambar 3 :Diagram contoh pohon keputusan untuk identifikasi TKK (SNI, 2011)
18
Apakah ada tindakan pengendalian yang bersifat mencegah ?
Ya Tidak
Apakah pengendalian pada tahap ini diperlukan untuk pengamanan ?
Tidak Bukan TKK Berhenti (*)
Ya
Lakukan modifikasi tahapan, proses atau produk
Apakah tahapan dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkata yang dapat diterima ? (**)
Ya
Tidak
Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima ? (**)
TidakYa Bukan TKK Berhenti (*)
Akankah langkah berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima? (**)
Ya Tidak
Bukan TKK Berhenti (*)
TITIK KENDALI KRITIS (TKK)
Keterangan :* Lanjutkan kebahaya yang diidentifikasi berikutnya dalam uraian proses.** Tingkat yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima perlu diidentifikasi disemua tujuan dalam mengidentifikasi TKK dari rencana HACCP.
8. Penetapan Batas Kritis untuk Masing-masing CCP
Critical limit/batas kritis adalah suatu kriteria yang memisahkan antara
kondisi yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Tahapan ini harus
memungkinkan untuk dibuat pada masing-masing CCP dari satu atau beberapa
batas kritis, berikut pengawasannya yang menjamin pengendalian CCP. Suatu
batas kritis adalah kriteria yang harus diperoleh dengan cara pengendalian yang
berhubungan dengan CCP. Parameter untuk penyusunan batas kritis harus dipilih
sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk melakukan tindakan perbaikan
ketika batas kritis terlampaui. Kriteria yang sering digunakan untuk batas kritis
yaitu: suhu, bahan pengawet, kandungan air, pH, kadar chloor, kadar garam, berat
tuntas, isi dalam kemasan.
9. Penetapan Tindakan Pemantauan Pada Setiap CCP
Monitoring adalah tindakan melakukan serentetan pengamatan atau
pengukuran yang direncanakan dari parameter pengendali untuk menilai apakah
CCP dalam kendali. Metode yang dapat memberikan jawaban yang cepat akan
lebih baik untuk digunkan. Hal ini terutama berupa pengamatan fisik, pengukuran
fisik atau kimia. Metode mikrobiologi jarang digunakan sebab terlalu lama, terlalu
banyak sampel yang harus diambil agar hasilnya nyata secara statistik. Disisi lain,
metode analisa mikrobiologi berguna untuk menyusun analisis potensi bahaya dan
mengkaji ulang bahwa sistem tersebut bekerja dengan efisien.
10. Menetapkan Tindakan Koreksi Jika Terjadi Penyimpangan
Corrective action/tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus
diambil apabila hasil pemantauan pada titik kendali kritis menunjukkan
kehilangan kendali. Tindakan koreksi merupakan tindakan yang harus diambil
ketika hasil pemantauan pada CCP menunjukan kegagalan pengendalian. Semua
penyimpangan yang terjadi tidak dapat diantisipasi sehingga tindakan perbaikan
tidak boleh dilakukan sebelumnya, dengan demikian disarankan untuk menduga
kasus penyimpangan yang paling sering terjadi dan atau mendefinisikan
19
mekanismenya, pengaturannya, pihak yang berwenang, serta tanggung jawab
secara umum untuk diterapkan setelah terjadi penyimpangan apapun juga.
11. Penyusunan Prosedur Verifikasi
Kegiatan verifikasi terdiri dari dua kegiatan yaitu, validasi dan verifikasi.
Validasi adalah kegiatan memperoleh bukti bahwa unsur-unsur dari rencana
HACCP berjalan efektif. Sedangkan verifikasi adalah penerapan metode,
prosedur, pengujian dan cara penilaian lainnya disamping pemantauan untuk
menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP. Tujuan dari verifikasi adalah
untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja efektif. Tahapan ini meliputi
prosedur pengkajian, pengujian, dan audit untuk mengkaji ulang bahwa sistem
HACCP bekerja secara efektif, dan modifikasi yang harus dibuat di dlaam sistem
HACCP dan dokumen pendukungnya ketika proses atau produk dimodifikasi.
12. Penetapan Prosedur Pencatatan yang Efektif
Prosedur HACCP harus di dokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat
dan ukuran operasi. Sistem pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah
penting untuk aplikasi yang efisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif.
Sistem ini juga harus menjelaskan bagaimana orang-orang yang ada di dalam
pabrik dilatih untuk menerapkan rencana HACCP dan harus memasukan bahan-
bahan yang digunakan dalam pelatihan pekerja. Tahapan penetapan prosedur
pencatatan/dokumentasi dari rencana HACCP umumnya dilaksanakan sebelum
dilakukannya penetuan prosedur verifikasi, akan tetapi dapat pula dilakukan
setelah prosedur verifikasi selesai disusun. Jika dokumentasi rencana HACCP
disusun setelah prosedur verifikasi dilaksanakan, maka dokumen HACCP juga
mencakup prosedur verifikasi yang telah ada.
20
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat Dan Waktu Pelaksanaan
Praktek kerja lapangan dilaksanakan mulai pada 01 - 31 Maret 2013 di
CV. Cahaya Mandiri, Desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten
Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
3.2 Alat dan bahan
Alat
1. Timbangan 14. Injeksi Tuna Loin 28 jarum
2. Coring Tube 15. Timbangan digital3. Golok 16. spons4. Meja 17. Topi5. Keranjang. 20 kg dan 50 kg 18. Bots6. Sikat 19. Masker7. Pisau Potong 20. Mesin vacuum
8. Pisau Fillet 21. Alas tangan9. Pisau tulang 10. Wadah penampungan air11. Talenan 100 x 100 cm12. Talenan 50 cm x 100 cm13. Thermometer
Bahan
Lembar kuisioner
3.3 Metode yang digunakan
Metode pengumpulan data
1) Data primer
a) Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
karyawan.
b) Observasi partisipatif melalui pengamatan langsung di CV.
Cahaya Mandiri dan mengikuti semua proses produksi.
21
2) Data sekunder
Data penunjang diperolah dari studi literature, buku, laporan hasil
penelitian dan lain sebagainya.
Metode analisis data
Data yang terkumpul selama pelaksanaan dilapangan dianalisis
secara deskriptif. Dengan pencarian informasi yang bersumber dari
data primer yaitu mengumpulkan data langsung dari pengamatan,
wawancara dan turun langsung dalam proses pengolahan tuna loin.
3.4 Objek Pengamatan
Adapun objek yang diamati dalam praktek kerja lapang (PKL) ini adalah
Penerapan HACCP pada CV. Cahaya Mandiri mulai dari pembentukan TIM,
HACCP, deskripsi produk, identifikasi pengguna, penyusunan diagram alir proses
produksi, konfirmasi bagan alir dilapangan, analisis potensi bahaya, identifikasi
CCP, penetapan batas kritis, tindakan pemantauan untuk setiap CCP, tindakan
koreksi, prosedur verifikasi dan dokumentasi HACCP.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Perusahaan
Pada awalnya perusahaan Cahaya Mandiri dikenal dengan sebutan CV.
Era Mandiri. Perusahaan ini mulai berdiri pada tahun 1991 yang bertempat di
desa Botu Barani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango dan
bekerja sama dengan PT. Sinar Ponula Deheto (SPD). Selama 13 tahun yakni
dari tahun 1991-2004 perusahaan Era Mandiri terikat kontrak dengan PT. Sinar
Ponula Deheto.
Tahun 2004 perusahaan Era Mandiri mulai berdiri sendiri dengan lokasi
pabrik di Kelurahan Tenda (Pabean) selama 5 tahun, sehingga tepatnya pada
tanggal 21 Maret 2010 perusahaan Era Mandiri berubah menjadi CV. Cahaya
Mandiri hingga sekarang yang bertempat di Desa Botu Barani, Kecamatan
Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Perusahaan ini
bergerak dibidang pembekuan loin tuna, dengan hasil rata-rata per bulan yakni
13 ton dan tergantung pada ketersediaan/masuknya bahan baku. Daerah
pengumpulan bahan baku yang dijadikan produk loin tuna beku hanya seputaran
Bone Pesisir sehingga kegiatan produksi tidak berjalan aktif.
CV. Cahaya Mandiri lokasinya strategis dan di dukung oleh beberapa
faktor yakni lokasi bangunannya dekat dengan pinggiran pantai sehingga
memudahkan nelayan untuk memasukan ikan serta memiliki alat tangkap yang
merupakan hasil kerja sama pimpinan perusahaan dengan kepala Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Hasil produksi yakni produk loin
tuna beku di kirim ke PT. Era Mandiri Jakarta karena CV. Cahaya Mandiri
merupakan cabang pabrik pengolahan tuna loin dari PT. Era Mandiri. Produk
yang dikirim dilakukan uji Histamin dan Mikrobiologi dan selanjutnya di ekspor
kebeberapa Negara tetangga, bahkan ada juga yang di ekspor ke Amerika
dengan harga jual produk tuna loin beku yakni Rp. 95.000/kg.
4.1.2 Struktur Organisasi Perusahaan
CV. Cahaya Mandiri memiliki jumlah karyawan 12 orang dengan masing-
masing bagian yakni :
23
1. Pimpinan Perusahaan
Pimpinan perusahaan CV. Cahaya Mandiri memiliki tanggung jawab penuh
untuk mengawasi proses produksi berlangsung serta memiliki wewenang dalam
memutuskan dan menguji kualitas mutu bahan baku ikan tuna secara organoleptik
sebelum masuk ke ruang produksi.
2. Administrasi
Tanggung jawab seorang administrasi adalah mengatur dan mencatat semua
pembukuan yang menyangkut tentang keuangan perusahaan baik mengenai
pengeluaran, keuntungan, maupun gaji karyawan.
3. Kepala Produksi
Kepala produksi memiliki tanggung jawab dan wewenang pada proses
produksi tuna loin dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan
beku.
4. Kepala Mekanik
Tugas dari seorang kepala mekanik yakni mengawasi semua yang
berhubungan dengan mesin, baik mesin untuk penerangan, mesin chilling, ABF,
serta cold storage.
5. Kepala Sanitasi
Kepala sanitasi bertanggung jawab mengenai kebersihan dan kesehatan
karyawan sebelum dan sesudah proses produksi loin tuna. Adapun Struktur
Organisasi perusahaan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Organisasi Perusahaan (Sumber CV. Cahaya Mandiri).
24
ASEP KOSITAPimpinan
Siti RohanaAdministrasi
RohimKepala Produksi & QC
ElinKepala Mekanik
SantoKepala Sanitasi
Karyawan Produksi
1. Oyong 4. Santy 7. None2. Manto 5. Amhat 8. Ais3. Alhy 6. Anas
4.2 Penerapan HACCP Dalam Proses Pengolahan Tuna Beku
Penerapan prinsip-prinsip HACCP pada CV. Cahaya Mandiri terdiri dari
tugas-tugas sebagai berikut :
1. Pembentukan Tim HACCP
Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri terdiri dari 3 orang, yang masing-
masing adalah Manajer, Kepala Produksi, quality control dan Kepala Sanitasi.
Untuk kepala produksi dan QC jabatannya dipegang oleh satu orang karena
diantara karyawan belum ada yang memiliki sertifikat HACCP selain dari 3 orang
tim. Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Tim HACCP pada CV. Cahaya Mandiri
HACCP TEAM
Rohim Kepala Produksi dan QC
Elin Kepala Mekanik
SantoKepala Sanitasi
Sumber: CV. Cahaya Mandiri
Jumlah tim sebaiknya maksimum 5 orang dan minimum 3 orang yang
memiliki keahlian dibidangnya dengan dibuktikan adanya sertifikat pada masing-
masing tim HACCP. Sebagai acuan, tim HACCP ini terdiri dari pemimpin
produksi, quality control, bagian teknis dan perawatan (Abbdurohman, 2007).
2. Deskripsi Produk
Tahapan aplikasi HACCP ini bertujuan untuk mengetahui komposisi utama
produk, karakteristik produk, pengemasan, struktur kimia/fisik, informasi
keamanan, cara penyimpanan, perlakuan pengolahan, petunjuk penggunaan dan
metode pendistribusian. Deskripsi produk pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Deskripsi produk pada CV. Cahaya Mandiri
25
Nama Produk Frozen Tuna
Nama Spesies Thunnus Albacores, Thunnus Obesusu
Asal bahan bakuPenangkapan dengan menggunakan kapal Hand Line diperairan Indonesia
Penerimaan Bahan bakuDari Pemasok, dibawa menggunakan mobil pick up dengan suhu <4,40C
Produk Akhir Tuna Loin Beku
Tipe KemasanKemasan dalam : Menggunakan plastik PE dan di vacuum Kemasan Luar : Menggunakan Carton, Styrofoam
Penyimpanan Dalam ruangan beku dengan suhu diatur di-250C
Daya Awet Satu tahun dalam kondisi beku (suhu <-18 0C)
Label/SpesifikasiKode Perusahaan, Tanggal Produksi, Berat Bersih, Mutu.
Penggunaan Produk akhir Untuk dimasak sebelum dikonsumsi.
Sumber : CV. Cahaya Mandiri
3. Identifikasi Pengguna
Produk tuna loin beku pada CV. Cahaya Mandiri mempunyai segmen
pasar untuk masyarakat, biasanya konsumen mengkonsumsi produk tuna loin ini
sudah dalam bentuk olahan yang lebih lanjut, tapi untuk konsumen Asia (Jepang)
produk Tuna loin ini dikonsumsi dalam keadaan segar tanpa ada pengolahan yang
lebih lanjut biasanya dibuat Sashimi. Menurut SNI, 2011 Identifikasi pengguna
26
sebaiknya didasarkan pada kegunaan yang diharapkan dari produk oleh
konsumen.
4. Menyusun Bagan Alir
Untuk memudahkan proses pengolahan maka CV. Cahaya Mandiri membuat
diagram alir yang disusun oleh tim HACCP. Diagram alir tersebut mencakup
semua tahapan proses pengolahan tuna loin beku mulai dari penerimaan bahan
baku sampai pada proses pendistribusian. Diagram alir proses disusun dengan
tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses
ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan
kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya
yang ingin mengerti proses dan verifikasinya.
Menurut SNI (2011), Bagan alir sebaiknya mencakup semua tahapan
dalam proses untuk produk tertentu. Bagan alir yang sama dapat digunakan untuk
sejumlah produk yang dihasilkan menggunakan tahapan proses yang serupa.
Ketika menerapkan HACCP untuk suatu operasi tertentu, pertimbangan sebaiknya
diberikan pada tahapan sebelumnya dan yang mengikuti operasi tersebut. Adapun
bagan alir pada CV. Cahaya Mandiri adalah sebagai berikut (Diagram 2)
27
28
1.Penerimaan dan Pemilihan
3.Pendinginan Sementara 2.Penimbangan 1
4.Pencucian 5.Buang Kepala dan Loin
6.Buang Kulit & Pengikisan
7.penimbangan 2 8.Perlakuan Clear Smoke
9.Pendinginan 2
10.Perlakuan Ozon
11.Retouching12.Pengemasan & Penimbangan
13.Vacuum
14.Pembekuan 15.Pengepakan
16.Penyimpanan Beku
17.Pengisian Container
CCP 2
CCP 1
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pengolahan (Sumber CV. Cahaya Mandiri)
5. Konfirmasi Bagan Alir Dilapangan
Untuk memastikan kebenaran dari diagram alir yang telah dibuat, tim
HACCP pada CV. Cahaya Mandiri selalu melakukan pengecekan secara langsung
dari penerimaan dan pemilihan bahan baku sampai pada penyimpanan beku,
apakah setiap karyawan sudah melakukan penerapan GMP dan SSOP pada setiap
proses pengolahan tuna loin. Untuk Pengecekan diagram alir pada CV. Cahaya
Mandiri dilakukan oleh kepala produksi dan kepala sanitasi. Pengecekan
dilakukan pada saat pasokan bahan baku melimpah dan jika bahan baku yang
masuk sedikit biasanya pengecekan hanya dilakukan oleh kepala produksi.
Menurut Mortimore dan Carrol (2005), keakuratan diagram alir harus diperiksa
dengan mengamati jalannya proses dan membandingkan setiap langkah proses
dengan diagram.
6. Analisis Potensi Hazzard
Dari hasil analisis Bahaya potensial yang dilakukan oleh Tim HACCP CV.
Cahaya Mandiri mengelompokkan 3 jenis bahaya yang dapat terjadi pada produk
tuna loin beku yaitu bahaya fisik, Biologis dan Kimia. Untuk bahaya fisik yang
terindentifikasi pada penerimaan bahan baku, dimana terdapat kecacatan fisik
seperti adanya luka tusukan pada daging ikan dan tekstur daging ikan yang kurang
baik. Bahaya biologis yang dapat teridentifikasi pada CV. Cahaya Mandiri yaitu
E.Coli, Salmonela, V.Cholera, dan V.Parahemalyticus. Tindakan pencegahan
yang dilakukan yaitu dengan membunuh bakteri dengan menggunakan
desinfektan pada tahapan proses produksi. Bahaya kimia yang teridentifikasi yaitu
pembentukan Histamin pada saat proses produksi berlangsung. Pencegahan yang
dilakukan oleh CV. Cahaya Mandiri untuk menghindari terjadinya pembentukan
Histamin yaitu dengan menerapkan GMP dan SSOP pada setiap tahapan produksi.
Untuk lebih jelasnya Analisis bahaya pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada
Lampiran 1
Penentuan bahaya dilakukan pada setiap tahapan proses produksi,
sehingga bahaya yang teridentifikasi dapat dengan segera ditangani. Tindakan
pencegahan merupakan tindakan penghambatan bahaya ke dalam produk dan
mengacu pada prosedur operasi dimana pada setiap tahap pekerja dipekerjakan
(Sarwono, 2007)
29
7. Identifikasi Critical Control Point (CCP)
Penentuan CCP pada proses pengolahan tuna loin beku di CV. Cahaya
Mandiri dilakukan dengan menerapkan pohon keputusan, yang berisi urutan
pertanyaan dalam menentukan apakah termasuk suatu titik kendali kritis (lihat
Gambar 3). Mungkin ada lebih dari satu CCP dimana pengendalian diterapkan
untuk mengatasi bahaya yang sama. Penentuan suatu CCP dalam sistem HACCP
dapat dipermudah dengan penerapan pohon keputusan, yang menunjukan suatu
pendekatan yang pemikiran yang logis (SNI, 2011).
Penentuan CCP pada CV. Cahaya Mandiri dalam setiap proses pengolahan
adalah sebagai berikut :
A. Penerimaan Bahan Baku
CV. Cahaya Mandiri mendapat pasokan bahan baku berasal dari nelayan
lokal dan armada kapal tuna yang merupakan hasil kerja sama pimpinan
perusahaan dengan kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Ikan
tuna dari pemasok dimasukkan ke ruang penerimaan dengan cepat dan hati-hati,
kemudian diletakkan di tempat penyortiran. Tujuan pemilahan / penyortiran
adalah memilih ikan yang bermutu baik untuk diolah menjadi loin. Untuk
mendapatkan hasil ikan yang bermutu baik, maka dicek dengan menggunakan alat
pengecek yakni stecker yang dilakukan oleh karyawan berpengalaman (Cheker)
dan diawasi langsung oleh kepala produksi. Ikan tuna selain dicek kualitasnya
juga di sortir berdasarkan ukuran dan berat total. Ada tiga bahaya potensial yang
akan terjadi yaitu pertumbuhan bakteri, Kerusakan fisik, dan histamin.
Bahaya potensial yang pertama pada tahapan ini adalah pertumbuhan
bakteri yang disebabkan kondisi sanitasi yang kurang baik diruang penerimaan.
Bahaya ini bukan merupakan Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu :
P1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 3 dengan prosedur sebagai berikut:
Ruangan penerimaan (lantai dan dinding) selalu dibersihkan dengan
sabun, kemudian disanitasi menggunakan chlorine sebesar 100 sampai 150
ppm sebelum dan setelah proses produksi.
30
Ruangan prosesing (lantai dan dinding) selalu dibersihkan menggunakan
sabun, kemudian di sanitasi menggunakan chlorine sebesar 100 sampai
150 ppm sebelum dan setelah proses produksi.
Menurut SNI (2006), Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji
secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian
ditangani secara hati- hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk
maksimal 4,40 C.
Bahaya potensial kedua pada tahapan ini yaitu kerusakan fisik yang
disebabkan oleh penanganan yang kasar oleh nelayan pada saat menagkap ikan
tuna. Bahaya ini ditandai degan adanya kecacatan fisik seperti adanya luka
tusukan pada daging ikan, tekstur daging ikan yang kurang baik serta ada
kecurigaan lain seperti bau tidak sedap (anyir). Bahaya ini bukan merupakan
Critical Control Point (CCP), Sesuai dengan jawaban pohon keputusan yang telah
diterapkan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
karena bahaya kerusakan fisik ini dapat dikendalikan dengan melakukan
pengamatan secara langsung terhadap ikan dengan melihat apakah terdapat luka
dan bau tidak sedap, sehingga tidak ada tindakan pencegahan terhadap bahaya
kerusakan fisik ini, dan apabila teridentifikasi adanya kerusakan fisik pada loin
maka loin akan dikembalikan.
Bahaya potensial ketiga pada tahapan ini yaitu kandungan Histamin yang
disebabkan oleh peningkatan suhu. Selama penulis magang di CV. Cahaya
Mandiri, penulis tak pernah melihat adanya kegiatan pengujian histamin yang
dilakukan setiap kedatangan bahan baku.
Menuurut pedoman atau panduan yang ada di CV. Cahaya Mandiri Upaya
untuk mencegah bahaya kandungan histamin yaitu dengan melakukan pengujian
histamin setiap kedatangan bahan baku di laboratorium eksternal dan akan ditolak
jika kandungan Histamin > 50 ppm/ lot.
Bahaya ini merupakan Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu :
31
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Ya
P 2 : Apakah bahaya ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya
sampai tingkat yang diterima ? Tidak
P 3 : Apakah kontaminasi dari bahaya yang telah diidentifikasi melewati tingkat
yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang
diperbolehkan ? Ya
P 4 : Apakah Proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya atau mampu
mengurangi bahaya sampai batas yang diterima ? Tidak
Tindakan pencegahan yang dilakukan pada CV. Cahaya
Mandiri untuk mengidentifikasi adanya pembentukan histamin
pada tuna loin pada saat penerimaan bahan baku yang ditemui
dilapangan yaitu:
Dilakukan pengukuran suhu pada setiap ikan yang masuk,
apa bila suhu ikan diatas 80C maka ikan tuna tersebut
dikembalikan karena diduga adanya kandungan histamin.
Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker,
apabila daging ikan terlihat pucat dan teksturnya kurang padat maka ikan
tuna dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan
histamin.
Di uji secara Organoleptik, apabila terdapat luka tusukan pada
daging ikan dan kecurigaan lain seperti bau tidak sedap (anyir) maka ikan
tuna dikembalikan karena diduga sudah terbentuknya kandungan
histamin.
Penanganan adalah faktor kunci untuk menghambat
terbentuknya histamin pada tuna. Histamin umumnya dibentuk
pada temperatur tinggi (>20 °C). Pendinginan dan pembekuan yang
cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat
penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin (Dalgaard et
al., 2008).
Produksi enzim decarboxylase telah terjadi, maka akan terus menerus
dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu
32
dingin hingga 40C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah
disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteria jenis Proteus
morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens,
Enterobacter aerogenes,, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella
planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang
menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 –
300C (Kanki et al., 2002).
Gambar 6. Penerimaan bahan baku dan Sortasi Mutu
B. Penimbangan 1
Setelah ikan diterima diruangan penerimaan bahan baku, maka selanjutnya
ikan ditimbang untuk mengetahui berat ikan tersebut. Pada proses ini bahaya
potensial yang timbul adalah pertumbuhan bakteri (E. coli, Salmonela, dan V.
cholera). Penyebab bahaya tersebut diakibatkan oleh kondisi sanitasi timbangan
dan karyawan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini tidak termasuk dalam
Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan SSOP 4 dan SSOP 5. SSOP 4 yaitu kebersihan /
kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:
Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.
Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus
selalu dalam keadaan bersih.
Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap
hari.
Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
33
Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan
proses
Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
SSOP 5 Sanitasi Timbangan dengan prosedur:
Semua timbangan setelah proses produksi dibersihkan dengan sabun cair,
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.
Khusus untuk timbangan digital hanya papan cetakan yang disanitasi.
Timbangan yang digunakan telah dicek dan dikalibrasi sebelumnya.
Cara penimbangan I dapat dilihat pada Gambar 7
Gambar 7. Penimbangan ikan tuna
C. Pencucian (Washing)
Setelah ikan tuna ditimbang kemudian diberi kode menurut jenis, berat,
dan tingkat kesegaran (grade A, B, C, dan lokal). Ikan tuna yang sudah diberi
kode, disikat dan dibersihkan dengan menggunakan air yang bercampur
desinfektan (Mikrolene) dengan konsentrasi 25 ppm. Tujuan penggunaan
desinfektan yakni untuk membersihkan bakteri yang ada dipermukaan tubuh ikan.
Pencucian ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 8.
34
Gambar 8. Pencucian ikan tuna dengan desinfektan (Mikrolene)
Bahaya potensial yang mungkin terjadi pada proses ini adalah kondisi
sanitasi air yang kurang baik sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri.
Bahaya ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan GMP 3 dan SSOP 1 yaitu pencucian dengan
prosedur sebagai berikut :
Setiap ikan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan air mengalir,
pencucian harus menggunakan air dingin untuk mempertahankan suhu
pusat ikan tetap < 4.4 0C.
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisa darah dan kotoran yang
masih menempel pada kulit ikan.
SSOP 1 yaitu pengadaan air dan es dengan prosedur sebagai berikut :
Air diperoleh dari perusahaan air minum daerah (PDAM), kemudian
dikumpulkan dalam bak penampungan yang tersedia diperusahaan. Jalur
antara pipa air bersih dengan air kotor dipisahkan.
Air yang digunakan untuk penanganan produk telah melalui system filtrasi
dan ultraviolet kemudian diberi larutan chlorine sebanyak 20 sampai 50
ppm.
Pemeriksaan sensorik seperti rasa, warna dan bau dilakukan setiap hari
sebelum air tersebut digunakan.
35
D. Pendinginan Sementara (Temporary Chilling)
Ikan tuna yang sudah dibersihkan, dimasukkan ke dalam bak pendingin
yang sudah diberi es dengan suhu diatur antara 0°C sampai 4,4°C selama 15
sampai dengan 20 menit. Tujuan dari pendinginan sementara ini adalah untuk
menormalisasikan suhu tubuh ikan, karena suhu tubuh ikan di atas kapal
penangkap tidak memenuhi standar karena adanya keterbatasan es yang
digunakan sebagai media pendingin. Biasanya suhu tubuh ikan tuna pada saat
dilakukan pembongkaran dari atas kapal penangkap hanya berkisar 5° C sampai
6° C. Pendinginan sementara dapat dilihat pada Gambar 9
Gambar 9. Pendinginan sementara
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah peningkatan suhu yang dapat
menyebabkan proses terbentuknya histamin pada ikan tuna. Bahaya pada proses
ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan GMP 4 yaitu pendinginan sementara dengan
prosedur:
Sebelum ikan diproses, ikan yang telah dibersihkan terlebih dahulu
dimasukkan kedalam bak pendingin yang berisi es. Suhu diset < 4.4 0C
Pendinginan bertujuan untuk mempertahankan suhu ikan tuna tetap < 4.4 0C
E. Pemotongan Kepala dan Loin (De-heading and loining)
36
Ikan tuna yang telah dicelupkan kedalam bak yang berisi es selama 15 atau
20 menit, kemudian di angkat dan di potong bagian kepala, sirip, dan pangkal
ekor secara manual menggunakan pisau potong yang bersih dan hati-hati. Cara
pemotongan kepala yakni sayatan pisau dimulai dari sirip dada sampai sirip perut,
setelah penyayatan kemudian ikan tuna di balik, dilanjutkan lagi dengan
penyayatan seperti diatas sampai kepala ikan tuna terlepas. Proses pemotongan
kepala ikan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pemotongan kepala ikan tuna
Pemotongan kepala ikan dilakukan secara cepat dan meja yang digunakan
untuk pemotongan slalu dibersihkan setiap satu kali pemotongan ikan dengan
menggunakan air mengalir yang telah dicampur Multquant (desinfektan). Tujuan
penggunaan Multquant adalah sebagai desinfektan (membunuh bakteri) dan untuk
mencuci peralatan yang kontak langsung dengan produk. Multquant yang
digunakan pada CV. Cahaya Mandiri dapat dilihat pada Gambar 11.
37
Gambar 11. Mult Quant
Setelah pemotongan kepala selesai selanjutnya ikan tuna dibawa pada
ruangan pengolahan untuk pembentukan loin. Pembentukan loin dimulai dengan
membelah daging ikan menjadi 4 bagian sepanjang bagian gurat sisi (linear
lateralis), lalu dilakukan pemotongan dari bagian perut yang disayat dengan
menggunakan pisau stainless sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung
sampai pangkal ekor seperti tampak pada Gambar 12.
Gambar 12. Pembuatan loin
Jika ditemukan loin yang jelek maka loin tersebut langsung dipisahkan.
Pemotongan dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli dan
mempermudah pada saat pengolahan. Papan dan pisau pemotongan yang
digunakan untuk pembentukan loin dibersihkan dengan air mengalir yang
dicampur dengan Multquant untuk mengurangi resiko kontaminasi pada produk
loin. Kepala dan tulang ikan yang telah terpisah dari daging tidak langsung
dibuang, tetapi ditampung dalam bak plastik yang besar untuk dijual kembali pada
pembeli.
38
Bahaya potensial pada proses ini adalah peningkatan suhu yang dapat
menyebabkan proses terbentuknya histamin dan kondisi sanitasi peralatan yang
kurang baik. Bahaya yang pada proses ini tidak termasuk dalam Critical Control
Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan GMP 5 dan SSOP 2. GMP 5 yaitu
pemotongan kepala dan loin dengan prosedur:
Ikan tuna dipotong pada bagian kepala dan sirip secara manual dengan
menggunakan pisau stainless yang bersih dan hati-hati, kemudian ikan
dibelah menjadi empat bagian, masing-masing dua bagian perut dan dua
bagian punggung. Jika ditemukan loin jelek maka loin tersebut langsung
dipisahkan.
Pemotongan dilakukan untuk memenuhi permintaan dari pembeli dan
mempermudah pengolahan.
Ikan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan air mengalir, pencucian
harus menggunakan air dingin untuk mempertahankan suhu pusat ikan
tetap < 4.4 0C.
SSOP 2 yaitu peralatan yang kontak langsung pada produk dengan prosedur
sebagai berikut :
Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair,
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.
Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.
Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm
dan sebelum istirahat siang
Menurut SNI (2006), Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah
ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan
secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk
4,40 C.
F. Pembuangan Kulit (Skinning) dan Pengikisan (Trimming)
39
Satu persatu loin tuna dibuang kulitnya menggunakan pisau trimming
yang bersih dan hati-hati. Kulit ikan sesegera mungkin dipindahkan dari meja,
kemudian dibawa ke tempat pembuangan untuk menghindari terjadinya
kontaminasi. Setelah tuna loin dikeluarkan dari kulit kemudian dilakukan
perapihan (Trimming). Trimming adalah proses perapihan, karena setelah di fillet
kemungkinan daging masih terlihat berantakan sehingga perlu dilakukan
perapihan yakni dengan menghilangkan sisa-sisa kulit, tulang, dan daging merah
yang masih menempel pada daging tuna loin sebelum ditimbang. Proses trimming
dilakukan oleh karyawan proses dan diawasi kepala produksi, lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Pembuangan kulit ikan tuna.
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah pertumbuhan bakteri yang
disebabkan oleh kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya pada proses
ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan
yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan SSOP 2 yaitu peralatan yang
kontak langsung pada produk dengan prosedur:
Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair,
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.
Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.
40
Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm
dan sebelum istirahat siang
G. Penimbangan 2 (Weighing 2)
Semua loin yang sudah dirapihkan kemudian ditimbang satu per satu
secara cepat dan hati-hati menggunakan timbangan elektronik. Penimbangan
bertujuan untuk mengetahui berapa banyak loin yang telah diproses kemudian
di catat oleh petugas pencatat dan di awasi oleh kepala produksi, untuk
penimbangan 2 dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Penimbangan 2
Potensi bahaya pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang disebabkan
oleh kondisi sanitasi timbangan dan karyawan kurang baik. Bahaya pada proses
ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan
yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 dan SSOP 5. SSOP 4 yaitu kebersihan
/ kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:
Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.
Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus
selalu dalam keadaan bersih.
Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap
hari.
Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan
proses
41
Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
SSOP 5 Sanitasi Timbangan dengan prosedur:
Semua timbangan setelah proses produksi dibersihkan dengan sabun cair,
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.
Khusus untuk timbangan digital hanya papan cetakan yang disanitasi.
Timbangan yang digunakan telah dicek dan dikalibrasi sebelumnya.
H. Penyuntikan CO (clear smoke)
Tuna loin yang sudah ditimbang kemudian dibawa ke ruang clear smoke
untuk dilakukan penuntikan CO. Penambahan CO dilakukan dengan penyuntikan
kedalam beberapa bagian daging tuna loin secara merata menggunakan jarum
suntik. Tuna loin kemudian dikemas sementara menggunakan plastik PE
(Polyetilen) dan pada saat itu juga CO ditiupkan ke dalam plastik menggunakan
sprayer agar permukaan daging terlihat merah secara merata. Semua peralatan
yang digunakan dalam ruangan clear smoke bersih. Penyuntikan CO bertujuan
untuk meningkatkan warna dan tekstur dari daging tuna loin. Penyuntikan CO
dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Penyuntikan CO
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang
disebabkan kondisi sanitasi peralatan yang kurang baik. Bahaya pada proses ini
tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan menerapkan SSOP 2 yaitu peralatan yang
kontak langsung pada produk dengan prosedur:
42
Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair,
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.
Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.
Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm
dan sebelum istirahat siang
I. Pendinginan 2 (Chilling 2)
Produk loin yang telah disuntik dengan gas CO selanjutnya dimasukkan
kedalam ruang pendinginan selama 24 jam agar warna daging tetap kelihatan
merah karena telah disuntik dengan gas CO. Bahaya potensial pada proses ini
adalah Histamin. Bahaya ini disebabkan oleh penyimpangan suhu yang terjadi
dalam ruang pendingin. Upaya untuk mencegah bahaya tersebut adalah jika
terdeteksi oleh QC suhu tinggi > 3,30C maka perekam data di cek untuk
mengevaluasi durasi waktu pada suhu tertinggi. Fluktuasi suhu lebih dari 3,30C
selama kurang dari 2,5 jam, maka produk dipindahkan kedalam styrofoam yang
telah diberi es dengan suhu diset 00C.
Berdasarkan pohon keputusan bahaya ini termasuk dalam Critical
Control Point (CCP).
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Ya
P 2 : Apakah bahaya ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya
sampai tingkat yang diterima ? Tidak
P 3 : Apakah kontaminasi dari bahaya yang telah diidentifikasi melewati tingkat
yang diperkenankan atau dapat meningkat sehingga melebihi batas yang
diperbolehkan ? Ya
P 4 : Apakah Proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya atau mampu
mengurangi bahaya sampai batas yang diterima ? Tidak
J. Penanganan Setelah Clear Smoke (Retouching)
Retouching adalah proses penanganan kembali (pengikisan) yang
dilakukan secara cepat dan hati-hati terhadap loin yang baru dikeluarkan dari
ruang pendingin (chilling room). Pengikisan dilakukan menggunakan pisau
43
stainless yang bersih dengan tujuan untuk menghilangkan daging hitam, kulit dan
benda asing yang masih melekat pada daging tuna loin. Setelah tuna loin
dilakukan pengikisan kemudian permukaan daging tuna loin dibersihkan dengan
menggunakan spons agar lendir akibat perlakuan chilling yang menempel pada
permukaan daging tuna loin menjadi bersih. Tuna loin yang sudah bersih
kemudian di timbang dengan standar berat kecil dari 5 kg, apabila berat tuna loin
lebih dari 5 kg maka di potong agar beratnya tidak lebih dari 5 kg yang di
sesuaikan dengan permintaan pembeli. Retouching atau penanganan loin tuna
setelah di chilling yakni dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Penanganan setelah clear smoke
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang
disebabkan oleh kondisi sanitasi peralatan dan karyawan yang kurang baik.
Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 2 dan SSOP 4. SSOP 2 yaitu peralatan
yang kontak langsung pada produk dengan prosedur:
Setelah produksi selesai semua peralatan dibersihkan dengan sabun cair,
dibilas menggunakan air bersih dan disanitasi dengan air chlorine 50 ppm.
Sebelum operasi harian dimulai, semua peralatan dibersihkan
menggunakan air bersih dan air chlorine 50 ppm.
Setiap 1 jam semua peralatan dicuci menggunakan air chlorine 50 ppm
dan sebelum istirahat siang
SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan karyawan dengan prosedur sebagai berikut:
44
Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.
Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus
selalu dalam keadaan bersih.
Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap
hari.
Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan
proses
Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
K. Pengemasan dan Penimbangan (Wrapping and Weighing)
Setiap loin yang sudah dilakukan pengelapan kemudian ditimbang satu
persatu dan dimasukkan ke dalam plastik PE yang bersih. Pengemasan dan
penimbangan bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada saat
penyimpanan serta mengetahui jumlah produk yang akan di ekspor.
Plastik PE untuk mengemas daging tuna loin disertai dengan kode
produksi yang meliputi tanggal pemotongan, berat, dan tingkat mutu kesegaran.
Penimbangan dan pengemasan dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Penimbangan dan Pengemasan
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri (E. coli,
Salmonela) yang disebabkan oleh kondisi sanitasi karyawan yang kurang baik.
Bahaya tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu:
45
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 yaitu kebersihan / kesehatan
karyawan dengan prosedur sebagai berikut:
Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.
Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus
selalu dalam keadaan bersih.
Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap
hari.
Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan
proses
Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
L. Vacum (Vacuum)
Produk yang telah dimasukkan kedalam plastik kemudian dikeluarkan
udara dengan menggunakan mesin vacum. Pada saat proses vacum berlangsung
dihindari adanya penumpukan produk pada mesin vacum karena akan
mengakibatkan peningkatan suhu sehingga proses vacum dilakukan dengan cepat
dan tepat. Tujuan dari pemvakuman yaitu untuk mencegah kontaminasi pada saat
penyimpanan. Cara pemvakuman seperti pada Gambar 18.
Gambar 18. Pemvakuman loin tuna
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang
disebabkan oleh kondisi sanitasi plastik dan karyawan kurang baik. Bahaya
46
tersebut tidak termasuk Critical Control point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan SSOP 4 kebersihan / kesehatan karyawan
dengan prosedur:
Semua karyawan dalam kondisi sehat saat menangani produk.
Seragam kerja (topi, masker, apron, sarung tangan, dan sepatu boot) harus
selalu dalam keadaan bersih.
Pencucian seragam karyawan (topi, masker dan baju) dilakukan setiap
hari.
Dilarang meludah, merokok, makan dan minum diruangan pengolahan.
Dilarang menggunakan perhiasan (anting, cincin, kalung dsb) diruangan
proses
Karyawan tidak diperkenankan untuk menggunakan seragam kerja keluar
pabrik, selama istirahat serta ketika pergi ke toilet.
M. Pembekuan (Freezing)
Produk yang telah divacum selanjutnya di lakukan proses pembekuan.
Pembekuan ini menggunakan metode pembekuan dengan udara dingin yang
beroperasi pada suhu -350 C selama 8 jam dalam ruangan ABF. Tujuan
pembekuan ini adalah untuk menjaga produk agar segar
Bahaya potensial pada proses ini adalah pertumbuhan bakteri yang
disebabkan oleh terjadinya penyimpangan suhu pembekuan, sehingga untuk
mencegah hal tersebut terjadi maka suhu pembekuan dicek melalui display setiap
1 jam oleh mekanik atau quality control (QC). Bahaya tersebut tidak termasuk
dalam Critical Control Point (CCP).
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Menurut SNI (2006), loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan
dengan alat pembeku seperti ABF hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal
–18 °C dalam waktu maksimal 4 jam.
47
N. Pengemasan (Packing)
Setelah semua loin beku, kemudian dimasukkan dalam box atau karung
yang bersih dan ditandai dengan kode perusahaan, tanggal potong, grade, berat
dan nomor karung atau box. Pengepakan bertujuan untuk melindungi produk
selama penyimpanan dan dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pembersihan
karung atau box terlebih dahulu dilakukan sebelum proses pengepakan, hal
tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya pertumbuhan bakteri yang
disebabkan oleh kontaminasi produk dengan bahan pengemas.
Bahaya potensial pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri yang
disebabkan kondisi sanitasi bahan pengemas yang kurang baik. Bahaya pada
proses ini tidak termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon
keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan membersihkan karung atau box. Pembersihan
dilakukan sebelum proses produksi dimulai dengan menggunakan sabun dan
dicuci kembali dengan air bersih dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
penumpukan desinfektan pada produk.
O. Penyimpanan Beku (Cold Storage)
Setelah produk dipacking, proses selanjutnya adalah penyimpanan didalam
gudang cold storage atau penyimpanan dingin dengan suhu operasional berkisar
antara -18 0C sampai dengan -30 0C.
Dalam ruang penyimpanan dingin ini udara harus berhembus merata
kesemua ruangan. Sistem penyimpanan produk diatur dan ditata sedemikian rupa
48
berdasarkan jenis produk dan size sehingga pada saat dilakukan distribusi produk
tersebut mudah dilakukan proses bongkar muat. Proses penyimpanan/penyusunan
hendaklah dilakukan dengan baik dan penuh kehati-hatian sehingga tidak akan
menimbulkan kerusakan pada box atau karung.
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah penyimpangan suhu yang dapat
menyebabkan terbentuknya histamin pada produk. Bahaya pada proses ini tidak
termasuk Critical Control Point (CCP) berdasarkan pohon keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan GMP penyimpanan beku dengan prosedur:
Setelah semua loin beku, loin dimasukkan dalam cold storage dengan suhu
penyimpanan di set – 25 oC ± 0 oC , penyimpanan loin di cold storage
harus dilakukan dengan rapi, antara produk yang satu dan lain dengan
jaraknya diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara di cold storage
berjalan dengan baik.
Cold storage di set untuk bisa mempertahankan suhu pusat ikan
< - 18 oC ± 0 oC.
P. Pengisian Dalam Kontainer (Loading)
Produk-produk yang berada dalam ruangan penyimpanan dingin kemudian
dikeluarkan untuk dimasukkan dan disusun kedalam kontainer yang sebelumnya
telah disetting suhunya hingga -25 0C untuk menjaga suhu produk. Bahaya
potensial pada proses ini adalah pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh
peningkatan suhu. Bahaya ini tidak termasuk dalam Critical Control Point (CCP)
berdasarkan pohon keputusan yaitu:
P 1 : Apakah ada tindakan pencegahan pada tahap ini atau berikutnya terhadap
bahaya yang telah diidentifikasi ? Tidak
Karena dapat dikendalikan dengan GMP pengisian ke kontainer dengan prosedur:
Seluruh box atau karung disusun didalam truk thermoking dengan rapi
serta memperhatikan sirkulasi udara didalamnya. Pengisian kedalam truk
thermoking dilakukan secepat mungkin untuk menghindari terjadinya
peningkatan suhu yang dapat menyebabkan produk jadi rusak. Suhu
thermoking di set – 20 oC.
49
Untuk memastikan bahwa sirkulasi udara didalam thermoking berjalan
dengan baik dan mempertahankan suhu pusat ikan < - 18 oC ± 0 oC selama
menuju tempat tujuan maka dilakukan pengecekan suhu didalam
thermoking.
CV. Cahaya Mandiri melayani permintaan dari pedagang yang ingin tuna
milik mereka dibuat loin. Prosesnya dimulai dari penerimaan, penimbangan I,
pencucian, pemotongan kepala, loin, pembuangan kulit, pengikisan, penimbangan
II, dan penyuntikan CO. Setelah itu loin dikemas menggunakan plastik PE
kemudian dicelupkan kedalam air untuk membuang udara yang ada didalam
kemasan sehingga plastik menempel pada permukaan tuna loin. Setelah itu ujung
plastik diikat untuk menghindari udara masuk kedalam loin. Kemudian loin
diserahkan kepada pedang untuk dikemas kedalam styrofoam yang berisi es untuk
dipasarkan sekitaran daerah Gorontalo.
8. Penetapan Batas Kritis
Penetapan batas kritis pada CV. Cahaya Mandiri umumnya sudah
ditetapkan oleh perusahaan PT. Era Mandiri dan disesuaikan dengan hasil
observasi yang dilakukan oleh tim HACCP CV. Cahaya Mandiri pada setiap
tahapan produksi, di mulai dari penerimaan bahan baku hinga ekspor. Dari hasil
observasi yang dilakukan batas kritis yang sudah menjadi kesepakatan oleh tim
HACCP terdapat pada penerimaan bahan baku dan penyimpanan dingin, karena
pada tahapan produksi lain titik kritisnya dapat dikendalikan dengan GMP dan
SSOP yang diterapkan pada perusahaan. Untuk lebih jelasnya penetapan batas
kritis dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Penetapan batas kritis
CCP BAHAYA BATAS KRITIS
Penerimaan Bahan Baku
Penyimpanan Dingin
Histamin
Histamin
< 50 ppm tiap ikan
Temperature < 3,30C
Sumber : CV. Cahaya Mandiri
50
Menurut Sarwono (2007), batas kritis merupakan batas toleransi yang
harus dipenuhi pada setiap penetapan CCP untuk mengendalikan bahaya secara
efektif. Batas-batas kritis pada CCP ditetapkan berdasarkan referensi dan standar
teknis serta observasi unit produksi. Batas kritis menunjukkan perbedaan antara
produk aman dan tidak aman, sehingga setiap CCP mudah teridentifikasi dan
dijaga oleh operator proses produksi.
9. Tindakan Pemantauan Untuk setiap CCP
Prosedur pemantauan pada CV. Cahaya Mandiri dilakukan dengan
memantau suhu dan aspek organoleptik pada tahapan penerimaan bahan baku.
Untuk bahaya histamin dengan cara megukur suhu ikan, uji organoleptik dan
Melihat sampel daging ikan yang diambil dengan alat stecker, apabila daging ikan
terlihat pucat dan teksturnya kurang padat (kenyal) maka ikan tuna dikembalikan
karena diduga sudah terbentuknya kandungan histamin.
Pada ruang penyimpanan dingin dilakukan pemantauan pada suhu. Suhu
pada ruangan penyimpanan dingin harus < 3,30C. Prosedur pemantauan ini
dilakukan dengan cara menggunakan perekam data untuk merekam fluktuasi suhu.
Prosedur ini dilakukan di ruang penyimpanan dingin oleh quality control (QC).
Menurut SNI (2001) pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan
terjadwal atas suatu CCP yang berhubungan dengan batas kritisnya. Prosedur
pemantauan harus mampu untuk mendeteksi hilangnya pengendalian pada CCP.
Selanjutnya pemantaun sebaiknya memberikan informasi ini tepat waktu untuk
membuat penyesuaian sehingga menjamin pengendalian proses untuk mencegah
terlanggarnya batas kritis.
10. Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi pada proses penerimaan bahan baku yang dilakukan pada
CV. Cahaya Mandiri adalah pemeriksaan semua suhu ikan saat penerimaan.
Apabila ditemukan ikan yang suhunya diatas 8 0C dan tekstur daging kurang padat
maka ikan tuna akan ditolak (reject). Pembentukan histamin yang di tunjukan
dengan suhu ikan yang tinggi pada setiap penerimaan apabila suhu ikan diatas 5 0C maka dilakukan tindakan untuk menurunkan suhu ikan dengan menambahkan
es dan terus mengawasi suhu dan waktu sampai dibawah batas kritis. Selama
penulis magang di CV. Cahaya Mandiri, penulis tak pernah melihat adanya
51
kegiatan pengujian histamin yang dilakukan setiap kedatangan bahan baku.
Tindakan pencegahan yang dilakukan pada CV. Cahaya Mandiri untuk
mengidentifikasi adanya pembentukan histamin pada tuna loin pada saat
penerimaan bahan baku yang ditemui dilapangan yaitu dengan melakukan
pengukuran suhu pada ikan yang masuk, Melihat sampel daging ikan yang
diambil dengan alat stecker, dan di uji secara Orgonoleptik.
Pada proses penyimpanan dingin tindakan koreksi yang dilakukan adalah
jika terdeteksi oleh QC suhu tinggi atau suhu tiap hari > 3,3 0C maka perekam
data di cek untuk mengevaluasi durasi waktu pada suhu tertinggi. Fluktuasi suhu
lebih dari 3,3 0C selama kurang dari 2,5 jam, maka produk dipindahkan kedalam
styrofoam yang telah diberi es dengan suhu diset 00C.
Menurut Sarwono (2007), Tindakan koreksi dilakukan jika terjadi
penyimpangann terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi harus spesifik
pada setiap CCP dengan menyesuaikan kembali penyimpangan yang terjadi
(Puspita, 2001). Tindakan-tindakan harus menjamin bahwa CCP telah berada
dibawah kendali. Tindakan-tindakan yang dilakukan juga harus mencakup
disposisi yang tepat dari produk yang terpengaruh (SNI, 2011).
11. Prosedur Verifikasi
Kegiatan verifikasi pada pengolahan tuna loin beku pada CV. Cahaya
Mandiri dilakukan pada setiap CCP teridentifikasi dengan prosedur yang
dilakukan antara lain, kalibrasi alat ukur, peninjauan CCP, pemeriksaan
mikrobiologi serta meninjau keluhan konsumen. Prosedur verifikasi pada proses
penerimaan bahan baku dilakukan dengan meninjau laporan hasil pengawasan dan
tindakan koreksi. Uji Histamin dilakukan di PT. Era Mandiri Jakarta dan hasil
dikirim melalui email. Setelah itu dilakukan review, tindakan perbaikan serta
perifikasi laporan setiap ada hasil test yang telah dilakukan. Pada proses
penyimpanan dingin tindakan verifikasi dilakukan dengan melakukan cek secara
manual setiap 1 jam sekali setiap hari oleh mekanik. Koreksi juga dilakukan pada
proses pengemasan dan pelabelan.
Menurut Puspita (2001), verifikasi merupakan kegiatan evaluasi atau
pengkajian terhadap rancangan HACCP untuk membuktikan bahwa sistem
HACCP yang diterapkan bekerja secara efektif.
52
12. Dokumentasi HACCP
Dokumentasi hasil rancangan HACCP pada pengelolaan tuna loin beku
pada PT. Cahaya Mandiri (diterapkan pada setiap tahap atau proses yang termasuk
CCP) disusun sebagai bukti otentik pelaksanaan HACCP. Dokumen HACCP ini
dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan tindakan koreksi dan perbaikan
sistem serta memudahkan pemeriksaan oleh pihak terkait. Menurut ILSI Eropa
(1993), dokumentasi merupakan bagian penting pada HACCP untuk meyakinkan
bahwa informasi yang telah dikumpulkan dalam proses dapat diperoleh bagi
siapapun yang terlibat di dalamnya, selain itu juga dapat meyakinkan bahwa
sistem tetap berkesinambungan dalam jangka panjang.
53
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan:
1. Penerapan HACCP pada CV. Cahaya Mandiri sudah dapat diterapkan dengan
cukup baik mulai dari pembentukan TIM, HACCP, deskripsi produk,
identifikasi pengguna, penyusunan diagram alir proses produksi, konfirmasi
bagan alir dilapangan, analisis potensi hazzard, identifikasi CCP, penetapan
batas kritis, tindakan pemantauan untuk setiap CCP, tindakan koreksi,
prosedur verifikasi dan dokumentasi HACCP.
2. CCP pada proses pengolahan Tuna Loin beku pada CV.Cahaya Mandiri
teridentifikasi terdapat pada tahapan penerimaan bahan baku, dan pendinginan
2 (Chilling 2).
6.1 Saran
1. Untuk pabrik pengolahan hasil perikanan khususnya CV. Cahaya Mandiri agar
kiranya lebih memperhatikan lagi keamanan produk yang dihasilkan karena
dalam proses pengolahan tuna loin CV. Cahaya Mandiri tidak dilengkapi
dengan alat pendeteksi logam. Alat pendeteksi logam merupakan bagian dari
HACCP yang seharusnya ada pada perusahaan pengolahan produk perikanan,
dengan fungsi untuk menjamin suatu produk yang dihasilkan benar-benar
bebas dari kontaminasi logam.
2. Pimpinan perusahaan perlu meninjau kembali pengujian Histamin yang ada di
CV. Cahaya Mandiri karena tidak sesuai dengan buku pedoman HACCP yang
ada diperusahaan. Selama penulis magang tidak pernah melihat adanya
kegiatan pengujian Histamin dan melihat Laboratorium External yang
digunakan untuk pengujian Histamin.
54
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdurohman. 2007. Penyusuna Dokumen rencana Hazzard Analysis And Critical Control Point (HACCP) pada Produk Crissant pada Di PT. Ciptayasa Pangan mandiri Pulogadung Jakarta. [Skripsi]. Bogor. Istitu Pertanian Bogor
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tuna Loin Beku. Jakarta: BSN
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food and Agriculture Organization/Word Health Organization. Rome, Italy.
Codex Alimentarius Commission. 2001. Food hygiene. Basic Texts. 2nd ed.
CV. Cahaya Mandiri. 2010. Program Manajemen Mutu Terpadu Berdasarkan Konsepsi HACCP Dari Pengolahan Tuna Beku. Gorontalo
Dahyar MA. 2009. evaluasi efektivitas pengendalian resiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-ccp) proses pengolahan tuna loin beku dengan metode lean six sigma. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Dalgaard P, Emborg J, A Kjolby, ND Sorensen and NZ Ballin. 2008. Histamin and biogenic amines : formation and importance. in seafood dalam T Borresen (edited), Improving Seafood Products for the Customer. North America : Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC.
Dian, 2012. Hazzard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sebagai Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.. [Online], Diakses Tanggal 5 Februari 2013.
Direktorat Jendral Perikanan. 1990/1993. Pengolahan Hasil Perikanan Dan Klasifikasi Ikan Tuna. Direktorat Jendral Perikanan Jakarta.
Ditjen Perikanan. 1996. Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Hasil Perikanan dan Latihan Penerapam HACCP. Departemen Pertanian. Jakarta
Emborg J and Dalgaard P. 2008. Modelling the effect of temperature, corbon dioxide, water activity and pH on growth and histamin formation by Morganella psychrotolerant. Food Microbiology (128): 226-233.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: CV Liberty.
Junianto. 2003. Klasifikasi Ikan Tuna. Kanasius. Yogyakarta.
56
Latifah, L. 2001. Mempelajari Aspek Pengendalian Mutu Proses Pembekuan Ikan Tuna (Thunnus Albacores) Di PT. Tirta Raya Mina (persero) Pekalongan. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Lehane L and Olley J. 2000. Histamin fish poisoning revisited. International Journal of Food Microbiology 58: 1-37.
Kanki M, Yoda T and Tsukamoto T. 2002. Klebsiella pneumoniae Produces No Histamin: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica Strains Are Histamin Producers. Enviromental Microbiology 68:. 3462–3466.
Keer M, Paul L and Sylvia A .2002. Effect of Storage Condition on Histamin Formation in Fresh and Canned Tuna. Commision by Food Safety Unit. Dalam www.foodsafety.vic.gov.au.
Maghfiroh, 2000. Pengaruh Pemakaian Bahan Pengikat terhadap Karakteristik Nugget. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan.
Muhardi T, Kadarisman D. 2006. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press
Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanasius. Yogyakarta.
Nasution, 2004. Mutu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rossi S, Lee C, Ellis PC and Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicolog (67): 2056-2060.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Tuna Loin Mentah Beku. SNI 01-4104-2006. Jakarta. Badan Standar Nasional.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. Rekomendasi Nasional Kode Praktis – Prinsip Umum Higiene Pangan. CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003, IDT. Jakarta. Badan Standar Nasioanal.
Sumner J, Ross T and Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish Industry. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nation.
Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta. Buku Aksara.
Soen’an. 2004. Komposisi Kimia Ikan Tuna. PT. Penebar Swadaya.
Wicaksono, D. 2009. Asesmen Resiko Histamin Selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin. Bogor. Institu Pertanian Bogor.
57
Top Related