HUBUNGAN PERFUSI RETINA PERIPAPILER DENGAN
KETEBALAN RETINAL NERVE FIBER LAYER PERIPAPILER
PADA PASIEN DIABETES MELITUS TANPA RETINOPATI
DIABETIKA
Oleh :
Sindi Dwijayanti
NPM : 131221150507
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2020
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik dari
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan nama pengarang dan tercantum dalam daftar
pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai norma yang
berlaku di perguruan tinggi.
Bandung, 3 Juli 2020
Yang membuat pernyataan
Sindi Dwijayanti
NPM. 131221150507
iv
ABSTRAK
Latar Belakang:. Gangguan aliran darah merupakan tanda awal disfungsi retina
pada diabetes. Retinal Nerve Fiber Layer mendapatkan sebagian nutrisinya dari
kapiler peripapiler radial yang berasal dari cabang peripapiler arteri retina yang
berdekatan. Disfungsi mikrovaskular atau gangguan aliran darah pada daerah ini
dapat mempengaruhi RNFL atau fungsi sel ganglion.
Tujuan:. Mengetahui hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan
RNFL peripapiler pada pasien DM tanpa retinopati diabetika.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong-lintang analitik pada bulan
Februari-April 2019 di wilayah kota Bandung. Subjek penelitian ini terdapat 41
orang (79 mata) yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok A (orang
sehat dengan karakteristik yang dicocokkan) 19 orang (37 mata) dan kelompok B
(DM tipe 2 tanpa retinopati diabetika) 22 orang (42 mata). Penilaian perfusi retina
peripapil dilakukan menggunakan OCT Angiografi dan ketebalan RNFL
menggunakan OCT. Analisis statistik menggunakan uji statistika korelasi Pearson,
jika data berdistribusi normal, dan Spearman, jika data tidak berdistribusi normal.
Hasil pengujian dikatakan bermakna bila nilai P≤0,05.
Hasil: Rata-rata usia subjek penelitian adalah 52.77±5.136 tahun dengan 17 orang
(77.3%) perempuan. Terdapat penurunan densitas perfusi retina peripapil pada
kuadran inferior (P=0.003), penurunan indeks fluks diseluruh kuadran retina
peripapil (P=0.0001) dan juga peningkatan ketebalan RNFL di kuadran temporal
peripapil (P=0.012) dibandingkan dengan kontrol. Terdapat hubungan korelasi
positif antara densitas perfusi retina peripapiler dan ketebalan RNFL peripapiler
secara total (r=0.480, P=0.001), pada kuadran superior(r=0.436, P=0.004), dan
inferior (r=0.608, P=0.000). Korelasi positif juga ditemukan antara indeks fluks
peripapil ketebalan RNFL peripapil secara total (r=0.517, P=0.000), pada kuadran
superior (r=0.630, P=0.000), dan inferior (r=0.519, P=0.000).
Simpulan: Terdapat hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan
RNFL peripapiler pada pasien DM tanpa retinopati diabetika.
Kata kunci: Perfusi retina peripapil, ketebalan RNFL peripapil, DM tanpa
retinopati diabetika.
v
ABSTRACTS
Introduction: Impaired blood flow is an early sign of retinal dysfunction in
diabetes. The Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) receive nutrients from radial
peripapillary capillaries that originate from the peripapillary branches of the
adjacent retinal arteries. Microvascular dysfunction or impaired blood flow in this
area can affect RNFL or ganglion cell function.
Objective: To know the relationship between peripapillary retinal perfusion and
peripapillary RNFL thickness in DM patients without diabetic retinopathy.
Methods: This study was an analytic cross-sectional study in February-April 2019
at Bandung city area. The subjects of this study were 41 people (79 eyes) divided
into two groups, the A group (healthy subjects with matched characteristics) 19
people (37 eyes) and the B group (DM type 2 without diabetic retinopathy) 22
people (42 eyes). Peripapillary retinal perfusion assessment was performed using
OCT Angiography and RNFL thickness using OCT. Statistical analysis uses the
Pearson correlation statistics test, if the data are normally distributed, and
Spearman, if the data are not normally distributed. The test results are significant
if the P value ≤0.05.
Results: The average age of the subjects was 52.77 ± 5,136 years old with 17 people
(77.3%) are women. There was a decrease in peripapillary retinal perfusion density
in the inferior quadrant (P = 0.003), decrease in flux index throughout the
peripapillary retinal quadrant (P = 0.0001) and also an increase in RNFL thickness
in the peripapillary temporal quadrant (P = 0.012) compared to control grup.
There is a positive correlation between peripapillary retinal perfusion density and
total peripapillary RNFL thickness (r = 0.480, P = 0.001), the superior quadrant
(r = 0.436, P = 0.004), and inferior quadrant (r = 0.608, P = 0.000). A positive
correlation was also found between the total peripapillary flux index and RNFL
peripapillary thickness (r = 0.517, P = 0.000), the superior quadrant (r = 0.630, P
= 0.000), and inferior quadrant (r = 0.519, P = 0.000).
Conclusions: There is a relationship between peripapillary retinal perfusion and
peripapillary RNFL thickness in DM patients without diabetic retinopathy.
Keywords: Peripapillary retinal perfusion, peripapillary RNFL thickness, DM
without diabetic retinopathy.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar dokter
spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 (PPDS-I) Ilmu Kesehatan
Mata Universitas Pajajaran/Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak
yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menempuh masa pendidikan
dan menyelesaikan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Rina
Indiastuti, S.E., M.SIE., selaku Rektor Universitas Padjadjaran Bandung dan Dr.
Med. Setiawan, dr., AIFM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Irayanti, dr., Sp.M(K), M.Kes
selaku Direktur Utama Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Dr. Feti
Karfiati Memed, dr., Sp.M(K), M.Kes., selaku Direktur Medik dan Keperawatan,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja
menggunakan sarana dan prasarana di Rumah Sakit Mata Cicendo.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Budiman,
dr., Sp.M(K), M.Kes., selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr. Irawati Irfani, dr., Sp.M(K), M.Kes.,
vii
sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, dan seluruh staf pengajar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk segala ilmu, bimbingan, arahan, saran,
dukungan, dan motivasi yang sangat luar biasa yang diberikan kepada penulis
selama menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada Dr. Irawati Irfani, dr., Sp.M(K), M.Kes selaku pembimbing I dan Susanti
Natalya S, dr., Sp.M(K), M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan
waktunya serta dengan sabar membimbing, memberikan masukan dan arahan
selama penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Dr. Elsa Gustyanti, SpM(K), Mkes selaku Ketua Sidang, Erwin Iskandar,
SpM(K), Mkes, dan Dr. Angga Kartiwa, dr., SpM(K), M.Kes yang telah
memberikan masukan dan gagasan sehingga pada akhirnya tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada R. Maula Rifada, dr,
SpM(K) yang telah mengizinkan penulis untuk menjadi bagian dari anak penelitian
beliau. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Zr. Sri Bayuningsih, S.Kep
dan seluruh staf Instalasi Diagnostik PMN RS Mata Cicendo. Terima kasih juga
kepada Fauziah Nur Rahman, Amd, RO sebagai tenaga medis Instalasi Oftamologi
Komunitas yang telah membantu melakukan skrining retinopati diabetika di
Puskesmas sekitar Bandung. Terima kasih juga kepada seluruh staff RS Mata
Cicendo yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga
viii
tak lupa penulis ucapkan kepada Bu Nurvita yang telah membantu penulis dalam
pengolahan data penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Ambarwati, Ibu
Mumbaryatun, Bapak Ajat Sudrajat, dan Kang Ludfi selaku staf sekretariat dan
pustakawan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
yang telah banyak membantu penulis selama masa pendidikan. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada seluruh staf dan karyawan Pusat Mata Nasional Rumah
Sakit Mata Cicendo atas segala bantuan dan kerjasama yang terjalin selama masa
ini.
Kepada orang tua tercinta Papah Dr. Andika Prahasta, dr, SpM(K), Mkes dan
Mamah Susi Hendrawati, dr, tiada kata yang dapat melukiskan besarnya rasa syukur
dan terima kasih atas cinta, kasih sayang, dan kesabaran yang telah diberikan dalam
membesarkan, mendidik, membimbing, memberikan teladan dalam menghadapi
kehidupan, memberikan semangat serta doa yang tiada henti bagi penulis selama
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada suami
tercinta, Rizki Davi Akbar atas cinta kasih, dukungan, dorongan, bantuan untuk
penulis selama ini dalam keseharian maupun dalam menempuh pendidikan untuk
menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata ini. Terima kasih juga
kepada anakku Arkana Adhitama sebagai penyemangat untuk menyelesaikan tesis
ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program
Pendidikan Spesialis Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran khususnya
teman angkatan Maret 2016, yaitu Angel, Joan, Kiki, Lucky, Yolla, Mita, Viora,
ix
dan Yoyok. Terima kasih atas persahabatan, kebersamaan, kerjasama, dan suka
duka yang telah dilalui bersama selama menempuh pendidikan. Semoga
persahabatan dan persaudaraan ini tetap terjalin walaupun terpisahkan jarak dan
waktu.
Rasa terima kasih tidak akan pernah cukup untuk membalas segala kebaikan
yang diberikan oleh semua pihak yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari semua. Terima kasih.
Bandung, 3 Juli 2020
Penulis,
Sindi Dwijayanti
x
DAFTAR ISI
JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACTS v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR GRAFIK xvi
DAFTAR SINGKATAN xvii
DAFTAR LAMPIRAN xix
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Kegunaan Penelitian 5
1.4.1 Kegunaan Ilmiah 5
1.4.2 Kegunaan Praktis 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS 6
DAN HIPOTESIS
xi
2.1 Kajian Pustaka 6
2.1.1 Anatomi Retina 6
2.1.2 Anatomi Kepala Nervus Optikus 10
2.1.3 Retinopati Diabetika 13
2.1.3.1 Patofisiologi Retinopati Diabetika 14
2.1.3.2 Pencitraan dan Diagnostik pada Retinopati 19
Diabetika
2.1.3.2.1 Optical Coherence Tomography(OCT) 20
2.1.3.2.1.1 Optical Coherence 21
Tomography pada DM
2.1.3.3 Pemeriksaan Perfusi Vaskular Retina 23
2.1.3.3.1 Optical Coherence Tomography 23
Angiography (OCTA)
2.1.3.3.1.1 Optical Coherence 26
Tomography Angiography
Pada DM
2.2. Kerangka Pemikiran 28
2.3. Premis 30
2.4. Hipotesis 31
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN 32
3.1 Subjek Penelitian 32
3.1.1 Populasi Penelitian 32
3.1.2 Cara Pemilihan Sampel 32
xii
3.1.3 Kriteria Inklusi 33
3.1.4 Kriteria Eksklusi 33
3.1.5 Penentuan Ukuran Sampel 33
3.2 Metode Penelitian 34
3.2.1 Rancangan Penelitian 34
3.2.2 Variabel Penelitian 34
3.2.3 Definisi Operasional 36
3.2.4 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data 37
3.2.4.1 Tata Cara Kerja 37
3.2.4.2 Alat dan Bahan Penelitian 38
3.2.4.3 Prosedur Pemeriksaan OCT 39
3.2.4.4 Prosedur Pemeriksaan OCT Angiografi 40
3.2.5 Pengolahan dan Analisa Data 40
3.2.6 Waktu dan Tempat Penelitian 43
3.3 Implikasi/ Aspek Etik Penelitian 43
3.4 Alur Penelitian 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 45
4.1 Hasil penelitian 45
4.2 Uji Hipotesis 50
4.3 Pembahasan 51
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 58
5.1 Simpulan 58
5.2 Saran 58
xiii
DAFTAR PUSTAKA 59
LAMPIRAN 63
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Gambaran dan Perbandingan Karakteristik Subjek Penelitian 46
Tabel 4.2 Gambaran dan Perbandingan Densitas Perfusi Retina Peripapil 46
Tabel 4.3 Gambaran dan Perbandingan Indeks Fluks Retina Peripapil 47
Tabel 4.4 Gambaran dan Perbandingan Ketebalan RNFL Peripapil 47
Tabel 4.5 Hubungan dan Korelasi Densitas Perfusi Retina Peripapil dengan
Ketebalan RNFL Peripapil pada DM tanpa retinopati diabetika 48
Tabel 4.6 Hubungan dan Korelasi Indeks Fluks Retina Peripapil dengan
Ketebalan RNFL Peripapil pada DM tanpa retinopati diabetika 49
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi makula 7
Gambar 2.2 Lapisan retina 8
Gambar 2.3 Gambaran unit neurovaskular di retina 10
Gambar 2.4 Skematik kepala nervus optikus 11
Gambar 2.5 Anatomi distribusi serabut saraf retina 12
Gambar 2.6 Vaskulatur nervus optikus anterior 17
Gambar 2.7 Kerusakan blood-brain-barrier 33
Gambar 2.8 Hasil analisis OCT RNFL dan ONH Zeiss 21
Gambar 2.9 Zeiss Cirrus HD-OCT 26
Gambar 2.10 Sampel representatif densitas pembuluh darah di peripapiler 28
Gambar 2.11 Kerangka alur pikir 30
Gambar 3.1 Bagan alur penelitian 44
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Grafik linier korelasi densitas perfusi total dengan ketebalan 49
RNFL peripapil total
Grafik 4.2 Grafik linier korelasi indeks fluks total dengan ketebalan 50
RNFL peripapil total
xvii
DAFTAR SINGKATAN
DM : Diabetes Melitus
DR : Diabetic Retinopathy
WHO : World Health Organization
RNFL : Retinal Nerve Fiber Layer
OCT : Optical Coherence Tomography
OCTA : Optical Coherence Tomography Angiography
RPE : Retinal Pigment Epithelium
µm : Mikrometer
mm : Milimeter
ILM : Internal Limiting Membrane
NFL : Nerve Fiber Layer
GCL : Ganglion Cell Layer
IPL : Inner Plexiform Layer
INL : Inner Nuclear Layer
MLM : Middle Limiting Membrane
OPL : Outer Plexiform Layer
HFL : Henle fiber layer
ONL : Outer Nuclear Layer
ELM : External Limiting Membrane
IS/OS : Inner segment-Outer segment
WESDR : Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic
xviii
Retinopathy
ATP : Adenosine triphosphate
AGEs : Advanced glycation end products
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
NPDR : Non proliferative diabetic retinopathy
IRMA : Intraretinal Microvascular Abnormalities
PDR : Proliferative diabetic retinopathy
NVD : Neovascularization of the Disc
NVE : Neovascularization Elsewhere
DRS : Diabetic Retinopathy Study
ONH : Optic nerve head
FA : Fluorescein Angiography
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Keterangan Persetujuan Etik (Ethical Approval) 63
Lampiran 2 Informasi Penelitian 64
Lampiran 3 Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) 67
Lampiran 4 Data Hasil Penelitian 68
Lampiran 5 Contoh Hasil OCT dan OCT Angiografi 70
Lampiran 6 Perhitungan Statistik 76
Lampiran 7 Daftar Riwayat Hidup 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Retinopati diabetika / Diabetic Retinopathy (DR) adalah penyebab kebutaan
utama pada pasien diabetes melitus (DM) dan merupakan penyebab gangguan
penglihatan utama pada dewasa usia kerja. Berdasarkan WHO (2016), Indonesia
tahun 2000 memiliki 8,4 juta penduduk yang menderita DM dan diperkirakan
meningkat menjadi 21,3 juta pendudukan pada tahun 2030. Studi meta-analisis
global melaporkan bahwa di Amerika Serikat, Australia, Eropa, dan Asia, 1 dari 3
pasien DM memiliki retinopati diabetika, dan 1 dari 10 (10,2%) memiliki retinopati
diabetika yang mengancam penglihatan seperti, retinopati diabetika proliferatif atau
edema makula diabetik. Retinopati diabetika adalah penyebab gangguan
penglihatan sedang atau berat peringkat ke enam pada populasi global tahun 2015.
Berdasarkan studi meta-analisis global, jumlah orang yang mengalami kebutaan
akibat dari retinopati diabetika dari tahun 1990 sampai 2015 meningkat dari 0,2 juta
menjadi 0,4 juta orang, dan jumlah orang yang mengalami gangguan penglihatan
meningkat dari 1,4 juta menjadi 2,6 juta orang.1–3
Diperkirakan gangguan penglihatan sedang-berat yang disebabkan oleh
retinopati diabetika akan terus meningkat mencapai 3,2 juta orang pada tahun 2020.
Prevalensi retinopati diabetika pada usia 40 tahun ke atas di Amerika Serikat adalah
sebesar 4,2 juta orang (28,5%), dan diseluruh dunia diperkirakan sebesar 93 juta
orang (34,6%). Studi tahun 2017 pada pasien diabetes tipe 2 usia 30 tahun ke atas
2
di Jogjakarta, Indonesia, melaporkan bahwa prevalensi retinopati diabetika sebesar
43,1% dan retinopati diabetika yang mengancam penglihatan sebesar 26,3%. Pasien
dengan derajat awal DM akan terdiagnosa lebih sedikit di daerah dengan sumber
daya yang rendah-sedang dan sistem pelayanan kesehatan yang kurang, karena
tidak adanya gejala. Pasien akan terdiagnosa setelah munculnya gejala atau bahkan
sudah terjadi komplikasi.1–4
Retina dapat menurunkan aktifitas anabolik untuk menurunkan kebutuhan
energi dan mempertahankan kehidupan saraf retina pada keadaan diabetes.
Retinopati belum dapat terdeteksi secara klinis pada tahap ini dan penglihatan
masih baik. Seorang pasien dapat diklasifikasikan tanpa retinopati sampai muncul
lesi seperti mikroneurisma atau eksudat, walaupun sudah terjadi gangguan aliran
darah yang merupakan tanda awal disfungsi retina pada diabetes. Gangguan
autoregulasi pembuluh darah retina dalam yang terjadi pada awal diabetes,
menyebabkan retina kekurangan nutrisi dan oksigen. Penurunan densitas vaskular
dan konsentrasi mitokondria di retina bagian dalam membuat sel bergantung pada
glikolisis, memberikan beban metabolik dan oksidatif. Setelah 5 sampai 10 tahun,
perubahan adaptif mulai gagal dan muncul tanda awal dekompensasi yang secara
klinis dikenali sebagai retinopati diabetika non proliferatif.3,5,6
Retinopati diabetika secara klasik dianggap sebagai gangguan mikrovaskular,
namun semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa neurodegenerasi retina
telah terjadi sebelum adanya kerusakan mikrovaskular yang terdeteksi secara klinis.
Neurodegenerasi retina, seperti apoptosis sel neuron retina dan penipisan lapisan
saraf peripapiler, memiliki peran penting dalam patogenesis retinopati diabetika.
3
Akson dari sel ganglion retina membentuk Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) lalu
membentuk nervus optikus yang menghubungkan bola mata dengan otak.
Mikrosirkulasi daerah kepala nervus optikus sangatlah penting untuk
mempertahankan jalur penglihatan fisiologis. Retinal Nerve Fiber Layer
mendapatkan sebagian nutrisinya dari kapiler peripapiler radial yang berasal dari
cabang peripapiler arteri retina yang berdekatan. Disfungsi mikrovaskular atau
gangguan aliran darah pada daerah ini dapat mempengaruhi RNFL atau fungsi sel
ganglion. Studi secara histologis dan klinis menyebutkan bahwa kapiler peripapiler
radial memiliki peran penting pada area serabut arkuat. Perubahan patologis seperti,
skotoma Bjerrum, cotton wool spot, perdarahan intraretina, iskemia neuropati optik,
memiliki kerusakan saraf yang konsisten dengan distribusi kapiler peripapiler
radial. 6–8
Perubahan mikrovaskular pada kepala nervus optikus adalah salah satu tanda
penting retinopati diabetika preklinis. Pencitraan jaringan pembuluh darah retina
peripapiler dan kuantifikasi fluks darah dapat memberikan kemudahan dalam
mendiagnosis lebih dini. Optical Coherence Tomography (OCT) adalah teknologi
pencitraan non invasif yang dapat mendeteksi hilangnya jaringan saraf retina
dengan mengukur secara kuantitatif ketebalan RNFL dengan resolusi tinggi.
Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) dapat memetakan sirkulasi
aliran darah okular sampai tahap kapiler secara non invasif dengan menggunakan
teknik mikroangiografi optik pada sistem Fourier Domain Optical Coherence
Tomography (FD-OCT). Menghubungkan perfusi dengan kerusakan neuronal,
seperti penipisan RNFL, dapat menggambarkan hubungan mikrovaskular dengan
4
neuronal pada DM dan menemukan salah satu penanda prediktif terjadinya
retinopati diabetika.8–12
Berdasarkan uraian di atas, disusunlah tema sentral penelitian sebagai berikut :
Seorang pasien dapat diklasifikasikan tanpa retinopati sampai muncul lesi seperti,
mikroneurisma atau eksudat, walaupun sudah terjadi gangguan aliran darah yang
merupakan tanda awal disfungsi retina pada diabetes. Gangguan autoregulasi
pembuluh darah retina dalam yang terjadi pada awal diabetes, menyebabkan retina
kekurangan nutrisi dan oksigen. Gangguan aliran kapiler peripapiler radial dapat
mempengaruhi RNFL dan fungsi sel ganglion. Neurodegenerasi retina, seperti
apoptosis sel ganglion dan RNFL terjadi sebelum adanya kerusakan mikrovaskular
secara klinis, dan menyebabkan penipisan lapisan saraf retina tanpa retinopati.
Optical Coherence Tomography (OCT) dapat mendeteksi hilangnya RNFL dengan
mengukur secara kuantitatif ketebalan lapisan saraf retina dengan resolusi tinggi.
Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) dapat memetakan sirkulasi
aliran darah okular sampai tahap kapiler secara non invasif dengan menggunakan
teknik mikroangiografi optik. Menghubungkan perfusi dengan ketebalan RNFL
dapat menggambarkan hubungan mikrovaskular dengan neuronal pada DM dan
menemukan penanda prediktif terjadinya retinopati diabetika. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan
RNFL peripapiler pada pasien DM tanpa retinopati diabetika.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan RNFL
peripapiler pada pasien diabetes melitus tanpa retinopati diabetika.
1.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan RNFL
peripapiler pada pasien diabetes melitus tanpa retinopati diabetika.
5
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran perfusi retina peripapiler
dan ketebalan RNFL peripapiler melalui pemeriksaan OCTA dan OCT pada pasien
diabetes melitus tanpa retinopati diabetika, serta melihat hubungan antara
keduanya.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Apabila terdapat hubungan antara perfusi retina peripapiler (pada pemeriksaan
OCTA) dan ketebalan RNFL peripapiler (pada pemeriksaan OCT) pada pasien
diabetes melitus tanpa retinopati diabetika, maka salah satu dari pemeriksaan ini
dapat dilakukan untuk mendeteksi tanda awal prediktor munculnya retinopati
diabetika.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS DAN
HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Anatomi Retina
Retina adalah struktur yang tipis dan transparan yang terbentuk dari lapisan
dalam dan luar optic cup. Retina memiliki 2 struktur laminar, retinal pigment
epithelium (RPE) di bagian luar dan neural retina di bagian dalam. Bagian sentral
dari retina disebut dengan makula, berukuran 5.5 mm di tengah di antara diskus
optikus dan arkade vaskular temporal. Secara histologis, makula terdiri dari 2 atau
lebih lapisan sel ganglion dibandingkan dengan sel ganglion di seluruh retina.
Bagian sentral 1.5 mm dari makula disebut dengan fovea yang berfungsi untuk
tajam penglihatan dan penglihatan warna. Bagian tengah dari fovea, yaitu foveola,
memiliki diameter 0.35 mm dengan sel kerucut yang ramping, memanjang dan
padat. Bagian tengah foveola terdapat depresi kecil berukuran 150-200 µm disebut
dengan umbo. Bagian dalam fovea terdapat daerah dimana tidak terdapat pembuluh
darah retina atau disebut juga dengan zona avaskular fovea.9,12
7
Gambar 2.1 Anatomi makula. a = umbo; b = foveola; c = fovea;
c - d = parafoveal; d - e = perifoveal; e = makula Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology9
Bagian retina di luar makula dibagi menjadi beberapa daerah, cincin 1.5mm
perifer dari bagian arkade vaskular utama temporal disebut dengan perifer dekat,
retina di sekitar ekuator disebut dengan retina ekuatoral, dan daerah di anteriornya
disebut dengan retina perifer. Bagian paling perifer diantara retina dan pars plana
adalah ora serrata. Lapisan retina secara histologis terdiri dari internal limiting
membrane (ILM), nerve fiber layer (NFL; axon dari lapisan sel ganglion), lapisan
sel ganglion / ganglion cell layer (GCL), lapisan plexiform dalam / inner plexiform
layer (IPL), lapisan nuclear dalam / inner nuclear layer (INL), middle limiting
membrane (MLM), lapisan plexiform luar / outer plexiform layer (OPL), lapisan
serabut henle / Henle fiber layer (HFL), lapisan nuklear luar / outer nuclear layer
(ONL; nukleus dari fotoreseptor), external limiting membrane (ELM), segmen
dalam dan luar sel kerucut dan sel batang / inner segment-outer segment (IS/OS).9,12
8
Gambar 2.2 Lapisan retina; internal limiting membrane (ILM), nerve fiber layer (NFL),
ganglion cell layer (GCL), inner plexiform layer (IPL), inner nuclear layer
(INL), outer plexiform layer (OPL), Henle fiber layer (HFL), outer nuclear
layer (ONL), external limiting membrane (ELM), inner segment-outer
segment (IS/OS), retinal pigment epithelium (RPE), sel Ganglion (G), sel
Amacrine (A), sel Horizontal (H), sel Muller (M), Rods (R), Cones (C) Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology12
Retina memiliki metabolisme yang tinggi dan sangat bergantung dengan
ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan fungsi neuralnya.
Cabang dari arteri retina sentral memperdarahi bagian dalam retina. Retina
diperdarahi oleh 4 lapisan kapiler, satu di superfisial NFL dan dua di samping INL
sebagai pleksus kapiler superfisial dan dalam. Retinal Nerve Fiber Layer (area
serabut arkuat) mendapatkan sebagian nutrisinya dari kapiler peripapiler radial.
Bagian luar dari retina diperdarahi oleh koriokapilaris yang berasal dari arteri short
posterior ciliary. Koriokapilaris berada dalam inervasi autonomik dari saraf
simpatetik, sedangkan intra-retina memiliki autoregulasi dimana respon bergantung
ILM
Peni
ngka
tan
apop
tosis
sel
retin
a
terja
di
pada
subj
ek
deng
an
diab
etes,
diik
uti
deng
an
keru
saka
n
axon
dan
sel
gang
lion
retin
a.
NFL
Pen
ing
kata
n
apo
ptos
is
sel
reti
na
terj
adi
pad
a
subj
ek
den
gan
diab
etes
,
diik
uti
den
gan
ker
usa
kan
axo
n
dan
sel
gan
glio
n
reti
na.
GCL
Pen
ing
kata
n
apo
ptos
is
sel
reti
na
terj
adi
pad
a
subj
ek
den
gan
diab
etes
,
diik
uti
den
gan
ker
usa
kan
axo
n
dan
sel
gan
glio
n
reti
na.
IPL
Pen
ing
kata
n
apo
ptos
is
sel
reti
na
terj
adi
pad
a
subj
ek
den
gan
diab
etes
,
diik
uti
den
gan
ker
usa
kan
axo
n
dan
sel
gan
glio
n
reti
na.
GCL
Pen GCL
PenINL
Pen
ing
kata
n
apo
ptos
is
sel
reti
na
terj
adi
pad
a
subj
ek
den
gan
diab
etes
,
diik
uti
den
gan
ker
usa
kan
axo
n
dan
sel
gan
glio
n
reti
na.
OPL
Pen
ing
kat
an
apo
pto
sis
sel
reti
na
terj
adi
pad
a
sub
jek
den
gan
dia
bet
es,
diik
uti
den
gan
ker
usa
kan
axo
n
dan
sel
gan
glio
n
reti
na.
ONL
ELM
RPE
Lapisan bruch
9
pada kebutuhan metabolik (fenomena ini disebut dengan neurovascular coupling).
Autoregulasi ini memastikan retina mendapatkan aliran darah yang konstan dan
penyampaian oksigen dan nutrisi sesuai dengan aktifitas daerah tertentu di neural
retina. Vaskular retina mempertahankan inner blood-brain barrier dengan tight
junction antar nonfenestrated sel endotel kapiler. Basal lamina menyelimuti lapisan
luar endotelium. Membran basalis memiliki lapisan terputus yang terdiri dari
perisit. 5,7,13,14
Perisit memiliki peran dalam autoregulasi pembuluh darah retina dan secara
struktur memberikan penyokong endotelium dan mencegah proliferasi pembuluh
darah. Hilangnya perisit dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
membuat pembentukan mikroaneurisma. Sel muller dan elemen glial lainnya
menempel ke basal lamina dari pembuluh darah retina, memanjang secara vertikal
dari external limiting membrane ke internal limiting membrane. Unit neurovaskular
ini memberikan penyokong metabolik, nutrisi kepada neuron, dan mempertahankan
blood-retinal barrier bagian dalam. Makroglia (astrosit, oligodendroglia, dan sel
schwann) dan mikroglia memberikan penyokong, respon terhadap kerusakan sel,
regulasi komposisi kimia dan ionik milieu ekstraselular, berpartisipasi dalam blood-
retina barrier, membentuk myelinisasi nervus optikus, memandu migrasi
pembentukan neuron, dan pertukaran metabolit dengan neuron.5,9,12,14
10
Gambar 2.3 Gambaran unit neurovaskular di retina. Perisit dan sel glial membantu
membentuk blood-retina barrier dan menyokong fungsi neuronal Dikutip dari : Thomas W Gardner dkk5
2.1.2 Anatomi Kepala Nervus Optikus
Nervus optikus dimulai dari lapisan sel ganglion retina sampai korteks oksipital
yang terdiri dari jaringan neuron, jaringan glial, matriks ekstraseluler dan pembuluh
darah. Nervus optikus dibagi menjadi 4 bagian, intraokular, intraorbital,
intrakanalikular, dan intrakranial. Kepala nervus optikus dibagi menjadi 4 bagian,
NFL superfisial, area prelaminar, area laminar, dan area retrolaminar. Bagian
pertama dari nervus optikus terdiri dari kumpulan 1 – 1,2 juta akson sel ganglion,
melintasi sklera melalui lamina kribosa yang memiliki 200-300 saluran. Lapisan
saraf superfisial yang menyambung dengan RNFL terdiri dari akson sel ganglion
retina yang bertransisi dari retina superfisial ke komponen neuron nervus optikus.
Posterior dari NFL adalah area prelaminar yang berdekatan dengan koroid
peripapiler. Posterior dari prelaminar adalah area laminar yang menyambung
dengan sklera dan terdiri dari lamina kribosa. Lamina kribosa terdiri dari kumpulan
balok jaringan ikat yang berfungsi menyokong nervus optikus. Balok jaringan ikat
11
juga berisi komponen neural dan kapiler yang memberikan nutrisi pada area kritis.
Densitas jaringan ikat dalam lamina nervus optikus lebih rendah pada bagian
superior dan inferior dibandingkan dengan temporal dan nasal.12,13,15
Gambar 2.4 Skematik kepala nervus optikus.
Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology12
Akson ganglion sel masuk ke dalam nervus optikus sesuai dengan penyusunan
retinotopiknya, serabut saraf dari bagian atas retina berada di atas dan yang dari
bagian bawah berada di bawah. Serabut dari bagian temporal retina berada di lateral
dan yang dari nasal berada di medial. Serabut dari makula berada di lateral dengan
serabut dari fovea berada di perifer dan serabut peripapiler berada di sentral.13
12
Gambar 2.5 Anatomi distribusi serabut saraf retina. Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology13
Suplai darah lapisan superfisial (NFL pada permukaan diskus optikus) berasal
dari arteri retina sentral, sedangkan lapisan dalam (perlaminar, lamina kribrosa, dan
retrolaminar) berasal dari arteri siliaris posterior. Kapiler peripapil radial adalah
lapisan kapiler yang paling superfisial di bagian dalam NFL. Kapiler peripapil
radial terdiri dari pembuluh darah yang panjang dan lurus, paralel dengan akson sel
ganglion retina, dan beranatomosis dengan kapiler prelaminar. Kapiler ini berasal
dari arteriola lapisan sel ganglion retina peripapil yang memanjang secara radial
dari diskus optikus, paralel dengan akson NFL sampai arkade temporal, menyuplai
RNFL superfisial di sekitar nervus optikus. Transport molekul akson, organel
subseluler, dan produk metabolik terjadi di sepanjang nervus optikus yang
membutuhkan konsentrasi oksigen tinggi untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Drainase vena bagian anterior nervus optikus dilakukan oleh vena retina sentral.
Darah dari NFL berjalan dari vena retina kemudian bersatu membentuk vena retina
sentral.12,13,16–18
13
A. B.
Gambar 2.6 Vaskulatur nervus optikus anterior. A. Suplai arteri. Lamina ribrosa (LC),
superficial nerve fiber layer (NFL), prelamina (PL), retrolamina (RL), central
retinal artery (CRA), optic nerve (ON), choroid (C), posterior ciliary artery
(PCA), retina (R), sklera (S). B. Drainase vena. Central retinal vein (CRV) Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology12
2.1.3 Retinopati Diabetika
Retinopati diabetika adalah penyebab kebutaan utama pada pasien dengan
diabetes melitus, dan merupakan penyebab gangguan penglihatan utama pada
dewasa usia kerja. Terdapat 2 jenis diabetes melitus, tipe 1 (juvenille-onset) atau
insulin-dependent, dikarakteristikkan dengan kerusakan sel beta pankreas yang
disebabkan oleh autoimun mediasi sel; tipe 2 (adults-onset) atau noninsulin-
dependent, dikarakteristikkan dengan resisten insulin disertai dengan defisiensi
insulin atau gangguan sekresi insulin. Penemuan epidemiologi penting oleh
WESDR (Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy) adalah
meningkatnya prevalensi retinopati diabetika dengan durasi diabetes, baik tipe 1
atau tipe 2. Setelah 20 tahun, hampir 99% diabetes tipe 1 dan 60% diabetes tipe 2
mengalami retinopati diabetika. 1,3,9
Jika retinopati telah terjadi, pengendalian kadar glukosa darah menjadi lebih
penting dibandingkan dengan durasi diabetes dalam mencegah perkembangan
retinopati. Sebagian besar pasien disarankan memiliki HbA1c 7% atau lebih
14
rendah, untuk pasien-pasien tertentu disarankan dibawah 6.5%. Sebanyak 3.6%
pasien dibawah 30 tahun dan 1.6% diatas 30 tahun memiliki tajam penglihatan
20/200 atau lebih buruk. Gangguan penglihatan ini disebabkan oleh retinopati
diabetika pada 86% pasien dibawah 30 tahun dan 33% pasien diatas 30 tahun.1,3,9
2.1.3.1 Patofisiologi Retinopati Diabetika
Penyebab pasti gangguan mikrovaskular diabetik masih belum dapat dimengerti
dengan jelas. Paparan hiperglikemi dalam jangka panjang menyebabkan perubahan
biokemikal dan fisiologis yang menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan kapiler
retina seperti penebalan membran basalis dan hilangnya sel perisit menyebabkan
oklusi kapiler dan non perfusi retina. Penebalan membran basalis pada tahap awal
diabetes disebabkan oleh produksi protein fibronektin matriks ekstraselular dan
kolagen beserta gangguan proses penghancurannya yang berhubungan dengan
keadaan hiperglikemia. Kematian perisit dan kelemahan kapiler menyebabkan
mikroaneurisma. Dekompensasi endotel juga menyebabkan kebocoran plasma dan
edema retina. Patofisiologi perubahan mikrovaskular retinopati diabetika juga
melibatkan pembuluh darah kapiler di nervus optikus.5,9,14
Retina bukan hanya jaringan vaskular, namun juga jaringan neuronal dengan
suplai vaskular dimana neuron retina, glial, dan vaskulatur retina membentuk suatu
unit neurovaskular fungsional dengan interaksi molekul yang rumit. Retinopati
diabetika dimulai dengan kerusakan hubungan antara neuroglial dan vaskular yang
menyebabkan stres metabolik akibat dari hiperglikemia. Gangguan hubungan
fungsi antara vaskular dan sel neural, atau disebut dengan neurovascular coupling,
15
menyebabkan kegagalan vaskular dalam merespon kebutuhan metabolik lokal
jaringan neural. Hilangnya autoregulasi vaskular dapat menyebabkan kekurangan
nutrisi dan oksigen pada bagian dalam retina pada awal diabetes. Penurunan
densitas vaskular dan konsentrasi mitokondria di retina bagian dalam membuat sel
bergantung pada glikolisis, memberikan beban metabolik dan oksidatif. Newman
dkk menemukan perubahan molekul kecil seperti, ATP, laktat, oksida nitrat, asam
arakidonat, dan lemak yang mengganggu hubungan antara neurosensori retina
dengan pembuluh darahnya. Terjadi perubahan neuron, seperti kerusakan
pengaturan sinyal neurotransmitter glutamatergik dan dopaminergik, perubahan
bidang dendritik, dan penurunan ekspresi sinaptik protein, sebagai respon dari
diabetes yang tidak terkontrol secara persisten yang akan berakhir dengan apoptosis
sel.5,6,14,19
Diabetes meningkatkan kematian sel neuron di bagian dalam retina, termasuk
sel ganglion retina dan sel amakrin dopaminergik dan kolinergik pada binatang dan
manusia. Setelah sel ganglion retina rusak, dendrit mulai menyusut diikuti dengan
hilangnya akson dan sel ganglion retina. Apoptosis sel ganglion retina
menyebabkan penipisan lapisan saraf retina dengan dan tanpa retinopati. Terdapat
kemungkinan juga adanya percepatan kematian sel bipolar dan fotoreseptor.
Transport akson maju dan mundur juga terganggu pada binatang dengan diabetes.
Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh kerusakan metabolisme polyol dan
gangguan fungsi mitokondria dari sel ganglion retina. Akumulasi advanced
glycation end products (AGEs) di cribriform plates, jaringan ikat, dan sekitar
pembuluh darah nervus optikus telah ditemukan pada pasien diabetes. Advanced
16
glycation end products berkontribusi pada disfungsi enzim antioksidan intraseluler,
faktor transkripsi dan protein mitikondria, dan gangguan kemampuan elastis dari
matriks ekstraseluler dan cribriform plates. 5,6,14
Sel glial juga mengalami perubahan, seperti gangguan konversi antara glutamat
dan glutamin, regulasi katup potasium, ekspresi pembawa glutamat-aspartat dan
protein filamen intermediari (seperti protein asam glial fibrilar). Astrosit yang
mengelilingi pembuluh darah dan bersentuhan dengan sinap sel saraf juga
mengalami perubahan pada tahap awal diabetes. Sel mikroglial (makrofag yang
memeriksa lingkungan retina dan menanggapi kerusakan) pada awalnya berperan
pada sistem imun adaptif, namun dapat merusak retina apabila distimulasi secara
kronis. Pengaktifan sel mikroglial dan apoptosis neuronal di retina pada diabetes
melitus juga terjadi di area peripapiler dan dapat didokumentasikan secara klinis
dengan penurunan ketebalan RNFL 5,9,14
Seorang pasien dapat diklasifikasikan tanpa retinopati sampai muncul lesi
seperti mikroneurisma atau eksudat, walaupun sudah terjadi gangguan aliran darah
yang merupakan tanda awal disfungsi retina pada diabetes. Secara mikrovaskular,
hipoperfusi akibat dari kerusakan endotelium menyebabkan pertumbuhan
pembuluh darah baru yang rapuh dan rentan bocor. Kerusakan integritas blood-
retinal barrier menghasilkan ekstravasasi cairan dan mediator inflamasi
menyebabkan edema yang mengancam penglihatan dan memperberat kondisi
inflamasi. Hal ini memperberat disfungsi neuroglial dan mempertahankan
kerusakan. Abnormalitas hematologi dan biokemikal yang berhubungan dengan
prevalensi dan tingkat keparahan retinopati antara lain, meningkatnya adesi platelet,
17
meningkatnya agregasi eritrosit, kadar serum lipid yang abnormal, fibrinolisis yang
rusak, kadar hormon pertumbuhan yang abnormal, peningkatan faktor pertumbuhan
endotel vaskular / Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), abnormalitas
serum dan viskositas darah inflamasi lokal dan sistemik.9,14,19
Gambar 2.7 Kerusakan blood-brain barrier. Terjadi akibat dari perubahan lingkungan
sel dengan peningkatan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dari sel
glial, hilangnya platelet-derived growth factor (PDGF), dan pelepasan
sitokin inflamasi Dikutip dari : Thomas W Gardner dkk5
Lesi klasik yang muncul pada retinopati diabetika yaitu, mikroaneurisma,
perdarahan retina, venous beading, abnormalitas mikrovaskular intraretina, deposit
lipid (hard exudate), cotton-wool spots (daerah iskemik retina yang menghasilkan
deposit sampah axoplasmik di antara gelondong axon sel ganglion), dan
neovaskularisasi retina. Perubahan mikrovaskular retina pada tahap retinopati
diabetika non proliferatif terbatas pada lapisan ILM yang dikarakteristikkan dengan
adanya abnormalitas vaskular retina seperti mikroaneurisma, perdarahan intraretina
dot-blot, dilatasi vena, cotton-wool spots, edema retina, hard exudate, dan
abnormalitas mikrovaskular intraretina.1,3
18
Fungsi visual terganggu pada tahap retinopati diabetika non proliferatif / non
proliferative diabetic retinopathy (NPDR) melalui 2 mekanisme yaitu, edema
makula yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular intraretina, dan
iskemia makula yang disebabkan oleh berbagai derajat penutupan kapiler
intraretina. Non perfusi kapiler retina biasanya terjadi pada NPDR sedang dan berat.
Berdasarkan International Classification of Diabetic Retinopathy and Diabetic
Macular Edema, NPDR ringan ditandai dengan hanya mikroaneurisma; NPDR
sedang ditandai dengan mikroaneurisma dan tanda lain (seperti perdarahan dot and
blot, hard exudates, cotton wool spots), namun lebih sedikit dibandingkan dengan
NPDR berat; dan NPDR berat didefinisikan memiliki 1 dari fitur berikut,
perdarahan intraretina yang berat dan mikroaneurisma pada 4 kuadran, venous
beading pada 2 kuadran atau lebih, abnormalitas mikrovaskular intraretina /
Intraretinal Microvascular Abnormalities (IRMA) pada 1 kuadran atau lebih.
Retinopati diabetika berat memiliki 15% peluang untuk menjadi retinopati
diabetika proliferatif / proliferative diabetic retinopathy (PDR) resiko tinggi dalam
1 tahun.1,3,9
Retinopati yang terus berlanjut meningkatkan kerusakan kapiler dan non perfusi
yang dapat memperburuk iskemik retina dan pelepasan faktor vasoproliferatif.
Retinopati diabetika proliferatif dikarakteristikkan dengan munculnya
neovaskularisasi pada permukaan dalam retina yang menyebabkan iskemia retina
menjadi lebih berat. Pembuluh darah baru dapat terjadi di diskus optikus /
Neovascularization of the Disc (NVD) dan di tempat lain / Neovascularization
Elsewhere (NVE). Retinopati diabetika proliferatif berdasarkan luasnya proliferasi
19
dapat dibagi menjadi tahap awal, resiko tinggi, atau lanjut. Retinopati diabetika
proliferatif resiko tinggi, menurut Diabetic Retinopathy Study (DRS), didefinisikan
memiliki 1 dari penemuan berikut; NVD ringan dengan perdarahan vitreus, NVD
sedang-berat (1/4-1/3 area diskus) dengan atau tanpa perdarahan vitreus, NVE
sedang (1/2 area diskus) dengan perdarahan vitreus, atau 3 dari 4 penemuan berikut;
perdarahan vitreus atau preretina, pembuluh darah baru, pembuluh darah baru pada
atau dekat dengan diskus optikus, dan pembuluh darah baru dengan luas sedang-
berat.3,9
Diabetes melitus juga merusak sistem neurovaskular di nervus optikus dengan
mengubah pembentukan pembuluh darah dan aliran darah, menyebabkan kerusakan
degeneratif jaringan saraf, mengubah bentuk, ekspresi protein, neurotransmisi dan
neurotransmiter. Hal tersebut dapat menyebabkan papilopati diabetik,
neovaskularisasi diskus optikus, dan atrofi nervus optikus. Retinopati diabetika
tahap lanjut juga berhubungan dengan resiko penyakit kardiovaskular dan efeknya
seperti, miokardial infark, kecelakaan serebrovaskular, nefropati diabetik,
amputasi, dan kematian.3,9,20
2.1.3.2. Pencitraan dan Diagnostik pada Retinopati Diabetika
Pengenalan dan pencegahan berlanjutnya proses neurodegenerasi retina pada
derajat awal retinopati diabetika dapat memperbaiki prognosis dari retinopati
diabetika. Diagnosis penyakit retina membutuhkan kombinasi dari pemeriksaan
klinis yang berhati-hati dan teknik pencitraan yang khusus. Optical Coherence
Tomography berkembang menjadi alat yang penting di bidang oftalmologi.
20
Kemampuan OCT menggambarkan struktur okular dan jaringan mikrovaskular
sekitarnya dengan resolusi tinggi merupakan suatu revolusi dalam asuhan pasien.
Optical coherence tomography dapat menilai RNFL di kepala nervus optikus, area
peripapil, dan makula.9,10,21
2.1.3.2.1 Optical Coherence Tomography (OCT)
Optical coherence tomography (OCT) adalah pencitraan non kontak, non invasif
yang menggunakan prinsip low-coherence interferometri, analog dengan pencitraan
ultrasound mode B namun menggunakan cahaya untuk mendapatkan gambar
potong lintang struktur okular dengan resolusi tinggi. Teknik ini menghasilkan
gambar pantulan cahaya 2 dimensi dari lapisan retina yang berbeda-beda. Spectral-
Domain OCT (SD-OCT) memberikan resolusi spatial dan kecepatan akuisisi
gambar yang lebih baik dibandingkan dengan Time-Domain OCT (TD-OCT),
menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik dan reproduksibilitas yang lebih
besar. Resolusi aksial biasanya kurang dari 7 µm dipresentasikan dengan 2048
pixels per A-Scan, dengan kecepatan scan 18.000-17.000 A-Scan per detik. 9,10
Optical coherence tomography dapat mendeteksi hilangnya RNFL dengan
mengukur secara kuantitatif ketebalan lapisan saraf retina. Kemampuan OCT dalam
menggambarkan RNFL dengan resolusi tinggi secara potong lintang berguna untuk
mengidentifikasi penipisan RNFL secara fokal atau pun menyeluruh. Pengukuran
OCT di sekitar kepala nervus optikus memberikan gambaran potong lintang
struktur NFL di bagian silinder mengelilingi diskus optikus. Pengukuran ketebalan
RNFL rata-rata dilakukan secara global (lingkaran peripapil di sekitar kepala
21
nervus optikus) juga kuadran (superior, inferior, temporal, nasal) atau sektor jam
kecil. Penebalan RNFL peripapil meningkat dengan adanya edema dan menipis
dengan adanya atrofi. Spectral-domain OCT (SD-OCT) juga dapat mengukur
ketebalan makula atau ketebalan lapisan retina yang spesifik contohnya, RNFL
makula, lapisan sel ganglion, dan lapisan pleksiform dalam.13,20,21
Gambar 2.8 Hasil analisis OCT RNFL dan ONH (Optic Nerve Head) Zeiss Dikutip dari : Zeiss23
2.1.3.2.1.1 Optical Coherence Tomography (OCT) pada Diabetes Melitus
Optical Coherence Tomography merupakan alat yang menjanjikan untuk
mendeteksi lesi awal dari neurodegenerasi retina. Dijk dkk melaporkan bahwa
Ketebalan RNFL Ketebalan RNFL
Mata Kiri Mata Kanan
Kuadran
RNFL
Jam
RNFL
Distribusi Normal
22
ketebalan RNFL menurun dengan meningkatnya progresifitas retinopati diabetika.
Oshitari dkk juga melaporkan bahwa ketebalan lapisan saraf retina peripapil
menurun pada pasien derajat awal retinopati diabetika dibandingkan dengan pasien
normal atau tanpa retinopati diabetika. Vujosevic dkk menemukan penurunan
ketebalan RNFL kuadran superior dan inferior yang signifikan antara grup kontrol,
DM tanpa retinopati diabetika, dan retinopati diabetika. Penurunan ketebalan RNFL
di kuadran inferior ditemukan lebih awal pada pasien diabetes melitus tanda
retinopati diabetika dibandingkan dengan kontrol. Begitu juga pada studi yang
dilakukan Chen dkk, ditemukan penurunan ketebalan RNFL peripapiler pada
pasien diabetes tanpa retinopati diabetika dibandingkan dengan kontrol sehat sesuai
usia.6,16,22,23
Penelitian El-Hifnawy dkk menemukan penipisan ketebalan RNFL yang
signifikan pada kuadran superior, temporal, dan global antara grup kontrol dengan
DM tanpa retinopati diabetika, namun tidak menemukan adanya perbedaan yang
signifikan antara ketebalan RNFL pasien NPDR dan grup kontrol dan juga kuadran
inferior dan nasal pada ketiga grup. Begitu juga pada penelitian Liu dkk, terdapat
penurunan ketebalan RNFL yang signifikan antara grup kontrol dengan DM tanpa
retinopati diabetika, namun tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan
antara grup kontrol, DM tanpa retinopati diabetika, retinopati diabetika ringan, dan
retinopati diabetika berat, dan juga tidak ada korelasi antara ketebalan RNFL
peripapiler dengan derajat retinopati diabetika. Tidak adanya perbedaan yang
signifikan pada grup tanpa retinopati diabetika, retinopati diabetika ringan dan
retinopati diabetika berat mungkin disebabkan oleh perubahan struktur dari jaringan
23
retina di peripapiler yang disebabkan oleh edema intraseluler dan ekstraseluler,
perdarahan, eksudasi, atau degenerasi glial fibrilar di sekitar papil. Saat perfusi
kapiler peripapiler radial menurun lebih jauh, perubahan struktur di RNFL seperti,
edema intraseluler dan ekstraseluler dan perdarahan menyebabkan ketebalan RNFL
meningkat saat diperiksa oleh OCTA.7,23
2.1.3.3 Pemeriksaan Perfusi Vaskular Retina
Terdapat berbagai cara untuk melihat perfusi vaskular retina, contohnya
Fluorescein Angiography (FA) yang invasif, namun hanya dapat menunjukkan
perfusi darah yang dangkal, tidak perfusi dalam, dan perfusi juga tidak bisa di
kuantifikasikan. Retina memiliki jumlah kapiler yang tinggi dan sebagian besar
perubahan patologis pada penyakit vaskular retina mengenai kapiler dan pembuluh
darah kecil terlebih dahulu, contohnya pada pleksus kapiler peripapil radial yang
hanya terdapat di peripapil dan memiliki peran penting dalam mempertahankan
kesehatan neuronal. Fluorescein Angiography dapat memberikan gambar struktur
vaskular dari pleksus kapiler peripapiler radial namun hanya vaskularisasi total.
Gambaran kapiler peripapil radial dapat divisualisasikan lebih baik menggunakan
OCTA dibandingkan dengan FA pada orang normal.10,18,25
2.1.3.3.1 Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA)
Optical coherence tomography Angiography adalah metode untuk melihat
pergerakan sel darah merah dengan menganalisis perubahan intensitas dan/atau fase
sinyal yang berasal dari pengulangan B-scans yang dilakukan di lokasi yang sama.
Optical coherence tomography Angiography membedakan sinyal dari jaringan
24
statis dan jaringan bergerak untuk menggambarkan aliran darah mikrovaskular di
retina dan koroid. Cahaya yang dipantulkan dari jaringan statis akan stabil,
sedangkan pantulan cahaya dari partikel yang bergerak, seperti eritrosit akan terus
bergerak secara acak. Intensitas dan/atau perubahan fase dari pergerakan eritrosit
ditangkap oleh pengulangan B-scan di tempat yang sama, akan dinilai oleh OCTA.
Optical coherence tomography Angiography tidak invasif dan tidak membutuhkan
injeksi pewarna. Sistem OCTA dapat dibagi menjadi Spectral Domain OCT (SD-
OCT) dan Swept-Source OCT (SS-OCT). Swept-Source OCT memiliki waktu
memindai yang lebih cepat dan penetrasi koroid yang lebih dalam sehingga
mikrovaskular koroid dapat terlihat lebih baik dibandingkan dengan sistem SD-
OCT. 10,11,18
Nama lain dari OCTA adalah OCT microangigraphy (OMAG) atau Split-
Spectrum Amplitude Decorrelation Angiography (SSADA). Optical
microangiography merupakan pendekatan OCTA yang primer. Pergerakan dapat
ditangkap secara maksimal, baik amplitude dan informasi fase, melalui sinyal OCT
dan menghasilkan koneksi vaskular yang lebih baik, rasio signal-to-noise yang
lebih tinggi, dan sensitivitas yang lebih tinggi pada aliran darah kapiler. Sinyal dari
mikroangiografi optik proporsional dengan konsentrasi aliran darah, atau disebut
dengan fluks darah. Fluks adalah jumlah sel darah yang melewati pembuluh darah
secara potong lintang per unit waktu, sedangkan densitas pembuluh darah adalah
persentasi area yang diisi oleh pembuluh darah pada regio tertentu. Alogaritma
Split-spectrum amplitude decorrelation angiography (SSADA) memiliki
kemampuan untuk menurunkan gangguan sinyal dan pergerakan mata sehingga
25
dapat mengukur zona avaskular dan densitas pembuluh darah retina superfisial
makula dengan reabilitas tinggi.10,11,25,26
Salah satu kekurangan dari OCT adalah area pandang yang terbatas.
Pengambilan area memindai yang lebih besar membuat resolusi gambar lebih
rendah, waktu pemindaian yang lama atau densitas yang lebih rendah. Hal ini dapat
diatasi dengan pengambilan gambar montage multipel 3x3mm atau 6x6mm untuk
mendapatkan area pandang yang lebih lebar. Keterbatasan lainnya yaitu, artifak
proyeksi dari struktur vaskular retina di atanya, kesalahan segmentasi, dan
inkonsistensi khususnya pada setting penyakit. Pengukuran densitas vaskular yang
tepat juga penting untuk mengetahui karakteriktik dari ketebalan RNFL di sekitar
papil. Terdapat variasi interindividual pengukuran ketebalan RNFL pada orang
sehat yang sebagian besar dapat dikompensasi, seperti jenis kelamin, usia, dan etnis,
namun faktor lain seperti ukuran kepala nervus optikus dan panjang aksial tidak
diperhitungkan. Orang dengan densitas vaskular yang tinggi pada area papil, jika
terdapat defek RNFL pada lokasi yang sama akan terlihat seperti normal. Begitu
juga sebaliknya pada orang dengan densitas vaskular yang rendah akan terlihat
seperti patologis. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kompensasi terhadap
pengaruh densitas vaskular retina pada pengukuran ketebalan RNFL.10,27
26
A. B. Gambar 2.9 ZEISS CIRRUS HD-OCT. A. Mesin OCT dengan perangkat lunak
Angioplex. B. Hasil analisis OCTA ONH Zeiss; P (densitas perfusi
kapiler), F (indeks fluks). Dikutip dari : Zeiss29,30
2.1.3.3.1.1 Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) pada
Diabetes Melitus
Optical coherence tomography Angiography memiliki resolusi spasial yang
baik, sehingga dapat menghasilkan gambaran detail kapiler retina yang jelas dan
sering kali dapat dibandingkan dengan histologi. Optical coherence tomography
Angiography dapat mendeteksi perubahan mikrovaskular subklinis pada retinopati
diabetika. Gangguan perfusi kapiler, cotton-wool spots, anomali mikroaneurisma
intraretina dan vaskularisasi pada makulopati diabetika juga dapat terdeteksi pada
OCTA. Pengukuran densitas kapiler pada OCTA juga berkorelasi dengan derajat
klinis retinopati diabetika, sehingga mungkin saja di masa depan derajat retinopati
dapat dinilai secara kuantitatif.10,26
Vujosevic dkk menemukan penurunan densitas vaskular yang signifikan di
daerah peripapiler pasien tanpa retinopati diabetika, sedangkan di daerah makula
penurunan hanya ditemukan setelah ada tanda klinis dari retinopati diabetika. Hal
27
ini mengindikasikan bahwa perubahan mikrovaskular peripapil pada densitas
vaskular terjadi lebih awal dari makula, sebelum munculnya tanda klinis retinopati
diabetika, sehingga perubahan pada kapiler peripapiler radial dapat menjadi tanda
awal preklinis dari penyakit mikrovaskular diabetes. Kerentanan kapiler peripapiler
radial terhadap hiperglikemi kronis dibandingkan dengan daerah makula mungkin
disebabkan oleh karakteristik anatominya. Pleksus peripapiler terdiri dari kapiler
yang panjang dan lurus, dan jarang memiliki anastomosis. Kapiler ini sangat
berhubungan dengan NFL, memberikan nutrisi pada NFL di area ini, sedangkan
pleksus kapiler superfisial di daerah makula memiliki jaringan kapiler yang padat
dengan banyak anastomosis pleksus dibawahnya (pleksus kapiler tengah dan
dalam).16,17
Mase dkk menjelaskan bahwa adanya penurunan dan korelasi densitas kapiler
peripapiler radial pada OCTA dengan ketebalan NFL di daerah peripapiler. Hal ini
meyakinkan adanya koeksistensi kerusakan mikrovaskular dan neuronal awal pada
pasien diabetes melitus tanpa tanda klinis retinopati diabetika. Penelitian Liu dkk
menyebutkan adanya korelasi antara derajat keparahan retinopati diabetika dan
densitas pembuluh darah di peripapiler. Terdapat korelasi positif antara densitas
pembuluh darah dan ketebalan RNFL di seluruh area peripapiler grup retinopati
diabetika ringan, (r = 0.726, P < 0.001), namun tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada grup tanpa retinopati diabetika (r = 0.008, P = 0,973) dan retinopati
diabetika berat (r = 0.281, P = 0.173).7,16,17
28
Gambar 2.10 Sampel representatif densitas pembuluh darah di peripapiler (baris
atas : peta warna, baris bawah : gambar OCTA kapiler peripapiler radial) Dikutip dari : Liu dkk7
2.2 Kerangka Pemikiran
Retinopati diabetika adalah penyebab gangguan visual utama pada pasien
dengan diabetes melitus. Retinopati diabetika secara klasik dianggap sebagai
gangguan mikrovaskular, namun semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa
neurodegenerasi retina telah terjadi sebelum adanya kerusakan mikrovaskular yang
terdeteksi secara klinis. Retinopati diabetika dimulai dengan kerusakan hubungan
antara neuroglial dan vaskular yang menyebabkan stres metabolik akibat dari
hiperglikemi. Gangguan hubungan fungsi antara vaskular dan sel neural
menyebabkan kegagalan vaskular dalam merespon kebutuhan metabolik lokal
jaringan neural. Hilangnya autoregulasi vaskular menyebabkan kekurangan nutrisi
dan oksigen pada retina bagian dalam pada awal diabetes.5,17
Neurodegenerasi retina memiliki peran penting dalam patogenesis retinopati
diabetika. Perubahan neuron, seperti kerusakan pengaturan sinyal neurotransmitter
glutamatergik dan dopaminergik, perubahan bidang dendritik, dan penurunan
kontrol Tanpa DR DR ringan DR berat
29
ekspresi sinaptik protein, terjadi sebagai respon dari diabetes yang tidak terkontrol
secara persisten yang akan berakhir dengan apoptosis. Aktivasi sel mikroglial dan
apoptosis neuronal di retina pada diabetes melitus juga terjadi di area peripapiler
dan dapat didokumentasikan secara klinis dengan penurunan ketebalan RNFL.
Optical coherence tomography adalah teknologi pencitraan non invasif yang dapat
mengukur secara kuantitatif ketebalan RNFL dengan resolusi tinggi.5,6,17,23
Paparan hiperglikemi jangka panjang menyebabkan perubahan biokemikal dan
fisiologis yang menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan kapiler retina seperti
penebalan membran basalis dan hilangnya sel perisit menyebabkan oklusi kapiler
dan non perfusi retina. Perisit memiliki peran dalam autoregulasi pembuluh darah
retina dan secara struktur memberikan penyokong endotelium dan mencegah
proliferasi pembuluh darah. Retinal Nerve Fiber Layer mendapatkan sebagian
nutrisinya dari kapiler peripapiler radial yang berasal dari cabang peripapiler arteri
retina yang berdekatan. Disfungsi mikrovaskular atau gangguan aliran darah pada
daerah ini dapat mempengaruhi RNFL atau fungsi sel ganglion.7–9,15
Perubahan mikrovaskular pada kepala nervus optikus adalah salah satu tanda
penting retinopati diabetika preklinis. Pencitraan jaringan pembuluh darah retina
peripapiler dan kuantifikasi fluks darah dapat memberikan kemudahan dalam
mendiagnosis lebih dini. Optical Coherence Tomography Angiografi dapat
memetakan sirkulasi aliran darah okular sampai tahap kapiler secara non invasif
dengan menggunakan teknik mikroangiografi optik pada sistem Fourier Domain
Optical Coherence Tomography (FD-OCT).11,12
30
Gambar 2.11 Kerangka alur pikir
2.3 Premis
Melalui kerangka pemikiran tersebut maka dapat ditarik premis sebagai berikut :
Premis 1: Gangguan autoregulasi pembuluh darah retina dalam yang terjadi pada
awal diabetes, menyebabkan retina kekurangan nutrisi dan oksigen.5,15,20
Premis 2: Perubahan kapiler retina seperti, penebalan membran basalis dan
hilangnya sel perisit menyebabkan oklusi kapiler dan non perfusi
retina.9,15
Diabetes Melitus
Gangguan
neurovascular coupling
Penurunan
aktifitas sintesis
(protein, lipid,
autofagi,
apoptosis)
kerusakan
metabolisme
polyol
Gangguan fungsi
mitokondria sel
ganglion retina kegagalan vaskular
merespon kebutuhan
metabolik lokal
jaringan neural
Penipisan RNFL peripapil
Apoptosis sel
ganglion retina
Penurunan perfusi
retina peripapiler
Hilangnya autoregulasi
vaskular retina
Penebalan membran
basalis dan hilangnya
sel perisit
Oklusi kapiler
peripapiler radial
Retina kekurangan
nutrisi dan oksigen
Penurunan Perfusi
vaskular
Neurodegenerasi
retina
OCT Peripapil OCTA Peripapil
31
Premis 3: Gangguan aliran darah kapiler peripapiler radial dapat mempengaruhi
RNFL dan fungsi sel ganglion.7,8
Premis 4: Neurodegenerasi retina, seperti apoptosis sel ganglion dan RNFL terjadi
sebelum adanya kerusakan mikrovaskular secara klinis, dan
menyebabkan penipisan lapisan saraf retina tanpa retinopati.6,19,23
Premis 5: Optical Coherence Tomography dapat mendeteksi kerusakan jaringan
saraf retina dengan mengukur ketebalan lapisan saraf retina secara
kuantitatif.23
Premis 6: Optical Coherence Tomography Angiografi dapat mendeteksi perubahan
mikrovaskular sampai tahap kapiler secara non invasif pada kepala
nervus optikus.10–12
2.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan RNFL
peripapiler pada pasien diabetes melitus tanpa retinopati diabetika.
32
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa retinopati diabetika
usia 40 sampai 75 tahun dan pasien sehat yang memenuhi kriteria inklusi serta
bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi lembar persetujuan (informed
consent).
3.1.1 Populasi Penelitian
Populasi target adalah pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa retinopati diabetika
di masyarakat. Populasi terjangkau adalah pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa
retinopati diabetika, di wilayah kota Bandung, yang ditentukan berdasarkan
sampling konsekutif selama periode penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi serta bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi lembar persetujuan
(informed consent).
3.1.2 Cara Pemilihan Sampel
Pemilihan sampel dilakukan secara konsekutif, pasien diabetes melitus tipe 2
tanpa retinopati diabetika dan pasien sehat tanpa DM sebagai kontrol yang bersedia
mengikuti penelitian dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
33
3.1.3 Kriteria Inklusi
1. Pasien DM tipe 2 tanpa retinopati diabetika yang berusia 40 sampai 75 tahun
2. Pasien sehat tanpa DM dengan karakteristik yang dicocokkan
3.1.4 Kriteria Eksklusi
1. Riwayat trauma okuli
2. Riwayat operasi okuli
3. Riwayat kelainan nervus optikus dan kelainan mata yang dapat mempengaruhi
perfusi okular seperti, neuropati optik, atrofi nervus optikus, glaukoma, oklusi
vena atau arteri retina
4. Pasien dengan kelainan refraksi ≥ -6 dioptri atau miopia gravior
3.1.5 Penentuan Ukuran Sampel
Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan tujuan penelitian,
yaitu untuk membuktikan apakah terdapat hubungan antara perfusi retina
peripapiler dengan ketebalan RNFL peripapil pada pasien DM tanpa retinopati
diabetika dibandingkan dengan kontrol. Ukuran sampel untuk perbandingan
analitik kategorik numerik tidak berpasangan. Penentuan besar sampel dilakukan
berdasarkan perhitungan statistik dengan menetapkan taraf kepercayaan 95% dan
kekuatan uji (power test) 95%, maka rumus untuk menghitung sampel minimal
yang digunakan adalah:
34
𝑛 = 2( 𝑆2(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)
2
𝑑2)
Keterangan:
n = Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Zα = Derajat kepercayaan yaitu 95%
Zβ = Kekuatan uji yaitu 95%
S = simpangan baku gabungan
Penelitian ini dipilih taraf signifikansi α = 5% hipotesis satu arah maka (Zα =
1,64); 1-β = 95% (Zβ = 1,64). Besarnya S ditentukan berdasarkan rumus Deming
rule, S = 0,24 x rentang = 1,2; dan besarnya d ditentukan 1. Berdasarkan
perhitungan di atas, maka diperlukan ukuran sampel untuk masing-masing
kelompok sebanyak 32 sampel untuk masing-masing kelompok. Berdasarkan
pendapat Gay n Diehl (1992), maka sampel penelitian ini minimal adalah 30 mata
atau 15 orang per kelompok agar terpenuhi untuk ukuran sampel korelasi maupun
perbandingan.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan potong-
lintang / cross-sectional, untuk mengetahui gambaran perfusi retina peripapil
menggunakan pemeriksaan OCTA, gambaran ketebalan RNFL peripapil
menggunakan pemeriksaan OCT, dan melihat hubungan antara keduanya pada
35
pasien DM tanpa retinopati diabetika dan kontrol. Subjek di dalam penelitian ini
dibagi menjadi dua kelompok dengan rincian :
1. Kelompok A : Pasien sehat tanpa DM dengan karakteristik yang
dicocokkan.
2. Kelompok B : Pasien DM tipe 2 tanpa retinopati diabetika.
Seluruh sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan
dimasukkan sebagai subjek penelitian. Metode cross-sectional atau potong lintang
adalah untuk mengukur variabel independen dan dependen pada waktu bersamaan.
Jenis penelitian ini berusaha mempelajari dinamika hubungan antara faktor-faktor
risiko dengan dampak atau efeknya. Faktor risiko dan dampak atau efeknya
diobservasi pada saat yang sama, artinya setiap subyek penelitian diobservasi hanya
satu kali saja dan faktor risiko serta dampak diukur menurut keadaan atau status
pada saat observasi. Penelitian ini merupakan penelitian kausal atau sebab akibat,
yaitu penelitian yang diadakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel,
variabel yang satu menyebabkan atau menentukan nilai variabel yang lain.
3.2.2 Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tanpa
retinopati diabetika, sedangkan variabel tergantung adalah perfusi retina peripapil
(yang diukur menggunakan OCTA) dan ketebalan RNFL peripapil (yang diukur
menggunakan OCT).
36
3.2.3 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil ukur Skala Diabetes Melitus Penyakit didiagnosis
oleh dokter berdasarkan
kriteria American
Diabetes Association,
yaitu gejala klasik
diabetes (poliuria,
polidipsia, dan
penurunan berat badan)
dengan gula darah
sewaktu ≥200 mg/dl,
atau gula darah puasa ≥
126mg/dl, atau gula
darah 2 jam PP (post
pandrial) ≥ 200mg/dl.
Glukometer mg/dl Numerik
Ketebalan RNFL
peripapil
Pengukuran dilakukan
secara global (ketebalan
rata-rata) dan segmental
(kuadran superior,
inferior, nasal, dan
temporal) menggunakan
optic disc cube 200x200
scan dengan hasil
kekuatan sinyal minimal
6/10
OCT µm Numerik
Perfusi retina
peripapil
Pembuluh darah
peripapiler yang
dianalisis adalah kapiler
peripapiler radial yang
diukur menggunakan
scan kepala nervus
optikus 4,5x4,5mm
dengan parameter
densitas perfusi kapiler
(P) dan indeks fluks (F)
dengan hasil kekuatan
sinyal minimal 6/10.
OCT
Angiografi
P : %
F : 0-1
Numerik
Densitas Perfusi
kapiler
persentasi area yang
memiliki pembuluh
darah yang terperfusi
OCT
Angiografi
Persentasi (%) Numerik
Indeks Fluks Perfusi kapiler yang
diukur dengan kecerahan
(intensitas) sinyal aliran
OCT
Angiografi
0-1 Numerik
37
3.2.4 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.4.1 Tata Cara Kerja
1. Peneliti menghubungi penanggungjawab program prolanis di puskesmas-
puskesmas yang berada di wilayah Kota Bandung untuk dilakukan skrining
retinopati diabetika. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diberikan
penjelasan secara lisan mengenai prosedur pemeriksaan serta kegunaan
penelitian. Jika pasien dan keluarga setuju dan bersedia untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini maka akan diberikan lembar surat persetujuan (informed
consent) untuk ditandatangani. Pasien yang telah menandatangani lembar surat
persetujuan akan diminta untuk datang ke RS Mata Cicendo sesuai jadwal yang
telah disepakati untuk dilakukan pemeriksaan mata lanjutan. Jika pasien berada
di RS Mata Cicendo, maka skrining dilakukan di poliklinik yang mereka
datangi.
2. Dilakukan pencatatan data umum pasien meliputi nomor rekam medis, nama,
usia, dan jenis kelamin.
3. Dilakukan pemeriksaan oftalmologi lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan
tajam penglihatan, tekanan bola mata, segmen anterior dengan lampu celah
biomikroskop dan segmen posterior dengan funduskopi indirek.
4. Pasien sehat yang tidak memiliki riwayat DM akan dilakukan skrining DM
dengan pemeriksaan gula darah.
5. Dilakukan foto fundus yang kemudian akan dibaca oleh konsulen vitreoretina.
6. Dilakukan pemeriksaan ketebalan RNFL peripapil menggunakan OCT, hasil
OCT dengan kekuatan sinyal ≤ 5/10 akan dieksklusi.
38
7. Dilakukan pemeriksaan perfusi retina peripapil menggunakan OCTA, hasil
OCTA dengan kekuatan sinyal ≤ 5/10 akan dieksklusi
8. Pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung akan diperhitungkan sebagai
faktor confounding.
3.2.4.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian:
1. Kamera fundus portabel (Smartscope M5 Optomed)
2. Non kontak tonometri
3. Lampu celah
4. Funduskopi Indirek
5. High-Definition OCT (carl zeiss CIRRUS HD OCT)
6. Perangkat lunak AngioPlex (Optical Coherence Tomography Angiography)
(carl zeiss CIRRUS OCT Angiography)
7. Obat tetes midriatikum (fenilefrin 10%)
3.2.4.3 Prosedur Pemeriksaan OCT
1. Pemeriksaan OCT dimulai dengan membersihkan sandaran dagu dan dahi pada
mesin dengan menggunakan alkohol.
2. Sesuaikan tinggi meja agar pasien dapat duduk dengan nyaman.
3. Pilih jenis scan yang akan kita lakukan pada mesin OCT, optic disc cube
200x200. Atur kepala pasien, minta pasien untuk meletakan dagu pada sandaran
39
dagu yang telah selesai bergerak dengan sempurna, kemudian posisikan radar
merah di tengah pupil.
4. Pemeriksaan dilakukan satu persatu pada masing-masing mata. Minta pasien
untuk memfokuskan pandangan pada target fiksasi di mesin, informasikan
kepada pasien agar dapat berkedip dengan normal selama proses penyesuaian
alignment oleh mesin OCT, dan instruksikan untuk membuka mata dengan lebar
selama proses pengambilan scan berlangsung.
5. Informasikan kepada pasien agar dapat mengangkat wajah dari sandaran dahi
dan dagu apabila hasil scan yang sesuai telah berhasil didapatkan.
3.2.4.4 Prosedur Pemeriksaan OCT Angiografi
1. Pemeriksaan OCTA dimulai dengan membersihkan sandaran dagu dan dahi pada
mesin dengan menggunakan alkohol.
2. Sesuaikan tinggi meja agar pasien dapat duduk dengan nyaman.
3. Pilih jenis scan Angiografi yang akan kita lakukan pada mesin OCT, ONH
Angiografi 4,5x4,5mm. Atur kepala pasien, minta pasien untuk meletakan dagu
pada sandaran dagu yang telah selesai bergerak dengan sempurna, kemudian
posisikan radar merah di tengah pupil.
4. Pemeriksaan dilakukan satu persatu pada masing-masing mata. Minta pasien
untuk memfokuskan pandangan pada target fiksasi di mesin, informasikan
kepada pasien agar dapat berkedip dengan normal selama proses penyesuaian
alignment oleh mesin OCT, dan instruksikan untuk membuka mata dengan lebar
selama proses pengambilan scan berlangsung.
40
5. Informasikan kepada pasien agar dapat mengangkat wajah dari sandaran dahi
dan dagu apabila hasil scan yang sesuai telah berhasil didapatkan.
3.2.5 Pengolahan dan Analisa Data
Data yang sudah terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data
menjadi informasi. Langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:
1) Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan
2) Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan.
3) Data entry yaitu memasukkan data, yakni hasil pemeriksaan dan
pengukuran subjek penelitian yang telah di-coding, dimasukan ke dalam
program komputer.
4) Cleaning, yaitu apabila semua data dari responden telah selesai dimasukkan,
maka perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya,
kemudian dilakukan koreksi.
Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk mendiskripsikan variabel-
variabel dependen dan independen sehingga dapat membantu analisis selanjutnya
secara lebih mendalam. Analisis secara deskriptif ini juga digunakan untuk
mengetahui karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel penelitian.
Analisis data untuk melihat gambaran proporsi masing - masing variabel yang akan
disajikan secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif dan uji
hipotesis. Data yang berskala numerik seperti umur sampel dipresentasikan dengan
41
rerata, standar deviasi, median dan Rentang. Data karakteristik sampel berupa data
kategorik seperti jenis kelamin diberikan koding dan dipresentasikan sebagai
distribusi frekuensi dan persentase.
Analisis yang dilakukan harus sesuai dengan jenis masalah penelitian dan data
yang digunakan. Sebelum dilakukan uji statistika, data numerik tersebut dinilai
dengan uji normalitas dengan menggunakan Shapiro-Wilk test. Apabila data
kurang dari 50, alternatifnya adalah Kolmogorov Smirnov apabila data lebih dari
50, dimana uji ini digunakan untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau
berdistribusi tidak normal. Selanjutnya analisis statistik dilakukan sesuai tujuan
penelitian dan hipotesis. Uji kemaknaan untuk membandingkan karakteristik dua
kelompok penelitian digunakan uji t tidak berpasangan jika data berdistribusi
normal dan uji Mann Whitney sebagai alternatifnya jika data tidak berdistribusi
normal. Uji kemaknaan untuk membandingkan karakteristik lebih dari dua
kelompok penelitian digunakan uji ANOVA jika data berdistribusi normal dan
varians homogen dan uji Krusskall Wallis sebagai alternatifnya jika data tidak
berdistribusi normal. Analisis statistik untuk data kategorik diuji dengan uji chi-
square, apabila syarat Chi-Square tidak terpenuhi maka digunakan uji Exact Fisher
untuk tabel 2 x 2 dan Kolmogorov Smirnov untuk tabel selain 2 x 2. Syarat Chi
Square adalah tidak ada nilai expected value yang kurang dari 5 sebanyak 20% dari
tabel.
Selanjutnya dilakukan uji statistik yang bertujuan mengetahui korelasi antara
data numerik dengan numerik, data yang mengikuti distribusi normal maka
digunakan uji statistika korelasi Pearson Test, sedangkan untuk data yang tidak
42
normal menggunakan Spearman. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan
kekuatan korelasi, arah korelasi, dan nilai p. Kekuatan korelasi (r) berdasarkan
kriteria Guillford (1956) yaitu : 0,0 -<0,2 = sangat lemah; 0,2 - <0,4 = lemah; 0,4 -
<0,7 = sedang; 0,7 - <0,9 = kuat; 0,9 -1,0 = sangat kuat. Arah korelasi positif searah
berarti semakin besar nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya.
Arah korelasi negatif berlawanan arah berarti semakin besar nilai satu variabel,
semakin kecil nilai variabel lainnya. Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan
adalah nilai p, apabila p≤0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistika,
dan p>0,05 tidak signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Nilai p<0,05;
terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Nilai p>0,05; tidak
terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Data yang
diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah melalui program SPSS
versi 24.0 for Windows.
3.2.6 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2020, setelah
mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Universitas
Padjadjaran Bandung. Penelitian dilakukan di Puskesmas wilayah kota
Bandung dan Rumah Sakit Pusat Mata Nasional Cicendo, Bandung.
3.3 Implikasi / Aspek Etik Penelitian
Penelitian ini tidak menimbulkan efek samping yang membahayakan. Prosedur
tindakan akan dijelaskan kepada seluruh subjek penelitian sebelum diikutsertakan
43
di dalam penelitian ini. Penelitian ini berpedoman pada tiga prinsip dasar dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)
a. Pasien mempunyai hak untuk bertanya dan berkonsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan penelitian.
b. Keikutsertaan di dalam penelitian dilakukan secara sukarela dan sadar. Pasien
dapat mempergunakan haknya untuk menghentikan keikutsertaan di dalam
penelitian tanpa paksaan.
2. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficience and non maleficience)
a. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
gambaran perfusi retina peripapil dan melihat hubungannya dengan ketebalan
RNFL peripapil untuk mendeteksi tanda awal prediktor munculnya retinopati
diabetika
b. Rasa tidak nyaman mungkin timbul saat dilakukan pemeriksaan dengan pupil
lebar dan pemeriksaan gula darah, namun tidak membahayakan pasien.
3. Prinsip Keadilan (justice)
Seluruh subjek pada penelitian ini diperlakukan secara seragam dengan
menggunakan cara dan alat pengukuran yang sama, terstandar, oleh pemeriksa
yang sama.
44
3.4 Alur Penelitian
Gambar 3.1 Bagan alur penelitian
Anamnesis, pemeriksaan visus, tekanan intraokular, segmen
anterior bola mata
Pemeriksaan segmen posterior bola mata dan foto fundus
Pemeriksaan OCTA
Pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi dan tidak
termasuk dalam kriteria eksklusi dilakukan informed
consent dan pencatatan data
Analisis data
Pemeriksaan OCT
Pasien Sehat di RS
Mata Cicendo
Pasien DM di puskesmas dan
RS Mata Cicendo
Skrining retinopati diabetika Skrining DM
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perfusi retina
peripapiler dan ketebalan RNFL peripapiler pada pasien DM tanpa retinopati
diabetika yang dilakukan pada bulan Februari sampai April 2020 di wilayah kota
Bandung. Total subjek pada penelitian ini adalah 41 orang (79 mata) yang terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok A (pasien sehat dengan karakteristik yang
dicocokkan) 19 orang (37 mata) dan kelompok B (pasien DM tipe 2 tanpa retinopati
diabetika) 22 orang (42 mata).
4.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang disajikan meliputi karakteristik subjek penelitian, analisis
perbandingan gambaran ketebalan RNFL peripapil dan perfusi retina peripapil
pasien DM tanpa retinopati diabetika dengan kontrol, analisis hubungan dan
korelasi perfusi retina peripapil dengan ketebalan RNFL peripapil pada pasien DM
tanpa retinopati diabetika. Karakteristik subjek meliputi usia, jenis kelamin, tekanan
darah, tekanan intraokular, dan durasi DM, HbA1C untuk kelompok B.
46
Tabel 4.1 Gambaran dan Perbandingan Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel Kelompok
Nilai p A (kontrol) N=19 B (DM) N=22
Usia 0.387˟
Rerata±Std 51.32±5.518 52.77±5.136
Jenis Kelamin 0.322^
Laki-laki 7 (36.8%) 5 (22.7%)
Perempuan 12 (63.2%) 17 (77.3%)
Tekanan darah
sistolik
0.087*
Rerata±Std 121.58±10.145 125.68±9.549
Tekanan darah
diastolik
0.597*
Rerata±Std 79.47±6.213 80.45±5.755
Durasi DM (Tahun) -
Rerata±Std - 4.56±3.261
HbA1C
Rerata±Std
-
8.83±1.748 -
TIO (N=79) N=37 N=42 0.309˟
Rerata±Std 15.54±2.785 16.26±2.660 Keterangan : ˟ uji t tidak berpasangan,* uji Mann Whitney, ^ uji Chi Square. Nilai p<0,05 artinya signifikan atau
bermakna secara statistik.
Tabel 4.1 menyajikan karakteristik subjek masing-masing kelompok. Hasil analisis
statistika menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada karakteristik
subjek antara kelompok A dan kelompok B (nilai p>0.05), sehingga dapat
dilakukan perbandingan antara kedua kelompok.
Tabel 4.2 Gambaran dan Perbandingan Densitas Perfusi Retina Peripapil
Perfusi Retina
Peripapil (%)
Kelompok Nilai p
A (kontrol) N=37 B (DM) N=42
Kuadran Superior 0.200*
Median 43.10 42.80
Rentang (min-maks) 39.10-47.70 29.80-51.10
Kuadran Nasal 0.653˟
Rerata±Std 42.44±1.908 42.18±2.999
Kuadran Inferior 0.003*
Median 44.30 43.05
Rentang (min-maks) 41.30-48.50 31.00-52.60
Kuadran Temporal 0.513˟
Rerata±Std 46.65±1.807 46.34±2.299
Perfusi Total 0.232*
Median 44.30 44.10
Rentang (min-maks) 42.00-46.70 36.30-48.20 Keterangan : ˟ uji t tidak berpasangan,* uji Mann Whitney. Nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna
secara statistik.
47
Tabel 4.2 menyajikan gambaran dan perbandingan densitas perfusi retina peripapil.
Hasil analisis statistika menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kudran superior, nasal, temporal, dan total (nilai p>0.05), namun terdapat
perbedaan yang signifikan pada kuadran inferior (nilai p<0.05).
Tabel 4.3 Gambaran dan Perbandingan Indeks Fluks Retina Peripapil
Indeks Fluks (0-1) Kelompok
Nilai p A (kontrol) N=37 B (DM) N=42
Kuadran Superior 0.0001˟
Rerata±Std 0.41±0.017 0.38±0.033
Kuadran Nasal 0.0001˟
Rerata±Std 0.40±0.026 0.37±0.040
Kuadran Inferior 0.0001˟
Rerata±Std 0.42±0.016 0.39±0.033
Kuadran Temporal 0.0001*
Median 0.45 0.39
Rentang (min-maks) 0.37-0.48 0.31-0.49
Indeks Fluks Total 0.0001*
Median 0.43 0.38
Rentang (min-maks) 0.37-0.45 0.32-0.46 Keterangan : ˟ uji t tidak berpasangan,* uji Mann Whitney. Nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna
secara statistik.
Tabel 4.3 menyajikan gambaran dan perbandingan indeks fluks retina peripapil.
Hasil analisis statistika menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada
seluruh kuadran dan secara total (nilai p<0.05).
Tabel 4.4 Gambaran dan Perbandingan Ketebalan RNFL Peripapil
Ketebalan RNFL
(µm)
Kelompok Nilai p
A (kontrol) N=37 B (DM) N=42
Kuadran Superior 0.606*
Median 123.00 127.00
Rentang (min-maks) 91.00-153.00 53.00-165.00
Kuadran Nasal 0.922˟
Rerata±Std 72.08±10.782 71.86±9.455
Kuadran Inferior 0.244*
Median 130.00 127.00
Rentang (min-maks) 103.00-161.00 59.00-165.00
Kuadran Temporal 0.012˟
Rerata±Std 67.41±5.833 72.26±10.407
RNFL Total 0.479*
Median 98.00 100.00
Rentang (min-maks) 81.00-118.00 58.00-128.00 Keterangan : ˟ uji t tidak berpasangan,* uji Mann Whitney. Nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna
secara statistik.
48
Tabel 4.4 menyajikan gambaran dan perbandingan ketebalan RNFL peripapil. Hasil
analisis statistika menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kudran superior, nasal, inferior, dan total (nilai p>0.05), namun terdapat perbedaan
yang signifikan pada kuadran temporal (nilai p<0.05).
Tabel 4.5 Hubungan dan Korelasi Densitas Perfusi Retina Peripapil dengan
Ketebalan RNFL Peripapil pada DM tanpa retinopati diabetika
Variabel Korelasi R Nilai p
Kuadran Superior Spearman 0.436 0.004
Kuadran Nasal Pearson 0.245 0.118
Kuadran Inferior Spearman 0.608 0.000
Kuadran Temporal Pearson 0.169 0.285
Total Spearman 0.480 0.001 Keterangan: Nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik.
Grafik 4.1 Grafik linier korelasi densitas perfusi total dengan ketebalan RNFL total.
Tabel 4.5 menyajikan hubungan dan korelasi densitas perfusi retina peripapil
dengan ketebalan RNFL peripapil pada DM tanpa retinopati diabetika. Hasil analisis
statistika menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada kuadran nasal dan
temporal (p>0.05), namun terdapat korelasi positif yang signifikan dengan
kekuatan korelasi moderat (≥0.40 - <0.70) pada kuadran superior, inferior, dan
0
20
40
60
80
100
120
140
0 10 20 30 40 50 60
Ke
teb
alan
RN
FL T
ota
l
Densitas Perfusi Total
RNFL Total Thickness Linear (RNFL Total Thickness)
r=0.480p=0.001
Ketebalan RNFL Total Linear (ketebalan RNFL total)
49
secara total (p<0.05). Grafik 4.1 menggambarkan korelasi densitas perfusi secara
total dengan ketebalan RNFL secara total.
Tabel 4.6 Hubungan dan Korelasi Indeks Fluks Retina Peripapil dengan Ketebalan
RNFL Peripapil pada DM Tanpa Retinopati Diabetika
Variabel Korelasi R Nilai p
Kuadran Superior Spearman 0.630 0.000
Kuadran Nasal Pearson 0.254 0.105
Kuadran Inferior Spearman 0.519 0.000
Kuadran Temporal Pearson -0.294 0.059
Total Spearman 0.517 0.000 Keterangan: Nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik.
Grafik 4.2 Grafik linier korelasi indeks fluks total dengan ketebalan RNFL total.
Tabel 4.6 menyajikan hubungan dan korelasi indeks fluks retina peripapil dengan
ketebalan RNFL peripapil pada DM tanpa retinopati diabetika. Hasil analisis statistika
menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada kuadran nasal dan temporal
(p>0.05), namun terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan korelasi
moderat (≥0.40 - <0.70) pada kuadran superior, inferior, dan secara total (p<0.05).
Korelasi negatif dengan kekuatan lemah (0,2 - <0,4) ditemukan pada kuadran
0
20
40
60
80
100
120
140
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
Ke
teb
alan
RN
FL T
ota
l
Indeks Fluks Total
RNFL Total Thickness Linear (RNFL Total Thickness)
r=0.517p<0.0001
Ketebalan RNFL Total Linear (ketebalan RNFL total)
50
temporal, walaupun tidak signifikan secara statistik (p>0.05). Grafik 4.2
menggambarkan korelasi indeks fluks secara total dengan ketebalan RNFL secara
total.
4.2 Uji Hipotesis
Hipotesis :
Terdapat hubungan antara perfusi retina peripapiler dan ketebalan RNFL
peripapiler pada pasien diabetes melitus tanpa retinopati diabetika.
Hasil yang mendukung :
Hasil analisis statistika uji korelasi Spearman antara densitas perfusi retina
peripapil dan ketebalan RNFL peripapil pada kuadran superior, inferior dan secara total
menunjukkan korelasi positif yang signifikan atau bermakna secara statistik
(p<0.05) dengan kekuatan moderat (≥0.40 - <0.70). Hasil analisis statistika uji
korelasi Spearman antara indeks fluks retina peripapil dan ketebalan RNFL peripapil
pada kuadran superior, inferior dan secara total menunjukkan korelasi positif yang
signifikan atau bermakna secara statistik (p<0.05) dengan kekuatan moderat (≥0.40
- <0.70). Dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif moderat antara perfusi
retina peripapiler (baik densitas maupun indeks fluks) dan ketebalan RNFL
peripapiler pada pasien diabetes melitus tanpa retinopati diabetika. Hal ini memiliki
makna bahwa apabila perfusi retina peripapiler turun maka ketebalan RNFL
peripapiler juga ikut menurun pada kuadran superior, inferior dan secara total, begitu
juga sebaliknya.
Kesimpulan : Hipotesis penelitian dapat diterima
51
4.3 Pembahasan
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang kompleks yang mempengaruhi
sistem mikrovaskular, termasuk mata. Retinopati diabetika adalah penyebab
kebutaan utama pada pasien diabetes melitus (DM) dan merupakan penyebab
gangguan penglihatan utama pada dewasa usia kerja. Indonesia memiliki rentang
spesifik untuk usia produktif, yaitu 18 sampai 55 tahun. Prevalensi DM meningkat
dengan usia, hal ini berkaitan dengan penurunan fungsi pankreas dengan
bertambahnya usia. Diabetes Melitus tipe 2 (adults-onset) atau noninsulin-
dependent, dikarakteristikkan dengan resisten insulin disertai dengan defisiensi
insulin atau gangguan sekresi insulin.1,32,33
Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, penderita DM terbesar pada rentang usia 55-
64 tahun (6.3%), 65-74 tahun (6.03%), kemudian usia 45-54 tahun (3.9%) dengan
jenis kelamin lebih banyak pada perempuan (1.8%) daripada laki-laki (1.2%).
Penderita DM lebih banyak tinggal di perkotaan (1.9%) dibandingkan di perdesaan
(1.0%). Mihardja dkk menyatakan di Urban Indonesia (2007) terdapat 4.6%
populasi memiliki DM, 10.4% berusia 45-55 tahun 5% berusia 35-44 tahun.
Prevalensi DM meningkat dengan usia dan lebih tinggi pada grup sosioekonomi
yang tinggi. Diabetes melitus mengenai wanita 1.6 kali (CI 95% 1.4-1.7) lebih
banyak dari laki-laki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana pasien DM
tanpa retinopati diabetika memiliki rata-rata usia 52.77±5.136 tahun (rentang usia
41 – 64 tahun) dan mengenai wanita lebih banyak, yaitu 17 orang (77.3%). 3,32
Tidak ada perbedaan yang signifikan untuk tekanan darah dan TIO di antara
kedua kelompok, hal ini agar hasil tidak dipengaruhi oleh resistensi pembuluh darah
52
yang dapat terjadi karena tekanan darah atau TIO. Autoregulasi resistensi vaskular
arteriol dan kapiler berfungsi untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah, gas
darah, dan TIO. Arteriol juga bertanggung jawab dalam meregulasi aliran darah
sebagai respon dari aktifitas neural, arteriol retina berdilatasi untuk meningkatkan
aktifitas neuronal secara lokal agar neuron yang bekerja mendapatkan asupan darah
yang cukup. Rata-rata HbA1c pada penelitian ini adalah 8.83±1.748, yang
menandakan bahwa glikemia masih belum terkontrol dengan baik. Chihara dkk
mengatakan bahwa faktor resiko terjadinya penipisan NFL yaitu, tekanan darah
sistolik yang tinggi dan usia, bukan level HbA1c. HbA1c hanya dapat
menggambarkan nilai glikemia dalam 3 bulan terakhir dan tidak dapat
memperlihatkan fluktuasi glikemia, maka HbA1c bukan parameter yang sempurna
untuk menentukan kontrol metabolik yang baik.34,35
Neurovascular coupling (hubungan antara vaskular dan neuronal) peripapiler
dapat memperlihatkan perubahan awal dalam progresifitas penyakit vaskular.
Akson dari seluruh ganglion sel berjalan melalui RNFL dan berkonvergen menuju
diskus optikus. Disfungsi mikrovaskular pada area ini dapat mempengaruhi fungsi
RNFL atau sel ganglion. Penurunan densitas vaskular dapat menggambarkan
gangguan mikrovaskular. Hasil penelitian ini terdapat penurunan indeks fluks
secara total dan seluruh kuadran (superior, inferior, nasal, temporal) (p=0.0001),
namun hanya kuadran inferior (p=0.003) yang memiliki penurunan densitas perfusi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Liu dkk dimana tidak ada perbedaan
densitas perfusi peripapiler yang signifikan pada grup kontrol dengan grup DM
tanpa retinopati diabetika. Penelitian Li dkk menyatakan hanya terdapat dua
53
peripapiler kudran (inferonasal dan temporosuperior) yang memiliki penurunan
densitas vaskular nervus optikus antara DM tanpa retinopati diabetika dibandingkan
dengan normal. Penelitian Vujosevic dkk menyatakan tidak terdapat perbedaan
densitas perfusi (area total yang terisi oleh pembuluh darah) antara grup kontrol,
DM tanpa retinopati diabetika, dan retinopati diabetika ringan, namun terdapat
perbedaan untuk densitas vaskular (pembuluh darah kapiler saja, tidak termasuk
pembuluh darah besar). Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Shin
dkk dimana terdapat penurunan densitas vaskular pada kelompok DM tanpa
retinopati dibandingkan dengan kontrol. Begitu juga dengan penelitian Rodrigues
dkk dan Cao dkk yang mengatakan terdapat perbedaan yang signifikan antara grup
kontrol dengan grup DM tanpa retinopati diabetika. Perbedaan hasil mungkin
disebabkan oleh perbedaan durasi DM, yaitu 6.2±6.4 pada penelitian shin dkk,
16.37 ± 8.41 pada penelitian Rodrigues dkk dan 8.7±5.2 pada penelitian Cao dkk.
Menurut penelitian Cao dkk, densitas akson yang lebih padat pada daerah superior
dan inferior membuat kuadran superior dan inferior menjadi lebih rentan terhadap
iskemia. Penurunan densitas perfusi kuadran inferior pada penelitian ini mungkin
disebabkan oleh kepadatan axon yang lebih tinggi pada kuadran inferior sehingga
lebih rentan terhadap iskemia.9,18,20,22,33,36,37
Penurunan aliran darah pada pasien diabetes terjadi karena adanya perubahan
struktur kapiler termasuk penebalan membran basalis, apoptosis perisit, dan
disfungsi endotelium yang dapat menurunkan aliran darah dan menyumbat kapiler.
Sel endotel pembuluh darah retina mengalami kerusakan dalam melepaskan
endothelial nitric oxide synthase yang mempengaruhi autoregulasi pembuluh darah
54
retina. Terjadi juga peningkatan viskositas plasma, agregasi platelet, dan penurunan
deformabilitas sel darah merah yang menyebabkan gangguan perfusi retina dan
kepala nervus optikus.9,20,33,34
Lott dkk mengatakan bahwa pasien dengan DM tipe 2 mengalami gangguan
respon vasodilatasi dan vasokonstriksi, hal ini mungkin disebabkan oleh nitric
oxide (faktor vasoregulator) yang terganggu pada diabetes. Vasodilatasi flicker-
induced terganggu dan vasokonstriksi hyperoxia-induced terjadi. Untuk
mempertahankan level oksigen yang konstan, kecepatan aliran darah menurun
dengan meningkatkan tekanan parsial oksigen arteri (hiperoksia). Huang dkk
mengatakan bahwa terdapat persentasi penurunan yang lebih besar pada indeks
flow/fluks dibandingkan dengan densitas vaskular setelah terjadi hiperoksia.
Variasi populasi lebih kecil pada indeks flow/fluks dibandingkan dengan densitas
vaskular, maka indeks flow/fluks lebih sensitif dalam mendeteksi respon hiperoksia.
Pada penelitian ini indeks fluks menurun pada seluruh kuadran, namun densitas
perfusi hanya menurun pada kuadran inferior. Hal ini menandakan bahwa gangguan
perfusi pada pasien DM tanpa retinopati diabetika masih pada tahap awal.21,28,34,38,39
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk ketebalan
RNFL secara total pada pasien DM tanpa retinopati diabetika setelah dibandingkan
dengan kontrol, namun terdapat penebalan yang signifikan pada kuadran temporal
(p=0.012). Penurunan ketebalan RNFL pada kuadran inferior juga ditemukan,
namun tidak signifikan secara statistik (p=0.244). Hasil penelitian ini sesuai dengan
Li dkk dimana tidak terdapat perbedaan ketebalan RNFL atau GCL peripapil antara
kelompok DM tanpa retinopati diabetika dengan kontrol. Berbeda dengan
55
penelitian Liu dkk dan Mehboob dkk dimana terdapat penipisan RNFL pada grup
DM tanpa retinopati diabetika dibandingkan dengan kontrol. Tidak terdapatnya
penipisan RNFL yang signifikan dan penebalan RNFL kuadran temporal pada
penelitian ini mungkin disebabkan oleh pembengkakan sel glial yang merupakan
bagian dari proses neuroinflamasi yang terjadi diawal diabetes, maka penipisan
RNFL atau GCL belum terjadi dikarenakan terjadinya pembengkakan sel neural.
Sel Muller, yang sangat rentan terhadap hiperglikemia, juga dapat mengalami
hipertrofi akibat dari inflamasi (gliosis) yang dapat mempengaruhi ketebalan
lapisan saraf retina. Penebalan RNFL juga dapat disebabkan oleh kerusakan blood-
retinal-barrier bagian dalam yang menyebabkan edema.9,35,37,40,42
Hasil penelitian ini didapatkan korelasi positif dengan kekuatan moderat antara
densitas perfusi peripapil dan ketebalan RNFL peripapil secara total, kuadran
superior dan inferior. Korelasi positif dengan kekuatan moderat juga ditemukan
antara indeks fluks peripapil dan ketebalan RNFL peripapil secara total, kuadran
superior dan inferior. Hal ini menandakan bahwa pada pasien DM tanpa retinopati
diabetika, densitas perfusi dan indeks fluks kapiler peripapiler radial menurun
dengan ketebalan RNFL, dan begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Shin dkk, dimana terdapat korelasi densitas perfusi dan densitas
vaskular dengan rata-rata ketebalan GCL dan RNFL pada kelompok DM tanpa
retinopati dan NPDR. Berbeda dengan penelitian Liu dkk terdapat korelasi positif
yang signifikan antara densitas vaskular dan ketebalan RNFL pada grup NPDR
ringan, namun tidak ada hubungan yang signifikan pada grup tanpa retinopati
diabetika. Hal ini mungkin disebabkan oleh durasi DM tanpa retinopati pada
56
penelitian Liu dkk lebih pendek, yaitu 3 tahun (1-8). Penelitian Takayama dkk yang
dilakukan pada orang sehat mengatakan bahwa terdapat korelasi antara ketebalan
RNFL dan densitas vaskular. Hasil ini menunjukkan bahwa kapiler peripapiler
radial bertanggung jawab memberikan nutrisi pada RNFL peripapil. Mase dkk
menjelaskan bahwa pada orang sehat, kapiler peripapiler radial merupakan struktur
yang paling penting dalam mempertahankan integritas NFL. Kombinasi kebutuhan
metabolik yang tinggi dan suplai vaskular yang rendah akibat dari diabetes dapat
menurunkan kemampuan neural lapisan retina dalam beradaptasi terhadap stres
metabolik.9,19,20,33,35
Pada penelitian ini terdapat korelasi negatif dengan kekuatan lemah (0,2 - <0,4)
indeks fluks retina peripapil dengan ketebalan RNFL peripapil pada kuadran temporal
yang tidak signifikan secara statistik (p=0.059). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh
kuadran temporal yang memiliki densitas perfusi kapiler dan indeks fluks yang
paling tinggi dibandingkan dengan kuadran lain, pada pemeriksaan OCTA
kelompok DM tanpa retinopati diabetika maupun kontrol, sehingga apabila terdapat
kerusakan blood-retinal-barrier bagian dalam pada kuadran temporal dapat
menyebabkan edema yang lebih besar dibandingkan dengan kuadran lain. Hafner
dkk juga menemukan fluks peripapiler yang paling tinggi pada kuadran
superotemporal, kemudian diikuti dengan inferotemporal. Pada penelitian Mase
dkk, densitas kapiler radial peripapiler lebih tinggi secara signifikan pada kuadran
superotemporal dan inferotemporal dibandingkan dengan kuadran lain.9,19,42,43
Ketepatan pengukuran densitas vaskular sangatlah penting untuk memahami
karakteristik ketebalan RNFL peripapiler. Defek pada kuadran RNFL tertentu dapat
57
terlihat normal pada subjek dengan densitas vaskular retina yang tinggi pada area
tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kompensasi pengaruh densitas
vaskular pada pengukuran ketebalan RNFL. Takayama dkk menjelaskan bahwa
ketebalan RNFL berkorelasi positif dengan lebar gelondong serabut saraf, RNFL
yang lebih tebal memiliki gelondong serabut saraf yang lebih lebar dan kapiler
peripapiler radial yang lebih padat.19,30
Keterbatasan penelitian ini adalah metode yang digunakan adalah potong
lintang, sehingga sulit untuk menentukan hubungan sebab-akibat perubahan
mikrovaskular dengan perubahan neurodegeneratif. Penelitian jangka panjang
dengan pemeriksaan OCT dan OCT angiografi secara berkala mungkin dapat
menggambarkan lebih jelas hubungan mikrovaskular dengan neuronal peripapiler
untuk menemukan marker prediktif terjadinya retinopati diabetika dan melihat
progresifitas proses neurodegenerasi pada DM. Sampel pada penelitian ini juga
cukup sedikit. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan nilai normal
pada pemeriksaan OCT angiografi.
Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa indeks fluks pada OCT
angiografi adalah parameter yang paling terpengaruhi oleh diabetes pada pasien
DM tanpa retinopati diabetika. Indeks fluks dapat menjadi parameter yang
disarankan untuk diperiksa pada skrining retinopati diabetika untuk melihat tanda
awal terjadinya gangguan mikrovaskular pada DM.
58
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Terdapat hubungan dengan korelasi positif moderat antara perfusi retina
peripapiler dan ketebalan RNFL peripapiler pada pasien diabetes melitus tanpa
retinopati diabetika
5.2 Saran
Dilakukan pemeriksaan OCT angiografi dan OCT secara berkala dalam jangka
panjang dengan sampel yang lebih besar untuk melihat progresifitas penurunan
perfusi retina peripapiler dan perubahan ketebalan RNFL peripapil.
59
DAFTAR PUSTAKA
1. International Council of Ophthalmology. Update 2017 ICO Guidelines for
Diabetic Eye Care. Int Counc Ophthalmol. 2017;1–34.
2. Flaxman SR, Bourne RR, Resnikoff S, Ackland P, Braithwaite T, Cicinelli
MV, Das A, Jonas JB, Keeffe J, Kempen JH, Leasher J. Global causes of
blindness and distance vision impairment 1990–2020: a systematic review and
meta-analysis. The Lancet Global Health. 2017;5(12):e1221-34.
3. Didik Budijanto, Rudy Kurniawan, Kurniasih N, Khairani. InfoDatin : Hari
Diabetes Sedunia tahun 2018. Kementeri Kesehat RI Pus Data Dan Inf.
2018;1–8.
4. American Academy of Ophthalmology Retina/Vitreous Panel. Preferred
Practice Pattern®Guidelines. Diabetic Retinopathy. San Francisco, CA:
American Academy of Ophthalmology; 2017.
5. Sasongko MB, Widyaputri F, Agni AN, Wardhana FS, Kotha S, Gupta P,
Widayanti TW, Haryanto S, Widyaningrum R, Wong TY, Kawasaki R.
Prevalence of diabetic retinopathy and blindness in Indonesian adults with
type 2 diabetes. American journal of ophthalmology. 2017;181:79-87.
6. Gardner TW, Davila JR. The neurovascular unit and the pathophysiologic
basis of diabetic retinopathy. Graefe’s Archive for Clinical and Experimental
Ophthalmology. 2017;255(1):1-6.
7. Lechner J, O’leary OE, Stitt AW. The pathology associated with diabetic
retinopathy. Vision research. 2017;139:7-14.
8. Chen X, Nie C, Gong Y, Zhang Y, Jin X, Wei S, Zhang M. Peripapillary
retinal nerve fiber layer changes in preclinical diabetic retinopathy: a meta-
analysis. PloS one. 2015;10(5):e0125919.
9. Liu L, Wang Y, Liu HX, Gao J. Peripapillary Region Perfusion and Retinal
Nerve Fiber Layer Thickness Abnormalities in Diabetic Retinopathy Assessed
by OCT Angiography. Translational vision science & technology.
2019;8(4):1-9.
10. She X, Guo J, Liu X, Zhu H, Li T, Zhou M, Wang F, Sun X. Reliability of
vessel density measurements in the peripapillary retina and correlation with
retinal nerve fiber layer thickness in healthy subjects using optical coherence
tomography angiography. Ophthalmologica. 2018;240(4):183-90.
11. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course :
Retina and Vitreous. American Academy of Ophthalmology; 2016.
12. Nadia K. Waheed, Amir H. Kashani, Carlos Alexandre de Amorim Garcia
Filho, Jay S. Duker, Philip J. Rosenfeld. Retinal Imaging and Diagnostics :
Optical Coherence Tomography. In: Ryan’s Retina. edisi 6. China: Elsevier
Inc; 2018. 77–9, 102–6.
13. Qi ZH, Li YW, Na WX, Sheng YQ, Di CZ, Chen XI, Yu ZM, Jun LD, Yang
WZ, Wei CH, Feng LY. Repeatability and reproducibility of quantitative
assessment of the retinal microvasculature using optical coherence
tomography angiography based on optical microangiography. Biomedical and
Environmental Sciences. 2018;31(6):407-12.
60
14. Chen CL, Bojikian KD, Xin C, Wen JC, Gupta D, Zhang Q, Mudumbai RC,
Johnstone MA, Chen PP, Wang RK. Repeatability and reproducibility of optic
nerve head perfusion measurements using optical coherence tomography
angiography. Journal of biomedical optics. 2016;21(6):065002.
15. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course :
Fundamentals and Principles of Ophthalmology. American Academy of
Ophthalmology; 2016.
16. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course :
Glaucoma. In American Academy of Ophthalmology; 2016. p. 23–4.
17. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course :
Neuro-Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology; 2016.
18. Vujosevic S, Muraca A, Gatti V, Masoero L, Brambilla M, Cannillo B, Villani
E, Nucci P, De Cillà S. Peripapillary microvascular and neural changes in
diabetes mellitus: an OCT-Angiography study. Investigative Ophthalmology
& Visual Science. 2018;59(12):5074-81.
19. Mase T, Ishibazawa A, Nagaoka T, Yokota H, Yoshida A. Radial peripapillary
capillary network visualized using wide-field montage optical coherence
tomography angiography. Investigative ophthalmology & visual science.
2016;57(9):504-10.
20. Cao D, Yang D, Yu H, Xie J, Zeng Y, Wang J, Zhang L. Optic nerve head
perfusion changes preceding peripapillary retinal nerve fibre layer thinning in
preclinical diabetic retinopathy. Clinical & experimental ophthalmology.
2019;47(2):219-25.
21. Barber AJ. Diabetic retinopathy: recent advances towards understanding
neurodegeneration and vision loss. Science China Life Sciences.
2015;58(6):541-9.
22. Victor AA. Optic Nerve Changes in Diabetic Retinopathy. IntechOpen.
2018:85-103.
23. Carmen A. Puliafito, Michael R. Hee, Joel S. Schuman, James G. Fujimoto.
Optical Coherence Tomography of Ocular Diseases. edisi 3. Slack
Incorporated; 2012.
24. CIRRUS HD-OCT from ZEISS : How to read the reports. Dublin, USA: Carl
Zeiss Meditec, Inc.
25. Yang HS, Woo JE, Kim M, Kim DY, Yoon YH. Co-Evaluation of
Peripapillary RNFL Thickness and Retinal Thickness in Patients with Diabetic
Macular Edema: RNFL Misinterpretation and Its Adjustment. Plos One.
2017;12:1–13.
26. Shi R, Guo Z, Wang F, Li R, Lin R, Zhao L. Alterations in retinal nerve fiber
layer thickness in early stages of diabetic retinopathy and potential risk
factors. Curr Eye Res. 2017;1–10.
27. El-Hifnawy MAM, Sabry KM, Gomaa AR, Hassan TA. Effect of diabetic
retinopathy on retinal nerve fiber layer thickness. Delta J Ophthalmol.
2016;17:162–6.
28. Yu J, Gu R, Zong Y, Xu H, Wang X, Sun X, Jiang C, Xie B, Jia Y, Huang D.
Relationship between retinal perfusion and retinal thickness in healthy
61
subjects: an optical coherence tomography angiography study. Investigative
ophthalmology & visual science. 2016;57(9):204-10.
29. Agemy SA, Scripsema NK, Shah CM, Chui T, Garcia PM, Lee JG, Gentile
RC, Hsiao YS, Zhou Q, Ko T, Rosen RB. Retinal vascular perfusion density
mapping using optical coherence tomography angiography in normals and
diabetic retinopathy patients. Retina. 2015;35(11):2353-63.
30. Ivania Pereira, Stephanie Weber, Stephan Holzer, Georg Fischer, Clemens
Vass, Hemma Resch. Compensation for Retinal Vessel Density Reduces the
Variation of Circumpapillary RNFL in Healthy Subjects. Plos One. 2015;1–
10.
31. Terrance Siew. Cirrus Ver 11 : Angioplex for the Optic Nerve Head. Zeiss.
32. Mihardja L, Soetrisno U, Soegondo S. Prevalence and clinical profile of
diabetes mellitus in productive aged urban Indonesians. Journal of diabetes
investigation. 2014;5(5):507-12.
33. Shin YI, Nam KY, Lee SE, Lee MW, Lim HB, Jo YJ, Kim JY. Peripapillary
microvasculature in patients with diabetes mellitus: an optical coherence
tomography angiography study. Scientific reports. 2019;9(1):1-0.
34. Moran EP, Wang Z, Chen J, Sapieha P, Smith LE, Ma JX. Neurovascular cross
talk in diabetic retinopathy: pathophysiological roles and therapeutic
implications. American Journal of Physiology-Heart and Circulatory
Physiology. 2016;311(3):738-49.
35. Araszkiewicz A, Zozulinska-Ziolkiewicz D. Retinal Neurodegeneration in the
Course of Diabetes-Pathogenesis and Clinical Perspective. Bentham Sci Publ.
2016;14:805–9.
36. Rodrigues TM, Marques JP, Soares M, Dolan MJ, Melo P, Simão S, Teles J,
Figueira J, Murta JN, Silva R. Peripapillary neurovascular coupling in the
early stages of diabetic retinopathy. Retina. 2019;39(12):2292-302.
37. Li Z, Wen X, Zeng P, Liao Y, Fan S, Zhang Y, Li Y, Xiao J, Lan Y. Do
microvascular changes occur preceding neural impairment in early-stage
diabetic retinopathy? Evidence based on the optic nerve head using optical
coherence tomography angiography. Acta diabetologica. 2019;56(5):531-9.
38. Pechauer AD, Jia Y, Liu L, Gao SS, Jiang C, Haung D. Optical Coherence
Tomography Angiography of Peripapillary Retinal Blood Flow Response to
Hyperoxia. Investigative ophthalmology & visual science. 2015;56(5):3287-
91.
39. Lott MEJ, Slocomb JE, Shivkumar V, Smith B, Gabbay RA, Quillen D, et al.
Comparison of retinal vasodilator and constrictor responses in type 2 diabetes.
Acta Ophthalmol (Copenh). 2012;90(6):434–41.
40. Vujosevic S, Midena E. Retinal Layers Changes in Human Preclinical and
Early Clinical Diabetic Retinopathy Support Early Retinal Neuronal and
Müller Cells Alterations. Hindawi Publ Corp. 2013;2013:1–8.
41. Hille W. van Dijk, Frank D. Verbraak, Pauline H. B. Kok, Marilette
Stehouwer, Mona K. Garvin, Milan Sonka, et al. Early Neurodegeneration in
the Retina of Type 2 Diabetic Patients. Assoc Res Vis Ophthalmol Inc.
2012;53:2715–9.
62
42. Mehboob MA, Amin ZA, Islam QU. Comparison of retinal nerve fiber layer
thickness between normal population and patients with diabetes mellitus using
optical coherence tomography. Pakistan Journal of Medical Sciences.
2019;35(1):29.
43. Hafner J, Ginner L, Karst S, Leitgeb R, Unterluggauer M, Sacu S, Mitsch C,
Scholda C, Pablik E, Schmidt-Erfurth U. Regional patterns of retinal oxygen
saturation and microvascular hemodynamic parameters preceding retinopathy
in patients with type II diabetes. Investigative ophthalmology & visual
science. 2017;58(12):5541-7.
63
Lampiran 1
64
Lampiran 2
65
66
67
Lampiran 3
69
no mata nama usia jenis kelamintensi TIO RNFL kuadran SRNFL kuadran NRNFL kuadran IRNFL kuadran TRNFL TotalPerfusi kuadran SPerfusi kuadran IPerfusi kuadran NPerfusi kuadran TPerfusi TotalFluks kuadran SFluks kuadran NFluks kuadran IFluks kuadran TFluks Total
1 OD DWI 41 P 110/70 16 121 57 130 78 96 44,8 41 42,8 48 44,3 0,399 0,37 0,41 0,454 0,412
2 OS DWI 41 P 20 137 61 125 69 98 42,6 39,9 44 50,2 44 0,397 0,37 0,418 0,455 0,411
3 OD AGT 43 L 120/90 16 130 77 131 71 102 41,8 41,2 42,3 44,9 42,6 0,402 0,386 0,406 0,422 0,405
4 OS AGT 43 L 20 130 67 130 66 98 41,8 40 42,7 44,5 42,2 0,397 0,385 0,403 0,403 0,397
5 OD LIN 45 P 120/80 18 115 74 131 67 97 45,1 42,8 45,3 44,3 44,4 0,417 0,402 0,418 0,454 0,425
6 OS LIN 45 P 15 135 78 146 58 104 44,2 42,2 46,1 44,8 44,3 0,413 0,386 0,411 0,449 0,415
7 OD UTP 47 L 120/80 18 91 59 114 62 82 42,2 41,2 45,6 44,4 43,3 0,418 0,418 0,424 0,419 0,42
8 OS UTP 47 L 19 101 57 111 56 81 44,9 39,1 46,2 45,4 43,8 0,415 0,419 0,435 0,453 0,431
9 OD TET 47 P 120/80 16 127 78 132 79 104 43,3 45,3 46,8 44,9 45 0,388 0,372 0,382 0,374 0,379
10 OS TET 47 P 20 122 81 147 65 104 45,9 43,3 44,3 50,3 46 0,402 0,405 0,407 0,429 0,412
11 OD CND 48 L 110/80 13 136 85 146 73 110 43,7 45,5 45,4 46,2 45,2 0,425 0,44 0,422 0,429 0,429
12 OS CND 48 L 14 138 85 142 70 109 47,1 45,7 44,6 49,3 46,7 0,429 0,41 0,417 0,437 0,424
13 OD INH 49 P 120/70 17 117 64 124 68 93 41,9 41,6 44,3 46,2 43,6 0,43 0,385 0,42 0,471 0,429
14 OS INH 49 P 17 122 64 120 64 93 42,8 41,2 46,6 46 44,1 0,433 0,431 0,437 0,468 0,443
15 OD RDW 50 L 110/70 11 135 71 115 77 99 43,5 42,3 44,7 46,7 44,4 0,423 0,407 0,416 0,475 0,433
16 OS RDW 50 L 9 142 63 116 70 98 43,5 42,2 44,7 44,7 43,8 0,426 0,414 0,425 0,48 0,438
17 OD BLD 51 P 110/80 12 124 71 143 66 101 42,5 44,2 44 45,8 44,3 0,4 0,412 0,414 0,456 0,425
18 OS BLD 51 P 14 128 76 140 65 102 42,5 40,3 45,7 45,7 43,7 0,428 0,421 0,427 0,478 0,441
19 OD PPN 51 P 150/90 15 121 75 155 58 103 41 43,8 43,8 47,3 44 0,428 0,415 0,426 0,462 0,434
20 OS PPN 51 P 15 133 66 131 57 97 42,9 43 44,3 47,6 44,5 0,424 0,406 0,438 0,444 0,429
21 OD NEN 53 P 120/80 19 153 97 161 62 118 42,6 45,1 45,2 50 46 0,419 0,42 0,439 0,463 0,438
22 OS NEN 53 P 20 118 78 148 72 104 43,1 42,6 43 48,6 44,3 0,438 0,418 0,419 0,459 0,434
23 OD YUD 53 P 130/80 17 114 73 137 75 100 40,9 42,3 43,9 46,5 43,5 0,404 0,404 0,412 0,443 0,417
24 OD TAT 54 P 120/80 14 101 80 135 63 95 41 43,5 45,4 47,1 44,3 0,406 0,371 0,393 0,422 0,4
25 OS TAT 54 P 12 123 88 129 64 101 44,1 45,5 44,8 49,2 46,1 0,424 0,39 0,427 0,468 0,429
26 OD IDA 55 P 120/80 13 118 79 134 58 97 43,4 42,5 48,5 44,9 44,7 0,438 0,444 0,45 0,427 0,44
27 OS IDA 55 P 13 122 72 115 69 95 47,7 44,6 47,3 44 45,8 0,442 0,48 0,444 0,417 0,446
28 OD EPN 55 p 120/70 13 116 58 125 67 92 44,5 42,4 45,3 47,7 45,1 0,422 0,377 0,418 0,464 0,423
29 OS EPN 55 P 13 114 54 114 70 88 43 37,4 43,5 45,9 42,4 0,422 0,394 0,417 0,453 0,424
30 OD DDH 56 P 120/80 16 131 75 130 68 101 43,1 44,1 43,6 47,8 44,8 0,385 0,371 0,407 0,455 0,409
31 OS DDH 56 P 14 113 59 103 65 85 44,4 42,7 41,8 46,8 44 0,4 0,369 0,392 0,413 0,394
32 OD WWN 56 l 130/80 17 100 68 116 74 90 40,1 40,9 42,3 44,8 42 0,417 0,391 0,418 0,467 0,425
33 OS WWN 56 L 17 137 67 118 66 97 39,1 42,3 41,3 45,1 42,1 0,407 0,398 0,406 0,393 0,4
34 OD HER 57 L 120/80 15 122 91 135 72 105 43,1 40,9 43,7 46,3 43,6 0,406 0,403 0,41 0,471 0,425
35 OS HER 57 L 12 141 91 126 74 108 42,6 40,6 44,1 46,9 43,5 0,425 0,419 0,415 0,476 0,435
36 OD AKE 64 L 140/90 18 135 66 129 68 100 44,3 43 42,4 48,7 44,5 0,392 0,367 0,388 0,414 0,39
37 OS AKE 64 L 17 132 62 124 68 96 42,9 43,9 46,9 48,6 45,5 0,367 0,349 0,387 0,391 0,374
Lam
pira
n 4
Kelo
mp
ok
A
68
70
no mata nama usia jenis kelamintensi durasi DM(tahun)HbA1c IOP RNFL kuadran SRNFL kuadran NRNFL kuadran IRNFL kuadran TRNFL TotalPerfusi kuadran SPerfusi kuadran IPerfusi kuadran NPerfusi kuadran TPerfusi TotalFluks kuadran SFluks kuadran NFluks kuadran IFluks kuadran TFluks Total
1 OD IMS 43 P 120/80 0,5 7,7 15 140 75 131 61 102 42,5 42,1 46,1 46,6 44,4 0,418 0,415 0,454 0,49 0,447
2 OS IMS 43 P 15 142 68 132 57 100 41,6 38,4 43,8 43,9 41,9 0,423 0,411 0,434 0,483 0,439
3 OD RBU 45 P 120/80 0,1 10,8 18 110 67 111 102 98 43,5 43,8 42,2 48,4 44,5 0,365 0,388 0,404 0,383 0,384
4 OS RBU 45 P 19 111 64 138 79 98 43 44,1 44,1 47,7 44,8 0,37 0,331 0,368 0,386 0,364
5 OD EUS 46 P 120/80 2,5 9,7 19 112 72 113 69 92 41,4 42,7 42,9 47,7 43,8 0,352 0,355 0,334 0,35 0,348
6 OS EUS 46 P 18 123 73 114 65 94 45,9 45,3 44,4 47,8 45,9 0,396 0,398 0,391 0,414 0,4
7 OD YSH 47 P 120/80 6 7,6 21 140 73 121 70 101 44,9 44,5 45,3 49,6 46,2 0,399 0,364 0,402 0,44 0,405
8 OS YSH 47 P 21 148 65 138 72 106 43,8 41,3 45,9 49,6 45,2 0,416 0,382 0,425 0,485 0,431
9 OD DER 48 P 120/80 4 10 16 124 70 145 77 104 44,1 42,5 46,3 46,1 44,8 0,388 0,386 0,404 0,392 0,393
10 OS DER 48 P 12 130 63 135 72 100 42,7 43,5 45,5 45,6 44,4 0,395 0,369 0,405 0,434 0,402
11 OD RAT 48 P 150/90 5 11,2 20 105 55 127 72 90 39,5 41 44,1 42,7 41,9 0,397 0,344 0,412 0,461 0,41
12 OS RAT 48 P 18 120 64 103 89 94 37,5 38,7 39,7 44,9 40,2 0,395 0,406 0,385 0,339 0,379
13 OS AAA 50 P 130/80 5 9 18 111 71 111 76 92 38 40,3 43,1 44,3 41,5 0,382 0,339 0,405 0,392 0,379
14 OD LLH 50 P 125/70 0,3 12,4 18 119 76 124 64 96 42,8 45,4 41,7 50,1 45 0,344 0,357 0,36 0,376 0,359
15 OS LLH 50 P 17 115 68 136 63 95 40 44,7 43 49,3 44,2 0,372 0,331 0,382 0,434 0,38
16 OD GUD 52 L 150/90 3 7,1 15 53 56 74 50 58 29,8 36,5 35,2 42,4 36,3 0,357 0,345 0,385 0,413 0,379
17 OS GUD 52 L 20 80 57 59 61 64 37,4 35,6 31 43,5 36,9 0,391 0,339 0,356 0,41 0,376
18 OD ERU 54 P 120/70 4 7,5 14 131 66 138 85 105 43,3 46,7 44,7 46,4 45,3 0,395 0,358 0,372 0,363 0,371
19 OS ERU 54 P 16 130 66 137 79 103 51,1 47 52,6 44,1 48,2 0,349 0,303 0,378 0,353 0,347
20 OD ERO 54 P 120/80 5 8,9 13 100 85 128 86 100 38,6 42,5 43,2 44 42,1 0,334 0,341 0,352 0,312 0,334
21 OS ERO 54 P 12 119 76 125 80 100 39,8 42,7 45,7 45,6 43,5 0,355 0,349 0,385 0,358 0,362
22 OD ABH 54 L 130/80 3 8,6 14 120 82 130 73 101 38,5 43,5 42,3 47,2 43 0,319 0,3 0,333 0,332 0,322
23 OS ABH 54 L 16 125 76 130 74 101 42 42,2 43,9 47,1 44,1 0,425 0,391 0,421 0,466 0,431
24 OD IML 54 P 130/90 5 10,4 20 143 82 151 79 114 43,3 43,5 44,2 44,9 44,1 0,418 0,395 0,414 0,421 0,414
25 OS IML 54 P 18 154 71 115 79 105 42,7 41,3 40,4 42,7 41,9 0,415 0,417 0,404 0,378 0,402
26 OD RIN 55 P 120/80 5 9 14 127 66 125 82 100 43,3 41,9 39,2 49,1 43,5 0,382 0,39 0,395 0,397 0,392
27 OS RIN 55 P 14 142 85 135 75 109 42,8 39,2 43 49,7 43,5 0,421 0,398 0,413 0,431 0,416
28 OS AIN 55 P 120/70 8 8,8 21 165 91 165 92 128 44,5 42,2 42,1 48,2 44,5 0,452 0,459 0,458 0,47 0,461
29 OD EUK 55 P 140/80 3 7,3 15 126 75 120 77 100 44,9 46,1 42,8 46,7 45,2 0,369 0,348 0,393 0,374 0,37
30 OS EUK 55 P 14 128 68 127 74 99 43,8 42,7 42,7 46,8 44,1 0,372 0,387 0,412 0,363 0,382
31 OD SUS 56 P 120/80 4 6,3 14 131 79 151 63 106 45,8 42,8 43,5 47,4 45 0,399 0,411 0,414 0,411 0,409
32 OS SUS 56 P 13 127 84 140 65 104 45,6 45,9 44,3 48,7 46,3 0,406 0,415 0,419 0,433 0,419
33 OD CEW 57 L 120/80 5 7,9 13 132 82 113 70 99 37,1 37,5 37,6 42,4 38,8 0,364 0,33 0,382 0,381 0,365
34 OS CEW 57 L 14 132 89 122 63 101 38,4 37,8 36,7 49,4 40,7 0,368 0,342 0,356 0,397 0,368
35 OD ILA 57 P 120/80 7 11,8 19 146 74 126 83 107 44,2 47,2 44 47,2 45,7 0,433 0,439 0,428 0,44 0,435
36 OS ILA 57 P 19 152 69 143 59 106 45,9 41,7 46,1 44,9 44,5 0,435 0,44 0,451 0,492 0,457
37 OD EYU 57 P 120/80 3 6,2 13 140 86 129 68 106 43,3 43,2 40,8 48,4 44,1 0,393 0,333 0,354 0,365 0,362
38 OS EYU 57 P 14 134 79 131 64 102 41,9 39,9 42 45,1 42,3 0,41 0,382 0,418 0,442 0,415
39 OD WAS 61 L 130/80 6 6,8 17 127 75 117 75 98 43,3 46 41,5 47,3 44,6 0,314 0,309 0,34 0,348 0,329
40 OS WAS 61 L 16 132 65 113 70 95 40 42,5 44,2 45,7 43,2 0,315 0,362 0,351 0,316 0,336
41 OD MSY 63 L 120/90 16 9,3 14 91 53 98 57 75 36,5 38,6 36,7 41,9 38,6 0,36 0,307 0,345 0,377 0,349
42 OS MSY 63 L 16 100 57 82 64 76 43,7 36,4 37,7 45,3 40,8 0,354 0,321 0,35 0,353 0,345
Kelo
mp
ok
B
69
70
Lampiran 5
RAT
RAT
71
RAT
72
RBU
RBU
73
RBU
74
IDA
IDA
75
IDA
76
Lampiran 6
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
RNFL S Quadrant Kontrol .087 37 .200* .971 37 .422
No DR .128 42 .079 .933 42 .017
RNFL NQuadrant Kontrol .087 37 .200* .973 37 .492 No DR .073 42 .200* .980 42 .676
RNFL I Quadrant Kontrol .089 37 .200* .982 37 .783 No DR .139 42 .039 .916 42 .004
RNFL T Quadrant Kontrol .082 37 .200* .978 37 .660 No DR .091 42 .200* .983 42 .770
RNFL Total Thickness
Kontrol .107 37 .200* .972 37 .465
No DR .208 42 .000 .823 42 .000
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Nonparametric Tests
T-Test
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
RNFL NQuadrant Kontrol 37 72.0811 10.78162 1.77249
No DR 42 71.8571 9.45483 1.45891
RNFL T Quadrant Kontrol 37 67.4054 5.83314 .95896
No DR 42 72.2619 10.40652 1.60576
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig.
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Differen
ce
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
RNFL NQuadrant
Equal variances assumed
.896 .347
.098 77 .922 .22394 2.27654 -4.3092
3
4.75710
77
Equal variances not assumed
.098 72.203
.923 .22394 2.29568 -4.3521
9
4.80007
RNFL T Quadrant
Equal variances assumed
9.132 .003
-2.51
1
77 .014 -4.85650
1.93394 -8.7074
8
-1.00552
Equal variances not assumed
-2.59
7
65.912
.012 -4.85650
1.87031 -8.5908
0
-1.12220
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Angio S Perfusion
Kontrol .104 37 .200* .974 37 .519
No DR .155 42 .013 .924 42 .008 Angio N Perfusion
Kontrol .100 37 .200* .977 37 .625 No DR .109 42 .200* .964 42 .210
Angio I Perfusion
Kontrol .067 37 .200* .990 37 .981 No DR .156 42 .011 .915 42 .004
Angio T Perfusion
Kontrol .104 37 .200* .943 37 .059 No DR .081 42 .200* .963 42 .188
Angio Total Perfusion
Kontrol .107 37 .200* .969 37 .394
No DR .171 42 .003 .913 42 .004
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Nonparametric Tests
T-Test
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Angio N Perfusion Kontrol 37 42.4351 1.90806 .31368
No DR 42 42.1762 2.99885 .46273
Angio T Perfusion Kontrol 37 46.6514 1.80687 .29705
No DR 42 46.3429 2.29858 .35468
78
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean Differenc
e
Std. Error Differenc
e
95% Confidence
Interval of the Difference
Lower Upper
Angio N Perfusion
Equal variances assumed
5.676
.020
.451
77 .653 .25894 .57442 -.8848
8
1.40277
Equal variances not assumed
.463
70.407
.645 .25894 .55903 -.8559
0
1.37379
Angio T Perfusion
Equal variances assumed
2.964
.089
.657
77 .513 .30849 .46970 -.6267
9
1.24378
Equal variances not assumed
.667
76.066
.507 .30849 .46264 -.6129
2
1.22991
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Angio S Flux Kontrol .123 37 .175 .962 37 .239
No DR .086 42 .200* .979 42 .628
Angio N Flux Kontrol .108 37 .200* .960 37 .209 No DR .095 42 .200* .974 42 .444
Angio I Flux Kontrol .096 37 .200* .975 37 .563 No DR .101 42 .200* .969 42 .312
Angio T Flux Kontrol .178 37 .005 .931 37 .023 No DR .083 42 .200* .971 42 .352
Angio Total Flux
Kontrol .165 37 .013 .934 37 .030
No DR .085 42 .200* .980 42 .660
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
T-Test
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Angio S Flux Kontrol 37 .4137 .01666 .00274
No DR 42 .3837 .03347 .00516
Angio N Flux Kontrol 37 .4005 .02604 .00428 No DR 42 .3687 .03967 .00612
Angio I Flux Kontrol 37 .4162 .01568 .00258
No DR 42 .3915 .03296 .00509
79
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean Differenc
e
Std. Error Differenc
e
95% Confidence
Interval of the Difference
Lower Upper
Angio S Flux
Equal variances assumed
16.710
.000
4.935
77 .000 .02999 .00608 .01789
.04209
Equal variances not assumed
5.130
61.742
.000 .02999 .00585 .01830
.04168
Angio N Flux
Equal variances assumed
9.917 .002
4.147
77 .000 .03178 .00766 .01652
.04703
Equal variances not assumed
4.254
71.448
.000 .03178 .00747 .01688
.04667
Angio I Flux
Equal variances assumed
21.224
.000
4.150
77 .000 .02464 .00594 .01282
.03646
Equal variances not assumed
4.321
60.252
.000 .02464 .00570 .01323
.03604
Nonparametric Tests
80
Correlations Correlations
RNFL NQuadrant
Angio N Perfusion
RNFL T Quadrant
Angio T Perfusion
RNFL NQuadrant
Pearson Correlation
1 .245 .194 .434**
Sig. (2-tailed) .118 .218 .004
N 42 42 42 42
Angio N Perfusion
Pearson Correlation
.245 1 .386* .458**
Sig. (2-tailed) .118 .012 .002
N 42 42 42 42
RNFL T Quadrant
Pearson Correlation
.194 .386* 1 .169
Sig. (2-tailed) .218 .012 .285
N 42 42 42 42
Angio T Perfusion
Pearson Correlation
.434** .458** .169 1
Sig. (2-tailed) .004 .002 .285 N 42 42 42 42
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Nonparametric Correlations
Correlations
RNFL S Quadrant
RNFL I Quadrant
RNFL Total
Thickness
Angio S Perfusion
Angio I Perfusion
Angio Total
Perfusion
Spearman's rho
RNFL S Quadrant
Correlation Coefficient
1.000 .515** .818** .436** .300 .326*
Sig. (2-tailed)
. .000 .000 .004 .054 .035
N 42 42 42 42 42 42
RNFL I Quadrant
Correlation Coefficient
.515** 1.000 .757** .494** .608** .542**
Sig. (2-tailed)
.000 . .000 .001 .000 .000
N 42 42 42 42 42 42
RNFL Total Thickness
Correlation Coefficient
.818** .757** 1.000 .541** .408** .480**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 . .000 .007 .001
N 42 42 42 42 42 42
Angio S Perfusion
Correlation Coefficient
.436** .494** .541** 1.000 .488** .845**
Sig. (2-tailed)
.004 .001 .000 . .001 .000
N 42 42 42 42 42 42
Angio I Perfusion
Correlation Coefficient
.300 .608** .408** .488** 1.000 .649**
Sig. (2-tailed)
.054 .000 .007 .001 . .000
N 42 42 42 42 42 42
81
Angio Total Perfusion
Correlation Coefficient
.326* .542** .480** .845** .649** 1.000
Sig. (2-tailed)
.035 .000 .001 .000 .000 .
N 42 42 42 42 42 42
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Nonparametric Correlations
Correlations
RNFL S Quadrant
RNFL I Quadrant
RNFL Total
Thickness
Angio S
Flux
Angio I Flux
Angio Total Flux
Spearman's rho
RNFL S Quadrant
Correlation Coefficient
1.000 .515** .818** .630** .560** .564**
Sig. (2-tailed)
. .000 .000 .000 .000 .000
N 42 42 42 42 42 42
RNFL I Quadrant
Correlation Coefficient
.515** 1.000 .757** .497** .519** .486**
Sig. (2-tailed)
.000 . .000 .001 .000 .001
N 42 42 42 42 42 42
RNFL Total Thickness
Correlation Coefficient
.818** .757** 1.000 .597** .542** .517**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 . .000 .000 .000
N 42 42 42 42 42 42
Angio S Flux
Correlation Coefficient
.630** .497** .597** 1.000 .863** .940**
Sig. (2-tailed)
.000 .001 .000 . .000 .000
N 42 42 42 42 42 42
Angio I Flux
Correlation Coefficient
.560** .519** .542** .863** 1.000 .952**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 . .000
N 42 42 42 42 42 42
Angio Total Flux
Correlation Coefficient
.564** .486** .517** .940** .952** 1.000
Sig. (2-tailed)
.000 .001 .000 .000 .000 .
N 42 42 42 42 42 42
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
82
Correlations Correlations
RNFL NQuadrant
RNFL T Quadrant
Angio N Flux
Angio T Flux
RNFL NQuadrant
Pearson Correlation
1 .194 .254 .023
Sig. (2-tailed) .218 .105 .887
N 42 42 42 42
RNFL T Quadrant
Pearson Correlation
.194 1 .173 -.294
Sig. (2-tailed) .218 .273 .059
N 42 42 42 42
Angio N Flux
Pearson Correlation
.254 .173 1 .577**
Sig. (2-tailed) .105 .273 .000
N 42 42 42 42
Angio T Flux
Pearson Correlation
.023 -.294 .577** 1
Sig. (2-tailed) .887 .059 .000 N 42 42 42 42
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
83
Lampiran 7
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Sindi Dwijayanti, dr
Tempat/tgl. lahir : Cirebon, 31 Agustus 1989
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat & No. Telp. : Jl. Dago Asri 2 no. 21, Bandung. 0817421242
Nama Suami : Rizki Davi Akbar, dr
Nama Anak : Arkana Adhitama
Pendidikan
1. SD BPI Bandung (1995-1996)
2. SD Negeri 1, Pangkal Pinang (1996-1998)
3. SD Sabang, Bandung (1998-2001)
4. SMPN 7, Bandung (2001-2004)
5. SMAN 5, Bandung (2004-2007)
6. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (2007-2011)
7. Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Bandung (2011-2013)
8. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
Mata Cicendo, Bandung (2016-2020)
84
Pengalama Kerja
1. Dokter Internship PKM Sugih Mukti, Ciwidey (Juni-September 2013)
2. Dokter Internship RSUD Soreang (Oktober 2013-Mei 2014)
3. Praktek Dokter Umum Irfina, Bandung (Agustus 2014-Januari2016)
4. Dokter Oncall yakes Telkom, Bandung (Desember 2014-Januari 2016)
5. Dokter Umum Klinik Padjadjaran, Jatinangor (Januari 2015-Januari 2016)
Pengalaman Penelitian
1. Perbandingan visus pasca operasi fakoemulsifikasi pada katarak senilis
matur dan imatur di RS Mata Cicendo Bandung (2011)
2. Peripapillary Retinal Nerve Fiber Layer Thickness in Diabetic Retinopathy
Patients measured by Optical Coherence Tomography (2018)
3. Kebutaan dan permasalahan jenis kelamin pada operasi katarak bakti
sosial berbasis komunitas oleh PMN RS Mata Cicendo (2018)
4. Hubungan perfusi retina peripapiler dengan ketebalan RNFL peripapiler
pada pasien diabetes melitus tanpa retinopati diabetika (2020)
Seminar/Kongres/Pertemuan Ilmiah Nasional dan/atau Internasional yang
pernah diikuti :
1. Peserta seminar 10th JEC “All You Need to Know A to Z in Ocular
Infection, Immunology & Trauma” (2013)
2. Peserta seminar Up Date Primary Care in Ophthalmology (2014)
85
3. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan Perdami ke-39, Yogyakarta (2014)
4. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan Perdami ke-40, Bandung (2015)
5. Peserta Save Children’s Sight for Our Future, INAPOSS Bandung Scientific
Meeting, Bandung (2016)
6. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan Perdami ke-42, Malang (2017)
7. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan Perdami ke-43, Padang (2018)
8. Peserta The World Ophthalmology Congress, Barcelona, Spain (2018)
9. Peserta The 7th INOIIS Scientific Meeting, Yogyakarta (2019)
10. Peserta Cicendo International Ophthalmology Meeting, Bandung (2019)
11. Peserta Basic Phacoemulsification Workshop Batch 6, Klinik Mata KMU
bekerjasama dengan INASCRS, Surabaya (2020)