Demam Berdarah Dengue
Fardiansyah
(NIM 102013199)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : [email protected]
Abstrak :. Demam berdarah dengue adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh virus dengue. Gejalanya meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, dan ruam kulit yang khas yang mirip dengan campak. Dengue yang ditularkan oleh beberapa jenis nyamuk Aedes dalam genus, terutama A.aegypti. Virus ini memiliki lima jenis yang berbeda; Infeksi dengan satu jenis biasanya memberikan kekebalan seumur hidup terhadap jenis itu, tetapi hanya imunitas jangka pendek untuk orang lain. Karena tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial, pencegahan dicari dengan mengurangi habitat dan jumlah nyamuk dan membatasi paparan gigitan. Pengobatan demam berdarah akut mendukung, baik menggunakan rehidrasi oral atau intravena untuk penyakit ringan atau sedang, dan cairan intravena dan transfusi darah untuk kasus yang lebih parah.
Kata kunci : Demam Berdarah Dangue(DBD), A.aegypti
Abstrak : Dengue fever also known as breakbone fever, is a mosquito-borne tropical disease caused by the dengue virus. Symptoms include fever, headache, muscle and joint pains, and a characteristic skin rash that is similar to measles. Dengue is transmitted by several species of mosquito within the genus Aedes, principally A. aegypti. The virus has five different types; infection with one type usually gives lifelong immunity to that type, but only short-term immunity to the others. As there is no commercially available vaccine, prevention is sought by reducing the habitat and the number of mosquitoes and limiting exposure to bites. Treatment of acute dengue is supportive, using either oral or intravenous rehydration for mild or moderate disease, and intravenous fluids and blood transfusion for more severe cases.
Keywords: Dangue, A.aegypti,
Pendahuluan
Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat
peralihan dari musin hujan kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air.
Lingkungan genangan air ini merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk,
diantaranya nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue. Demam berdarah
dengue (DBD) menjadi masalah utama kesehatan, hal ini bukan hanya di Indonesia tetapi di
juga diseluruh negara di Asia Tenggara. Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam
berat yang sering mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh gangguan permeabilitas
1
kapiler, dan hemostasis tubuh, dan pada kasus berat menyebabkan sindrom syok kehilangan
protein.
Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah meningkat sehingga
Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis1. Sejak tahun 1956 sampai 1980 di seluruh
dunia kasus DBD yang memerlukan rawat inap mencapai 350 000 kasus per tahun sedang
yang meninggal dilaporkan hampir mencapai 12 000 kasus . Penyakit ini disebabkan oleh
virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat
4 serotipe virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, dan DEN-3. Oleh karena ditularkan
melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD yang utama
adalah nyamuk Aedes aegypti.1
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan
wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan
pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya
suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan
anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya
keluhan pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk
menentukan diagnosisnya.
2
Berdasarkan anamnesa, pasien seorang perempuan 25 tahun demam sejak 5 hari
yang lalu, demam tinggi dengan intesitas naik turun dan timbul mendadak, disertai
dengan mual, pegal-pegal, dan mimisan 1 hari yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama
kali untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta
bilangan denyut nadi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Kesadaran :Compos mentis
Keadaan umum :Sakit sedang
Tekanan darah :110/80 mmhg
Suhu :37,5○C
Nadi :96x/menit
Pernafasan :20x/menit
Rumple leed test :(+) positif
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil:
Trombosit :80.000/uL
Hemoglobin :12 gram/dL
Hematokrit :40%
Leukosit :6.000 sel/mm3
Working Diagnosis
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini ditunjukkan
melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan
otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri
merah terang dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia
menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga
muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.2
3
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak
demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam berdarah
menunjukkan demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan
hemokonsentrasi . Sejumlah kecil kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang
mempunyai tingkat kematian tinggi.
Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai Ruam-ruam
makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam
ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari,
disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan
ruam-ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-
bintik perdarahan di farings dan konjungtiva.2
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang
rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi
kejang demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya Demam Berdarah
Dengue tidak selalu ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit.
Mendiagnosis secara dini dapat mengurangi resiko kematian dari pada menunggu akut.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tukang belakang, dan persaaan lelah.
Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997 diagnosis
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:1,3
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal 1 dari manisvestasi pendarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari
tempat lain
- Hematemesis atau melena
Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
4
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
niali hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Differential Diagnosis
1. Demam Tifoid
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada
sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas
berupa demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang Indonesia.
2. Malaria
Malaria mempunyai gambaran karateristik demam periodic, anemia dan
splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan
prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit
kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam
ringan anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin
(15-60 menit): mulai menggigil, diikuti dengan periode panas: penderita muka
merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan
keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat: penderita berkeringat banyak
dan temperature turun, dan penderita merasa sehat. Anemia dan splenomegali juga
merupakan gejala yang sering dijumpai pada malaria.
3. Chikungunya
Chikungunya adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Penyakit ini terdapat di daerah tropis, khususnya di perkotaan wilayah
5
Asia, India, dan Afrika Timur. Masa inkubasi diantara 2-4 hari dan bersifat self-
limiting dengan gejala akut (demam onset mendadak (>40°C,104°F), sakit kepala,
nyeri sendi (sendi-sendi dari ekstrimitas menjadi bengkak dan nyeri bila diraba),
mual, muntah, nyeri abdomen, sakit tenggorokan, limfadenopati, malaise, kadang
timbul ruam, perdarahan juga jarang terjadi) berlangsung 3-10 hari. Gejala diare,
perdarahan saluran cerna, refleks abnormal, syok dan koma tidak ditemukan pada
chikungunya. Sisa arthralgia suatu problem untuk beberapa minggu hingga
beberapa bulan setelah fase akut. Kejang demam bisa terjadi pada anak. Belum ada
terapi spesifik yang tersedia, pengobatan bersifat suportif untuk demam dan nyeri
(analgesik dan antikonvulsan). 4,5
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan subtropics,
khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang dunia II
menimbulkan penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan kepulauan Pasifik.
Selama 20 tahun terakhir, endemic dengue telah menimbulkan masalah di Amerika.
Pada tahun 1995, lebih dari 200.000 kasus demam dengue dan lebih dari 5.500 kasus
demam berdarah dengue terjadi di Amerika selatan dan tengah. Diperkirakan sekitar 50 juta
atau lebih kasus dengue terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan 400.000 kasus demam
berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue merupakan penyebab utama kematian
pada anak di beberapa negara di Asia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air. Pada
tahun 1989-1995, insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk , dan
pernah meningkat tajam saat keadaan luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada
tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.
6
Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue,
yaitu:4
1. Vektor : Meliputi perkembangbiakan vector, kebiasaan menggiti, kepadatan vector
di lingkungan, dan transpotasi vector dari satu tempat ke tempat lain.
2. Host : Meliputi terdapatnya penderita di lingkungan, atau keluarga mobilisasai dan
pemaparan terhadap vector, usia, dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : Meliputi curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Culex quinquefasciatus,
mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih, terutama pada kakinya.
Morfologinya khas, yaitu memiliki gambaran lira atau harpa (lyra-form) yang putih pada
punggungnya (mesonotum). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis
dan menyerupai gambaran kain kasa. Larva Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka
dan gigi sisir yang berduri lateral. Nyamuk betina meletakan telurnya di dinding tempat
perindukannya 1-2cm di atas permukaan air.Seekor nyamuk betina dapat meletakan rata-
rata 100 butir telur setiap kali bertelur. Pertumbuhan dari telur hingga menjadi dewasa
memerlukan waktu kira-kira 9 hari.6
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang berisi air
bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak
500 meter dari rumah penduduk. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan
buatan manusia, seperti tempayan atau gentong tempat penyimpanan air minum, bak
mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di
kebun yang berisi air hujan, juga tempat perindukan alamiah sepeti kelopak daun tanaman,
tempurung kelapa, tonggak bamboo dan lubang pohon yang berisi air hujan. Di tempat
perindukan Aedes aegypti sering ditemukan larva Aedes albopictus yang hidup bersama-
sama.6
Nyamuk Aedes betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan
baik di luar maupun di dalam rumah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang
dengan dua puncak waktu, yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari
terbenam (15.00-17.00). Tempat istirahat Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman
rendah, dan juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian.
7
Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari. Walaupun berumur pedek
yaitu kira-kira 10 hari, Aedes aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa
inkubasinya antara 3-10 hari.6
Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.4
Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat
reaksi silang anatara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese
encehphalitis, dan West Nile virus.4
Patofisiologi
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan
dengue.3,4
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enchancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imum seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH-2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
8
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu, aktivasi komplemen oleh
kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah
dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the
secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi
apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe
virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6
bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi
sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons
antibody anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibody IgG anti dengue titer tinggi.
Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak.
Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang
selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi
C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama
24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia
jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain dari kematian pada DBD ialah
perdarahan saluran pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung
lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang
ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10
sejak permulaan penyakit. Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai
sebab perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor
II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor
9
koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti
terganggu, juga oleh aktifasi system koagulasi.
Klasifikasi
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu:
Derajat IDemam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
Derajat II Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
Derajat III Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( ≤ 120 mmHg ), tekanan darah menurun.
Derajat IV Syok berat nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur, anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
Prognosis
Kebanyakan kasus ringan DBD dapat sembuh sendiri atau dengan perawatan.,
demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih
dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring trombosit dan
hematokrit maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit <100.000/ul dan
hematokrit meningkat waspadai dengue shock syndrome.
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan
pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
10
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk
mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid
sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan DBD, pertama yaitu jenis cairan, kedua yaitu jumlah serta kecepatan
cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan
cairan diruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer
asetat,cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih
mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi
yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tata laksana DHF aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid
adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid
memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL
secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya
dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu
satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke
dalam ruang interstisial. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume
plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan
lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin
didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang
11
lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan
alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid
pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien dengan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis
cairan.4,7
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan
Divisi Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria :
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
Praktis dalam pelaksanaannya.
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
2. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
4. Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
5. Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.4
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24
12
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau
bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka
di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini5 :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.
Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 – 4
jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit
turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah
cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah
menurun, 20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan
infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda – tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana
sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.4
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
13
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan
hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4 – 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan
Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan
trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 – 6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.
FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang
memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit
< 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.4
Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan
dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 – 4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 – 20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15 – 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik
100 mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai
14
diuresis 0,5 – 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam
waktu 60 – 120 menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila
dalam waktu 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila 24 - 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena
jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru
atau gagal jantung dapat terjdi.
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja
yang menetap dalam pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk
mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital
yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps,
pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah
diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan
jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB/jam dan
kemudian dievaluasi setelah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma
masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berati terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan
transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 -
20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 -
1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
15
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik / vasopresor.4
Komplikasi
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua minggu. Namun,
untuk orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulan-
bulan. Gejala klinis yang semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock syndromes
dapat berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal ini tentu
dapat mengancam jiwa.8
1. Sindrom Syok Dengue (SSD)
Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),
hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur), kulit dingin dan lembab serta gelisah.4
Pada penderita DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan
darah menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam
fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok
timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di
daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya
perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk.7
2. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah –otak, sementara sebagai akibat dari
16
koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus
sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan
kegagalan hati akut.
3. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik.
Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena
bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi
syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis,
ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.1
4. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran udem paru pada foto rontgen dada.1
5. Kerusakan hati
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah
lengkung iga kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk
menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah
hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan
17
di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya
perdarahan.1
Pencegahan
Cara yang paling mudah namun efektif dalam mencegah penyakit DBD dengan
istilah 3M plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan
tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali serta menimbun sempah-
sampah dan lubang-lubang pohon yang berpotensi sebagai tempat perkembangan jentik-
jentik nyamuk. Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan tindakan plus seperti
memelihara ikan pemakan jentik-jentik nyamuk, menur larvasida, menggunakan kelambu
saat tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent,
memesang obat nyamuk, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang
sesuai dengan kondisi setempat.2
Kesimpulan
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, dapat di tetapkan
diagnosis pasien menderita demam berdarah dengue (DBD). DBD merupakan penyakit
yang di tularkan melalui gigitan nyamuk A.Aegypti yang mengandung virus dengue,
klasifikasi demam berdarah dibagi menjadi 4 derajat. Pecegahan DBD dapat dilakukan
dengan 3M plus.
18
Daftar Pustaka
1. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO dan Departemen Kesehatan RI; 2001.
2. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue:panduan lengkap. Jakarta:EGC;2005.h.41-5.
3. Satari, Hindra I., Meiliasari,Mila. Demam berdarah. Jakarta: Puspa Swara;2004.h.28-
31.
4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9.
5. Mansjoer A, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. h.428-433.
6. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku
Nyamuk. Dalam:Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2009.h.250.
7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran.
Edisi 3. Jakarta:Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.
8. Longo DL, Kasper DL, Jameson LJ, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2005
19