Makalah Blok 12 DBD Derajat 4
-
Upload
nur-latifah -
Category
Documents
-
view
242 -
download
4
description
Transcript of Makalah Blok 12 DBD Derajat 4
Demam Berdarah Dengue
Nur Latifah Kurnia Fachrudin
102014134
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 1151
Email : [email protected]
Pendahuluan
Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat peralihan
dari musim hujan kemusim panas banyak terdapat genangan air yang merupakan sarana tempat
berkembangbiaknya jentik nyamuk diantaranya Aedes aegypty penyebab dari demam berdarah
dengue (DBD). Demam berdarah dengue (DBD) menjadi masalah utama kesehatan, bukan hanya
di Indonesia tetapi juga diseluruh negara di Asia Tenggara.
Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok flavivirus dan family
flaviviridae dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai
leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diastesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom rejatan dengue adalah demam berdarah dengue
yang ditandai dengan adanya rejatan/syok. Terdapat 4 seroptipe virus dengue yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Anamnesa
Pengambilan data dengan cara melakukan wawancara dengan pasien (autoanamnesis)
atau jika dalam keadaan tertentu wawancara dilakukan pada keluarga pasien (alloanamnesis).
Anamnesis dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan
yang ada dibalik terjadinya suatu penyakit.1Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan
menentukan beberapa hal mengenai :
1
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien.
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien.
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut.
4. Kemungkinan penyebab penyakit.
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien.
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya.
Berdasarkan hasil anamnesa, pasien seorang laki-laki 20 tahun tidak sadarkan diri sejak 1
jam lalu. Pasien mengalami demam naik turun, disertai dengan pegal-pegal dan mual, mengalami
buang air besar kehitaman 1 hari yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama kali
untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta bilangan
denyut nadi.
Pemeriksaan fisik lainnya adalah vokal fremitus, auskultasi dan perkusi. Auskultasi
penting untuk mengetahui keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya. Adakah mempunyai
bunyi tambahan, bradicardi atau tachycardia dan peristaltik usus.2
Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan:
1. Kesadaran: apatis
2. Keadaan umum: sakit berat
3. Tekanan darah: 60 Mmhg/palpasi
4. Suhu: 35◦ C
5. Nadi: 110x/menit
6. Pernafasan: 24x/menit
7. Vokal premitus: pada paru kiri melemah
8. Perkusi: pada paru kiri redup
2
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien demam dengue adalah
pemeriksaan kadar hemoglobin, hematocrit, jumlah trombosit, dan apusan darah tepi untuk
melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma baru.3
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :3
- Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif
(> 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah
leukosit, pada fase syok akan meningkat.
- Trombosit : penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000 /µl atau kurang dari 1-2
trombosit / lapangan pandangan besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada
10 lpb, pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematocrit dan
terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit <100.000/mm3 biasanya ditemukan antara
hari sakit ke-3 sampai ke-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan pertama saat
pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari ke-3 tetapi bila perlu
diulang sampai suhu turun.
- Kadar hematokrit: peningkatan nilai hematocrit atau hemokosentrasi dijumpai pada DBD,
kadar normal hematokrit (L= 37-43% dan P=40-48%) merupakan indicator yang peka
akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit.
Hemokosentrasi dengan peningkatan hematocrit 20% atau lebih (misalnya dari 35%
menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma.
Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematocrit dipengaruhi oleh pergantian cairan atau
pendarahan.
- Pemeriksaan kadar hemoglobin antara lain dengan menggunakan kalorimeter foto elektrik
(Klett – Summerson), pemeriksaan kadar hemoglobin metode Sahli. Contoh nilai normal
hemoglobin (Hb), anak – anak 11,5 – 12,5 gr / 100 ml darah, pria dewasa 13 – 16 gr / 100
ml darah, wanita dewasa 12 – 14 gr / 100 ml darah
3
Pemeriksaan laboratorium lain:3
- Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara
- Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
- Asidosis metabolic berat yang disertai peningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada
syok berkepanjangan.
Saat ini uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue,
yaitu uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dan ELISA (IgM / IgG).4
Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)
a. Uji serologi memakai serum ganda
- Serum diambil pada masa akut (hari ke 3- 7) dan masa konvalensen (hari ke 10-14).
- Dapat mendeteksi antibody dengue, baik IgM atau IgG
Tes inhibisi-hemaglutinasi (IH) adalah pemeriksaan yang sederhana, sensitif, dan dapat
diulang serta mempunyai keuntungan karena dapat menggunakan reagen yang disiapkan secara
lokal. Tes IH juga biasanya gagal untuk membedakan antara infeksi dengan flavivirus yang
sangat berkaitan, misalnya antara virus dengue dan ensefalitis Jepang, atau virus dengue dan
West Nile. Diagonosis ditegakkan bila terdapat kenaikan titer konvalensen 4x atau lebih
dibanding titer serum akut.4
b. Uji serologi memakai serum tunggal
- Uji dengue blot yang mengukur antibody anti dengue tanpa memandang kelas
antibodinya.
- Uji IgG dan IgM anti dengue yang mengukur hanya antibody anti dengue dari kelas IgG
dan IgM. Pada uji ini yang dicari ada tidaknya atau titer tertentu antibody dengue.
Konfirmasi serologi yang pasti (pada uji HI) tergantung pada kenaikan titer yang jelas (4 kali
atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut dan fase konvalesen.
Pada kasus DBD:
- Titer antibodi HI test pada spesimen akut akan meningkat 4 kali atau lebih pada fase
rekonvalesensi.
4
- Reaksi HI test dikatakan positif primer bila spesimen akut < 1/20 dan akan meningkat
sampai 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi, akan tetapi titer rekonvalesensi <
1/2560.
- Reaksi HI test dikatakan positif sekunder bila titer antibodi dalam fase akut < 1/20 dan
meningkat dalam fase rekonvalesensi sampai 1/2560 atau lebih, atau dalam fase akut titer
antibodi HI test 1/20 atau lebih dan meningkat 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi.4
MAC- ELISA
Dapat digunakan sebagai uji kuantitatif untuk antigen maupun antibody. Antigen
direkatkan pada microplate plastic dan antibody dari serum penderita. Kemudian, ditambahkan
anti human immunoglobulin yang dilabel enzim horseradish peroxidase ke subtract, lalu timbul
perubahan warna. Intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer.
Anti-dengue Ig-M yang dapat dideteksi oleh MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-
linked immunosorbent assay) tampak pada sebagian pasien dengan infeksi primer saat mereka
masih demam; pada sebagian lain IgM ini tampak dalam 2 – 3 hari penurunan suhu tubuh. Pada
serangkaian pasien dengue (infeksi dipastikan dengan isolasi virus atau serologi serum
berpasangan), 80% menunjukkan kadar antibodi IgM yang dapat terdeteksi pada sakit hari
kelima, dan 99% pada hari kesepuluh.4 Sekali terdeteksi, kadar IgM meningkat dengan cepat dan
tampak memuncak sekitar 2 minggusetelah dideteksi selama 2 – 3 bulan. Keuntungan dari MAC-
ELISA adalah bahwa pemeriksaan ini dapat digunakan tanpa modifikasi untuk mendeteksi IgM
anti-flavivirus pada cairan serebrospinal. Karena IgM biasanya tidak melewati sawar darah-otak,
pendeteksian IgM pada cairan serebrospinal adalah temuan diagnostik bermakna.5
2) Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan, tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral decubitus kanan (pasien
tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan USG.
Working Diagnosa
5
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini ditunjukkan melalui
munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot
(myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang
dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia menyebar hingga
menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi
sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.5
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam
yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam berdarah menunjukkan
demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kecil
kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.
Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai ruam-ruam makulopapular.
Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan atau demam
tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari, disertai sakit kepala
hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-ruam. Bintik-bintik
perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan
konjungtiva.5
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk
kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi kejang
demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya DBD tidak selalu ditandai dengan
munculnya bintik-bintik merah pada kulit. Mendiagnosis secara dini dapat mengurangi resiko
kematian daripada menunggu akut.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tukang belakang, dan persaaan lelah.
Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997 diagnosis
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:6
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 dari manisfestasi pendarahan berikut:
- Uji banding positif
- Petekie, ekimosis, purpura.
6
- Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari tempat
lain
- Hematemesis atau melena
3. Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan niali
hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa, perbedaan utama antara DD dan DBD adalah
ditemukan adanya kebocoran plasma. Selain itu perbedaan yang paling utama adalah pada
demam dengue tidak ditemukan manifestasi perdarahan pada pasien. Pada kulit pasien dengan
demam dengue hanya tampak ruam kemerahan saja sementara pada pasien demam berdarah
dengue akan tampak bintik bintik perdarahan. Selain perdarahan pada kulit, penderita demam
berdarah dengue juga dapat mengalami perdarahan dari gusi, hidung, usus dan lain lain.
Differential Diagnosis
1. Syok Sepsis
Syok sepsis adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh masuk dan menyebarnya
organism gram negatif yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel
tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting pada
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks yang merupakan
komponen utama membrane terluar dari bakteri gram negative. LPS akan merangsang
peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi. Pengaruh gejala
endotoksin meliputi demam meskipun suhu tubuh dapat juga normal atau dibawah normal,
permulaan syok sepsis ditandai dengan demam yang meningkat dengan cepat disertai dengan
menggigil, takipnea, takikardi, hipotensi sering dijumpai, kulit teraba hangat dan kemerahan
pada awal stadium dan pada stadium selanjutnya timbul vasokonstriksi kulit sehingga kulit
teraba dingin dan pucat, terjadi pula gangguan keadaan mental yang merupakan akibat dari
perfusi serebral yang menurun berupa binggung, stupor atau koma.7
7
2. Toksik Typoid
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit typoid ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epitaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat.
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi karena demam typoid yaitu toksik typoid. Manifestasi
toksik typoid dapat berupa delirium dengan atau tanpa gejala, semi koma atau koma, parkison
rigidity/tersient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus,
skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensafalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Gejala demam typoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor
atau koma) dengan ada atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan
cairan otak masih dalam batas normal.8
3. Malaria Cerebral
Gejala malaria cerebral dapat timbul secara mendadak atau lambat. Biasanya didahului
oleh sakit kepala dan rasa mengantuk, disusul dengan gangguan kesadaran, kelainan saraf, dan
kejang-kejang. Gangguan penurunan kesadaran bisa berupa gangguan ringan seperti apatis,
somnolen, delirium, dan perubahan tingkah laku. Gangguan berat berupa keadaan koma yang
tidak bisa dibangunkan bila dinilai dengan GCS (Glasglow Coma Scale) dibawah 7 atau equal
dengan keadaan klinis soporous. Malaria cerebral terjadi karena sumbatan kapiler pembuluh
darah otak sehingga terjadi anoksia otak (otak kekurangan oksigen). Sumbatan tersebut terjadi
karena eritosit yang mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses
sitoaderensi dan sekuestrasi parasit. Pada malaria cerebral disertai gangguan fungsi organ lain
seperti ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia, dan edema paru.9
8
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang anatara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis, dan West
Nile virus. Penelitian pada antropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk
genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.4
Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.4
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enchancement (ADE)
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imum seluler
terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma,
IL-2 dan limfokin, sedangkan TH-2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun,
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d) selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.
9
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah dengue hingga
kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the secondary heterologous
infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan
dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis
terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar
antibodi anti dengue yang rendah, respons antibody anamnestik yang akan terjadi dalam
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan
antibody IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada
penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain dari kematian pada
DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah renjatan
berlangsung lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis
yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat
pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan
penyakit. Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab perdarahan pada
penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan
fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan
diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi
system koagulasi.
Gejala
Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang ringan, sedang seperti DD, sampai ke DBD
dengan manifestasi demam akut perdarahan, serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat
berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.4
10
Pada DD terdapat peningkatan suhu secara tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang
hebat pada otot dan tulang, mual, kadang muntah, dan batuk ringan. Sakit kepala dapat
menyeluruh atau berpusat pada supraorbital atau retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama
dirasakan bila tendon dan otot perut ditekan. Pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi
konjungtiva, lakrimasi, dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa pegal. Eksantem dapat
muncul pada awal demam yang terlihat jelas di muka dan dada, berlangsung beberapa jam lalu
akan muncul kembali pada hari ke 3-6 berupa bercak petekie di lengan dan kaki lalu ke seluruh
tubuh. Pada saat suhu turun ke normal, ruam berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya
kadang terasa gatal. Pada sebagian pasien dapat ditemukan kurva suhu yang bifasik. Dalam
pemeriksaan fisik pasien DD hampir tidak ditemukan kelainan. Nadi pasien mula-mula cepat
kemudian menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap
beberapa hari dalam masa penyembuhan. Dapat ditemukan lidah kotor dan kesulitan buang air
besar. Pada pasien DBD dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekie,
purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epitaksis. Hati umumnya membesar dan terdapat
nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya penyakit. Pada pasien Dengue Syok Syndrome,
gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis perifer yang
terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki, serta dijumpai penurunan tekanan
darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke-3 dan
hari ke-7.4
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan subtropics,
khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang dunia II menimbulkan
penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan kepulauan Pasifik.
Selama 20 tahun terakhir, endemic dengue telah menimbulkan masalah di Amerika. Pada
tahun 1995, lebih dari 200.000 kasus demam dengue dan lebih dari 5.500 kasus demam berdarah
dengue terjadi di Amerika selatan dan tengah. Diperkirakan sekitar 50 juta atau lebih kasus
dengue terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan 400.000 kasus demam berdarah dengue.
Kasus demam berdarah dengue merupakan penyebab utama kematian pada anak di beberapa
negara di Asia.
11
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air. Pada tahun
1989-1995, insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk , dan pernah meningkat
tajam saat keadaan luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue,
yaitu:4
1. Vektor
Meliputi perkembangbiakan vector, kebiasaan menggiti, kepadatan vector di lingkungan,
dan transpotasi vector dari satu tempat ke tempat lain.
2. Host
Meliputi terdapatnya penderita di lingkungan, atau keluarga mobilisasai dan pemaparan
terhadap vector, usia, dan jenis kelamin.
3. Lingkungan
Meliputi curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Culex quinquefasciatus,
mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih, terutama pada kakinya. Morfologinya
khas, yaitu memiliki gambaran lira atau harpa (lyra-form) yang putih pada punggungnya
(mesonotum). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan menyerupai
gambaran kain kasa. Larva Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang
berduri lateral. Nyamuk betina meletakan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2cm di
atas permukaan air.Seekor nyamuk betina dapat meletakan rata-rata 100 butir telur setiap kali
bertelur. Pertumbuhan dari telur hingga menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.10
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang berisi air bersih
yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah penduduk. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan manusia, seperti
tempayan atau gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, kaleng, botol,
drum, ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan, juga
tempat perindukan alamiah sepeti kelopak daun tanaman, tempurung kelapa, tonggak bamboo
12
dan lubang pohon yang berisi air hujan. Di tempat perindukan Aedes aegypti sering ditemukan
larva Aedes albopictus yang hidup bersama-sama.10
Nyamuk Aede betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di
luar maupun di dalam rumah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua
puncak waktu, yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-
17.00). Tempat istirahat Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah, dan juga
berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian. Umur nyamuk dewasa
betina di alam bebas kira-kira 10 hari. Walaupun berumur pedek yaitu kira-kira 10 hari, Aedes
aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya antara 3-10 hari.10
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting
yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga
6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan
akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang
diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan
dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang
mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan
pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan DBD, pertama yaitu jenis cairan, kedua yaitu jumlah serta kecepatan cairan
yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan
13
diruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar
pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih
murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal. Secara umum,
penggunaan kristaloid dalam tata laksana DHF aman dan efektif. Beberapa efek samping yang
dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas
hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek
penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke
seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml
bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan
15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki
beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume
plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih
baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan
dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar.
Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah
(contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan
dengue (DSS) pada pasien dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama
renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.2,4
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan Divisi
Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria :
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
Praktis dalam pelaksanaannya.
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
14
1. Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
2. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
4. Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
5. Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.4
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini5 :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.
Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
15
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 – 4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi
turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi
5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun,
20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila
dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda – tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila
syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.4
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung /
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 – 5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 – 6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP
diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang),
PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada
16
pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3
disertai atau tanpa KID.4
Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh
kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang
tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 – 4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar
natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 – 20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15 – 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 – 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120
menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 –
120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24 - 48
jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjdi.
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan
telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
17
hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB/jam dan kemudian dievaluasi
setelah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila
nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian
cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati terjadi perdarah
(internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang
sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 - 20ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat
ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 - 1,51/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder.
Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.4
Komplikasi
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua minggu. Namun, untuk
orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulan-bulan.
Gejala klinis yang semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock syndromes dapat
berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal ini tentu dapat
mengancam jiwa.11
1. Sindrom Syok Dengue (SSD)
Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi
(dibandingkan standar sesuai umur), kulit dingin dan lembab serta gelisah.4
18
Pada penderita DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa
hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita ditemukan
tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut,
nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi
20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase kritis syok. Penderita
seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat
seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab
yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal yang hebat.
Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.2
2. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah –otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-
otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
3. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular,
penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan
parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan
baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok
berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin.6
19
4. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih
terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan
diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit
tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab
pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada.6
5. Kerusakan hati
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi
dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan,
derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan pembesaran
hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan
pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada
anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.6
Prognosis
Demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih
dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring trombosit dan hematokrit
maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit <100.000/ul dan hematokrit meningkat
waspadai DSS.
Pencegahan
Cara yang paling mudah namun efektif dalam mencegah penyakit DBD dengan istilah
3M plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan tempat
penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali serta menimbun sempah-sampah dan
lubang-lubang pohon yang berpotensi sebagai tempat perkembangan jentik-jentik nyamuk.
Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan tindakan plus seperti memelihara ikan
pemakan jentik-jentik nyamuk, menur larvasida, menggunakan kelambu saat tidur, memasang
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memesang obat nyamuk,
20
memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai dengan kondisi
setempat.5
Kesimpulan
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat reaksi silang anatara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis, dan West
Nile virus. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar, dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan
antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada antropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites. Fokus utama pada masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
pencegahan. Pembenahan kebersihan sekitar lingkungan sekitar kita akan sangat membantu
pencegahan terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue. Dengan lingkungan
bersih, maka akan tercipta hidup sehat tanpa adanya penyakit baik DBD ataupun penyakit
lainnya.
21
Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam: At a glance Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik. Jakarta:Peneribit Erlangga;2007.h.1-17
2. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Edisi
3. Jakarta:Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006.h.1709-13.
4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:Interna Publishing;2009. h.2773 – 9
5. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue:panduan lengkap. Jakarta:EGC;2005.h.41-5.
6. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO dan Departemen Kesehatan RI;2006.
7. Eliastam M, Sternbach Gl, Bresler MJ. Syok. Dalam: Kedaruratan medis. Ed:5.
Jakarta:EGC;2006.h.4-5.
8. Widodo D. Demam typoid. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed:5. Jakarta:Interna
Publishing;2014.h.554-5.
9. Zulkarnain I, Setiawan B, Harijanto PN. Malaria berat. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Ed:6. Jakarta:Interna Publishing;2014.h.615
10. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku
Nyamuk. Dalam:Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2009.h.250.
11. Longo DL, Kasper DL, Jameson LJ, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2005
22