Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
1
Simulasi Temperatur Potensial dan Kecepatan Angin untuk Identifikasi Gelombang
Gravitas di Wilayah Sumatera Barat Menggunakan Model WRF-ARW
Dyah Ayu Putriningrum*, Nurjanna Joko Trilaksono*, dan Noersomadi**
*)Institut Teknologi Bandung
**)Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Bandung
ABSTRAK
Gelombang gravitas berperan dalam sirkulasi dinamis atmosfer. Salah satu pengaruhnya adalah proses-proses di
lapisan batas planeter (PBL). Gelombang gravitas diidentifikasi dengan simulasi temperatur potensial dan
kecepatan angin menggunakan model Weather Research and Forecasting–Advance Research WRF (WRF-ARW)
dengan data inisial dan batas model merupakan data FNL tanggal 16–17 Maret 2008. Simulasi dilakukan dalam
tiga domain bersarang dengan resolusi horizontal paling tinggi sebesar 3 km. Metode simulasi dilakukan dengan
membandingkan dua skema parameterisasi PBL yang berbeda yakni Medium Range Forecast (MRF) dan Yonsei
University (YSU). Metode analisis menggunakan transformasi fourier dan wavelet. Dari hasil simulasi,
gelombang gravitas berhasil diidentifikasi dengan baik menggunakan skema MRF di atas Sumatera Barat saat
aktivitas konveksi sedang terbentuk. Gelombang gravitas yang terdeteksi merupakan gelombang gravitas
berperiode singkat (~2 jam) dengan panjang gelombang horizontalnya 5–50 km. Perbedaan karakter gelombang
gravitas yang dihasilkan simulasi, berhubungan dengan sensitivitas skema parameterisasi PBL dan resolusi grid
horizontal. Dalam hal ini, skema MRF bisa menangkap fenomena gelombang gravitas, dan resolusi horizontal 3
km dapat menghasilkan panjang gelombang yang lebih pendek.
Kata kunci: Gelombang Gravitas, Simulasi, WRF-ARW, Temperatur Potensial, dan Kecepatan Angin.
1. Pendahuluan
Gelombang gravitas, atau biasa dikenal sebagai
gelombang bouyan, memiliki peranan penting dalam
dinamika atmosfer. Perambatannya secara vertikal
maupun horizontal sekaligus menyalurkan
momentum dan energi ke jarak yang lebih jauh.
Perpindahan parsel udara dengan osilasi
menyebabkan gangguan di atmosfer, gaya pemulih
yang bekerja pada parsel udara untuk kembali ke
posisi awalnya dilakukan oleh gravitas. Akibat
adanya gaya pemulih ini, terbentuklah gelombang
gravitas di atmosfer (misal. Nappo, 2012).
Kebanyakan sumber gelombang gravitas berasal
dari troposfer (Fritts dan Nastrom, 1992). Gelombang
gravitas yang ada di atmosfer biasanya merupakan
gelombang gravitas berperiode pendek dengan
aktivitas konveksi sebagai sumbernya (Clark dkk,
1986), selain topografi (Fritts dan Nastrom, 1992)
dan geser angin (Fritts, 1984). Beberapa studi tentang
gelombang gravitas dengan konveksi sebagai
sumbernya menunjukkan gelombang gravitas
berhubungan dengan vorteks dingin (misal. Sato dkk,
1985). Di daerah ekuator, pembentukan gelombang
gravitas identik dengan konveksi dalam. Dhaka, dkk
(2001) menunjukkan adanya hubungan aktivitas
gelombang gravitas dengan konveksi di atas daerah
tropis.
Di lapisan batas planeter (selanjutnya disebut
PBL), lapisan yang dipengaruhi langsung oleh
permukaan, turbulensi dapat dihasilkan secara
konvektif maupun dinamis. Konveksi di PBL
biasanya membentuk perawanan, namun tidak selalu.
Ketika perawanan terbentuk, struktur awan identik
dengan gulungan konveksi horizontal dimana
mekanisme pembentuknya melibatkan gelombang
gravitas dan gelombang Kelvin-Helmholtz. Ketika
penghalang konvektif untuk udara dalam PBL
bernilai kecil atau bahkan tidak ada, secara termal
membuat turbulensi PBL yang menentukan dimana
konveksi pertama terinisiasi. Pada kondisi konvektif,
proses updraft dan downdraft mempengaruhi variansi
puncak lapisan batas konveksi (selanjutnya disebut
LBK) (Stull, 1988).
Gelombang gravitas berdampak pada proses-
proses skala mikro maupun meso di PBL, seperti
turbulensi, difusi, aliran lokal dan inversi. Dampak
tersebut merupakan pemicu mekanisme untuk
konveksi, kondensasi, dan proses thunderstorm
(Holton, 2004). Di PBL, turbulensi dan gelombang
gravitas saling berdampingan. Gelombang gravitas
berinteraksi dengan turbulensi yang ada,
menghasilkan transfer energi di antara aliran rata-
rata, medan gelombang, dan turbulensi. Melalui
proses yang dikenal sebagai saturasi gelombang,
amplitudo gelombang gravitas meningkat,
menyebabkan ketidakstabilan gelombang dan
turbulensi. Chimonas dan Nappo (1989)
menunjukkan kondisi PBL yang stabil dapat berubah
menjadi turbulensi akibat gelombang gravitas.
Dhaka dkk (2010) mengolah data radar Ministry
of Science and Technology (MST) untuk
menunjukkan aktivitas gelombang gravitas yang
berhubungan dengan konveksi di daerah tropis.
Pembentukan gelombangnya juga memiliki
mekanisme ketidakstabilan yang bermacam-macam
2
yang terjadi di kawasan troposfer. Tsuda dkk (1994a),
menggunakan radiosonde untuk mengukur
variabilitas gelombang gravitas di stasiun 7,57 °LS
dan 112,68 °BT dan menyarankan adanya hubungan
gelombang gravitas dengan konveksi. Sementara
Kjelaas dkk (1974) memasang tiga sounder akustik
untuk menghitung kecepatan fasa horizontal
gelombang gravitas di atmosfer dengan ketinggian
1000 m. Susunan sumber suara akustik dapat
mendeteksi perambatan gelombang gravitas dalam
inversi pada LBK.
Di Sumatera, aktivitas konveksi dipengaruhi
salah satunya oleh osilasi Madden Julian (selanjutnya
disebut MJO). Pada tanggal 16-18 Maret 2008, MJO-
like terjadi di atas Sumatera. Hal ini mengindikasikan
di atas Sumatera sedang terjadi aktivitas konveksi
yang diduga dipicu oleh aktivitas gelombang gravitas.
Gelombang gravitas yang terjadi diduga dipengaruhi
oleh aktivitas PBL.
Evan dkk (2011) dan Lane dkk (2001, 2005)
menyimpulkan bahwa model Weather Research and
Forecasting–Advanced Research WRF (WRF-ARW)
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
gelombang gravitas skala menengah yang dibentuk
oleh konveksi pada daerah tropis. Lane dkk (2001)
mengidentifikasi perilaku gelombang gravitas di atas
konveksi dengan menguji temperatur potensial dan
angin.
Dalam penelitian ini, telah digunakan model
WRF-ARW untuk simulasi fluktuasi temperatur
potensial dan kecepatan angin di atas daerah konveksi
untuk mengidentifikasi gelombang gravitas di
wilayah Sumatera Barat. Karena pentingnya
pertimbangan parameterisasi PBL, maka efek dari
pemilihan skema PBL juga akan ditinjau melalui dua
eksperimen skema.
2. Metodologi
2.1 Data
Data yang digunakan dalam simulasi ini adalah
data input (kondisi inisial dan kondisi batas) model
yang berupa data FNL dengan resolusi spasial 1°x1°
yang dikeluarkan setiap enam jam. Data FNL tersedia
di permukaan, pada 26 level mandatori dari 1000mb
sampai 10mb, di lapisan batas permukaan dan
beberapa lapisan sigma, tropopause dan lainnya.
Untuk memverifikasi hasil simulasi, digunakan data
observasi berupa data Equatorial Atmospheric Radar
(EAR), Global Positioning System (GPS), dan Multi-
Functional Transport Satellit (MTSAT).
EAR terletak di Bukit Kototabang, Indonesia
(0,20 °LS; 100,32 °BT; 865 m di atas permukaan
laut). EAR didesain untuk memiliki kemampuan
mengukur medan angin di troposfer dan stratosfer
bagian bawah 2–20 km. Resolusi spasial EAR sebesar
75–150 m dan resolusi temporalnya sebesar ~90 detik
(Fukao dkk, 2003). Data ini dapat diunduh di
www.rish.kyoto-u.ac.jp/ear/index-e.html
GPS-RO menyediakan data sounding secara
real-time dan memiliki resolusi vertikal yang cukup
tinggi sebesar 0,1 km dengan ketinggian pada rentang
permukaan hingga 40 km (Cucurull dkk., 2012). Di
daerah tropis, persebaran okultasi GPS-RO tidak
serapat persebaran di lintang tinggi. Hal ini
menyebabkan tidak banyak daerah di Sumatera yang
termasuk dalam sapuan GPS-RO. Data dari COSMIC
dapat diunduh di http://www.COSMIC.ucar.edu/. MTSAT merupakan satelit dengan orbit
geostasioner dengan posisi berada di 145 °BT yang
dioperasikan oleh Japan Meteorological Agency
(JMA). Dalam tugas akhir ini, kanal MTSAT yang
digunakan adalah IR1 dengan panjang gelombang
10,3–11,3 mm dan beresolusi 5 km. Data yang
diperoleh dari citra satelit MTSAT-1R kanal IR1
adalah temperatur black body (TBB) dengan resolusi
temporal 1 jam. Data MTSAT-1R diunduh di situs:
weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME/. Sementara data
kalibrasi data MTSAT-IR1, dapat diunduh di:
weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/CAL/.
2.2 Metode
WRF-ARW adalah sistem prediksi cuaca
numerik skala meso yang didesain untuk melakukan
prediksi operasional dan riset atmosfer. WRF-ARW
memungkinkan simulasi real maupun simulasi yang
menggunakan konfigurasi ideal (Skamarock dkk,
2005).
Gambar 1. Domain bersarang model WRF-ARW.
Garis kuning menunjukkan batas domain. Domain 1
dibatasi oleh garis terluar, domain 2 dibatasi oleh garis
kedua, sementara domain 3 dibatasi oleh garis kuning
paling dalam.
Dalam penelitian ini, digunakan tiga domain
bersarang seperti yang ditunjukkan pada Gb. 1.
Domain induk dengan resolusi 27 km, domain dua
(domain anak) beresolusi 9 km, dan domain tiga
(domain anak) beresolusi 3 km. Masing-masing
domain menggunakan skema Goddard untuk
parameterisasi mikrofisis dan skema cumulus untuk
parameterisasi konvektif. Pada domain ketiga,
parameterisasi cumulus tidak digunakan dalam
3
simulasi ini karena pada resolusi 4 km, updraft cukup
diselesaikan untuk memperoleh transpor vertikal
secara eksplisit.
Dua eksperimen skema PBL dilakukan dalam
model untuk mengetahui pengaruh parameterisasi
PBL. Pada eksperimen pertama, semua domain
menggunakan skema Medium Range Forecast
(MRF). Sementara pada eksperimen kedua, semua
domain menggunakan skema Yonsei University
(YSU).
Skema-skema parameterisasi tersebut dipilih
berdasarkan penelitian sebelumnya untuk
mengidentifikasi gelombang gravitas di wilayah
benua maritim, khususnya Kalimantan dan Malaka
(Hara dkk, 2006; Wu dkk, 2009; Teo dkk, 2011).
Simulasi untuk domain ketiga dijalankan
sebanyak dua kali. Pertama, simulasi dijalankan
dengan resolusi waktu 60 menit untuk uji coba
apakah model bisa menangkap evolusi konveksi.
Kedua, simulasi dijalankan dengan resolusi waktu
lima menit untuk mengetahui detil evolusi konveksi
di dalam model.
3. Hasil
3.1 Verifikasi Model
Untuk menguji performa skema PBL yang
dipakai dalam simulasi gelombang gravitas ini, maka
penulis menggunakan data EAR berupa angin vertikal
pada tanggal 16 – 18 Maret 2008 setiap 10 menit.
Pengujian dilakukan dengan diagram taylor (Taylor,
2001). Dalam diagram Taylor, similaritas antara
model dan observasi dapat dikuantifikasikan melalui
korelasi, root-mean-square difference (RMSD) dan
amplitudo variasi data (diwakili oleh standar deviasi).
Diagram ini meringkas seberapa dekat pola model
yang cocok dengan data observasi yang ada.
Untuk variabel angin vertikal (tidak
ditunjukkan), terlihat bahwa skema MRF memiliki
koefisien korelasi yang lebih tinggi dibanding skema
YSU. Standar deviasi skema MRF lebih tinggi
dibandingkan skema YSU, ini berarti sebaran data
hasil skema MRF jauh lebih besar dibandingkan
skema YSU. Skema MRF memiliki varian antar data
yang lebih besar dibanding YSU. Untuk variabel
angin horizontal (tidak ditunjukkan) terlihat memiliki
kesamaan pola dengan variabel angin vertikal. Data
hasil model dengan skema MRF menunjukkan
kedekatan yang lebih baik dibandingkan skema YSU.
Hal tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa secara
statistika, skema MRF memiliki performa yang lebih
bagus dalam memodelkan kecepatan angin dibanding
skema YSU. Sehingga, dalam pembahasan
selanjutnya, akan dilakukan analisis secara kualitatif
untuk membandingkan kedua skema.
Verifikasi profil vertikal dilakukan dengan
membandingkan data temperatur dari hasil simulasi
dengan upper air sounding data GPS-RO. Data
okultasi yang tersedia hanya pada tanggal 16 Maret
2008 pukul 1550 UTC di 2,4512°LS dan 98,3758°BT
dari satelit METOP-A serta pukul 0240 UTC di
0,1647°LU dan 98,3823°BT dari satelit COSMIC.
Oleh karena itu, verifikasi hanya dapat dilakukan
pada satu profil sounding dari tiap satelit dengan cara
membandingkan profil temperatur vertikal antara data
satelit dengan data hasil simulasi menggunakan
skema MRF dan YSU.
Korelasi sebesar 0,9994 untuk data satelit
METOP-A vs MRF maupun METOP-A vs YSU.
Korelasi sebesar 0,9992 untuk COSMIC vs MRF dan
0,9990 untuk COSMIC vs YSU. Walaupun selisih
nilai korelasi yang cukup kecil, namun dapat
disimpulkan bahwa skema MRF merupakan skema
PBL lebih baik dibandingkan skema YSU.
Aktivitas konveksi dapat dilihat dari citra satelit
MTSAT IR1. Citra satelit ini memperlihatkan puncak
awan pada domain tiga model (tidak ditunjukkan).
Citra puncak awan dengan TBB negatif
mengindikasikan adanya aktivitas konveksi. Semakin
negatif nilai TBB, maka aktivitas konveksi semakin
besar. Aktivitas konveksi paling besar terjadi di
sekitar 17 Maret 2008 pukul 0300–0600 UTC di
97°BT dan sekitar pukul 1000–1200 UTC di 102°BT.
Dari diagram hovmoller (tidak ditunjukkan), dapat
dilihat arah perambatan konveksi menuju ke barat.
Hal ini sesuai dengan Clayson, dkk (2002) bahwa ada
perambatan awan konveksi ke arah barat.
3.2 Evolusi Awan Konvektif
Tiga penampang melintang vertikal dari kontur
temperatur potensial skema MRF tiap jam dari pukul
(a) 1000 UTC, (b) 1100 UTC, dan (c) 1200 UTC
tanggal 17 Maret 2008 sepanjang latitude 0,2 °LS
ditunjukkan dalam Gb. 2. Cloud water mixing ratio
ditandai dengan bayangan berwarna biru yang
bernilai dikisaran 0,1 – 2.1 g/kg. Semakin berwarna
biru tua, semakin tinggi nilai cloud water mixing
ratio-nya. Cloud water mixing ratio menunjukkan
tingkat kejenuhan air di dalam awan, sehingga
semakin besar merepresentasikan pertumbuhan
perawanan yang semakin kuat di daerah tersebut.
Meninjau perawanan di titik 0,2 °LS dan 100,32
°BT, pada pukul 1000 UTC (Gb. 2a), terlihat bahwa
di sekitar 100 °BT terdapat awan ditandai dengan
bayangan biru cloud water mixing ratio. Saat terdapat
awan, temperatur potensial di atas awan tersebut
seperti mengalami gangguan. Kontur temperatur
potensial di antara ketinggian 10 hingga 14 km
(daerah troposfer atas) mengalami gangguan yang
besar dengan amplitudo sekitar 1 km. Pada pukul
1100 UTC (Gb. 2b), pertumbuhan awan semakin
kuat. Temperatur potensial di atas awan juga terlihat
semakin fluktuatif. Amplitudo gangguan pada
ketinggian 10 hingga 14 km mencapai 2 km. Pukul
1200 UTC (Gb. 2c), perawanan mulai melemah.
Fluktuasi temperatur potensial di atas awan juga
mengalami penurunan amplitudo. Amplitudo di
ketinggian 10 hingga 14 km kembali pada kisaran 1
4
km seperti saat perawanan mulai terbentuk. Fluktuasi
temperatur potensial di atas awan menunjukkan
adanya aktivitas gelombang yang merambat vertikal
dan membentuk gelombang horizontal di daerah
troposfer atas (sekitar ketinggian 15 km).
Dengan simulasi YSU (Gb. 2d-f), fluktuasi
temperatur potensial di atas perawanan juga terlihat
memiliki kemiripan dengan skema MRF. Konveksi
yang dihasilkan muncul pada waktu yang sama dan
struktur perawanan yang sama secara keseluruhan.
Perbedaan pertama dari kedua hasil simulasi
adalah perawanan pada simulasi YSU tidak begitu
kuat dibandingkan dengan skema MRF. Ini dapat
dilihat dari cloud water mixing ratio hasil skema
YSU yang tidak begitu melebar secara horizontal
dibandingkan dengan skema MRF. Di kedua model,
keberadaan perawanan di sepanjang 0,2 °LS
menunjukkan keberagaman kedalaman, lebar, dan
jarak horizontal tiap-tiap awan. Walaupun jika
ditinjau pada satu titik (0,2 °LS; 100,32 °BT) pada
saat awan dalam kondisi tumbuh yakni pukul 1100
UTC, kedua skema menunjukkan tinggi puncak awan
yang sama yakni 9 km.
Gambar 2. Penampang melintang vertikal temperatur potensial (kontur) skema MRF pada (a) 1000 UTC, (b) 1100 UTC, (c)
1200 UTC tanggal 17 Maret 2008 sepanjang latitude 0,2 °LS. Warna biru menunjukkan cloud water mixing ratio dengan
nilai dikisaran 0,1–2.1 g/kg. Gambar (d),(e),(f) sama seperti (a),(b),(c) namun YSU.
Namun fluktuasi temperatur potensial di atas
puncak awan menunjukkan amplitudo yang berbeda.
Ini disebabkan karena lebar perawanan yang berbeda.
Skema MRF memperlihatkan fluktuasi temperatur
potensial dalam arah horizontal yang lebih kuat
dibandingkan skema YSU.
Area di atas aktivitas konvektif dengan
turbulensi termal (Gb. 2) yang kuat dan aliran vertikal
(tidak ditunjukkan) dapat dengan jelas menunjukkan
keberadaan pergerakan gelombang (Petenko dkk,
2011). Adanya kecurigaan bahwa di atas daerah
konveksi terdapat gelombang gravitas.
3.3 Gelombang Gravitas
Gelombang di atmosfer terjadi ketika masa udara
dipindahkan dari posisi inisialnya, gaya pemulih bisa
menyebabkan parsel udara tersebut kembali ke
c f
b e
a d
5
kondisi kesetimbangan inisialnya (Lin, 2007).
Terlihat di Gb. 3, pada pukul 1030 UTC, terdapat
sumber gelombang pertama disekitar daerah 0,5 °LS ;
100,5 °BT dan 0,8 °LU ; 99 °BT. Pada saat itu juga
terdapat sumber gelombang kedua yang sedang
terbentuk di daerah 0,4 °LS ; 100 °BT. Sepuluh menit
kemudian, sumber gelombang pertama mulai pecah
dan melebar keluar. Sementara sumber gelombang
kedua mulai melebar. Hal ini konsisten dengan
penampang melintang vertikal Gb. 2 bahwa di sekitar
100 °BT sedang terjadi pembentukan awan konvektif.
Di lapisan atas pembentukan awan konvektif,
terdapat fluktuasi temperatur potensial dan angin
vertikal (tidak ditunjukkan). Adanya aktivitas
konvektif dapat memicu pembentukan gelombang
gravitas di lapisan troposfer bagian atas (Fovell dkk,
1992).
Gambar 3. Penampang melintang horizontal kecepatan angin vertikal (m/s) hasil model domain 3 yang menggunakan skema
MRF pada (a) 0920 UTC, (b) 0950 UTC, (c) 1020 UTC, dan (d) 1100 UTC di ketinggian 19 km.
Untuk mengidentifikasi apakah gelombang yang
terbentuk adalah gelombang gravitas, maka
selanjutnya akan diperiksa karakteristiknya sesuai
Lane (2013, komunikasi personal). Pertama,
memeriksa hubungan antara sinyal temperatur
potensial dan kecepatan angin vertikal. Jika hal
tersebut merupakan gelombang gravitas, maka kedua
sinyal akan berkoherensi dengan baik dan fasanya
berada dalam satu kuadran seperempat yang sama.
Hubungan fasa diidentifikasi dengan menghitung
koherensi menggunakan transformasi wavelet
kontinu. Data inputannya adalah data deret waktu dari
pukul 0000 UTC tanggal 16 Maret 2008 hingga pukul
0000 UTC tanggal 18 Maret 2008 di titik 0,2 °LS dan
100,32 °BT pada ketinggian 15 km.
Gambar 4. memperlihatkan bahwa di sekitar
pukul 0900 UTC–1100 UTC tanggal 17 Maret 2008
(saat konveksi sedang terbentuk), kedua variabel hasil
skema MRF berkoherensi tinggi, yaitu mendekati
nilai 1. Koherensi yang tinggi pada periode 20–60
menit dan 80–120 menit. Telihat bahwa variabel
temperatur potensial mendahului variabel kecepatan
angin vertikal dengan perbedaan fasa kedua variabel
pada kedua periode berkoherensi tersebut sebesar 90°
(arah panah ke bawah).
Koherensi yang tinggi dan perbedaan fasa
sebesar 90°, menandakan kedua variabel berada
dalam satu kuadran fasa yang sama. Oleh karena itu,
gelombang yang dibentuk oleh sinyal temperatur
potensial dan kecepatan angin vertikal merupakan
gelombang gravitas. Gelombang yang berhasil
ditangkap oleh hasil simulasi WRF-ARW dengan
skema MRF diidentifikasi sebagai gelombang
gravitas dengan ciri-ciri yakni fasa sinyal temperatur
potensial dan kecepatan angin vertikal berada dalam
satu kuadratur.
a b
c d
6
Gambar 4. Spektrum wavelet kontinu temperatur potensial
dan kecepatan angin vertikal skema MRF. Panah
menggambarkan perbedaan fasa antara kedua variabel,
sementara warna menunjukkan nilai koherensi antara dua
variabel tersebut. Garis lengkung merupakan batas cone of
influence.
Seperti halnya pada hasil skema MRF,
pembentukan konveksi hasil skema YSU juga terlihat
pukul 0900 UTC–1100 UTC tanggal 17 Maret 2008.
Dari spektrum wavelet kontinu skema YSU (tidak
ditunjukkan), koherensi tinggi berada pada periode
20–120 menit. Namun perbedaan fasa kedua variabel
lebih dari 90°. Hal ini menyebabkan kedua variabel
tidak berada dalam satu kuadran fasa. Sehingga, bisa
dikatakan bahwa sinyal temperatur potensial maupun
kecepatan angin vertikal bukan merupakan
gelombang gravitas.
Kedua, untuk mengetahui apakah gelombang
yang terjadi adalah gravitas maka diperiksa
karakteristik berupa periode, bilangan gelombang dan
panjang gelombang. Karakteristik periode gelombang
gravitas diperiksa menggunakan transformasi wavelet
di titik 0,2 °LS 100,32 °BT pada ketinggian 15 km
sepanjang 16 Maret 2008 pukul 0000 UTC sampai 18
Maret 2008 pukul 0000 UTC.
Sementara karakteristik bilangan gelombang dan
panjang gelombang gravitas diperiksa menggunakan
transformasi fourier berupa spektrum kecepatan angin
angin vertikal w dan kecepatan horizontal u yang
direkam pada setiap titik grid horizontal setiap satu
jam disepanjang ketinggian 15 km dari permukaan
sepanjang latitude 0,2 °LS di setiap level waktu dari
jam ke-3 hingga jam ke-49 simulasi (jam ke-1 dan
ke-2 diaggap spin up error sehingga tidak dipakai
dalam analisis ini). Tiap-tiap amplitudo pada
spektrum dikalikan dengan konjugatnya untuk
memperoleh power spectra density (PSD). Kemudian
PSD di masing-masing level waktu dirata-ratakan
untuk memperoleh kurva PSD vs bilangan gelombang
horizontal.
Gambar 5. Spektrum wavelet kontinu skema MRF (a)
temperatur potensial dan (b) kecepatan angin vertikal
selama 0000 UTC tanggal 16 Maret 2008 sampai 0000
UTC tanggal 17 Maret 2008. Warna menunjukkan power
dengan satuan °C2s untuk temperatur potensial dan m2s-1
untuk kecepatan angin.
Gambar 5. memperlihatkan sinyal temperatur
potensial pada pukul 0900–1100 UTC pada tanggal
17 Maret 2008 dengan periode 60–180 menit
memiliki power yang cukup kuat dibanding sinyal di
waktu dan periode yang lain. Sementara sinyal
kecepatan angin vertikal pada pukul 0900–1100 UTC
menguat pada periode 20–40 menit. Walaupun ada
sinyal yang cukup kuat di periode 80–120 menit,
namun tidak sekuat periode 20–40 menit. Hal ini
konsisten dengan perbedaan fasa pada gambar 4.
Perbedaan fasa tersebut menunjukkan lag time
antara sinyal temperatur potensial dan kecepatan
angin vertikal pada periode 80–120 menit. Karena
pada periode 20–40 menit tidak menunjukkan lag
time sesuai dengan karakter gelombang gravitas,
maka bisa dikatakan bahwa gelombang gravitas pada
pukul 0900–1100 UTC memiliki periode 80–120
menit konsisten dengan periode gelombang gravitas
di Sumatera Barat yang diteliti oleh Dhaka (2011)
yakni periode gelombang gravitas pendek sebesar
kurang dari 3 jam yang muncul di sekitar tropopause
yang teridentifikasi saat konveksi sedang terbentuk.
Dari periode gelombang gravitas tersebut,
didapatkan frekuensi gelombang gravitas yang terjadi
sebesar 4,34 x 10-8 /detik sampai 1,4 x 10-4 /detik.
Gambar 6. Power Spectral Density kecepatan angin vertikal
skema MRF vs bilangan gelombang pada ketinggian 15 km
sepanjang latitude 0,2 °LS dari jam ke-3 hingga jam ke-49
simulasi.
a
b
7
Gambar 7. Sama seperti Gb. 6 namun angin horizontal.
Spektrum horizontal dari kecepatan vertikal
MRF menunjukkan bahwa kecepatan vertikal
didominasi oleh bilangan gelombang kurang dari
3 10 4 rad m-1
, panjang gelombang horizontal
kurang dari 21 km. Sementara pada spektra YSU
(tidak ditunjukkan), didominasi oleh bilangan
gelombang kurang dari 1 10 4 rad m-1
, panjang
gelombang horizontal kurang dari 60 km. Dengan
menurunnya power secara signifikan pada bilangan
gelombang yang tinggi, kebanyakan merupakan hasil
dari difusi numerik.
Lane dan Moncrieff (2007) berpendapat bahwa
tanda-tanda gelombang gravitas yang ditunjukkan
oleh kecepatan vertikal merupakan respon dari skala
bilangan gelombang yang lebih pendek, gelombang
gravitas berfrekuensi tinggi. Gelombang gravitas di
daerah tropis didominasi oleh panjang gelombang
antara 10 dan 60 km. Perbandingan spektrum angin
vertikal antara simulasi menggunakan skema MRF
dan YSU menunjukkan adanya perbedaan panjang
gelombang yang dihasilkan. Penjelasan lebih detail
pada Subbab 3.4
Spektrum horizontal bilangan gelombang angin
horizontal memiliki kesamaan dengan spektrum
horizontal angin vertikal. Namun terdapat perbedaan
pada bilangan gelombang dominannya. Untuk skema
MRF yang ditunjukkan oleh Gb. 7, bilangan
gelombang dominannya terletak diantara rentang
2 10 5 rad m-1
sampai 2 10 4 rad m-1
sehingga
panjang gelombangnya berada pada rentang 5–50 km.
Sementara untuk skema YSU (tidak ditunjukkan),
bilangan dominannya terletak diantara rentang
2 10 5 rad m-1
sampai 3 10 4 rad m-1
sehingga
panjang gelombangnya berada pada rentang 3–50 km.
Ketiga, gelombang gravitas dapat diidentifikasi
dari frekuensi intrinsiknya. Frekuensi intrinsik (Ω)
adalah frekuensi yang relatif terhadap udara saat
gelombang sedang terjadi, didefinisikan sebagai:
Ω ω dimana adalah frekuensi
gelombang relatif terhadap sistem koordinat (contoh:
frekuensi yang diamati dari permukaan),
merupakan vektor aliran horizontal rata-rata dan
adalah bilangan gelombang horizontal.
Frekuensi intrinsik dihitung dengan rumus yang
telah disebutkan sebelumnya dengan kecepatan angin
background horizontal sebesar -2,628 m s-1
, maka di
dapat rata-rata frekuensi intrinsiknya sebesar 0,0033
s-1
, frekuensi intrinsiknya lebih besar dibanding
frekuensi Brunt-Vaisala. Sehingga sesuai dengan ciri-
ciri yang dipaparkan sebelumnya, gelombang yang
terbentuk adalah gelombang gravitas.
3.4 Sensitivitas Model
Dari dua simulasi yang dilakukan, terdapat
perbedaan hasil model. Hal ini bisa disebabkan
karena sensitivitas skema parameterisasi PBL (misal.
Udina dkk, 2012) maupun resolusi horizontal yang
digunakan (misal. Lane dkk, 2001). Untuk itu, pada
Subbab ini akan dibahas mengenai sensitivitas model
yang mempengaruhi hasil simulasi gelombang
gravitas.
Untuk menguji sensitivitas skema PBL pada
hasil simulasi gelombang gravitas, digunaka dua
skema yakni MRF dan YSU. Berdasarkan hasil pada
Subbab 4.3, spektrum gelombang keduanya
menunjukkan pola yang hampir sama. Perbedaannya
hanya terdapat pada rentang bilangan gelombang
pada spektrum angin vertikal maupun angin
horizontal. Perbedaannya sekitar 0,001.
Perawanan yang dihasilkan oleh skema MRF
(Gb. 2a-c) terlihat lebih melebar secara horizontal
dibandingkan perawanan yang dihasilkan oleh skema
YSU (Gb. 2d-f). Hal ini disebabkan karena MRF
pada umumnya menghasilkan pencampuran (mixing)
yang berlebih ketika angin sedang menguat. Selain
itu, MRF melemahkan penghalangan konveksi
(Bright dan Mullen, 2002). Penghalang konveksi
yang melemah membuat model menghitung
pembentukan perawanan yang lebih kuat.
Untuk menggambarkan sensitivitas skala
horizontal gelombang gravitas terhadap resolusi grid
horizontal, power spektrum dari ketiga domain model
diperlihatkan di Gb. 8. Spektrum tersebut dihitung
pada ketinggian 15 km, pukul 1100 UTC tanggal 17
Maret 2008.
Gambar 8. Power spektra horizontal skema (a) MRF dan
(b) YSU dengan resolusi 27 km, 9 km, dan 3 km. Spektrum
dihitung dari nilai kecepatan vertikal di ketinggian 15 km.
a
b
8
Dari kedua skema, resolusi horizontal paling
rendah, 27 km, menghasilkan panjang gelombang
yang lebih besar dibanding kedua resolusi yang lebih
tinggi lainnya. Hal ini konsisten dengan Lane dan
Knievel (2005), simulasi dengan resolusi horizontal
yang rendah menghasilkan panjang gelombang
gravitas yang lebih panjang dibanding resolusi tinggi,
namun PSD yang kecil menunjukkan bahwa
karakteristiknya tidak kuat.
Meninjau power spektra kedua skema, MRF
memiliki spektra lebih tinggi dibanding YSU di
bilangan gelombang dominannya. MRF
menghasilkan perawanan yang lebih kuat
dibandingkat YSU, sehingga gelombang yang muncul
juga lebih kuat.
4. Kesimpulan
Dari hasil simulasi WRF-ARW menggunakan
dua skema MRF dan YSU dengan parameter angin
vertikal dan horizontal, memperlihatkan koefisien
korelasi MRF lebih besar dibanding YSU, sementara
MRF memiliki nilai RMSD yang lebih kecil
dibanding YSU, variansi yang ditunjukkan oleh MRF
pun lebih kecil dibanding YSU. Korelasi profil
vertikal temperatur MRF terhadap GPS-RO lebih
tinggi, sebesar 0,9994, dibanding YSU. Sehingga,
secara statistik, MRF lebih bagus dibanding YSU.
Perawanan hasil MRF maupun YSU sama-sama
menunjukkan perambatan ke arah barat dengan jelas,
konsisten dengan perawanan berdasarkan TBB.
MRF memproduksi cloud water mixing ratio
lebih besar dibanding YSU, sehingga gangguan
temperatur potensial di atas perawanan MRF lebih
besar dibanding YSU. Hal ini mempengaruhi
gelombang yang terbentuk saat terjadinya awan
konveksi dari kedua model. Semakin besar gangguan
temperatur potensial dan kecepatan angin vertikal,
maka gelombang di atmosfer semakin terlihat, sesuai
dengan evolusi pada penampang horizontal, diduga
gelombang yang terjadi adalah gelombang gravitas di
ketinggian 19 km.
Gelombang yang terjadi saat aktivitas konvektif
terbentuk merupakan gelombang gravitas, dengan
ciri-ciri: antara sinyal temperatur potensial dan
kecepatan angin vertikal, memiliki perbedaan fasa
sebesar 90° dan frekuensi intrinsiknya lebih besar
dibanding frekuensi Brunt-Vaisala.
Gelombang gravitas di Sumatera Barat memiliki
karakter yakni frekuensi gelombang 4,34 x 10-8
/detik
sampai 1,4 x 10-4
/detik, bilangan gelombang
horizontal sebesar 2 x 10-5
sampai 2x10-4
rad m-1
dan
panjang gelombang horizontal sebesar 5–50 km.
Periode gelombang gravitas yang terbentuk kurang
dari 120 menit (~2 jam) merupakan tipe gelombang
gravitas berperiode pendek.
Skema PBL juga menghasilkan bilangan
gelombang yang berbeda untuk kecepatan angin
vertikal. MRF menghasilkan bilangan gelombang
3 10 4 rad m-1
, sementara YSU menghasilkan
bilangan gelombang 1 10 4 rad m-1
. MRF
menghasilkan panjang gelombang yang lebih pendek
dibanding YSU, namun masih dalam orde yang sama.
Perbedaan panjang gelombang juga dipengaruhi
oleh skema PBL yang dipakai. skema MRF
menghitung lebih banyak pencampuran sehingga
gangguan di atmosfer semakin besar dibanding hasil
skema YSU yang lebih stabil dalam menghitung
pencampuran vertikal. Selain itu, resolusi horizontal
grid model yang digunakan juga memberika hasil
yang berbeda. Semakin besar resolusi yang dipakai,
model dapat menangkap panjang gelombang yang
merupakan gelombang gravitas.
Ucapan Terimakasih
Penulis berterimakasih kepada Todd P. Lane dari
Melbourne University dan Dr. Rosbintarti Kartika
Lestari dari Atmospheric and Ocean Research
Institute, The University of Tokyo, atas komentar dan
saran yang membantu. Pengerjaan penelitian ini
didukung sepenuhnya oleh Weather and Climate
Prediction Laboratory.
Referensi
Bright, David R., dan Steven, L. Mullen. (2002), The
Sensitivity of the Numerical Simulation of the
Sputhwest Monsoon Boundary Layer
Parameterizations, Monthly Weather Review, 128,
3941-3961.
Chimonas, G. and Nappo, C. J. (1989), Wave Drag in the
Planetary Boundary Layer over Complex Terrain,
Boundary-Layer Meteorol., 47, 217–232.
Clark, T. L., Hauf, T., dan Kuettner, J. P. 1986,
Convectively Forced Internal Gravity Waves: Result
Two-Dimensional Numerical Experiments, Quart. J.
R. Meteor. Soc., 112, 899-925.
Clayson, C.A., B. Strahl, dan J. Schrage. (2002), 2-3 Day
Convective Variability in the Tropical Western
Pacific, Mon. Wea. Rev., 130, 529-548
Cucurull, L., J. C. Derber, dan W. Lapenta. (2012).
Assessing the Benefits of Assimilating GPS RO
profiles into Global Numerical Weather Prediction
Models. WMO workshop, Sedona, Arizona. 22–25
Mei 2012.
Dhaka, S. K., Bhatnagar, R., Shibagaki, Y., Hashiguchi, H.,
Fukao, S., Kozu, T., dan Panwar, V. (2011),
Characteristics of Gravity Waves Generated in A
Convective and A Non-convective Environment
Revealed from Hourly Radiosonde Observation under
CPEA-II Campaign, Ann. Geophys, 29, 2259-2276.
Evan, Stephanie, M. Joan Alexander, dan Jimy Dudhia.
(2012), Model Study of Intermediate-Scale Tropical
Inertia–Gravity Waves and Comparison to TWP-ICE
Campaign Observations. J. Atmos. Sci., 69, 591–610.
Fritts, David C., Carmen Nappo, Dennis M. Riggin, Ben B.
Balsley, William E. Eichinger, dan Rob K. Newsom.
(2003), Analysis of Ducted Motions in the Stable
Nocturnal Boundary Layer during CASES-99, J.
Atmos. Sci., 60, 2450–2472.
Fukao, S., H. Hashiguchi, M. Yamamoto, T. Tsuda, T.
Nakamura, M. K. Yamamoto, T. Sato, M. Hagio,
and Y. Yabugaki. (2003), Equatorial Atmosphere
9
Radar (EAR): System description and first results,
Radio Sci, 38, 1053.
Fovell, R., Durran, D., dan Holton, J. R. 1992. Numerical
Simulations of Convectively Generated Stratospheric
Gravity Waves, J. Atmos. Sci., 49, 1427-1442.
Hara, M., Yoshikane, T., Kimura, F. (2006), Mechanism of
Diurnal Cycle of Convective Activity Over Borneo
Island, 7thWRF-ARW User’s Workshop. Colorado.
Holton, J.R. (2004), An Introduction to Dynamic
Meteorology, 4rd Edition. London: Academic Press
Limited.
Kjelaas, A. G., D. W. Beran, W. H. Hooke dan B. R. Bean.
(1974), Waves Observed in the Planetary Boundary
Layer using an Array of Acoustic Sounders, J. Atmos.
Sci., 31, 2040–2045.
Lane, T.P., M.J. Reeder, dan T.L. Clark. (2001), Numerical
Modeling of Gravity Wave Generation by Deep
Tropical Convection, J. Atmos. Sci., 58, 1249-1274.
Lane, T.P. dan M.J. Reeder. (2001), Modelling the
Generation of Gravity Waves by A Maritime
Continent Thunderstorm, Quart. J. Roy. Meteor.
Soc., 127, 2705-2724.
Lane, T. P. dan Michael J. Reeder. (2001), Convectively
Generated Gravity Waves and Their Effect on the
Cloud Environment, J. Atmos. Sci., 58, 2427–2440.
Lane, T. P. dan Jason C. Knievel. (2005), Some Effects of
Model Resolution on Simulated Gravity Waves
Generated by Deep, Mesoscale Convection, J. Atmos.
Sci., 62, 3408–3419.
Lane, Todd P., Mitchell W. Moncrieff. (2008),
Stratospheric Gravity Waves Generated by Multiscale
Tropical Convection, J. Atmos. Sci., 65, 2598–2614.
Lin, Y. T. (2007), Mesoscale Dynamics, New York:
Cambridge University Pers.
Nappo, C. J. (2012). An Introduction to Atmospheric
Gravity Waves. California: Academic Press.
Petenko, I., Mastrantonio, G., Viola, A., Argentini, S., dan
Pietroni, I. (2012), Wavy Vertical Motions in the ABL
Observed by Sodar, Boundary-Layer Meteorology,
143, 125-141.
Sato, T., T. Tsuda, S. Kato, S. Morimoto, S. Fukao, and I.
Kimura. (1985). High-Resolution MST Observations
of Turbulence Using the MU Radar, Radio Sci., 20,
1452-1460.
Skamarock, W. C., Klemp, J. B., Dudhia, J., Gill, D. O.,
Barker, D. M., Wang, W., and Powers, J. G. (2005), A
description of the Advanced Research WRF Version 2,
NCAR Technical Note, 468STR, 88 pp.
Stull, R. B. (1988), An Introduction to Boundary Layer
Meteorology, Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers.
Taylor, K.E. (2001), Summarizing Multiple Aspects of
Model Performance in A Single Diagram, J. Geophys.
Res., 106, 7183-7192.
Teo, C.K. dan Koh, T.Y. (2011), Principal Component
Analysis of Observed and Modeled Diurnal Rainfall in
the Maritime Continent, Journal of Climate, 24, 4662-
4675.
Udina, M., Soler, M. R., Viana, S. dan Yagüe, C. (2013),
Model Simulation of Gravity Waves Triggered by A
Density Current, Quart. J. Roy. Meteor. Soc.,
139, 701–714.
Wu, P., Hamada, J., Yamanaka, M., Matsumoto, J., Hara,
M. 2009. The Impact of Orographically-Induced
Gravity Waves on The Diurnal Cycle of Rainfall over
Southeast Kalimantan Island, Atmospheric and
Oceanic Science Letters, 2. No.1, 35-39.
Top Related