FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI
MESIR PADA ERA MUHAMMAD MURSI
Ikhwan Dawam - 071112091
Abstrak
Revolusi yang terjadi di Mesir memiliki dampak signifikan tidak hanya terhadap jalannya perpolitikan
dalam negeri mesir akan tetapi juga memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kebijakan luar
negeri Mesir. Revolusi ini memunculkan presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis sejak
pemerintahan Husni Mubarak. Hal ini tentu merubah kebijakan luar negeri yang diambil oleh Mesir
itu sendiri yang pada awalnya bersifat otoritarian menjadi demokratis. Terjadi perubahan fokus
kebijakan Mesir yang pada awalnya lebih berfokus terhadap Amerika Serikat menjadi lebih berfokus
terhadap permasalahan atau isu-isu yang ada di timur-tengah setelah terjadninya revolusi.
Dengan menganalisis menggunakan teori Decission Making, maka penulis berhipotesis bahwa Mesir
mengambil fokus kebijakan luar negeri setelah revolusi menjadi fokus timur-tengah bukan merupakan
suatu keputusan yang secara tiba-tiba. Akan tetapi terdapat faktor-faktor yang menyebabkan
pengambilan kebijakan luar negeri tersebut yaitu politik dalam negeri Mesir yang bergeser dari yang
awalnya otoritarian menjadi demokratis, adanya intervensi dari regional Arab itu sendiri, yang
terakhir adalah adanya intervensi dari negara lain (diluar negara-negara Arab).
Kata-Kata Kunci : Kebijakan Luar Negeri Mesir, Politik dalam Negeri, Pengaruh Regional, Intervensi
asing
Latar Belakang
Kebijakan luar negeri pada era Mursi terlihat lebih cenderung ke arah upaya untuk
membangun kembali kedekatan dengan negara-negara timur tengah, berbeda sekali dengan
era pemimpin sebelumnya yaitu Mubarak yang mengedepankan kerjasama dengan Amerika
Serikat khususnya dalam ekonomi dan militer. Mesir menerima sebanyak dua miliar dollar
Amerika setiap tahunnya yang dipasok oleh Amerika Serikat untuk merubah persenjataan
yang semulanya Mesir berbasis teknologi dari Uni Soviet menjadi teknologi berbasis
Amerika Serikat yang berbentuk dana ataupun senjata yang diberikan. Selain itu dalam hal
ekonomi Mesir membentuk US-Egypt partnership untuk pertumbuhan ekonomi yang
dibentuk oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat Al-Gore dan Mubarak untuk
meningkatkan sektor privat di Mesir dan mempromosikan US-Egypt partnership.1 Mubarak
juga memberikan timbal balik atas bantuan-bantuan yang telah diberikan oleh Amerika
Serikat kepada Mesir, contohnya adalah pada masa perang Iran-Iraq Mesir mengijinkan
Amerika Serikat untuk menggunakan pangkalan udara Mesir dan memberikan bantuan
berupa tentara sebanyak 40.000 orang serta mengijinkan Amerika Serikat untuk melalui
terusan Suez untuk membantu Amerika Serikat dalam memenangkan perang melawan Iraq
yang telah menginvasi Kuwait.2
Akan tetapi selama kepemimpinan Mubarak, ia memberangus aktivitas oposisi,
terutama oposisi Islamis yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin. Hal ini menimbulkan
kecemasan bagi negara sekitar khususnya di Timur Tengah tetapi juga masyarakat Mesir
yang melihat kepemimpinan Mubarak sangat autorotarian. Tidak hanya itu, melalui kacamata
ekonomi ternyata menimbulkan dinamika domestik yang menjadi salah satu alasan
penggulingan Husni Mubarak.3 Walaupun Mesir dapat dikatakan mengalami peningkatan
ekonomi yang cukup signifikan pada tahun 1990-2009 tetapi hal ini hanya dinikmati oleh
kalangan tertentu saja. Sehingga pada tahun 2010 Mesir mengalami tekanan yang berat pada
pemerintahan mereka yang dipimpin oleh Husni Mubarak, hal ini dikarenakan inflasi harga
barang yang mencapai 10%, dan hal ini diperparah oleh kenaikan harga pangan yang
mencapai 37% dalam jangka waktu dua tahun sebelum terjadinya protes. Protes ini berlanjut
1 Jeremy M.Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, dapat diakses di
https://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33003.pdf, 2016:p.16-18. 2 Eric Fillinger, Mubarak Matters: The Foreign Policy of Egypt Under Hosni Mubarak, dapat diakses di
http://aladinrc.wrlc.org/bitstream/handle/1961/7795/Fillinger,%20Eric%202009S.pdf?sequence=1, 2009:p.33-
34. 3 Amal A.Kandeel, Egypt at Crossroads, dapat diakses di http://www.mepc.org/journal/middle-east-policy-
archives/egypt-crossroads (diakses pada 2 November 2015)
hingga tanggal 25 Januari 2011 yang merupakan protes terbesar dalam sejarah Mesir hingga
pada akhirnya pihak militer mulai tidak percaya kepada Husni Mubarak dikarenakan
Mubarak ingin memprivatisasi perusahaan yang dikuasai oleh militer sehinggal hal ini
menyebabkan pihak militer mengkudeta presiden Husni Mubarak. Pada tanggal 11 Februari
2011 presiden Husni Mubarak diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Mesir4 dan
kekuasaan dipegang sementara oleh Supreme Council of the Armed Force (SCAF). SCAF
pada saat itu langsung membekukan konstitusi Mesir dan membubarkan parlemen yang ada
pada waktu itu. SCAF juga mengumumkan bahwa mereka akan mengawasi pemilihan umum
untuk parlemen maupun presiden. Dalam masa ke kosongan kekuasaan ini SCAF
mengeluarkan Deklarasi Konstitusional pada 30 Maret 2011 yang sebagian besar dari
deklarasi ini diambil dari konstitusi amendemen 1971 pada masa presiden Mubarak dengan
sedikit modifikasi yang mengijinkan pemilihan kompetitif bagi presiden dan parlemen
Mesir5.
Pada akhir bulan Agustus 2012, Mursi berkunjung ke Iran untuk menghadiri KTT
Non Blok ke-16 di Teheran. Hal ini mengejutkan banyak pihak karena sudah lebih dari 30
tahun kedua negara ini tidak berhubungan. Yasser Ali, juru bicara Mesir, juga menambahkan
Presiden Mursi menyarankan membentuk grup kontak antara Mesir, Arab Saudi, Iran, dan
Turki untuk mengatasi krisis di Suriah.6 Pada saat yang sama juga Mesir juga
mengintensifikasikan kontak dengan Hamas, yang ini membuat implikasi Islamisasi
kebijakan luar negeri Mesir semakin besar.7
4 Bruce K.Rutherford “Egypt after Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy In The Arab World”. Princeton
University Press. 2008, p. 5-6 5 Ibid
6 Ahmad Sobirin, Muhammad Mursi: Pemimpin Negara dan Penghafal Al-Qur’an, Yogyakarta: Imperium,
2013, p. 149 7 Ibid., p. 2.
Politik Luar Negeri Mesir Pada Masa Pemerintahan Husni Mubarak
Pemerintahan Mubarak dimulai setelah meninggalnya Anwar Sadat, yang merupakan
salah satu tokoh yang menandatangani perjanjian Camp David pada tahun 1979. Sejak awal
menggantikan posisi Anwar Sadat sebagai presiden, Mubarak langsung dihadapkan oleh
pilihan untuk melanjutkan perjanjian Camp David atau menghentikannya. Langkah yang
diambil oleh Mubarak kemudian menjadi salah satu faktor yang menunjukkan sikap dan
orientasi politik luar negeri Mesir. Hal tersebut ditambah lagi dengan posisi strategis Mesir di
kawasan yang menjadi pertimbangan dan modal dalam menentukan arah politik luar negeri di
bawah kepemimpinan Mubarak. Pada periode ini pula Mesir memilih menjadi negara Arab
pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel yang berhasil dikonfrontasi
oleh AS. Perjanjian Camp David yang ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 oleh
Anwar Sadat - selaku presiden Mesir - dan Menachem Begin – selaku presiden Israel-, ini
membuat hubungan antara Mesir dengan AS dan Israel terikat dalam sebuah kesepakatan
formal. Perjanjian ini kemudian dilanjutkan oleh Hosni Mubarak, sebagai pengganti dari
Anwar Sadat sebagai presiden Mesir. Dengan memilih meneruskan Perjanjian Camp David
tersebut, orientasi politik luar negeri Mesir dinilai senantiasa melindungi kepentingan AS di
Timur Tengah, khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Israel di kawasan Timur-
Tengah.8 Dalam situasi demikian, politik luar negeri Mesir mengalami kemunduran dari segi
eksistensi sebagai representasi negara dunia ketiga.9 Namun, dari segi eksistensi di berbagai
forum internasional, Mesir masih memiliki daya tarik untuk meraih dukungan dari Dunia
Arab dan Afrika dalam organisasi internasional, seperti Non-Aligment Movement (NAM),
Organization of Islamic Conference (OIC), dan African Union (AU). Hal tersebut
8 Ashraf Khalil. “Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A
Nation”. New York: St. Martin’s Press, h. 21. 9 Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h.3
berdasarkan pada upaya yang dilakukan Mesir untuk menyatukan prinsip orientasi politik
luar negeri Mesir itu sendiri; Arab, Afrika, dan Islam.10
Dalam situasi demikian, politik luar negeri Mesir mengalami kemunduran dari segi
eksistensi sebagai representasi negara dunia ketiga.11
Namun, dari segi eksistensi di berbagai
forum internasional, Mesir masih memiliki daya tarik untuk meraih dukungan dari Dunia
Arab dan Afrika dalam organisasi internasional, seperti Non-Aligment Movement (NAM),
Organization of Islamic Conference (OIC), dan African Union (AU). Hal tersebut
berdasarkan pada upaya yang dilakukan Mesir untuk menyatukan prinsip orientasi politik
luar negeri Mesir itu sendiri; Arab, Afrika, dan Islam.12
Selain itu, langkah tersebut
merupakan cara yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir untuk dapat menarik kembali simpati
dari Negara-negara Arab yang telah mengucilkan Mesir setelah penandatanganan Perjanjian
Camp David dengan Israel.13
Mubarak yang diangkat menjadi presiden Mesir pada akhir tahun 1981 mengalami
masa sulit dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya. Dalam regional Arab, Mesir
sudah tidak dianggap lagi di dalam perpolitikan timur tengah yang disepakati dalam
pertemuan di Baghdad untuk memboikot Mesir dan mentransfer markas besar Liga Arab ke
Tunisia. Di dalam dunia internasional, Mesir tidak lagi dapat mengandalkan bantuan dari Uni
Soviet yang biasanya ditawarkan karena keputusan Presiden Sadat untuk memutuskan semua
hubungan ke Uni Soviet ketika dia menjabat sebagai presiden Mesir. Oleh karena itu Presiden
Mubarak tidak mempunyai pilihan lain selain meminta dukungan dari Amerika Serikat dan
negara-negara di barat selama masa kritis ini.14
10
Ibid 11
Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h.3 12
Ibid 13
Tianse, Four Point Toward, h.91 14
Mohammed Kadri Said,Egypt's Foreign Policy in Global Change, the Egyptian Role in Regional and Political
Affairs,The Al Ahram Center for Political and Strategic Studies, h. 72
Kepatuhan Mesir dalam menjalani perjanjiannya dengan Israel dikarenakan
pemulihan Tanjung Sinai ke dalam kekuasaan Mesir, kecuali kota kecil Taba. Pemerintah
Mesir mengklaim bahwa kota kecil ini merupakan bagian dari wilayahnya, namun
pemerintah Israel mengklaim bahwa kota itu merupakan bagian dari sejarah Palestina. Pada
akhirnya Mesir dan Israel menyetujui arbitrasi internasional yang pada akhirnya menyejui
bahwa kota ini masuk ke dalam wilayah Mesir.15
Langkah yang diambil untuk menyelesaikan
masalah dengan arbitrasi ini menjadi tanda bahwa Mesir dan Israel akan menjaga hubugan
baik mereka. Mesir juga bertanggung jawab dalam mensponsori proses perdamaian antara
Israel dan Palestina.
Kesediaan Mesir untuk mengikat diri dengan Perjanjian Camp David tersebut
mengindikasikan bahwa arah kebijakan luar negeri Mesir lebih condong kepada kepentingan
AS dan sekutunya di Timur-Tengah, yakni Israel. Konsistensi pemerintah Mubarak dalam
menjaga perjanjian dengan Israel tersebut dipengaruhi oleh kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan nasional Mesir. Akibat dari perjanjian ini, Mesir mendapatkan berbagai jenis
bantuan ekonomi, militer, dan persenjataan dari AS. Berdasarkan hasil laporan bagian
penelitian Kongres AS pada tanggal 27 Juni 2013 mengenai bantuan luar negeri AS untuk
Mesir Sejak tahun 1948 hingga 2011, Mesir telah menerima bantuan dari AS sekitar $71,6
Milyar, termasuk di antaranya $1,3 Milyar untuk bantuan militer Mesir pada tahun 1987.
Bantuan dengan jumlah yang sama kembali Mesir terima dari AS pada tahun 2008. Bantuan
senilai $1,3 Milyar secara khusus diberikan AS melalui persetujuan Kongres yang
didistribusikan melalui Foreign Military Financing (FMF), Economic Support Funds (ESF),
dan International Military Education and Training (IMET).16
Selain dari bantuan pada bidang militer, Mesir juga menerima bantuan dari AS untuk
bidang ekonomi. Total bantuan yang diberikan AS untuk membantu ekonomi Mesir sebesar
15
Jay Rothman, Conflict Resolution, Consortium, 1992, h. 80 16
Sharp, Egypt: Background, h.9.
$815 juta. Secara keseluruhan, total bantuan yang diberikan AS kepada Mesir tiap tahun pada
masa pemerintahan Mubarak mencapai $2,1 Milyar.17
Lalu, berdasarkan data Washington
Institute of Near East Policy, bantuan yang diberikan ekonomi dan militer yang diberikan
oleh AS merupakan sebuah strategi yang disusun untuk mempertahankan perjanjian yang
melibatkan Mesir dengan Israel. Strategi tersebut merupakan upaya mencapai dan
mempertahankan kepentingan nasional AS di Timur Tengah.18
Mesir adalah peserta aktif dalam proses Barcelona dan telah menandatangani
Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa. Negosiasi untuk Perjanjian ini Uni Eropa-Mesir
Asosiasi baru mulai pada tahun 1994 tetapi baru selesai pada bulan Juni 1999, akan tetapi
penandatanganan perjanjian oleh kedua belah pihak ditunda sampai Februari 2001. Hal itu
disetujui oleh Parlemen Eropa pada bulan November 2001 dan telah banyak disambut sebagai
fase baru dalam hubungan Eropa dengan Mesir.
Ketika Perjanjian Euro Mediterania Partnership (EMP) antara Mesir dan Uni Eropa
mulai berlaku pada 1 Juni 2004,19
perjanjian ini adalah kesepakatan regional pertama yang
melibatkan negara berkembang dan negara maju.20
Akibatnya, tantangan utama yang
dihadapi Mesir dalam konteks ini adalah: menjaga stabilitas sosial dan politik, meningkatkan
lapangan kerja; menyelesaikan proses transisi ekonomi; dan mengkonsolidasikan hubungan
eksternal dengan Eropa dan negara-negara tetangga. Pembentukan perjanjian kemitraan ini,
dan dampak kesepakatan ini pada perekonomian Mesir sangat besar. Perjanjian kerjasama ini
memberikan dampak positif terhadap perekonomian Mesir, sebagai penghapusan bea atas
masuknya barangEropa akan mengurangi harga dan akan meningkatkan daya saing industri
manufaktur, mengurangi biaya investasi, mempercepat akumulasi modal fisik dan dapat
17
Yoram Meita, “Domestic Challenges and Egypt’s U.S. Policy”. Middle East Review of
International Affairs 2 no. 4 (December 1998), hal.7 18
Ashraf Khalil. “Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A
Nation”. New York: St. Martin’s Press, hal. 21. 19
The European Commission's Delegation to Egypt in Cairo Website: http://www.eu-delegation.org.eg/. 20
AL-WESHAH, American Foreign Policy Under Hosni Mubarak’s Regime, h.72
menghasilkan produktivitas keuntungan. Di sisi ekspor, kemitraan bisa mengamankan akses
pasar preferensial diberikan kepada produk Mesir, jumlah bantuan luar negeri yang diterima
oleh Mesir diperkirakan akan meningkat dan proses transisi akan lebih mudah.21
Politik Luar Negeri Mesir Pada Masa Pemerintahan Presiden Muhammad Mursi
Supreme Council of Armed Forces (SCAF) atau Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata
Mesir merupakan lembaga yang mengambil alih pemerintahan transisi Mesir pasca
berakhirnya kekuasaan Mubarak pasca revolusi tahun 2011 silam. SCAF terdiri dari para
pejabat senior militer Mesir yang dipimpin oleh Husein Tantawi. Sebelumnya SCAF
merupakan pihak yang mendukung pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam
revolusi yang menuntut pemberhentian Hosni Mubarak sebagai presiden Mesir.
Keberpihakan SCAF pada masyarakat sipil dalam revolusi tahun 2011 ini dibuktikan dengan
sikap mereka mendukung secara penuh dan menjamin aksi masyarakat dalam menyampaikan
aspirasi. SCAF juga bersedia membantu masyarakat untuk mewujudkan cita-cita revolusi dan
mewujudkan aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat dalam demonstrasi.22
Keberpihakan SCAF kepada masyarakat sipil pada revolusi 2011 menjadi sejarah
tersendiri bagi Mesir. Berbagai pemberitaan di media, khususnya di media televisi nasional,
menyatakan bahwa keberpihakan SCAF pada rakyat merupakan sebuah peristiwa hebat.
Langkah yang dilakukan oleh SCAF sendiri mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari
masyarakat. Saat itu, masyarakat sipil seakan mendapatkan tambahan kekuatan untuk
menghentikan kekuasaan rezim Mubarak yang sudah menjabat selama 30 tahun.23
Mohammed Mursi merupakan seorang presiden terpilih secara demokratis melalui
pemilihan umum pasca revolusi tahun 2011. Mursi merupakan seorang tokoh sipil yang
21
Ashraf S.E.Saleh, Egypt and the EU: An Assessment of the Egyptian Euro-Mediterranean Partnership, Topics
in Middle Eastern and African Economies Vol. 15, No. 1, May 2013 22
Daniel Brumberg and Hesham Sallam, “The Politics of Security Sector Reform in Egypt”, United States
Institute Of Peace Special Report (October 2012), h.2 23
Zeinab Abul-Magd, “Understanding SCAF: The Long Reign of Egypt’s Generals”, Cairo Review 6 , (2012),
h. 156
berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Mursi terpilih sebagai presiden setelah meraih
suara terbanyak dari kandidat lainnya pada pemilihan umum yang dilaksanakan selama dua
putaran. Pada putaran kedua, Mursi mengalahkan Ahmed Shafiq, yang juga mantan perdana
menteri Mesir pada masa pemerintahan Mubarak.24
Sama seperti halnya masa Mubarak dan
masa transisi di bawah kepemimpinan SCAF, pada masa pemerintahan Mursi juga terdapat
beberapa hal penting yang disoroti dalam politik luar negeri Mesir, khususnya dalam
hubungan bilateral dengan Israel. Adapun sikap yang ditunjukkan oleh Mursi yang
merupakan bagian dari langkah kebijakan dan implementasi politik luar negeri Mesir antara
lain: Dukungan terhadap Palestina, Mengatasi Problem Perbatasan Mesir-Israel, Kontinuitas
Perjanjian Camp David, dan Normalisasi hubungan dengan negara-negara dominan di
kawasan Timur Tengah.
Pembukaan pintu perbatasan antara Mesir dan Palestina pada bulan juli 2013,
menunjukkan keberpihakan Mursi dalam menjalankan politik luar negeri Mesir, karena
dianggap lepas dari tekanan Israel. Dibukanya perbatasan Mesir-Palestina memudahkan
penduduk Gaza yang berjumlah sekitar 1.5 juta orang mendapat akses ke negara Mesir,
karena selama ini mereka di blockade oleh Israel dan dihalang-halangi oleh Mesir untuk
masuk ke negara mereka. Terbukanya kembali perbatasan Rafah menurut Alan Phils, penulis
harian di The National, UEA, menunjukkan adanya gap antara Mesir dan Israel, dan
menunjukkan sinyal bahwa politik luar negeri Mesir telah berubah dan Mesir akan bertindak
tanpa harus berkonsultasi dulu dengan Israel.25
Sikap Mesir yang menunjukkan keberpihakan
kepada Palestina kembali terlihat saat pemberian status baru yang diberikan kepada Palestina
24
Qian Xuewen, “The January Revolution and the Future of Egypt”, Journal of Middle Eastern and Islamic
Studies (in Asia) Vol. 6, No. 2, 2012, hal. 49 25
Ibid
oleh PBB sebagai permanent observer. Status ini didukung oleh 138 negara dan Mesir
termasuk di dalamnya sehingga menghasilkan resolusi 67/19 Majelis Umum PBB.26
Untuk menyelesaikan masalah Badui Sinai ini, pada saat satu tahun masa
pemerintahan presiden Mursi melakukan pendekatan kepada kelompok ini. Mursi
menjanjikan perbaikan standar kehidupan; langkah-langkah untuk memfasilitasi mereka
sebagai bagian dari masyarakat Mesir dan implementasi terhadap proyek pembangunan baru,
bagi kelompok Badui Sinai. Namun, apabila janji-janji Mursi tersebut tidak direalisasikan,
kelompok tersebut mengancam untuk melakukan perlawanan dengan berbagai aksi
kekerasan.27
Namun, pemerintah Mursi telah terlebih dahulu menyediakan langkah preventif
apabila terjadi upaya perlawanan yang dilakukan oleh Badui Sinai, Langkah tersebut berupa
penambahan jumlah personel angkatan bersenjata yang beroperasi di Sinai. Akan tetapi,
penambahan jumlah personel tersebut harusberdasarkan kesepakatan dengan Israel. Hal ini
merupakan bagian dari poin-poin yang terdapat dalam perjanjian damai Mesir-Israel.
Beberapa kalangan menilai persyaratan ini merupakan sebuah bentuk diskredit terhadap
pemerintah Mesir.28
Dengan adanya persyaratan tersebut, kepentingan keamanan nasional
Mesir dari kasus di Semenanjung Sinai ini dapat terganggu. Pemerintah Mesir semestinya
dapat bertindak lebih jauh manakala dapat meninjau ulang perjanjian damai dengan Israel,
khususnya poin-poin yang berkaitan dengan keamanan di Semenanjung Sinai.
Kontinuitas perjanjian Camp David pada masa pemerintahan Mursi tidak terlepas dari
pertimbangan logis dalam menentukan arah politik luar negeri Mesir. Mesir akan menghadapi
berbagai risiko apabila pembatalan tersebut dilakukan oleh Mursi. Pembatalan perjanjian
26
Khaled Elgindy. “Egypt, Israel and Palestine: Prospects for Peace After the Arab Spring”. Cairo Review
Vol. 6 (2012), h, 172 27
Ibid, h.10 28
Ibid
tersebut secara otomatis akan merusak atau bahkan dapat menghentikan hubungan bilateral
antara Mesir dengan Israel. Sebagai negara yang berbatasan darat langsung, permasalahan
antara Mesir dan Israel terletak di perbatasan kedua negara di Semenanjung Sinai. Mursi
menitikberatkan permasalahan di perbatasan kedua negara ini sebagai pertimbangan utama
karena dapat menimbulkan konflik bersenjata, bahkan dapat kembali menimbulkan
peperangan antar kedua negara.29
Selain pertimbangan dari faktor eksternal Mesir,
pemerintahan baru Mesir di bawah pimpinan Mursi juga memiliki pertimbangan dari internal
Mesir sendiri.Pertimbangan tersebut berasal dari kalangan militer. Meskipun pimpinan
tertinggi Mesir adalah seorang presiden, namun intervensi militer dalam setiap pengambilan
kebijakan luar negeri Mesir masih memiliki posisi yang kuat. Dalam hal pembatalan
Perjanjian Camp David, militer dapat melakukan konfrontasi terhadap presiden apabila hal
tersebut dilakukan. Sikap yang dilakukan oleh militer tersebut didasari oleh prediksi dampak
yang akan terjadi antara kedua negara, khususnya dari segi keamanan domestik dan stabilitas
kawasan.30
Upaya yang dilakukan oleh Mursi dalam melakukan normalisasi hubungan dengan
negara-negara di Timur-Tengah dapat terlihat dengan kunjungan Mursi setelah resmi
menjabat sebagai presiden. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk melakukan normalisasi
terhadap hubungan Mesir dengan negara-negara lain yang dominan di Timur Tengah.31
Hal
tersebut ditandai dengan kunjungan Presiden Mesir, Mohammed Mursi, ke Iran dalam rangka
menghadiri KTT Non-Blok pada Agustus 2012 di Tehran. Kemudian Presiden Iran,
Mahmoud Ahmadinejad, membalas kunjungan Mursi tersebut dengan kunjungan balik
29
Joshua Haber Dan Helia Ighani,” A Delicate Balancing Act: Egyptian Foreign Policy After The Revolution”,
Imes Capstone Paper Series (May 2013), h.34 30
Casey Friedman, Dominic K. Albino, and Yaneer Bar-Yam, “Political Stability and Military Intervention in
Egypt”, New England Complex Systems Institute (July 8, 2013), h.2-3 31
Mehmet Özkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Morsi” . Ortadogu Analiz Vol. 5, No. 51 (2013).
h, 16
presiden Ahmadinejad ke Kairo dalam rangka Konferensi OKI pada Februari 2013.32
Langkah yang diambil oleh Mesir ini sebagai wujud konsekuensi dari upaya menjadi
kekuatan dominan di kawasan dengan melakukan rekonsiliasi negara-negara dominan di
kawasan.33
Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Mesir
Berakhirnya rezim Husni Mubarak pada tahun 2011 mengubah tatanan rezim politik
yang mempengaruhi Mesir secara drastis, terutama dengan adanya pemilhan umum legislatif
dan pemilihan presiden yang dianggap adil pada tahun 2012. Pergantian ini mengakibatkan
terjadinya perubahan signifikan atas politik luar negeri Mesir. Namun perubahan besar ini
tidak dilakukan dengan cepat dan radikal, Presiden Mursi masih melihat banyaknya orang-
orang Presiden Mubarak yang masih memiliki kekuatan politik di pemerintahan. Presiden
Mursi memilih untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya di awal pemerintahannya,
mengingat Presiden Mursi adalah oposisi kuat dalam pemerintahan Presiden Mubarak.34
Mursi mengambil langkah strategis dalam perubahan politik luar negeri Mesir dengan
melaksanakan kunjungan luar negeri ke beberapa negara. Tindakan ini dilakukan Presiden
Mursi untuk melaksanakan motif utamanya semenjak mengambil alih jabatan kepresidenan
pada akhir Juni 2012, motif utamanya adalah mengembalikan dominasi politik luar negeri di
Timur Tengah.35
Presiden Mursi melihat bahwa perubahan radikal tidak dimungkinkan
terjadi, hal ini disebabkan kekuatan politik yang mendukung Mursi adalah oposisi kuat
32
“Egypt and The Influence of Iran”. Diakes dari http://www.eturbonews.com/35117/egypt-andinfluence- Iran
pada 8 Agustus 2016. 33
Ibid 34
Mehmet Ozkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Mursi” dalam OrtadoguAnaliz Vol. 5, No. 51
(2013). http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1230&context=mehmetÖzkan (Diakses pada 15
Desember 2013). Hal. 5 35
Jannis Grimm dan Stephan Roll. Egyptian Foreign Policy under Mohammed Mursi: Domestic Considerations
and Economic Constraints (Berlin: German Institute for International and Security Affairs, 2012).
http://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2012 C35_gmm_rll.pdf (Diakses pada 12
Desember 2016). Hal 1
Presiden Mubarak. Ikhwanul Muslimin adalah kekuatan politik yang mendukung Presiden
Mursi disisi lain Ikhwan sangat fokus dalam mengkritisi segala kebijakan Mubarak.
Dominasi kelompok Islam di Mesir dalam struktur pemerintahan dan kekuasaan Mesir
ternyata tidak semutlak yang dibayangkan. Hal ini terjadi karena militer Mesir, khususnya
angkatan darat dan angkatan udara, mempunyai posisi yang kuat di hampir semua proses
politik dan ekonomi di negara Mesir itu sendiri. Dengan demikian, upaya transisi
pemerintahan di bawah kepemimpinan Muhammad Mursi perlu mengedepankan konsolidasi
sebagai jalan utama untuk mengkonsolidasi kepentingan kelompok-kelompok elit dan militer
yang berkuasa yang ada di Mesir.36
Dalam menetapkan kebijakan luar negeri, Mesir memiliki beberapa lembaga yang
memiliki peranan central antara lain presiden, kementrian luar negeri, militer, dan intelejen
(GIS).37
Masing-masing lembaga ini berwenang untuk mengatasi berbagai macam
permasalahan yang menuntut untuk dikeluarkannya suatu kebijakan. Kewenangan ini tentu
saja harus dalam situasi dan kondisi yang spesifik yang harus berurusan langsung dengan
lembaga tersebut.38
Lembaga kepresidenan tentunya mempunyai peran yang lebih signifikan dalam proses
pengambilan kebijakan luar negeri. Posisi presiden sebagai dalam mengeluarkan kebijakan
luar negeri ialah sebagai aktor utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Kebijakan
yang sudah diambil oleh presiden kemudian diserahkan kepada kementrian luar negeri Mesir
untuk diterapkan pelaksanaannya, baik hal yang berupa strategis maupun teknis, peran central
presiden Mesir dalam mengambil kebijakan luar negeri merupakan implementasi dari artikel
141 draft konstitusi Mesir tertanggal 30 November 2012 yang berbunyi:
36
Patrick Kingsley, “Mohamed Mursi backs Egyptian military after malpractice allegations”, The Guardian,
Friday 12 April 2013, dapat diakses melalui http://www.theguardian.com/world/2013/apr/12/mohamed-Mursi-
backs-egyptian-military diakses pada 13 Desember 2016. 37
Haber and Ighani, A Delicate Balancing Act,h. 20 38
Ibid
“[t]he President of the Republic shall exercise presidential authority via the Prime
Minister and the Prime Minister’s deputy ministers, except those authorities related to
defense, national security and foreign policy…”39
Selain itu juga terdapat pada artikel 145 yang berbunyi “the President of the Republic
shall represent the State in foreign relations.”120 Dan artikel 193 yang menyatakan bahwa
dalam membentuk Dewan Keamanan Nasional (NSC) aturannya ialah “presided over by the
President,” while calling to account ministers of defense, foreign relations, and other
government institutions.40
Namun dalam kasus Mesir, draft konstitusi yang ada tidak semerta-merta
mencerminkan kasus yang ada di lapangan. Terdapat beberapa gap antara draft dan konstusi
Mesir yang ada pada saat itu, terutama dalam kasus pengambilan kebijakan luar negeri Mesir
itu sendiri. Beberapa análisis mengatakan bahwa dalam menentukan kebijakan luar negeri,
militer memegang peranan yang lebih besar. Menurut Steven Cook, terdapat 2 cabang dalam
pembuatan kebijakan luar negeri Mesir yaitu presiden dan militer.41
Dualisme ini dapat
dilihat dari kasus hubungan bilateral antara Mesir dengan Amerika Serikat dan Israel. Saat itu
presiden Mursyi menyatakan kesediaannya dalam menjembatani negosiasi antara militer
Amerika Serikat dan militer Mesir. Negosiasi ini bermaksud untuk membicarakan tentang
bantuan ekonomi dan keamanan yang akan diberikan oleh Amerika Serikat kepada Mesir
sebagai imbalam atas konsistensi Mesir dalam menjaga perdamaian antara Mesir dengan
Israel. Akan tetapi militer Mesir memilih untuk menahan diri dari negosiasi tersebut. Hal ini
dikarenakan adanya anggapan dari pihak militer Mesir bahwa Amerika Serikat dan Israel
selama ini melanggar kedaulatan Mesir.42
Terlepas dari adanya dualisme yang dipraktekkan di Mesir itu sendiri, secara
konstitusional posisi Presiden Mesir lebih absah sebagai aktor utama dalam mengambil
39
Nariman, Egypt’s Draft Constitution Translated. 40
Ibid 41
Ibid 42
Ibid
kebijakan luar negeri Mesir itu sendiri. Namun dengan kewenangan seperti itu tentu saja
rawan akan hak-hak yang ada dan terkadang mengabaikan lembaga-lembaga lain yang juga
memiliki keterkaitan dengan proses pengambilan kebijakan luar negeri di Mesir. Hal ini
dibuktikan dalam contoh berikut, Mursi yang diangkat dari partai FJP, yang merupakan sayap
kanan tentu saja memilih orang-orang dari alIran politik tersebut untuk bersama-sama
menjalankan kebijakan luar negerinya. Salah satunya adalah Essam Al-Haddad, yang juga
berasal dari kelompok Islamis yang sama dengan presiden Mursi yaitu Ikhwanul Muslimin,
ditunjuk sebagai penasihat Mursi dalam membuat kebijakan luar negeri. Ia telah beberapa
kali melakukan perjalanan ke AS dan Eropa bersama dengan tim penasihat yang lainnya
sebagai delegasi Mesir yang diutus oleh Mursi. Bahkan Essam al- Haddad tercatat lebih
sering menyambut menteri luar negeri negara lain yang berkunjung ke Mesir ketimbang
menteri luar negeri Mesir sendiri, Mohamed Kamel Amr. Dan pada beberapa kesempatan, ia
ditempatkan pada posisi yang sebenarnya merupakan tempat bagi menteri luar negeri.43
KESIMPULAN
Penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang memperngaruhi perpindahan
kebijakan luar negeri yang dulunya berfokus terhadap Amerika Serikat menjadi fokus
terhadap Timur-Tengah dan Afrika. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, maka penulis
menggunakan Teori Decission Making untuk menjabarkan faktor-faktor apa saja yang
memperngaruhi perpindahan kebijakan luar negeri Mesir pada saat pemerintahan presiden
Mursi. pertama mengapa Mesir mengubah fokus kebijakan luar negerinya diakrenakan ada
pergeseran poros dalam politik domestik yang ada di Mesir setelah terjadinya revolusi pada
tahun 2011, hal ini mengakibatkan militer yang dulunya menguasai parlemen, kepresidenan,
serta ekonomi Mesir, menjadi tergeser dengan naiknya kekuasaan Ikhwanul Muslimin
sebagai partai pemenang pemilu setelah terjadinya revolusi tersebut. Dengan adanya
43
Ibid, h. 22
pergantian tampuk kekuasaan di Mesir maka menurut teori decision making akan terjadi
perubahan poros kebijakan luar negeri suatu negara tersebut.
Kedua, faktor kondisi regional Mesir yang pada saat itu dipandang sebagai
pengkhianat oleh negara-negara Arab. Oleh karena itu, Mursi memperbaiki hal ini dengan
cara berkunjung ke negara-negara Arab sebagai langkah awal dia menjadi Presiden Mesir.
Terlebih lagi kunjungannya ke Iran yang selama 30 tahun tidak ada hubungan diplomatis
apapun menandakan bahwa Mesir ingin diakui sebagai bangsa Arab kembali. Akan tetapi hal
ini tidak semata-mata membuat Mesir untuk memutuskan perjanjian damai antara Israel-
Mesir itu sendiri, karena hal ini dapat membuat Mesir kehilangan sumber dana yang didapat
dari bantuan Amerika Serikat yang sangat Mesir butuhkan pasca revolusi tahun 2011
Ketiga, adanya intervensi asing membuat Mursi tidak dapat membuat keputusan yang sangat
radikal. Hal ini berbeda ketika Mursi melakukan kampanye yang membuatnya menjadi
presiden Mesir yaitu Mursi menggalakkan Anti-Asing . akan tetapi pada kenyataannya
intervensi Amerika Serikat dalam perpolitikan luar negeri maupun dalam negeri Mesir sangat
besar. Hal ini dibuktikan dengan meskipun banyak warga negara mapun elit politik yang
ingin memutuskan perjanjian dengan Israel, Mesir tetap melanjutkan perjajian damai tersebut
meskipun banyak yang menentang.
Daftar Pustaka
A.Kandeel, Amal. 2011. “Egypt at Crossroads” [online] dapat diakses di
http://www.mepc.org/journal/middle-east-policy-archives/egypt-crossroads (diakses
pada 2 November 2015)
Aly, Abdel Monem Said. 2014. “Post Revolution Egyptian Foreign Policy” dalam Middle
East Brief No .86
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&
uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.brandeis.edu%2Fcrown%2
Fpublications%2Fmeb%2FMEB86.pdf&ei=RnclVYD8MsKxuASTwIG4Bg&usg=A
FQjCNFcp-
UPIgF1bMPpbeGaaKko0_NkqA&sig2=8CAcDb5_jT2FyzHJu4Z7Dw&bvm=bv.90
237346,d.c2E (Diakses pada 3 April 2015)
Al-Weshah, Abdellateef. 2016. “American Foreign Policy Under Hosni Mubarak’s Regime,
University of Jordan. Dapat diakses di
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ah
UKEwi44uTavIPRAhVKp48KHWHdBmMQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fpre
ssto.amu.edu.pl%2Findex.php%2Fps%2Farticle%2Fdownload%2F6621%2F6668&u
sg=AFQjCNExjtVYI13BfbUpISzBMKfxIAtHsQ&sig2=xhBWVNOvZLI-
zf6s4CsPSA&cad=rja (diakses pada 16 Desember 2016)
Casey Friedman, Dominic K. Albino, and Yaneer Bar-Yam. 2001 “Political Stability and
Military Intervention in Egypt”, New England Complex Systems Institute
Daniel Brumberg and Hesham Sallam. 2012 “The Politics of Security Sector Reform in
Egypt”, United States Institute Of Peace Special Report.
Fillinger, Eric. 2009. “Mubarak Matters: The Foreign Policy of Egypt Under Hosni
Mubarak”. dapat diakses di
http://aladinrc.wrlc.org/bitstream/handle/1961/7795/Fillinger,%20Eric%202009S.pdf
?sequence=1. (Diakses pada 20 April 2016)
Grimm, Jannis dan Roll, Stephan. 2012. “Egyptian Foreign Policy under Mohammed Morsi:
Domestic Considerations and Economic Constraints” (Berlin: German Institute for
International and Security Affairs, 2012). http://www.swp-
berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2012 C35_gmm_rll.pdf (Diakses
pada 25 Maret 2015).
Haber, Joshua dan Helia Ighani, 2013. A Delicate Balancing Act: Egyptian Foreign Policy
After The Revolution, Imes Capstone Paper Series
Hudson, Valerie M. 2014. Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory.
Rowman & Littlefield Jemadu, Alekius. 2008. Politik Global Dalam Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Khalil, Ashraf. 2011. Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A
Nation. New York: St. Martin’s Press.
Magd, Zeinab Abul. 2012. “Understanding SCAF: The Long Reign of Egypt’s Generals”.
Cairo Review 6
Mehmet Ozkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Mursi” dalam OrtadoguAnaliz
Vol. 5, No. 51 (2013).
http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1230&context=mehmetÖzkan
(Diakses pada 15 Desember 2013).
Meita, Yoram. 1998. “Domestic Challenges and Egypt’s U.S. Policy”. Middle East Review
of International Affairs 2 no. 4
M.Sharp, Jeremy. 2001. “Egypt: Background and U.S. Relations”. dapat diakses di
https://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33003.pdf, (Diakses pada 27 November
2016)
Rothman, Jay. 1992. “Conflict Resolution, Consortium”. Dapat diakses di
http://otyrauniq.ru/hywyme.pdf (diakses pada 29 September 2016)
Rutherford, Bruce K. 2008. Egypt after Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy In The
Arab World. Princeton University Press.
Sadat, Anwar Al. 1997. In Search o f Identity, An Autobiography. New York: Harper & Row
Publishers.
Said, Imam Ghazali. 2013. Idiologi Kaum Fundamentalis: Pengaruh PemikIran Politik Al-
Maududi Terhadap Gerakan Jama’ah Islamiyah Trans Pakistan Mesir. Surabaya:
Diantama
Saleh, Ashraf S.E. 2013. “Egypt and the EU: An Assessment of the Egyptian Euro-
Mediterranean Partnership”. Topics in Middle Eastern and African Economies Vol.
15, No. 1.
Sobirin, Ahmad. 2013. Muhammad Mursi: Pemimpin Negara Hafal Al-Qur’an. Yogyakarta:
Imperium.
Top Related