FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR …repository.unair.ac.id/67723/3/Fis.HI.14.17 ....

18
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI MESIR PADA ERA MUHAMMAD MURSI Ikhwan Dawam - 071112091 Abstrak Revolusi yang terjadi di Mesir memiliki dampak signifikan tidak hanya terhadap jalannya perpolitikan dalam negeri mesir akan tetapi juga memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kebijakan luar negeri Mesir. Revolusi ini memunculkan presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis sejak pemerintahan Husni Mubarak. Hal ini tentu merubah kebijakan luar negeri yang diambil oleh Mesir itu sendiri yang pada awalnya bersifat otoritarian menjadi demokratis. Terjadi perubahan fokus kebijakan Mesir yang pada awalnya lebih berfokus terhadap Amerika Serikat menjadi lebih berfokus terhadap permasalahan atau isu-isu yang ada di timur-tengah setelah terjadninya revolusi. Dengan menganalisis menggunakan teori Decission Making, maka penulis berhipotesis bahwa Mesir mengambil fokus kebijakan luar negeri setelah revolusi menjadi fokus timur-tengah bukan merupakan suatu keputusan yang secara tiba-tiba. Akan tetapi terdapat faktor-faktor yang menyebabkan pengambilan kebijakan luar negeri tersebut yaitu politik dalam negeri Mesir yang bergeser dari yang awalnya otoritarian menjadi demokratis, adanya intervensi dari regional Arab itu sendiri, yang terakhir adalah adanya intervensi dari negara lain (diluar negara-negara Arab). Kata-Kata Kunci : Kebijakan Luar Negeri Mesir, Politik dalam Negeri, Pengaruh Regional, Intervensi asing Latar Belakang Kebijakan luar negeri pada era Mursi terlihat lebih cenderung ke arah upaya untuk membangun kembali kedekatan dengan negara-negara timur tengah, berbeda sekali dengan era pemimpin sebelumnya yaitu Mubarak yang mengedepankan kerjasama dengan Amerika Serikat khususnya dalam ekonomi dan militer. Mesir menerima sebanyak dua miliar dollar Amerika setiap tahunnya yang dipasok oleh Amerika Serikat untuk merubah persenjataan

Transcript of FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR …repository.unair.ac.id/67723/3/Fis.HI.14.17 ....

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI

MESIR PADA ERA MUHAMMAD MURSI

Ikhwan Dawam - 071112091

Abstrak

Revolusi yang terjadi di Mesir memiliki dampak signifikan tidak hanya terhadap jalannya perpolitikan

dalam negeri mesir akan tetapi juga memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kebijakan luar

negeri Mesir. Revolusi ini memunculkan presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis sejak

pemerintahan Husni Mubarak. Hal ini tentu merubah kebijakan luar negeri yang diambil oleh Mesir

itu sendiri yang pada awalnya bersifat otoritarian menjadi demokratis. Terjadi perubahan fokus

kebijakan Mesir yang pada awalnya lebih berfokus terhadap Amerika Serikat menjadi lebih berfokus

terhadap permasalahan atau isu-isu yang ada di timur-tengah setelah terjadninya revolusi.

Dengan menganalisis menggunakan teori Decission Making, maka penulis berhipotesis bahwa Mesir

mengambil fokus kebijakan luar negeri setelah revolusi menjadi fokus timur-tengah bukan merupakan

suatu keputusan yang secara tiba-tiba. Akan tetapi terdapat faktor-faktor yang menyebabkan

pengambilan kebijakan luar negeri tersebut yaitu politik dalam negeri Mesir yang bergeser dari yang

awalnya otoritarian menjadi demokratis, adanya intervensi dari regional Arab itu sendiri, yang

terakhir adalah adanya intervensi dari negara lain (diluar negara-negara Arab).

Kata-Kata Kunci : Kebijakan Luar Negeri Mesir, Politik dalam Negeri, Pengaruh Regional, Intervensi

asing

Latar Belakang

Kebijakan luar negeri pada era Mursi terlihat lebih cenderung ke arah upaya untuk

membangun kembali kedekatan dengan negara-negara timur tengah, berbeda sekali dengan

era pemimpin sebelumnya yaitu Mubarak yang mengedepankan kerjasama dengan Amerika

Serikat khususnya dalam ekonomi dan militer. Mesir menerima sebanyak dua miliar dollar

Amerika setiap tahunnya yang dipasok oleh Amerika Serikat untuk merubah persenjataan

yang semulanya Mesir berbasis teknologi dari Uni Soviet menjadi teknologi berbasis

Amerika Serikat yang berbentuk dana ataupun senjata yang diberikan. Selain itu dalam hal

ekonomi Mesir membentuk US-Egypt partnership untuk pertumbuhan ekonomi yang

dibentuk oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat Al-Gore dan Mubarak untuk

meningkatkan sektor privat di Mesir dan mempromosikan US-Egypt partnership.1 Mubarak

juga memberikan timbal balik atas bantuan-bantuan yang telah diberikan oleh Amerika

Serikat kepada Mesir, contohnya adalah pada masa perang Iran-Iraq Mesir mengijinkan

Amerika Serikat untuk menggunakan pangkalan udara Mesir dan memberikan bantuan

berupa tentara sebanyak 40.000 orang serta mengijinkan Amerika Serikat untuk melalui

terusan Suez untuk membantu Amerika Serikat dalam memenangkan perang melawan Iraq

yang telah menginvasi Kuwait.2

Akan tetapi selama kepemimpinan Mubarak, ia memberangus aktivitas oposisi,

terutama oposisi Islamis yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin. Hal ini menimbulkan

kecemasan bagi negara sekitar khususnya di Timur Tengah tetapi juga masyarakat Mesir

yang melihat kepemimpinan Mubarak sangat autorotarian. Tidak hanya itu, melalui kacamata

ekonomi ternyata menimbulkan dinamika domestik yang menjadi salah satu alasan

penggulingan Husni Mubarak.3 Walaupun Mesir dapat dikatakan mengalami peningkatan

ekonomi yang cukup signifikan pada tahun 1990-2009 tetapi hal ini hanya dinikmati oleh

kalangan tertentu saja. Sehingga pada tahun 2010 Mesir mengalami tekanan yang berat pada

pemerintahan mereka yang dipimpin oleh Husni Mubarak, hal ini dikarenakan inflasi harga

barang yang mencapai 10%, dan hal ini diperparah oleh kenaikan harga pangan yang

mencapai 37% dalam jangka waktu dua tahun sebelum terjadinya protes. Protes ini berlanjut

1 Jeremy M.Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, dapat diakses di

https://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33003.pdf, 2016:p.16-18. 2 Eric Fillinger, Mubarak Matters: The Foreign Policy of Egypt Under Hosni Mubarak, dapat diakses di

http://aladinrc.wrlc.org/bitstream/handle/1961/7795/Fillinger,%20Eric%202009S.pdf?sequence=1, 2009:p.33-

34. 3 Amal A.Kandeel, Egypt at Crossroads, dapat diakses di http://www.mepc.org/journal/middle-east-policy-

archives/egypt-crossroads (diakses pada 2 November 2015)

hingga tanggal 25 Januari 2011 yang merupakan protes terbesar dalam sejarah Mesir hingga

pada akhirnya pihak militer mulai tidak percaya kepada Husni Mubarak dikarenakan

Mubarak ingin memprivatisasi perusahaan yang dikuasai oleh militer sehinggal hal ini

menyebabkan pihak militer mengkudeta presiden Husni Mubarak. Pada tanggal 11 Februari

2011 presiden Husni Mubarak diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Mesir4 dan

kekuasaan dipegang sementara oleh Supreme Council of the Armed Force (SCAF). SCAF

pada saat itu langsung membekukan konstitusi Mesir dan membubarkan parlemen yang ada

pada waktu itu. SCAF juga mengumumkan bahwa mereka akan mengawasi pemilihan umum

untuk parlemen maupun presiden. Dalam masa ke kosongan kekuasaan ini SCAF

mengeluarkan Deklarasi Konstitusional pada 30 Maret 2011 yang sebagian besar dari

deklarasi ini diambil dari konstitusi amendemen 1971 pada masa presiden Mubarak dengan

sedikit modifikasi yang mengijinkan pemilihan kompetitif bagi presiden dan parlemen

Mesir5.

Pada akhir bulan Agustus 2012, Mursi berkunjung ke Iran untuk menghadiri KTT

Non Blok ke-16 di Teheran. Hal ini mengejutkan banyak pihak karena sudah lebih dari 30

tahun kedua negara ini tidak berhubungan. Yasser Ali, juru bicara Mesir, juga menambahkan

Presiden Mursi menyarankan membentuk grup kontak antara Mesir, Arab Saudi, Iran, dan

Turki untuk mengatasi krisis di Suriah.6 Pada saat yang sama juga Mesir juga

mengintensifikasikan kontak dengan Hamas, yang ini membuat implikasi Islamisasi

kebijakan luar negeri Mesir semakin besar.7

4 Bruce K.Rutherford “Egypt after Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy In The Arab World”. Princeton

University Press. 2008, p. 5-6 5 Ibid

6 Ahmad Sobirin, Muhammad Mursi: Pemimpin Negara dan Penghafal Al-Qur’an, Yogyakarta: Imperium,

2013, p. 149 7 Ibid., p. 2.

Politik Luar Negeri Mesir Pada Masa Pemerintahan Husni Mubarak

Pemerintahan Mubarak dimulai setelah meninggalnya Anwar Sadat, yang merupakan

salah satu tokoh yang menandatangani perjanjian Camp David pada tahun 1979. Sejak awal

menggantikan posisi Anwar Sadat sebagai presiden, Mubarak langsung dihadapkan oleh

pilihan untuk melanjutkan perjanjian Camp David atau menghentikannya. Langkah yang

diambil oleh Mubarak kemudian menjadi salah satu faktor yang menunjukkan sikap dan

orientasi politik luar negeri Mesir. Hal tersebut ditambah lagi dengan posisi strategis Mesir di

kawasan yang menjadi pertimbangan dan modal dalam menentukan arah politik luar negeri di

bawah kepemimpinan Mubarak. Pada periode ini pula Mesir memilih menjadi negara Arab

pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel yang berhasil dikonfrontasi

oleh AS. Perjanjian Camp David yang ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 oleh

Anwar Sadat - selaku presiden Mesir - dan Menachem Begin – selaku presiden Israel-, ini

membuat hubungan antara Mesir dengan AS dan Israel terikat dalam sebuah kesepakatan

formal. Perjanjian ini kemudian dilanjutkan oleh Hosni Mubarak, sebagai pengganti dari

Anwar Sadat sebagai presiden Mesir. Dengan memilih meneruskan Perjanjian Camp David

tersebut, orientasi politik luar negeri Mesir dinilai senantiasa melindungi kepentingan AS di

Timur Tengah, khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Israel di kawasan Timur-

Tengah.8 Dalam situasi demikian, politik luar negeri Mesir mengalami kemunduran dari segi

eksistensi sebagai representasi negara dunia ketiga.9 Namun, dari segi eksistensi di berbagai

forum internasional, Mesir masih memiliki daya tarik untuk meraih dukungan dari Dunia

Arab dan Afrika dalam organisasi internasional, seperti Non-Aligment Movement (NAM),

Organization of Islamic Conference (OIC), dan African Union (AU). Hal tersebut

8 Ashraf Khalil. “Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A

Nation”. New York: St. Martin’s Press, h. 21. 9 Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h.3

berdasarkan pada upaya yang dilakukan Mesir untuk menyatukan prinsip orientasi politik

luar negeri Mesir itu sendiri; Arab, Afrika, dan Islam.10

Dalam situasi demikian, politik luar negeri Mesir mengalami kemunduran dari segi

eksistensi sebagai representasi negara dunia ketiga.11

Namun, dari segi eksistensi di berbagai

forum internasional, Mesir masih memiliki daya tarik untuk meraih dukungan dari Dunia

Arab dan Afrika dalam organisasi internasional, seperti Non-Aligment Movement (NAM),

Organization of Islamic Conference (OIC), dan African Union (AU). Hal tersebut

berdasarkan pada upaya yang dilakukan Mesir untuk menyatukan prinsip orientasi politik

luar negeri Mesir itu sendiri; Arab, Afrika, dan Islam.12

Selain itu, langkah tersebut

merupakan cara yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir untuk dapat menarik kembali simpati

dari Negara-negara Arab yang telah mengucilkan Mesir setelah penandatanganan Perjanjian

Camp David dengan Israel.13

Mubarak yang diangkat menjadi presiden Mesir pada akhir tahun 1981 mengalami

masa sulit dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya. Dalam regional Arab, Mesir

sudah tidak dianggap lagi di dalam perpolitikan timur tengah yang disepakati dalam

pertemuan di Baghdad untuk memboikot Mesir dan mentransfer markas besar Liga Arab ke

Tunisia. Di dalam dunia internasional, Mesir tidak lagi dapat mengandalkan bantuan dari Uni

Soviet yang biasanya ditawarkan karena keputusan Presiden Sadat untuk memutuskan semua

hubungan ke Uni Soviet ketika dia menjabat sebagai presiden Mesir. Oleh karena itu Presiden

Mubarak tidak mempunyai pilihan lain selain meminta dukungan dari Amerika Serikat dan

negara-negara di barat selama masa kritis ini.14

10

Ibid 11

Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h.3 12

Ibid 13

Tianse, Four Point Toward, h.91 14

Mohammed Kadri Said,Egypt's Foreign Policy in Global Change, the Egyptian Role in Regional and Political

Affairs,The Al Ahram Center for Political and Strategic Studies, h. 72

Kepatuhan Mesir dalam menjalani perjanjiannya dengan Israel dikarenakan

pemulihan Tanjung Sinai ke dalam kekuasaan Mesir, kecuali kota kecil Taba. Pemerintah

Mesir mengklaim bahwa kota kecil ini merupakan bagian dari wilayahnya, namun

pemerintah Israel mengklaim bahwa kota itu merupakan bagian dari sejarah Palestina. Pada

akhirnya Mesir dan Israel menyetujui arbitrasi internasional yang pada akhirnya menyejui

bahwa kota ini masuk ke dalam wilayah Mesir.15

Langkah yang diambil untuk menyelesaikan

masalah dengan arbitrasi ini menjadi tanda bahwa Mesir dan Israel akan menjaga hubugan

baik mereka. Mesir juga bertanggung jawab dalam mensponsori proses perdamaian antara

Israel dan Palestina.

Kesediaan Mesir untuk mengikat diri dengan Perjanjian Camp David tersebut

mengindikasikan bahwa arah kebijakan luar negeri Mesir lebih condong kepada kepentingan

AS dan sekutunya di Timur-Tengah, yakni Israel. Konsistensi pemerintah Mubarak dalam

menjaga perjanjian dengan Israel tersebut dipengaruhi oleh kepentingan untuk memenuhi

kebutuhan nasional Mesir. Akibat dari perjanjian ini, Mesir mendapatkan berbagai jenis

bantuan ekonomi, militer, dan persenjataan dari AS. Berdasarkan hasil laporan bagian

penelitian Kongres AS pada tanggal 27 Juni 2013 mengenai bantuan luar negeri AS untuk

Mesir Sejak tahun 1948 hingga 2011, Mesir telah menerima bantuan dari AS sekitar $71,6

Milyar, termasuk di antaranya $1,3 Milyar untuk bantuan militer Mesir pada tahun 1987.

Bantuan dengan jumlah yang sama kembali Mesir terima dari AS pada tahun 2008. Bantuan

senilai $1,3 Milyar secara khusus diberikan AS melalui persetujuan Kongres yang

didistribusikan melalui Foreign Military Financing (FMF), Economic Support Funds (ESF),

dan International Military Education and Training (IMET).16

Selain dari bantuan pada bidang militer, Mesir juga menerima bantuan dari AS untuk

bidang ekonomi. Total bantuan yang diberikan AS untuk membantu ekonomi Mesir sebesar

15

Jay Rothman, Conflict Resolution, Consortium, 1992, h. 80 16

Sharp, Egypt: Background, h.9.

$815 juta. Secara keseluruhan, total bantuan yang diberikan AS kepada Mesir tiap tahun pada

masa pemerintahan Mubarak mencapai $2,1 Milyar.17

Lalu, berdasarkan data Washington

Institute of Near East Policy, bantuan yang diberikan ekonomi dan militer yang diberikan

oleh AS merupakan sebuah strategi yang disusun untuk mempertahankan perjanjian yang

melibatkan Mesir dengan Israel. Strategi tersebut merupakan upaya mencapai dan

mempertahankan kepentingan nasional AS di Timur Tengah.18

Mesir adalah peserta aktif dalam proses Barcelona dan telah menandatangani

Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa. Negosiasi untuk Perjanjian ini Uni Eropa-Mesir

Asosiasi baru mulai pada tahun 1994 tetapi baru selesai pada bulan Juni 1999, akan tetapi

penandatanganan perjanjian oleh kedua belah pihak ditunda sampai Februari 2001. Hal itu

disetujui oleh Parlemen Eropa pada bulan November 2001 dan telah banyak disambut sebagai

fase baru dalam hubungan Eropa dengan Mesir.

Ketika Perjanjian Euro Mediterania Partnership (EMP) antara Mesir dan Uni Eropa

mulai berlaku pada 1 Juni 2004,19

perjanjian ini adalah kesepakatan regional pertama yang

melibatkan negara berkembang dan negara maju.20

Akibatnya, tantangan utama yang

dihadapi Mesir dalam konteks ini adalah: menjaga stabilitas sosial dan politik, meningkatkan

lapangan kerja; menyelesaikan proses transisi ekonomi; dan mengkonsolidasikan hubungan

eksternal dengan Eropa dan negara-negara tetangga. Pembentukan perjanjian kemitraan ini,

dan dampak kesepakatan ini pada perekonomian Mesir sangat besar. Perjanjian kerjasama ini

memberikan dampak positif terhadap perekonomian Mesir, sebagai penghapusan bea atas

masuknya barangEropa akan mengurangi harga dan akan meningkatkan daya saing industri

manufaktur, mengurangi biaya investasi, mempercepat akumulasi modal fisik dan dapat

17

Yoram Meita, “Domestic Challenges and Egypt’s U.S. Policy”. Middle East Review of

International Affairs 2 no. 4 (December 1998), hal.7 18

Ashraf Khalil. “Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A

Nation”. New York: St. Martin’s Press, hal. 21. 19

The European Commission's Delegation to Egypt in Cairo Website: http://www.eu-delegation.org.eg/. 20

AL-WESHAH, American Foreign Policy Under Hosni Mubarak’s Regime, h.72

menghasilkan produktivitas keuntungan. Di sisi ekspor, kemitraan bisa mengamankan akses

pasar preferensial diberikan kepada produk Mesir, jumlah bantuan luar negeri yang diterima

oleh Mesir diperkirakan akan meningkat dan proses transisi akan lebih mudah.21

Politik Luar Negeri Mesir Pada Masa Pemerintahan Presiden Muhammad Mursi

Supreme Council of Armed Forces (SCAF) atau Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata

Mesir merupakan lembaga yang mengambil alih pemerintahan transisi Mesir pasca

berakhirnya kekuasaan Mubarak pasca revolusi tahun 2011 silam. SCAF terdiri dari para

pejabat senior militer Mesir yang dipimpin oleh Husein Tantawi. Sebelumnya SCAF

merupakan pihak yang mendukung pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam

revolusi yang menuntut pemberhentian Hosni Mubarak sebagai presiden Mesir.

Keberpihakan SCAF pada masyarakat sipil dalam revolusi tahun 2011 ini dibuktikan dengan

sikap mereka mendukung secara penuh dan menjamin aksi masyarakat dalam menyampaikan

aspirasi. SCAF juga bersedia membantu masyarakat untuk mewujudkan cita-cita revolusi dan

mewujudkan aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat dalam demonstrasi.22

Keberpihakan SCAF kepada masyarakat sipil pada revolusi 2011 menjadi sejarah

tersendiri bagi Mesir. Berbagai pemberitaan di media, khususnya di media televisi nasional,

menyatakan bahwa keberpihakan SCAF pada rakyat merupakan sebuah peristiwa hebat.

Langkah yang dilakukan oleh SCAF sendiri mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari

masyarakat. Saat itu, masyarakat sipil seakan mendapatkan tambahan kekuatan untuk

menghentikan kekuasaan rezim Mubarak yang sudah menjabat selama 30 tahun.23

Mohammed Mursi merupakan seorang presiden terpilih secara demokratis melalui

pemilihan umum pasca revolusi tahun 2011. Mursi merupakan seorang tokoh sipil yang

21

Ashraf S.E.Saleh, Egypt and the EU: An Assessment of the Egyptian Euro-Mediterranean Partnership, Topics

in Middle Eastern and African Economies Vol. 15, No. 1, May 2013 22

Daniel Brumberg and Hesham Sallam, “The Politics of Security Sector Reform in Egypt”, United States

Institute Of Peace Special Report (October 2012), h.2 23

Zeinab Abul-Magd, “Understanding SCAF: The Long Reign of Egypt’s Generals”, Cairo Review 6 , (2012),

h. 156

berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Mursi terpilih sebagai presiden setelah meraih

suara terbanyak dari kandidat lainnya pada pemilihan umum yang dilaksanakan selama dua

putaran. Pada putaran kedua, Mursi mengalahkan Ahmed Shafiq, yang juga mantan perdana

menteri Mesir pada masa pemerintahan Mubarak.24

Sama seperti halnya masa Mubarak dan

masa transisi di bawah kepemimpinan SCAF, pada masa pemerintahan Mursi juga terdapat

beberapa hal penting yang disoroti dalam politik luar negeri Mesir, khususnya dalam

hubungan bilateral dengan Israel. Adapun sikap yang ditunjukkan oleh Mursi yang

merupakan bagian dari langkah kebijakan dan implementasi politik luar negeri Mesir antara

lain: Dukungan terhadap Palestina, Mengatasi Problem Perbatasan Mesir-Israel, Kontinuitas

Perjanjian Camp David, dan Normalisasi hubungan dengan negara-negara dominan di

kawasan Timur Tengah.

Pembukaan pintu perbatasan antara Mesir dan Palestina pada bulan juli 2013,

menunjukkan keberpihakan Mursi dalam menjalankan politik luar negeri Mesir, karena

dianggap lepas dari tekanan Israel. Dibukanya perbatasan Mesir-Palestina memudahkan

penduduk Gaza yang berjumlah sekitar 1.5 juta orang mendapat akses ke negara Mesir,

karena selama ini mereka di blockade oleh Israel dan dihalang-halangi oleh Mesir untuk

masuk ke negara mereka. Terbukanya kembali perbatasan Rafah menurut Alan Phils, penulis

harian di The National, UEA, menunjukkan adanya gap antara Mesir dan Israel, dan

menunjukkan sinyal bahwa politik luar negeri Mesir telah berubah dan Mesir akan bertindak

tanpa harus berkonsultasi dulu dengan Israel.25

Sikap Mesir yang menunjukkan keberpihakan

kepada Palestina kembali terlihat saat pemberian status baru yang diberikan kepada Palestina

24

Qian Xuewen, “The January Revolution and the Future of Egypt”, Journal of Middle Eastern and Islamic

Studies (in Asia) Vol. 6, No. 2, 2012, hal. 49 25

Ibid

oleh PBB sebagai permanent observer. Status ini didukung oleh 138 negara dan Mesir

termasuk di dalamnya sehingga menghasilkan resolusi 67/19 Majelis Umum PBB.26

Untuk menyelesaikan masalah Badui Sinai ini, pada saat satu tahun masa

pemerintahan presiden Mursi melakukan pendekatan kepada kelompok ini. Mursi

menjanjikan perbaikan standar kehidupan; langkah-langkah untuk memfasilitasi mereka

sebagai bagian dari masyarakat Mesir dan implementasi terhadap proyek pembangunan baru,

bagi kelompok Badui Sinai. Namun, apabila janji-janji Mursi tersebut tidak direalisasikan,

kelompok tersebut mengancam untuk melakukan perlawanan dengan berbagai aksi

kekerasan.27

Namun, pemerintah Mursi telah terlebih dahulu menyediakan langkah preventif

apabila terjadi upaya perlawanan yang dilakukan oleh Badui Sinai, Langkah tersebut berupa

penambahan jumlah personel angkatan bersenjata yang beroperasi di Sinai. Akan tetapi,

penambahan jumlah personel tersebut harusberdasarkan kesepakatan dengan Israel. Hal ini

merupakan bagian dari poin-poin yang terdapat dalam perjanjian damai Mesir-Israel.

Beberapa kalangan menilai persyaratan ini merupakan sebuah bentuk diskredit terhadap

pemerintah Mesir.28

Dengan adanya persyaratan tersebut, kepentingan keamanan nasional

Mesir dari kasus di Semenanjung Sinai ini dapat terganggu. Pemerintah Mesir semestinya

dapat bertindak lebih jauh manakala dapat meninjau ulang perjanjian damai dengan Israel,

khususnya poin-poin yang berkaitan dengan keamanan di Semenanjung Sinai.

Kontinuitas perjanjian Camp David pada masa pemerintahan Mursi tidak terlepas dari

pertimbangan logis dalam menentukan arah politik luar negeri Mesir. Mesir akan menghadapi

berbagai risiko apabila pembatalan tersebut dilakukan oleh Mursi. Pembatalan perjanjian

26

Khaled Elgindy. “Egypt, Israel and Palestine: Prospects for Peace After the Arab Spring”. Cairo Review

Vol. 6 (2012), h, 172 27

Ibid, h.10 28

Ibid

tersebut secara otomatis akan merusak atau bahkan dapat menghentikan hubungan bilateral

antara Mesir dengan Israel. Sebagai negara yang berbatasan darat langsung, permasalahan

antara Mesir dan Israel terletak di perbatasan kedua negara di Semenanjung Sinai. Mursi

menitikberatkan permasalahan di perbatasan kedua negara ini sebagai pertimbangan utama

karena dapat menimbulkan konflik bersenjata, bahkan dapat kembali menimbulkan

peperangan antar kedua negara.29

Selain pertimbangan dari faktor eksternal Mesir,

pemerintahan baru Mesir di bawah pimpinan Mursi juga memiliki pertimbangan dari internal

Mesir sendiri.Pertimbangan tersebut berasal dari kalangan militer. Meskipun pimpinan

tertinggi Mesir adalah seorang presiden, namun intervensi militer dalam setiap pengambilan

kebijakan luar negeri Mesir masih memiliki posisi yang kuat. Dalam hal pembatalan

Perjanjian Camp David, militer dapat melakukan konfrontasi terhadap presiden apabila hal

tersebut dilakukan. Sikap yang dilakukan oleh militer tersebut didasari oleh prediksi dampak

yang akan terjadi antara kedua negara, khususnya dari segi keamanan domestik dan stabilitas

kawasan.30

Upaya yang dilakukan oleh Mursi dalam melakukan normalisasi hubungan dengan

negara-negara di Timur-Tengah dapat terlihat dengan kunjungan Mursi setelah resmi

menjabat sebagai presiden. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk melakukan normalisasi

terhadap hubungan Mesir dengan negara-negara lain yang dominan di Timur Tengah.31

Hal

tersebut ditandai dengan kunjungan Presiden Mesir, Mohammed Mursi, ke Iran dalam rangka

menghadiri KTT Non-Blok pada Agustus 2012 di Tehran. Kemudian Presiden Iran,

Mahmoud Ahmadinejad, membalas kunjungan Mursi tersebut dengan kunjungan balik

29

Joshua Haber Dan Helia Ighani,” A Delicate Balancing Act: Egyptian Foreign Policy After The Revolution”,

Imes Capstone Paper Series (May 2013), h.34 30

Casey Friedman, Dominic K. Albino, and Yaneer Bar-Yam, “Political Stability and Military Intervention in

Egypt”, New England Complex Systems Institute (July 8, 2013), h.2-3 31

Mehmet Özkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Morsi” . Ortadogu Analiz Vol. 5, No. 51 (2013).

h, 16

presiden Ahmadinejad ke Kairo dalam rangka Konferensi OKI pada Februari 2013.32

Langkah yang diambil oleh Mesir ini sebagai wujud konsekuensi dari upaya menjadi

kekuatan dominan di kawasan dengan melakukan rekonsiliasi negara-negara dominan di

kawasan.33

Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Mesir

Berakhirnya rezim Husni Mubarak pada tahun 2011 mengubah tatanan rezim politik

yang mempengaruhi Mesir secara drastis, terutama dengan adanya pemilhan umum legislatif

dan pemilihan presiden yang dianggap adil pada tahun 2012. Pergantian ini mengakibatkan

terjadinya perubahan signifikan atas politik luar negeri Mesir. Namun perubahan besar ini

tidak dilakukan dengan cepat dan radikal, Presiden Mursi masih melihat banyaknya orang-

orang Presiden Mubarak yang masih memiliki kekuatan politik di pemerintahan. Presiden

Mursi memilih untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya di awal pemerintahannya,

mengingat Presiden Mursi adalah oposisi kuat dalam pemerintahan Presiden Mubarak.34

Mursi mengambil langkah strategis dalam perubahan politik luar negeri Mesir dengan

melaksanakan kunjungan luar negeri ke beberapa negara. Tindakan ini dilakukan Presiden

Mursi untuk melaksanakan motif utamanya semenjak mengambil alih jabatan kepresidenan

pada akhir Juni 2012, motif utamanya adalah mengembalikan dominasi politik luar negeri di

Timur Tengah.35

Presiden Mursi melihat bahwa perubahan radikal tidak dimungkinkan

terjadi, hal ini disebabkan kekuatan politik yang mendukung Mursi adalah oposisi kuat

32

“Egypt and The Influence of Iran”. Diakes dari http://www.eturbonews.com/35117/egypt-andinfluence- Iran

pada 8 Agustus 2016. 33

Ibid 34

Mehmet Ozkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Mursi” dalam OrtadoguAnaliz Vol. 5, No. 51

(2013). http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1230&context=mehmetÖzkan (Diakses pada 15

Desember 2013). Hal. 5 35

Jannis Grimm dan Stephan Roll. Egyptian Foreign Policy under Mohammed Mursi: Domestic Considerations

and Economic Constraints (Berlin: German Institute for International and Security Affairs, 2012).

http://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2012 C35_gmm_rll.pdf (Diakses pada 12

Desember 2016). Hal 1

Presiden Mubarak. Ikhwanul Muslimin adalah kekuatan politik yang mendukung Presiden

Mursi disisi lain Ikhwan sangat fokus dalam mengkritisi segala kebijakan Mubarak.

Dominasi kelompok Islam di Mesir dalam struktur pemerintahan dan kekuasaan Mesir

ternyata tidak semutlak yang dibayangkan. Hal ini terjadi karena militer Mesir, khususnya

angkatan darat dan angkatan udara, mempunyai posisi yang kuat di hampir semua proses

politik dan ekonomi di negara Mesir itu sendiri. Dengan demikian, upaya transisi

pemerintahan di bawah kepemimpinan Muhammad Mursi perlu mengedepankan konsolidasi

sebagai jalan utama untuk mengkonsolidasi kepentingan kelompok-kelompok elit dan militer

yang berkuasa yang ada di Mesir.36

Dalam menetapkan kebijakan luar negeri, Mesir memiliki beberapa lembaga yang

memiliki peranan central antara lain presiden, kementrian luar negeri, militer, dan intelejen

(GIS).37

Masing-masing lembaga ini berwenang untuk mengatasi berbagai macam

permasalahan yang menuntut untuk dikeluarkannya suatu kebijakan. Kewenangan ini tentu

saja harus dalam situasi dan kondisi yang spesifik yang harus berurusan langsung dengan

lembaga tersebut.38

Lembaga kepresidenan tentunya mempunyai peran yang lebih signifikan dalam proses

pengambilan kebijakan luar negeri. Posisi presiden sebagai dalam mengeluarkan kebijakan

luar negeri ialah sebagai aktor utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Kebijakan

yang sudah diambil oleh presiden kemudian diserahkan kepada kementrian luar negeri Mesir

untuk diterapkan pelaksanaannya, baik hal yang berupa strategis maupun teknis, peran central

presiden Mesir dalam mengambil kebijakan luar negeri merupakan implementasi dari artikel

141 draft konstitusi Mesir tertanggal 30 November 2012 yang berbunyi:

36

Patrick Kingsley, “Mohamed Mursi backs Egyptian military after malpractice allegations”, The Guardian,

Friday 12 April 2013, dapat diakses melalui http://www.theguardian.com/world/2013/apr/12/mohamed-Mursi-

backs-egyptian-military diakses pada 13 Desember 2016. 37

Haber and Ighani, A Delicate Balancing Act,h. 20 38

Ibid

“[t]he President of the Republic shall exercise presidential authority via the Prime

Minister and the Prime Minister’s deputy ministers, except those authorities related to

defense, national security and foreign policy…”39

Selain itu juga terdapat pada artikel 145 yang berbunyi “the President of the Republic

shall represent the State in foreign relations.”120 Dan artikel 193 yang menyatakan bahwa

dalam membentuk Dewan Keamanan Nasional (NSC) aturannya ialah “presided over by the

President,” while calling to account ministers of defense, foreign relations, and other

government institutions.40

Namun dalam kasus Mesir, draft konstitusi yang ada tidak semerta-merta

mencerminkan kasus yang ada di lapangan. Terdapat beberapa gap antara draft dan konstusi

Mesir yang ada pada saat itu, terutama dalam kasus pengambilan kebijakan luar negeri Mesir

itu sendiri. Beberapa análisis mengatakan bahwa dalam menentukan kebijakan luar negeri,

militer memegang peranan yang lebih besar. Menurut Steven Cook, terdapat 2 cabang dalam

pembuatan kebijakan luar negeri Mesir yaitu presiden dan militer.41

Dualisme ini dapat

dilihat dari kasus hubungan bilateral antara Mesir dengan Amerika Serikat dan Israel. Saat itu

presiden Mursyi menyatakan kesediaannya dalam menjembatani negosiasi antara militer

Amerika Serikat dan militer Mesir. Negosiasi ini bermaksud untuk membicarakan tentang

bantuan ekonomi dan keamanan yang akan diberikan oleh Amerika Serikat kepada Mesir

sebagai imbalam atas konsistensi Mesir dalam menjaga perdamaian antara Mesir dengan

Israel. Akan tetapi militer Mesir memilih untuk menahan diri dari negosiasi tersebut. Hal ini

dikarenakan adanya anggapan dari pihak militer Mesir bahwa Amerika Serikat dan Israel

selama ini melanggar kedaulatan Mesir.42

Terlepas dari adanya dualisme yang dipraktekkan di Mesir itu sendiri, secara

konstitusional posisi Presiden Mesir lebih absah sebagai aktor utama dalam mengambil

39

Nariman, Egypt’s Draft Constitution Translated. 40

Ibid 41

Ibid 42

Ibid

kebijakan luar negeri Mesir itu sendiri. Namun dengan kewenangan seperti itu tentu saja

rawan akan hak-hak yang ada dan terkadang mengabaikan lembaga-lembaga lain yang juga

memiliki keterkaitan dengan proses pengambilan kebijakan luar negeri di Mesir. Hal ini

dibuktikan dalam contoh berikut, Mursi yang diangkat dari partai FJP, yang merupakan sayap

kanan tentu saja memilih orang-orang dari alIran politik tersebut untuk bersama-sama

menjalankan kebijakan luar negerinya. Salah satunya adalah Essam Al-Haddad, yang juga

berasal dari kelompok Islamis yang sama dengan presiden Mursi yaitu Ikhwanul Muslimin,

ditunjuk sebagai penasihat Mursi dalam membuat kebijakan luar negeri. Ia telah beberapa

kali melakukan perjalanan ke AS dan Eropa bersama dengan tim penasihat yang lainnya

sebagai delegasi Mesir yang diutus oleh Mursi. Bahkan Essam al- Haddad tercatat lebih

sering menyambut menteri luar negeri negara lain yang berkunjung ke Mesir ketimbang

menteri luar negeri Mesir sendiri, Mohamed Kamel Amr. Dan pada beberapa kesempatan, ia

ditempatkan pada posisi yang sebenarnya merupakan tempat bagi menteri luar negeri.43

KESIMPULAN

Penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang memperngaruhi perpindahan

kebijakan luar negeri yang dulunya berfokus terhadap Amerika Serikat menjadi fokus

terhadap Timur-Tengah dan Afrika. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, maka penulis

menggunakan Teori Decission Making untuk menjabarkan faktor-faktor apa saja yang

memperngaruhi perpindahan kebijakan luar negeri Mesir pada saat pemerintahan presiden

Mursi. pertama mengapa Mesir mengubah fokus kebijakan luar negerinya diakrenakan ada

pergeseran poros dalam politik domestik yang ada di Mesir setelah terjadinya revolusi pada

tahun 2011, hal ini mengakibatkan militer yang dulunya menguasai parlemen, kepresidenan,

serta ekonomi Mesir, menjadi tergeser dengan naiknya kekuasaan Ikhwanul Muslimin

sebagai partai pemenang pemilu setelah terjadinya revolusi tersebut. Dengan adanya

43

Ibid, h. 22

pergantian tampuk kekuasaan di Mesir maka menurut teori decision making akan terjadi

perubahan poros kebijakan luar negeri suatu negara tersebut.

Kedua, faktor kondisi regional Mesir yang pada saat itu dipandang sebagai

pengkhianat oleh negara-negara Arab. Oleh karena itu, Mursi memperbaiki hal ini dengan

cara berkunjung ke negara-negara Arab sebagai langkah awal dia menjadi Presiden Mesir.

Terlebih lagi kunjungannya ke Iran yang selama 30 tahun tidak ada hubungan diplomatis

apapun menandakan bahwa Mesir ingin diakui sebagai bangsa Arab kembali. Akan tetapi hal

ini tidak semata-mata membuat Mesir untuk memutuskan perjanjian damai antara Israel-

Mesir itu sendiri, karena hal ini dapat membuat Mesir kehilangan sumber dana yang didapat

dari bantuan Amerika Serikat yang sangat Mesir butuhkan pasca revolusi tahun 2011

Ketiga, adanya intervensi asing membuat Mursi tidak dapat membuat keputusan yang sangat

radikal. Hal ini berbeda ketika Mursi melakukan kampanye yang membuatnya menjadi

presiden Mesir yaitu Mursi menggalakkan Anti-Asing . akan tetapi pada kenyataannya

intervensi Amerika Serikat dalam perpolitikan luar negeri maupun dalam negeri Mesir sangat

besar. Hal ini dibuktikan dengan meskipun banyak warga negara mapun elit politik yang

ingin memutuskan perjanjian dengan Israel, Mesir tetap melanjutkan perjajian damai tersebut

meskipun banyak yang menentang.

Daftar Pustaka

A.Kandeel, Amal. 2011. “Egypt at Crossroads” [online] dapat diakses di

http://www.mepc.org/journal/middle-east-policy-archives/egypt-crossroads (diakses

pada 2 November 2015)

Aly, Abdel Monem Said. 2014. “Post Revolution Egyptian Foreign Policy” dalam Middle

East Brief No .86

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&

uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.brandeis.edu%2Fcrown%2

Fpublications%2Fmeb%2FMEB86.pdf&ei=RnclVYD8MsKxuASTwIG4Bg&usg=A

FQjCNFcp-

UPIgF1bMPpbeGaaKko0_NkqA&sig2=8CAcDb5_jT2FyzHJu4Z7Dw&bvm=bv.90

237346,d.c2E (Diakses pada 3 April 2015)

Al-Weshah, Abdellateef. 2016. “American Foreign Policy Under Hosni Mubarak’s Regime,

University of Jordan. Dapat diakses di

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ah

UKEwi44uTavIPRAhVKp48KHWHdBmMQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fpre

ssto.amu.edu.pl%2Findex.php%2Fps%2Farticle%2Fdownload%2F6621%2F6668&u

sg=AFQjCNExjtVYI13BfbUpISzBMKfxIAtHsQ&sig2=xhBWVNOvZLI-

zf6s4CsPSA&cad=rja (diakses pada 16 Desember 2016)

Casey Friedman, Dominic K. Albino, and Yaneer Bar-Yam. 2001 “Political Stability and

Military Intervention in Egypt”, New England Complex Systems Institute

Daniel Brumberg and Hesham Sallam. 2012 “The Politics of Security Sector Reform in

Egypt”, United States Institute Of Peace Special Report.

Fillinger, Eric. 2009. “Mubarak Matters: The Foreign Policy of Egypt Under Hosni

Mubarak”. dapat diakses di

http://aladinrc.wrlc.org/bitstream/handle/1961/7795/Fillinger,%20Eric%202009S.pdf

?sequence=1. (Diakses pada 20 April 2016)

Grimm, Jannis dan Roll, Stephan. 2012. “Egyptian Foreign Policy under Mohammed Morsi:

Domestic Considerations and Economic Constraints” (Berlin: German Institute for

International and Security Affairs, 2012). http://www.swp-

berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2012 C35_gmm_rll.pdf (Diakses

pada 25 Maret 2015).

Haber, Joshua dan Helia Ighani, 2013. A Delicate Balancing Act: Egyptian Foreign Policy

After The Revolution, Imes Capstone Paper Series

Hudson, Valerie M. 2014. Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory.

Rowman & Littlefield Jemadu, Alekius. 2008. Politik Global Dalam Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu

Khalil, Ashraf. 2011. Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A

Nation. New York: St. Martin’s Press.

Magd, Zeinab Abul. 2012. “Understanding SCAF: The Long Reign of Egypt’s Generals”.

Cairo Review 6

Mehmet Ozkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Mursi” dalam OrtadoguAnaliz

Vol. 5, No. 51 (2013).

http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1230&context=mehmetÖzkan

(Diakses pada 15 Desember 2013).

Meita, Yoram. 1998. “Domestic Challenges and Egypt’s U.S. Policy”. Middle East Review

of International Affairs 2 no. 4

M.Sharp, Jeremy. 2001. “Egypt: Background and U.S. Relations”. dapat diakses di

https://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33003.pdf, (Diakses pada 27 November

2016)

Rothman, Jay. 1992. “Conflict Resolution, Consortium”. Dapat diakses di

http://otyrauniq.ru/hywyme.pdf (diakses pada 29 September 2016)

Rutherford, Bruce K. 2008. Egypt after Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy In The

Arab World. Princeton University Press.

Sadat, Anwar Al. 1997. In Search o f Identity, An Autobiography. New York: Harper & Row

Publishers.

Said, Imam Ghazali. 2013. Idiologi Kaum Fundamentalis: Pengaruh PemikIran Politik Al-

Maududi Terhadap Gerakan Jama’ah Islamiyah Trans Pakistan Mesir. Surabaya:

Diantama

Saleh, Ashraf S.E. 2013. “Egypt and the EU: An Assessment of the Egyptian Euro-

Mediterranean Partnership”. Topics in Middle Eastern and African Economies Vol.

15, No. 1.

Sobirin, Ahmad. 2013. Muhammad Mursi: Pemimpin Negara Hafal Al-Qur’an. Yogyakarta:

Imperium.