EKOStudi Kasus PASCA BANJIR
MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG
KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Dr. Irawan, M.S.I Ichsan Habibi, M.A. Hum
Dr. Irawan, M.S.I
Ichsan Habibi, M.A. Hum
EKO
Studi Kasus PASCA BANJIR
MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG
KABUPATEN BELITUNG TIMUR
iv
Irawan dan Ichsan Habibi EKO-SPIRITUAL (Studi Kasus Pasca Banjir Masyarakat Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur)
Editor: Arnila, S.Ag Desain Cover: Tim Noerfikri
Layout: Rara Syifa Izdihariyah
Penerbit Shiddiq Press Head Office‚ Jl. Mentok Km. 13 Desa Petaling Banjar,
Mendo Barat - Bangka, website: http://shiddiqpress.com E-mail: [email protected]
xiv, 104 hlm; 15‚5 x 23 cm Cet. 1. Desember 2019
ISBN 978-623-90136-5-3 1. EKO-SPIRITUAL --- Tasawuf. I. judul
I. Pemikiran Islam
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ini tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada:
Pertama, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana atas
terselenggaranya penelitian ini.
Kedua, Rektor IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka
Belitung yang telah memberikan dukungan berupa perizinan
penelitian.
Ketiga, Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (P3M)‚ sekarang berganti nama Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M)‚ IAIN Syaikh
Abdurrahman Siddik Bangka Belitung yang telah memberikan
dukungan administratif sehingga penelitian ini berjalan lancar.
Keempat, seluruh sivitas akademika IAIN Syaikh
Abdurrahhman Siddik Bangka Belitung yang turut membantu
berbagai aktivitas yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.
Kelima, Camat Gantung, Khairil Anwar, yang telah
membantu memberikan data dan dukungan atas penelitian ini.
Keenam, Perangkat Desa Lenggang: Evo Lesmana (Kepala
Desa), Suparta (Sekretaris Desa), Genda Pratisiawan (Kasi
Pemerintahan), Aldi Gandari Elpizan (Kasi Pelayanan), Eko
Maulana (Kasi Pembangunan), Rengga Pradana (Kaur Umum dan
Tata Usaha), Eka Yuniarti (Kaur Keuangan), dan Puspa Vashanti
(Kaur Perencanaan).
Ketujuh, para Kepala Dusun: Toni (Kadus Dusun Jaya),
Idris (Kadus Canggu), Indra Saputra (Kadus Lenggang), dan Teguh
Firmadona (Kadus Teratai).
Terakhir, Mifta Suhni (Wakil Ketua MUI Belitung Timur),
Muhklisul Fatih (Penyuluh Kementerian Agama Belitung Timur),
Uri Khatansah (Tokoh Pemuda Belitung Timur), Hairiyati, Herlita
Kusumawati, dan seluruh masyarakat Desa Lenggang.
viii
Semoga kebaikan dan keikhlasan dari berbagai pihak yang
telah turut serta dalam penyelesaian penelitian ini dibalas oleh
pahala oleh Allah Swt.
Tentunya, penelitian ini masih dijumpai kekurangan. Oleh
karenanya, kritikan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari
semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Bangka‚ Desember 2019
Penulis
Irawan dan Ichsan Habibi
ix
KATA SAMBUTAN
Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi adalah
sebagai khali>fah‚ yang salah satu tanggunggung jawabnya adalah
melestarikan alam dan lingkungan. Alam dan manusia sama-sama
makhluk ciptaaan Tuhan. Alam memberikan manfaat cukup besar
bagi kelangsungan hidup manusia. Alam dan seisinya
menghasilkan berbagai jenis flora dan fauna untuk kebutuhan
sehari-hari‚ seperti makan dan minum. Alam juga menjadi sarana
transportasi‚ lahan pertanian‚ tempat peternakan‚ tempat rekreasi‚
dan sebagainya. Dengan demikian‚ manusia sepantasnya berterima
kasih kepada Tuhan yang menjadikan alam untuk kebutuhan
manusia.
Namun‚ alam terkadang tidak disapa dan diperlakukan
secara santun oleh manusia. Akibatnya‚ alam menjadi rusak dan
menyebabkan tanah longsor‚ banjir‚ dan dan bencana alam lainnya.
Salah satu bukti nyata terjadinya banjir di Desa Lenggang
Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur pada tahun
pertengahan Juli 2017. Melalui penjelasan yang sangat
komprehensif dan edukatif‚ buku ini memaparkan penyebab
terjadinya banjir di daerah ini dan solusi yang harus dilakukan agar
banjir tidak terulang kembali. Buku ini juga menjelaskan
pentingnya manusia merawat alam dengan konsep tawh}i>d‚
ama>nah‚ dan a>khirah.
Konsep tawh}i>d merupakan prinsip dasar yang melandasi
sikap dan perbuatan manusia dalam kaitannya antara manusia
dengan Penciptanya (h}abl ma‘a Kha>liqih), manusia dengan
sesamanya (h}abl min al-na>s), dan manusia terhadap makhluk hidup
lainnya (h}abl ma‘a ghairih).
Sikap ama>nah berarti bertanggung jawab untuk merawat
planet bumi, menjaganya, dan melihatnya sebagai ―status
pinjaman‖ dari Sang Pencipta. Manusia telah diberi ―pinjaman‖
untuk hidup di bumi, oleh karena itu ketika manusia meninggalkan
bumi harus dalam kondisi yang lebih baik daripada ketika
x
menemukannya. Islam mengajarkan penganutnya agar
meninggalkan bumi dalam kondisi baik
Konsep A<<<<<<<khirah (Akhirat) menunjukkan bahwa manusia
tidak hanya diutus Allah sebagai khalifah di bumi, tetapi juga akan
bertanggung jawab di akhirat atas kesesatannya.
Akhirnya‚ buku ini memang sepantasnya dibaca dan
dijadikan referensi terutama dalam memahami alam dari aspek
spiritual. Amin.
Bangka‚ Desember 2019
Rektor IAIN SAS Babel
Dr. Zayadi‚ M.Ag
xi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas rahmat Allah SWT yang
telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis
sehingga buku ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW‚ nabi yang telah
mengajarkan pengetahuan kepada kita semua. Amin.
Buku ini merupakan hasil penelitian yang berjudul Eko-
Spiritual (Studi Kasus Pasca Banjir Masyarakat Desa Lenggang
Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur) tahun 2018.
Penulisan buku ini dilakukan karena dilatarbelakangi terjadinya
banjir di pulau Belitung yang meluhlantahkan rumah, jalan raya,
fasilitas umum, dan berbagai infrastruktur lainnya, khususnya di
Desa Lenggang. Salah satu penyebab terjadinya banjir di desa
Laskar Pelangi ini adalah rusaknya lingkungan. Kerusakan
lingkungan yang menjadi sorotan penelitian ini adalah kurangnya
nilai-niai spiritual pada diri sebagian masyarakat di daerah ini.
Tentunya, buku ini masih dijumpai banyak kekurangan.
Oleh karenanya, kritikan yang bersifat konstruktif sangat
diharapkan dari semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Bangka‚ Desember 2019
Penulis
Irawan dan Ichsan Habibi
xiii
DAFTAR ISI Cover Luar ........................................................................................i
Cover Dalam ................................................................................... iii
Persembahan ....................................................................................v
Ucapan Terima Kasih .................................................................... vii
Kata Sambutan ................................................................................ ix
Kata Pengantar ................................................................................ xi
Daftar isi ........................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................... 16
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................... 17
D. Kajian Teori ........................................................... 17
E. Kajian Pustaka ....................................................... 19
F. Metode Penelitian .................................................. 21
G. Data dan Sumber Data ........................................... 22
H. Sistematika Penulisan ............................................ 23
BAB II EKOLOGI, SPIRITUAL, DAN ISLAM
A. Ekologi .................................................................. 25
B. Ekologi Spiritual ................................................... 29
C. Islam dan Ekologi: Menuju Perbaikan
dan Rekonstruksi ................................................... 36
D. Hubungan Ekologi Spiritual dan Banjir ................ 42
BAB III KONDISI WILAYAH PENELITIAN
A. Profil Desa Lenggang ............................................ 45
B. Lenggang sebagai Desa Wisata ............................. 47
C. Bendungan PICE dan Bencana Kemanusiaan ....... 49
BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT DESA LENGGANG
KECAMATAN GANTUNG KABUPATEN
xiv
BELITUNG TIMUR TERHADAP EKO-SPIRITUAL
DALAM KAITANNYA DENGAN BANJIR
A. Banjir dalam Perspertif Eko-Spiritual bagi
Masyarakat Desa Lenggang Kabupaten Belitung
Timur ..................................................................... 51
B. Solusi Banjir dalam Perpsektif Eko-Spiritual ...... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................ 75
B. Saran ...................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
INDEKS
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aktivitas perekonomian di Belitung Timur baik usaha kecil
maupun usaha besar bergantung kepada, antara lain sumber daya
alam, laut, dan hutan. Untuk memenuhi usaha ini, banyak hutan
ditebang untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan berapa
banyak tanah digali untuk diambil mineral yang terkandung di
dalamnya, seperti pasir bangunan, kuarsa serta galian golongan C
lainnya seperti timah, kaolin dan tanah liat. Demikian juga kapal
isap dioperasikan untuk mengambil timah di laut Belitung Timur.1
Dampak negatif dari kegiatan pertambangan timah di
antaranya adalah terganggunya ekosistem, rusaknya
keanekaragaman flora dan fauna di lingkungan, rusaknya ekosistem
hutan dan sungai, dan lain-lain,2 termasuk banjir. Banjir yang
melanda 4.000 warga kecamatan Gantung Belitung Timur
(pertengahan Juli 2017)3 disebabkan selain curah hujan yang cukup
tinggi, terjadinya pendangkalan di sepanjang aliran muara sungai
cerucuk yang diakibatkan oleh penambangan Tambang
Inkovensional (TI) ilegal jenis rajuk yang jumlahnya mencapai
puluhan unit di daerah tersebut, sehingga air dari hulu sungai tidak
lagi mengalir dengan lancar.4 Dalam laporan Ozzi di Radio BFM
Bangka Belitung ketika dihubungi VOA (Minggu malam 16 Juli
2017), banjir disebabkan bukan hanya satu-satunya debit hujan
1http://Www.Muarababel .Com/Muara- Detail/ Tahun- Ini-Banjir-
Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-Benar.Html, Diakses 22
September 2017.
2https://primaedika. wordpress.com/ 2016/01/25 /mengenal-kerusakan-
lingkungan-di-daerah-bangka-belitung/. Diakses 23 September 2017.
3http://bangka. tribunnews. com/ 2017/07/17/4000- warga – beltim-
terdampak- banjir- kecamatan-gantung-paling-parah, Diakses 25 September
2017.
4http://Www.Muarababel.Com/ Muara- Detail/ Tahun-Ini -Banjir-
Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-Benar.Html.
2
yang sangat tinggi, tetapi juga karena kerusakan alam akibat
penambangan dan pembukaan lahan perkebunan sawit secara
membabi buta.5
Banjir ini juga melanda beberapa wilayah Belitung: Desa
Kembiri, Desa Cerucuk, Mentigi, Dukong, Desa Air Selumar, Desa
Bantan, Simpang Rusa, Air Mungkui dan beberapa daerah lainnya.
Sedangkan wilayah Belitung Timur: Daerah Selingsing, Manggar,
Kelapa Kampit, Damar, Batu Penyu, Renggiang, bahkan pasar
tradisional Gantung pun sudah tergenang air hingga ke atap rumah
dan toko. Kemudian beberapa tiang listrik roboh di daerah
kecamatan Dendang Belitung Timur.6
Realitas ini ditanggapi secara beragam. Pada satu sisi
musibah ini adalah takdir Tuhan. Namun di sisi lain, musibah
banjir tidak lepas dari tindakan dan sikap manusia terhadap
lingkungan. Paul Burkett menjelaskan bahwa kerusakan hutan
secara garis besar juga cenderung disebabkan aktivitas manusia,
terutama untuk kebutuhan produksi dan konsumsi. Prinsip
kapitalisme ini telah menjadikan manusia untuk terus
meningkatkan produksi untuk memperoleh keuntungan dan
persaingan bisnis. Sikap konsumtifisme seperti ini menjadikan
manusia merusak hutan untuk membuka lahan baru perkebunan
atau pertanian, sehingga menimbulkan dampak ‗pemanasan global‘
(global warming),7 banjir, tanah longsor, dan sebagainya.
Sesungguhnya hutan dan lingkungan sekitar tempat tinggal
seharusnya dilestarikan sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi
Millenium (MDGs) yang menempatkan isu lingkungan (pada tujuan
5https://www.voaindonesia.com/a/ banjir- landa- belitung- banyak-
buaya-masuk-kampung/3946521.html, Diakses 25 September 2017.
6http://Www.Muarababel.Com/ Muara-Detail/ Tahun- Ini-Banjir-
Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa- Benar.Html.
7Paul Burkett, ―An Eco-Revolutionary Tipping Point?: Global
Warming, the Two Climate Denials, and the Environmental Proletariat‖, Monthly
Review, New York, 69.1 (May 2017): 1-19.
3
ke-7), yaitu Memastikan Kelestarian Lingkungan.8 Deklarasi
pembangunan milennium ini berpihak pada pemenuhan hak-hak
dasar manusia yang mengarah kepada peningkatan kualitas hidup.
Sebagai kelanjutan deklarasi tersebut, dilakukan juga seminar The
State Nature Protection Committee of the Republic of Uzbekistan
on the Development of Cooperation with Public Inspectors
for Ecological Control (27 December 2013).9 Seminar yang
dihadiri oleh para wakil negara dan nonpemerintahan, badan
pemerintahan, ilmuan, dan jurnalis ini bertujuan untuk mengontrol
ekologi di daerah ini (khususnya) dan semua bagian dunia
(umumnya) sebagai dampak dari pekerjaan yang berkaitan dengan
lingkungan.
Beroperasinya Kapal Isap Produksi (KIP) timah di laut
Belitung Timur juga disebut sebagai faktor penyebab banjir.
Kegiatan pengoperasian kapal isap di wilayah ini sebenarnya sudah
ditolak oleh Bupati Belitung dan sebagian besar masyarakat sampai
kapan pun karena keberadaan Kapal Isap ini hanya akan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang semakin parah.10
Penolakan pemerintah Belitung ini sejalan dengan seminar The
International Ocean Institute (IOI) yang didukung oleh
Kementerian Luar Negeri dan Turkmenistan dan the State
Enterprise on Caspian Sea Issues di bawah Presiden Turkmenistan
juga menyelenggarakan seminar di Avaza, dengan judul “Caspian
Sea - sustainable development and management”, yang
berlangsung 8-16 Maret 2017 dihadiri para pakar berbagai
kementerian dan otoritas Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Russia dan
8Lihat Dekralarasi MDGs (Millenium Development Goals) yang
dideklarasikan di New York oleh 189 negara anggota PBB pada bulan
September 2000. MDGs menetapkan 8 (delapan) tujuan pembangunan yang
diuraikan menjadi 18 target dan 48 indikator untuk pemantauan yang akan
dicapai dalam kurun waktu 1990-2015.
9Public Inspectors Engage in Environmental Protection, Uzbekistan
National News Agency (UzA), English ed.; Tashkent 09 Feb 2017.
10
https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=6827, Diakses 25 September
2017.
4
Turkmenistan, juga para pakar internasional – para konsultan
saintifik IOI dalam bidang ekonomi maritim, ekonomi, politik,
manajemen, ekologi, hukum maritim dan berbagai pakar ilmu
pengetahuan lainnya hadir dalam event ini.11 Seminar ini bertujuan
untuk melatih praktisi-praktisi muda dan sedang meniti karir agar
mengelola pantai dan laut melalui pendekatan kontemporer, dengan
menekankan nilai-nilai moral, etika, dan hukum dalam tata kelola
kelautan (yang berkeadilan dan pemanfaatan laut secara damai).
Demikian juga pertemuan The Asia-Oceania meeting of Religious
XVII (3 Maret 2017, di Myanmar) yang membahas tanggung jawab
manusia terhadap lingkungan (eco-citizens).12
Upaya-upaya untuk menjaga lingkungan tetap
berkesinambungan tidak hanya dilakukan dengan dikeluarkannya
peraturan penambangan timah13 dan perubahan mindset manusia,
namun diperlukan juga spiritualitas manusia terhadap lingkungan.
Sebagai makhluk spiritual-religius, manusia akan menyadari bahwa
lingkungan adalah bagian kehidupan yang tidak terpisahkan.
Spiritualitas agama-agama Semit (Islam, Kristen, Yahudi) telah
diintegrasikan dalam berbagai tradisi agama dan menunjukkan
persamaan-persamaan dan memberikan kontribusi kepada seuatu
perspektif etika yang baru pula tentang isu-isu lingkungan.14 Etika
yang diajarkan agama-agama semit adalah hubungan antara ciptaan
11Huseyn Hasanov, ―Turkmenistan Hosting Seminar on Caspian Sea
Issues‖, Trend News, English; Baku 08 March 2017.
12
Gail DeGeorge, ―Sacred Environment‖, National Catholic Reporter,
53, 12 (March 24 – April 6, 2017): 5.
13
Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; Peraturan
Bupati Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Peraturan Bupati
Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2014; Peraturan Bupati Belitung Timur Nomor
59 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Timah Sistem
Rajuk Menggunakan Alat Ponton Isap Produksi (PIP) Pada Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi Darat di Wilayah Kabupaten Belitung Timur.
14
Graham Duncan, ―Celtic Spirituality and Contemporary
Environmental Issues‖, Theological Studies, 71, 3 (2015): 1-10.
5
dan keselamatan. Hubungan ciptaan dan keselamatan itu bisa
dikatakan sebagai manifestasi Tuhan secara eksoteris dan esoteris.
Hampir 50 tahun lalu, filosof Islam Seyyed Hossein Nasr
mempublikasikan bukunya The Encounter of Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man15, sama halnya dengan pemikir
konservatif Rachel Carson16 dan sejarawan Lynn White Jr17 Nasr
mengidentifikasi krisis ekologi baru mulai melanda dunia.18
Krisis ekologi disebabkan salah satu faktornya adalah
penolakan dimensi spiritual dalam menyapa dan berhubungan
dengan lingkungan atau ekologi. Kapitalisme modern telah
melupakan dimensi spiritual dan lebih mengutamakan pandangan
dunia (world-views) bahwa manusia boleh memanfaatkan sumber
alam sepuasnya. Manusia modern tidak menyadari adanya doktrin
tradisi yang menjelaskan hubungan terdalam (the inner nexus) alam
dengan dunia fisiknya.19 Penolakan unsur spiritual dalam
15Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968).
16
Rachel Carson adalah seorang naturalis dan saintis pertama dan
terkenal. Namun, pemahamannya tentang kekuatan ekologi destruktif terdorong
oleh sikap masyarakat modern yang sangat ‗kritis dan radikal‘. Prinsip
masyarakat modern seperti ini menyebabkan ‗degradasi ekologi‘, sehingga
menjadi ‗tuhan-tuhan keuntungan dan produksi‘ (the gods of profit and
production). Manusia hidup di bawah bayang-bayang industri, dan jarang sekali
menentang prinsip memperoleh uang sebanyak-banyaknya dengan biaya
serendah-rendahnya. Lihat John Bellamy Foster and Brett Clark, ―Rachel
Ecological Critique‖, Monthly Review, 59, 9 (February 2008): 1-17.
17
Dalam sebuah esai kecilnya, The Historical Roots of Our Ecologic
Crisis (10 Maret 1967), Lynn White Jr. tertarik menjelaskan mengapa terjadi
kerusakan ekologi dan polusi lingkungan yang terjadi di Barat. Krisis ekologi ini,
menurut White, telah muncul dari ketidakpedulian Kristen terhadap nilai-nilai
yang sangat mendasar pada alam dan kepercayaan diri terhadap untuk
memilikinya dan gunakan alam sesukanya. Mark Stoll, ―Review Essay: The
Quest for Green Religion‖, Religion and American Culture: A Journal of
Interpretation, 22.2 (2012): 265-274.
18
Interview, A Religious Nature: Philosopher Seyyed Hossein Nasr on
Islam and the Environment, Bulletin of the Atomic Scientists, 2015, Vol. 71, 5
(2015): 13–18.
19
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: Unwin, 1990), 4.
6
memperlakukan lingkungan lebih disebabkan faktor ekonomi.20
Pentingnya ketelibatan unsur spiritual adalah untuk menemukan
kembali saintifik dengan pengetahuan suci (sacred knowledge)
sebagaimana tertera di dalam tradisi Islam.21 Meskipun demikian,
manusia masih perlu menggunakan daya nalar rasionalitas di dalam
berhubungan dengan alam. Sebagaimana dikatakan Regula
Wegmann, jika manusia memberikan kontribusi kepada
keberlangsungan dan perkembangan komunitas yang ada di bumi,
maka setiap orang perlu memperbaiki diri bagaimana berhubungan
dengan lebih banyak manusia melalui penalaran dan rasionalitas.22
Ilmu pengetahuan tradisional – yang berkaitan dengan
serangkaian simbol, bentuk, warna, dan perintah Tuhan – hanya
bisa dipahami dan ditemukan dalam cahaya spiritualitas. Tanpa
cahaya kehidupan tradisi dengan berbagai metafisika dan
teologinya, pengetahuan kosmologi menjadi buram dan tidak bisa
dimengerti. Dengan merujuk kepada pengetahun spiritual ini,
fenomena alam dapat dipahami dan menjadi transparan.23
Simon Appolloni dan Heather Eaton menjelaskan relasi
manusia dan alam dengan istilah ekoteologi. Ekoteologi didasari
pada premis hubungan antara spiritualitas manusia dan keadaan
alam. Ekoteologi bertujuan untuk menemukan tingkat kerusakan
alam, dan mengidentifikasi solusi dalam perspektif berkelanjutan
dan manajemen ekosistem. Solusi seperti ini membangun harapan
dan inspirasi terhadap etika berbagai agama. Jika seseorang ingin
mengetahui krisis lingkungan global, maka yang diperlukan adalah
sistem kepercayaan yang lebih tinggi untuk mencari inspirasi
perubahan, dan merubah cara pandang masyarakat memperlakukan
20Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 103.
21
Nasr, Knowledge and The Sacred , 103. Tradisi Islam yang dimaksud,
terutama oleh Seyyed Hossein Nasr, adalah al-Di>n, al-Sunnah, dan al-Silsilah.
22
Regula Wegmann, ―Eco-Sophie: Thinking and Knowing in Dynamic
Harmony with the Ways of Nature‖, Dissertation, California Institute of Integral
Studies, San Francisco, C A, 2008, 5.
23
Nasr, Man and Nature, 57.
7
alam. Ekoteologi mendorong semua agama mengeksplorasikan
interkoneksitas spiritualitas dan ekologi.24
Dalam bukunya Religion and the Order of Nature (1996),
Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa memburuknya krisis
ekologi tidak bisa diatasi tanpa adanya keimanan semua orang dan
penanaman nilai-nilai spiritual dalam diri manusia di tengah
kesucian alam.25 Tanpa menemukan kembali pengetahuan suci
yang terdapat di dalam alam, maka akan terjadi chaos antara alam
dan manusia, yang pada akhirnya akan merusak semua kehidupan
manusia di bumi.26 Nasr mengajak semua umat beragama untuk
kembali memahami lingkungan berdasarkan ajaran tradisi semua
agama dalam konteks universal yang melampaui budaya dan
masyarakat.27 Sifat konsumtif manusia yang berlebihan telah
menghilangkan nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, revitalisasi
teologi dan filsafat alam penting dilakukan dengan tujuan
membatasi penerapan sains dan teknologi tersebut. Dulu, menurut
Nasr, manusia harus diselamatkan dari alam. Saat ini alam harus
diselamatkan dari manusia baik dalam keadaan perang maupun
damai.28 Tidak mungkin ada kedamaian di antara manusia jika
tidak ada kedamaian dan keharmonisan dengan alam. Untuk meraih
kedamaian dan keharmonisan dengan alam, seseorang harus dalam
keadaan harmonis.29
Berbeda dengan Nasr, Sallie McFague tidak sependapat jika
krisis ekologi diatasi dengan kembali kepada tradisi atau kosmologi
24Simon Appolloni and Heather Eaton, ―The Ecology of Religion: Faith
Leaders are Raising Sustainability Conserns‖, Alternatives Journal, CA, 42.1.
(2016): 45.
25
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996).
26
Nasr, Religion and the Order, 7.
27
Terry Moore, ―Introduction: The Spiritual and Intellectual Journey of
Seyyed Hossein Nasr‖, in In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed
Hossein Nasr on His Life and Thought , Seyyed Hossein Nasr with Ramin
Jahanbegloo (California: Praeger, 2010), xxiii.
28
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 135.
29
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 136.
8
abad peretengahan. McFague percaya bahwa sains posmodern
menyediakan cara penyelesaian persoalaan ekologi yang lebih
terstruktur, terbuka, rasional, dan saling ketergantungan dalam
sistem organisme dan masyarakat.30
Hubungan manusia dan lingkungan tidak hanya dilihat dari
perspektif fisik, tetapi juga metafisika. Gagasan mengenai
bagaimana hubungan lingkungan dengan manusia dalam perspektif
metafisik ini lebih dikenal dengan „deep ecology‟, seperti yang
dilakukan Feuerbach.31 „Deep ecology‟ merujuk kepada upaya-
upaya untuk menegaskan kembali dan memberikan rasa sensitif
masyarakat terhadap kebutuhan lingkungan. Konsep ini juga
berkaitan dengan naturalisme yang berperan mengevaluasi kembali
status alam baik melalui nilai-nilai otonomnya maupun alam
sebagai milik Tuhan.32
Robert Park, seorang teoritis pertama yang menerapkan
ekologi tumbuhan kepada ekologi manusia, mendeskripsikan
hubungan ini sebagai suatu ―organisme super‖ (super-organism)
dengan ―kesatuan organik‖ (organic unity).33 Teori ekologi ini
bertumpu pada premis adanya hubungan antara manusia dan tempat
tinggal seseorang. Begitu juga al-Qur „an dan h}adi>th mengandung
ungkapan dan persepsi tentang ciptaan Tuhan dan tanggung jawab
manusia untuk merawatnya. Kedua sumber ajaran Islam ini
menjadi referensi ketika menjelaskan lingkungan.34 Di antara
30Sallie McFague, Super, Natural Christians: How We Should Love
Nature (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 59; Ian Mevorach, ―In Search of A
Christian-Muslim Common Path from Desacralization to Resacralization of
Nature: Sallie Mcfague and Seyyed Hossein Nasr on The Ecological Crisis‖,
Dissertation, Boston University School of Theology, 2015, 181.
31
David L. Barnhill and Roger S. Gottlieb, Deep Ecology and World
Religions: New Essays on Sacred Ground (Albany: State University of New
York Press, 2001).
32
Barnhill Gottlieb, Deep Ecology and World Religions, 3-4.
33
Robert E. Park, Human Communities (Glencoe, IL: The Free Press,
1952), 118.
34
L. Wersal, ―Islam and Environmental Ethics: Tradition Responds to
Contemporary Challenges‖, Zygon, 30, 3 (1995): 451–459.
9
tanggung jawab manusia terhadap ciptaan-Nya adalah etika
terhadap lingkungan. Doktrin Islam mengajarkan manusia untuk
beretika kepada lingkungan, yang tertuang di dalam konsep tawh}i>d,
khali>fah, akhi>rah,35 ama>nah, adl, dan mi>za>n.36
Dalam pandangan Abdul Aziz Said dan Nathan C. Funk,
makna ‗kedamaian‘ dalam Islam terdapat di dalam kata ‘tawh}i>d’,
yaitu prinsip kesatuan yang menyediakan kesuburan tanah dan
spiritualitas. Tawh}i>d adalah ajaran pokok dalam Islam, yang
menjelaskan Keesaan Tuhan, kesatuan wahyu, kesatuan
kemanusiaan, dan pada akhirnya kesatuan eksistensi.37 Makna
kedamaian dalam Islam mengacu pada suatu spirit ekologi, yaitu
ekologi yang berdasarkan tawh}i>d, keesaan fundamental Tuhan dari
semua eksistensi. Manusia dan alam adalah satu dan memperoleh
kedamaian dalam kesadaran tawh}i>d. Ketika tawh}i>d dilupakan,
hubungan menjadi tidak damai. Melalui penyelidikan alam secara
damai dalam Islam, manusia memperoleh pendekatan makna
ekologi Islam dalam prinsip tawh}i>d.38
Sebagai konsep tawh}i>d, Tuhan adalah pencipta langit dan
bumi (Qs.al-An‗am/6:1), pencipta dan pemelihara lingkungan
(Qs.al-An‗am/6:102), dan semua makhluk ciptaan-Nya bertasbih
dan memuji-Nya (Qs.al-Isra>/17:44).39 Al-Qur‗an (14:19-20; 46:3;
15:85-86) berulangkali mengutip bahwa alam semesta dicirikan
dengan proporsi, keharmonian, dan keindahan, yang menjadi
35DeGeorge, ―Sacred Environment‖, 5.
36
Ibrahim Abdul-Matin, Green Deen: What Islam Teaches About
Protecting the Planet (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2010), xix.
37
Abdul Aziz Said and Nathan C. Funk, Peace in Islam: An Ecology of
Spirit‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust , Richard C. Foltz, Frederick M.
Denny, and Azizan Baharuddin, eds. (Cambridge, MA: Center for the Study of
World Religions, Harvard Divinity School, 2003), 155.
38
Funk, Peace in Islam, 155.
39
Marjorie Hope and James Young, ―Islam and ecology‖, Cross
Currents, 44, 2 (Summer 1994): 180.
10
keunggulan dari keahlian Ilahi.40 Allah menciptakan alam semesta
dan semua makhluk sebagai refleksi dari kesatuan di dalam
pluralitas.41
Tawh}i>d juga merupakan prinsip syariah yang merefleksikan
bahwa Allah adalah satu-satunya penguasa alam semesta.
Hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah sama-sama
ciptaan Tuhan, saling berkepentingan, saling menghargai, dan
sama-sama melestarikan. Keduanya memiliki fit}rah, yaitu kesatuan
ciptaan (tawh}i>d) sebagai a>yat Tuhan.42 Publik dewasa ini –
termasuk guru-guru agama, organisasi-organisasi, bahkan lembaga-
lembaga pemerintah dan masyarakat – diminta untuk
mengintegrasikan teologi dan praktek keyakinan mereka agar
beretika terhadap lingkungan. Alam harus dianggap sebagai
perwujudan sakral dan manusia makhluk terbaik sebagai pelestari
alam.43
Konsep tawh}i>d adalah unsur penting dalam pandangan
Islam yang terbagi menjadi Pencipta (Allah) dan makhluk. Yang
tergolong makhluk adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,
jin, dan malaikat. Manusia adalah makhluk yang paling mulia yang
tidak hanya diciptakan dalam ―sebaik-baik ciptaan‖ (Qs.al-
T>i>n/95:4), tetapi juga diberikan jiwa, rasio, dan panca indra untuk
menyaksikan kemuliaan Allah. Kemuliaan-Nya dapat diuji dengan
membaca al-Qur‗an dan berkontemplasi dengan keindahan alam.44
40Arthur Saniotis, ―Muslims and Ecology: Fostering Islamic
Environmental Ethics‖, Cont Islam, 6 (2012): 155–171.
41
William C. Chittick, ―God Surrounds All Things: An Islamic
Perspective on the Environment‖, The World And I, 1, 6 (1986): 671–678.
42
Eco-Islam Movement Sees Light in Europe, Daily News Egypt, Cairo,
22 May 2009.
43
Thomas A. Reuter, ―The Green Revolution in the World‘s Religions:
Indonesian Examples in International Comparison‖, Religions, 6 (2015): 1219.
44
Ismail R. Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life
(2nd ed.) (Herndon: International Institute of Islamic Thought Al-Faruqi, 1992);
Noor Munirah Isa and Saadan Man, ‗‗First Things First‘‘: Application of Islamic
Principles of Priority in the Ethical Assessment of Genetically Modified Foods‖,
Journal of Agricutural and Environmental Ethics, Vol. 27, Issue 5 (2014): 863.
11
Di sini, alam dapat dilihat sebagai sebuah entitas atau wujud yang
memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia dalam
memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual.45 Alam harus berserah diri
kepada Tuhan, namun manusia memiliki kebebasan berkehendak
dan juga harus memilih berserah diri kepada Tuhan. Penyerahan
diri kepada Tuhan oleh alam dan manusia sebagai bagian dari
tawh}i>d itu sendiri. Kehadiran Tuhan dalam semua benda
dilambangkan dengan sifat-Nya al-Muh}i>t} (Mahamelingkupi) dan
al-Mawju>d (Mahahadir).46
Konsep keesaan Tuhan (tawh}i>d) memancarkan kesatuan
ciptaan. Inilah yang disebut suatu visi monoteisme yang secara
simultan mendukung suatu prinsip solidaritas dan kasih sayang di
antara semua manusia dan makhluk. Oleh karena itu, keesaan
Tuhan (tawh}i>d) berkaitan dengan kasih sayang Tuhan kepada
manusia dan makhluk. Pemahaman spiritualistik seperti ini menjadi
fondasi untuk melakukan penghijauan, mengembangkan ekologi,
dan menjadi bagian dari anggota komunitas bumi yang inklusif dan
keadilan sosial.47
Nabi Muhammad Saw adalah seorang pendukung setia
perlindungan lingkungan dan pelopor konservasi, pembangunan
berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya. Dia juga
seorang “environmental pioneer” (pelopor lingkungan) yang terus
berusaha menjaga keseimbangan yang harmonis antara manusia
dan alam. Sepanjang hidup dan perbuatannya, Rasulullah a.
menghormati tumbuh-tumbuhan, hewan, dan empat unsur: tanah,
45Osman Bakar, Environmental Wisdom for Planet Earth: The Islamic
Heritage (Kuala Lumpur: Center for Civilisational Dialogue, University of
Malaya, 2007).
46
Mohammad Yusuf Siddiq. ―An Ecological Journey in Muslim
Bengal‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust . Richard C. Foltz, Frederick
M. Denny, and Azizan Baharuddin, ed. (Cambridge: Harvard Divinity School,
Center for the Study of World Religions, 2003), 451.
47
Christopher Hrynkow and Stephanie Westlund, ―Wisdom Traditions,
Peace and Ecology: Mapping Some Wellsprings of Integral Connectivity‖,
Journal for the Study of Peace and Conflict (2015): 40.
12
air, api, dan udara b. mendukung pemanfaatan dan budidaya tanah
dan air secara berkesinambungan c. memperlakukan hewan,
tumbuhan, dan burung dengan baik. Dalam konteks modernitas,
pandangan dan konsep Nabi Muhammad terhadap lingkungan ini
dapat diimplikasikan dalam isu-isu lingkungan. Secara filosofis,
etika terhadap lingkungan yang dilakukan Nabi mengandung pesan
bahwa jika manusia menolak satu unsur saja – seperti yang
dijelaskan di atas – maka alam semesta secara keseluruhan akan
menderita secara secara langsung.48
Demikian juga eksistensi dunia kosmos, menurut Ibn al-
‘Arabi>, tidak terlepas dari hadirnya Nafas al-Rah}ma>n. Tuhan
menghembuskan napas, dan sambil bernapas, Dia berbicara.
Perkataan-Nya abadi, namun keabadian perkataan-Nya bukan
dalam bentuk kata-kata. Setiap kata yang muncul sesaat, lalu
menghilang dari kosmos yang diciptakan-Nya selamanya (namun
Dia tetap hadir dalam kekuasaan-Nya). Setiap bagian dari setiap
yang ada terdapat satu ‗huruf‘ (h}arf) Tuhan. Makhluk-makhluk
adalah ‗kata-kata‘ (kalima>t) yang tersusun dari huruf-huruf,
kumpulan makhluk-makhluk adalah sebuah ‗kalimat‘ (jumlah), dan
setiap dunia adalah ‗kitab‘ (kita>b). Semua kata dan semua kitab
diucapkan oleh al-Rah}ma>n (Maha Penyayang), karena Tuhan
‗merangkul semua hal dengan belas kasihan dan pengetahuan‘
(Qs.40:7).49 Di sini dapat dipahami bahwa Tuhan selalu mengawasi
makhluk, dan setiap makhluk adalah ciptaan-Nya. Sebagai ciptaan-
Nya, tentunya Dia sangat menyayangi dan melindungi. Oleh karena
itu tidak sepantasnya manusia merusak ciptaan-Nya, tetapi
48Prophet: An Environmental Pioneer, The Peninsula, Doha, 7
December 2012.
49
William C. Chittick, Ibn al-„Arabi‟s Metaphysics of Imagination: The
Sufi Path of Knowledge (Albany, New York: State University of New York
Press, 1989), 19; Irawan, Diskursus Pluralisme Agama dan Relevansinya dalam
Konteks Kehidupan Beragama di Indonesia, Disertasi Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
13
sebaliknya menyapanya dengan kasih sayang sebagaimana sifat
kasih Tuhan melekat pada semua makhluk-Nya.
Sebagai khali>fah, manusia adalah wakil Tuhan di bumi dan
dibekali dengan spiritual dan mental agar dapat menyampaikan
misi Islam (Qs.al-Baqarah/2:30). Manusia diperintahkan untuk
menyaksikan tanda-tanda ciptaan-Nya dalam berbagai tipe, bentuk,
jenis, dan warna. Melalui a>yat-Nya orang yang beriman
menemukan kebesan-Nya. Hubungan manusia dengan alam
semesta dapat dielaborasikan lebih jauh melalui dua prinsip, yaitu
miza>n (keseimbangan) dan sakkhara (sikap tunduk). Sikap tunduk
adalah tidak mengimplikasikan bahwa manusia memiliki hak untuk
mendominasi atau mengeksploitasi alam, tetapi memanfaatkan
sumber-sumber alam sesuai perintah Allah. Inilah yang dimaksud
dengan menjaga keseimbangan alam.50
Khali>fah merupakan konsep emanasi dari konsep tawh}i>d.
Dalam perspektif Islam, manusia dianggap khali>fah. Khali>fah
difirmankan Tuhan sebelum penciptaan manusia pertama, Adam
(Qs.2:30). Meskipun manusia adalah superior dan diminta Tuhan
untuk menguasai semua yang ada di bumi, namun tumbuhan dan
binatang tidak bisa dipandang secara sederhana sebagai budak-
budak manusia. Perlu dipahami bahwa seisi alam memuji Tuhan
dan sebagai teater ‗kemuliaan Tuhan‘. Islam bahkan menjelaskan
makhluk selain manusia sebagai „ummah‟ atau kumunitas yang
bertujuan dan berhubungan dengan Tuhan.51 Merusak spesies
tumbuhan dan hewan sama halnya dengan merusak seluruh
50Najma Kahera, ―Color Me Green‖, Atlanta, 5, 1 (April 2008): 35-41.
Lihat surat al-Rah}ma>n (55) ayat 7-8: Dan Allah telah meninggikan langit dan
Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas
tentang neraca itu.
51
Dalam surat al-An‗am ayat 38 Allah berfirman “Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
14
makhluk yang menyembah Tuhan, dan sekaligus menjadi
kemarahan Tuhan Yang Mahapencipta dan Mahapenyayang.52
Konsep lain yang menjelaskan emanasi tawh}i>d adalah
ama>nah. Konsep khali>fah tidak bisa dipahami sepenuhnya jika
ama>nah tidak diperhatikan. Allah telah menawarkan ama>nah
kepada surga, bumi, gunung, namun mereka menolaknya dan
hanya manusia yang menerima tawaran tersebut (Qs.al-
Ahzab/33:72).
Sikap ama>nah terhadap alam adalah bentuk
pertanggungjawaban atas pemeliharaan planet bumi, menjaganya,
dan melihatnya sebagai ―pinjaman‖ dari Pencipta. Kesempatan
hidup manusia di bumi ini sangat singkat dan pada saat
meninggalkan bumi ini kondisinya harus lebih baik lagi
dibandingkan dengan pada saat pertama kali menempatinya. Sikap
seperti inilah yang diajarkan Islam.53 Merawat alam juga
merupakan ungkapan terima manusia kepada Allah, sebab Dia
memberkati umat manusia dengan alam (Qs.14:32-33). Lihatlah
bagaimana laut, sungai, dan bulan melayani manusia setiap hari.
Air Sungai menghilangkan dahaga, air laut membantu manusia
bepergian, matahari memberikan panas dan waktu untuk bekerja di
siang hari, dan bulan memberikan kesempatan untuk tidur di
malam hari.54 Namun Allah juga menasehati manusia agar
senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya melalui
sumber alam ini (Qs.14:34).
Adi Setia menyatakan bahwa konsep ama>nah berkaitan
dengan ide aman, yang sekaligus memiliki relevansi dengan
52Seyyed Hossein Nasr, Islamic Environmentalism in Theory and
Practice,‖ in Worldviews, Religion and the Environment: A Global Anthology ,
Richard C. Foltz, ed. (Belmont, CA: Wadsworth Thomson, 2002), 358-365;
Rosemary Radford Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization, and World
Religions (Rowman and Littlefield Publisher, Maryland, 2005), 73.
53
Matin, Green Deen, 26.
54
Matin, Green Deen, 27.
15
dimensi fisik dan spiritual.55 Oleh karena itu, setiap pengabaian
tugas khali>fah mengurangi keamanan spiritual manusia.56 Bahkan
Nabi Muhammad sendiri diperintahkan Allah untuk melayani dan
mengabdi yang ditandai dengan ―pengintegrasian prinsip-prinsip
etika, mendorong manusia untuk berorientasi kepada energi
spiritual manusia dengan bersikap kritis dan transpormatif terhadap
organisasi sosial modern yang berkontribusi terhadap rusaknya
kehidupan sosial dan ekologi.57
Sumber alam harus dimanfaatkan secara bijaksana, di
antaranya tidak memanfaatkannya dengan berlebihan, tidak
mencemarinya zat-zat berbahaya, akan tetapi hidup di tengah alam
secara berimbang (mi>za>n) untuk menyeimbangkan sumber alam
sepanjang waktu. Manusia harus merubah narasi dari ‗kelangkaan‘
kebutuhan manusia. Manusia harus bisa meyakinkan sumber alam
selalu tersedia untuk saat ini dan masa mendatang.
Relevansi Islam dengan ekologi dijelaskan Ibrahim Abdul-
Matin dengan istilah “Green Deen”, yaitu Tuhan telah
menciptakan segala sesuatu secara berimbang (balance; mi>za>n).
Dalam hal ini, manusia diciptakan untuk hidup berdampingan
dengan bumi, sedangkan mengganggu keseimbangan ini
merupakan bentuk kezoliman.58
Islam dengan tegas melarang pengrusakan alam, kecuali
digunakan untuk kepentingan yang mendesak. Cara terbaik
memahami pandangan Islam tentang isu lingkungan adalah
merujuk kepada hukum yang berkaitan dengan jihad dan perang.
Sebagai contoh instruksi yang dikeluarkan Nabi Muhammad Saw
kepada pasukan Muslim: “Jangan menebang pohon”, dan jangan
membakar pohon-pohon kurma atau membuangnya ke air‖.
55Adi Setia, ―The Inner Dimension of Going-Green: Articulating and
Islamic Green-Ecology‖, Islam and Science, 5, 2 (2007): 117–150.
56
Setia, ―The Inner Dimension of Going-Green‖, 134,
57
Hrynkow and Westlund, ―Wisdom Traditions, Peace and Ecology‖:
26-48.
58
Matin, Green Deen, 89-90.
16
Menurut imam ‗Ali, Nabi Muhammad juga melarang meracuni air
orang kafir‖.59 Jika pada kondisi perang saja Islam mengajarkan
untuk menjaga lingkungan, maka pada kondisi damai pun sangat
mudah untuk mengapresiasikan kebijakan lingkungan.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa penelitian ini
penting untuk dilakukan sebagai barometer apakah masyarakat
Gantung Belitung Timur benar-benar menyadari atau tidak tentang
pentingnya menjaga dan merawat lingkungan.
B. Perumusan Masalah
Pembahasan mengenai ekologi sangat luas sekali dan
pengkajiannya berbeda-beda berdasarkan pendekatan, lokasi, dan
waktu. Lokasi penelitian adalah Desa Lenggang Kecamatan
Gantung Kabupaten Belitung Timur. Pentingnya dilakukan
penelitian di kedua desa ini karena kedua wilayah ini dilanda banjir
yang paling parah. Lalu, apa permasalahan penelitian ini? Dalam
penelitian ini diawali dengan pertanyaan mayor, yaitu apakah
ekologi spiritual menjadi solusi kerusakan lingkungan di
Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur? Pertanyaan mayor
ini selanjutnya dikembangkan menjadi beberapa pertanyaan minor
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Islam tentang ekologi-spiritual?
2. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Lenggang tentang
eko-spiritual dalam kaitannya dengan banjir?
3. Apa saja solusi yang harus dilakukan agar banjir tidak
terjadi lagi dalam perpsektif eko-spiritual bagi masyarakat
Desa Lenggang Kecamatan Gantung?
59Norman Wagenaar and Others, ―In the spirit of the Earth (Cross -
Section of Views from Five Spiritual Communities on the Relationship between
Humans and the Earth)‖, Earthkeeper (December 1994): 10-13.
17
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan pandangan Islam tentang eko-spiritual.
2. Menjelaskan pandangan masyarakat Desa Lenggang
tentang eko-spiritual dalam kaitannya dengan banjir.
3. Menjelaskan apa saja solusi yang harus dilakukan agar
banjir tidak terjadi lagi dalam perpsektif eko-spiritual bagi
masyarakat Desa Lenggang Kecamatan Gantung.
Kegunaan Penelitian
Signifikansi penelitian ini memiliki dua aspek, yaitu teoritis
dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bisa menjadi
pengembangan program studi dan pengembangan ilmu
pengetahuan antara pengetahuan ekologi atau lingkungan dengan
pengetahuan tradisional Islam. Sedangkan secara praktis, penelitian
ini diharapkan bisa menjadi referensi bagi lembaga pemerintah,
masyarakat, dan pemerhati lingkungan dalam menjaga dan
melestarikan lingkungan.
D. Kajian Teori
Eko-spiritual adalah suatu manifestasi hubungan spiritual
antara manusia dan lingkungan. Eko-spiritual menggabungkan
suatu intuisi dan kesadaran semua aspek kehidupan dan melibatkan
pandangan relasional mulai dari satu seorang hingga planet bumi,
dari sisi luar hingga sisi dalam lingkungan, dan dari jiwa ke
tanah.60
Sepanjang sejarah, faktor penyebab krisis lingkungan dalam
pandangan Seyyed Hossein Nasr adalah hilangnya peran agama,
spiritualitas, dan intelektualitas di dalam diri manusia.61 Pada sata
sisi, hal ini disebabkan manusia telah melupakan kebenaran
60Valerie Lincoln, ―Ecospirituality: A pattern that Connects‖, Journal of
Holistic Nursing 18. 3 (2000): 227-244.
61
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 7.
18
perenial yang perlu ditemukan kembali di tengah kehidupan.62 Di
sisi lain, sains modern telah diligitimasi sebagai bentuk
pengetahuan yang paling tinggi sehingga peran nilai-nilai spiritual
dan pengetahuan suci (sacred knowledge) dikesampingkan. Untuk
memulihkan pengetahuan metafisika yang berkenaan dengan alam,
maka kualitas pengetahuan suci harus diposisikan kembali sebagai
teori yang benar-benar qualified untuk memahami ekologi
spiritual.63 Di sinilah pentingnya hubungan antara spiritual dan
intelektual dalam suatu “living tradition”.64
Kualitas dan kapasitas nilai-nilai spiritual dan pengetahuan
suci ketika digunakan untuk memanfaatkan alam adalah bahwa
pengetahuan jenis ini memberikan pemahaman baru bagi ilmu
pengetahuan (sciences) tanpa menghilangkan atau melegitimasi
otoritas pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan suci ini sekaligus
menjadi anti-tesis ‗teologi sekuler‘ (secular theology). Nilai-nilai
spiritual dan pengetahuan suci ini tidak bermaksud untuk
menskulerkan teologi, tetapi menawarkan suatu signifikansi teologi
dan kesucian terhadap sains, yang dianggap masyarakat modern
sebagai pengetahuan yang paling berwenang.65 Kedamaian
manusia dan pelestarian nilai-nilai kemanusiaan tidak mungkin
tercapai tanpa adanya sikap damai dan rasa hormat kepada alam
secara spiritual. Nilai-nilai kemanusiaan (human values) yang
diimplementasikan dalam bersahabat dengan alam inilah yang akan
menjadikan manusia sebagai ‗supra-manusia‘ (supra human).66
Kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai ama>nah, yaitu
sikap pertanggungjawaban untuk memelihara planet bumi,
menjaganya, dan melihatnya sebagai ―hutang‖ dari Pencipta.
62Seyyed Hossein Nasr, ―The Spiritual and Religious Dimensions of the
Environmental Crisis‖ in Seeing God Everywhere: Essays on Nature and the
Sacred, Barry McDonald, ed. (Indiana: World Wisdom, 2003), 73.
63
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 14.
64
Abdul-Matin, Green Deen, 3.
65
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 14.
66
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 14.
19
Manusia diberikan kesempatan singkat untuk hidup di bumi dan
nantinya harus meninggalkan bumi dalam kondisi yang lebih baik
dari pertama kali menginjakkan kakinya di dunia ini, sebagaimana
yang diajarkan Islam.67
E. Kajian Pustaka
Penelitian sebelumnya yang ada relevansinya dengan
penelitian ini telah dilakukan Hiroko Shiota, Cosmogenesis, Shinto,
Tantra: Embodying the New Universe Story.68 Penelitian ini
membahas dan menemukan kembali pengertian mendalam tentang
keterikatan dan partisipasi manusia terhadap alam yang sangat
agung. Alam semesta yang dinamis – yang berkembang selama
lebih dari 13,8 miliar tahun – diyakini sebagai refleksi kosmologi
Shinto, Tantra, dan kosmogenesis. Alam semesta yang sebagai
tempat tinggal seakan-akan telah hilang pada era modern. Melalui
penelitian ini, hubungan manusia yang terdistorsi dengan bumi dan
alam semesta, dapat ditemukan kembali dengan menjalin hubungan
partisipatif dengan alam semesta. Ajaran kosmogenesis dan Shinto
mengenai kesucian alam menjadi inspirasi baru untuk
memakmurkan bumi dan tujuan Tantra adalah melakukan
transenden. Tantra menunjukkan kosmogenesis dan Sinto suatu
cara untuk merealisasikan interioritas melalui latihan-latihan
spiritual, dan melihat alam sebagai manifestasi Tuhan. Melalui
proses ini, pencarian makna kehidupan baru dan hubungan yang
lebih ekologis, beretika, intim, dan spiritual terhadap dunia dan
alam semesta bisa menginspirasi tindakan manusia untuk
menciptakan masyarakat dunia yang lebih rasional dan humanis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik.
67Abdul-Matin, Green Deen, 26.
68
Hiroko Shiota, ―Cosmogenesis, Shinto, Tantra: Embodying The New
Universe Story‖, Dissertation, California Institute of Integral Studies San
Francisco, CA, 2014.
20
Selanjutnya Lucas Fiegener Johnston The Religious
Dimensions of Sustainability meneliti konsep sustainability yang
tidak setuju dengan adanya hubungan spiritual atau agama dengan
alam. Karena konsep spiritual atau agama hanya berkaitan dengan
individu atau komunitas. Tidak bisa disamakan antara nilai
spiritualitas-alam dan spiritualitas-manusia. Dalam penelitian ini,
Johnston melalui pendekatan historisnya, menyimpulkan bahwa
dimensi agama berperan penting dalam beberapa pemahaman
sustainability. Akan tetapi, secara pragmatis nilai-nilai agama tidak
diabaikan ketika konsep sustainability dikaitkan dengan struktur
nilai masyarakat yang berbeda.69
Eko Asmanto dalam penelitiannya Eco-Spirituality Values
and Islamic Sustainable Development: Ethnographic Studies of
Local Culture at Shrimp Farmers in Sidoarjo, East Java, Indonesia
mendeskripsikan praktek eko-spiritualitas yang dipahami oleh para
petani udang di Sidoarjo, Jawa Timur. Penelitian ini juga
menjelaskan rekonstruksi konsep eko-spiritualitas dalam kerangka
sustainable development Islam. Penelitian ini menggunakan
metode interpretatif dan etnografi. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa pada dimensi ideologi, makna universalitas ekosistem sesuai
dengan konsep Allah ―Satu Alam Semesta‖ (One Universe), yang
dilakukan oleh informan di daerah ini dengan melaksanakan
aktivitas-aktivitas keagamaan, memahami realitas alam sebagai
tanda Tuhan, sebagai suatu ungkapan iman mereka. Pada dimensi
ibadah ditemukan bentuk kesetiaan dan ketaatan sebagai
spiritualitas kerendahan hati demi terciptanya keharmonisan alam.
Pada dimensi transaksional merupakan landasan etis terhadap
perbedaan makhluk biologis dalam kerangka perkembangan
berkelanjutan. Pada dimensi rekonstruksi, eko-spiritualitas
dilakukan dengan memposisikan Islam yang berorientasi pada
sustainable development sebagai prinsip-prinsip umum. Implikasi
69Lucas Fiegener Johnston, ―The Religious Dimensions of
Sustainability‖, Dissertation of University of Florida, 2009.
21
penelitian ini adalah sebagai tindak lanjut dari berbagai riset
tentang krisi lingkungan sebagai dampak dari kegiatan ekonomi
dan teknologi.70
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Valerie Lincoln
Ecospirituality: A Pattern that Connects mendeskripsikan
hubungan antara kesehatan, kemanusiaan, dan lingkungan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran eko-spiritual
menjadikan masyarakat sehat dan lingkungan menjadi lebih baik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi.71 Demikian
beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya, yaitu sama-sama meneliti tentang eko-
spiritual. Sedangkan perbedaannya adalah penitilian ini dilakukan
di Kecamatan Gantung Belitung Timur dengan pendekatan filsafat
perennial dan historis.
F. Metode Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah field research (penelitian
lapangan). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan historis dan filsafat perennial (perennial philosophy).
Pendekatan historis digunakan untuk menjelaskan akar sejarah
krisis ekologi dari awal mula terjadi hingga saat ini. Sedangkan
pendekatan filsafat perenial digunakan untuk menjelaskan
pentingnya dimensi spiritual di dalam diri manusia ketika
berhubungan dan memanfaatkan sumber alam. Hal ini penting
dilakukan karena ilmu pengetahuan modern (sebagai scientistic
world-views) telah mendominasi dimensi spiritual (sebagai non-
scientistic world-views) sehingga alam diperlakukan sebagai objek
yang boleh dinikmati secara bebas. Pendekatan filsafat perennal ini
70Eko Asmanto, ―Eco-spirituality Values and Islamic Sustainable
Development: Ethnographic Studies of Local Culture at Shrimp Farmers in
Sidoarjo, East Java, Indonesia‖ in Proceedings The ASEAN Community
Conference 2015, Bangi, Malaysia, 11-12 November 2015, 48-57.
71
Lincoln, Ecospirituality, 227-244.
22
sesungguhnya merupakan pemahaman secara esoteris dan eksoteris
pesan-pesan teks suci al-Qur‗an, hadis, dan ajaran tasawuf
mengenai pentingnya manusia memelihara lingkungan.
G. Data dan Sumber Data
Data penelitian ini terdiridari data primer dan data sekunder.
1. Sumber Data
Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan
Gantung Kabupaten Timur, Peraturan Bupati Belitung Timur
Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan
Pertambangan Timah Sistem Rajuk Menggunakan Alat Ponton Isap
Produksi (PIP) Pada Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
Darat di Wilayah Kabupaten Belitung Timur. Peraturan Gubernur
Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; Peraturan Bupati
Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Peraturan
Bupati Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2014.
Sedangkan data sekunder adalah buku Seyyed Hossein Nasr
Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man,72 jurnal-
jurnal, buku-buku, dan sumber-sumber lainnya yang ada
relevansinya dengan penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk
pengumpulan data langsung dari lapangan. Data yang
diobservasi adalah wilayah yang dilanda banjir di Desa
Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur,
baik data yang bersumber dari pemerintah, lembaga
penanggulangan bencana banjir, maupun data yang
bersumber dari masyarakat. Data observasi ini berupa sikap,
72Nasr, Man and Nature.
23
kelakuan, perilaku, tindakan, dan keseluruhan tindakan
masyarakat terhadap lingkungan atau ekologi.
b. Dokumentasi
Dokumentasi yang dimaksudkan pada penelitian ini data-
data mengenai jumlah penambang timah, luas lahan yang
dijadikan tempat penambangan timah, data tentang
kerusakan lingkungan, jumlah korban banjir, dan data-data
lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
c. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mencari informasi kepada para
penambang, masyarakat di lokasi korban banjir,
pemerintah, dan sebagainya.
3. Teknik Analisa Data
Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut
dibandingkan dan diuji dengan teori-teori dan pengetahuan
tradisional Islam untuk menjelaskan bagaimana pandangan
masyarakat terhadap bencana banjir – apakah masyarakat memiliki
nilai-nilai spiritual di dalam diri mereka dalam bersahabat dengan
lingkungan dan alam. Selanjutnya dijelaskan peran serta
masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan lingkungan.
Tentunya, penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif-
filosofis.
H. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini dapat dipahami secara sistematis, maka
disusun sebagai berikut:
Bab pertama menjelaskan tentang pendahuluan. Di dalam
bab ini diuraikan mengenai latar belakang pentingnya penelitian ini
dilakukan. Alasan mendasar dilakukan penelitian ini adalah adanya
kesenjangan (gap) antara tanggung jawab manusia terhadap
lingkungan – baik secara teoritis dan historis maupun teks-teks suci
agama (al-Qur‘an, h}adi>th) – dan realitas hubungan masyarakat
dengan alam di Kecamatan Gantung Belitung Timur. Dalam bab ini
24
juga dijelaskan permasalahan yang akan dikaji, tujuan dan
kegunaan penelitian, sumber-sumber data, kajian terdahulu yang
relevan, dan pendekatan penelitian. Bab ini disajikan agar dipahami
alasan pentingnya dilakukan riset sebagai langkah untuk
mengantisipasi kejadian banjir di masa mendatang.
Bab kedua menguraikan kerangka teoritis atau perdebatan
akademik mengenai ekologi, spiritual, Islam, relevansi Islam dan
spiritualitas manusia ketika berhubungan dengan lingkungan.
Pentingnya teori-teori ini dijelaskan adalah untuk menjelaskan
hubungan ekologi spiritual dan banjir.
Bab ketiga menjelaskan tentang kondisi wilayah Desa
Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur.
Bab keempat adalah penjelasan mengenai pandangan
masyarakat Desa Lenggang/Kecamatan Gantung Kabupaten
Belitung Timur tentang ekologi spiritual dalam kaitannya dengan
banjir yang melanda wilayah ini dan solusi yang harus dilakukan.
Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini dijelaskan
kesimpulan dan beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan pada
penelitian selanjutnya dan langkah-langkah yang perlu dilakukan
masyarakat dan pemerintah.
25
BAB II
EKOLOGI, SPIRITUAL, DAN ISLAM
Pada bab ini akan dijelaskan tentang ekologi, spiritual, dan
pandangan Islam terhadap ekologi. Penelitian ini berkaitan dengan
banjir yang melanda pemukiman warga, oleh karena itu perlu
dianalisa apakah ada hubungan antara ekologi spiritual dan banjir.
A. Ekologi
Kata ekologi diambil dari kata Yunani „Oikos‟, (yang
berarti „rumah‟, atau „alat rumah tangga‟ atau sesuatu lainnya) dan
„logos‟ (yang berarti „pengetahuan‟). Dengan demikian, ekologi
secara harfiah berarti ‗studi tentang alat rumah tangga‘ (the study of
household). Di sini, istilah ‗alat rumah tangga‘ dimaknai dengan
‗alam‘ (nature). Ernst Haeckel (1866) mengaitkan istilah ekologi
dengan pengertian ‗bagian kehidupan organik yang harus
dipelihara‘ (the domestic side of organic life).1 Dari pengertian ini
dapat dijelaskan bahwa ekologi diibaratkan alat rumah tangga atau
harta milik pribadi yang harus dijaga agar tidak rusak, hilang, dan
dicuri oleh orang lain. Oleh karena itu, ekologi harus senantiasa
dipelihara dan dijaga.2
Pemikiran Haeckel ini dipengaruhi teori Darwin Origin of
Species, bahwa ekologi merupakan hubungan organisme dan
lingkungan. Tetapi, bagi Ernst, definisi seperti ini jika dipahami
pada era sekarang sudah termasuk pengetahuan ekologi yang sudah
usang.3 Ilmu ekologi seharusnya memfokuskan gerakan
1S. C. Santra, Ecology: Basic and Applied (New Delhi: M.D.
Publications, 1994), 5.
2P.H. Collin, Dictionary of Environment & Ecology , Fifth Edition
(London: Bloomsbury Publishing Plc, 2004), 69.
3Michael Allaby, ―Preface‖, in Oxford Dictionary of Ecology (Oxford:
Oxford University Press, 2014).
26
lingkungan.4 Namun ada juga yang mengartikan ekologi sebagai
‗studi tentang tumbuh-tumbuhan dan binatang dan hubungannya
dengan habitat‘.
Ekologi juga diadopsi dari bahasa Inggris „ecology‟ (noun),
yang berarti studi tentang hubungan antar organisme, dan
hubungan antara organisme dengan lingkungan hidup. Ekologi juga
dikaitkan dengan bahasa Jerman ‚ökologie‛.
Sebagaimana dijelaskan dalam Oxford Dictionary of
Ecology, ekologi atau lingkungan meliputi “lingkungan fisik dan
biologis suatu organisme‖.5 Untuk mencapai suatu lingkungan yang
baik perlu adanya pertimbangan sosial, budaya, ekonomi, dan
politik agar persediaan tanah, perubahan, dan persediaaan makanan
cukup baik.6 Budaya masyarakat juga mempengaruhi bagaimana
seseorang memperlakukan lingkungan. Kadangkala lingkungan
dianggap sebagai lahan produksi tanpa memperhatikan faktor sosial
dan budaya. Dalam analisis Marshall Sahlins, manusia sebaiknya
memiliki prinsip “cultural ecology” , yaitu dalam memproduksi
atau memanfaatkan alam harus mempertimbangkan faktor budaya,
sosial, psikologi masyarakat.7
Rusaknya alam sebagai akibat dari produksi yang
berlebihan perlu pengendalian ekologi dan manajemen sumber-
4Charles J. Krebs, ―Preface‖ in The Ecological World View (Australia:
CSIRO, 2008), vii.
5Allaby, Oxford Dictionary of Ecology.
6Angus Fletcher, A New Theory for American Poetry Democracy, the
Environment, and the Future of Imagination (Cambridge: Harvard University
Press, 2004), 128.
7Roy A. Rappaport, Ecology, Meaning, and Religion (California: North
Atlantic Books, 1979), 18-19. Sahlins mendefinisikan produktivitas dalam dua
cara yang agak berbeda. Pertama, memproduksi alam untuk keperluakan sehari-
hari saja. Kedua, memproduksi alam dengan teknologi untuk memperoleh hasil
di luar kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rappaport, Ecology, Meaning, 16. Jika
manusia memproduksi alam lebih dari keperluhan konsumsi sehari-hari, maka
ada kemungkinan terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan
sebagainya.
27
sumber alam.8 Oleh karena itu desain upaya-upaya pemulihan
kerusakan lingkungan, seperti banjir, tanah longsong, dan bencana
alam lainnya perlu dilakukan.
Dari beberapa catatan ahli ekologi, di antaranya adalah W.
C. Allee (1938) yang tertarik dengan ekologi manusia (human
ecology), membicarakan tentang hubungan ekologi sosial dengan
binatang dan manusia. Demikian juga G. E. Hutchinson dan
murid-muridnya tertarik dengan ekologi populasi manusia.9 Tetapi
teori ekologi seperti ini, jika dihubungkan dengan era kontemporer,
sangat fundamental dan mengabaikan ilmu-ilmu sosial. Bahkan ahli
ekologi, seperti Konrad Lorenz (1966) telah membicarakan
masyarakat manusia (human societies)10 seiring meningkatnya
evolusi dan kecanggihan ekologis sehingga perlunya peran sentral
perkembangan ekologi manusia (human ecology).
Pada awalnya pembahasan ekologi meliputi pola vegetasi
dan populasi tanaman.11 Namun, saat ini, ekologi berbicara tentang
bumi dan hubungan manusia atau lingkungan,12 Bahkan juga
dewasa ini kepedulian terhadap ekologi telah dikembangkan
menjadi Deep Ecology – sebagaimana digagas oleh Bill Devall dan
George Sessions – bahwa setiap manusia harus menyadari semua
yang ada di bumi ini saling berhubungan dan bersaudara (laki-laki
dan perempuan). Setiap diri manusia terikat dengan orang lain dan
8S. T. A. Pickett and P. S. White, The ecology of Natural Disturbance
and Patch Dynamics (Academic Press, San Diego, CA., 1985).
9Lihat misalnya, Edward S. Deevey, ―The Human Population‖,
Scientific American, 203 (September 1960): 195-204; G. Evelyn, ―Hutchinson,
Natural Selection, Social Organizations, Hairlessness and the Australopithecine
Canine‖, Evolution 17 (1963): 588-589.
10
Richard D. Alexander, ―The Evolution of Social Behavior‖, Annual
Review of Ecology and Systematics, 5 (1974): 325-383; Edward 0. Wilson,
Sociobiology: A New Synthesis (Cambridge: Belknap, 1975).
11
W. Eber, ―Morphology in Modern Ecological Research‖, in Modern
Ecology: Basic and Appllied Aspects, G. Esser and D. Overdieck, Eds.
(Amsterdam: Melsevier, 1991), 3.
12
Ken Wilber, Sex, Ecology, Spirituality: The Spirit of Evolution ,
Second Edition (Boston and London: Shambhala, 2000), 13.
28
makhluk hidup di sekitarnya dalam suatu jaringan kehidupan (the
web of life). Inilah yang disebut dengan suatu komunitas sejati (a
true community).13 Deep ecology tidak hanya melihat permasalahan
lingkungan pada level permukaan saja, tetapi mencoba melihat
persoalan lingkungan ‗lebih mendalam‘ dan berpikir bagaimana
memberikan solusinya.14
Suatu komunitas sejati sebaiknya tidak hanya terfokus
mengatasi problem lingkungan, sebagaimana dikatakan Jeffrey A.
Ewing, secara ―konvensional‖ seperti sampah dan polusi dengan
pendekatan Ecological Modernization Theory, tetapi juga mencari
solusi terhadap ―perubahan iklim, keanekaragaman hayati,
penipisan ozon, dan permasalahan lingkungan lainnya‖ dengan
pendekatan Marxian Political Ecology.15 Sejak tahun 1970-an,
istilah ini ekologi politik telah digunakan untuk merujuk ke
beberapa pendekatan kritis dan beragam untuk mempelajari
hubungan antara manusia dan lingkungan alam. Yang pasti,
definisinya beragam. Tetapi istilah ekologi politik cenderung
mencerminkan upaya untuk mengakomodasi materialis yang terkait
dengan ekonomi politik Marxsis dan poststrukturalis, yang
berfokus pada analisis wacana dan konstruksi sosial masalah
lingkungan.16 Ekologi politik (political ecology) telah membahas
dan merespon tantangan krisis peradaban17 lingkungan. Kajian
politik ekologi berevolusi dari paradigma geografi dan antropologi
menuju ke kajian baru, seperti ekologi budaya dan etno-ekologi.
Demikian juga studi etno-geografi mempengaruhi ekonomi politik
13Wilber, Sex, Ecology, Spirituality, 14.
14
Štefan Zolcer, ―The Possibility of Applying Whitehead‘s Philosophy‖,
Human Affairs, Vol. 26 (2016): 450–461.
15
Jeffrey A. Ewing, ― Hollow Ecology: Ecological Modernization
Theory and the Death of Nature‖, Journal of World-Systems Research, Vol. 23,
Issue 1 (2017): 126-155.
16
Darcy Tetreault, ―Three Forms of Political Ecology‖, Ethics & The
Environment, 22, No. 2 (2017): 1–23.
17
Enrique Leff, ―Power-Knowledge Relations in The Field of Political
Ecology‖, Ambiente and Sociedade, São Paulo, Vol. XX (July 2017): 226.
29
dan menyatu dengan eko-marksisme, eko-sosial, dan eko-
feminisme.
Kelestarian lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab manusia. Sebagai makhluk yang diberikan akal, manusia
harus berpikir rasional bahwa lingkungan memiliki nilai instrinsik.
B. Ekologi Spiritual
Islam mengenal istilah spiritual dan mengajarkan saling
kerjasama, saling menghargai, menyadari adanya persamaan
sesama makhluk, termasuk kesadaran arti penting lingkungan.
Saat ini saintifik, akademisi, dan publik tertarik dengan
spiritualitas dan ekologi. Ketertarikan mereka terhadap ekologi
terus berkembang sejak tahun 1980-an. Ekologi spiritual bisa
didefinisikan sebagai kajian intelektual yang dinamis dan kegiatan
praktis yang luas, berbeda, dan kompleks antara agama dan
spiritualitas (pada satu sisi) dengan ekologi, lingkungan, dan
environtalisme (pada sisi lain). Tumpang tindih kajian ekologi
spiritual biasanya disebabkan oleh pandangan sempit, termasuk
ekoteologi, agama dan ekologi, dan environmentalisme agama.18
Spiritualitas tidak perlu bersifat religius, dalam arti transenden.
Spiritualitas manusia, tujuan utamanya, mencari makna dan rasa
keterhubungan dengan sesuatu yang lain: alam, orang lain, gerakan,
dan Tuhan. Tanpa adanya spiritualitas dalam diri manusia
menjadikan hidupnya tidak berarti.19
Ekologi spiritual pada awalnya dikemukakan oleh seorang
sejarawan Eropa, Lynn White Jr. Pada 1967, dia menerbitkan “The
Historical Roots of Our Ecological Crisis” di jurnal Science. Dia
berpendapat bahwa kesalahan penafsiran Al-Kitab oleh umat
18Leslie E. Sponsel, “Spiritual Ecology: Is It the Ultimate Solution for
the Environmental Crisis?‖, Choice (April 2014): 1339. Menurut Sponsel, tulisan
ini hanyalah 10 persen contoh buku tentang ekologi spiritual dari lebih 100 lebih
buku yang ada.
19
Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice (London and New York:
Routledge, 2005), 192.
30
Kristen adalah penyebab utama krisis lingkungan. White
menegaskan bahwa untuk mengakhiri krisis lingkungan perlu
dipikirkan, direfleksikan, dan direvisikan kembali tempat manusia
di bumi.20
Sama halnya dengan tulisan White, salah seorang sarjana
Islam, Seyyed Hossein Nasr, menerbitkan eksplorasi ekologi
spiritual, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.
Nasr secara luas menjelaskan hubungan antara manusia dan alam
dalam agama Buddha, Kristen, Hindu, Islam, dan Taoisme.21 Nasr
mengkritik kelompok empirisme yang mengesampingkan akal
sehat dan spiritualitas dalam memanfaatkan alam, sehingga terjadi
polusi, kurangnya ruang udara segar untuk bernafas, kemacetan,
habisnya sumber alam, dan pengrusakan keindahan alam. Sikap
seperti ini, menurut Nasr, dilakukan oleh para intelektual yang
meninggalkan dimensi sosial dan ekonomis. Tanpa disadari bahwa
sikap seperti ini membahayakan orang lain dan menimbulkan
bencana besar. Sikap seperti ini hanyalah keserakahan yang
dipengaruhi sistem kapitalisme sosial-ekonomi22 tanpa
memperhatikan nilai-nilai sosial-humanis-spiritualis. Oleh karena
itu, jika manusia ingin mengatasi masalah-masalah lingkungan ini
perlu adanya reformasi spiritual, bukan semata-mata meningkatkan
pengetahuan dan mengurangi spiritualitas.23
Nasr memang teolog Muslim pertama yang bersemangat
untuk memasukkan spiritual ke semua agama dan telah
mengangkat isu ekologis ‗krisis lingkungan‘, namun dia tidak
pernah bergerak melampaui level filosofis untuk memecahkan
masalah spesifik hilangnya keragaman hayati dan pemanasan
20Lynn White, Jr., ―The Historical Roots of Our Ecologic Crisis‖,
Science, 155.3767 (1967): 1203-1207.
21
Nasr, The Encounter of Man and Nature.
22
Seyyed Hossein Nasr, Review of The Encounter of Man and Nature:
The Spiritual Crisis of Modern Man , by Dale Riepe, Journal of the American
Oriental Society, Vol. 89, No. 1 (January – March 1969): 301.
23
David Spring and Eileen Spring, eds. Ecology and Religion in History
(New York: Harper and Row, 1974), 10-11.
31
global. Dia juga tidak merujuk pada Syariah sebagai alat praktis
untuk menyelesaikan krisis saat ini, sebagaimana syariah
digunakan oleh kebanyakan Muslim dalam berperilaku dan
berpikir. Berbeda dengan apa yang dilakukan para environmentalis
Inggris Mawil izzi Dien dan Fazlun Khalid saat ini, yang tulisan-
tulisan dan kampanye-kampanyenya telah mempengaruhi jutaan
Muslim di seluruh dunia. Dien dan Khalid mengusulkan agar
norma syariah ‗ramah lingkungan‘ dan kontekstualisasinya dengan
sekarang sebaiknya disesuaikan dengan The Earth‟s Charter yang
mengusungkan masyarakat global yang secara berkelanjutan
menghormati alam, hak asasi manusia universal, keadilan ekonomi,
dan budaya perdamaian.24
Pandangan manusia terhadap alam dapat dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu dunia nyata (yang melihat dunia secara
empiris dan indra) dan dunia metafisik (yang harus didekati melalui
dunia spiritual, tidak tampak, dan ide-ide). Kedua sudut pandang
terhadap alam ini dapat dikombinasikan secara sakral (spiritual,
suci, ilahi, dan transendental) dan profan (yaitu yang mencakup
bumi dan semua yang tidak suci). Kedua konstruksi ini bersifat
fisik dan superior dan semua yang bersifat fisik adalah profan dan
inferior.25
Manusia berada di alam dan menciptakan materi. Tetapi
manusia memiliki sifat ganda: bagian materi dan bagian roh, yang
mengindikasikan hubungan dengan dimensi spiritual. Manusia
bukan hanya materi, tetapi juga roh. Dalam analisis Plato,
keberadaan manusia adalah ganda, pada satu sisi tubuh adalah
materi dan milik bumi ini, tetapi pada sisi lain jiwa adalah roh dan
24David L. Johnston, ―Intra-Muslim Debates on Ecology: Is Shari‘a Still
Relevant?‖, Worldviews 16 (2012): 218–238.
25
Jaco Beyers, ―What Does Religion Have To Say About Ecology? A
New Appraisal of Naturalism‖, Journal for the Study of Religions and
Ideologies, Vol. 15, Issue 45 (Winter 2016): 96-119.
32
milik dimensi yang berbeda.26 Socrates mengatakan bahwa tubuh
memiliki nilai yang lebih rendah. Jiwa adalah nilai yang superior
dan layak untuk dilibatkan.27 Posisi anti-material ini menciptakan
keengganan untuk segala sesuatu yang dihadapi melalui indra.
Semua materi hanya ada untuk menopang tubuh manusia. Tidak
ada nilai intrinsik dalam materi. Ini akhirnya mengarah pada
pandangan utilitarian tentang alam. Jika alam dikelola tanpa adanya
kesadaran spiritualitas, maka manusia akan lebih mengutamakan
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Masing-masing spiritualitas dan ekologi saling memberikan
makna dan perspektif alternatif. Beberapa sarjana telah mengkritisi
asumsi-asumsi dasar kelompok modernitas28 yang telah melihat
alam – sebagai tempat hidup manusia – boleh dimanfaatkan seluas-
luasnya tanpa memperhatikan dampak negatif dari pemanfaatan
alam tersebut. Beberapa aliran pemikiran, seperti eko-feminisme,29
filsafat,30 social work,31 dan deep ecology,32 telah mendukung
perlunya keyakinan dan nilai sebagai paradigma baru untuk
menjalin hubungan antara manusia dan alam.
Menurut analisis John Coates, Mel Gray, dan Tiani
Hetherington, kerusakan alam perlu adanya pendekatan-pendekatan
pribumisasi ekospiritual (indigenous ecospiritual approaches),
26Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge
Classics, 2010), 134 .
27
Russell, History of Western, 134.
28
C. Adams, Ecofeminism and the Sacred (New York, Continuum
Publishing, 1993); T. Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New
York, Bell Tower, 1999); C. Spretnak, The Resurgence of the Dead (Don Mills,
Ontario, Addison-Wesley, 1997).
29
J. Plant, Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism
(Philadelphia, New Society, 1989).
30
A. Naess, Ecology, Community and Lifestyle, D. Rothenberg, trans .
and ed. (Cambridge, Cambridge University Press).
31
J. Coates, Ecology and Social Work: Toward a New Paradigm
(Halifax, Canada, Fernwood Press, 2003).
32
B. Devall and G. Sessions, Deep Ecology (Salt Lake City: Peregrine
Smith Books, 1985).
33
yaitu penekanan hubungan spitualitas dan ekologi dengan
melakukan inovasi-inovasi dan pandangan-pandangan untuk
menghadapi tantangan dunia, termasuk krisis ekologi saat ini.
Selanjutnya, secara nyata perlu kerja sosial (social work) untuk
menyelidiki dan menangani sebab-sebab terjadinya krisis ekologi
tersebut.33
Salah satu kajian ekologi yang menelaah ekologi secara
spiritualitas adalah Deep ecology. Deep ekologi mendorong agar
nilai-nilai spiritual dikaitkan dengan alam karena segala sesuatu
(entitas) yang ada di alam semesta ini secara fundamental
berhubungan satu sama lainnya. Singkatnya, seluruh benda di alam
ini adalah sangat berharga sebagai bagian dari seluruh ruang
lingkup alam. Manfaat dan nilai benda-benda di alam semesta ini
dapat dikenali melalui pendekatan identifikasi.34 J. P. Hattingh
menegaskan bahwa:
In practical terms, this entails an intuitive experience of the harmony and wholeness of nature. This intuitive and
immediate identification with nature, inspired by phenomenology, Vedantic Hinduism, the science of
ecology and the philosophy of Spinoza, moves us beyond class, gender and species divisions in order to be in full harmony with nature.35
Di sini J. P. Hattingh menjelaskan bahwa dalam prakteknya,
pengalaman manusia ketika bersahabat dengan alam bisa
diidentifikasi dengan pendekatan fenomenologi. Melalui
pengalaman intuitif inilah manusia mengidentifikasi adanya
keselarasan dan keutuhan alam. Sebagai contoh ajaran Hindu
33John Coates, Mel Gray, and Tiani Hetherington, ―An ‗Ecospiritual‘
Perspective: Finally, A Place for Indigenous Approaches‖, British Journal of
Social Work , 36 (2006): 381–399.
34
A. Sentle Mokori and Chris E. Cloete, ―Ethical perspectives on the
Environmental Impact of Property Development‖, HTS Teologiese
Studies/Theological Studies 72, 3 (2016): 1-8.
35
J. P. Hattingh, ―Towards a Shared Ethics of Global Climate Change:
Ethics‖, Current Allergy and Clinical Immunology 24, 2 (2011): 91–96.
34
Vedanta (ilmu ekologi) dan filsafat Spinoza, mengajarkan kita
memahami keutuhan alam yang melampaui perbedaan kelas,
jender, dan spesies agar selaras sepenuhnya dengan alam. Istilah
Deep Ecology ini, dalam istilah Arne Naess, disebut ‗filsafat
ekologi‘ (ecological philosophy).36
Spiritualitas harus dilihat sebagai suatu konsep yang lebih
luas daripada agama. Seperti dikatakan Lynn White Jr. bahwa apa
yang dilakukan manusia terhadap ekologi sangat tergantung pada
bagaimana mereka berpikir dan berhubungan dengan benda-benda
atau makhluk hidup di sekitarnya. Ekologi manusia pada
prinsipnya dibentuk oleh keyakinan adanya alam dan takdir, yang
disebut agama.37
Dalam pespektif keilmuan, hubungan antara agama dan
alam telah terintegrasi dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagai
contoh, pada tahun 1950-an, Edward B. Taylor (seorang antopolog)
secara tidak sengaja mempelajari beberapa agama, khususnya
agama pribumi. Pada kesempatan ini Edward melakukan riset
antropologi yang secara kebetulan fokus pada pengaruh agama
terhadap ekologi dan adaptasi manusia, yang pada akhirnya
menyimpulkan ekologi spiritual.38 Bagi Jessica L. Crowe, rusaknya
alam sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual dalam diri
36A. Naess, ―A Defence of the deep ecology movement‖, Environmental
Ethics, 6, 3 (1984): 265–270.
37
White Jr., ―The Historical Roots of Our Ecological Crisis‖: 1203–
1207; Leslie E. Sponsel, ―Summary Article Religion and Environment Exploring
Spiritual Ecology‖, Religion and Society: Advances in Research, 1 (2010): 131–
145.
38
Carolyn Merchant, ―Spiritual Ecology‖, in Radical Ecology: The
Search for a Livable World, 2nd ed. (New York: Routledge, 2005), 117-138;
Leslie E. Sponsel, ―Do Anthropologists Need Religion, and Vice Versa?
Adventures and Dangers in Spiritual Ecology‖, New Directions in Anthropology
and Environment: Intersections (2001): 177-200. Pada akhirnya, pendekatan
ekologi mulai menjadi perhatian dan ditulis di dalam buku-buku Antropologi
Agama, Ekologi Human, dan Konservasi Lingkungan, meskipun masih jarang
ditemukan di dalam kajian antropologi.
35
manusia. Solusi yang ditawarkan Jessica adalah perlu adanya
pendidikan lingkungan (environmental education) di lembaga
pendidikan yang diajarkan kepada siswa. Pendidikan berwawasan
lingkungan harus mengintegrasikan spiritualitas dan tradisi agama.
Pendidikan berwawasan lingkungan menawarkan integrasi antara
spiritualitas dan tradisi agama. Kurikulum seperti ini meningkatkan
kesadaran siswa terhadap pentingnya menjaga lingkungan dan pada
akhirnya sikap cinta lingkungan bisa ditransformasikan dalam
kehidupan.39 Upaya seperti ini memberikan kesadaran kepada para
siswa agar senantiasa menjaga lingkungan dan sekaligus
mentransformasikannya kepada masyarakat.
David Mevorach Seidenberg menjelaskan pentingnya
spitualitas ekologi:
[W]hen we have to confront a world in which beauty has been driven from our presence, in which Spirit will seem to have abandoned us . . . humanity will also face the twin spiritual challenges of mourning for what has been lost and of sustaining compassion for each other and all Life.40
Menurut David, ketika manusia menghadapi dunia yang
telah hilang keindahannya, maka spirit keindahan itu juga akan
hilang. Pada akhirnya kemanusiaan akan menghadapi dua
tantangan, yaitu hilangnya spiritualitas dan hilangnya belas kasihan
antar sesama manusia dan semua kehidupan.
Seidenberg juga mengkritisi sebagian penganut Kristiani
yang salah menafsirkan makna ―Citra Tuhan‖ (The Image of God)
yang terdapat di dalam injil. Mereka menafsirkan ―Citra Tuhan‖
dengan pengertian ―tidak adanya hubungan antara makhluk dan
39Jessica L. Crowe, ―Transforming Environmental Attitudes and
Behaviours through Eco-spirituality and Religion‖, International Electronic
Journal of Environmental Education , Vol.3, Issue 1 (2013), 75-88.
40
David Mevorach Seidenberg, Kabbalah and Ecology: God‟s Image in
the More-Than-Human World (New York: Cambridge University Press, 2015),
344.
36
Kholik‖. Sebaiknya, teologi modern dan tradisional
menginterpretasikan ―Citra Tuhan‖ sebagai sesuatu yang tidak
hanya mengangkat derajat manusia sebagai ciptaan-Nya, tetapi juga
memisahkan dan membedakan manusia dari Sang Pencipta.41
Arthur Green mengkritisi pendapat Seidenberg yang mengatakan
bahwa ―Citra Tuhan‖ (The image of God) seharusnya bersemayam
tidak hanya pada manusia, tetapi seluruh alam (ciptaan-Nya). Bagi
sebagian orang, pendapat ini terlalu mengada-ada dan argumen
yang menghina.42 Pernyataan Arthur ini dibantah Seidenberg.
Menurut Seidenberg, untuk melakukan semua ini, setiap orang
perlu menggali sumber-sumber spiritual, yang telah mengakar di
dalam teks dan teologi.43
Kelestarian alam perlu dikontrol oleh penduduk di mana dia
tinggal, menjaga tanah dan air. Kepedulian penduduk di suatu
tempat terhadap alam tidak lepas dari kesadaran tentang pentingnya
sumber-sumber alam dan spiritualitas. Tidak adanya spiritualitas
dalam diri seseorang telah megurangi nilai-nilai budaya,
keanekaragaman hayati, dan eksploitasi sumber daya alam.44 Umat
Muslim bisa memperkuat spiritualitas mereka, menjadi lebih aktif
di dalam komunitas, dan hidup lebih baik dengan “Green Deen”
meminjam istilah Ibrahim Abdul-Matin.
C. Islam dan Ekologi: Menuju Perbaikan dan Rekonstruksi
Islam sebagai suatu agama memiliki ajaran yang sangat
mendalam mengenai penghormatan dan perhatian terhadap
41Seidenberg, Kabbalah and Ecology, 5.
42
David Mevorach Seidenberg, Review of Kabbalah and Ecology: God‟s
Image In The More-Than-Human World, by Arthur Green, Winter 2017: 58.
43
David Seidenberg, ―Being Here Now: This Creation is the Divine
Image: Response to Arthur Green‘s Review of Kabbalah and Ecology: God‘s
Image in the More-Than-Human World”,Tikkun, Winter 2017: 63.
44
Chelsey Geralda Armstrong and Others, ―Anthropological
Contributions to Historical Ecology: 50 Questions, Infinite Prospects‖, PLOS
ONE, February 24, 2017.
37
lingkungan.45 Pangeran Wales, Wilton Park (13 Desember 1996)
mengemukakan bahwa ―makna kesucian‖ dalam Islam salah
satunya adalah tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
Sikap Islam terhadap lingkungan yang mengelilingi umat manusia
tidak hanya terbatas pada kehadiran Tuhan di alam semesta46 tetapi
juga penyerahan diri kepada-Nya.
Al-Qur‘an tidak memerintahkan manusia untuk
mendominasi alam. Di dalam 17 ayat secara terpisah (2:107; 3:189;
5:17; 5:18; 5:120; 7:158; 9:116; 24:42; 25:2; 39:44; 42:49; 43:85;
45:27; 48:14; 57:2; 57:5; 85:9) al-Qur‘an menegaskan ‗Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa Kerajaan (Mulk) langit dan bumi
kepunyaan-Nya (Allah). Kata Mulk yang disebutkan sebanyak 48
kali di dalam al-Qur‘an dan digunakan untuk merujuk baik kepada
kerajaan bumi – yaitu Nabi Sulaiman (Qs.2:102) – maupun langit
dan bumi – adalah semua ciptaan. Dalam penciptaan langit dan
bumi selalu hadir Tuhan Yang Maha Menguasai. Jelasnya, bahwa
al-Qur‘an tidak menugaskan manusia hadir di bumi sebagai pemilik
atau orang yang mendominasi bumi.47
Para cendekiawan Islam pada umumnya telah sepakat
bahwa ekologi menjadi bagian penting dalam Islam.48 Kepedulian
terhadap alam menjadi upaya serius dan kontinyu. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk pemahaman makna ritual Islam secara
fundamental dan fungsional. Salah satu kontribusi ritual Islam
adalah mengatasi krisis ekologi dan krisis global.49 Beberapa orang
45Mawil Izzi Dien, ―Islamic Environmental Ethics, Law and Society‖, in
Ethics of Environment and Development, J.R. Engel and J.G. Engel, eds.
(London, Belhaven, 1990), 189-198.
46
Mawil Izzi Dien, ―Islam and the Environment: Theory and Practice‖,
Journal of Beliefs & Values, Vol. 18, No. 1 (1997): 48.
47
Rosemary Hancock, Islamic Environmentalism Activism in the United
States and Great Britain (London and New York: Routledge, 2018), 55.
48
Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia (Jakarta: Nuansa
Cendekia, 2010).
49
M. Syafur, ―Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Islam‖,
MEDIAGRO: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, 4 (2008): 44.
38
telah merujuk kepada Nabi Muhammad sebagai avant la lettre
lingkungan.50 Sementara sejumlah ayat di al-Qur‗an menyiratkan
bahwa umat manusia adalah puncak ciptaan (ashraf al-makhluqa>t)
dan diberikan kekuasaan lebih dari hewan dan alam. Dalam al-
Qur‘an manusia dijelaskan sebagai khali>fah dan bertanggung untuk
mempertahankan keseimbangan (miza>n) antara pemanfaatan dan
perlindungan terhadap alam (seperti perlindungan di daerah
hari>m).51
Al-Qur‘an selanjutnya menegaskan bahwa hubungan alam
dan lingkungan tidak terlepas dari konsep Ketuhanan., atau sering
disebut tiga konsep ‗Tuhan, alam, dan manusia‘.52 Dalam Islam,
sumber utama etika terhadap lingkungan adalah al-Qur„an dan
h}adi>th yang telah diintegrasikan dalam hukum Islam. Kedua
sumber hukum Islam (al-Qur‘an dan h}adi>th) menjadi sumber
rujukan masyarakat awam dan para sarjana Muslim ketika
membicarakan lingkungan.53 Dalam Islam ada tiga ide besar etika
ekologi: Tawhi>d, Khali>fah, dan A<khirah.
Pertama, konsep tawh}i>d. Landasan tawh}i>d adalah bahwa
Allah menciptakan alam semesta dan bahwa semua wujud
mencerminkan kesatuan dalam pluralitas.54 Dalam analisa para
cendikiawan, alam semesta ini harus dikelola dan diatur dengan
prinsip kesatuan, keseimbangan, dan harmoni (tawh}i>d). Al-Qur‗an
(14:19–20; 46:3; 15:85–86) berulangkali menjelaskan bahwa alam
50Bahar Davary, ―Islam and Ecology: Southeast Asia, Adat, and the
Essence of Keramat.‖ ASIAN Network Exchange, 20 (2012): 1–11.
51
Reuter, ―The Green Revolution in the World‘s Religions‖: 1223. Perlu
ditegaskan bahwa al-Qur‘an bukan suatu buku sains, dan ketika al-Qur‘an berisi
keimanan, maka bisa disebut etika eko-spiritual, dan bukan suatu buku teks
lingkungan saintifik modern. Apa yang perlu dilakukan adalah membangun
hubungan kedekatan antara fenomena alam (ayat-ayat Tuhan), Tuhan dan
manusia.
52
S. Nomanul Haq, ―Islam and Ecology: Toward Retrieval and
Reconstruction‖, Daedalus, 130, 4 (Fall 2001): 141.
53
Wersal, ―Islam and Environmental Ethics‖: 453.
54
Chittick, ―God Surrounds All Things‖: 671–678.
39
semesta dicirikan keteraturan, harmoni, dan keindahan yang
menjadi keunggulan Yang Maha Kreatif.55 Menurut Ismail Raji
Faruqi, Islam memerintahkan manusia untuk merawat alam dengan
keseimbangan dan dikelola secara berkesinambungan dengan
sistem ekologi.56 Dengan demikian, alam menyediakan sumber
inspirasi dan bimbingan untuk memahami ciptaan Tuhan. Dalam
istilah manusia, tawh}i>d adalah pondasi bagi manusia dalam
berpikir, bertindak, dan memahami setiap dimensi kehidupan
sosial.57
Kedua, konsep etika lingkungan Islam adalah Khali>fah.58
Al-Qur‗an menyatakan bahwa manusia adalah utusan Tuhan,
sebagaimana firman-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi (Qs.2:30)‖. Beberapa orang
meyakini bahwa perjanjian kita dengan Tuhan (ama>nah) berarti
kita adalah penguasa (khali>fah) bumi dan berhak melakukan apa
yang kita inginkan dari hasil Bumi. Tetapi perlu diingat bahwa
pemanfaatan hasil bumi harus memperhatikan dan
mempertimbangkan efek negatif bagi makhluk lain. Pemanfaatan
bahan bakar, batu bara, dan termasuk timah bisa merusak ekologi
alam. Sikap ama>nah berarti bertanggung jawab untuk merawat
planet bumi, menjaganya, dan melihatnya sebagai ―status
pinjaman‖ dari Sang Pencipta. Manusia telah diberi ―pinjaman‖
untuk hidup di bumi, oleh karena itu ketika manusia meninggalkan
55Arthut Saniotis, ―Reflections on Tawhid (Divine Unity): Islam and
Ecology‖, Interface: Biodiversity & Ecology: An Interdisciplinary Challenge , 7,
1 (2004): 101–108.
56
Ismail Raji Faruqi, Islam and Culture (Kuala Lumpur: Angkatan Belia
Islam Malaysia, 1980): 24-31.
57
Ziauddin Sardar, Islamic Futures (New York: Mensell, 1985), 225;
Ali Shariati, On the Sociology of Islam, Hamid Algar trans (Berkeley: Mizan,
1979).
58
J. S. Idris, ―Is man the Vicegerent of God?‖, Journal of Islamic
Studies, 1 (1990): 99–110; F. Khalid and J. O‘Brien, eds., Islam and Ecology
(New York: Cassell, 1992).
40
bumi harus dalam kondisi yang lebih baik daripada ketika
menemukannya. Islam mengajarkan penganutnya agar
meninggalkan bumi dalam kondisi baik.59
Selanjutnya, manusia perlu menahan diri dari berbuat
kerusakan (tindakan yang mengarah pada pengrusakan lingkungan)
sebagaimana firman Allah pada surat al-A’ra>f (7) ayat 56: “Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik”. Lebih jauh lagi, manusia perlu menahan diri dari
berbuat kerusakan (tindakan yang mengarah kepada pengrusakan
lingkungan). Pentingnya ekologi dalam Islam ditegaskan oleh fakta
bahwa seperdelapan Al-Qurʻan mendesak Muslim untuk
merenungkan alam. Sosiolog Ali Shariati berpendapat bahwa
konsep penatagunaan harus mencakup dimensi spiritualnya.60
Demikian pula, Khalid61 mencatat bahwa yang termasuk dalam
konsep penatagunaan adalah gagasan manusia sebagai sahabat
alam, bukan tuannya. Sebagaimana dalam pergaulan sesama
manusia, pergaulan manusia dengan alam juga harus
memperhatikan tatakrama dan sopan santun.
Konsep ketiga etika lingkungan Islam adalah A<<<<<<<khirah
(Akhirat). Ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya diutus
Allah sebagai khalifah di bumi, tetapi juga akan bertanggung jawab
di akhirat atas kesesatannya. Dalam pandangan Zaidi, akhirat
menjadi tempat ujian kekhalifahan manusia.62 Demikian juga
59Abdul-Matin, Green Deen, 28.
60
T. Sonn, ―Tawhid‖, in Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic
World (Oxford: Oxford University Press, 1995).
61
Fazlun Khalid, ―Guardians of the Natural Order‖. Our Planet, 8, 2
(1996): 20.
62
I. H. Zaidi, ―On the Ethics of Man‘s Interaction with the Environment:
An Islamic Approach‖, Environmental Ethics, 3, 1 (1981): 41.
41
Manzoor,63 Faruqi,64 dan Weeramantry65 menjelaskan bahwa setiap
generasi manusia berkewajiban memperbaiki kondisi di mana
generasi sebelumnya telah meninggalkan bumi. Tidak ada generasi
yang berhak mengotori bumi dengan cara menghabiskan sumber
dayanya dan menurunkan sistem biologisnya.
Bagaimana dengan pelestarian alam di Indonesia? Upaya
meningkatkan kesadaran melestarikan dan menjaga lingkungan
bukanlah suatu konsep baru di Indonesia. Pada tahun 1999, Institut
Ekologi Bandung, The Islamic Foundation for Ecology and
Environmental Sciences, dan kelompok-kelompok pencinta ekologi
lainnya telah terlibat dalam serangkaian training sejak 2002 yang
mengusungkan dan mengembangkan tema-tema lingkungan,
berdasarkan al-Qur‘an, yang dilakukan oleh para cendikiawan
Islam, guru-guru, para pemimpin aktivis dan komunitas.66 Pada
tahun 2006, Majelis UIama Indonesia (MUI) mengeluarkan dua
fatwa: Pertama tentang illegal logging dan aktivitas-aktivitas
pertambangan di Kalimantan. Fatwa ini mengharamkan tindakan-
tindakan ini. Kedua, fatwa MUI (2011) bekerja sama dengan
pemerintah nasional untuk menyediakan seperangkat pedoman
yang mengikat secara hukum untuk mendukung fatwa pertama.67
Hal ini mendorong Presiden Indonesia untuk mengirimkan 5.000
ulama (pemimpin agama) di seluruh kepulauan untuk
63S. P. Manzoor, ―Environment and values: an Islamic perspective‖, in
Ziaudin Sardar, ed., Touch of Midas Scientific Values and the Environment in
Islam and the West (Manchester: Manchester University, 1984), 150–170.
64
Faruqi, Islam and Culture, 30.
65
C. G. Weeramantry, Islamic Jurisprudence: An International
Perspective (New York: St. Martin. 1988), 61.
66
Jeanne E. McKay, ―Practise What You Preach: A Faith -Based
Approach to Conservation in Indonesia‖, Fauna & Flora International, Oryx,
48, 1 (2013): 23.
67
MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA), Fatwa MUI Tentang
Pertambangan Ramah Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta,
Indonesia, 2011.
42
meningkatkan kesadaran dan keprihatinan atas isu perubahan iklim,
dengan tujuan menanggulangi pembalakan liar.68
Ajaran Islam telah menegaskan bahwa manusia harus
bersikap santun dan menghargai keberadaan alam. Manusia tidak
bisa hidup tanpa adanya udara yang segar yang diberikan alam
sekitarnya. Alam harus dikelola dengan baik, seperti untuk lahan
pertanian – di mana hasil pertanian bisa memberikan kehidupan
bagi manusia sekaligus bisa mengeluarkan zakat pertanian sebagai
bekal kehidupan di akhirat nanti. Sebaliknya, jika alam telah
dirusak, maka manusia tergolong tindakan makar terhadap alam
dan menimbulkan bencana longsor, banjir, dan polusi udara yang
merugikan manusia itu sendiri.
C. Hubungan Ekologi Spiritual dan Banjir
Mendifinisikan dan memaknai hubungan ekologi spiritual
dan banjir memang menjadi persoalan yang sangat sulit dan
kompleks. Namun demikian, kedua hal ini dihubungkan
berdasarkan fenomena yang terjadi di beberapa tempat, lalu
hubungan ekologi spiritual dan banjir dijelaskan dengan merujuk
pemikiran beberapa ilmuan psikologi dan teologis.
Dalam beberapa kasus, sebagian korban bencana alam,
meskipun taat beragama sebelum terjadi bencana, masih memiliki
rasa kecewa ‗mengapa bencana masih diberikan Tuhan kepada
mereka‘? Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Stacey E.
McElroy-Heltzel69 setelah terjadinya Hurricane Matthew di dekat
Cape Romain, Carolina Selatan pada pagi hari 8 Oktober 2016
menggambarkan kondisi religius spiritual para korban. Meskipun
sebagian para korban memandang positif bencana ini, namun
sebagian korban masih menaruh perasaan marah kepada Tuhan.
68The Jakarta Post, 2011; Mc Kay, ―Practise What You Preach, 24.
69
Stacey E. McElroy-Heltzel, ―The Role of Spiritual Fortitude and
Positive Religious Coping in Meaning in Life and Spiritual Well-Being
Following Hurricane Matthew‖, Journal of Psychology and Christianity , Vol.
37, No.1 (2018): 17-27.
43
Stacey dkk menyarankan kepada para korban untuk tidak marah
kepada Tuhan, tidak merasa dihukum atau ditinggalkan, dan tidak
berpaling dari iman mereka.
Spiritualitas dan religiusitas sangat penting untuk mengatasi
problem kehidupan korban banjir. Kesehatan mental para korban
banjir tentunya terganggu. Mereka mengalami trauma,70 stres
kronis seperti perubahan psikologis, ketakutan, demoralisasi,
emosional atau gangguan kecemasan dan depresi.71
Dalam pandangan Islam, seluruh ciptaan diberkati dengan
kehidupan karena berasal dari ―Yang Selalu Hidup‖ (al-Hayy),
yang merupakan salah satu dari nama ilahi. Ini berkorelasi dengan
ide Islam Di>n al-Fitra, yaitu keyakinan bahwa Islam adalah jalan
spiritual yang dibangun dalam pemahaman tentang sifat alami
manusia.72 Al-Ghaza>li> (w. 1111 M) menjelaskan bahwa ―bumi
memiliki bahasa dan kehidupan‖.73 Ibn ‘Arabi> (w. 1240 M)
menyatakan bahwa ―Tuhan hanya bisa dipuji oleh yang hidup dan
memiliki kesadaran‖.74 Nabi bersabda semua makhluk, kering atau
basah, menjadi saksi panggilan muazin.75 Karena segala sesuatu
hidup dan melihat Tuhan mereka‖, kita harus menghormati semua
itu mengelilingi kita.76 Bagi Jala>l al-Di>n Ru>mi> (w.1272),
‗semangat‘ dari kosmos adalah sesuatu yang tidak teoritis sama
70Sapora Sipon and Others, ―Spirituality among Flood Victims: A
Comparison between Two States‖, Procedia-Social and Behavioral Sciences,
185 (2015): 357-360.
71
L. Victoria, A. Holly, and U. Dominic, ―The Psychological Impact of
Exposure to Floods‖, Psychology, Health & Medicine, 15, 1 (2010): 61-73.
72
Éric Geoffroy, Human Conscience and ―Cosmism‖ of Islam,
http://www.Qscience.com/doi/pdf/10.5339/rels.2012.environment.14. Diakses 17
Agustus 2018.
73
Al-Ghaza>li>, The Jewels of the Qur‟an , Translation Abul Quasem
(Kuala Lumpur, Malaysia, 1977), 57.
74
Ibn ‘Arabi>, Al-Futu>ha>t al-Makkiyya (Beirut: Da>r Sa>dir, 1991), 147.
75
Dalam hadis lain: جن ولا إنس ولا حجر ولا شجر إلا شهد له لا يسمع صىته
(Artinya: “Tidaklah azan didengar oleh jin, manusia, batu dan pohon kecuali
mereka akan bersaksi untuknya). (HR. Abu Ya‘la).
76
Ibn ‘Arabi>, Al-Futûhât al-Makki>ya, 357.
44
sekali tetapi cukup nyata dan bisa diamati indera, di mana alam
berbicara dan melihat.77 Setiap atom di dunia itu hidup, mampu
memahami wacana, dan fasih.78
Dari beberapa penjelasan hadis dan pendapat para sufi di
atas, dapat dipahami bahwa lingkungan dan makhluk lain – selain
manusia – juga perlu dihargai dan dihormati. Sikap intolerasi
terhadap alam akan menjadi bencana bagi manusia itu sendiri,
termasuk banjir. Bencana banjir merupakan fenomena alam yang
memiliki banyak sekali makna bagi masyarakat. Sebagian
masyarakat percaya bahwa banjir adalah kekuasaan dan kebaikan
Tuhan. Sebagian lagi melihat banjir sebagai ujian dari Tuhan.
Singkatnya, nilai-nilai spiritual diperlukan untuk menikmati hasil
alam sehingga alam dimanfaatkan secara bijaksana, dan alam pun
tidak murka kepada manusia.
77Jala>l al-Di>n al-Ru>mi>, The Masnavi, Book One, Translated with an
Introduction and Notes By Jawid Mojaddedi (Oxford and New York: Oxford
University Press, 2004), 3279-3282, 1019, 2403.
78
Ru>mi>, The Masnavi, 3279-3282, 1019, 2403.
46
BAB III
KONDISI WILAYAH PENELITIAN
Pada penelitian ini, wilayah yang diteli adalah Desa
Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
A. Profil Desa Lenggang
Sebagaimana desa-desa lainnya, Desa Lenggang memiliki
struktur pemerintahan desa, yang dibentuk berdasarkan UU No 6
tahun 2014 yang selanjutnya ditindaklanjuti dalam PP No 43 tahun
2014 dan peraturan menteri yang terkait ‖Peraturan Menteri Dalam
negeri dan Peraturan Menteri PDT‖. Peraturan dan UU ini menjadi
landasan yuridis bahwa kemandirian desa dapat mengoptimalkan
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
desa, pembinaan masyarakat desa, pengelolaan anggaran desa baik
dari APBN maupun anggaran desa maupun anggaran desa yang
dituangkan dalam APBD Des.
1. Struktur Pemerintahan Desa Lenggang:
Desa Lenggang merupakan desa yang berlokasi di
Kecamatan Gantung. Desa ini berdiri pada tahun 2008 berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2008. Jumlah penduduk di desa
ini sebanyak 4.195 jiwa dan terdiri dari 1.363 kepala keluarga.
Sedangkan luas desa ini adalah 3.800. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada tabel berikut ini:1
Nama Desa Lenggang
Alamat Jl. Laskar Pelangi Rt.1 Dusun Jaya Desa
Lenggang, Kecamatan Gantung
Tahun Pembentukan 2008
Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2008
Nomor Kode Wilayah 2009
Kecamatan Gantung
Kabupaten Belitung Timur
1Observasi lapangan, Selasa – Jum‘at (24 - 27 Juli 2018) dan
dokumentasi Desa Lenggang 2018.
47
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Luas Wilayah 3800 Ha
Jumlah penduduk 4195 jiwa
Kepala keluarga 1363
Sementara, struktur Pemerintahan Desa Lenggang
Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung dapat lihat pada tabel di
bawah ini:
Kepala Desa Evo Lesmana
Sekretaris Desa Suparta
Kasi Pemerintahan Genda Pratisiawan
Kasi Pelayanan Aldi Gandari Elpizan
Kasi Pembangunan Eko Maulana
Kaur Umum dan Tata Usaha Rengga Pradana
Kaur Keuangan Eka Yuniarti
Kaur Perencanaan Puspa Vashanti
2. Sejarah Penamaan Desa Lenggang
Desa Lenggang terbentuk berdasarkan pemekaran Desa
Gantung pada tanggal 27 Nopember 2008.2 Penamaan Desa
Lenggang sendiri diambil dari nama seekor ikan, yaitu ikan
linggang, sejenis ikan lele. Bentuk ikan ini menyerupai ikan lele,
sehingga masyarakat sekitar banyak mengaitkannya dengan bentuk
sungai Lenggang yang berkelok-kelok. Sungai Desa Lenggang
merupakan sungai terpanjang di Pulau Belitung.3 Luas Desa
Lenggang mencapai 3.800 ha, yang terdiri dari 4 (empat) Dusun
dan 23 (dua puluh tiga) Rukun Tetangga. Batas wilayah dari Desa
Lenggang antara lain: Sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Gantung, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lintang, sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Gantung, dan sebelah Utara
berbatasan dengan Desa Selingsing.4
Desa lenggang terdiri dari empat dusun: pertama, Dusun
Jaya, kepala dusun Toni (RT 1 sampai RT 7 masuk dalam dusun
2Dokumentasi Desa Lenggang 2018.
3Wawancara dengan Rengga Pradana Kaur Umum dan Tata Usaha Desa
Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018. 4Dokumentasi Desa Lenggang 2018.
48
Jaya). Kedua, Dusun Canggu, Kepala Dusun Idris (RT 8 sampai
RR 12 masuk dalam dusun Canggu). Ketiga, dusun Lenggang,
Kepala Dusun Indra Saputra (RT 13 sampai RT 18 masuk dalam
Dusun Lenggang). Keempat, Dusun Teratai, Kepala Dusun Teguh
Firmadona (RT 19 sampai RT 23 masuk dalam Dusun Teratai).
Ada beberapa etnis di Desa Lenggang ini, yaitu etnis Melayu,
Tionghua, Bugis, Madura, dan Jawa.5
B. Lenggang sebagai Desa Wisata
Desa Lenggang adalah salah satu desa wisata yang ada di
Pulau Belitung, tepatnya di Kecamatan Gantung Kabupaten
Belitung Timur.6 Setiap hari desa ini banyak dikunjungi wisatawan
yang ingin melihat objek laskar pelangi, antara lain SD Laskar
Pelangi, Museum Andrea Hirata, Kampong Ahok dan Galeri
Batik.7 Tentunya ini menjadi tempat wisata ideal bagi wisatawan.
Desa lenggang juga memiliki berbagai objek wisata yang tak kalah
menariknya yakni Bendungan Pice, Sungai Lenggang, kolam
renang yang telah direnovasi, Pujamas yang menyajikan makanan
minuman khas Belitung, panggung kesenian, dan Kelenteng Fuk
Tet Che. Inilah yang menjadi alasan Desa Lenggang masuk
destinasi wisata karena memiliki potensi besar sebagai daerah
wisata. Apalagi ditambah dengan kekayaan adat, seni dan
budayanya yang masih terpelihara, seperti budaya maras taun,
upacara – upacara adat, tari – tarian adat, dan yang lainnya
memberikan nilai lebih bagi desa ini dalam perkembangannya
menjadi Desa Wisata.8 Objek wisata yang baru dan sangat ramai
5https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/. Diakses
6 Agustus 2018. 6 https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=4625. Diakses 6 Agustus
2018. 7Wawancara dengan Genda Pratisiawan Kasi Pemerintahan Desa
Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli
2018 8https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/. Diakses
6 Agustus 2018.
49
dikunjungi di desa Lenggang berikutnya adalah Museum Kata yang
didirikan oleh Andrea Hirata. Museum ini berisi kutipan kata-kata
inspiratif yang ada dalam novel Laskar Pelangi dan novel-novel
yang terkenal baik dari dalam maupun luar negeri. Museum ini
sendiri merupakan rumah dengan gaya khas melayu dan terdapat
warung kopi dengan nama ―warung kopi kuli‖ di dalamnya.9
Desa Lenggang mulai dikenal melalui novel Laskar Pelangi
yang meledak pada tahun 2008. Penulis novel fenomenal ini adalah
putra asli desa Lenggang yaitu Andrea Hirata. karena sebagian
besar isi dari cerita yang ada pada novel tersebut berasal dari Desa
Lenggang.10 Untuk menuju lokasi Desa Lenggang, dari Bandara
Hanantjudin Tanjungpandan Kabupaten Belitung, butuh waktu
sekitar 1 jam perjalanan melewati beberapa objek wisata di
Kabupaten Beltim. Para pengunjung melintasi jalanan yang bagus
dan relatif masih sepi, diwarnai pemandangan bukit, pepohonan
serta perkebunan penduduk yang mempesona dan jarang bisa
ditemukan di tempat lainnya. Agar bisa menikmati kawasan ini
lebih maksimal terdapat banyak penginapan seperti Hotel Purnama,
Homestay dengan berbagai macam fasilitas, bahkan rumah-rumah
9Selain mempunyai replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi,
Museum Kata Andrea Hirata dan Bendungan PICE, Yang tidak kalah ramai
dikunjungi dan mengundang rasa penasaran wisatawan yang datang ke desa
Lenggang adalah Rumah Gubernur DKI Jakarta yang fenomenal, Basuki Tjahaja
Purnama. Desa Lenggang telah melahirkan beberapa public figure, baik dari
bidang sastra maupun politik. http://visitbangkabelitung.com/content/ desa-
lenggang. Diakses 6 Agustus 2018. 10
Novel yang ditulis berdasarkan cerita kehidupan Andrea Hirata
sebagai salah satu anggota Laskar Pelangi benar-benar memberikan gambaran
pendidikan yang sangat memprihatinkan di SD Muhammadiyah, Desa Lenggang ,
Gantung khususnya dan gambaran pendidikan di Indonesia umumnya. Inspirasi
dari kisah ini kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama, Laskar
Pelangi. Film yang diproduseri oleh Mira lesmana dan ditukangi oleh Riri Reza,
serta didukung oleh artis -artis yang sudah terkenal semakin mengangkat desa
Lenggang sebagai salah satu daerah wisata yang diperhitungkan. Pada awalnya,
replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi dibangun untuk keperluan syuting
dan sekarang replika ini menjadi objek wisata. Fasilitas pun dibangun didaerah
sekitar replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi seperti Pasar Rakyat Pujamas
dan Galeri Laskar Pelangi.
50
penduduk bisa disewa untuk kebutuhan bermalam, sarana
akomodasi tersebut terasa menyatu dengan alam, tempat makan
juga tersedia di Pujamas. Alam asri dan penuh ketenangan menjadi
ciri khas desa ini. Tentunya ini akan menjadikan suasana liburan
menjadi lebih eksklusif. Lebih spesifik lagi di Desa Lenggang ini,
banyak ditemukan beberapa papan penunjuk arah menuju objek
wisata tadi.11
C. Bendungan PICE dan Bencana Kemanusiaan
Bendungan yang lazim disebut ―PICE‖ oleh masyarakat
setempat diambil dari nama ―Sir Vance‖, yaitu seorang insinyur
Arsitek Belanda yang membangunnya. Bendungan PICE
merupakan sebuah bangunan peninggalan sejarah yang terletak di
bagian hulu sungai Lenggang Kota Gantung. Bendungan yang
tidak kurang dari 50 meter panjangnya ini dibangun pada tahun
1936-1939. Bendungan ini mempunyai 16 pintu dengan ukuran 2,5
meter dari tiap pintunya.12 Dari sinilah air terjun dengan ketinggian
10 meter. Dulu pada masa penambangan timah masih diusahakan
oleh perusahaan milik Belanda (GMB), bendungan tersebut
berfungsi sebagai alat pengatur tinggi rendahnya permukaan air
guna mempermudah sistem kerja kapal keruk melakukan eksplorasi
timah. Sampai saat ini terdapat beberapa bangunan peninggalan
dari zaman pemerintahan Belanda dan peningglan dari PT.
Timah.13
11
https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=4625. Diakses 6 Agustus
2018. 12
https:// www. indonesiakaya. com/jelajah – indonesia /detail/
bendungan- pice- bendungan-bersejarah- di-kota- gantong. Diakses 6 Agustus
2018 13
https://lenggangbeltim. wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/.
Diakses 6 Agustus 2018.
52
BAB IV
PANDANGAN MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG KABUPATEN BELITUNG TMUR
TERHADAP EKO-SPIRITUAL DALAM KAITANNYA
DENGAN BANJIR DAN SOLUSINYA
A. Banjir dalam Perspektif Eko-Spiritual bagi masyarakat
Desa Lenggang Kabupaten Belitung Timur
Banjir yang melanda Kabupaten Belitung Timur pada Juli
2017 telah merusak sejumlah bangunan. Data posko Badan
penanggulangan Bencana Daerah (BPKD) Kabupaten Belitung
Timur mencatat lebih dari 4.000 rumah terendam banjir.1 Desa
Lenggang termasuk banjir terparah di Kecamatan Gantung.
Sedangkan dusun terparah yang dilanda banjir adalah Dusun
Canggung, Desa Lenggang. Banjir ini disebabkan meluapnya air di
bendungan PICE kiriman air dari sungai lenggang.2
Ada berberapa faktor penyebab terjadinya banjir di desa ini,
di antaranya: pertama, curah hujan sangat tinggi. Kedua, terjadinya
pendangkal DAS (Daerah Aliran Sungai) akibat penambangan liar
sehingga air tertahan dan tidak mengalir secara normal. Ketiga,
tingginya curah hujan yang ekstrem diiringi dengan tingginya air
pasang laut. Keempat, Dam air yang permukaannya lebih tinggi
sehingga tidak mampu lagi menampung debit air yang tinggi dan
pada akhirnya merendam daratan yang lebih rendah. Kelima,
jebolnya bendungan akibat tidak mampu menampung derasnya air
hujan.3
1
https://www. liputan6.com/ news/read/3027522/4000-lebih-rumah-di-
belitung-timur- masih-terendam-banjir, Diakses 22 Juli 2018.
2http://bangka. tribunnews. com/ 2017/07/20/kampung-ini-paling-parah-
diterjang- banjir-rumah-warga-porak-poranda, Diakses 25 Juli 2018.
3Wawancara dengan Toni, Kepala Dusun Jaya (RT 1 sampai RT 7)
Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur tanggal 25 Juli
2018.
53
Jika dilihat dari penyebab terjadinya banjir di daerah ini,
salah satu faktornya adalah penambangan liar. Kerusakan hutan
akibat penambangan liar di wilayah Bangka Belitung disebabkan
oleh tingginya kebutuhan lahan dan komoditi di kawasan hutan
industri.4 Data-data kerusakan hutan dan lingkungan akibat
penambangan timah dan pembukaan lahan pertanian dan
perkebunan di Belitung Timur seluas 20.426 hektar.5
Kerusakan lingkungan di Desa Lenggang – sebagaimana
dikatakan Kepala Dusun Lenggang, Indra Saputra - telah
menyebabkan banjir.6 Bencana banjir sebagai akibat pengrusakan
hutan, jika dilihat dari perspektif eko-spiritual, mengindikasikan
kurangnya pemahaman tentang tawhi>d.
Sejak adanya manusia di muka bumi ini bencana telah ada
dan kejadiannya bervariasi, baik yang disebabkan oleh alam, non-
alam maupun bencana lainnya (seperti bencana sosial, dan bencana
kemanusiaan lainnya). Bencana terjadi dengan sebab yang
bermacam-macam. Bencana yang disebabkan oleh alam terjadi
karena faktor alam itu sendiri atau faktor non alam yang
berdampak kepada struktur perubahan alam yang kemudian
menyebabkan bencana alam. Demikian pula bencana non-alam dan
bencana sosial sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia yang
tidak mampu mengelola hubungan dengan alam dan terganggunya
struktur dan tatanan sosial. Bencana dapat terjadi dimana saja,
kapan saja, dan menimpa siapa saja di muka bumi ini. Menurut
4Data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2016);
Dian Setiawan, Dodik Ridho Nurrochmat, dan Budi Kuncahyo, ―Model
Keberterimaan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan di Kepulauan Bangka
Belitung (Acceptability Model Of The Use Of Forest Area Policy In Bangka
Belitung)‖, Media Konservasi, Vol. 23 No. 1 (April 2018): 66.
5Data Tutupan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Bangka Belitung
Tahun 2015. Lihat Setiawan, Nurrochmat, dan Kuncahyo, ―Model
Keberterimaan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan di Kepulauan Bangka
Belitung‖, 66.
6Wawancara dengan Indra Saputra, Kepala Dusun Lenggang
Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur tanggal 25 Juli 2018.
54
sebagian ahli, bencana bukanlah takdir yang telah ditentukan Allah,
tetapi sebagai akibat ulah umat manusia yang belum mampu
menjaga pola interaksinya dengan alam dan lingkungannya.7
Interaksi manusia dengan alam merupakan bagian dari
implementasi tawhi>d.
Berkaitan dengan bencana, khususnya bencana banjir yang
terjadi di Desa Lenggang Kecamatan Gantung, penulis menggali
makna atau pengertian daripada bencana itu sendiri kepada
beberapa masyarakat yang selama terjadi bencana banjir telah
banyak membantu, baik berupa tenaga maupun pikiran terhadap
para korban banjir dan pihak pemerintahan. Sebagaimana menurut
Mifta Suhni8 bencana dapat dimaknai dengan berbagai macam
makna, sebagai musibah dan bisa juga bencana itu sebagai sebuah
peringatan. Sebagai musibah, bencana diartikan bahwa pada
dasarnya manusialah yang membuat bencana itu terjadi, apalagi
Tuhan telah memerintahkan manusia untuk bisa melestarikan
lingkungan. Dalam pandangan Mifta Suhni banyak sekali ayat-ayat
al-Qur‘an dan Hadits Nabi yang menjelaskan tentang pentinya
menjaga lingkungan. Ini menunjukkan bahwa melestarikan
lingkungan dan menjaga kebersihan merupakan jati diri seorang
Muslim yang beriman. Mifta Suhni juga menegaskan bahwa
masyarakat perlu mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta,
Yang Maha Pemberi Musibah itu, karena musibah apapun itu dari
kehendak Tuhan. Selain itu, bencana banjir tersebut sebagai bahan
evaluasi kepada pemerintah kita. Evaluasinya apa? Kinerja
pemerintah dan kepedulian masyarakat barangkali selama ini
bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang telah mereka lakukan.
7Hatamar Rasyid, Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog Publik
―Bencana Bukan Takdir: Memetakan Potensi dan Ancaman di Bagka Belitung
serta Strategi Penguatan Sumber Daya‖ yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Syaikh
Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, 25 Mei 2015. 8Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Belitung Timur
55
Dengan adanya musibah ini, mereka mengambil pelajaran atau
tidak.9
Demikian juga Khairil Anwar, Camat Gantung,
menegaskan bahwa banjir di Desa Lenggang dan sekitarnya
menjadi pelajaran bagi pihak pemerintah. Selama ini Desa
Lenggang dan seluruh desa lainnya di Kecamatan Gantung tidak
pernah ada musibah banjir. Pemerintah terlena dengan operasi
penambangan Timah. Pemerintah juga belum mengupayakan
pembuatan Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mempersempit
jalur air, dan membuat aliran air tidak lancar.10
Banjir memang dikategorisasikan sebagai takdir. Namun,
perlu disadari bahwa manusia sebagai masyarakat ekologi
diberikan akal agar menjaga lingkungan. Sebagaimana dikatakan
Kepala Dusun Teratai Desa Lenggang, Teguh Firmadona, bahwa
sebagai masyarakat ekologi manusia harus senantiasa menjaga
lingkungan yang dihuni berbagai organisme baik yang mati
maupun hidup.11 Argumen Teguh ini relevan dengan apa yang
dikemukakan Mujiono Abdillah bahwa lingkungan (environment)
adalah keseluruhan perikehidupan di luar suatu organisme baik
berupa benda mati maupun benda hidup.12 Masyarakat ekologi
semestinya menyadari bahwa lingkungan pada hakikatnya
mencakup keseluruhan biospher di luar suatu organisme, namun
masyarakat ekologi aplikatif cenderung mempersempit wacana
lingkungan.
Sebagai penduduk bumi, manusia harus memiliki etika
terhadap ekologi. Kepala Dusun Canggu, Idris, mengatakan bahwa
manusia harus sopan, santun, dan beretika terhadap ekologi. Tanpa
9Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018. 10
Wawancara dengan Camat Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu
25 Juli 2018.
11
Wawancara dengan Teguh Firmadona, Kepala Dusun Teratai Desa
Lenggang, Rabu 25 Juli 2018. 12
Mujiono Abdillah, Agama Ramah LingkunganPerspektif al-Qur‟an
(Jakarta: Paramadiana, 2001), 29-30.
56
adanya etika dan moral terhadap ekologi berarti manusia tidak
menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan, dan sekaligus tidak
menghargai manusia lain sebagai penghuni bumi.13 Pendapat Idris
ini relevan dengan makna etika ekologi dalam perspektif filsafat
bahwa manusia perlu mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam
berhubungan dengan alam semesta. Manusia semestinya berbuat
baik terhadap lingkungannya. Etika lingkungan, seperti
dikemukakan A. Sony Keraf, merupakan sebuah refleksi kritis atas
norma-norma atau nilai moral yang selama ini telah dikenal dalam
komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam semua
komunitas ekologis. Etika lingkungan hidup mengajarkan manusia
agar berperilaku baik terhadap lingkungan sehingga perlakuan baik
terhadap lingkungan tersebut dapat memberi manfaat kepada
manusia lainnya, alam, dan makhluk hidup lainnya. 14
Selain itu, ekologi dalam Islam juga dapat ditempuh melalui
prinsip tawh}i>d. Tauhid dipandang sebagai pilar utama yang
melandasi semua bentuk kepercayaan, keyakinan, perbuatan, dan
tingkah laku manusia. Seluruh aspek kehidupan dan prilaku
seorang muslim selalu berkaitan dengan keyakinan bahwa Tuhan
Maha Esa. Prinsip tersebut mengejawantah ke dalam segala bentuk
aktivitasnya. Seorang muslim tidak dibolehkan merusak bumi
karena perbuatan tersebut sangat menyimpang dari tauhid yang
diyakininya. Tauhid selalu menuntun atau mengarahkan seorang
Muslim untuk berbuat selaras dengan ketentuan-ketentuan
keilahiahan.15 Dengan demikian, prinsip tauhid merupakan prinsip
13Wawancara dengan Kepala Dusun Canggu, Idris, Rabu 25 Juli 2018.
14A. Sony Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Kompas, 2002), 25-27.
Adapun menurut Jhon F. Haught, etika ekologi merupakan sebuah prinsip yang
mudah dipahami seperti terkandung dalam himbauannya bahwa ―kalau kita tidak
belajar untuk melihat dan mengalami bumi sebagai kediaman yang sebenarny a,
kita tidak begitu cenderung, kalau memang ada, menaruh kepedulian
terhadapnya‖. Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, dari konflik ke
Dialog, Terj. Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), 324-325. 15
Fazlun Khalid, ―Islam and the Environment Ethics and Practice‖, 7;
Bakar, Tauhid dan Sains, 67-69.
57
dasar yang melandasi sikap dan perbuatan manusia dalam
kaitannya antara manusia dengan Penciptanya (h}abl ma‘a
Kha>liqih), manusia dengan sesamanya (h}abl min al-na>s), dan
manusia terhadap makhluk hidup lainnya (h}abl ma‘a ghairih).
Sebagai sumber utama ajaran Islam, sebagaimana dikatakan
Uri Khatansah (Tokoh Pemuda), al-Qur‘an telah mengisyaratkan
kepada manusia kaidah-kaidah penting tentang alam atau
lingkungan, bagaimana menjaganya, peran apa yang harus
dijalankan, dan nilai-nilai apa yang dapat dipetik dari serangkaian
fenomena-fenomena di baliknya.16 Pendapat Uri ini sejalan dengan
apa yang dijelaskan A. Qadir Gassing, bahwa konsep ekologi
Islam sangat identik dengan doktrin al-Qur‘an tentang alam dan
lingkungan itu sendiri. Hal itu dapat ditelusuri dari tiga kata kunci,
yaitu:al-ard} (bumi atau lingkungan), al-ifsa>d (pengrusakan), dan al-
is}la>h} (pelestarian). Dalam al-Qur‘an, kata al-ard} diulang sebanyak
461 kali dalam 80 su>rah. Jika dicermati lebih lanjut, bumi
(lingkungan), sebagaimana dimaksud dalam beberapa ayat tadi,
berfungsi sebagai penopang kehidupan dan keberlanjutan
peradaban manusia, termasuk semua ekosistem yang ada di
dalamnya. Lantaran itulah, bumi dibentangkan sebagai hamparan
(fira>shan),17 sekaligus sebagai tempat tinggal/kediaman yang tepat
bagi manusia (qara>ran),18 atau dalam bahasa al-Qur‘an lainnya
disebut mustaqarrun19dalam rangka memperjuangkan kehidupan
(ma‘a>yish).20 Dengan demikian, peran vital bumi sebagai penopang
kehidupan semua makhluk tidak dapat diganggu gugat
keberadaannya. Merusak bumi sama halnya dengan
menghancurkan semua bentuk kehidupan di dalamnya, termasuk
manusia itu sendiri. Sangatlah wajar, bila al-Qur‘an mengingatkan
16Wawancara dengan Uri Khatansah, Tokoh Pemuda di Kecamatan
Gantung, Rabu, 26 Juli 2018. 17
Qs.al-Baqarah [2]:22; al-Dha>riya>t [51]:48. 18
Qs.al-Naml [27]:61; al-Mu’min [40]:64. 19
Qs.Ya>sin [36]:2; al-Naml [27]:24. 20
Qs. al-A‘ra>f [7]:10; al-H{ijr [15]:20; al-Zukhruf [43]:32.
58
manusia secara berulang dalam beberapa surat dan ayatnya supaya
eksistensi bumi tetap lestari demi semata-mata bagi semua bentuk
kehidupan, utamanya manusia itu sendiri.
Lebih lanjut menurut Gassing, konsep al-ifsa>d
(pengrusakan) dan al-is}la>h} (perbaikan) merupakan isyarat al-
Qur‘an agar manusia menjaga lingkungannya. Kata al-ifsa>d disebut
sebanyak 50 kali di 40 ayat dengan makna kerusakan secara umum.
Dalam Qs.al-Baqarah [2]: 205, disebut secara langsung pengertian
kerusakan bumi, baik mencakup flora maupun fauna. Sedang dalam
ayat lainnya, kata tersebut berhubungan dengan makna yang
menyangkut kerusakan moral atau keyakinan. Lawan kata ifsa>d
atau fasa>d tadi adalah is}la>h}, seperti terlihat dalam beberapa ayat
berikut: Qs.Yu>nus [10]:81; al-A‘ra>f [7]:142; al-Shu‘ara>’ [26]:152;
dan al-Naml [27]:48. Dari sejumlah ayat ini, dipahami bahwa
konsep is}la>h} mencakup upaya perbaikan moral dan keyakinan
agama seseorang, termasuk juga memperbaiki kualitas
kehidupannya secara umum. Dengan kata lain, segala upaya
mewujudkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan di muka bumi di
satu sisi, dan menghilangkan kerusakan dan keburukan dalam
berbagai bentuknya di sisi lain, merupakan suatu perintah
(kewajiban) yang secara tegas telah dinyatakan dalam al-Qur‘an.21
Melalui konsep tersebut, jelas sekali bahwa dalam Islam,
manusia dilarang melakukan perbuatan merusak, mencemar, dan
mengotori bumi beserta semua kehidupan di dalamnya. Sebab
dalam batas tertentu, para pelaku (mufsid) diidentifikasi sebagai
ka>fir, muna>fiq, musyriq, fa>siq, dan munkir, yang merupakan
kategori orang-orang yang mendapat azab dari Allah Swt, sedang
mereka yang melakukan isla>h dikatagorikan sebagai orang yang
mendapat ganjaran pahala dan kebaikan dari Tuhan Sang Pencipta.
Dua sikap yang berlawanan, merusak (ifsa>d) dan merawat (is}la>h})
adalah pilihan, semua kembali kepada manusia. Bila menghendaki
21
A. Qadir Gassing, ―Perspektif Hukum Islam tentang Lingkungan
Hidup‖, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Srarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
59
kondisi bumi yang lestari, damai, dan tentram, maka pilihan logis
yang harus diputuskan oleh manusia adalah is}la>h}, yang diikuti pula
dengan sikap dan perbuatan yang tidak merusak, mencemar,
mengeksploitasi, dan merendahkan semua bentuk kehidupan di
bumi. Berdasarkan argumen ini, jelas bahwa dalam Islam menjaga
lingkungan merupakan suatu kewajiban yang telah dilegitimasi
berdasar sumber utamanya, yakni al-Qur‘an.
Uri (tokoh pemuda Kecamatan Gantung),22 selanjutnya,
menegaskan bahwa manusia perlu menyadari betapa pentingnya
menjaga lingkungan sebagai tempat tinggal. Pendapat Uri ini
berkaitan dengan Ernst yang mengatakan ekologi sebagai ‗bagian
kehidupan organik yang harus dipelihara‘ (the domestic side of
organic life).
Seruan dan himbauan agar senantiasa menjaga alam telah
dilakukan oleh Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur,
baik sebelum terjadinya banjir maupun pasca terjadinya banjir. Hal
ini disampaikan oleh Muhklisul Fatih, penyuluh agama dari
Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur. Mukhlish
menjelaskan bahwa alam sebagai ciptaan Tuhan perlu ditata,
dirawat, dan dijaga kelestariannya. Alam telah memberikan
manfaat yang cukup besar bagi manusia untuk bernafas, bercocok
tanam, pertambangan, perkebunan, dan sebagainya. Manusia,
sebagai khali>fah, diberikan keleluasan untuk memanfaatkan alam,
namun manusia tidak dibolehkan untuk memanfaatkannya
melampaui batas.23
Pendapat Mukhlish ini memiliki relevansi dengan konsepsi
religius Islam yang menempatkan manusia sebagai makhluk,
hamba, sekaligus khali>fah Tuhan di muka bumi.24 Predikat manusia
22Wawancara dengan Uri Khatansah, Tokoh Pemuda di Kecamatan
Gantung, Rabu, 26 Juli 2018.
23
Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kementerian Agama
Kabupaten Belitung Timur, Kamis 26 Juli 2018. 24
Qs. al-Baqarah [2]:30; Qs. al-An‘am [6]:165; Qs. S{a>d} [38]:26; Qs.
Yunus [10]:14.
60
sebagai khali>fah diberi tugas untuk mengabdi, beribadah (tunduk)
kepada Kha>liq, dan bertanggung jawab mengemban amanah untuk
memakmurkan bumi selaras dengan kehendak-Nya. Pemanfaatan
alam harus mengutamakan prinsip-prinsip etis yang ditetapkan
Allah. Manusia boleh memanfaatkan sumber alam sebagai nikmat,
anugerah, dan berkah sebatas pemenuhan kebutuhan, tanpa
merusak, mencederai, dan merendahkan. Pemanfaatan sumber alam
tersebut, tentu harus selaras dengan kaidah al-Qur‘an, seperti tidak
berlebihan atau mubazir.25
Konsep khali>fatullah fi al-ard} lebih ditujukan agar wakil
Allah di bumi ini mampu memakmurkan bumi selaras dengan sifat-
sifat dan prilaku-Nya.26 Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai
Pemelihara, Penjaga, dan Pencipta Alam Semesta (Rabb al-
„alamin), maka sebagai wakilnya, manusia diharapkan mampu
meniru dan mencontoh sifat-sifat ilahiah tersebut demi
keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan semua
makhluk. Prinsip tashabbuh bi-al-ilah (meneladani Tuhan dalam
sifat dan nama-Nya) menjadi suatu keniscayaan,27 sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur‘an (Qs. al-A’ra>f [70]: 180): wa-lilla>h al-
asma>‘u al-h}usna> fad‘u>hu biha > (bagi Allah ada nama-nama yang
indah, maka teladanilah nama-nama itu dalam kehidupan). Dengan
demikian, prinsip tersebut merupakan piranti penting bagaimana
manusia merawat dan memakmurkan alam sebagai amanah yang
harus ditunaikan.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran di bidang etika
lingkungan, ada beberapa teori etika lingkungan, yang sekaligus
menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan
lingkungan. Teori-teori etika lingkungan itu adalah, Intermediate
Environmental Ethics, Shallow Environmental Ethics, dan Deep
25
Qs. al-An‗am [6]:141. Lihat Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan
Kosmik Hubungan Alam dan Manusia (Jakarta: Impressa, 2013), hlm. 36-37. 26
Qs. al-Baqarah [2]:30; Qs. Hud [11]:61. 27
Baca Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik, 37.
61
Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai
biosentrisme, dan antroposentrisme, ekosentrisme.28
Meski mendapat kritik dan tudingan negatif dari sejumlah
kalangan,29 Islam, melalui para pemikirnya, seperti Seyyed Hossein
Nasr, Yu>suf Qarad}a>wi>, Fazlun Khalid, dan ‘Abdullah Shaha>tah,
telah berupaya menepis stereotype tersebut, sembari menunjukkan
bukti bahwa Islam adalah agama ramah lingkungan.30
Di samping al-Qur‘an sebagai sumber utama tentang
lingkungan, Nasr juga melansir sumber lain, seperti hadis, dan
putusan hukum Islam atau Shari>‘ah, teks-teks filsafat Islam dan
sufisme.31 Sumber-sumber ini kemudian berkembang dengan fokus
28
Keraf, Etika Lingkungan, 32. 29
Lynn White, Jr. menuding agama-agama monoteis, termasuk Islam,
sebagai agama yang turut mempercepat laju kerusakan bumi. Lihat White, Jr.,
―The Historical Roots of Our Ecological Crisis‖, 1203-1207. Keith Thomas,
mengikuti jejak White, memandang Islam sebagai agama yang melegalkan
dominasi manusia atas alam melalui sejumlah doktrin teologis yang terdapat
dalam kitab suci Islam. Keith Thomas, Man and the Natural World; Changing
Attitude in England, 1500-1899 (London: Allen Lane, 1983), 21. Di sisi lain,
seperti diisyaratkan oleh Roger E. Timm, Islam dengan doktrin teologisnya, satu
sisi memandang alam (lingkungan) sebagai objek penguasaan, dominasi, dan
eksploitasi, namun di sisi lain, mengisyaratkan adanya s ikap dan sudut pandang
yang ramah terhadap lingkungan. Teologi tersebut, lanjut E. Timm, bersifat
ambivalen dan memiliki dua mata sisi yang berbeda. Terlepas dari persoalan itu,
Timm menjelaskan lebih lanjut, bahwa krisis lingkungan di dunia Islam terjadi
lebih dimotori oleh aspek ekonomi (kemiskinan) masyarakatnya, di samping
pudarnya moralitas Islam para pemimpinnya lantaran sudah begitu akutnya
penyakit mabuk teknologi dan pengetahuan yang dikembangkan Eropa dan
Amerika. Roger E. Timm, ―Dampak Ekologis Teologi Penciptaan Menurut
Islam‖ dalam Mary Evlyn Tucker dan Jhon A. Grim, Agama, Filsafat, dan
Lingkungan Hidup (Jakarta: Kanisius, 2003), 113. 30
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Ri‘a>yah al-Bi>’ah fi> Shari>‘ah al-Isla>m (Kairo: Da>r
al-Shuru>q, 2001); ‘Abdulla>h Shaha>tah, Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi> fi> al-H{ifa>z} ‘ala>
al-Bi>’ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1968). 31
SeyyedHossein Nasr, ―Islam, The Contemporary Islamic World and
the Environmental Crisis‖, in R. C. Foltz, F. M. Denny and A. Baharuddin, Islam
and Ecology: A Bestowed Trust (Massachussets: Harvard University Press,
2003), 93-94. Lihat juga kajian Bakar, Environmental Wisdom for Planet Earth ,
31-44.
62
bahasannya tersendiri seperti eco-shari>‘ah – mencakup eco-us}u>l
fiqh dan eco-fiqh – ekoteologi, ekosopi, dan ekosufisme.
Dari sisi lain, ‘Abdullah Shaha>tah memandang bahwa
realitas alam semesta ini diciptakan dengan rencana yang benar (al-
h}aqq),32 mengandung hikmah dan tujuan keilahiaan yang bersifat
mulia, bukan atas dasar ketidaksengajaan, sia-sia, dan tanpa
tujuan,33 seperti dalam saintisme Barat. Dalam Islam, alam
mempunyai eksistensi riil, objektif, dan berjalan selaras dengan
hukum (kadar) yang tetap,34 bukan sesuatu yang semu (maya) tanpa
makna.35 Bahkan, semua makhluk di alam ini diciptakan semata-
mata untuk mengabdi (suju>d) kepada Rabb Yang Esa.36 Bila
demikian, anggapan yang memandang makhluk ciptaan sebagai
rendahan, tidak bermakna, dan tanpa tujuan, serta keyakinan bahwa
manusia diperkenankan untuk mengeksploitasi alam sebesar-
besarnya tanpa ada pertanggungjawaban etis, hal itu bertentangan
dengan qadr, hukum, dan sunnatulla>h yang telah ditetapkan oleh
Tuhan. Mengingkari atau menyalahi sebuah ketentuan keilahiaan
tersebut merupakan bentuk penyelewengan dan pembangkangan
yang nyata terhadap Tuhan dan diri sendiri.
Relevan dengan tradisi-tradisi timur, metafisika terus
menerus hidup hingga hari ini, dan meskipun berbeda pondasi, ada
kesatuan doktrin yang membenarkan penggunaan istilah
‗metafisika Timur‘, meskipun metafisika tidak mengenal Timur
32
Qs. Al-An’a>m [6]:73; al-H{ijr [15]:85; al-Ru>m [30]:8; al-Ja>thiya>h
[45]:22; al-Tagha>bun [64]:3. 33
Qs. A<<<<li> ‘Imra>n [3]:191; al-Anbiya>’ [21]:16; al-Mu’minu>n [23]:115;
S{a>d} [38]:27; al-Dukha>n [44]: 38-39. Mulyadhi Kartanegara, Akar Religius,
Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), 41-44.
Roger E. Timm, ‖Dampak EkologisTeologi Penciptaan menurut Islam‖ dalam
Tucker dan Grim, Agama, Filsafat, danLingkungan Hidup, 105-106. 34
Qs. Al-Ah{za>b [33]:38; al-R‘ad [13]:8,17; Al-Fath} [48]:23; al-Furqa>n
[25]:2; Lihat Mulyadhi Kartanegara, NalarReligius, 41. 35
Shaha>tah, Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi>, 18. 36
Qs. Al-H{ajj [22]:8.
63
atau Barat.37 Menurut Seyyed Hossein Nasr, hilangnya
pengetahuan metafisik adalah penyebab hilangnya harmoni antara
manusia dan alam.38
Dalam tradisi cina klasik, terutama Taoisme dan juga Neo-
Konfusianisme,39 melukiskan alam semesta dalam batasan-batasan
kerangka yin dan yang,40 yang bisa dipahami sebagai prinsip-
prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria dan
wanita. Yin dan yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan,
dan perpaduan keduanya menghasilkan banyak hal, yakni segala
sesuatu yang ada.41
Dalam pandangan Islam, alam (lingkungan hidup) bersifat
menyatu (holistik) dan saling berhubungan, dimana komponennya
adalah Tuhan Sang Pencipta alam dan makhluk hidup, termasuk
manusia. Sebagai makhluk dan hamba Tuhan, manusia juga
dipandang sebagai khali>fah-Nya (wakil) di muka bumi.42 Manusia
diberi tugas untuk mengabdi, beribadah (tunduk) kepada Sang
Kha>liq, dan bertanggung jawab mengemban amanah untuk
memakmurkan bumi selaras dengan kehendak-Nya. Demi
kemaslahatan, manusia diperkenankan untuk memanfaatkan
37Seyyed Hossein Nasr, Antara Manusia Tuhan dan Alam: Jembatan
Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spritual, terj. Ali Noer Zaman
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 100. 38
Nasr, Antara Manusia Tuhan dan Alam, 101. 39
Sebuah pemujaan pada alam dan pemahaman mengenai signifikansi
metafisiknya yang memiliki arti sangat penting. Nasr, Antara Manusia Tuhan
dan Alam, 101-102. 40
Simbol terkenal Tai Chi (Tao) melukiskan yin dan yang sebagai
gerakan dan perubahan yang konstan. Dalam fenomena tertentu, hubungan
antara yin dan yang terus-menerus berubah. Karena itu, seluruh alam semesta
berubah setiap saat, bagaikan sungai yang mengalir. ―Perubahan‖ adalah proses
langit dan bumi serta segala sesuatu di antra keduanya diciptakan dan diciptakan
kembali. 41
Yin dan yang adalah prinsip-prinsip perubahan dan symbol bagi
seluruh gerakan di alam semesta. Ketika matahari terbit, rembulan pun
tenggelam.Kala musim semi tiba, musim dingin pun beranjak pergi. Murata, The
Tao of Islam, 28. 42
Qs. Al-Baqarah [2]:30; Al-An‗am [6]:165; S{a>d} [38]:26; Yu>nus
[10]:14.
64
sumber alam yang telah disediakan kepadanya, dengan catatan
harus selaras dengan prinsip-prinsip etis yang telah ditetapkan.
Kata kuncinya adalah manusia boleh memanfaatkan sumber yang
ada sebagai nikmat, anugerah, dan berkah sebatas pemenuhan
kebutuhannya, tanpa merusak, mencederai, dan
merendahkannya.43Pemanfaatan sumber yang ada tersebut juga
harus selaras dengan kaidah al-Qur‘an, seperti tidak berlebihan,
atau mubazir.44
Dalam konteks tersebut pula, konsep khali>fatulla>h fi> al-ard}
menerangkan bahwa manusia sengaja dipilih oleh Allah sebagai
wakil-Nya di bumi untuk mengatur, memelihara, dan
memakmurkannya selaras dengan sifat-sifat dan prilaku-Nya.45
Semua yang ada di bumi merupakan amanah yang diperuntukkan
kepada manusia. Mengabaikan amanah ketuhanan tentu dipandang
sebagai suatu bentuk penyelewengan, bahkan pembangkangan
terhadap perintah Tuhan.
Dalam rangka mengemban amanah itu, Allah memperkenalkan
diri-Nya sebagai Pemelihara, Penjaga, dan Pencipta alam (rabb al-
‘a>lami>n), maka sebagai wakilnya, manusia diharapkan mampu
meniru dan mencontoh sifat-sifat ketuhanan tersebut demi
keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan semua
makhluk-Nya. Prinsip al-tashabbuh bi al-ilah (meneladani Tuhan)
dalam konteks ini merupakan suatu keniscayaan.46 Firman Allah
wa-lilla>h al-asma>‘u al-h}usna> fad‘u>hu biha > (bagi Allah ada nama-
nama yang indah, maka serulah Dia dengan nama-nama yang indah
itu), tidak saja kita diperintah untuk menyeru Tuhan dengan nama-
43
Fazlun Khalid, ―Islam and the Environment Ethics and Practice‖ , 8-9:
Shaha>tah,Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi> fi> al-H{ifa>z} ‘ala> al-Bi>’ah, 19. 44
Qs. Al-An‘a>m [6]:141. Lihat juga Fazlun Khalid, ―Islam and the
Environment Ethics and Practice‖, 4-5. 45
Qs. al-Baqarah [2]:30; Hu>d [11]:61. 46
Bandingkan dengan konsep al-tashabbuh bi al-ilah ala Ikhwa>n al-
S{afa>. Ikhwa>n al-S{afa>, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa> wa-Khulla>n al-Wafa> (T{ahra>n,
Maktab al-I‘la>m al-Isla>mi>, 2000), Jilid III, 30 dan 382.
65
nama itu, tetapi lebih jauh kita dituntut untuk meneladani nama-
nama dan sifat-sifat Tuhan tersebut dalam keseluruhan aspek
kehidupan nyata kita di bumi. Dengan demikian, prinsip al-
tashabbuh bi al-ilah merupakan piranti penting bagaimana manusia
merawat dan memakmurkan alam semesta sebagai amanah yang
harus segera ditunaikan.
Pada wilayah-wilayah krisis ekologis dimana umat Islam
tidak menjadi mayoritas, perlu dibangun mekanisme kolaboratif
dengan umat lain untuk bersama-sama mendorong dan melukan
berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Prinsip dasar, semua manusia dan mahluk hidup mendampakan
lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah pilar dalam
menyatukan gerakan pengelolaan lingkungan hidup. Umat Islam
berlandaskan menjalankan takwanya, harus didorong menjadi
pionir dalam melaksanakan mandat utama manusia di bumi.
Sebagai khalifatullah yang menebar kebaikan.
Sebagai sebuah sumber penting tentang lingkungan, al-
Qur‘an juga selalu mengisyaratkan kepada manusia agar
memerhatikan serangkaian fenomena di balik penciptaan alam
semesta, seperti: langit dan bumi, siang dan malam, laut, tanah,
udara, hewan, binatang, tumbuhan, mineral serta segala makhluk
yang ada di dalamnya. Keseluruhan fenomena itu merupakan
a>ya>t (tanda-tanda kekuasaan Tuhan), dengan harapan manusia
mampu mengenal dirinya dan Penciptanya. Sir Muhammad Iqbal—
seorang filosof-pujangga asal Pakistan—pernah menyebut bahwa
alam semesta adalah medan kreativitas Tuhan.47 Dengan demikian,
al-Qur‘an sejatinya telah mengajarkan manusia bahwa untuk
mengenal Pencipta dan dirinya, manusia dituntut untuk mengenal
dan memahami realitas alam yang terbentang luas di hadapannya.
Alam mengajarkan banyak hal, utamanya tentang hidup dan
kehidupan, bahkan Pencipta kepada manusia. Karenanya, merusak
47
Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, (London: Oxpord University Press, 1934), 61.
66
alam (sumber pengetahuan dan kebijaksanaan) sama dengan
menghancurkan diri sendiri, bahkan menyinggung dan melawan
Tuhan.
Bagaimana dengan hubungan dengan lingkungan dengan
konsep a>khirah? Umat Islam di Indonesia merupakan kekuatan
yang dapat menjadi aktor kunci dalam merubah krisis ekologis
yang terjadi saat ini. Jika kekuaan umat Islam di Indonesia
terkelola berdasarkan kesadaran kritis dengan menjalankan nilai-
nilai islam secara kaffah, maka benang kusut persoalan lingkungan
dapat diminimalisir secara maksimal. Jumlah mayoritas saat ini
merupakan modalitas yang akan mampu merubah arah kebijakan
maupun perubahan secara fundamental karena nilai-nilai Islam
menjadi bagian dari sikap dan laku kehidupan sehari-hari.
Krisis ekologis, tidak saja berdampak pada sisi penghidupan
manusia, tapi juga mahluk hidup lain yang mampu menyuarakan
ketidakadilan yang dirasakan dan harus dijalani akibat keruskan
yang terjadi. Penempatan manusia sebagai khalifah di bumi oleh
Allah SWT wajib memposisikan dan memerankan sebagai khalifah
bagi kehidupan yang bermartabat bagi seluruh mahluk hidup. ini
menunjukan, peran umat Islam harus berperan aktif dalam
menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan yang ada, dimana
pun dan kapanpun sebagai bagian dari kewajiban. Dalam
menjalankan kewajiban tersebut, tidak ada larangan umat Islam
untuk bekerjasama dengan siapapun untuk membangun
kemaslahatan umat maupun lingkungan. Penilaian Allah SWT
terhadap manusia adalah dari sisi takwa:48
48
Takwa sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri
dari siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti s egala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).
Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara,
yakni menjaga diri agar selamat dunia dan
akhirat.Kata Waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya
dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
67
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal” (Qs. al-Hujarat[49]:13).
Pengertian takwa menurut Mifta Suhni mengarah pada satu
konsep: yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi
larangannya, dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau
murka Allah SWT.49 Melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan tentang melindungi dan mengelola lingkungan hidup
secara tersurat, jelas menjadi bagian dari perintah dan larangan.
Kenyataannya, nilai-nilai Islam dalam menjalani keseharian
terkait lingkungan hidup masih tertinggal. Sebagaimana
diungkapkan Mukhlis berbagai tindakan yang berkontribusi
terhadap kerusakan lingkungan dilakukan seolah tidak berimplikasi
merugikan orang lain atau mahluk hidup lainnya yang secara tegas
dilarang dalam Islam. Sebagai contoh, membuang sampah di
sungai, membuang limbah berbahaya, menebang pohon di hutan,
seolah-olah tindakan tersebut diperbolehkan. Sekalipun telah
muncul kesadaran sebagai tindakan tidak baik, tapi tetap dilakukan
karena dianggap tidak berdosa atau dosa kecil yang bisa dimaafkan
dengan beristigfar atau melakukan ibadah secara fisik.50 Sangat
49Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018. 50
Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kantor Urusan Agama
Kecmatan Gantung, Rabu 25 Juli 2018
68
berbeda jika umat Islam dihadapkan pada halal dan haramnya
makanan atau perbuatan jinayat umum; mencuri, berzina, berjudi
dll. Orang yang melakukan maupun yang melihat secara tegas
menyatakan itu berbuatan dosa yang diancam hukum di dunia
maupun akhirat. Sehigga ada upaya menghindari untuk
melakukannya. Lalu bagaimana dengan upaya menghindari
perusakan lingkungan atau melakukan praktik perbaikan kualitas
lingkungan itu sendiri? Bukankah menjaga kualitas lingkungan
atau tidak melakukan kerusakan di muka bumi juga adalah perintah
Allah SWT dan wajib dijalankan umat manusia sebagai khalifah di
bumi?
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam ke
depan. Pengelolaan lingkungan hidup sebagai kewajiban karena
menjadi bagian dari Takwa sebagai pondasi umat. Ketakwaan perlu
direalisasikan dengan cara terlibat secara masif dalam mengelola
dan menghindari kerusakan serta melakukan perbaikan-perbaikan
pada wilayah yang telah rusak menjadi bagian dari nilai-nilai Islam
yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Untuk itu, perlu upaya
dalam menghimpun seluruh kekuatan, baik dalam sistem
pendidikan, sistem ekonomi, politik kebangsaan maupun sistem
dakwah yang akan dikembangkan ke depan. Dengan pemahaman
tentang nilai-nilai Islami secara ka>ffah dan menyeluruh inilah, akan
membawa bangsa ini merawat lingkungan hidup secara baik dan
benar. Secara langsung maupun tidak langsung, pada akhirnya
memaksa pengambil kebijakann – sektor bisnis maupun umat
beragama atau kelompok-kelompok lain – berjalan sinergis dengan
nilai-nilai Islam yang tertanam dalam pengelolaan sumber-sumber
penghidupan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Manusia, menurut Mifta Suhni,51 sebaiknya memperhatikan
kembali pesan Allah untuk membaca (iqra‟) alam semesta agar
manusia bisa bersikap santun dan ramah terhadap lingkungan. Apa
51
Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.
69
yang dikatakan Mifta Suhni berkaitan dengan perintah membaca
(iqra‘) dalam Surat al-‗Alaq (termasuk ayat-ayat Makki>yah). Kata
―Iqra‟‖secara implisit menunjukkan bahwa manusia tidak sebatas
disuruh untuk membaca al-Qur‘an, tetapi di balik perintah tersebut,
manusia dituntut pula untuk mengkaji atau mengambil pelajaran
dari objek apa saja yang dapat dibaca, ditelaah, direnungkan, dan
diteliti selain al-Qur‘an. Sebab objek yang dapat dibaca tidak saja
berupa ayat-ayat yang tertulis di dalam al-Qur‘an (Kita>b al-
Tadwi>ni>), melainkan mencakup ayat-ayat yang terhampar di
seluruh jagad raya semesta ini (Kita>b al-Takwi>ni>). ‘Azi >z al-Di>n al-
Nasafi> dalam kitabnya, Kashf al-H{aqa>’iq menyebut bahwa di
samping kitab tertulis yang wajib dibaca, manusia juga sejatinya
dapat membaca kitab alam, termasuk dirinya sendiri, yang
menyajikan sejuta kearifan dan pengetahuan, lengkap dengan surah
demi surah, ayat demi ayat, dan huruf demi huruf layaknya al-
Qur‘an.52 Mengkaji alam dan memahaminya, merupakan sebuah
upaya agar manusia mampu menjalin keharmonisan dengannya.
Hubungan harmonis antara manusia dengan alam adalah mediasi
utama dalam rangka menjadi manusia seutuhnya.53 Isyarat ini tentu
saja memberi peneguhan bahwa Islam telah menetapkan basis etik
ajarannya terkait bagaimana manusia memahami alam, mengambil
nilai-nilai kebijaksanaan darinya dan menerapkannya dalam
kehidupan nyata selaras dengan upaya-upaya konservasi alam dan
perlindungannya.
Lebih jauh, Qarad}a>wi> menilai bahwa penamaan surat-surat al-
Qur‘an dengan berbagai nama spesies tumbuhan, hewan (binatang),
52
Lihat kajian Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan
tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti
dan M.S. Nasrullah, Cet. ke-5 (Bandung: Mizan, 1998), 73-74; Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, (Yogyakarta: PustakaPelajar,
1997), 222-223. 53
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 13-14. William C. Chittick,
Kosmologi Islam dan Dunia Modern; Relevansi Ilmu-ilmu Intelektualisme Islam,
terj. Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2010), 149-150.
70
dan benda-benda, merupakan isyarat demi terwujudnya sikap yang
ramah dan proporsional terhadap semua ciptaan (makhluk hidup).
Di antara nama-nam hewan dan tumbuhan yang dilansirnya adalah
surat al-Baqarah (sapi), al-An‘a>m (binatang), al-Fi>l (gajah), al-
‘A<diya>t (kuda), al-Naml (semut), al-Nah}l (lebah), al-Ankabu>t
(laba-laba), al-T{i>n (pohon tin), al-H{adi>t (barang tambang), al-
Dha>riya>t (angin), al-Najm (bintang), al-Fajr (fajar), al-Shams
(matahari), al-Layl (malam), al-Duh}a> (waktu duha), al-‘As}r (waktu
asar) dan lain-lain.54 Bahkan, al-Qur‘an sendiri mendeskripsikan
alam dan berbagai spesies dengan istilah ummah (komunitas),
layaknya manusia.55 Penegasan al-Qur‘an dan hadis tentang ke-
ummah-an (komunitas) makhluk hidup tersebut menunjukkan
bahwa Islam, melalui dua sumber utamanya, adalah agama yang
memberi perhatian dan penghormatan besar terhadap semua
makhluk hidup.56
Sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis di atas, konsep
h}ala>l dan h}ara>m dalam Islam merupakan standar kunci bagaimana
manusia memperlakukan alam (lingkungan)-nya. Segala sesuatu
yang baik, menguntungkan, menenteramkan hati, dan bermanfaat
bagi manusia dan ekosistem lainnya merupakan penjabaran makna
dari halal. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk, negatif, merusak
dan membahayakan merupakan sesuatu yang haram (dilarang).
Kedua konsep ini dipandang sejalan dengan segala upaya yang
berkaitan dengan penyelamatan lingkungan.
54
Qarad}a>wi>, Ri‘a>yah al-Bi>’ah fi> Shari>‘ah al-Isla>m, 53-55. 55
Ibrahim Ozdemir, ―Toward an Understanding of Environmental Ethics
from Qur‘anicPerspektive‖ dalam Research Seminar “Religion and Ecology”
(Yogyakarta: CRCS, August, 09-13, 2005), 23; Osman Bakar, Tauhid dan Sains:
Perspektif Islam tentang Agama & Sains, terj. Yuliani Liputo, Cet. ke-1
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), 160-161. 56
Penegasan al-Qur‘an dan Hadis terkait ke-ummah-an makhluk selain
manusia, seperti terlihat pada Qs. Al-An‘a>m [6]: 38. Hadis tentang: ―Semut
merupakan ummat dari ummat Tuhan‖ (HR. Muslim); ―Sekiranya anjing itu
bukan ummat, niscaya aku perintahkan untuk membunuhnya‖ (HR. Tirmi>dzi> dan
Nasa’i>).
71
Hairiyati menambahkan bahwa bencana banjir yang telah
merusak rumah, fasilitas-fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya
merupakan hilangnya rasa cinta, kearifan, dan moralitas manusia
lingkungan.57 Penyataan Hairiyati ini, jika dikorelasikan dengan
perspektif ekosofi/ekosufi Islam, maka manusia harus memandang
alam raya dengan penuh simpati, cinta, dan tanggung jawab. Alam
adalah sumber belajar dan kearifan, sarat makna simbolik, dan kaya
pesan spiritual.58 Di samping sebagai a>ya>t, para filosuf/sufi
meyakini bahwa alam merupakan tajalli>, atau teofani Tuhan.59
Merusak alam dianggap sama saja dengan merusak diri sendiri
bahkan Tuhan.60
Selanjutnya, Herlita Kusumawati mengemukakan bahwa
manusia tidak diperkenankan untuk bersifat kufur, angkuh, serakah,
dan perusak terhadap alam. Lebih jauh, Herlita menambahkan alam
sebagai makrokosmos yang seyogyanya harus dilindungi sebagai
perwujudan sifat rah}ma>n dan rah}i>m Allah.61 Argumen Herlita ini
selaras dengan pendapat Thoshihiko Izutsu, perbuatan merusak di
atas merupakan suatu bentuk kekufuran. Kufr berarti sikap ingkar,
abai, dan tertutup. Kufur terhadap alam berarti mengingkari
perintah Tuhan untuk menghormati alam sebagai tanda-tanda-Nya,
mengabaikan pemanfaatan alam atas dasar kebijaksanaan, dan
tertutup dari mengenal dan belajar dari alam.62 Kufur dalam
57Wawancara dengan Hairyati, warga masyarakat Kecamatan Manggar,
Kamis 26 Juli 2018. Pernyataan Hairiyati ini sebagai ungkapan atas korban
musibah bencara banjir di kabupaten Belitung Timur. 58
Nasr, The Encounter of Man and Nature, 94-97; Bakar, Tauhid dan
Sains, 149-162; J. Susanto, Spiritual Wisdom, 97. 59
Murata, The Tao of Islam, 32-33. 60
Di dalam al-Qur‘an, Tuhan mengancam orang-orang yang merusak
alam dan kehidupan di bumi. Qs. al-Baqarah [2]:60, 205; [7]:56, 85; al-Qas}as}
[28]:88; al-Shu‘ara>’ [26]:183.
61
Wawancara dengan Herlita Kusumawati, warga masyarakat
Kecamatan Manggar, Kamis 26 Juli 2018. 62
Kata kufr dalam al-Qur‘an oleh Izutsu diulasnya berdasar aspek
semantik dan filologis. Kufr merupakan lawan kata dari shukr dan i>ma>n, yang
sepadan dengan makna kata d}a>la, takdhi>b, istakbara, bagha> (tiran), dan shirk .
72
konteks ini dapat dikategori sebagai bentuk ―kufur ekologis‖, yaitu
perbuatan merusak, abai, dan tidak ramah terhadap alam
(lingkungan). Sedang sikap sebaliknya, menjaga, merawat,
menghormati, dan santun terhadap alam (lingkungan) dikatagori
sebagai ―iman ekologis‖.63 Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa menjaga alam, merawat, dan memakmurkannya merupakan
tindakan yang mengantarkan kepada iman yang sesungguhnya,
sebaliknya, merusak alam, mengeksploitasi, dan merendahkannya
merupakan sebuah pengingkaran terhadap perintah dan titah Tuhan.
Pengingkaran tersebut merupakan manifestasi dari kekufuran.
B. Solusi Banjir dalam Perpsektif Eko-Spiritual
Berdasarkan data tahun 2017, hutan di wilayah Bangka
Belitung cukup luas, yaitu sebesar 657.378,26 hektar. Namun hutan
yang luas ini mengalami kerusakan sebesar 41.769,55 hektar (6,35
%).64 Jika dilihat dari kerusakan hutan yang cukup besar ini, perlu
dilakukan berbagai solusi, di antaranya pengembangan kesadaran
pelestarian lingkungan hidup berbasis humanisme agama,65 legalias
perhutanan sosial,66 pendidikan lingkungan hidup dalam upaya
pelestarian fungsi hutan lindung,67 implementasi pelestarian
Thoshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, Cet. ke-1
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993), 143-170. 63
Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur‟an
(Jakarta: Paramadiana, 2001).
64
Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD)
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017, 20.
65
Abdul Karim, ―Mengembangkan Kesadaran Melestarikan Lingkungan
Hidup Berbasis Humanisme Pendidikan Agama‖, Edukasia: Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam, 12.2 (2018): 309-330.
66
Sigit Sapto Nugroho, "Legalitas Perhutanan Sosial: Sebuah Harapan
Menuju Kemakmuran Masyarakat Kawasan Hutan‖, Jurnal Yustisia Merdeka,
3.2 (2018).
67
Ferdinandus Samri, "Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Upaya
Pelestarian Fungsi Hutan Lindung‖, Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra
Bakti (2018): 254-267.
73
lingkungan hidup dalam bidang pidana terhadap illegal loging,68
termasuk dakwah penataan lingkungan69 atau dakwah ekologis.70
Dakwah ekologi sendiri bisa disebut sebagai dakwah untuk
mengajak dan mengingat manusia untuk menjaga kelestarian alam
dan lingkungan. Setiap Muslim – dan juga umat beragama lainnya
– perlu memahami arti penting lingkungan (ekologi). Allah
menegaskan dalam al-Qur‘an bahwa seorang Muslim perlu
mendakwahkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ekologi, yakni:71
1. Al-‘Ada>lah (adil), yang dapat diartikan keharusan berbuat secara
seimbang, tidak berlaku aniaya terhadap alam dan lingkungan
(Qs. al-An‘am: 38).
2. Al-Tawa>zun (seimbang), yakni harmoni dan stabilitas
kehidupan yang memerlukan keseimbangan (al-tawa>zun wa al-
i’tida>l) dan kelestarian di segala bidang.72
3. Al-Intifa’ wa la> al-Fasad (mengambil manfaat tanpa merusak),
yakni alam dan segala isinya dapat dimanfaatkan oleh manusia
68Wahyu Lukito, ―Implementasi Pelestarian Lingkungan Hidup dalam
Bidang Penegakan Hukum Pidana terhadap Kasus Illegal Logging (Studi Kasus
Polres Rembang)‖, Jurnal Hukum Khaira Ummah , 13.1 (2018): 153-160.
69
Siti Fatimatul Wafiroh, ―Pengembangan Masyarakat Melalui Program
Ecovillage dalam Pelestaraian Lingkungan Hidup: Studi Deskriptif di Desa
Langensari Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung‖, Disertasi, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, 2018.
70
Fachruddin M., dkk., Menanam sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan
Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).
71
Achmad Cholil, Al-Qur‟an dan Lingkungan Hidup (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), 54, 56, dan 57; Lihat juga Ichsan Habibi,
―Implementasi Nilai-Nilai Dakwah Ekologis dalam Program Pengembangan
Kampung Wisata Matras Kelurahan Sinar Baru Kabupaten Bangka‖, Jurnal
Mawa>„izh, Jurnal dakwah dan Sosial Kemanusiaan , Vol. 2, No. 2 (2017). 72
Al-tawazun dapat juga diartikan sebagai bentuk Allah SWT
menciptakan makhluk apa saja disesuaikan dengan kebutuhan makhluk-Nya.
Segala makhluk ciptaan Allah SWT, seperti air, udara, tumbuh-tumbuhan, dan
bahan tambang, tercipta atas dasar pertimbangan dan ukuran yang sangat akurat
dan teliti. Seolah-olah di sini Allah SWT memerlukan penelitian lebih dahulu
dengan menggunkan standar Hikmah Ilahiah sebelum mencipta. Lihat Hanafi
Ahmad, Al-Tafsir Al-„Ilmi Li Al-Ayat Al-Kauniyah fi Al-Qur‟an (Mesir: Dar
AMa‘rifat, tt.), 386.
74
tapi tidak boleh mengeksploitasinya hingga menimbulkan
kerusakan.
4. Al-Ri‘a>yah wa la> al-Israf (memelihara tanpa berlebihan), yakni
memelihara dan merawat alam dan lingkungan, tidak berlebihan
hingga merusak kelestariannya.
5. Al-Tahdith wa al-Istikhlaf, yakni kegiatan pembaruan terhadap
sumberdaya alam yang memungkinkan untuk diperbarui.
Allah menyediakan alam bagi manusia untuk dimanfaatkan
sebagai kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, pemanfaatan alam
harus senantiasa mempertimbangkan konsep keseimbangan, tidak
berlebihan, tidak mengeksploitasi alam, dan memperbarui alam
yang telah rusak.
Dalam pandangan Mukhlis, etika terhadap lingkungan
menjadi materi dakwah yang tepat mengingat maraknya kerusakan
lingkungan. Para penyuluh agama, da‘i, ustad, kiyai, tokoh agama,
dan tokoh masyarakat sebaiknya menyampaikan kepada
masyarakat (objek dakwah; mad‟u) bahwa Allah memerintahkan
manusia untuk melestarikan alam. Dakwah seperti ini disebut
sebagai dakwah ekologi, sebagai perwujudan dari da‟wah bi al-
ha>l.73 Metode dakwah seperti ini tentunya melibatkan tiga aktor,
yaitu masyarakat, komunitas, dan agen (pendakwah).74 Kegiatan
dakwah ekologis merupakan dakwah transformatif, yaitu kegiatan
dakwah yang dilakukan dari keprihatinan sosial menuju
kepentingan sosial.75 Formasi materi (ma>ddah) dakwah yang
berkesadaran sosial76 perlu dilakukan oleh para da‘i dalam bentuk
konkret, di ataranya turut serta memberikan bantuan harta (ma>l)
73Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kementerian Agama
Kabupaten Belitung Timur, Kamis 26 Juli 2018.
74
Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 378;
Vinna Wati Riski, ―Analisis Dakwah Ekologi Program Surabaya Green and
Clean‖, Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016, 6.
75
Deni Syahputra, ―Dakwah Transformatif (Studi Pemikiran Moeslim
Abdurrahman)‖. Disertasi, IAIN Raden Intan Lampung, 2017.
76
Wendi Parwanto dan Ridwan Rosdiawan, "Menggali Akar-Akar
Material (Maaddah) Dakwah Lingkungan‖, Al-Hikmah, 10.1 (2016).
75
untuk dana penghijauan, melarang pembalakan hutan, dan
membuat peraturan dan perundang-undangan yang ketat terhadap
perusakan ekologi (jika belum ada).
Dakwah ekologi juga dilakukan dengan kesadaran bahwa
dalam diri manusia terdapat nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual
ini menjadi daya dorong manusia untuk berhubungan dan
melestarikan ekologi. Pelestarian ekologi yang dilakukan oleh
sesorang didasarkan pada kehadiran Yang Mahahadir
(Omnipresent), sehingga alam perlu disapa dan dimanfaatkan
dengan santun dan bijaksana, tanpa berlebihan.77
77Irawan, ―Ekologi Spiritual: Solusi Krisis Lingkungan‖, Scientia,
Jurnal Hasil Penelitian, Vol. 2, No. 1 (2017): 1-21.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjelaskan eko-spiritual secara komprehensif pada
bab-bab sebelumnya, selanjutnya penelitian ini perlu disimpulkan
dan diberikan saran.
Pertama, pandangan Islam tentang ekologi-spiritual telah
dijelaskan dalam al-Qur‘an bahwa kehadiran manusia ke bumi
bukan untuk mendominasi alam. Islam mengajarkan manusia untuk
menjalin hubungan atas dasar konsep Ketuhanan, atau tri konsep
‗Tuhan, alam, dan manusia‘. Manusia adalah makhluk yang
diberikan akal dituntut untuk menghargai alam sebagai perwujudan
rasa syukur kepada Allah yang telah menitipkan kebutuhan
manusia melalui alam.
Kedua, pandangan masyarakat desa Lenggang tentang
ekologi spiritual dalam kaitannya dengan banjir dipahami secara
beragam. Namun, secara umum masyarakat di desa ini menyadari
pentingnya menjaga alam. Alam harus dilestarikan dan dijaga agar
tidak terjadi bencana banjir. Bencana banjir yang telah terjadi
bukan serta-merta takdir Tuhan, tetapi ada peran manusia yang
tidak menjaga alam.
Ketiga, solusi yang harus dilakukan agar banjir tidak terjadi
lagi dalam perpsektif eko-spiritual bagi masyarakat Desa Lenggang
Kecamatan Gantung di antaranya adalah kegiatan dakwah ekologi.
Dakwah ekologi adalah dakwah yang berorientasi pada seruan,
ajakan, dan tindakan merawat dan menjaga alam. Dakwah ekologi
berangkat dari keprihatinan sosial terhadap fenemona sosial, yaitu
fenomena rusaknya lingkungan. Materi (ma>ddah) dakwah ekologi
berisikan ayat-ayat dan hadis yang mewajibkan manusia untuk
menjaga alam.
77
B. Saran
Peneitian tentang ekologi spiritual ini bukan suatu
penelitian final. Oleh karena itu, penelitian serupa dapat
dikembangkan dan dikaji secara komprehensif agar bencana banjir
dan krisis lingkungan dapat ditangani dapat diatasi. Penelitian ini
juga diharapkan dapat dijadikan referensi untuk pengembangan
bagi pemerhati lingkungan, masyarakat, pemerintah, dan para
pembuat keputusan (decision makers) dalam mengkaji kerusakan
lingkungan.
78
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Bacaan dari Buku Abdillah, Mujiono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-
Qur‟an. Jakarta: Paramadiana, 2001. Abdul-Matin, Ibrahim. Green Deen: What Islam Teaches About
Protecting the Planet. San Francisco: Berrett-Koehler
Publishers, 2010. Adams, C. Ecofeminism and the Sacred. New York, Continuum
Publishing, 1993. Ahmad, Hanafi, Al-Tafsir Al-„Ilmi Li Al-Ayat Al-Kauniyah fi Al-
Qur‟an. Mesir: Dar AMa‘rifat, tt.
Al-Faruqi, Ismail R. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (2nd ed.). Herndon: International Institute of Islamic
Thought Al-Faruqi, 1992. Al-Ghaza>li>, The Jewels of the Qur‟an, Translation Abul Quasem.
Kuala Lumpur, Malaysia, 1977. Allaby, Michael. ―Preface‖, in Oxford Dictionary of Ecology.
Oxford: Oxford University Press, 2014. al-Qarad{a>wi>. Yu>suf. Ri‘a>yah al-Bi>’ah fi> Shari>‘ah al-Isla>m. Kairo:
Da>r al-Shuru>q, 2001. al-Ru>mi>, Jala>l al-Di>n. The Masnavi, Book One, Translated with an
Introduction and Notes By Jawid Mojaddedi. Oxford and New York: Oxford University Press, 2004.
al-S{afa>, Ikhwa>n Ikhwa>n al-S{afa>, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa> wa-Khulla>n al-Wafa>. T{ahra>n, Maktab al-I‘la>m al-Isla>mi>,
2000, Jilid III.
Asmanto, Eko. ―Eco-spirituality Values and Islamic Sustainable Development: Ethnographic Studies of Local Culture at Shrimp Farmers in Sidoarjo, East Java, Indonesia‖ in
Proceedings The ASEAN Community Conference 2015, Bangi, Malaysia, 11-12 November 2015.
Aziz, Mohammad Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004. Bakar, Osman. Environmental Wisdom for Planet Earth: The
Islamic Heritage. Kuala Lumpur: Center for Civilisational
Dialogue, University of Malaya, 2007.
79
Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama & Sains, terj. Yuliani Liputo, Cet. ke-1. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2008. Barnhill, David L. and Gottlieb, Roger S. Deep Ecology and World
Religions: New Essays on Sacred Ground. Albany: State University of New York Press, 2001.
Baxter, Brian. A Theory of Ecological Justice. London and New
York: Routledge, 2005. Berry, T. The Great Work: Our Way into the Future. New York,
Bell Tower, 1999. Chittick, William C. Ibn al-„Arabi‟s Metaphysics of Imagination:
The Sufi Path of Knowledge. Albany, New York: State
University of New York Press, 1989. Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-ilmu
Intelektualisme Islam, terj. Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2010.
Cholil, Achmad. Al-Qur‟an dan Lingkungan Hidup. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012. Coates, J. Ecology and Social Work: Toward a New Paradigm.
Halifax, Canada, Fernwood Press, 2003. Collin, P.H. Dictionary of Environment & Ecology, Fifth Edition.
London: Bloomsbury Publishing Plc, 2004.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2016) Data Tutupan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Bangka Belitung
Tahun 2015. Devall, B. and Sessions, G. Deep Ecology. Salt Lake City:
Peregrine Smith Books, 1985.
Dien, Mawil Izzi. ―Islamic Environmental Ethics, Law and Society‖, in Ethics of Environment and Development, J.R.
Engel and J.G. Engel, eds. London, Belhaven, 1990. Eber, W. ―Morphology in Modern Ecological Research‖, in
Modern Ecology: Basic and Appllied Aspects, G. Esser
and D. Overdieck, Eds. Amsterdam: Melsevier, 1991. Faruqi, Ismail Raji. Islam and Culture. Kuala Lumpur: Angkatan
Belia Islam Malaysia, 1980. Fletcher, Angus. A New Theory for American Poetry Democracy,
the Environment, and the Future of Imagination.
Cambridge: Harvard University Press, 2004.
80
Hancock, Rosemary. Islamic Environmentalism Activism in the United States and Great Britain. London and New York:
Routledge, 2018. Haught, Jhon F. Perjumpaan Sains dan Agama, dari konflik ke
Dialog, Terj. Fransiskus Borgias. Bandung: Mizan, 2004. Ibn ‘Arabi>. Al-Futu>ha>t al-Makkiyya. Beirut: Da>r Sa>dir, 1991.
Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun
2017. Iqbal, Sir Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in
Islam,. London: Oxpord University Press, 1934.
Izutsu, Thoshihiko. Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, Cet. ke-1. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1993. Kartanegara, Mulyadhi. Akar Religius, Memahami Hakikat Tuhan,
Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga, 2007.
Keraf, A. Sony. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2002. Khalid F. and O‘Brien, J., eds., Islam and Ecology. New York:
Cassell, 1992. Krebs, Charles J. ―Preface‖ in The Ecological World View.
Australia: CSIRO, 2008.
Manzoor, S. P. ―Environment and Values: An Islamic Perspective‖, in Ziaudin Sardar, ed., Touch of Midas Scientific Values
and the Environment in Islam and the West. Manchester: Manchester University, 1984.
M. Fachruddin, dkk. Menanam sebelum Kiamat: Islam, Ekologi,
dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
McFague, Sallie Super. Natural Christians: How We Should Love Nature. Minneapolis: Fortress Press, 1997.
Moore, Terry. ―Introduction: The Spiritual and Intellectual Journey
of Seyyed Hossein Nasr‖, in In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life and
Thought, Seyyed Hossein Nasr with Ramin Jahanbegloo. California: Praeger, 2010.
Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Jakarta:
Nuansa Cendekia, 2010.
81
MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA), Fatwa MUI Tentang
Pertambangan Ramah Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia, 2011.
Murata, Sachiko. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, Cet. ke-5. Bandung:
Mizan, 1998 Naess, A. Ecology, Community and Lifestyle, D. Rothenberg, trans.
and ed.. Cambridge, Cambridge University Press. Nasr, Seyyed Hossein. ―Islam, The Contemporary Islamic World
and the Environmental Crisis‖, in R. C. Foltz, F. M.
Denny and A. Baharuddin, Islam and Ecology: A Bestowed Trust. Massachussets: Harvard University Press,
2003. ―The Spiritual and Religious Dimensions of the
Environmental Crisis‖ in Seeing God Everywhere: Essays
on Nature and the Sacred, Barry McDonald, ed. Indiana: World Wisdom, 2003.
Antara Manusia Tuhan dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spritual, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Islamic Environmentalism in Theory and Practice,‖ in Worldviews, Religion and the Environment: A Global
Anthology, Richard C. Foltz, ed. Belmont, CA: Wadsworth Thomson, 2002.
Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997. Knowledge and The Sacred. Albany: State University of
New York Press, 1989. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.
London: Unwin, 1990.
Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press, 1996.
The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen and Unwin, 1968.
Ozdemir, Ibrahim. ―Toward an Understanding of Environmental
Ethics from Qur‘anic Perspektive‖ dalam Research
82
Seminar “Religion and Ecology”. Yogyakarta: CRCS, August, 09-13, 2005.
Park, Robert E. Human Communities. Glencoe, IL: The Free Press, 1952.
Peraturan Bupati Belitung Timur Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Timah Sistem Rajuk Menggunakan Alat Ponton Isap Produksi (PIP) Pada Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Darat di Wilayah Kabupaten Belitung Timur.
Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; Peraturan Bupati Belitung Timur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Peraturan Bupati Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2014.
Pickett, S. T. A. and White, P. S. The ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press, San Diego, CA., 1985.
Plant, J. Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism. Philadelphia, New Society, 1989.
Rappaport, Roy A. Ecology, Meaning, and Religion. California: North Atlantic Books, 1979.
Rasyid, Hatamar. Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog
Publik ―Bencana Bukan Takdir: Memetakan Potensi dan Ancaman di Bagka Belitung serta Strategi Penguatan
Sumber Daya‖ yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka
Belitung, 25 Mei 2015. Ruether, Rosemary Radford. Integrating Ecofeminism,
Globalization, and World Religions. Rowman and Littlefield Publisher, Maryland, 2005.
Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. London:
Routledge Classics, 2010. Said, Abdul Aziz and Funk, Nathan C. Peace in Islam: An Ecology
of Spirit‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust, Richard C. Foltz, Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, eds. Cambridge, MA: Center for the Study of
World Religions, Harvard Divinity School, 2003.
83
Santra, S. C. Ecology: Basic and Applied. New Delhi: M.D.
Publications, 1994. Sardar, Ziauddin. Islamic Futures. New York: Mensell, 1985.
Seidenberg, David Mevorach. Kabbalah and Ecology: God‟s Image in the More-Than-Human World. New York: Cambridge University Press, 2015.
Shaha>tah, ‘Abdulla>h. Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi> fi> al-H{ifa>z} ‘ala> al-Bi>’ah. Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1968.
Shariati, Ali. On the Sociology of Islam, Hamid Algar trans.
Berkeley: Mizan, 1979. Siddiq, Mohammad Yusuf. ―An Ecological Journey in Muslim
Bengal‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust. Richard
C. Foltz, Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, ed. Cambridge: Harvard Divinity School, Center for the Study
of World Religions, 2003. Sonn, T. ―Tawhid‖, in Oxford Encyclopaedia of the Modern
Islamic World. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Spretnak, C. The Resurgence of the Dead. Don Mills, Ontario, Addison-Wesley, 1997.
Spring, David and Spring, Eileen, eds. Ecology and Religion in History. New York: Harper and Row, 1974.
Sudaryoso, Satera. Etika Keseimbangan Kosmik Hubungan Alam
dan Manusia. Jakarta: Impressa, 2013. Thomas, Keith. Man and the Natural World; Changing Attitude in
England, 1500-1899. London: Allen Lane, 1983. Timm, Roger E. ―Dampak Ekologis Teologi Penciptaan Menurut
Islam‖ dalam Mary Evlyn Tucker dan Jhon A. Grim,
Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kanisius, 2003.
Vinna Wati Riski. Analisis Dakwah Ekologi Program Surabaya Green and Clean. Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Weeramantry, C. G. Islamic Jurisprudence: An International Perspective. New York: St. Martin. 1988.
Wilber, Ken. Sex, Ecology, Spirituality: The Spirit of Evolution, Second Edition. Boston and London: Shambhala, 2000.
Wilson, Edward O. Sociobiology: A New Synthesis. Cambridge:
Belknap, 1975.
84
Sumber Bacaan dari Jurnal Alexander, Richard D. ―The Evolution of Social Behavior‖. Annual
Review of Ecology and Systematics, 5 (1974): 325-383. Appolloni, Simon and Eaton, Heather. ―The Ecology of Religion:
Faith Leaders are Raising Sustainability Conserns‖. Alternatives Journal, CA, 42.1. (2016): 45.
Beyers, Jaco. ―What Does Religion Have To Say About Ecology?
A New Appraisal of Naturalism‖. Journal for the Study of Religions and Ideologies, Vol. 15, Issue 45 (Winter 2016):
96-119. Burkett, Paul. ―An Eco-Revolutionary Tipping Point?: Global
Warming, the Two Climate Denials, and the
Environmental Proletariat‖. Monthly Review, New York, 69.1 (May 2017): 1-19.
Chittick, William C. ―God Surrounds All Things: An Islamic Perspective on the Environment‖. The World And I, 1, 6 (1986): 671–678.
Coates, John, Gray, Mel, and Hetherington, Tiani. ―An ‗Ecospiritual‘ Perspective: Finally, A Place for Indigenous
Approaches‖. British Journal of Social Work , 36, (2006): 381–399.
Crowe, Jessica L. ―Transforming Environmental Attitudes and
Behaviours through Eco-spirituality and Religion‖. International Electronic Journal of Environmental
Education, Vol.3, Issue 1 (2013), 75-88. Davary, Bahar. ―Islam and Ecology: Southeast Asia, Adat, and the
Essence of Keramat‖. ASIAN Network Exchange, 20
(2012): 1–11. DeGeorge, Gail. ―Sacred Environment‖. National Catholic
Reporter, 53, 12 (March 24 – April 6, 2017): 5. Deevey, Edward S. ―The Human Population‖. Scientific American,
203 (September 1960): 195-204.
Dien, Mawil Izzi. ―Islam and the Environment: Theory and Practice‖. Journal of Beliefs & Values, Vol. 18, No. 1
(1997): 48. Duncan, Graham. ―Celtic Spirituality and Contemporary
Environmental Issues‖. Theological Studies, 71, 3 (2015):
1-10.
85
Environmental Impact of Property Development‖. HTS Teologiese
Studies/Theological Studies, 72, 3 (2016): 1-8. Evelyn, G. ―Hutchinson, Natural Selection, Social Organizations,
Hairlessness and the Australopithecine Canine‖. Evolution 17 (1963): 588-589.
Ewing, Jeffrey A. ― Hollow Ecology: Ecological Modernization
Theory and the Death of Nature‖. Journal of World-Systems Research, Vol. 23, Issue 1 (2017): 126-155.
Foster, John Bellamy and Clark, Brett. ―Rachel Ecological Critique‖. Monthly Review, 59, 9 (February 2008): 1-17.
Habibi, Ichsan. ―Implementasi Nilai-Nilai Dakwah Ekologis dalam
Program Pengembangan Kampung Wisata Matras Kelurahan Sinar Baru Kabupaten Bangka‖. Jurnal Mawa>‘izh, Jurnal dakwah dan Sosial Kemanusiaan, Vol.
2, No. 2 (2017). Hattingh, J. P. ―Towards a Shared Ethics of Global Climate
Change: Ethics‖. Current Allergy and Clinical
Immunology 24, 2 (2011): 91–96. Hope, Marjorie and Young, James. ―Islam and ecology‖. Cross
Currents, 44, 2 (Summer 1994): 180. Hrynkow, Christopher and Westlund, Stephanie. ―Wisdom
Traditions, Peace and Ecology: Mapping Some
Wellsprings of Integral Connectivity‖. Journal for the Study of Peace and Conflict (2015): 40.
Idris, J. S. ―Is man the Vicegerent of God?‖. Journal of Islamic Studies, 1 (1990): 99–110.
Interview. A Religious Nature: Philosopher Seyyed Hossein Nasr
on Islam and the Environment, Bulletin of the Atomic Scientists, 2015, Vol. 71, 5 (2015): 13–18.
Irawan. ―Ekologi Spiritual: Solusi Krisis Lingkungan‖. Scientia, Jurnal Hasil Penelitian, Vol. 2, No. 1 (2017): 1-21.
Isa, Noor Munirah and Man, Saadan. ‗‗First Things First‘‘:
Application of Islamic Principles of Priority in the Ethical Assessment of Genetically Modified Foods‖. Journal of
Agricutural and Environmental Ethics, Vol. 27, Issue 5 (2014): 857-870.
Johnston, David L. ―Intra-Muslim Debates on Ecology: Is Shari‘a
Still Relevant?‖. Worldviews 16 (2012): 218–238.
86
Jr., White, Lynn. ―The Historical Roots of Our Ecologic Crisis‖. Science, 155.3767 (1967): 1203-1207.
Karim, Abdul. ―Mengembangkan Kesadaran Melestarikan Lingkungan Hidup Berbasis Humanisme Pendidikan Agama‖. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam,
12.2 (2018): 309-330. Khalid, Fazlun. ―Guardians of the Natural Order‖. Our Planet, 8, 2
(1996): 18–25. Leff, Enrique. ―Power-Knowledge Relations in The Field of
Political Ecology‖. Ambiente and Sociedade, São Paulo,
Vol. XX (July 2017): 226. Lincoln, Valerie. ―Ecospirituality: A pattern that Connects‖.
Journal of Holistic Nursing 18.3 (2000): 227-244. Lukito, Wahyu. ―Implementasi Pelestarian Lingkungan Hidup
dalam Bidang Penegakan Hukum Pidana terhadap Kasus
Illegal Logging (Studi Kasus Polres Rembang)‖. Jurnal Hukum Khaira Ummah, 13.1 (2018): 153-160.
McElroy-Heltzel, Stacey E. ―The Role of Spiritual Fortitude and Positive Religious Coping in Meaning in Life and Spiritual Well-Being Following Hurricane Matthew‖.
Journal of Psychology and Christianity, Vol. 37, No.1 (2018): 17-27.
McKay, Jeanne E. ―Practise What You Preach: A Faith-Based Approach to Conservation in Indonesia‖. Fauna & Flora International, Oryx, 48, 1 (2013): 23–29
Merchant, Carolyn. ―Spiritual Ecology‖, in Radical Ecology: The Search for a Livable World, 2nd ed. New York:
Routledge, 2005. Naess, A. ―A Defence of the deep ecology movement‖.
Environmental Ethics, 6, 3 (1984): 265–270.
Nasr, Seyyed Hossein. Review of The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, by Dale
Riepe. Journal of the American Oriental Society, Vol. 89, No. 1 (January – March 1969): 301-302.
Nomanul Haq, S. ―Islam and Ecology: Toward Retrieval and
Reconstruction‖. Daedalus, 130, 4 (Fall 2001): 141.
87
Nugroho, Sigit Sapto. ―Legalitas Perhutanan Sosial: Sebuah Harapan Menuju Kemakmuran Masyarakat Kawasan
Hutan‖. Jurnal Yustisia Merdeka, 3.2 (2018). Parwanto, Wendi dan Rosdiawan, Ridwan. ―Menggali Akar-Akar
Material (Maaddah) Dakwah Lingkungan‖, Al-Hikmah, 10.1 (2016).
Reuter, Thomas A. ―The Green Revolution in the World‘s
Religions: Indonesian Examples in International Comparison‖. Religions, 6 (2015): 1219-1223.
Samri, Ferdinandus. ―Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Upaya Pelestarian Fungsi Hutan Lindung‖. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti (2018): 254-267.
Saniotis, Arthur. ―Reflections on Tawhid (Divine Unity): Islam and Ecology‖. Interface: Biodiversity & Ecology: An
Interdisciplinary Challenge, 7, 1 (2004): 101–108. ―Muslims and Ecology: Fostering Islamic Environmental
Ethics‖. Cont Islam, 6 (2012): 155–171.
Seidenberg, David Mevorach. Review of Kabbalah and Ecology: God‟s Image in The More-Than-Human World, by Arthur
Green, Winter 2017: 58. ―Being Here Now: This Creation is the Divine Image:
Response to Arthur Green‘s Review of Kabbalah and
Ecology: God‘s Image in the More-Than-Human World”. Tikkun (Winter 2017): 63.
Setia, Adi. ―The Inner Dimension of Going-Green: Articulating and Islamic Green-Ecology‖. Islam and Science, 5, 2 (2007): 117–150.
Setiawan, Dian, Ridho Nurrochmat, Dodik, dan Kuncahyo, Budi. ―Model Keberterimaan Kebijakan Penggunaan Kawasan
Hutan di Kepulauan Bangka Belitung (Acceptability Model Of The Use Of Forest Area Policy In Bangka Belitung)‖. Media Konservasi, Vol. 23 No. 1 (April 2018):
66. Sipon, Sapora and Others. ―Spirituality among Flood Victims: A
Comparison between Two States‖. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 185 (2015): 357-360.
Sponsel, Leslie E. ―Do Anthropologists Need Religion, and Vice
Versa? Adventures and Dangers in Spiritual Ecology‖.
88
New Directions in Anthropology and Environment:
Intersections (2001): 177-200. “Spiritual Ecology: Is It the Ultimate Solution for the
Environmental Crisis?‖. Choice (April 2014): 1339. ―Summary Article Religion and Environment Exploring
Spiritual Ecology‖. Religion and Society: Advances in
Research, 1 (2010): 131–145. Stoll, Mark. ―Review Essay: The Quest for Green Religion‖.
Religion and American Culture: A Journal of Interpretation, 22.2 (2012): 265-274.
Syafur, M. ―Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam
Islam‖. MEDIAGRO: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, 4 (2008): 44.
Tetreault, Darcy. ―Three Forms of Political Ecology‖. Ethics & The Environment, 22, No. 2 (2017): 1–23.
Victoria, L., Holly, A., and Dominic, U. ―The Psychological
Impact of Exposure to Floods. Psychology, Health & Medicine, 15, 1 (2010): 61-73.
Wagenaar, Norman and Others. ―In the spirit of the Earth (Cross-Section of Views from Five Spiritual Communities on the Relationship between Humans and the Earth)‖.
Earthkeeper (December 1994): 10-13. Wersal, L. ―Islam and Environmental Ethics: Tradition Responds to
Contemporary Challenges‖. Zygon, 30, 3. (1995): 451–459.
Zaidi, I. H. ―On the Ethics of Man‘s Interaction with the
Environment: An Islamic Approach‖. Environmental Ethics, 3, 1 (1981): 35-47.
Zolcer, Štefan. ―The Possibility of Applying Whitehead‘s Philosophy‖. Human Affairs, Vol. 26 (2016): 450–461.
Sumber Bacaan dari Disertasi
Gassing, A. Qadir. ―Perspektif Hukum Islam tentang Lingkungan
Hidup‖. Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Irawan. ―Diskursus Pluralisme Agama dan Relevansinya dalam
Konteks Kehidupan Beragama di Indonesia‖. Disertasi,
89
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Johnston, Lucas Fiegener. ―The Religious Dimensions of Sustainability‖. Dissertation, University of Florida, 2009.
Mevorach, Ian. ―In Search of A Christian-Muslim Common Path from Desacralization to Resacralization of Nature: Sallie Mcfague and Seyyed Hossein Nasr on The Ecological
Crisis‖. Dissertation, Boston University School of Theology, 2015.
Riski, Vinna Wati. ―Analisis Dakwah Ekologi Program Surabaya Green and Clean‖. Disertasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Shiota, Hiroko. ―Cosmogenesis, Shinto, Tantra: Embodying The New Universe Story‖. Dissertation, California Institute of
Integral Studies San Francisco, CA, 2014. Syahputra, Deni. ―Dakwah Transformatif (Studi Pemikiran
Moeslim Abdurrahman). Disertasi, IAIN Raden Intan
Lampung, 2017. Wafiroh, Siti Fatimatul. ―Pengembangan Masyarakat Melalui
Program Ecovillage dalam Pelestaraian Lingkungan Hidup: Studi Deskriptif di Desa Langensari Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung‖. Disertasi, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2018. Wegmann, Regula. ―Eco-Sophie: Thinking and Knowing in
Dynamic Harmony with the Ways of Nature‖. Dissertation, California Institute of Integral Studies, San Francisco, C A, 2008.
Sumber Bacaan dari Koran
Armstrong, Chelsey Geralda and Others. ―Anthropological Contributions to Historical Ecology: 50 Questions, Infinite Prospects‖. PLOS ONE, February 24, 2017.
Eco-Islam Movement Sees Light in Europe. Daily News Egypt, Cairo, 22 May 2009.
Hasanov, Huseyn. ―Turkmenistan Hosting Seminar on Caspian Sea Issues‖. Trend News, English; Baku 08 March 2017.
Kahera, Najma. ―Color Me Green‖. Atlanta, 5, 1 (April 2008): 35-
41.
90
Prophet: An Environmental Pioneer. The Peninsula, Doha, 7
December 2012. Public Inspectors Engage in Environmental Protection. Uzbekistan
National News Agency (UzA), English ed.; Tashkent 09 Feb 2017.
The Jakarta Post, 2011.
Sumber Bacaan dari Internet
http://Www.Muarababel .Com/Muara- Detail/ Tahun- Ini-Banjir-Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-Benar. Html, Diakses 22 September 2017.
http://Www.Muarababel.Com/ Muara- Detail/ Tahun-Ini -Banjir-Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-
Benar.Html. https://www.voaindonesia.com/a/ banjir- landa- belitung- banyak-
buaya-masuk-kampung/3946521.html, Diakses 25
September 2017. http://Www.Muarababel.Com/ Muara-Detail/ Tahun- Ini-Banjir-
Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa- Benar.Html.
Éric Geoffroy, Human Conscience and ―Cosmism‖ of Islam, http://
www.Qscience.com/doi/pdf/10.5339/rels.2012.environment.14. Diakses 17 Agustus 2018.
http://visitbangkabelitung.com/content/ desa-lenggang. Diakses 6 Agustus 2018.
https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/.
Diakses 6 Agustus 2018. https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=4625. Diakses 6 Agustus
2018. https:// www. indonesiakaya. com/jelajah – indonesia /detail/
bendungan- pice- bendungan-bersejarah- di-kota- gantong.
Diakses 6 Agustus 2018 https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/.
Diakses 6 Agustus 2018. https://www.liputan6.com/ news/read/3027522/4000-lebih-rumah-
di-belitung-timur-masih-terendam-banjir, Diakses 22 Juli
2018.
91
https://primaedika. wordpress.com/ 2016/01/25 /mengenal-kerusakan-lingkungan-di-daerah-bangka-belitung/.
Diakses 23 September 2017. http://bangka.tribunnews.com/2017/07/20/kampung- ini-paling-
parah-diterjang-banjir-rumah-warga-porak-poranda,
Diakses 25 Juli 2018. https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=6827, Diakses 25
September 2017. http://bangka.tribunnews.com/ 2017/07/17/4000- warga –beltim -
terdampak-banjir-kecamatan-gantung-paling-parah,
Diakses 25 September 2017.
Wawancara
Wawancara dengan Camat Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.
Wawancara dengan Genda Pratisiawan Kasi Pemerintahan Desa Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung
Timur, Rabu 25 Juli 2018. Wawancara dengan Hairyati, warga masyarakat Kecamatan
Manggar, Kamis 26 Juli 2018.
Wawancara dengan Herlita Kusumawati, warga masyarakat Kecamatan Manggar, Kamis 26 Juli 2018.
Wawancara dengan Indra Saputra, Kepala Dusun Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur tanggal 25 Juli 2018.
Wawancara dengan Kepala Dusun Canggu, Idris, Rabu 25 Juli 2018.
Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.
Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kementerian
Agama Kabupaten Belitung Timur, Kamis 26 Juli 2018. Wawancara dengan Rengga Pradana Kaur Umum dan Tata Usaha
Desa Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.
Wawancara dengan Teguh Firmadona, Kepala Dusun Teratai Desa
Lenggang, Rabu 25 Juli 2018.
92
Wawancara dengan Toni, Kepala Dusun Jaya (RT 1 sampai RT 7) Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung
Timur tanggal 25 Juli 2018. Wawancara dengan Uri Khatansah, Tokoh Pemuda di Kecamatan
Gantung, Rabu, 26 Juli 2018. Observasi
Observasi lapangan, Selasa – Jum‘at (24 - 27 Juli 2018)
Dokumentasi
Dokumentasi Desa Lenggang 2018.
94
GLOSARIUM
Dakwah ekologi Dakwah yang berorientasi pada seruan, ajakan, dan tindakan merawat
dan menjaga alam. Dakwah ekologi berangkat dari keprihatinan sosial terhadap fenemona sosial, yaitu
fenomena rusaknya lingkungan. Ekologi spiritual Kajian intelektual yang dinamis dan
kegiatan praktis yang luas, berbeda, dan kompleks – antara agama dan spiritualitas dengan ekologi,
lingkungan, dan environtalisme. Al-‘Ada>lah Al-‘Ada>lah (adil) dalam hubungan
dengan alam dapat diartikan keharusan berbuat secara seimbang, tidak berlaku
aniaya terhadap alam dan lingkungan. Al-Tawa>zun Al-Tawa>zun (seimbang) dalam istilah
ekologi Harmoni dan stabilitas kehidupan yang memerlukan
keseimbangan (al-tawa>zun wa al-i’tida>l) dan kelestarian di segala
bidang. Al-Intifa‟ wa la> al-Fasad Dalam istilah ekologi, Al-Intifa’ wa la>
al-Fasad (mengambil manfaat tanpa
merusak), yakni alam dan segala isinya dapat dimanfaatkan oleh manusia tapi tidak boleh
mengeksploitasinya hingga menimbulkan kerusakan.
Al-Riayah wa la> al-Israf Al-Riayah wa la> al-Israf (memelihara tanpa berlebihan), yakni memelihara
dan merawat alam dan lingkungan, tidak berlebihan hingga merusak
kelestariannya. Al-Tahdith wa al-Istikhlaf
Kegiatan pembaruan terhadap sumberdaya alam yang
memungkinkan untuk diperbarui. Kufur ekologis Perbuatan merusak, abai, dan tidak
95
ramah terhadap alam (lingkungan)
Iman ekologis Sikap menjaga, merawat, menghormati, dan santun terhadap alam (lingkungan).
Green Deen Suatu istilah yang digunakan Ibrahim Abdul-Matin bahwa Tuhan telah
menciptakan segala sesuatu secara berimbang (balance; mi>za>n). Dalam
hal ini, manusia diciptakan untuk hidup berdampingan dengan bumi, sedangkan mengganggu keseimbangan
ini merupakan bentuk kezoliman.
96
INDEKS
A a>khirah, ix, 78
a>yat, 24, 27
akhi>rah, 23 al-h}aqq, 74
al-Qur ‘an, 22
ama>nah, ix, 23, 28, 32, 53 B
Belitung Timur, vii, ix, xi,
xiv, 15, 16, 17, 18, 30, 35, 36, 37, 38, 59, 60, 61, 64,
65, 66, 67, 71, 79, 80, 83,
86, 95, 104, 105, 120 D
deep ecology, 22, 46, 48, 99
Deep Ecology, 22, 41, 46, 48,
92 desa Lenggang, 62, 89
Desa Lenggang, 30, 31, 36,
38, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 67, 89, 104, 105, 116,
120
E eco-fiqh, 74
eco-shari>‘ah, 74
eco-us}u>l fiqh, 74 ekosopi, 74
ekosufisme, 74
ekoteologi, 20, 43, 74 environmental education, 48
F
fit}rah, 24 G
Green Deen, 23, 28, 29, 32,
33, 50, 53, 91, 107
H h}adi>th, 22, 37, 52
Hatamar Rasyid, 66
I Ibrahim Abdul-Matin, 23, 29,
50, 107
Ichsan Habibi, 1, viii, xi, 85, 113
Irawan, 1, viii, xi, 26, 87, 98,
101, 112, 113 J
Jessica L. Crowe, 48, 49
K Kecamatan Gantung, ix, xi,
30, 31, 35, 36, 37, 38, 59,
60, 61, 64, 65, 66, 67, 69,
71, 89, 104, 105, 116, 120 Khairil Anwar, vii, 67
khali>fah, ix, 23, 27, 28, 29,
52, 53, 71, 75 Kita>b al-Tadwi>ni, 81
Kita>b al-Tadwi>ni>, 81
Kita>b al-Takwi>ni>, 81 krisis lingkungan, 20, 31, 43,
44, 73, 90
L Lynn White Jr., 19, 43, 48
M
ma>ddah, 86, 89 mi>za>n, 23, 29, 107
O
organic unity, 22 Q
qadr, 74
S Satera Sudaryoso, 72
97
Seyyed Hossein Nasr, 19, 20,
21, 22, 28, 31, 32, 36, 44, 73, 75, 81, 93, 98, 102
sunnatulla>h, 74
super-organism, 22 T
Tasawuf, 112, 113
tashabbuh bi-al-ilah, 72
tawh}i>d, ix, 23, 24, 25, 27, 28,
52, 68 The image of God, 50
U
ummah, 27, 82 Y
yin dan yang, 75
Yu>suf Qarad}a>wi, 73
98
BIODATA PENULIS
Dr. Irawan, M.S.I lahir di Air Kuang, Kabupaten Bangka (sekarang Kabupaten
Bangka Barat), pada hari Sabtu, 27 Mei 1972 M atau 13 Rabiul Akhir 1392 H. Penulis lahir dari pasangan Syamsudin bin
Tuhir dan Adjisah binti Kasiman (almarhumah) sebagai anak pertama dari
enam bersaudara. Setelah menikah dengan Arnila, S.Ag pada 1 Maret 1998, penulis dikarunia anak perempuan, Rara Syifa dan Nadhofa Afla
Izdihariyah. Pendidikan formal yang telah ditempuhnya adalah SD
UPTB Jebus (1995), SMP Negeri Jebus (1998), Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Nurul Ihsan Baturusa Bangka (1991), S1 IAIN Raden Fatah Palembang (Jurusan Dakwah) 1996, S2 UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (Konsentrasi Filsafat Islam) 2009, dan S3 (Konsentrasi Pemikiran Islam) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam bidang akademis, penulis telah melakukan berbagai penelitian dan menulis karya ilmiah baik yang berbentuk jurnal maupun buku. Dalam bidang penelitian, di antaranya: Keberadaan
Tasawuf pada Era Globalisasi dalam Usaha Meningkatkan Akhlak Manusia (Skripsi S1 1996), Islam Puritan dalam Pandangan Khaled
M. Abou El Fadl (Tesis S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009), Peranan Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Pengembangan Dakwah di Bangka (Penelitian Kolektif STAIN Syaikh
Abdurrahman Siddik Bangka Belitung 2006), Pemetaan Potensi Lembaga Dakwah di Bangka Belitung (Penelitian Kolektif STAIN
Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung 2007), Dakwah Tarekat Tijaniah Pondok Pesantren Darul Muttaqien At-Tijani Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka
(Penelitian Individual STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik 2010), Signifikansi Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Ruang
Publik: Studi Analisis Pemikiran Gender Siti Musdah Mulia (Penelitian Kelompok STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik 2012), Tasawuf Syekh Abdurrahman Siddiq dalam Mengatasi Krisis
Kerohanian Manusia Modern (Penelitian Individual STAIN Syaikh
99
Abdurrahman Siddik 2013), dan Diskursus Pluralisme Agama dan Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Beragama di Indonesia (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
Dalam bidang jurnal, antara lain: Transformasi Tasawuf dalam Kehidupan, TAWSHIYAH, Jurnal Studi Sosial Keagamaan
dan Pendidikan Islam STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Vol. 3, No. 1, 2008, Muslim Progresif: Sebuah Genre
Baru dalam Islam, Mawa>’izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan
Sosial Kemanusiaan, Vol. I, No. 1, 2011, Pandangan Islam tentang
Kependudukan dan Keluarga Berencana, Mawa>’izh: Jurnal
Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. I, No. 2, 2011, dan Guru, Orangtua, dan Kecerdasan Anak, Jurnal
TARBAWI STAI Al-Fitrah, Surabaya, Edisi 7, Vol. 1, 2014. Penulis juga menulis buku-buku, antara lain: HAM dan
Syariah (Analisis Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl dalam ―Pernak-Pernik Wacana Baru Islam‖ (2010) dan Peran Tasawuf dalam Meredam konflik SARA pada Era Reformasi di Indonesia
(Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, FORDIS STAIN SAS Babel 2011).
Ichsan Habibi, MA, Hum lahir di Pangkalpinang pada hari Rabu, 4 Februari
1987 M (5 Jumadil Akhir 1407 H), anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan H.
M. Effendi dan Hj. Soraya. Penulis mengawali pendidikannya di SDN 33 Baturusa Bangka dan tamat pada tahun 1999.
Kemudian, pada tahun yang sama (2002) penulis meneruskan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan sarjana pada Jurusan Dakwah STAIN Syaikh
Abdurrahman Siddik Bangka Belitung dan tamat pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulus pada tahun 2014. Penulis juga aktif menulis, di antaranya Konsep Dakwah
Muhammad Fethullah Gulen (Tesis), Implementasi Nilai-Nilai
100
Dakwah Ekologis dalam Program Pengembangan Kampung Wisata Matras Kelurahan Sinar Baru Kabupaten Bangka (Jurnal Mawa>‘izh
IAIN SAS Babel), dan masih ada beberapa tulisan lainnya.
101
LAMPIRAN
Foto-Foto Pasca Banjir di Desa Lenggang
Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Tahun 2017
103
Dialog Tentang Banjir Antara Peneliti Dengan Penyuluh
Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur, Perangkat Desa,
dan Para Kadus Desa Lenggang Kecamatan Gantung Belitung Timur
Rabu, 25 Juli 2018
Allah menciptakan alam semesta diperuntukkan
kepada manusia dan makhluk lainnya untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari. Selain memanfaatkan hasil alam‚
penciptaan alam sebagai bukti kebesaran-Nya agar
manusia dan seluruh makhluk bersyukur dan beriman.
Namun‚ akibat ulah tangan manusia – yang
mengelola alam secara tidak bijaksana – alam menjadi
rusak. Pembukaan lahan untuk pertanian dan
pertambahangan telah menyebabkan banjir‚ khususnya di
wilayah Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten
Belitung Timur.
Bumi atau lingkungan (al-ard}) yang telah
mengalami pengrusakan (al-ifsa>d) harus dilakukan
pelestarian (al-is}la>h}). Konsep khali>fatullah fi al-ard} harus
dimaknai bahwa manusia sebagai wakil Allah di bumi ini
mampu memakmurkan bumi yang selaras dengan sifat-
sifat dan prilaku-Nya‚ yaitu Maha Pencipta dan Maha
Pemelihara lingkungan (Qs.al-An‘am/6:102). Doktrin
Islam mengajarkan manusia untuk beretika kepada
lingkungan, yang tertuang di dalam konsep tawh}i>d,
khali>fah, akhi>rah, ama>nah, adl, dan mi>za>n.