EKO - IAIN SAS BABEL

120
EKO Studi Kasus PASCA BANJIR MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG KABUPATEN BELITUNG TIMUR Dr. Irawan, M.S.I Ichsan Habibi, M.A. Hum

Transcript of EKO - IAIN SAS BABEL

EKOStudi Kasus PASCA BANJIR

MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG

KABUPATEN BELITUNG TIMUR

Dr. Irawan, M.S.I Ichsan Habibi, M.A. Hum

Dr. Irawan, M.S.I

Ichsan Habibi, M.A. Hum

EKO

Studi Kasus PASCA BANJIR

MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG

KABUPATEN BELITUNG TIMUR

iv

Irawan dan Ichsan Habibi EKO-SPIRITUAL (Studi Kasus Pasca Banjir Masyarakat Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur)

Editor: Arnila, S.Ag Desain Cover: Tim Noerfikri

Layout: Rara Syifa Izdihariyah

Penerbit Shiddiq Press Head Office‚ Jl. Mentok Km. 13 Desa Petaling Banjar,

Mendo Barat - Bangka, website: http://shiddiqpress.com E-mail: [email protected]

xiv, 104 hlm; 15‚5 x 23 cm Cet. 1. Desember 2019

ISBN 978-623-90136-5-3 1. EKO-SPIRITUAL --- Tasawuf. I. judul

I. Pemikiran Islam

v

Buku ini kami persembahkan

kepada orangtua dan guru-guru kami

vi

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Buku ini tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada:

Pertama, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama

Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana atas

terselenggaranya penelitian ini.

Kedua, Rektor IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka

Belitung yang telah memberikan dukungan berupa perizinan

penelitian.

Ketiga, Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat (P3M)‚ sekarang berganti nama Lembaga Penelitian

dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M)‚ IAIN Syaikh

Abdurrahman Siddik Bangka Belitung yang telah memberikan

dukungan administratif sehingga penelitian ini berjalan lancar.

Keempat, seluruh sivitas akademika IAIN Syaikh

Abdurrahhman Siddik Bangka Belitung yang turut membantu

berbagai aktivitas yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

Kelima, Camat Gantung, Khairil Anwar, yang telah

membantu memberikan data dan dukungan atas penelitian ini.

Keenam, Perangkat Desa Lenggang: Evo Lesmana (Kepala

Desa), Suparta (Sekretaris Desa), Genda Pratisiawan (Kasi

Pemerintahan), Aldi Gandari Elpizan (Kasi Pelayanan), Eko

Maulana (Kasi Pembangunan), Rengga Pradana (Kaur Umum dan

Tata Usaha), Eka Yuniarti (Kaur Keuangan), dan Puspa Vashanti

(Kaur Perencanaan).

Ketujuh, para Kepala Dusun: Toni (Kadus Dusun Jaya),

Idris (Kadus Canggu), Indra Saputra (Kadus Lenggang), dan Teguh

Firmadona (Kadus Teratai).

Terakhir, Mifta Suhni (Wakil Ketua MUI Belitung Timur),

Muhklisul Fatih (Penyuluh Kementerian Agama Belitung Timur),

Uri Khatansah (Tokoh Pemuda Belitung Timur), Hairiyati, Herlita

Kusumawati, dan seluruh masyarakat Desa Lenggang.

viii

Semoga kebaikan dan keikhlasan dari berbagai pihak yang

telah turut serta dalam penyelesaian penelitian ini dibalas oleh

pahala oleh Allah Swt.

Tentunya, penelitian ini masih dijumpai kekurangan. Oleh

karenanya, kritikan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari

semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Bangka‚ Desember 2019

Penulis

Irawan dan Ichsan Habibi

ix

KATA SAMBUTAN

Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi adalah

sebagai khali>fah‚ yang salah satu tanggunggung jawabnya adalah

melestarikan alam dan lingkungan. Alam dan manusia sama-sama

makhluk ciptaaan Tuhan. Alam memberikan manfaat cukup besar

bagi kelangsungan hidup manusia. Alam dan seisinya

menghasilkan berbagai jenis flora dan fauna untuk kebutuhan

sehari-hari‚ seperti makan dan minum. Alam juga menjadi sarana

transportasi‚ lahan pertanian‚ tempat peternakan‚ tempat rekreasi‚

dan sebagainya. Dengan demikian‚ manusia sepantasnya berterima

kasih kepada Tuhan yang menjadikan alam untuk kebutuhan

manusia.

Namun‚ alam terkadang tidak disapa dan diperlakukan

secara santun oleh manusia. Akibatnya‚ alam menjadi rusak dan

menyebabkan tanah longsor‚ banjir‚ dan dan bencana alam lainnya.

Salah satu bukti nyata terjadinya banjir di Desa Lenggang

Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur pada tahun

pertengahan Juli 2017. Melalui penjelasan yang sangat

komprehensif dan edukatif‚ buku ini memaparkan penyebab

terjadinya banjir di daerah ini dan solusi yang harus dilakukan agar

banjir tidak terulang kembali. Buku ini juga menjelaskan

pentingnya manusia merawat alam dengan konsep tawh}i>d‚

ama>nah‚ dan a>khirah.

Konsep tawh}i>d merupakan prinsip dasar yang melandasi

sikap dan perbuatan manusia dalam kaitannya antara manusia

dengan Penciptanya (h}abl ma‘a Kha>liqih), manusia dengan

sesamanya (h}abl min al-na>s), dan manusia terhadap makhluk hidup

lainnya (h}abl ma‘a ghairih).

Sikap ama>nah berarti bertanggung jawab untuk merawat

planet bumi, menjaganya, dan melihatnya sebagai ―status

pinjaman‖ dari Sang Pencipta. Manusia telah diberi ―pinjaman‖

untuk hidup di bumi, oleh karena itu ketika manusia meninggalkan

bumi harus dalam kondisi yang lebih baik daripada ketika

x

menemukannya. Islam mengajarkan penganutnya agar

meninggalkan bumi dalam kondisi baik

Konsep A<<<<<<<khirah (Akhirat) menunjukkan bahwa manusia

tidak hanya diutus Allah sebagai khalifah di bumi, tetapi juga akan

bertanggung jawab di akhirat atas kesesatannya.

Akhirnya‚ buku ini memang sepantasnya dibaca dan

dijadikan referensi terutama dalam memahami alam dari aspek

spiritual. Amin.

Bangka‚ Desember 2019

Rektor IAIN SAS Babel

Dr. Zayadi‚ M.Ag

xi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas rahmat Allah SWT yang

telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis

sehingga buku ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW‚ nabi yang telah

mengajarkan pengetahuan kepada kita semua. Amin.

Buku ini merupakan hasil penelitian yang berjudul Eko-

Spiritual (Studi Kasus Pasca Banjir Masyarakat Desa Lenggang

Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur) tahun 2018.

Penulisan buku ini dilakukan karena dilatarbelakangi terjadinya

banjir di pulau Belitung yang meluhlantahkan rumah, jalan raya,

fasilitas umum, dan berbagai infrastruktur lainnya, khususnya di

Desa Lenggang. Salah satu penyebab terjadinya banjir di desa

Laskar Pelangi ini adalah rusaknya lingkungan. Kerusakan

lingkungan yang menjadi sorotan penelitian ini adalah kurangnya

nilai-niai spiritual pada diri sebagian masyarakat di daerah ini.

Tentunya, buku ini masih dijumpai banyak kekurangan.

Oleh karenanya, kritikan yang bersifat konstruktif sangat

diharapkan dari semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat

bagi kita semua. Amin.

Bangka‚ Desember 2019

Penulis

Irawan dan Ichsan Habibi

xii

xiii

DAFTAR ISI Cover Luar ........................................................................................i

Cover Dalam ................................................................................... iii

Persembahan ....................................................................................v

Ucapan Terima Kasih .................................................................... vii

Kata Sambutan ................................................................................ ix

Kata Pengantar ................................................................................ xi

Daftar isi ........................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................... 16

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................... 17

D. Kajian Teori ........................................................... 17

E. Kajian Pustaka ....................................................... 19

F. Metode Penelitian .................................................. 21

G. Data dan Sumber Data ........................................... 22

H. Sistematika Penulisan ............................................ 23

BAB II EKOLOGI, SPIRITUAL, DAN ISLAM

A. Ekologi .................................................................. 25

B. Ekologi Spiritual ................................................... 29

C. Islam dan Ekologi: Menuju Perbaikan

dan Rekonstruksi ................................................... 36

D. Hubungan Ekologi Spiritual dan Banjir ................ 42

BAB III KONDISI WILAYAH PENELITIAN

A. Profil Desa Lenggang ............................................ 45

B. Lenggang sebagai Desa Wisata ............................. 47

C. Bendungan PICE dan Bencana Kemanusiaan ....... 49

BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT DESA LENGGANG

KECAMATAN GANTUNG KABUPATEN

xiv

BELITUNG TIMUR TERHADAP EKO-SPIRITUAL

DALAM KAITANNYA DENGAN BANJIR

A. Banjir dalam Perspertif Eko-Spiritual bagi

Masyarakat Desa Lenggang Kabupaten Belitung

Timur ..................................................................... 51

B. Solusi Banjir dalam Perpsektif Eko-Spiritual ...... 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................ 75

B. Saran ...................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA

GLOSARIUM

INDEKS

BIODATA PENULIS

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aktivitas perekonomian di Belitung Timur baik usaha kecil

maupun usaha besar bergantung kepada, antara lain sumber daya

alam, laut, dan hutan. Untuk memenuhi usaha ini, banyak hutan

ditebang untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan berapa

banyak tanah digali untuk diambil mineral yang terkandung di

dalamnya, seperti pasir bangunan, kuarsa serta galian golongan C

lainnya seperti timah, kaolin dan tanah liat. Demikian juga kapal

isap dioperasikan untuk mengambil timah di laut Belitung Timur.1

Dampak negatif dari kegiatan pertambangan timah di

antaranya adalah terganggunya ekosistem, rusaknya

keanekaragaman flora dan fauna di lingkungan, rusaknya ekosistem

hutan dan sungai, dan lain-lain,2 termasuk banjir. Banjir yang

melanda 4.000 warga kecamatan Gantung Belitung Timur

(pertengahan Juli 2017)3 disebabkan selain curah hujan yang cukup

tinggi, terjadinya pendangkalan di sepanjang aliran muara sungai

cerucuk yang diakibatkan oleh penambangan Tambang

Inkovensional (TI) ilegal jenis rajuk yang jumlahnya mencapai

puluhan unit di daerah tersebut, sehingga air dari hulu sungai tidak

lagi mengalir dengan lancar.4 Dalam laporan Ozzi di Radio BFM

Bangka Belitung ketika dihubungi VOA (Minggu malam 16 Juli

2017), banjir disebabkan bukan hanya satu-satunya debit hujan

1http://Www.Muarababel .Com/Muara- Detail/ Tahun- Ini-Banjir-

Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-Benar.Html, Diakses 22

September 2017.

2https://primaedika. wordpress.com/ 2016/01/25 /mengenal-kerusakan-

lingkungan-di-daerah-bangka-belitung/. Diakses 23 September 2017.

3http://bangka. tribunnews. com/ 2017/07/17/4000- warga – beltim-

terdampak- banjir- kecamatan-gantung-paling-parah, Diakses 25 September

2017.

4http://Www.Muarababel.Com/ Muara- Detail/ Tahun-Ini -Banjir-

Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-Benar.Html.

2

yang sangat tinggi, tetapi juga karena kerusakan alam akibat

penambangan dan pembukaan lahan perkebunan sawit secara

membabi buta.5

Banjir ini juga melanda beberapa wilayah Belitung: Desa

Kembiri, Desa Cerucuk, Mentigi, Dukong, Desa Air Selumar, Desa

Bantan, Simpang Rusa, Air Mungkui dan beberapa daerah lainnya.

Sedangkan wilayah Belitung Timur: Daerah Selingsing, Manggar,

Kelapa Kampit, Damar, Batu Penyu, Renggiang, bahkan pasar

tradisional Gantung pun sudah tergenang air hingga ke atap rumah

dan toko. Kemudian beberapa tiang listrik roboh di daerah

kecamatan Dendang Belitung Timur.6

Realitas ini ditanggapi secara beragam. Pada satu sisi

musibah ini adalah takdir Tuhan. Namun di sisi lain, musibah

banjir tidak lepas dari tindakan dan sikap manusia terhadap

lingkungan. Paul Burkett menjelaskan bahwa kerusakan hutan

secara garis besar juga cenderung disebabkan aktivitas manusia,

terutama untuk kebutuhan produksi dan konsumsi. Prinsip

kapitalisme ini telah menjadikan manusia untuk terus

meningkatkan produksi untuk memperoleh keuntungan dan

persaingan bisnis. Sikap konsumtifisme seperti ini menjadikan

manusia merusak hutan untuk membuka lahan baru perkebunan

atau pertanian, sehingga menimbulkan dampak ‗pemanasan global‘

(global warming),7 banjir, tanah longsor, dan sebagainya.

Sesungguhnya hutan dan lingkungan sekitar tempat tinggal

seharusnya dilestarikan sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi

Millenium (MDGs) yang menempatkan isu lingkungan (pada tujuan

5https://www.voaindonesia.com/a/ banjir- landa- belitung- banyak-

buaya-masuk-kampung/3946521.html, Diakses 25 September 2017.

6http://Www.Muarababel.Com/ Muara-Detail/ Tahun- Ini-Banjir-

Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa- Benar.Html.

7Paul Burkett, ―An Eco-Revolutionary Tipping Point?: Global

Warming, the Two Climate Denials, and the Environmental Proletariat‖, Monthly

Review, New York, 69.1 (May 2017): 1-19.

3

ke-7), yaitu Memastikan Kelestarian Lingkungan.8 Deklarasi

pembangunan milennium ini berpihak pada pemenuhan hak-hak

dasar manusia yang mengarah kepada peningkatan kualitas hidup.

Sebagai kelanjutan deklarasi tersebut, dilakukan juga seminar The

State Nature Protection Committee of the Republic of Uzbekistan

on the Development of Cooperation with Public Inspectors

for Ecological Control (27 December 2013).9 Seminar yang

dihadiri oleh para wakil negara dan nonpemerintahan, badan

pemerintahan, ilmuan, dan jurnalis ini bertujuan untuk mengontrol

ekologi di daerah ini (khususnya) dan semua bagian dunia

(umumnya) sebagai dampak dari pekerjaan yang berkaitan dengan

lingkungan.

Beroperasinya Kapal Isap Produksi (KIP) timah di laut

Belitung Timur juga disebut sebagai faktor penyebab banjir.

Kegiatan pengoperasian kapal isap di wilayah ini sebenarnya sudah

ditolak oleh Bupati Belitung dan sebagian besar masyarakat sampai

kapan pun karena keberadaan Kapal Isap ini hanya akan

menimbulkan kerusakan lingkungan yang semakin parah.10

Penolakan pemerintah Belitung ini sejalan dengan seminar The

International Ocean Institute (IOI) yang didukung oleh

Kementerian Luar Negeri dan Turkmenistan dan the State

Enterprise on Caspian Sea Issues di bawah Presiden Turkmenistan

juga menyelenggarakan seminar di Avaza, dengan judul “Caspian

Sea - sustainable development and management”, yang

berlangsung 8-16 Maret 2017 dihadiri para pakar berbagai

kementerian dan otoritas Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Russia dan

8Lihat Dekralarasi MDGs (Millenium Development Goals) yang

dideklarasikan di New York oleh 189 negara anggota PBB pada bulan

September 2000. MDGs menetapkan 8 (delapan) tujuan pembangunan yang

diuraikan menjadi 18 target dan 48 indikator untuk pemantauan yang akan

dicapai dalam kurun waktu 1990-2015.

9Public Inspectors Engage in Environmental Protection, Uzbekistan

National News Agency (UzA), English ed.; Tashkent 09 Feb 2017.

10

https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=6827, Diakses 25 September

2017.

4

Turkmenistan, juga para pakar internasional – para konsultan

saintifik IOI dalam bidang ekonomi maritim, ekonomi, politik,

manajemen, ekologi, hukum maritim dan berbagai pakar ilmu

pengetahuan lainnya hadir dalam event ini.11 Seminar ini bertujuan

untuk melatih praktisi-praktisi muda dan sedang meniti karir agar

mengelola pantai dan laut melalui pendekatan kontemporer, dengan

menekankan nilai-nilai moral, etika, dan hukum dalam tata kelola

kelautan (yang berkeadilan dan pemanfaatan laut secara damai).

Demikian juga pertemuan The Asia-Oceania meeting of Religious

XVII (3 Maret 2017, di Myanmar) yang membahas tanggung jawab

manusia terhadap lingkungan (eco-citizens).12

Upaya-upaya untuk menjaga lingkungan tetap

berkesinambungan tidak hanya dilakukan dengan dikeluarkannya

peraturan penambangan timah13 dan perubahan mindset manusia,

namun diperlukan juga spiritualitas manusia terhadap lingkungan.

Sebagai makhluk spiritual-religius, manusia akan menyadari bahwa

lingkungan adalah bagian kehidupan yang tidak terpisahkan.

Spiritualitas agama-agama Semit (Islam, Kristen, Yahudi) telah

diintegrasikan dalam berbagai tradisi agama dan menunjukkan

persamaan-persamaan dan memberikan kontribusi kepada seuatu

perspektif etika yang baru pula tentang isu-isu lingkungan.14 Etika

yang diajarkan agama-agama semit adalah hubungan antara ciptaan

11Huseyn Hasanov, ―Turkmenistan Hosting Seminar on Caspian Sea

Issues‖, Trend News, English; Baku 08 March 2017.

12

Gail DeGeorge, ―Sacred Environment‖, National Catholic Reporter,

53, 12 (March 24 – April 6, 2017): 5.

13

Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; Peraturan

Bupati Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Peraturan Bupati

Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2014; Peraturan Bupati Belitung Timur Nomor

59 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Timah Sistem

Rajuk Menggunakan Alat Ponton Isap Produksi (PIP) Pada Izin Usaha

Pertambangan Operasi Produksi Darat di Wilayah Kabupaten Belitung Timur.

14

Graham Duncan, ―Celtic Spirituality and Contemporary

Environmental Issues‖, Theological Studies, 71, 3 (2015): 1-10.

5

dan keselamatan. Hubungan ciptaan dan keselamatan itu bisa

dikatakan sebagai manifestasi Tuhan secara eksoteris dan esoteris.

Hampir 50 tahun lalu, filosof Islam Seyyed Hossein Nasr

mempublikasikan bukunya The Encounter of Man and Nature: The

Spiritual Crisis of Modern Man15, sama halnya dengan pemikir

konservatif Rachel Carson16 dan sejarawan Lynn White Jr17 Nasr

mengidentifikasi krisis ekologi baru mulai melanda dunia.18

Krisis ekologi disebabkan salah satu faktornya adalah

penolakan dimensi spiritual dalam menyapa dan berhubungan

dengan lingkungan atau ekologi. Kapitalisme modern telah

melupakan dimensi spiritual dan lebih mengutamakan pandangan

dunia (world-views) bahwa manusia boleh memanfaatkan sumber

alam sepuasnya. Manusia modern tidak menyadari adanya doktrin

tradisi yang menjelaskan hubungan terdalam (the inner nexus) alam

dengan dunia fisiknya.19 Penolakan unsur spiritual dalam

15Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The

Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968).

16

Rachel Carson adalah seorang naturalis dan saintis pertama dan

terkenal. Namun, pemahamannya tentang kekuatan ekologi destruktif terdorong

oleh sikap masyarakat modern yang sangat ‗kritis dan radikal‘. Prinsip

masyarakat modern seperti ini menyebabkan ‗degradasi ekologi‘, sehingga

menjadi ‗tuhan-tuhan keuntungan dan produksi‘ (the gods of profit and

production). Manusia hidup di bawah bayang-bayang industri, dan jarang sekali

menentang prinsip memperoleh uang sebanyak-banyaknya dengan biaya

serendah-rendahnya. Lihat John Bellamy Foster and Brett Clark, ―Rachel

Ecological Critique‖, Monthly Review, 59, 9 (February 2008): 1-17.

17

Dalam sebuah esai kecilnya, The Historical Roots of Our Ecologic

Crisis (10 Maret 1967), Lynn White Jr. tertarik menjelaskan mengapa terjadi

kerusakan ekologi dan polusi lingkungan yang terjadi di Barat. Krisis ekologi ini,

menurut White, telah muncul dari ketidakpedulian Kristen terhadap nilai-nilai

yang sangat mendasar pada alam dan kepercayaan diri terhadap untuk

memilikinya dan gunakan alam sesukanya. Mark Stoll, ―Review Essay: The

Quest for Green Religion‖, Religion and American Culture: A Journal of

Interpretation, 22.2 (2012): 265-274.

18

Interview, A Religious Nature: Philosopher Seyyed Hossein Nasr on

Islam and the Environment, Bulletin of the Atomic Scientists, 2015, Vol. 71, 5

(2015): 13–18.

19

Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of

Modern Man (London: Unwin, 1990), 4.

6

memperlakukan lingkungan lebih disebabkan faktor ekonomi.20

Pentingnya ketelibatan unsur spiritual adalah untuk menemukan

kembali saintifik dengan pengetahuan suci (sacred knowledge)

sebagaimana tertera di dalam tradisi Islam.21 Meskipun demikian,

manusia masih perlu menggunakan daya nalar rasionalitas di dalam

berhubungan dengan alam. Sebagaimana dikatakan Regula

Wegmann, jika manusia memberikan kontribusi kepada

keberlangsungan dan perkembangan komunitas yang ada di bumi,

maka setiap orang perlu memperbaiki diri bagaimana berhubungan

dengan lebih banyak manusia melalui penalaran dan rasionalitas.22

Ilmu pengetahuan tradisional – yang berkaitan dengan

serangkaian simbol, bentuk, warna, dan perintah Tuhan – hanya

bisa dipahami dan ditemukan dalam cahaya spiritualitas. Tanpa

cahaya kehidupan tradisi dengan berbagai metafisika dan

teologinya, pengetahuan kosmologi menjadi buram dan tidak bisa

dimengerti. Dengan merujuk kepada pengetahun spiritual ini,

fenomena alam dapat dipahami dan menjadi transparan.23

Simon Appolloni dan Heather Eaton menjelaskan relasi

manusia dan alam dengan istilah ekoteologi. Ekoteologi didasari

pada premis hubungan antara spiritualitas manusia dan keadaan

alam. Ekoteologi bertujuan untuk menemukan tingkat kerusakan

alam, dan mengidentifikasi solusi dalam perspektif berkelanjutan

dan manajemen ekosistem. Solusi seperti ini membangun harapan

dan inspirasi terhadap etika berbagai agama. Jika seseorang ingin

mengetahui krisis lingkungan global, maka yang diperlukan adalah

sistem kepercayaan yang lebih tinggi untuk mencari inspirasi

perubahan, dan merubah cara pandang masyarakat memperlakukan

20Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Albany: State

University of New York Press, 1989), 103.

21

Nasr, Knowledge and The Sacred , 103. Tradisi Islam yang dimaksud,

terutama oleh Seyyed Hossein Nasr, adalah al-Di>n, al-Sunnah, dan al-Silsilah.

22

Regula Wegmann, ―Eco-Sophie: Thinking and Knowing in Dynamic

Harmony with the Ways of Nature‖, Dissertation, California Institute of Integral

Studies, San Francisco, C A, 2008, 5.

23

Nasr, Man and Nature, 57.

7

alam. Ekoteologi mendorong semua agama mengeksplorasikan

interkoneksitas spiritualitas dan ekologi.24

Dalam bukunya Religion and the Order of Nature (1996),

Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa memburuknya krisis

ekologi tidak bisa diatasi tanpa adanya keimanan semua orang dan

penanaman nilai-nilai spiritual dalam diri manusia di tengah

kesucian alam.25 Tanpa menemukan kembali pengetahuan suci

yang terdapat di dalam alam, maka akan terjadi chaos antara alam

dan manusia, yang pada akhirnya akan merusak semua kehidupan

manusia di bumi.26 Nasr mengajak semua umat beragama untuk

kembali memahami lingkungan berdasarkan ajaran tradisi semua

agama dalam konteks universal yang melampaui budaya dan

masyarakat.27 Sifat konsumtif manusia yang berlebihan telah

menghilangkan nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, revitalisasi

teologi dan filsafat alam penting dilakukan dengan tujuan

membatasi penerapan sains dan teknologi tersebut. Dulu, menurut

Nasr, manusia harus diselamatkan dari alam. Saat ini alam harus

diselamatkan dari manusia baik dalam keadaan perang maupun

damai.28 Tidak mungkin ada kedamaian di antara manusia jika

tidak ada kedamaian dan keharmonisan dengan alam. Untuk meraih

kedamaian dan keharmonisan dengan alam, seseorang harus dalam

keadaan harmonis.29

Berbeda dengan Nasr, Sallie McFague tidak sependapat jika

krisis ekologi diatasi dengan kembali kepada tradisi atau kosmologi

24Simon Appolloni and Heather Eaton, ―The Ecology of Religion: Faith

Leaders are Raising Sustainability Conserns‖, Alternatives Journal, CA, 42.1.

(2016): 45.

25

Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York:

Oxford University Press, 1996).

26

Nasr, Religion and the Order, 7.

27

Terry Moore, ―Introduction: The Spiritual and Intellectual Journey of

Seyyed Hossein Nasr‖, in In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed

Hossein Nasr on His Life and Thought , Seyyed Hossein Nasr with Ramin

Jahanbegloo (California: Praeger, 2010), xxiii.

28

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 135.

29

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 136.

8

abad peretengahan. McFague percaya bahwa sains posmodern

menyediakan cara penyelesaian persoalaan ekologi yang lebih

terstruktur, terbuka, rasional, dan saling ketergantungan dalam

sistem organisme dan masyarakat.30

Hubungan manusia dan lingkungan tidak hanya dilihat dari

perspektif fisik, tetapi juga metafisika. Gagasan mengenai

bagaimana hubungan lingkungan dengan manusia dalam perspektif

metafisik ini lebih dikenal dengan „deep ecology‟, seperti yang

dilakukan Feuerbach.31 „Deep ecology‟ merujuk kepada upaya-

upaya untuk menegaskan kembali dan memberikan rasa sensitif

masyarakat terhadap kebutuhan lingkungan. Konsep ini juga

berkaitan dengan naturalisme yang berperan mengevaluasi kembali

status alam baik melalui nilai-nilai otonomnya maupun alam

sebagai milik Tuhan.32

Robert Park, seorang teoritis pertama yang menerapkan

ekologi tumbuhan kepada ekologi manusia, mendeskripsikan

hubungan ini sebagai suatu ―organisme super‖ (super-organism)

dengan ―kesatuan organik‖ (organic unity).33 Teori ekologi ini

bertumpu pada premis adanya hubungan antara manusia dan tempat

tinggal seseorang. Begitu juga al-Qur „an dan h}adi>th mengandung

ungkapan dan persepsi tentang ciptaan Tuhan dan tanggung jawab

manusia untuk merawatnya. Kedua sumber ajaran Islam ini

menjadi referensi ketika menjelaskan lingkungan.34 Di antara

30Sallie McFague, Super, Natural Christians: How We Should Love

Nature (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 59; Ian Mevorach, ―In Search of A

Christian-Muslim Common Path from Desacralization to Resacralization of

Nature: Sallie Mcfague and Seyyed Hossein Nasr on The Ecological Crisis‖,

Dissertation, Boston University School of Theology, 2015, 181.

31

David L. Barnhill and Roger S. Gottlieb, Deep Ecology and World

Religions: New Essays on Sacred Ground (Albany: State University of New

York Press, 2001).

32

Barnhill Gottlieb, Deep Ecology and World Religions, 3-4.

33

Robert E. Park, Human Communities (Glencoe, IL: The Free Press,

1952), 118.

34

L. Wersal, ―Islam and Environmental Ethics: Tradition Responds to

Contemporary Challenges‖, Zygon, 30, 3 (1995): 451–459.

9

tanggung jawab manusia terhadap ciptaan-Nya adalah etika

terhadap lingkungan. Doktrin Islam mengajarkan manusia untuk

beretika kepada lingkungan, yang tertuang di dalam konsep tawh}i>d,

khali>fah, akhi>rah,35 ama>nah, adl, dan mi>za>n.36

Dalam pandangan Abdul Aziz Said dan Nathan C. Funk,

makna ‗kedamaian‘ dalam Islam terdapat di dalam kata ‘tawh}i>d’,

yaitu prinsip kesatuan yang menyediakan kesuburan tanah dan

spiritualitas. Tawh}i>d adalah ajaran pokok dalam Islam, yang

menjelaskan Keesaan Tuhan, kesatuan wahyu, kesatuan

kemanusiaan, dan pada akhirnya kesatuan eksistensi.37 Makna

kedamaian dalam Islam mengacu pada suatu spirit ekologi, yaitu

ekologi yang berdasarkan tawh}i>d, keesaan fundamental Tuhan dari

semua eksistensi. Manusia dan alam adalah satu dan memperoleh

kedamaian dalam kesadaran tawh}i>d. Ketika tawh}i>d dilupakan,

hubungan menjadi tidak damai. Melalui penyelidikan alam secara

damai dalam Islam, manusia memperoleh pendekatan makna

ekologi Islam dalam prinsip tawh}i>d.38

Sebagai konsep tawh}i>d, Tuhan adalah pencipta langit dan

bumi (Qs.al-An‗am/6:1), pencipta dan pemelihara lingkungan

(Qs.al-An‗am/6:102), dan semua makhluk ciptaan-Nya bertasbih

dan memuji-Nya (Qs.al-Isra>/17:44).39 Al-Qur‗an (14:19-20; 46:3;

15:85-86) berulangkali mengutip bahwa alam semesta dicirikan

dengan proporsi, keharmonian, dan keindahan, yang menjadi

35DeGeorge, ―Sacred Environment‖, 5.

36

Ibrahim Abdul-Matin, Green Deen: What Islam Teaches About

Protecting the Planet (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2010), xix.

37

Abdul Aziz Said and Nathan C. Funk, Peace in Islam: An Ecology of

Spirit‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust , Richard C. Foltz, Frederick M.

Denny, and Azizan Baharuddin, eds. (Cambridge, MA: Center for the Study of

World Religions, Harvard Divinity School, 2003), 155.

38

Funk, Peace in Islam, 155.

39

Marjorie Hope and James Young, ―Islam and ecology‖, Cross

Currents, 44, 2 (Summer 1994): 180.

10

keunggulan dari keahlian Ilahi.40 Allah menciptakan alam semesta

dan semua makhluk sebagai refleksi dari kesatuan di dalam

pluralitas.41

Tawh}i>d juga merupakan prinsip syariah yang merefleksikan

bahwa Allah adalah satu-satunya penguasa alam semesta.

Hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah sama-sama

ciptaan Tuhan, saling berkepentingan, saling menghargai, dan

sama-sama melestarikan. Keduanya memiliki fit}rah, yaitu kesatuan

ciptaan (tawh}i>d) sebagai a>yat Tuhan.42 Publik dewasa ini –

termasuk guru-guru agama, organisasi-organisasi, bahkan lembaga-

lembaga pemerintah dan masyarakat – diminta untuk

mengintegrasikan teologi dan praktek keyakinan mereka agar

beretika terhadap lingkungan. Alam harus dianggap sebagai

perwujudan sakral dan manusia makhluk terbaik sebagai pelestari

alam.43

Konsep tawh}i>d adalah unsur penting dalam pandangan

Islam yang terbagi menjadi Pencipta (Allah) dan makhluk. Yang

tergolong makhluk adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,

jin, dan malaikat. Manusia adalah makhluk yang paling mulia yang

tidak hanya diciptakan dalam ―sebaik-baik ciptaan‖ (Qs.al-

T>i>n/95:4), tetapi juga diberikan jiwa, rasio, dan panca indra untuk

menyaksikan kemuliaan Allah. Kemuliaan-Nya dapat diuji dengan

membaca al-Qur‗an dan berkontemplasi dengan keindahan alam.44

40Arthur Saniotis, ―Muslims and Ecology: Fostering Islamic

Environmental Ethics‖, Cont Islam, 6 (2012): 155–171.

41

William C. Chittick, ―God Surrounds All Things: An Islamic

Perspective on the Environment‖, The World And I, 1, 6 (1986): 671–678.

42

Eco-Islam Movement Sees Light in Europe, Daily News Egypt, Cairo,

22 May 2009.

43

Thomas A. Reuter, ―The Green Revolution in the World‘s Religions:

Indonesian Examples in International Comparison‖, Religions, 6 (2015): 1219.

44

Ismail R. Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life

(2nd ed.) (Herndon: International Institute of Islamic Thought Al-Faruqi, 1992);

Noor Munirah Isa and Saadan Man, ‗‗First Things First‘‘: Application of Islamic

Principles of Priority in the Ethical Assessment of Genetically Modified Foods‖,

Journal of Agricutural and Environmental Ethics, Vol. 27, Issue 5 (2014): 863.

11

Di sini, alam dapat dilihat sebagai sebuah entitas atau wujud yang

memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia dalam

memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual.45 Alam harus berserah diri

kepada Tuhan, namun manusia memiliki kebebasan berkehendak

dan juga harus memilih berserah diri kepada Tuhan. Penyerahan

diri kepada Tuhan oleh alam dan manusia sebagai bagian dari

tawh}i>d itu sendiri. Kehadiran Tuhan dalam semua benda

dilambangkan dengan sifat-Nya al-Muh}i>t} (Mahamelingkupi) dan

al-Mawju>d (Mahahadir).46

Konsep keesaan Tuhan (tawh}i>d) memancarkan kesatuan

ciptaan. Inilah yang disebut suatu visi monoteisme yang secara

simultan mendukung suatu prinsip solidaritas dan kasih sayang di

antara semua manusia dan makhluk. Oleh karena itu, keesaan

Tuhan (tawh}i>d) berkaitan dengan kasih sayang Tuhan kepada

manusia dan makhluk. Pemahaman spiritualistik seperti ini menjadi

fondasi untuk melakukan penghijauan, mengembangkan ekologi,

dan menjadi bagian dari anggota komunitas bumi yang inklusif dan

keadilan sosial.47

Nabi Muhammad Saw adalah seorang pendukung setia

perlindungan lingkungan dan pelopor konservasi, pembangunan

berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya. Dia juga

seorang “environmental pioneer” (pelopor lingkungan) yang terus

berusaha menjaga keseimbangan yang harmonis antara manusia

dan alam. Sepanjang hidup dan perbuatannya, Rasulullah a.

menghormati tumbuh-tumbuhan, hewan, dan empat unsur: tanah,

45Osman Bakar, Environmental Wisdom for Planet Earth: The Islamic

Heritage (Kuala Lumpur: Center for Civilisational Dialogue, University of

Malaya, 2007).

46

Mohammad Yusuf Siddiq. ―An Ecological Journey in Muslim

Bengal‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust . Richard C. Foltz, Frederick

M. Denny, and Azizan Baharuddin, ed. (Cambridge: Harvard Divinity School,

Center for the Study of World Religions, 2003), 451.

47

Christopher Hrynkow and Stephanie Westlund, ―Wisdom Traditions,

Peace and Ecology: Mapping Some Wellsprings of Integral Connectivity‖,

Journal for the Study of Peace and Conflict (2015): 40.

12

air, api, dan udara b. mendukung pemanfaatan dan budidaya tanah

dan air secara berkesinambungan c. memperlakukan hewan,

tumbuhan, dan burung dengan baik. Dalam konteks modernitas,

pandangan dan konsep Nabi Muhammad terhadap lingkungan ini

dapat diimplikasikan dalam isu-isu lingkungan. Secara filosofis,

etika terhadap lingkungan yang dilakukan Nabi mengandung pesan

bahwa jika manusia menolak satu unsur saja – seperti yang

dijelaskan di atas – maka alam semesta secara keseluruhan akan

menderita secara secara langsung.48

Demikian juga eksistensi dunia kosmos, menurut Ibn al-

‘Arabi>, tidak terlepas dari hadirnya Nafas al-Rah}ma>n. Tuhan

menghembuskan napas, dan sambil bernapas, Dia berbicara.

Perkataan-Nya abadi, namun keabadian perkataan-Nya bukan

dalam bentuk kata-kata. Setiap kata yang muncul sesaat, lalu

menghilang dari kosmos yang diciptakan-Nya selamanya (namun

Dia tetap hadir dalam kekuasaan-Nya). Setiap bagian dari setiap

yang ada terdapat satu ‗huruf‘ (h}arf) Tuhan. Makhluk-makhluk

adalah ‗kata-kata‘ (kalima>t) yang tersusun dari huruf-huruf,

kumpulan makhluk-makhluk adalah sebuah ‗kalimat‘ (jumlah), dan

setiap dunia adalah ‗kitab‘ (kita>b). Semua kata dan semua kitab

diucapkan oleh al-Rah}ma>n (Maha Penyayang), karena Tuhan

‗merangkul semua hal dengan belas kasihan dan pengetahuan‘

(Qs.40:7).49 Di sini dapat dipahami bahwa Tuhan selalu mengawasi

makhluk, dan setiap makhluk adalah ciptaan-Nya. Sebagai ciptaan-

Nya, tentunya Dia sangat menyayangi dan melindungi. Oleh karena

itu tidak sepantasnya manusia merusak ciptaan-Nya, tetapi

48Prophet: An Environmental Pioneer, The Peninsula, Doha, 7

December 2012.

49

William C. Chittick, Ibn al-„Arabi‟s Metaphysics of Imagination: The

Sufi Path of Knowledge (Albany, New York: State University of New York

Press, 1989), 19; Irawan, Diskursus Pluralisme Agama dan Relevansinya dalam

Konteks Kehidupan Beragama di Indonesia, Disertasi Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

13

sebaliknya menyapanya dengan kasih sayang sebagaimana sifat

kasih Tuhan melekat pada semua makhluk-Nya.

Sebagai khali>fah, manusia adalah wakil Tuhan di bumi dan

dibekali dengan spiritual dan mental agar dapat menyampaikan

misi Islam (Qs.al-Baqarah/2:30). Manusia diperintahkan untuk

menyaksikan tanda-tanda ciptaan-Nya dalam berbagai tipe, bentuk,

jenis, dan warna. Melalui a>yat-Nya orang yang beriman

menemukan kebesan-Nya. Hubungan manusia dengan alam

semesta dapat dielaborasikan lebih jauh melalui dua prinsip, yaitu

miza>n (keseimbangan) dan sakkhara (sikap tunduk). Sikap tunduk

adalah tidak mengimplikasikan bahwa manusia memiliki hak untuk

mendominasi atau mengeksploitasi alam, tetapi memanfaatkan

sumber-sumber alam sesuai perintah Allah. Inilah yang dimaksud

dengan menjaga keseimbangan alam.50

Khali>fah merupakan konsep emanasi dari konsep tawh}i>d.

Dalam perspektif Islam, manusia dianggap khali>fah. Khali>fah

difirmankan Tuhan sebelum penciptaan manusia pertama, Adam

(Qs.2:30). Meskipun manusia adalah superior dan diminta Tuhan

untuk menguasai semua yang ada di bumi, namun tumbuhan dan

binatang tidak bisa dipandang secara sederhana sebagai budak-

budak manusia. Perlu dipahami bahwa seisi alam memuji Tuhan

dan sebagai teater ‗kemuliaan Tuhan‘. Islam bahkan menjelaskan

makhluk selain manusia sebagai „ummah‟ atau kumunitas yang

bertujuan dan berhubungan dengan Tuhan.51 Merusak spesies

tumbuhan dan hewan sama halnya dengan merusak seluruh

50Najma Kahera, ―Color Me Green‖, Atlanta, 5, 1 (April 2008): 35-41.

Lihat surat al-Rah}ma>n (55) ayat 7-8: Dan Allah telah meninggikan langit dan

Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas

tentang neraca itu.

51

Dalam surat al-An‗am ayat 38 Allah berfirman “Dan tiadalah

binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan

kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan

sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.

14

makhluk yang menyembah Tuhan, dan sekaligus menjadi

kemarahan Tuhan Yang Mahapencipta dan Mahapenyayang.52

Konsep lain yang menjelaskan emanasi tawh}i>d adalah

ama>nah. Konsep khali>fah tidak bisa dipahami sepenuhnya jika

ama>nah tidak diperhatikan. Allah telah menawarkan ama>nah

kepada surga, bumi, gunung, namun mereka menolaknya dan

hanya manusia yang menerima tawaran tersebut (Qs.al-

Ahzab/33:72).

Sikap ama>nah terhadap alam adalah bentuk

pertanggungjawaban atas pemeliharaan planet bumi, menjaganya,

dan melihatnya sebagai ―pinjaman‖ dari Pencipta. Kesempatan

hidup manusia di bumi ini sangat singkat dan pada saat

meninggalkan bumi ini kondisinya harus lebih baik lagi

dibandingkan dengan pada saat pertama kali menempatinya. Sikap

seperti inilah yang diajarkan Islam.53 Merawat alam juga

merupakan ungkapan terima manusia kepada Allah, sebab Dia

memberkati umat manusia dengan alam (Qs.14:32-33). Lihatlah

bagaimana laut, sungai, dan bulan melayani manusia setiap hari.

Air Sungai menghilangkan dahaga, air laut membantu manusia

bepergian, matahari memberikan panas dan waktu untuk bekerja di

siang hari, dan bulan memberikan kesempatan untuk tidur di

malam hari.54 Namun Allah juga menasehati manusia agar

senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya melalui

sumber alam ini (Qs.14:34).

Adi Setia menyatakan bahwa konsep ama>nah berkaitan

dengan ide aman, yang sekaligus memiliki relevansi dengan

52Seyyed Hossein Nasr, Islamic Environmentalism in Theory and

Practice,‖ in Worldviews, Religion and the Environment: A Global Anthology ,

Richard C. Foltz, ed. (Belmont, CA: Wadsworth Thomson, 2002), 358-365;

Rosemary Radford Ruether, Integrating Ecofeminism, Globalization, and World

Religions (Rowman and Littlefield Publisher, Maryland, 2005), 73.

53

Matin, Green Deen, 26.

54

Matin, Green Deen, 27.

15

dimensi fisik dan spiritual.55 Oleh karena itu, setiap pengabaian

tugas khali>fah mengurangi keamanan spiritual manusia.56 Bahkan

Nabi Muhammad sendiri diperintahkan Allah untuk melayani dan

mengabdi yang ditandai dengan ―pengintegrasian prinsip-prinsip

etika, mendorong manusia untuk berorientasi kepada energi

spiritual manusia dengan bersikap kritis dan transpormatif terhadap

organisasi sosial modern yang berkontribusi terhadap rusaknya

kehidupan sosial dan ekologi.57

Sumber alam harus dimanfaatkan secara bijaksana, di

antaranya tidak memanfaatkannya dengan berlebihan, tidak

mencemarinya zat-zat berbahaya, akan tetapi hidup di tengah alam

secara berimbang (mi>za>n) untuk menyeimbangkan sumber alam

sepanjang waktu. Manusia harus merubah narasi dari ‗kelangkaan‘

kebutuhan manusia. Manusia harus bisa meyakinkan sumber alam

selalu tersedia untuk saat ini dan masa mendatang.

Relevansi Islam dengan ekologi dijelaskan Ibrahim Abdul-

Matin dengan istilah “Green Deen”, yaitu Tuhan telah

menciptakan segala sesuatu secara berimbang (balance; mi>za>n).

Dalam hal ini, manusia diciptakan untuk hidup berdampingan

dengan bumi, sedangkan mengganggu keseimbangan ini

merupakan bentuk kezoliman.58

Islam dengan tegas melarang pengrusakan alam, kecuali

digunakan untuk kepentingan yang mendesak. Cara terbaik

memahami pandangan Islam tentang isu lingkungan adalah

merujuk kepada hukum yang berkaitan dengan jihad dan perang.

Sebagai contoh instruksi yang dikeluarkan Nabi Muhammad Saw

kepada pasukan Muslim: “Jangan menebang pohon”, dan jangan

membakar pohon-pohon kurma atau membuangnya ke air‖.

55Adi Setia, ―The Inner Dimension of Going-Green: Articulating and

Islamic Green-Ecology‖, Islam and Science, 5, 2 (2007): 117–150.

56

Setia, ―The Inner Dimension of Going-Green‖, 134,

57

Hrynkow and Westlund, ―Wisdom Traditions, Peace and Ecology‖:

26-48.

58

Matin, Green Deen, 89-90.

16

Menurut imam ‗Ali, Nabi Muhammad juga melarang meracuni air

orang kafir‖.59 Jika pada kondisi perang saja Islam mengajarkan

untuk menjaga lingkungan, maka pada kondisi damai pun sangat

mudah untuk mengapresiasikan kebijakan lingkungan.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa penelitian ini

penting untuk dilakukan sebagai barometer apakah masyarakat

Gantung Belitung Timur benar-benar menyadari atau tidak tentang

pentingnya menjaga dan merawat lingkungan.

B. Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai ekologi sangat luas sekali dan

pengkajiannya berbeda-beda berdasarkan pendekatan, lokasi, dan

waktu. Lokasi penelitian adalah Desa Lenggang Kecamatan

Gantung Kabupaten Belitung Timur. Pentingnya dilakukan

penelitian di kedua desa ini karena kedua wilayah ini dilanda banjir

yang paling parah. Lalu, apa permasalahan penelitian ini? Dalam

penelitian ini diawali dengan pertanyaan mayor, yaitu apakah

ekologi spiritual menjadi solusi kerusakan lingkungan di

Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur? Pertanyaan mayor

ini selanjutnya dikembangkan menjadi beberapa pertanyaan minor

sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Islam tentang ekologi-spiritual?

2. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Lenggang tentang

eko-spiritual dalam kaitannya dengan banjir?

3. Apa saja solusi yang harus dilakukan agar banjir tidak

terjadi lagi dalam perpsektif eko-spiritual bagi masyarakat

Desa Lenggang Kecamatan Gantung?

59Norman Wagenaar and Others, ―In the spirit of the Earth (Cross -

Section of Views from Five Spiritual Communities on the Relationship between

Humans and the Earth)‖, Earthkeeper (December 1994): 10-13.

17

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan pandangan Islam tentang eko-spiritual.

2. Menjelaskan pandangan masyarakat Desa Lenggang

tentang eko-spiritual dalam kaitannya dengan banjir.

3. Menjelaskan apa saja solusi yang harus dilakukan agar

banjir tidak terjadi lagi dalam perpsektif eko-spiritual bagi

masyarakat Desa Lenggang Kecamatan Gantung.

Kegunaan Penelitian

Signifikansi penelitian ini memiliki dua aspek, yaitu teoritis

dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bisa menjadi

pengembangan program studi dan pengembangan ilmu

pengetahuan antara pengetahuan ekologi atau lingkungan dengan

pengetahuan tradisional Islam. Sedangkan secara praktis, penelitian

ini diharapkan bisa menjadi referensi bagi lembaga pemerintah,

masyarakat, dan pemerhati lingkungan dalam menjaga dan

melestarikan lingkungan.

D. Kajian Teori

Eko-spiritual adalah suatu manifestasi hubungan spiritual

antara manusia dan lingkungan. Eko-spiritual menggabungkan

suatu intuisi dan kesadaran semua aspek kehidupan dan melibatkan

pandangan relasional mulai dari satu seorang hingga planet bumi,

dari sisi luar hingga sisi dalam lingkungan, dan dari jiwa ke

tanah.60

Sepanjang sejarah, faktor penyebab krisis lingkungan dalam

pandangan Seyyed Hossein Nasr adalah hilangnya peran agama,

spiritualitas, dan intelektualitas di dalam diri manusia.61 Pada sata

sisi, hal ini disebabkan manusia telah melupakan kebenaran

60Valerie Lincoln, ―Ecospirituality: A pattern that Connects‖, Journal of

Holistic Nursing 18. 3 (2000): 227-244.

61

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 7.

18

perenial yang perlu ditemukan kembali di tengah kehidupan.62 Di

sisi lain, sains modern telah diligitimasi sebagai bentuk

pengetahuan yang paling tinggi sehingga peran nilai-nilai spiritual

dan pengetahuan suci (sacred knowledge) dikesampingkan. Untuk

memulihkan pengetahuan metafisika yang berkenaan dengan alam,

maka kualitas pengetahuan suci harus diposisikan kembali sebagai

teori yang benar-benar qualified untuk memahami ekologi

spiritual.63 Di sinilah pentingnya hubungan antara spiritual dan

intelektual dalam suatu “living tradition”.64

Kualitas dan kapasitas nilai-nilai spiritual dan pengetahuan

suci ketika digunakan untuk memanfaatkan alam adalah bahwa

pengetahuan jenis ini memberikan pemahaman baru bagi ilmu

pengetahuan (sciences) tanpa menghilangkan atau melegitimasi

otoritas pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan suci ini sekaligus

menjadi anti-tesis ‗teologi sekuler‘ (secular theology). Nilai-nilai

spiritual dan pengetahuan suci ini tidak bermaksud untuk

menskulerkan teologi, tetapi menawarkan suatu signifikansi teologi

dan kesucian terhadap sains, yang dianggap masyarakat modern

sebagai pengetahuan yang paling berwenang.65 Kedamaian

manusia dan pelestarian nilai-nilai kemanusiaan tidak mungkin

tercapai tanpa adanya sikap damai dan rasa hormat kepada alam

secara spiritual. Nilai-nilai kemanusiaan (human values) yang

diimplementasikan dalam bersahabat dengan alam inilah yang akan

menjadikan manusia sebagai ‗supra-manusia‘ (supra human).66

Kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai ama>nah, yaitu

sikap pertanggungjawaban untuk memelihara planet bumi,

menjaganya, dan melihatnya sebagai ―hutang‖ dari Pencipta.

62Seyyed Hossein Nasr, ―The Spiritual and Religious Dimensions of the

Environmental Crisis‖ in Seeing God Everywhere: Essays on Nature and the

Sacred, Barry McDonald, ed. (Indiana: World Wisdom, 2003), 73.

63

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 14.

64

Abdul-Matin, Green Deen, 3.

65

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 14.

66

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 14.

19

Manusia diberikan kesempatan singkat untuk hidup di bumi dan

nantinya harus meninggalkan bumi dalam kondisi yang lebih baik

dari pertama kali menginjakkan kakinya di dunia ini, sebagaimana

yang diajarkan Islam.67

E. Kajian Pustaka

Penelitian sebelumnya yang ada relevansinya dengan

penelitian ini telah dilakukan Hiroko Shiota, Cosmogenesis, Shinto,

Tantra: Embodying the New Universe Story.68 Penelitian ini

membahas dan menemukan kembali pengertian mendalam tentang

keterikatan dan partisipasi manusia terhadap alam yang sangat

agung. Alam semesta yang dinamis – yang berkembang selama

lebih dari 13,8 miliar tahun – diyakini sebagai refleksi kosmologi

Shinto, Tantra, dan kosmogenesis. Alam semesta yang sebagai

tempat tinggal seakan-akan telah hilang pada era modern. Melalui

penelitian ini, hubungan manusia yang terdistorsi dengan bumi dan

alam semesta, dapat ditemukan kembali dengan menjalin hubungan

partisipatif dengan alam semesta. Ajaran kosmogenesis dan Shinto

mengenai kesucian alam menjadi inspirasi baru untuk

memakmurkan bumi dan tujuan Tantra adalah melakukan

transenden. Tantra menunjukkan kosmogenesis dan Sinto suatu

cara untuk merealisasikan interioritas melalui latihan-latihan

spiritual, dan melihat alam sebagai manifestasi Tuhan. Melalui

proses ini, pencarian makna kehidupan baru dan hubungan yang

lebih ekologis, beretika, intim, dan spiritual terhadap dunia dan

alam semesta bisa menginspirasi tindakan manusia untuk

menciptakan masyarakat dunia yang lebih rasional dan humanis.

Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik.

67Abdul-Matin, Green Deen, 26.

68

Hiroko Shiota, ―Cosmogenesis, Shinto, Tantra: Embodying The New

Universe Story‖, Dissertation, California Institute of Integral Studies San

Francisco, CA, 2014.

20

Selanjutnya Lucas Fiegener Johnston The Religious

Dimensions of Sustainability meneliti konsep sustainability yang

tidak setuju dengan adanya hubungan spiritual atau agama dengan

alam. Karena konsep spiritual atau agama hanya berkaitan dengan

individu atau komunitas. Tidak bisa disamakan antara nilai

spiritualitas-alam dan spiritualitas-manusia. Dalam penelitian ini,

Johnston melalui pendekatan historisnya, menyimpulkan bahwa

dimensi agama berperan penting dalam beberapa pemahaman

sustainability. Akan tetapi, secara pragmatis nilai-nilai agama tidak

diabaikan ketika konsep sustainability dikaitkan dengan struktur

nilai masyarakat yang berbeda.69

Eko Asmanto dalam penelitiannya Eco-Spirituality Values

and Islamic Sustainable Development: Ethnographic Studies of

Local Culture at Shrimp Farmers in Sidoarjo, East Java, Indonesia

mendeskripsikan praktek eko-spiritualitas yang dipahami oleh para

petani udang di Sidoarjo, Jawa Timur. Penelitian ini juga

menjelaskan rekonstruksi konsep eko-spiritualitas dalam kerangka

sustainable development Islam. Penelitian ini menggunakan

metode interpretatif dan etnografi. Penelitian ini menyimpulkan

bahwa pada dimensi ideologi, makna universalitas ekosistem sesuai

dengan konsep Allah ―Satu Alam Semesta‖ (One Universe), yang

dilakukan oleh informan di daerah ini dengan melaksanakan

aktivitas-aktivitas keagamaan, memahami realitas alam sebagai

tanda Tuhan, sebagai suatu ungkapan iman mereka. Pada dimensi

ibadah ditemukan bentuk kesetiaan dan ketaatan sebagai

spiritualitas kerendahan hati demi terciptanya keharmonisan alam.

Pada dimensi transaksional merupakan landasan etis terhadap

perbedaan makhluk biologis dalam kerangka perkembangan

berkelanjutan. Pada dimensi rekonstruksi, eko-spiritualitas

dilakukan dengan memposisikan Islam yang berorientasi pada

sustainable development sebagai prinsip-prinsip umum. Implikasi

69Lucas Fiegener Johnston, ―The Religious Dimensions of

Sustainability‖, Dissertation of University of Florida, 2009.

21

penelitian ini adalah sebagai tindak lanjut dari berbagai riset

tentang krisi lingkungan sebagai dampak dari kegiatan ekonomi

dan teknologi.70

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Valerie Lincoln

Ecospirituality: A Pattern that Connects mendeskripsikan

hubungan antara kesehatan, kemanusiaan, dan lingkungan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran eko-spiritual

menjadikan masyarakat sehat dan lingkungan menjadi lebih baik.

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi.71 Demikian

beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan sebelumnya, yaitu sama-sama meneliti tentang eko-

spiritual. Sedangkan perbedaannya adalah penitilian ini dilakukan

di Kecamatan Gantung Belitung Timur dengan pendekatan filsafat

perennial dan historis.

F. Metode Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah field research (penelitian

lapangan). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan historis dan filsafat perennial (perennial philosophy).

Pendekatan historis digunakan untuk menjelaskan akar sejarah

krisis ekologi dari awal mula terjadi hingga saat ini. Sedangkan

pendekatan filsafat perenial digunakan untuk menjelaskan

pentingnya dimensi spiritual di dalam diri manusia ketika

berhubungan dan memanfaatkan sumber alam. Hal ini penting

dilakukan karena ilmu pengetahuan modern (sebagai scientistic

world-views) telah mendominasi dimensi spiritual (sebagai non-

scientistic world-views) sehingga alam diperlakukan sebagai objek

yang boleh dinikmati secara bebas. Pendekatan filsafat perennal ini

70Eko Asmanto, ―Eco-spirituality Values and Islamic Sustainable

Development: Ethnographic Studies of Local Culture at Shrimp Farmers in

Sidoarjo, East Java, Indonesia‖ in Proceedings The ASEAN Community

Conference 2015, Bangi, Malaysia, 11-12 November 2015, 48-57.

71

Lincoln, Ecospirituality, 227-244.

22

sesungguhnya merupakan pemahaman secara esoteris dan eksoteris

pesan-pesan teks suci al-Qur‗an, hadis, dan ajaran tasawuf

mengenai pentingnya manusia memelihara lingkungan.

G. Data dan Sumber Data

Data penelitian ini terdiridari data primer dan data sekunder.

1. Sumber Data

Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan

Gantung Kabupaten Timur, Peraturan Bupati Belitung Timur

Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan

Pertambangan Timah Sistem Rajuk Menggunakan Alat Ponton Isap

Produksi (PIP) Pada Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

Darat di Wilayah Kabupaten Belitung Timur. Peraturan Gubernur

Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2014

Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; Peraturan Bupati

Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Peraturan

Bupati Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2014.

Sedangkan data sekunder adalah buku Seyyed Hossein Nasr

Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man,72 jurnal-

jurnal, buku-buku, dan sumber-sumber lainnya yang ada

relevansinya dengan penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a. Observasi

Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk

pengumpulan data langsung dari lapangan. Data yang

diobservasi adalah wilayah yang dilanda banjir di Desa

Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur,

baik data yang bersumber dari pemerintah, lembaga

penanggulangan bencana banjir, maupun data yang

bersumber dari masyarakat. Data observasi ini berupa sikap,

72Nasr, Man and Nature.

23

kelakuan, perilaku, tindakan, dan keseluruhan tindakan

masyarakat terhadap lingkungan atau ekologi.

b. Dokumentasi

Dokumentasi yang dimaksudkan pada penelitian ini data-

data mengenai jumlah penambang timah, luas lahan yang

dijadikan tempat penambangan timah, data tentang

kerusakan lingkungan, jumlah korban banjir, dan data-data

lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

c. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mencari informasi kepada para

penambang, masyarakat di lokasi korban banjir,

pemerintah, dan sebagainya.

3. Teknik Analisa Data

Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut

dibandingkan dan diuji dengan teori-teori dan pengetahuan

tradisional Islam untuk menjelaskan bagaimana pandangan

masyarakat terhadap bencana banjir – apakah masyarakat memiliki

nilai-nilai spiritual di dalam diri mereka dalam bersahabat dengan

lingkungan dan alam. Selanjutnya dijelaskan peran serta

masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan lingkungan.

Tentunya, penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif-

filosofis.

H. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini dapat dipahami secara sistematis, maka

disusun sebagai berikut:

Bab pertama menjelaskan tentang pendahuluan. Di dalam

bab ini diuraikan mengenai latar belakang pentingnya penelitian ini

dilakukan. Alasan mendasar dilakukan penelitian ini adalah adanya

kesenjangan (gap) antara tanggung jawab manusia terhadap

lingkungan – baik secara teoritis dan historis maupun teks-teks suci

agama (al-Qur‘an, h}adi>th) – dan realitas hubungan masyarakat

dengan alam di Kecamatan Gantung Belitung Timur. Dalam bab ini

24

juga dijelaskan permasalahan yang akan dikaji, tujuan dan

kegunaan penelitian, sumber-sumber data, kajian terdahulu yang

relevan, dan pendekatan penelitian. Bab ini disajikan agar dipahami

alasan pentingnya dilakukan riset sebagai langkah untuk

mengantisipasi kejadian banjir di masa mendatang.

Bab kedua menguraikan kerangka teoritis atau perdebatan

akademik mengenai ekologi, spiritual, Islam, relevansi Islam dan

spiritualitas manusia ketika berhubungan dengan lingkungan.

Pentingnya teori-teori ini dijelaskan adalah untuk menjelaskan

hubungan ekologi spiritual dan banjir.

Bab ketiga menjelaskan tentang kondisi wilayah Desa

Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur.

Bab keempat adalah penjelasan mengenai pandangan

masyarakat Desa Lenggang/Kecamatan Gantung Kabupaten

Belitung Timur tentang ekologi spiritual dalam kaitannya dengan

banjir yang melanda wilayah ini dan solusi yang harus dilakukan.

Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini dijelaskan

kesimpulan dan beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan pada

penelitian selanjutnya dan langkah-langkah yang perlu dilakukan

masyarakat dan pemerintah.

25

BAB II

EKOLOGI, SPIRITUAL, DAN ISLAM

Pada bab ini akan dijelaskan tentang ekologi, spiritual, dan

pandangan Islam terhadap ekologi. Penelitian ini berkaitan dengan

banjir yang melanda pemukiman warga, oleh karena itu perlu

dianalisa apakah ada hubungan antara ekologi spiritual dan banjir.

A. Ekologi

Kata ekologi diambil dari kata Yunani „Oikos‟, (yang

berarti „rumah‟, atau „alat rumah tangga‟ atau sesuatu lainnya) dan

„logos‟ (yang berarti „pengetahuan‟). Dengan demikian, ekologi

secara harfiah berarti ‗studi tentang alat rumah tangga‘ (the study of

household). Di sini, istilah ‗alat rumah tangga‘ dimaknai dengan

‗alam‘ (nature). Ernst Haeckel (1866) mengaitkan istilah ekologi

dengan pengertian ‗bagian kehidupan organik yang harus

dipelihara‘ (the domestic side of organic life).1 Dari pengertian ini

dapat dijelaskan bahwa ekologi diibaratkan alat rumah tangga atau

harta milik pribadi yang harus dijaga agar tidak rusak, hilang, dan

dicuri oleh orang lain. Oleh karena itu, ekologi harus senantiasa

dipelihara dan dijaga.2

Pemikiran Haeckel ini dipengaruhi teori Darwin Origin of

Species, bahwa ekologi merupakan hubungan organisme dan

lingkungan. Tetapi, bagi Ernst, definisi seperti ini jika dipahami

pada era sekarang sudah termasuk pengetahuan ekologi yang sudah

usang.3 Ilmu ekologi seharusnya memfokuskan gerakan

1S. C. Santra, Ecology: Basic and Applied (New Delhi: M.D.

Publications, 1994), 5.

2P.H. Collin, Dictionary of Environment & Ecology , Fifth Edition

(London: Bloomsbury Publishing Plc, 2004), 69.

3Michael Allaby, ―Preface‖, in Oxford Dictionary of Ecology (Oxford:

Oxford University Press, 2014).

26

lingkungan.4 Namun ada juga yang mengartikan ekologi sebagai

‗studi tentang tumbuh-tumbuhan dan binatang dan hubungannya

dengan habitat‘.

Ekologi juga diadopsi dari bahasa Inggris „ecology‟ (noun),

yang berarti studi tentang hubungan antar organisme, dan

hubungan antara organisme dengan lingkungan hidup. Ekologi juga

dikaitkan dengan bahasa Jerman ‚ökologie‛.

Sebagaimana dijelaskan dalam Oxford Dictionary of

Ecology, ekologi atau lingkungan meliputi “lingkungan fisik dan

biologis suatu organisme‖.5 Untuk mencapai suatu lingkungan yang

baik perlu adanya pertimbangan sosial, budaya, ekonomi, dan

politik agar persediaan tanah, perubahan, dan persediaaan makanan

cukup baik.6 Budaya masyarakat juga mempengaruhi bagaimana

seseorang memperlakukan lingkungan. Kadangkala lingkungan

dianggap sebagai lahan produksi tanpa memperhatikan faktor sosial

dan budaya. Dalam analisis Marshall Sahlins, manusia sebaiknya

memiliki prinsip “cultural ecology” , yaitu dalam memproduksi

atau memanfaatkan alam harus mempertimbangkan faktor budaya,

sosial, psikologi masyarakat.7

Rusaknya alam sebagai akibat dari produksi yang

berlebihan perlu pengendalian ekologi dan manajemen sumber-

4Charles J. Krebs, ―Preface‖ in The Ecological World View (Australia:

CSIRO, 2008), vii.

5Allaby, Oxford Dictionary of Ecology.

6Angus Fletcher, A New Theory for American Poetry Democracy, the

Environment, and the Future of Imagination (Cambridge: Harvard University

Press, 2004), 128.

7Roy A. Rappaport, Ecology, Meaning, and Religion (California: North

Atlantic Books, 1979), 18-19. Sahlins mendefinisikan produktivitas dalam dua

cara yang agak berbeda. Pertama, memproduksi alam untuk keperluakan sehari-

hari saja. Kedua, memproduksi alam dengan teknologi untuk memperoleh hasil

di luar kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rappaport, Ecology, Meaning, 16. Jika

manusia memproduksi alam lebih dari keperluhan konsumsi sehari-hari, maka

ada kemungkinan terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan

sebagainya.

27

sumber alam.8 Oleh karena itu desain upaya-upaya pemulihan

kerusakan lingkungan, seperti banjir, tanah longsong, dan bencana

alam lainnya perlu dilakukan.

Dari beberapa catatan ahli ekologi, di antaranya adalah W.

C. Allee (1938) yang tertarik dengan ekologi manusia (human

ecology), membicarakan tentang hubungan ekologi sosial dengan

binatang dan manusia. Demikian juga G. E. Hutchinson dan

murid-muridnya tertarik dengan ekologi populasi manusia.9 Tetapi

teori ekologi seperti ini, jika dihubungkan dengan era kontemporer,

sangat fundamental dan mengabaikan ilmu-ilmu sosial. Bahkan ahli

ekologi, seperti Konrad Lorenz (1966) telah membicarakan

masyarakat manusia (human societies)10 seiring meningkatnya

evolusi dan kecanggihan ekologis sehingga perlunya peran sentral

perkembangan ekologi manusia (human ecology).

Pada awalnya pembahasan ekologi meliputi pola vegetasi

dan populasi tanaman.11 Namun, saat ini, ekologi berbicara tentang

bumi dan hubungan manusia atau lingkungan,12 Bahkan juga

dewasa ini kepedulian terhadap ekologi telah dikembangkan

menjadi Deep Ecology – sebagaimana digagas oleh Bill Devall dan

George Sessions – bahwa setiap manusia harus menyadari semua

yang ada di bumi ini saling berhubungan dan bersaudara (laki-laki

dan perempuan). Setiap diri manusia terikat dengan orang lain dan

8S. T. A. Pickett and P. S. White, The ecology of Natural Disturbance

and Patch Dynamics (Academic Press, San Diego, CA., 1985).

9Lihat misalnya, Edward S. Deevey, ―The Human Population‖,

Scientific American, 203 (September 1960): 195-204; G. Evelyn, ―Hutchinson,

Natural Selection, Social Organizations, Hairlessness and the Australopithecine

Canine‖, Evolution 17 (1963): 588-589.

10

Richard D. Alexander, ―The Evolution of Social Behavior‖, Annual

Review of Ecology and Systematics, 5 (1974): 325-383; Edward 0. Wilson,

Sociobiology: A New Synthesis (Cambridge: Belknap, 1975).

11

W. Eber, ―Morphology in Modern Ecological Research‖, in Modern

Ecology: Basic and Appllied Aspects, G. Esser and D. Overdieck, Eds.

(Amsterdam: Melsevier, 1991), 3.

12

Ken Wilber, Sex, Ecology, Spirituality: The Spirit of Evolution ,

Second Edition (Boston and London: Shambhala, 2000), 13.

28

makhluk hidup di sekitarnya dalam suatu jaringan kehidupan (the

web of life). Inilah yang disebut dengan suatu komunitas sejati (a

true community).13 Deep ecology tidak hanya melihat permasalahan

lingkungan pada level permukaan saja, tetapi mencoba melihat

persoalan lingkungan ‗lebih mendalam‘ dan berpikir bagaimana

memberikan solusinya.14

Suatu komunitas sejati sebaiknya tidak hanya terfokus

mengatasi problem lingkungan, sebagaimana dikatakan Jeffrey A.

Ewing, secara ―konvensional‖ seperti sampah dan polusi dengan

pendekatan Ecological Modernization Theory, tetapi juga mencari

solusi terhadap ―perubahan iklim, keanekaragaman hayati,

penipisan ozon, dan permasalahan lingkungan lainnya‖ dengan

pendekatan Marxian Political Ecology.15 Sejak tahun 1970-an,

istilah ini ekologi politik telah digunakan untuk merujuk ke

beberapa pendekatan kritis dan beragam untuk mempelajari

hubungan antara manusia dan lingkungan alam. Yang pasti,

definisinya beragam. Tetapi istilah ekologi politik cenderung

mencerminkan upaya untuk mengakomodasi materialis yang terkait

dengan ekonomi politik Marxsis dan poststrukturalis, yang

berfokus pada analisis wacana dan konstruksi sosial masalah

lingkungan.16 Ekologi politik (political ecology) telah membahas

dan merespon tantangan krisis peradaban17 lingkungan. Kajian

politik ekologi berevolusi dari paradigma geografi dan antropologi

menuju ke kajian baru, seperti ekologi budaya dan etno-ekologi.

Demikian juga studi etno-geografi mempengaruhi ekonomi politik

13Wilber, Sex, Ecology, Spirituality, 14.

14

Štefan Zolcer, ―The Possibility of Applying Whitehead‘s Philosophy‖,

Human Affairs, Vol. 26 (2016): 450–461.

15

Jeffrey A. Ewing, ― Hollow Ecology: Ecological Modernization

Theory and the Death of Nature‖, Journal of World-Systems Research, Vol. 23,

Issue 1 (2017): 126-155.

16

Darcy Tetreault, ―Three Forms of Political Ecology‖, Ethics & The

Environment, 22, No. 2 (2017): 1–23.

17

Enrique Leff, ―Power-Knowledge Relations in The Field of Political

Ecology‖, Ambiente and Sociedade, São Paulo, Vol. XX (July 2017): 226.

29

dan menyatu dengan eko-marksisme, eko-sosial, dan eko-

feminisme.

Kelestarian lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung

jawab manusia. Sebagai makhluk yang diberikan akal, manusia

harus berpikir rasional bahwa lingkungan memiliki nilai instrinsik.

B. Ekologi Spiritual

Islam mengenal istilah spiritual dan mengajarkan saling

kerjasama, saling menghargai, menyadari adanya persamaan

sesama makhluk, termasuk kesadaran arti penting lingkungan.

Saat ini saintifik, akademisi, dan publik tertarik dengan

spiritualitas dan ekologi. Ketertarikan mereka terhadap ekologi

terus berkembang sejak tahun 1980-an. Ekologi spiritual bisa

didefinisikan sebagai kajian intelektual yang dinamis dan kegiatan

praktis yang luas, berbeda, dan kompleks antara agama dan

spiritualitas (pada satu sisi) dengan ekologi, lingkungan, dan

environtalisme (pada sisi lain). Tumpang tindih kajian ekologi

spiritual biasanya disebabkan oleh pandangan sempit, termasuk

ekoteologi, agama dan ekologi, dan environmentalisme agama.18

Spiritualitas tidak perlu bersifat religius, dalam arti transenden.

Spiritualitas manusia, tujuan utamanya, mencari makna dan rasa

keterhubungan dengan sesuatu yang lain: alam, orang lain, gerakan,

dan Tuhan. Tanpa adanya spiritualitas dalam diri manusia

menjadikan hidupnya tidak berarti.19

Ekologi spiritual pada awalnya dikemukakan oleh seorang

sejarawan Eropa, Lynn White Jr. Pada 1967, dia menerbitkan “The

Historical Roots of Our Ecological Crisis” di jurnal Science. Dia

berpendapat bahwa kesalahan penafsiran Al-Kitab oleh umat

18Leslie E. Sponsel, “Spiritual Ecology: Is It the Ultimate Solution for

the Environmental Crisis?‖, Choice (April 2014): 1339. Menurut Sponsel, tulisan

ini hanyalah 10 persen contoh buku tentang ekologi spiritual dari lebih 100 lebih

buku yang ada.

19

Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice (London and New York:

Routledge, 2005), 192.

30

Kristen adalah penyebab utama krisis lingkungan. White

menegaskan bahwa untuk mengakhiri krisis lingkungan perlu

dipikirkan, direfleksikan, dan direvisikan kembali tempat manusia

di bumi.20

Sama halnya dengan tulisan White, salah seorang sarjana

Islam, Seyyed Hossein Nasr, menerbitkan eksplorasi ekologi

spiritual, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.

Nasr secara luas menjelaskan hubungan antara manusia dan alam

dalam agama Buddha, Kristen, Hindu, Islam, dan Taoisme.21 Nasr

mengkritik kelompok empirisme yang mengesampingkan akal

sehat dan spiritualitas dalam memanfaatkan alam, sehingga terjadi

polusi, kurangnya ruang udara segar untuk bernafas, kemacetan,

habisnya sumber alam, dan pengrusakan keindahan alam. Sikap

seperti ini, menurut Nasr, dilakukan oleh para intelektual yang

meninggalkan dimensi sosial dan ekonomis. Tanpa disadari bahwa

sikap seperti ini membahayakan orang lain dan menimbulkan

bencana besar. Sikap seperti ini hanyalah keserakahan yang

dipengaruhi sistem kapitalisme sosial-ekonomi22 tanpa

memperhatikan nilai-nilai sosial-humanis-spiritualis. Oleh karena

itu, jika manusia ingin mengatasi masalah-masalah lingkungan ini

perlu adanya reformasi spiritual, bukan semata-mata meningkatkan

pengetahuan dan mengurangi spiritualitas.23

Nasr memang teolog Muslim pertama yang bersemangat

untuk memasukkan spiritual ke semua agama dan telah

mengangkat isu ekologis ‗krisis lingkungan‘, namun dia tidak

pernah bergerak melampaui level filosofis untuk memecahkan

masalah spesifik hilangnya keragaman hayati dan pemanasan

20Lynn White, Jr., ―The Historical Roots of Our Ecologic Crisis‖,

Science, 155.3767 (1967): 1203-1207.

21

Nasr, The Encounter of Man and Nature.

22

Seyyed Hossein Nasr, Review of The Encounter of Man and Nature:

The Spiritual Crisis of Modern Man , by Dale Riepe, Journal of the American

Oriental Society, Vol. 89, No. 1 (January – March 1969): 301.

23

David Spring and Eileen Spring, eds. Ecology and Religion in History

(New York: Harper and Row, 1974), 10-11.

31

global. Dia juga tidak merujuk pada Syariah sebagai alat praktis

untuk menyelesaikan krisis saat ini, sebagaimana syariah

digunakan oleh kebanyakan Muslim dalam berperilaku dan

berpikir. Berbeda dengan apa yang dilakukan para environmentalis

Inggris Mawil izzi Dien dan Fazlun Khalid saat ini, yang tulisan-

tulisan dan kampanye-kampanyenya telah mempengaruhi jutaan

Muslim di seluruh dunia. Dien dan Khalid mengusulkan agar

norma syariah ‗ramah lingkungan‘ dan kontekstualisasinya dengan

sekarang sebaiknya disesuaikan dengan The Earth‟s Charter yang

mengusungkan masyarakat global yang secara berkelanjutan

menghormati alam, hak asasi manusia universal, keadilan ekonomi,

dan budaya perdamaian.24

Pandangan manusia terhadap alam dapat dilihat dari dua

sudut pandang, yaitu dunia nyata (yang melihat dunia secara

empiris dan indra) dan dunia metafisik (yang harus didekati melalui

dunia spiritual, tidak tampak, dan ide-ide). Kedua sudut pandang

terhadap alam ini dapat dikombinasikan secara sakral (spiritual,

suci, ilahi, dan transendental) dan profan (yaitu yang mencakup

bumi dan semua yang tidak suci). Kedua konstruksi ini bersifat

fisik dan superior dan semua yang bersifat fisik adalah profan dan

inferior.25

Manusia berada di alam dan menciptakan materi. Tetapi

manusia memiliki sifat ganda: bagian materi dan bagian roh, yang

mengindikasikan hubungan dengan dimensi spiritual. Manusia

bukan hanya materi, tetapi juga roh. Dalam analisis Plato,

keberadaan manusia adalah ganda, pada satu sisi tubuh adalah

materi dan milik bumi ini, tetapi pada sisi lain jiwa adalah roh dan

24David L. Johnston, ―Intra-Muslim Debates on Ecology: Is Shari‘a Still

Relevant?‖, Worldviews 16 (2012): 218–238.

25

Jaco Beyers, ―What Does Religion Have To Say About Ecology? A

New Appraisal of Naturalism‖, Journal for the Study of Religions and

Ideologies, Vol. 15, Issue 45 (Winter 2016): 96-119.

32

milik dimensi yang berbeda.26 Socrates mengatakan bahwa tubuh

memiliki nilai yang lebih rendah. Jiwa adalah nilai yang superior

dan layak untuk dilibatkan.27 Posisi anti-material ini menciptakan

keengganan untuk segala sesuatu yang dihadapi melalui indra.

Semua materi hanya ada untuk menopang tubuh manusia. Tidak

ada nilai intrinsik dalam materi. Ini akhirnya mengarah pada

pandangan utilitarian tentang alam. Jika alam dikelola tanpa adanya

kesadaran spiritualitas, maka manusia akan lebih mengutamakan

kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Masing-masing spiritualitas dan ekologi saling memberikan

makna dan perspektif alternatif. Beberapa sarjana telah mengkritisi

asumsi-asumsi dasar kelompok modernitas28 yang telah melihat

alam – sebagai tempat hidup manusia – boleh dimanfaatkan seluas-

luasnya tanpa memperhatikan dampak negatif dari pemanfaatan

alam tersebut. Beberapa aliran pemikiran, seperti eko-feminisme,29

filsafat,30 social work,31 dan deep ecology,32 telah mendukung

perlunya keyakinan dan nilai sebagai paradigma baru untuk

menjalin hubungan antara manusia dan alam.

Menurut analisis John Coates, Mel Gray, dan Tiani

Hetherington, kerusakan alam perlu adanya pendekatan-pendekatan

pribumisasi ekospiritual (indigenous ecospiritual approaches),

26Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge

Classics, 2010), 134 .

27

Russell, History of Western, 134.

28

C. Adams, Ecofeminism and the Sacred (New York, Continuum

Publishing, 1993); T. Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New

York, Bell Tower, 1999); C. Spretnak, The Resurgence of the Dead (Don Mills,

Ontario, Addison-Wesley, 1997).

29

J. Plant, Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism

(Philadelphia, New Society, 1989).

30

A. Naess, Ecology, Community and Lifestyle, D. Rothenberg, trans .

and ed. (Cambridge, Cambridge University Press).

31

J. Coates, Ecology and Social Work: Toward a New Paradigm

(Halifax, Canada, Fernwood Press, 2003).

32

B. Devall and G. Sessions, Deep Ecology (Salt Lake City: Peregrine

Smith Books, 1985).

33

yaitu penekanan hubungan spitualitas dan ekologi dengan

melakukan inovasi-inovasi dan pandangan-pandangan untuk

menghadapi tantangan dunia, termasuk krisis ekologi saat ini.

Selanjutnya, secara nyata perlu kerja sosial (social work) untuk

menyelidiki dan menangani sebab-sebab terjadinya krisis ekologi

tersebut.33

Salah satu kajian ekologi yang menelaah ekologi secara

spiritualitas adalah Deep ecology. Deep ekologi mendorong agar

nilai-nilai spiritual dikaitkan dengan alam karena segala sesuatu

(entitas) yang ada di alam semesta ini secara fundamental

berhubungan satu sama lainnya. Singkatnya, seluruh benda di alam

ini adalah sangat berharga sebagai bagian dari seluruh ruang

lingkup alam. Manfaat dan nilai benda-benda di alam semesta ini

dapat dikenali melalui pendekatan identifikasi.34 J. P. Hattingh

menegaskan bahwa:

In practical terms, this entails an intuitive experience of the harmony and wholeness of nature. This intuitive and

immediate identification with nature, inspired by phenomenology, Vedantic Hinduism, the science of

ecology and the philosophy of Spinoza, moves us beyond class, gender and species divisions in order to be in full harmony with nature.35

Di sini J. P. Hattingh menjelaskan bahwa dalam prakteknya,

pengalaman manusia ketika bersahabat dengan alam bisa

diidentifikasi dengan pendekatan fenomenologi. Melalui

pengalaman intuitif inilah manusia mengidentifikasi adanya

keselarasan dan keutuhan alam. Sebagai contoh ajaran Hindu

33John Coates, Mel Gray, and Tiani Hetherington, ―An ‗Ecospiritual‘

Perspective: Finally, A Place for Indigenous Approaches‖, British Journal of

Social Work , 36 (2006): 381–399.

34

A. Sentle Mokori and Chris E. Cloete, ―Ethical perspectives on the

Environmental Impact of Property Development‖, HTS Teologiese

Studies/Theological Studies 72, 3 (2016): 1-8.

35

J. P. Hattingh, ―Towards a Shared Ethics of Global Climate Change:

Ethics‖, Current Allergy and Clinical Immunology 24, 2 (2011): 91–96.

34

Vedanta (ilmu ekologi) dan filsafat Spinoza, mengajarkan kita

memahami keutuhan alam yang melampaui perbedaan kelas,

jender, dan spesies agar selaras sepenuhnya dengan alam. Istilah

Deep Ecology ini, dalam istilah Arne Naess, disebut ‗filsafat

ekologi‘ (ecological philosophy).36

Spiritualitas harus dilihat sebagai suatu konsep yang lebih

luas daripada agama. Seperti dikatakan Lynn White Jr. bahwa apa

yang dilakukan manusia terhadap ekologi sangat tergantung pada

bagaimana mereka berpikir dan berhubungan dengan benda-benda

atau makhluk hidup di sekitarnya. Ekologi manusia pada

prinsipnya dibentuk oleh keyakinan adanya alam dan takdir, yang

disebut agama.37

Dalam pespektif keilmuan, hubungan antara agama dan

alam telah terintegrasi dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagai

contoh, pada tahun 1950-an, Edward B. Taylor (seorang antopolog)

secara tidak sengaja mempelajari beberapa agama, khususnya

agama pribumi. Pada kesempatan ini Edward melakukan riset

antropologi yang secara kebetulan fokus pada pengaruh agama

terhadap ekologi dan adaptasi manusia, yang pada akhirnya

menyimpulkan ekologi spiritual.38 Bagi Jessica L. Crowe, rusaknya

alam sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual dalam diri

36A. Naess, ―A Defence of the deep ecology movement‖, Environmental

Ethics, 6, 3 (1984): 265–270.

37

White Jr., ―The Historical Roots of Our Ecological Crisis‖: 1203–

1207; Leslie E. Sponsel, ―Summary Article Religion and Environment Exploring

Spiritual Ecology‖, Religion and Society: Advances in Research, 1 (2010): 131–

145.

38

Carolyn Merchant, ―Spiritual Ecology‖, in Radical Ecology: The

Search for a Livable World, 2nd ed. (New York: Routledge, 2005), 117-138;

Leslie E. Sponsel, ―Do Anthropologists Need Religion, and Vice Versa?

Adventures and Dangers in Spiritual Ecology‖, New Directions in Anthropology

and Environment: Intersections (2001): 177-200. Pada akhirnya, pendekatan

ekologi mulai menjadi perhatian dan ditulis di dalam buku-buku Antropologi

Agama, Ekologi Human, dan Konservasi Lingkungan, meskipun masih jarang

ditemukan di dalam kajian antropologi.

35

manusia. Solusi yang ditawarkan Jessica adalah perlu adanya

pendidikan lingkungan (environmental education) di lembaga

pendidikan yang diajarkan kepada siswa. Pendidikan berwawasan

lingkungan harus mengintegrasikan spiritualitas dan tradisi agama.

Pendidikan berwawasan lingkungan menawarkan integrasi antara

spiritualitas dan tradisi agama. Kurikulum seperti ini meningkatkan

kesadaran siswa terhadap pentingnya menjaga lingkungan dan pada

akhirnya sikap cinta lingkungan bisa ditransformasikan dalam

kehidupan.39 Upaya seperti ini memberikan kesadaran kepada para

siswa agar senantiasa menjaga lingkungan dan sekaligus

mentransformasikannya kepada masyarakat.

David Mevorach Seidenberg menjelaskan pentingnya

spitualitas ekologi:

[W]hen we have to confront a world in which beauty has been driven from our presence, in which Spirit will seem to have abandoned us . . . humanity will also face the twin spiritual challenges of mourning for what has been lost and of sustaining compassion for each other and all Life.40

Menurut David, ketika manusia menghadapi dunia yang

telah hilang keindahannya, maka spirit keindahan itu juga akan

hilang. Pada akhirnya kemanusiaan akan menghadapi dua

tantangan, yaitu hilangnya spiritualitas dan hilangnya belas kasihan

antar sesama manusia dan semua kehidupan.

Seidenberg juga mengkritisi sebagian penganut Kristiani

yang salah menafsirkan makna ―Citra Tuhan‖ (The Image of God)

yang terdapat di dalam injil. Mereka menafsirkan ―Citra Tuhan‖

dengan pengertian ―tidak adanya hubungan antara makhluk dan

39Jessica L. Crowe, ―Transforming Environmental Attitudes and

Behaviours through Eco-spirituality and Religion‖, International Electronic

Journal of Environmental Education , Vol.3, Issue 1 (2013), 75-88.

40

David Mevorach Seidenberg, Kabbalah and Ecology: God‟s Image in

the More-Than-Human World (New York: Cambridge University Press, 2015),

344.

36

Kholik‖. Sebaiknya, teologi modern dan tradisional

menginterpretasikan ―Citra Tuhan‖ sebagai sesuatu yang tidak

hanya mengangkat derajat manusia sebagai ciptaan-Nya, tetapi juga

memisahkan dan membedakan manusia dari Sang Pencipta.41

Arthur Green mengkritisi pendapat Seidenberg yang mengatakan

bahwa ―Citra Tuhan‖ (The image of God) seharusnya bersemayam

tidak hanya pada manusia, tetapi seluruh alam (ciptaan-Nya). Bagi

sebagian orang, pendapat ini terlalu mengada-ada dan argumen

yang menghina.42 Pernyataan Arthur ini dibantah Seidenberg.

Menurut Seidenberg, untuk melakukan semua ini, setiap orang

perlu menggali sumber-sumber spiritual, yang telah mengakar di

dalam teks dan teologi.43

Kelestarian alam perlu dikontrol oleh penduduk di mana dia

tinggal, menjaga tanah dan air. Kepedulian penduduk di suatu

tempat terhadap alam tidak lepas dari kesadaran tentang pentingnya

sumber-sumber alam dan spiritualitas. Tidak adanya spiritualitas

dalam diri seseorang telah megurangi nilai-nilai budaya,

keanekaragaman hayati, dan eksploitasi sumber daya alam.44 Umat

Muslim bisa memperkuat spiritualitas mereka, menjadi lebih aktif

di dalam komunitas, dan hidup lebih baik dengan “Green Deen”

meminjam istilah Ibrahim Abdul-Matin.

C. Islam dan Ekologi: Menuju Perbaikan dan Rekonstruksi

Islam sebagai suatu agama memiliki ajaran yang sangat

mendalam mengenai penghormatan dan perhatian terhadap

41Seidenberg, Kabbalah and Ecology, 5.

42

David Mevorach Seidenberg, Review of Kabbalah and Ecology: God‟s

Image In The More-Than-Human World, by Arthur Green, Winter 2017: 58.

43

David Seidenberg, ―Being Here Now: This Creation is the Divine

Image: Response to Arthur Green‘s Review of Kabbalah and Ecology: God‘s

Image in the More-Than-Human World”,Tikkun, Winter 2017: 63.

44

Chelsey Geralda Armstrong and Others, ―Anthropological

Contributions to Historical Ecology: 50 Questions, Infinite Prospects‖, PLOS

ONE, February 24, 2017.

37

lingkungan.45 Pangeran Wales, Wilton Park (13 Desember 1996)

mengemukakan bahwa ―makna kesucian‖ dalam Islam salah

satunya adalah tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.

Sikap Islam terhadap lingkungan yang mengelilingi umat manusia

tidak hanya terbatas pada kehadiran Tuhan di alam semesta46 tetapi

juga penyerahan diri kepada-Nya.

Al-Qur‘an tidak memerintahkan manusia untuk

mendominasi alam. Di dalam 17 ayat secara terpisah (2:107; 3:189;

5:17; 5:18; 5:120; 7:158; 9:116; 24:42; 25:2; 39:44; 42:49; 43:85;

45:27; 48:14; 57:2; 57:5; 85:9) al-Qur‘an menegaskan ‗Apakah

kamu tidak mengetahui bahwa Kerajaan (Mulk) langit dan bumi

kepunyaan-Nya (Allah). Kata Mulk yang disebutkan sebanyak 48

kali di dalam al-Qur‘an dan digunakan untuk merujuk baik kepada

kerajaan bumi – yaitu Nabi Sulaiman (Qs.2:102) – maupun langit

dan bumi – adalah semua ciptaan. Dalam penciptaan langit dan

bumi selalu hadir Tuhan Yang Maha Menguasai. Jelasnya, bahwa

al-Qur‘an tidak menugaskan manusia hadir di bumi sebagai pemilik

atau orang yang mendominasi bumi.47

Para cendekiawan Islam pada umumnya telah sepakat

bahwa ekologi menjadi bagian penting dalam Islam.48 Kepedulian

terhadap alam menjadi upaya serius dan kontinyu. Hal ini

dilakukan sebagai bentuk pemahaman makna ritual Islam secara

fundamental dan fungsional. Salah satu kontribusi ritual Islam

adalah mengatasi krisis ekologi dan krisis global.49 Beberapa orang

45Mawil Izzi Dien, ―Islamic Environmental Ethics, Law and Society‖, in

Ethics of Environment and Development, J.R. Engel and J.G. Engel, eds.

(London, Belhaven, 1990), 189-198.

46

Mawil Izzi Dien, ―Islam and the Environment: Theory and Practice‖,

Journal of Beliefs & Values, Vol. 18, No. 1 (1997): 48.

47

Rosemary Hancock, Islamic Environmentalism Activism in the United

States and Great Britain (London and New York: Routledge, 2018), 55.

48

Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia (Jakarta: Nuansa

Cendekia, 2010).

49

M. Syafur, ―Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Islam‖,

MEDIAGRO: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, 4 (2008): 44.

38

telah merujuk kepada Nabi Muhammad sebagai avant la lettre

lingkungan.50 Sementara sejumlah ayat di al-Qur‗an menyiratkan

bahwa umat manusia adalah puncak ciptaan (ashraf al-makhluqa>t)

dan diberikan kekuasaan lebih dari hewan dan alam. Dalam al-

Qur‘an manusia dijelaskan sebagai khali>fah dan bertanggung untuk

mempertahankan keseimbangan (miza>n) antara pemanfaatan dan

perlindungan terhadap alam (seperti perlindungan di daerah

hari>m).51

Al-Qur‘an selanjutnya menegaskan bahwa hubungan alam

dan lingkungan tidak terlepas dari konsep Ketuhanan., atau sering

disebut tiga konsep ‗Tuhan, alam, dan manusia‘.52 Dalam Islam,

sumber utama etika terhadap lingkungan adalah al-Qur„an dan

h}adi>th yang telah diintegrasikan dalam hukum Islam. Kedua

sumber hukum Islam (al-Qur‘an dan h}adi>th) menjadi sumber

rujukan masyarakat awam dan para sarjana Muslim ketika

membicarakan lingkungan.53 Dalam Islam ada tiga ide besar etika

ekologi: Tawhi>d, Khali>fah, dan A<khirah.

Pertama, konsep tawh}i>d. Landasan tawh}i>d adalah bahwa

Allah menciptakan alam semesta dan bahwa semua wujud

mencerminkan kesatuan dalam pluralitas.54 Dalam analisa para

cendikiawan, alam semesta ini harus dikelola dan diatur dengan

prinsip kesatuan, keseimbangan, dan harmoni (tawh}i>d). Al-Qur‗an

(14:19–20; 46:3; 15:85–86) berulangkali menjelaskan bahwa alam

50Bahar Davary, ―Islam and Ecology: Southeast Asia, Adat, and the

Essence of Keramat.‖ ASIAN Network Exchange, 20 (2012): 1–11.

51

Reuter, ―The Green Revolution in the World‘s Religions‖: 1223. Perlu

ditegaskan bahwa al-Qur‘an bukan suatu buku sains, dan ketika al-Qur‘an berisi

keimanan, maka bisa disebut etika eko-spiritual, dan bukan suatu buku teks

lingkungan saintifik modern. Apa yang perlu dilakukan adalah membangun

hubungan kedekatan antara fenomena alam (ayat-ayat Tuhan), Tuhan dan

manusia.

52

S. Nomanul Haq, ―Islam and Ecology: Toward Retrieval and

Reconstruction‖, Daedalus, 130, 4 (Fall 2001): 141.

53

Wersal, ―Islam and Environmental Ethics‖: 453.

54

Chittick, ―God Surrounds All Things‖: 671–678.

39

semesta dicirikan keteraturan, harmoni, dan keindahan yang

menjadi keunggulan Yang Maha Kreatif.55 Menurut Ismail Raji

Faruqi, Islam memerintahkan manusia untuk merawat alam dengan

keseimbangan dan dikelola secara berkesinambungan dengan

sistem ekologi.56 Dengan demikian, alam menyediakan sumber

inspirasi dan bimbingan untuk memahami ciptaan Tuhan. Dalam

istilah manusia, tawh}i>d adalah pondasi bagi manusia dalam

berpikir, bertindak, dan memahami setiap dimensi kehidupan

sosial.57

Kedua, konsep etika lingkungan Islam adalah Khali>fah.58

Al-Qur‗an menyatakan bahwa manusia adalah utusan Tuhan,

sebagaimana firman-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman

kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan

seorang khalifah di muka bumi (Qs.2:30)‖. Beberapa orang

meyakini bahwa perjanjian kita dengan Tuhan (ama>nah) berarti

kita adalah penguasa (khali>fah) bumi dan berhak melakukan apa

yang kita inginkan dari hasil Bumi. Tetapi perlu diingat bahwa

pemanfaatan hasil bumi harus memperhatikan dan

mempertimbangkan efek negatif bagi makhluk lain. Pemanfaatan

bahan bakar, batu bara, dan termasuk timah bisa merusak ekologi

alam. Sikap ama>nah berarti bertanggung jawab untuk merawat

planet bumi, menjaganya, dan melihatnya sebagai ―status

pinjaman‖ dari Sang Pencipta. Manusia telah diberi ―pinjaman‖

untuk hidup di bumi, oleh karena itu ketika manusia meninggalkan

55Arthut Saniotis, ―Reflections on Tawhid (Divine Unity): Islam and

Ecology‖, Interface: Biodiversity & Ecology: An Interdisciplinary Challenge , 7,

1 (2004): 101–108.

56

Ismail Raji Faruqi, Islam and Culture (Kuala Lumpur: Angkatan Belia

Islam Malaysia, 1980): 24-31.

57

Ziauddin Sardar, Islamic Futures (New York: Mensell, 1985), 225;

Ali Shariati, On the Sociology of Islam, Hamid Algar trans (Berkeley: Mizan,

1979).

58

J. S. Idris, ―Is man the Vicegerent of God?‖, Journal of Islamic

Studies, 1 (1990): 99–110; F. Khalid and J. O‘Brien, eds., Islam and Ecology

(New York: Cassell, 1992).

40

bumi harus dalam kondisi yang lebih baik daripada ketika

menemukannya. Islam mengajarkan penganutnya agar

meninggalkan bumi dalam kondisi baik.59

Selanjutnya, manusia perlu menahan diri dari berbuat

kerusakan (tindakan yang mengarah pada pengrusakan lingkungan)

sebagaimana firman Allah pada surat al-A’ra>f (7) ayat 56: “Dan

janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah

(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa

takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang

berbuat baik”. Lebih jauh lagi, manusia perlu menahan diri dari

berbuat kerusakan (tindakan yang mengarah kepada pengrusakan

lingkungan). Pentingnya ekologi dalam Islam ditegaskan oleh fakta

bahwa seperdelapan Al-Qurʻan mendesak Muslim untuk

merenungkan alam. Sosiolog Ali Shariati berpendapat bahwa

konsep penatagunaan harus mencakup dimensi spiritualnya.60

Demikian pula, Khalid61 mencatat bahwa yang termasuk dalam

konsep penatagunaan adalah gagasan manusia sebagai sahabat

alam, bukan tuannya. Sebagaimana dalam pergaulan sesama

manusia, pergaulan manusia dengan alam juga harus

memperhatikan tatakrama dan sopan santun.

Konsep ketiga etika lingkungan Islam adalah A<<<<<<<khirah

(Akhirat). Ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya diutus

Allah sebagai khalifah di bumi, tetapi juga akan bertanggung jawab

di akhirat atas kesesatannya. Dalam pandangan Zaidi, akhirat

menjadi tempat ujian kekhalifahan manusia.62 Demikian juga

59Abdul-Matin, Green Deen, 28.

60

T. Sonn, ―Tawhid‖, in Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic

World (Oxford: Oxford University Press, 1995).

61

Fazlun Khalid, ―Guardians of the Natural Order‖. Our Planet, 8, 2

(1996): 20.

62

I. H. Zaidi, ―On the Ethics of Man‘s Interaction with the Environment:

An Islamic Approach‖, Environmental Ethics, 3, 1 (1981): 41.

41

Manzoor,63 Faruqi,64 dan Weeramantry65 menjelaskan bahwa setiap

generasi manusia berkewajiban memperbaiki kondisi di mana

generasi sebelumnya telah meninggalkan bumi. Tidak ada generasi

yang berhak mengotori bumi dengan cara menghabiskan sumber

dayanya dan menurunkan sistem biologisnya.

Bagaimana dengan pelestarian alam di Indonesia? Upaya

meningkatkan kesadaran melestarikan dan menjaga lingkungan

bukanlah suatu konsep baru di Indonesia. Pada tahun 1999, Institut

Ekologi Bandung, The Islamic Foundation for Ecology and

Environmental Sciences, dan kelompok-kelompok pencinta ekologi

lainnya telah terlibat dalam serangkaian training sejak 2002 yang

mengusungkan dan mengembangkan tema-tema lingkungan,

berdasarkan al-Qur‘an, yang dilakukan oleh para cendikiawan

Islam, guru-guru, para pemimpin aktivis dan komunitas.66 Pada

tahun 2006, Majelis UIama Indonesia (MUI) mengeluarkan dua

fatwa: Pertama tentang illegal logging dan aktivitas-aktivitas

pertambangan di Kalimantan. Fatwa ini mengharamkan tindakan-

tindakan ini. Kedua, fatwa MUI (2011) bekerja sama dengan

pemerintah nasional untuk menyediakan seperangkat pedoman

yang mengikat secara hukum untuk mendukung fatwa pertama.67

Hal ini mendorong Presiden Indonesia untuk mengirimkan 5.000

ulama (pemimpin agama) di seluruh kepulauan untuk

63S. P. Manzoor, ―Environment and values: an Islamic perspective‖, in

Ziaudin Sardar, ed., Touch of Midas Scientific Values and the Environment in

Islam and the West (Manchester: Manchester University, 1984), 150–170.

64

Faruqi, Islam and Culture, 30.

65

C. G. Weeramantry, Islamic Jurisprudence: An International

Perspective (New York: St. Martin. 1988), 61.

66

Jeanne E. McKay, ―Practise What You Preach: A Faith -Based

Approach to Conservation in Indonesia‖, Fauna & Flora International, Oryx,

48, 1 (2013): 23.

67

MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA), Fatwa MUI Tentang

Pertambangan Ramah Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta,

Indonesia, 2011.

42

meningkatkan kesadaran dan keprihatinan atas isu perubahan iklim,

dengan tujuan menanggulangi pembalakan liar.68

Ajaran Islam telah menegaskan bahwa manusia harus

bersikap santun dan menghargai keberadaan alam. Manusia tidak

bisa hidup tanpa adanya udara yang segar yang diberikan alam

sekitarnya. Alam harus dikelola dengan baik, seperti untuk lahan

pertanian – di mana hasil pertanian bisa memberikan kehidupan

bagi manusia sekaligus bisa mengeluarkan zakat pertanian sebagai

bekal kehidupan di akhirat nanti. Sebaliknya, jika alam telah

dirusak, maka manusia tergolong tindakan makar terhadap alam

dan menimbulkan bencana longsor, banjir, dan polusi udara yang

merugikan manusia itu sendiri.

C. Hubungan Ekologi Spiritual dan Banjir

Mendifinisikan dan memaknai hubungan ekologi spiritual

dan banjir memang menjadi persoalan yang sangat sulit dan

kompleks. Namun demikian, kedua hal ini dihubungkan

berdasarkan fenomena yang terjadi di beberapa tempat, lalu

hubungan ekologi spiritual dan banjir dijelaskan dengan merujuk

pemikiran beberapa ilmuan psikologi dan teologis.

Dalam beberapa kasus, sebagian korban bencana alam,

meskipun taat beragama sebelum terjadi bencana, masih memiliki

rasa kecewa ‗mengapa bencana masih diberikan Tuhan kepada

mereka‘? Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Stacey E.

McElroy-Heltzel69 setelah terjadinya Hurricane Matthew di dekat

Cape Romain, Carolina Selatan pada pagi hari 8 Oktober 2016

menggambarkan kondisi religius spiritual para korban. Meskipun

sebagian para korban memandang positif bencana ini, namun

sebagian korban masih menaruh perasaan marah kepada Tuhan.

68The Jakarta Post, 2011; Mc Kay, ―Practise What You Preach, 24.

69

Stacey E. McElroy-Heltzel, ―The Role of Spiritual Fortitude and

Positive Religious Coping in Meaning in Life and Spiritual Well-Being

Following Hurricane Matthew‖, Journal of Psychology and Christianity , Vol.

37, No.1 (2018): 17-27.

43

Stacey dkk menyarankan kepada para korban untuk tidak marah

kepada Tuhan, tidak merasa dihukum atau ditinggalkan, dan tidak

berpaling dari iman mereka.

Spiritualitas dan religiusitas sangat penting untuk mengatasi

problem kehidupan korban banjir. Kesehatan mental para korban

banjir tentunya terganggu. Mereka mengalami trauma,70 stres

kronis seperti perubahan psikologis, ketakutan, demoralisasi,

emosional atau gangguan kecemasan dan depresi.71

Dalam pandangan Islam, seluruh ciptaan diberkati dengan

kehidupan karena berasal dari ―Yang Selalu Hidup‖ (al-Hayy),

yang merupakan salah satu dari nama ilahi. Ini berkorelasi dengan

ide Islam Di>n al-Fitra, yaitu keyakinan bahwa Islam adalah jalan

spiritual yang dibangun dalam pemahaman tentang sifat alami

manusia.72 Al-Ghaza>li> (w. 1111 M) menjelaskan bahwa ―bumi

memiliki bahasa dan kehidupan‖.73 Ibn ‘Arabi> (w. 1240 M)

menyatakan bahwa ―Tuhan hanya bisa dipuji oleh yang hidup dan

memiliki kesadaran‖.74 Nabi bersabda semua makhluk, kering atau

basah, menjadi saksi panggilan muazin.75 Karena segala sesuatu

hidup dan melihat Tuhan mereka‖, kita harus menghormati semua

itu mengelilingi kita.76 Bagi Jala>l al-Di>n Ru>mi> (w.1272),

‗semangat‘ dari kosmos adalah sesuatu yang tidak teoritis sama

70Sapora Sipon and Others, ―Spirituality among Flood Victims: A

Comparison between Two States‖, Procedia-Social and Behavioral Sciences,

185 (2015): 357-360.

71

L. Victoria, A. Holly, and U. Dominic, ―The Psychological Impact of

Exposure to Floods‖, Psychology, Health & Medicine, 15, 1 (2010): 61-73.

72

Éric Geoffroy, Human Conscience and ―Cosmism‖ of Islam,

http://www.Qscience.com/doi/pdf/10.5339/rels.2012.environment.14. Diakses 17

Agustus 2018.

73

Al-Ghaza>li>, The Jewels of the Qur‟an , Translation Abul Quasem

(Kuala Lumpur, Malaysia, 1977), 57.

74

Ibn ‘Arabi>, Al-Futu>ha>t al-Makkiyya (Beirut: Da>r Sa>dir, 1991), 147.

75

Dalam hadis lain: جن ولا إنس ولا حجر ولا شجر إلا شهد له لا يسمع صىته

(Artinya: “Tidaklah azan didengar oleh jin, manusia, batu dan pohon kecuali

mereka akan bersaksi untuknya). (HR. Abu Ya‘la).

76

Ibn ‘Arabi>, Al-Futûhât al-Makki>ya, 357.

44

sekali tetapi cukup nyata dan bisa diamati indera, di mana alam

berbicara dan melihat.77 Setiap atom di dunia itu hidup, mampu

memahami wacana, dan fasih.78

Dari beberapa penjelasan hadis dan pendapat para sufi di

atas, dapat dipahami bahwa lingkungan dan makhluk lain – selain

manusia – juga perlu dihargai dan dihormati. Sikap intolerasi

terhadap alam akan menjadi bencana bagi manusia itu sendiri,

termasuk banjir. Bencana banjir merupakan fenomena alam yang

memiliki banyak sekali makna bagi masyarakat. Sebagian

masyarakat percaya bahwa banjir adalah kekuasaan dan kebaikan

Tuhan. Sebagian lagi melihat banjir sebagai ujian dari Tuhan.

Singkatnya, nilai-nilai spiritual diperlukan untuk menikmati hasil

alam sehingga alam dimanfaatkan secara bijaksana, dan alam pun

tidak murka kepada manusia.

77Jala>l al-Di>n al-Ru>mi>, The Masnavi, Book One, Translated with an

Introduction and Notes By Jawid Mojaddedi (Oxford and New York: Oxford

University Press, 2004), 3279-3282, 1019, 2403.

78

Ru>mi>, The Masnavi, 3279-3282, 1019, 2403.

45

46

BAB III

KONDISI WILAYAH PENELITIAN

Pada penelitian ini, wilayah yang diteli adalah Desa

Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur provinsi

Kepulauan Bangka Belitung.

A. Profil Desa Lenggang

Sebagaimana desa-desa lainnya, Desa Lenggang memiliki

struktur pemerintahan desa, yang dibentuk berdasarkan UU No 6

tahun 2014 yang selanjutnya ditindaklanjuti dalam PP No 43 tahun

2014 dan peraturan menteri yang terkait ‖Peraturan Menteri Dalam

negeri dan Peraturan Menteri PDT‖. Peraturan dan UU ini menjadi

landasan yuridis bahwa kemandirian desa dapat mengoptimalkan

penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan

desa, pembinaan masyarakat desa, pengelolaan anggaran desa baik

dari APBN maupun anggaran desa maupun anggaran desa yang

dituangkan dalam APBD Des.

1. Struktur Pemerintahan Desa Lenggang:

Desa Lenggang merupakan desa yang berlokasi di

Kecamatan Gantung. Desa ini berdiri pada tahun 2008 berdasarkan

Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2008. Jumlah penduduk di desa

ini sebanyak 4.195 jiwa dan terdiri dari 1.363 kepala keluarga.

Sedangkan luas desa ini adalah 3.800. Untuk lebih jelasnya bisa

dilihat pada tabel berikut ini:1

Nama Desa Lenggang

Alamat Jl. Laskar Pelangi Rt.1 Dusun Jaya Desa

Lenggang, Kecamatan Gantung

Tahun Pembentukan 2008

Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2008

Nomor Kode Wilayah 2009

Kecamatan Gantung

Kabupaten Belitung Timur

1Observasi lapangan, Selasa – Jum‘at (24 - 27 Juli 2018) dan

dokumentasi Desa Lenggang 2018.

47

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Luas Wilayah 3800 Ha

Jumlah penduduk 4195 jiwa

Kepala keluarga 1363

Sementara, struktur Pemerintahan Desa Lenggang

Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung dapat lihat pada tabel di

bawah ini:

Kepala Desa Evo Lesmana

Sekretaris Desa Suparta

Kasi Pemerintahan Genda Pratisiawan

Kasi Pelayanan Aldi Gandari Elpizan

Kasi Pembangunan Eko Maulana

Kaur Umum dan Tata Usaha Rengga Pradana

Kaur Keuangan Eka Yuniarti

Kaur Perencanaan Puspa Vashanti

2. Sejarah Penamaan Desa Lenggang

Desa Lenggang terbentuk berdasarkan pemekaran Desa

Gantung pada tanggal 27 Nopember 2008.2 Penamaan Desa

Lenggang sendiri diambil dari nama seekor ikan, yaitu ikan

linggang, sejenis ikan lele. Bentuk ikan ini menyerupai ikan lele,

sehingga masyarakat sekitar banyak mengaitkannya dengan bentuk

sungai Lenggang yang berkelok-kelok. Sungai Desa Lenggang

merupakan sungai terpanjang di Pulau Belitung.3 Luas Desa

Lenggang mencapai 3.800 ha, yang terdiri dari 4 (empat) Dusun

dan 23 (dua puluh tiga) Rukun Tetangga. Batas wilayah dari Desa

Lenggang antara lain: Sebelah Timur berbatasan dengan Desa

Gantung, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lintang, sebelah

Selatan berbatasan dengan Desa Gantung, dan sebelah Utara

berbatasan dengan Desa Selingsing.4

Desa lenggang terdiri dari empat dusun: pertama, Dusun

Jaya, kepala dusun Toni (RT 1 sampai RT 7 masuk dalam dusun

2Dokumentasi Desa Lenggang 2018.

3Wawancara dengan Rengga Pradana Kaur Umum dan Tata Usaha Desa

Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018. 4Dokumentasi Desa Lenggang 2018.

48

Jaya). Kedua, Dusun Canggu, Kepala Dusun Idris (RT 8 sampai

RR 12 masuk dalam dusun Canggu). Ketiga, dusun Lenggang,

Kepala Dusun Indra Saputra (RT 13 sampai RT 18 masuk dalam

Dusun Lenggang). Keempat, Dusun Teratai, Kepala Dusun Teguh

Firmadona (RT 19 sampai RT 23 masuk dalam Dusun Teratai).

Ada beberapa etnis di Desa Lenggang ini, yaitu etnis Melayu,

Tionghua, Bugis, Madura, dan Jawa.5

B. Lenggang sebagai Desa Wisata

Desa Lenggang adalah salah satu desa wisata yang ada di

Pulau Belitung, tepatnya di Kecamatan Gantung Kabupaten

Belitung Timur.6 Setiap hari desa ini banyak dikunjungi wisatawan

yang ingin melihat objek laskar pelangi, antara lain SD Laskar

Pelangi, Museum Andrea Hirata, Kampong Ahok dan Galeri

Batik.7 Tentunya ini menjadi tempat wisata ideal bagi wisatawan.

Desa lenggang juga memiliki berbagai objek wisata yang tak kalah

menariknya yakni Bendungan Pice, Sungai Lenggang, kolam

renang yang telah direnovasi, Pujamas yang menyajikan makanan

minuman khas Belitung, panggung kesenian, dan Kelenteng Fuk

Tet Che. Inilah yang menjadi alasan Desa Lenggang masuk

destinasi wisata karena memiliki potensi besar sebagai daerah

wisata. Apalagi ditambah dengan kekayaan adat, seni dan

budayanya yang masih terpelihara, seperti budaya maras taun,

upacara – upacara adat, tari – tarian adat, dan yang lainnya

memberikan nilai lebih bagi desa ini dalam perkembangannya

menjadi Desa Wisata.8 Objek wisata yang baru dan sangat ramai

5https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/. Diakses

6 Agustus 2018. 6 https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=4625. Diakses 6 Agustus

2018. 7Wawancara dengan Genda Pratisiawan Kasi Pemerintahan Desa

Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli

2018 8https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/. Diakses

6 Agustus 2018.

49

dikunjungi di desa Lenggang berikutnya adalah Museum Kata yang

didirikan oleh Andrea Hirata. Museum ini berisi kutipan kata-kata

inspiratif yang ada dalam novel Laskar Pelangi dan novel-novel

yang terkenal baik dari dalam maupun luar negeri. Museum ini

sendiri merupakan rumah dengan gaya khas melayu dan terdapat

warung kopi dengan nama ―warung kopi kuli‖ di dalamnya.9

Desa Lenggang mulai dikenal melalui novel Laskar Pelangi

yang meledak pada tahun 2008. Penulis novel fenomenal ini adalah

putra asli desa Lenggang yaitu Andrea Hirata. karena sebagian

besar isi dari cerita yang ada pada novel tersebut berasal dari Desa

Lenggang.10 Untuk menuju lokasi Desa Lenggang, dari Bandara

Hanantjudin Tanjungpandan Kabupaten Belitung, butuh waktu

sekitar 1 jam perjalanan melewati beberapa objek wisata di

Kabupaten Beltim. Para pengunjung melintasi jalanan yang bagus

dan relatif masih sepi, diwarnai pemandangan bukit, pepohonan

serta perkebunan penduduk yang mempesona dan jarang bisa

ditemukan di tempat lainnya. Agar bisa menikmati kawasan ini

lebih maksimal terdapat banyak penginapan seperti Hotel Purnama,

Homestay dengan berbagai macam fasilitas, bahkan rumah-rumah

9Selain mempunyai replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi,

Museum Kata Andrea Hirata dan Bendungan PICE, Yang tidak kalah ramai

dikunjungi dan mengundang rasa penasaran wisatawan yang datang ke desa

Lenggang adalah Rumah Gubernur DKI Jakarta yang fenomenal, Basuki Tjahaja

Purnama. Desa Lenggang telah melahirkan beberapa public figure, baik dari

bidang sastra maupun politik. http://visitbangkabelitung.com/content/ desa-

lenggang. Diakses 6 Agustus 2018. 10

Novel yang ditulis berdasarkan cerita kehidupan Andrea Hirata

sebagai salah satu anggota Laskar Pelangi benar-benar memberikan gambaran

pendidikan yang sangat memprihatinkan di SD Muhammadiyah, Desa Lenggang ,

Gantung khususnya dan gambaran pendidikan di Indonesia umumnya. Inspirasi

dari kisah ini kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama, Laskar

Pelangi. Film yang diproduseri oleh Mira lesmana dan ditukangi oleh Riri Reza,

serta didukung oleh artis -artis yang sudah terkenal semakin mengangkat desa

Lenggang sebagai salah satu daerah wisata yang diperhitungkan. Pada awalnya,

replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi dibangun untuk keperluan syuting

dan sekarang replika ini menjadi objek wisata. Fasilitas pun dibangun didaerah

sekitar replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi seperti Pasar Rakyat Pujamas

dan Galeri Laskar Pelangi.

50

penduduk bisa disewa untuk kebutuhan bermalam, sarana

akomodasi tersebut terasa menyatu dengan alam, tempat makan

juga tersedia di Pujamas. Alam asri dan penuh ketenangan menjadi

ciri khas desa ini. Tentunya ini akan menjadikan suasana liburan

menjadi lebih eksklusif. Lebih spesifik lagi di Desa Lenggang ini,

banyak ditemukan beberapa papan penunjuk arah menuju objek

wisata tadi.11

C. Bendungan PICE dan Bencana Kemanusiaan

Bendungan yang lazim disebut ―PICE‖ oleh masyarakat

setempat diambil dari nama ―Sir Vance‖, yaitu seorang insinyur

Arsitek Belanda yang membangunnya. Bendungan PICE

merupakan sebuah bangunan peninggalan sejarah yang terletak di

bagian hulu sungai Lenggang Kota Gantung. Bendungan yang

tidak kurang dari 50 meter panjangnya ini dibangun pada tahun

1936-1939. Bendungan ini mempunyai 16 pintu dengan ukuran 2,5

meter dari tiap pintunya.12 Dari sinilah air terjun dengan ketinggian

10 meter. Dulu pada masa penambangan timah masih diusahakan

oleh perusahaan milik Belanda (GMB), bendungan tersebut

berfungsi sebagai alat pengatur tinggi rendahnya permukaan air

guna mempermudah sistem kerja kapal keruk melakukan eksplorasi

timah. Sampai saat ini terdapat beberapa bangunan peninggalan

dari zaman pemerintahan Belanda dan peningglan dari PT.

Timah.13

11

https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=4625. Diakses 6 Agustus

2018. 12

https:// www. indonesiakaya. com/jelajah – indonesia /detail/

bendungan- pice- bendungan-bersejarah- di-kota- gantong. Diakses 6 Agustus

2018 13

https://lenggangbeltim. wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/.

Diakses 6 Agustus 2018.

51

52

BAB IV

PANDANGAN MASYARAKAT DESA LENGGANG KECAMATAN GANTUNG KABUPATEN BELITUNG TMUR

TERHADAP EKO-SPIRITUAL DALAM KAITANNYA

DENGAN BANJIR DAN SOLUSINYA

A. Banjir dalam Perspektif Eko-Spiritual bagi masyarakat

Desa Lenggang Kabupaten Belitung Timur

Banjir yang melanda Kabupaten Belitung Timur pada Juli

2017 telah merusak sejumlah bangunan. Data posko Badan

penanggulangan Bencana Daerah (BPKD) Kabupaten Belitung

Timur mencatat lebih dari 4.000 rumah terendam banjir.1 Desa

Lenggang termasuk banjir terparah di Kecamatan Gantung.

Sedangkan dusun terparah yang dilanda banjir adalah Dusun

Canggung, Desa Lenggang. Banjir ini disebabkan meluapnya air di

bendungan PICE kiriman air dari sungai lenggang.2

Ada berberapa faktor penyebab terjadinya banjir di desa ini,

di antaranya: pertama, curah hujan sangat tinggi. Kedua, terjadinya

pendangkal DAS (Daerah Aliran Sungai) akibat penambangan liar

sehingga air tertahan dan tidak mengalir secara normal. Ketiga,

tingginya curah hujan yang ekstrem diiringi dengan tingginya air

pasang laut. Keempat, Dam air yang permukaannya lebih tinggi

sehingga tidak mampu lagi menampung debit air yang tinggi dan

pada akhirnya merendam daratan yang lebih rendah. Kelima,

jebolnya bendungan akibat tidak mampu menampung derasnya air

hujan.3

1

https://www. liputan6.com/ news/read/3027522/4000-lebih-rumah-di-

belitung-timur- masih-terendam-banjir, Diakses 22 Juli 2018.

2http://bangka. tribunnews. com/ 2017/07/20/kampung-ini-paling-parah-

diterjang- banjir-rumah-warga-porak-poranda, Diakses 25 Juli 2018.

3Wawancara dengan Toni, Kepala Dusun Jaya (RT 1 sampai RT 7)

Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur tanggal 25 Juli

2018.

53

Jika dilihat dari penyebab terjadinya banjir di daerah ini,

salah satu faktornya adalah penambangan liar. Kerusakan hutan

akibat penambangan liar di wilayah Bangka Belitung disebabkan

oleh tingginya kebutuhan lahan dan komoditi di kawasan hutan

industri.4 Data-data kerusakan hutan dan lingkungan akibat

penambangan timah dan pembukaan lahan pertanian dan

perkebunan di Belitung Timur seluas 20.426 hektar.5

Kerusakan lingkungan di Desa Lenggang – sebagaimana

dikatakan Kepala Dusun Lenggang, Indra Saputra - telah

menyebabkan banjir.6 Bencana banjir sebagai akibat pengrusakan

hutan, jika dilihat dari perspektif eko-spiritual, mengindikasikan

kurangnya pemahaman tentang tawhi>d.

Sejak adanya manusia di muka bumi ini bencana telah ada

dan kejadiannya bervariasi, baik yang disebabkan oleh alam, non-

alam maupun bencana lainnya (seperti bencana sosial, dan bencana

kemanusiaan lainnya). Bencana terjadi dengan sebab yang

bermacam-macam. Bencana yang disebabkan oleh alam terjadi

karena faktor alam itu sendiri atau faktor non alam yang

berdampak kepada struktur perubahan alam yang kemudian

menyebabkan bencana alam. Demikian pula bencana non-alam dan

bencana sosial sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia yang

tidak mampu mengelola hubungan dengan alam dan terganggunya

struktur dan tatanan sosial. Bencana dapat terjadi dimana saja,

kapan saja, dan menimpa siapa saja di muka bumi ini. Menurut

4Data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2016);

Dian Setiawan, Dodik Ridho Nurrochmat, dan Budi Kuncahyo, ―Model

Keberterimaan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan di Kepulauan Bangka

Belitung (Acceptability Model Of The Use Of Forest Area Policy In Bangka

Belitung)‖, Media Konservasi, Vol. 23 No. 1 (April 2018): 66.

5Data Tutupan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Bangka Belitung

Tahun 2015. Lihat Setiawan, Nurrochmat, dan Kuncahyo, ―Model

Keberterimaan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan di Kepulauan Bangka

Belitung‖, 66.

6Wawancara dengan Indra Saputra, Kepala Dusun Lenggang

Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur tanggal 25 Juli 2018.

54

sebagian ahli, bencana bukanlah takdir yang telah ditentukan Allah,

tetapi sebagai akibat ulah umat manusia yang belum mampu

menjaga pola interaksinya dengan alam dan lingkungannya.7

Interaksi manusia dengan alam merupakan bagian dari

implementasi tawhi>d.

Berkaitan dengan bencana, khususnya bencana banjir yang

terjadi di Desa Lenggang Kecamatan Gantung, penulis menggali

makna atau pengertian daripada bencana itu sendiri kepada

beberapa masyarakat yang selama terjadi bencana banjir telah

banyak membantu, baik berupa tenaga maupun pikiran terhadap

para korban banjir dan pihak pemerintahan. Sebagaimana menurut

Mifta Suhni8 bencana dapat dimaknai dengan berbagai macam

makna, sebagai musibah dan bisa juga bencana itu sebagai sebuah

peringatan. Sebagai musibah, bencana diartikan bahwa pada

dasarnya manusialah yang membuat bencana itu terjadi, apalagi

Tuhan telah memerintahkan manusia untuk bisa melestarikan

lingkungan. Dalam pandangan Mifta Suhni banyak sekali ayat-ayat

al-Qur‘an dan Hadits Nabi yang menjelaskan tentang pentinya

menjaga lingkungan. Ini menunjukkan bahwa melestarikan

lingkungan dan menjaga kebersihan merupakan jati diri seorang

Muslim yang beriman. Mifta Suhni juga menegaskan bahwa

masyarakat perlu mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta,

Yang Maha Pemberi Musibah itu, karena musibah apapun itu dari

kehendak Tuhan. Selain itu, bencana banjir tersebut sebagai bahan

evaluasi kepada pemerintah kita. Evaluasinya apa? Kinerja

pemerintah dan kepedulian masyarakat barangkali selama ini

bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang telah mereka lakukan.

7Hatamar Rasyid, Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog Publik

―Bencana Bukan Takdir: Memetakan Potensi dan Ancaman di Bagka Belitung

serta Strategi Penguatan Sumber Daya‖ yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian

dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Syaikh

Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, 25 Mei 2015. 8Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Belitung Timur

55

Dengan adanya musibah ini, mereka mengambil pelajaran atau

tidak.9

Demikian juga Khairil Anwar, Camat Gantung,

menegaskan bahwa banjir di Desa Lenggang dan sekitarnya

menjadi pelajaran bagi pihak pemerintah. Selama ini Desa

Lenggang dan seluruh desa lainnya di Kecamatan Gantung tidak

pernah ada musibah banjir. Pemerintah terlena dengan operasi

penambangan Timah. Pemerintah juga belum mengupayakan

pembuatan Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mempersempit

jalur air, dan membuat aliran air tidak lancar.10

Banjir memang dikategorisasikan sebagai takdir. Namun,

perlu disadari bahwa manusia sebagai masyarakat ekologi

diberikan akal agar menjaga lingkungan. Sebagaimana dikatakan

Kepala Dusun Teratai Desa Lenggang, Teguh Firmadona, bahwa

sebagai masyarakat ekologi manusia harus senantiasa menjaga

lingkungan yang dihuni berbagai organisme baik yang mati

maupun hidup.11 Argumen Teguh ini relevan dengan apa yang

dikemukakan Mujiono Abdillah bahwa lingkungan (environment)

adalah keseluruhan perikehidupan di luar suatu organisme baik

berupa benda mati maupun benda hidup.12 Masyarakat ekologi

semestinya menyadari bahwa lingkungan pada hakikatnya

mencakup keseluruhan biospher di luar suatu organisme, namun

masyarakat ekologi aplikatif cenderung mempersempit wacana

lingkungan.

Sebagai penduduk bumi, manusia harus memiliki etika

terhadap ekologi. Kepala Dusun Canggu, Idris, mengatakan bahwa

manusia harus sopan, santun, dan beretika terhadap ekologi. Tanpa

9Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama

Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018. 10

Wawancara dengan Camat Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu

25 Juli 2018.

11

Wawancara dengan Teguh Firmadona, Kepala Dusun Teratai Desa

Lenggang, Rabu 25 Juli 2018. 12

Mujiono Abdillah, Agama Ramah LingkunganPerspektif al-Qur‟an

(Jakarta: Paramadiana, 2001), 29-30.

56

adanya etika dan moral terhadap ekologi berarti manusia tidak

menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan, dan sekaligus tidak

menghargai manusia lain sebagai penghuni bumi.13 Pendapat Idris

ini relevan dengan makna etika ekologi dalam perspektif filsafat

bahwa manusia perlu mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam

berhubungan dengan alam semesta. Manusia semestinya berbuat

baik terhadap lingkungannya. Etika lingkungan, seperti

dikemukakan A. Sony Keraf, merupakan sebuah refleksi kritis atas

norma-norma atau nilai moral yang selama ini telah dikenal dalam

komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam semua

komunitas ekologis. Etika lingkungan hidup mengajarkan manusia

agar berperilaku baik terhadap lingkungan sehingga perlakuan baik

terhadap lingkungan tersebut dapat memberi manfaat kepada

manusia lainnya, alam, dan makhluk hidup lainnya. 14

Selain itu, ekologi dalam Islam juga dapat ditempuh melalui

prinsip tawh}i>d. Tauhid dipandang sebagai pilar utama yang

melandasi semua bentuk kepercayaan, keyakinan, perbuatan, dan

tingkah laku manusia. Seluruh aspek kehidupan dan prilaku

seorang muslim selalu berkaitan dengan keyakinan bahwa Tuhan

Maha Esa. Prinsip tersebut mengejawantah ke dalam segala bentuk

aktivitasnya. Seorang muslim tidak dibolehkan merusak bumi

karena perbuatan tersebut sangat menyimpang dari tauhid yang

diyakininya. Tauhid selalu menuntun atau mengarahkan seorang

Muslim untuk berbuat selaras dengan ketentuan-ketentuan

keilahiahan.15 Dengan demikian, prinsip tauhid merupakan prinsip

13Wawancara dengan Kepala Dusun Canggu, Idris, Rabu 25 Juli 2018.

14A. Sony Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Kompas, 2002), 25-27.

Adapun menurut Jhon F. Haught, etika ekologi merupakan sebuah prinsip yang

mudah dipahami seperti terkandung dalam himbauannya bahwa ―kalau kita tidak

belajar untuk melihat dan mengalami bumi sebagai kediaman yang sebenarny a,

kita tidak begitu cenderung, kalau memang ada, menaruh kepedulian

terhadapnya‖. Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, dari konflik ke

Dialog, Terj. Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), 324-325. 15

Fazlun Khalid, ―Islam and the Environment Ethics and Practice‖, 7;

Bakar, Tauhid dan Sains, 67-69.

57

dasar yang melandasi sikap dan perbuatan manusia dalam

kaitannya antara manusia dengan Penciptanya (h}abl ma‘a

Kha>liqih), manusia dengan sesamanya (h}abl min al-na>s), dan

manusia terhadap makhluk hidup lainnya (h}abl ma‘a ghairih).

Sebagai sumber utama ajaran Islam, sebagaimana dikatakan

Uri Khatansah (Tokoh Pemuda), al-Qur‘an telah mengisyaratkan

kepada manusia kaidah-kaidah penting tentang alam atau

lingkungan, bagaimana menjaganya, peran apa yang harus

dijalankan, dan nilai-nilai apa yang dapat dipetik dari serangkaian

fenomena-fenomena di baliknya.16 Pendapat Uri ini sejalan dengan

apa yang dijelaskan A. Qadir Gassing, bahwa konsep ekologi

Islam sangat identik dengan doktrin al-Qur‘an tentang alam dan

lingkungan itu sendiri. Hal itu dapat ditelusuri dari tiga kata kunci,

yaitu:al-ard} (bumi atau lingkungan), al-ifsa>d (pengrusakan), dan al-

is}la>h} (pelestarian). Dalam al-Qur‘an, kata al-ard} diulang sebanyak

461 kali dalam 80 su>rah. Jika dicermati lebih lanjut, bumi

(lingkungan), sebagaimana dimaksud dalam beberapa ayat tadi,

berfungsi sebagai penopang kehidupan dan keberlanjutan

peradaban manusia, termasuk semua ekosistem yang ada di

dalamnya. Lantaran itulah, bumi dibentangkan sebagai hamparan

(fira>shan),17 sekaligus sebagai tempat tinggal/kediaman yang tepat

bagi manusia (qara>ran),18 atau dalam bahasa al-Qur‘an lainnya

disebut mustaqarrun19dalam rangka memperjuangkan kehidupan

(ma‘a>yish).20 Dengan demikian, peran vital bumi sebagai penopang

kehidupan semua makhluk tidak dapat diganggu gugat

keberadaannya. Merusak bumi sama halnya dengan

menghancurkan semua bentuk kehidupan di dalamnya, termasuk

manusia itu sendiri. Sangatlah wajar, bila al-Qur‘an mengingatkan

16Wawancara dengan Uri Khatansah, Tokoh Pemuda di Kecamatan

Gantung, Rabu, 26 Juli 2018. 17

Qs.al-Baqarah [2]:22; al-Dha>riya>t [51]:48. 18

Qs.al-Naml [27]:61; al-Mu’min [40]:64. 19

Qs.Ya>sin [36]:2; al-Naml [27]:24. 20

Qs. al-A‘ra>f [7]:10; al-H{ijr [15]:20; al-Zukhruf [43]:32.

58

manusia secara berulang dalam beberapa surat dan ayatnya supaya

eksistensi bumi tetap lestari demi semata-mata bagi semua bentuk

kehidupan, utamanya manusia itu sendiri.

Lebih lanjut menurut Gassing, konsep al-ifsa>d

(pengrusakan) dan al-is}la>h} (perbaikan) merupakan isyarat al-

Qur‘an agar manusia menjaga lingkungannya. Kata al-ifsa>d disebut

sebanyak 50 kali di 40 ayat dengan makna kerusakan secara umum.

Dalam Qs.al-Baqarah [2]: 205, disebut secara langsung pengertian

kerusakan bumi, baik mencakup flora maupun fauna. Sedang dalam

ayat lainnya, kata tersebut berhubungan dengan makna yang

menyangkut kerusakan moral atau keyakinan. Lawan kata ifsa>d

atau fasa>d tadi adalah is}la>h}, seperti terlihat dalam beberapa ayat

berikut: Qs.Yu>nus [10]:81; al-A‘ra>f [7]:142; al-Shu‘ara>’ [26]:152;

dan al-Naml [27]:48. Dari sejumlah ayat ini, dipahami bahwa

konsep is}la>h} mencakup upaya perbaikan moral dan keyakinan

agama seseorang, termasuk juga memperbaiki kualitas

kehidupannya secara umum. Dengan kata lain, segala upaya

mewujudkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan di muka bumi di

satu sisi, dan menghilangkan kerusakan dan keburukan dalam

berbagai bentuknya di sisi lain, merupakan suatu perintah

(kewajiban) yang secara tegas telah dinyatakan dalam al-Qur‘an.21

Melalui konsep tersebut, jelas sekali bahwa dalam Islam,

manusia dilarang melakukan perbuatan merusak, mencemar, dan

mengotori bumi beserta semua kehidupan di dalamnya. Sebab

dalam batas tertentu, para pelaku (mufsid) diidentifikasi sebagai

ka>fir, muna>fiq, musyriq, fa>siq, dan munkir, yang merupakan

kategori orang-orang yang mendapat azab dari Allah Swt, sedang

mereka yang melakukan isla>h dikatagorikan sebagai orang yang

mendapat ganjaran pahala dan kebaikan dari Tuhan Sang Pencipta.

Dua sikap yang berlawanan, merusak (ifsa>d) dan merawat (is}la>h})

adalah pilihan, semua kembali kepada manusia. Bila menghendaki

21

A. Qadir Gassing, ―Perspektif Hukum Islam tentang Lingkungan

Hidup‖, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Srarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

59

kondisi bumi yang lestari, damai, dan tentram, maka pilihan logis

yang harus diputuskan oleh manusia adalah is}la>h}, yang diikuti pula

dengan sikap dan perbuatan yang tidak merusak, mencemar,

mengeksploitasi, dan merendahkan semua bentuk kehidupan di

bumi. Berdasarkan argumen ini, jelas bahwa dalam Islam menjaga

lingkungan merupakan suatu kewajiban yang telah dilegitimasi

berdasar sumber utamanya, yakni al-Qur‘an.

Uri (tokoh pemuda Kecamatan Gantung),22 selanjutnya,

menegaskan bahwa manusia perlu menyadari betapa pentingnya

menjaga lingkungan sebagai tempat tinggal. Pendapat Uri ini

berkaitan dengan Ernst yang mengatakan ekologi sebagai ‗bagian

kehidupan organik yang harus dipelihara‘ (the domestic side of

organic life).

Seruan dan himbauan agar senantiasa menjaga alam telah

dilakukan oleh Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur,

baik sebelum terjadinya banjir maupun pasca terjadinya banjir. Hal

ini disampaikan oleh Muhklisul Fatih, penyuluh agama dari

Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur. Mukhlish

menjelaskan bahwa alam sebagai ciptaan Tuhan perlu ditata,

dirawat, dan dijaga kelestariannya. Alam telah memberikan

manfaat yang cukup besar bagi manusia untuk bernafas, bercocok

tanam, pertambangan, perkebunan, dan sebagainya. Manusia,

sebagai khali>fah, diberikan keleluasan untuk memanfaatkan alam,

namun manusia tidak dibolehkan untuk memanfaatkannya

melampaui batas.23

Pendapat Mukhlish ini memiliki relevansi dengan konsepsi

religius Islam yang menempatkan manusia sebagai makhluk,

hamba, sekaligus khali>fah Tuhan di muka bumi.24 Predikat manusia

22Wawancara dengan Uri Khatansah, Tokoh Pemuda di Kecamatan

Gantung, Rabu, 26 Juli 2018.

23

Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kementerian Agama

Kabupaten Belitung Timur, Kamis 26 Juli 2018. 24

Qs. al-Baqarah [2]:30; Qs. al-An‘am [6]:165; Qs. S{a>d} [38]:26; Qs.

Yunus [10]:14.

60

sebagai khali>fah diberi tugas untuk mengabdi, beribadah (tunduk)

kepada Kha>liq, dan bertanggung jawab mengemban amanah untuk

memakmurkan bumi selaras dengan kehendak-Nya. Pemanfaatan

alam harus mengutamakan prinsip-prinsip etis yang ditetapkan

Allah. Manusia boleh memanfaatkan sumber alam sebagai nikmat,

anugerah, dan berkah sebatas pemenuhan kebutuhan, tanpa

merusak, mencederai, dan merendahkan. Pemanfaatan sumber alam

tersebut, tentu harus selaras dengan kaidah al-Qur‘an, seperti tidak

berlebihan atau mubazir.25

Konsep khali>fatullah fi al-ard} lebih ditujukan agar wakil

Allah di bumi ini mampu memakmurkan bumi selaras dengan sifat-

sifat dan prilaku-Nya.26 Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai

Pemelihara, Penjaga, dan Pencipta Alam Semesta (Rabb al-

„alamin), maka sebagai wakilnya, manusia diharapkan mampu

meniru dan mencontoh sifat-sifat ilahiah tersebut demi

keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan semua

makhluk. Prinsip tashabbuh bi-al-ilah (meneladani Tuhan dalam

sifat dan nama-Nya) menjadi suatu keniscayaan,27 sebagaimana

ditegaskan dalam al-Qur‘an (Qs. al-A’ra>f [70]: 180): wa-lilla>h al-

asma>‘u al-h}usna> fad‘u>hu biha > (bagi Allah ada nama-nama yang

indah, maka teladanilah nama-nama itu dalam kehidupan). Dengan

demikian, prinsip tersebut merupakan piranti penting bagaimana

manusia merawat dan memakmurkan alam sebagai amanah yang

harus ditunaikan.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran di bidang etika

lingkungan, ada beberapa teori etika lingkungan, yang sekaligus

menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan

lingkungan. Teori-teori etika lingkungan itu adalah, Intermediate

Environmental Ethics, Shallow Environmental Ethics, dan Deep

25

Qs. al-An‗am [6]:141. Lihat Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan

Kosmik Hubungan Alam dan Manusia (Jakarta: Impressa, 2013), hlm. 36-37. 26

Qs. al-Baqarah [2]:30; Qs. Hud [11]:61. 27

Baca Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik, 37.

61

Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai

biosentrisme, dan antroposentrisme, ekosentrisme.28

Meski mendapat kritik dan tudingan negatif dari sejumlah

kalangan,29 Islam, melalui para pemikirnya, seperti Seyyed Hossein

Nasr, Yu>suf Qarad}a>wi>, Fazlun Khalid, dan ‘Abdullah Shaha>tah,

telah berupaya menepis stereotype tersebut, sembari menunjukkan

bukti bahwa Islam adalah agama ramah lingkungan.30

Di samping al-Qur‘an sebagai sumber utama tentang

lingkungan, Nasr juga melansir sumber lain, seperti hadis, dan

putusan hukum Islam atau Shari>‘ah, teks-teks filsafat Islam dan

sufisme.31 Sumber-sumber ini kemudian berkembang dengan fokus

28

Keraf, Etika Lingkungan, 32. 29

Lynn White, Jr. menuding agama-agama monoteis, termasuk Islam,

sebagai agama yang turut mempercepat laju kerusakan bumi. Lihat White, Jr.,

―The Historical Roots of Our Ecological Crisis‖, 1203-1207. Keith Thomas,

mengikuti jejak White, memandang Islam sebagai agama yang melegalkan

dominasi manusia atas alam melalui sejumlah doktrin teologis yang terdapat

dalam kitab suci Islam. Keith Thomas, Man and the Natural World; Changing

Attitude in England, 1500-1899 (London: Allen Lane, 1983), 21. Di sisi lain,

seperti diisyaratkan oleh Roger E. Timm, Islam dengan doktrin teologisnya, satu

sisi memandang alam (lingkungan) sebagai objek penguasaan, dominasi, dan

eksploitasi, namun di sisi lain, mengisyaratkan adanya s ikap dan sudut pandang

yang ramah terhadap lingkungan. Teologi tersebut, lanjut E. Timm, bersifat

ambivalen dan memiliki dua mata sisi yang berbeda. Terlepas dari persoalan itu,

Timm menjelaskan lebih lanjut, bahwa krisis lingkungan di dunia Islam terjadi

lebih dimotori oleh aspek ekonomi (kemiskinan) masyarakatnya, di samping

pudarnya moralitas Islam para pemimpinnya lantaran sudah begitu akutnya

penyakit mabuk teknologi dan pengetahuan yang dikembangkan Eropa dan

Amerika. Roger E. Timm, ―Dampak Ekologis Teologi Penciptaan Menurut

Islam‖ dalam Mary Evlyn Tucker dan Jhon A. Grim, Agama, Filsafat, dan

Lingkungan Hidup (Jakarta: Kanisius, 2003), 113. 30

Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Ri‘a>yah al-Bi>’ah fi> Shari>‘ah al-Isla>m (Kairo: Da>r

al-Shuru>q, 2001); ‘Abdulla>h Shaha>tah, Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi> fi> al-H{ifa>z} ‘ala>

al-Bi>’ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1968). 31

SeyyedHossein Nasr, ―Islam, The Contemporary Islamic World and

the Environmental Crisis‖, in R. C. Foltz, F. M. Denny and A. Baharuddin, Islam

and Ecology: A Bestowed Trust (Massachussets: Harvard University Press,

2003), 93-94. Lihat juga kajian Bakar, Environmental Wisdom for Planet Earth ,

31-44.

62

bahasannya tersendiri seperti eco-shari>‘ah – mencakup eco-us}u>l

fiqh dan eco-fiqh – ekoteologi, ekosopi, dan ekosufisme.

Dari sisi lain, ‘Abdullah Shaha>tah memandang bahwa

realitas alam semesta ini diciptakan dengan rencana yang benar (al-

h}aqq),32 mengandung hikmah dan tujuan keilahiaan yang bersifat

mulia, bukan atas dasar ketidaksengajaan, sia-sia, dan tanpa

tujuan,33 seperti dalam saintisme Barat. Dalam Islam, alam

mempunyai eksistensi riil, objektif, dan berjalan selaras dengan

hukum (kadar) yang tetap,34 bukan sesuatu yang semu (maya) tanpa

makna.35 Bahkan, semua makhluk di alam ini diciptakan semata-

mata untuk mengabdi (suju>d) kepada Rabb Yang Esa.36 Bila

demikian, anggapan yang memandang makhluk ciptaan sebagai

rendahan, tidak bermakna, dan tanpa tujuan, serta keyakinan bahwa

manusia diperkenankan untuk mengeksploitasi alam sebesar-

besarnya tanpa ada pertanggungjawaban etis, hal itu bertentangan

dengan qadr, hukum, dan sunnatulla>h yang telah ditetapkan oleh

Tuhan. Mengingkari atau menyalahi sebuah ketentuan keilahiaan

tersebut merupakan bentuk penyelewengan dan pembangkangan

yang nyata terhadap Tuhan dan diri sendiri.

Relevan dengan tradisi-tradisi timur, metafisika terus

menerus hidup hingga hari ini, dan meskipun berbeda pondasi, ada

kesatuan doktrin yang membenarkan penggunaan istilah

‗metafisika Timur‘, meskipun metafisika tidak mengenal Timur

32

Qs. Al-An’a>m [6]:73; al-H{ijr [15]:85; al-Ru>m [30]:8; al-Ja>thiya>h

[45]:22; al-Tagha>bun [64]:3. 33

Qs. A<<<<li> ‘Imra>n [3]:191; al-Anbiya>’ [21]:16; al-Mu’minu>n [23]:115;

S{a>d} [38]:27; al-Dukha>n [44]: 38-39. Mulyadhi Kartanegara, Akar Religius,

Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), 41-44.

Roger E. Timm, ‖Dampak EkologisTeologi Penciptaan menurut Islam‖ dalam

Tucker dan Grim, Agama, Filsafat, danLingkungan Hidup, 105-106. 34

Qs. Al-Ah{za>b [33]:38; al-R‘ad [13]:8,17; Al-Fath} [48]:23; al-Furqa>n

[25]:2; Lihat Mulyadhi Kartanegara, NalarReligius, 41. 35

Shaha>tah, Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi>, 18. 36

Qs. Al-H{ajj [22]:8.

63

atau Barat.37 Menurut Seyyed Hossein Nasr, hilangnya

pengetahuan metafisik adalah penyebab hilangnya harmoni antara

manusia dan alam.38

Dalam tradisi cina klasik, terutama Taoisme dan juga Neo-

Konfusianisme,39 melukiskan alam semesta dalam batasan-batasan

kerangka yin dan yang,40 yang bisa dipahami sebagai prinsip-

prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria dan

wanita. Yin dan yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan,

dan perpaduan keduanya menghasilkan banyak hal, yakni segala

sesuatu yang ada.41

Dalam pandangan Islam, alam (lingkungan hidup) bersifat

menyatu (holistik) dan saling berhubungan, dimana komponennya

adalah Tuhan Sang Pencipta alam dan makhluk hidup, termasuk

manusia. Sebagai makhluk dan hamba Tuhan, manusia juga

dipandang sebagai khali>fah-Nya (wakil) di muka bumi.42 Manusia

diberi tugas untuk mengabdi, beribadah (tunduk) kepada Sang

Kha>liq, dan bertanggung jawab mengemban amanah untuk

memakmurkan bumi selaras dengan kehendak-Nya. Demi

kemaslahatan, manusia diperkenankan untuk memanfaatkan

37Seyyed Hossein Nasr, Antara Manusia Tuhan dan Alam: Jembatan

Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spritual, terj. Ali Noer Zaman

(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 100. 38

Nasr, Antara Manusia Tuhan dan Alam, 101. 39

Sebuah pemujaan pada alam dan pemahaman mengenai signifikansi

metafisiknya yang memiliki arti sangat penting. Nasr, Antara Manusia Tuhan

dan Alam, 101-102. 40

Simbol terkenal Tai Chi (Tao) melukiskan yin dan yang sebagai

gerakan dan perubahan yang konstan. Dalam fenomena tertentu, hubungan

antara yin dan yang terus-menerus berubah. Karena itu, seluruh alam semesta

berubah setiap saat, bagaikan sungai yang mengalir. ―Perubahan‖ adalah proses

langit dan bumi serta segala sesuatu di antra keduanya diciptakan dan diciptakan

kembali. 41

Yin dan yang adalah prinsip-prinsip perubahan dan symbol bagi

seluruh gerakan di alam semesta. Ketika matahari terbit, rembulan pun

tenggelam.Kala musim semi tiba, musim dingin pun beranjak pergi. Murata, The

Tao of Islam, 28. 42

Qs. Al-Baqarah [2]:30; Al-An‗am [6]:165; S{a>d} [38]:26; Yu>nus

[10]:14.

64

sumber alam yang telah disediakan kepadanya, dengan catatan

harus selaras dengan prinsip-prinsip etis yang telah ditetapkan.

Kata kuncinya adalah manusia boleh memanfaatkan sumber yang

ada sebagai nikmat, anugerah, dan berkah sebatas pemenuhan

kebutuhannya, tanpa merusak, mencederai, dan

merendahkannya.43Pemanfaatan sumber yang ada tersebut juga

harus selaras dengan kaidah al-Qur‘an, seperti tidak berlebihan,

atau mubazir.44

Dalam konteks tersebut pula, konsep khali>fatulla>h fi> al-ard}

menerangkan bahwa manusia sengaja dipilih oleh Allah sebagai

wakil-Nya di bumi untuk mengatur, memelihara, dan

memakmurkannya selaras dengan sifat-sifat dan prilaku-Nya.45

Semua yang ada di bumi merupakan amanah yang diperuntukkan

kepada manusia. Mengabaikan amanah ketuhanan tentu dipandang

sebagai suatu bentuk penyelewengan, bahkan pembangkangan

terhadap perintah Tuhan.

Dalam rangka mengemban amanah itu, Allah memperkenalkan

diri-Nya sebagai Pemelihara, Penjaga, dan Pencipta alam (rabb al-

‘a>lami>n), maka sebagai wakilnya, manusia diharapkan mampu

meniru dan mencontoh sifat-sifat ketuhanan tersebut demi

keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan semua

makhluk-Nya. Prinsip al-tashabbuh bi al-ilah (meneladani Tuhan)

dalam konteks ini merupakan suatu keniscayaan.46 Firman Allah

wa-lilla>h al-asma>‘u al-h}usna> fad‘u>hu biha > (bagi Allah ada nama-

nama yang indah, maka serulah Dia dengan nama-nama yang indah

itu), tidak saja kita diperintah untuk menyeru Tuhan dengan nama-

43

Fazlun Khalid, ―Islam and the Environment Ethics and Practice‖ , 8-9:

Shaha>tah,Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi> fi> al-H{ifa>z} ‘ala> al-Bi>’ah, 19. 44

Qs. Al-An‘a>m [6]:141. Lihat juga Fazlun Khalid, ―Islam and the

Environment Ethics and Practice‖, 4-5. 45

Qs. al-Baqarah [2]:30; Hu>d [11]:61. 46

Bandingkan dengan konsep al-tashabbuh bi al-ilah ala Ikhwa>n al-

S{afa>. Ikhwa>n al-S{afa>, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa> wa-Khulla>n al-Wafa> (T{ahra>n,

Maktab al-I‘la>m al-Isla>mi>, 2000), Jilid III, 30 dan 382.

65

nama itu, tetapi lebih jauh kita dituntut untuk meneladani nama-

nama dan sifat-sifat Tuhan tersebut dalam keseluruhan aspek

kehidupan nyata kita di bumi. Dengan demikian, prinsip al-

tashabbuh bi al-ilah merupakan piranti penting bagaimana manusia

merawat dan memakmurkan alam semesta sebagai amanah yang

harus segera ditunaikan.

Pada wilayah-wilayah krisis ekologis dimana umat Islam

tidak menjadi mayoritas, perlu dibangun mekanisme kolaboratif

dengan umat lain untuk bersama-sama mendorong dan melukan

berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Prinsip dasar, semua manusia dan mahluk hidup mendampakan

lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah pilar dalam

menyatukan gerakan pengelolaan lingkungan hidup. Umat Islam

berlandaskan menjalankan takwanya, harus didorong menjadi

pionir dalam melaksanakan mandat utama manusia di bumi.

Sebagai khalifatullah yang menebar kebaikan.

Sebagai sebuah sumber penting tentang lingkungan, al-

Qur‘an juga selalu mengisyaratkan kepada manusia agar

memerhatikan serangkaian fenomena di balik penciptaan alam

semesta, seperti: langit dan bumi, siang dan malam, laut, tanah,

udara, hewan, binatang, tumbuhan, mineral serta segala makhluk

yang ada di dalamnya. Keseluruhan fenomena itu merupakan

a>ya>t (tanda-tanda kekuasaan Tuhan), dengan harapan manusia

mampu mengenal dirinya dan Penciptanya. Sir Muhammad Iqbal—

seorang filosof-pujangga asal Pakistan—pernah menyebut bahwa

alam semesta adalah medan kreativitas Tuhan.47 Dengan demikian,

al-Qur‘an sejatinya telah mengajarkan manusia bahwa untuk

mengenal Pencipta dan dirinya, manusia dituntut untuk mengenal

dan memahami realitas alam yang terbentang luas di hadapannya.

Alam mengajarkan banyak hal, utamanya tentang hidup dan

kehidupan, bahkan Pencipta kepada manusia. Karenanya, merusak

47

Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in

Islam, (London: Oxpord University Press, 1934), 61.

66

alam (sumber pengetahuan dan kebijaksanaan) sama dengan

menghancurkan diri sendiri, bahkan menyinggung dan melawan

Tuhan.

Bagaimana dengan hubungan dengan lingkungan dengan

konsep a>khirah? Umat Islam di Indonesia merupakan kekuatan

yang dapat menjadi aktor kunci dalam merubah krisis ekologis

yang terjadi saat ini. Jika kekuaan umat Islam di Indonesia

terkelola berdasarkan kesadaran kritis dengan menjalankan nilai-

nilai islam secara kaffah, maka benang kusut persoalan lingkungan

dapat diminimalisir secara maksimal. Jumlah mayoritas saat ini

merupakan modalitas yang akan mampu merubah arah kebijakan

maupun perubahan secara fundamental karena nilai-nilai Islam

menjadi bagian dari sikap dan laku kehidupan sehari-hari.

Krisis ekologis, tidak saja berdampak pada sisi penghidupan

manusia, tapi juga mahluk hidup lain yang mampu menyuarakan

ketidakadilan yang dirasakan dan harus dijalani akibat keruskan

yang terjadi. Penempatan manusia sebagai khalifah di bumi oleh

Allah SWT wajib memposisikan dan memerankan sebagai khalifah

bagi kehidupan yang bermartabat bagi seluruh mahluk hidup. ini

menunjukan, peran umat Islam harus berperan aktif dalam

menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan yang ada, dimana

pun dan kapanpun sebagai bagian dari kewajiban. Dalam

menjalankan kewajiban tersebut, tidak ada larangan umat Islam

untuk bekerjasama dengan siapapun untuk membangun

kemaslahatan umat maupun lingkungan. Penilaian Allah SWT

terhadap manusia adalah dari sisi takwa:48

48

Takwa sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri

dari siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti s egala perintah-Nya dan

menjauhi segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).

Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara,

yakni menjaga diri agar selamat dunia dan

akhirat.Kata Waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya

dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.

67

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah

ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Mengenal” (Qs. al-Hujarat[49]:13).

Pengertian takwa menurut Mifta Suhni mengarah pada satu

konsep: yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi

larangannya, dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau

murka Allah SWT.49 Melaksanakan perintah dan menjauhi

larangan tentang melindungi dan mengelola lingkungan hidup

secara tersurat, jelas menjadi bagian dari perintah dan larangan.

Kenyataannya, nilai-nilai Islam dalam menjalani keseharian

terkait lingkungan hidup masih tertinggal. Sebagaimana

diungkapkan Mukhlis berbagai tindakan yang berkontribusi

terhadap kerusakan lingkungan dilakukan seolah tidak berimplikasi

merugikan orang lain atau mahluk hidup lainnya yang secara tegas

dilarang dalam Islam. Sebagai contoh, membuang sampah di

sungai, membuang limbah berbahaya, menebang pohon di hutan,

seolah-olah tindakan tersebut diperbolehkan. Sekalipun telah

muncul kesadaran sebagai tindakan tidak baik, tapi tetap dilakukan

karena dianggap tidak berdosa atau dosa kecil yang bisa dimaafkan

dengan beristigfar atau melakukan ibadah secara fisik.50 Sangat

49Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama

Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018. 50

Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kantor Urusan Agama

Kecmatan Gantung, Rabu 25 Juli 2018

68

berbeda jika umat Islam dihadapkan pada halal dan haramnya

makanan atau perbuatan jinayat umum; mencuri, berzina, berjudi

dll. Orang yang melakukan maupun yang melihat secara tegas

menyatakan itu berbuatan dosa yang diancam hukum di dunia

maupun akhirat. Sehigga ada upaya menghindari untuk

melakukannya. Lalu bagaimana dengan upaya menghindari

perusakan lingkungan atau melakukan praktik perbaikan kualitas

lingkungan itu sendiri? Bukankah menjaga kualitas lingkungan

atau tidak melakukan kerusakan di muka bumi juga adalah perintah

Allah SWT dan wajib dijalankan umat manusia sebagai khalifah di

bumi?

Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam ke

depan. Pengelolaan lingkungan hidup sebagai kewajiban karena

menjadi bagian dari Takwa sebagai pondasi umat. Ketakwaan perlu

direalisasikan dengan cara terlibat secara masif dalam mengelola

dan menghindari kerusakan serta melakukan perbaikan-perbaikan

pada wilayah yang telah rusak menjadi bagian dari nilai-nilai Islam

yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Untuk itu, perlu upaya

dalam menghimpun seluruh kekuatan, baik dalam sistem

pendidikan, sistem ekonomi, politik kebangsaan maupun sistem

dakwah yang akan dikembangkan ke depan. Dengan pemahaman

tentang nilai-nilai Islami secara ka>ffah dan menyeluruh inilah, akan

membawa bangsa ini merawat lingkungan hidup secara baik dan

benar. Secara langsung maupun tidak langsung, pada akhirnya

memaksa pengambil kebijakann – sektor bisnis maupun umat

beragama atau kelompok-kelompok lain – berjalan sinergis dengan

nilai-nilai Islam yang tertanam dalam pengelolaan sumber-sumber

penghidupan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Manusia, menurut Mifta Suhni,51 sebaiknya memperhatikan

kembali pesan Allah untuk membaca (iqra‟) alam semesta agar

manusia bisa bersikap santun dan ramah terhadap lingkungan. Apa

51

Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama

Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.

69

yang dikatakan Mifta Suhni berkaitan dengan perintah membaca

(iqra‘) dalam Surat al-‗Alaq (termasuk ayat-ayat Makki>yah). Kata

―Iqra‟‖secara implisit menunjukkan bahwa manusia tidak sebatas

disuruh untuk membaca al-Qur‘an, tetapi di balik perintah tersebut,

manusia dituntut pula untuk mengkaji atau mengambil pelajaran

dari objek apa saja yang dapat dibaca, ditelaah, direnungkan, dan

diteliti selain al-Qur‘an. Sebab objek yang dapat dibaca tidak saja

berupa ayat-ayat yang tertulis di dalam al-Qur‘an (Kita>b al-

Tadwi>ni>), melainkan mencakup ayat-ayat yang terhampar di

seluruh jagad raya semesta ini (Kita>b al-Takwi>ni>). ‘Azi >z al-Di>n al-

Nasafi> dalam kitabnya, Kashf al-H{aqa>’iq menyebut bahwa di

samping kitab tertulis yang wajib dibaca, manusia juga sejatinya

dapat membaca kitab alam, termasuk dirinya sendiri, yang

menyajikan sejuta kearifan dan pengetahuan, lengkap dengan surah

demi surah, ayat demi ayat, dan huruf demi huruf layaknya al-

Qur‘an.52 Mengkaji alam dan memahaminya, merupakan sebuah

upaya agar manusia mampu menjalin keharmonisan dengannya.

Hubungan harmonis antara manusia dengan alam adalah mediasi

utama dalam rangka menjadi manusia seutuhnya.53 Isyarat ini tentu

saja memberi peneguhan bahwa Islam telah menetapkan basis etik

ajarannya terkait bagaimana manusia memahami alam, mengambil

nilai-nilai kebijaksanaan darinya dan menerapkannya dalam

kehidupan nyata selaras dengan upaya-upaya konservasi alam dan

perlindungannya.

Lebih jauh, Qarad}a>wi> menilai bahwa penamaan surat-surat al-

Qur‘an dengan berbagai nama spesies tumbuhan, hewan (binatang),

52

Lihat kajian Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan

tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti

dan M.S. Nasrullah, Cet. ke-5 (Bandung: Mizan, 1998), 73-74; Seyyed Hossein

Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, (Yogyakarta: PustakaPelajar,

1997), 222-223. 53

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 13-14. William C. Chittick,

Kosmologi Islam dan Dunia Modern; Relevansi Ilmu-ilmu Intelektualisme Islam,

terj. Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2010), 149-150.

70

dan benda-benda, merupakan isyarat demi terwujudnya sikap yang

ramah dan proporsional terhadap semua ciptaan (makhluk hidup).

Di antara nama-nam hewan dan tumbuhan yang dilansirnya adalah

surat al-Baqarah (sapi), al-An‘a>m (binatang), al-Fi>l (gajah), al-

‘A<diya>t (kuda), al-Naml (semut), al-Nah}l (lebah), al-Ankabu>t

(laba-laba), al-T{i>n (pohon tin), al-H{adi>t (barang tambang), al-

Dha>riya>t (angin), al-Najm (bintang), al-Fajr (fajar), al-Shams

(matahari), al-Layl (malam), al-Duh}a> (waktu duha), al-‘As}r (waktu

asar) dan lain-lain.54 Bahkan, al-Qur‘an sendiri mendeskripsikan

alam dan berbagai spesies dengan istilah ummah (komunitas),

layaknya manusia.55 Penegasan al-Qur‘an dan hadis tentang ke-

ummah-an (komunitas) makhluk hidup tersebut menunjukkan

bahwa Islam, melalui dua sumber utamanya, adalah agama yang

memberi perhatian dan penghormatan besar terhadap semua

makhluk hidup.56

Sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis di atas, konsep

h}ala>l dan h}ara>m dalam Islam merupakan standar kunci bagaimana

manusia memperlakukan alam (lingkungan)-nya. Segala sesuatu

yang baik, menguntungkan, menenteramkan hati, dan bermanfaat

bagi manusia dan ekosistem lainnya merupakan penjabaran makna

dari halal. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk, negatif, merusak

dan membahayakan merupakan sesuatu yang haram (dilarang).

Kedua konsep ini dipandang sejalan dengan segala upaya yang

berkaitan dengan penyelamatan lingkungan.

54

Qarad}a>wi>, Ri‘a>yah al-Bi>’ah fi> Shari>‘ah al-Isla>m, 53-55. 55

Ibrahim Ozdemir, ―Toward an Understanding of Environmental Ethics

from Qur‘anicPerspektive‖ dalam Research Seminar “Religion and Ecology”

(Yogyakarta: CRCS, August, 09-13, 2005), 23; Osman Bakar, Tauhid dan Sains:

Perspektif Islam tentang Agama & Sains, terj. Yuliani Liputo, Cet. ke-1

(Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), 160-161. 56

Penegasan al-Qur‘an dan Hadis terkait ke-ummah-an makhluk selain

manusia, seperti terlihat pada Qs. Al-An‘a>m [6]: 38. Hadis tentang: ―Semut

merupakan ummat dari ummat Tuhan‖ (HR. Muslim); ―Sekiranya anjing itu

bukan ummat, niscaya aku perintahkan untuk membunuhnya‖ (HR. Tirmi>dzi> dan

Nasa’i>).

71

Hairiyati menambahkan bahwa bencana banjir yang telah

merusak rumah, fasilitas-fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya

merupakan hilangnya rasa cinta, kearifan, dan moralitas manusia

lingkungan.57 Penyataan Hairiyati ini, jika dikorelasikan dengan

perspektif ekosofi/ekosufi Islam, maka manusia harus memandang

alam raya dengan penuh simpati, cinta, dan tanggung jawab. Alam

adalah sumber belajar dan kearifan, sarat makna simbolik, dan kaya

pesan spiritual.58 Di samping sebagai a>ya>t, para filosuf/sufi

meyakini bahwa alam merupakan tajalli>, atau teofani Tuhan.59

Merusak alam dianggap sama saja dengan merusak diri sendiri

bahkan Tuhan.60

Selanjutnya, Herlita Kusumawati mengemukakan bahwa

manusia tidak diperkenankan untuk bersifat kufur, angkuh, serakah,

dan perusak terhadap alam. Lebih jauh, Herlita menambahkan alam

sebagai makrokosmos yang seyogyanya harus dilindungi sebagai

perwujudan sifat rah}ma>n dan rah}i>m Allah.61 Argumen Herlita ini

selaras dengan pendapat Thoshihiko Izutsu, perbuatan merusak di

atas merupakan suatu bentuk kekufuran. Kufr berarti sikap ingkar,

abai, dan tertutup. Kufur terhadap alam berarti mengingkari

perintah Tuhan untuk menghormati alam sebagai tanda-tanda-Nya,

mengabaikan pemanfaatan alam atas dasar kebijaksanaan, dan

tertutup dari mengenal dan belajar dari alam.62 Kufur dalam

57Wawancara dengan Hairyati, warga masyarakat Kecamatan Manggar,

Kamis 26 Juli 2018. Pernyataan Hairiyati ini sebagai ungkapan atas korban

musibah bencara banjir di kabupaten Belitung Timur. 58

Nasr, The Encounter of Man and Nature, 94-97; Bakar, Tauhid dan

Sains, 149-162; J. Susanto, Spiritual Wisdom, 97. 59

Murata, The Tao of Islam, 32-33. 60

Di dalam al-Qur‘an, Tuhan mengancam orang-orang yang merusak

alam dan kehidupan di bumi. Qs. al-Baqarah [2]:60, 205; [7]:56, 85; al-Qas}as}

[28]:88; al-Shu‘ara>’ [26]:183.

61

Wawancara dengan Herlita Kusumawati, warga masyarakat

Kecamatan Manggar, Kamis 26 Juli 2018. 62

Kata kufr dalam al-Qur‘an oleh Izutsu diulasnya berdasar aspek

semantik dan filologis. Kufr merupakan lawan kata dari shukr dan i>ma>n, yang

sepadan dengan makna kata d}a>la, takdhi>b, istakbara, bagha> (tiran), dan shirk .

72

konteks ini dapat dikategori sebagai bentuk ―kufur ekologis‖, yaitu

perbuatan merusak, abai, dan tidak ramah terhadap alam

(lingkungan). Sedang sikap sebaliknya, menjaga, merawat,

menghormati, dan santun terhadap alam (lingkungan) dikatagori

sebagai ―iman ekologis‖.63 Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa menjaga alam, merawat, dan memakmurkannya merupakan

tindakan yang mengantarkan kepada iman yang sesungguhnya,

sebaliknya, merusak alam, mengeksploitasi, dan merendahkannya

merupakan sebuah pengingkaran terhadap perintah dan titah Tuhan.

Pengingkaran tersebut merupakan manifestasi dari kekufuran.

B. Solusi Banjir dalam Perpsektif Eko-Spiritual

Berdasarkan data tahun 2017, hutan di wilayah Bangka

Belitung cukup luas, yaitu sebesar 657.378,26 hektar. Namun hutan

yang luas ini mengalami kerusakan sebesar 41.769,55 hektar (6,35

%).64 Jika dilihat dari kerusakan hutan yang cukup besar ini, perlu

dilakukan berbagai solusi, di antaranya pengembangan kesadaran

pelestarian lingkungan hidup berbasis humanisme agama,65 legalias

perhutanan sosial,66 pendidikan lingkungan hidup dalam upaya

pelestarian fungsi hutan lindung,67 implementasi pelestarian

Thoshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, Cet. ke-1

(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993), 143-170. 63

Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur‟an

(Jakarta: Paramadiana, 2001).

64

Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD)

Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017, 20.

65

Abdul Karim, ―Mengembangkan Kesadaran Melestarikan Lingkungan

Hidup Berbasis Humanisme Pendidikan Agama‖, Edukasia: Jurnal Penelitian

Pendidikan Islam, 12.2 (2018): 309-330.

66

Sigit Sapto Nugroho, "Legalitas Perhutanan Sosial: Sebuah Harapan

Menuju Kemakmuran Masyarakat Kawasan Hutan‖, Jurnal Yustisia Merdeka,

3.2 (2018).

67

Ferdinandus Samri, "Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Upaya

Pelestarian Fungsi Hutan Lindung‖, Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra

Bakti (2018): 254-267.

73

lingkungan hidup dalam bidang pidana terhadap illegal loging,68

termasuk dakwah penataan lingkungan69 atau dakwah ekologis.70

Dakwah ekologi sendiri bisa disebut sebagai dakwah untuk

mengajak dan mengingat manusia untuk menjaga kelestarian alam

dan lingkungan. Setiap Muslim – dan juga umat beragama lainnya

– perlu memahami arti penting lingkungan (ekologi). Allah

menegaskan dalam al-Qur‘an bahwa seorang Muslim perlu

mendakwahkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ekologi, yakni:71

1. Al-‘Ada>lah (adil), yang dapat diartikan keharusan berbuat secara

seimbang, tidak berlaku aniaya terhadap alam dan lingkungan

(Qs. al-An‘am: 38).

2. Al-Tawa>zun (seimbang), yakni harmoni dan stabilitas

kehidupan yang memerlukan keseimbangan (al-tawa>zun wa al-

i’tida>l) dan kelestarian di segala bidang.72

3. Al-Intifa’ wa la> al-Fasad (mengambil manfaat tanpa merusak),

yakni alam dan segala isinya dapat dimanfaatkan oleh manusia

68Wahyu Lukito, ―Implementasi Pelestarian Lingkungan Hidup dalam

Bidang Penegakan Hukum Pidana terhadap Kasus Illegal Logging (Studi Kasus

Polres Rembang)‖, Jurnal Hukum Khaira Ummah , 13.1 (2018): 153-160.

69

Siti Fatimatul Wafiroh, ―Pengembangan Masyarakat Melalui Program

Ecovillage dalam Pelestaraian Lingkungan Hidup: Studi Deskriptif di Desa

Langensari Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung‖, Disertasi, UIN

Sunan Gunung Djati Bandung, 2018.

70

Fachruddin M., dkk., Menanam sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan

Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).

71

Achmad Cholil, Al-Qur‟an dan Lingkungan Hidup (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2012), 54, 56, dan 57; Lihat juga Ichsan Habibi,

―Implementasi Nilai-Nilai Dakwah Ekologis dalam Program Pengembangan

Kampung Wisata Matras Kelurahan Sinar Baru Kabupaten Bangka‖, Jurnal

Mawa>„izh, Jurnal dakwah dan Sosial Kemanusiaan , Vol. 2, No. 2 (2017). 72

Al-tawazun dapat juga diartikan sebagai bentuk Allah SWT

menciptakan makhluk apa saja disesuaikan dengan kebutuhan makhluk-Nya.

Segala makhluk ciptaan Allah SWT, seperti air, udara, tumbuh-tumbuhan, dan

bahan tambang, tercipta atas dasar pertimbangan dan ukuran yang sangat akurat

dan teliti. Seolah-olah di sini Allah SWT memerlukan penelitian lebih dahulu

dengan menggunkan standar Hikmah Ilahiah sebelum mencipta. Lihat Hanafi

Ahmad, Al-Tafsir Al-„Ilmi Li Al-Ayat Al-Kauniyah fi Al-Qur‟an (Mesir: Dar

AMa‘rifat, tt.), 386.

74

tapi tidak boleh mengeksploitasinya hingga menimbulkan

kerusakan.

4. Al-Ri‘a>yah wa la> al-Israf (memelihara tanpa berlebihan), yakni

memelihara dan merawat alam dan lingkungan, tidak berlebihan

hingga merusak kelestariannya.

5. Al-Tahdith wa al-Istikhlaf, yakni kegiatan pembaruan terhadap

sumberdaya alam yang memungkinkan untuk diperbarui.

Allah menyediakan alam bagi manusia untuk dimanfaatkan

sebagai kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, pemanfaatan alam

harus senantiasa mempertimbangkan konsep keseimbangan, tidak

berlebihan, tidak mengeksploitasi alam, dan memperbarui alam

yang telah rusak.

Dalam pandangan Mukhlis, etika terhadap lingkungan

menjadi materi dakwah yang tepat mengingat maraknya kerusakan

lingkungan. Para penyuluh agama, da‘i, ustad, kiyai, tokoh agama,

dan tokoh masyarakat sebaiknya menyampaikan kepada

masyarakat (objek dakwah; mad‟u) bahwa Allah memerintahkan

manusia untuk melestarikan alam. Dakwah seperti ini disebut

sebagai dakwah ekologi, sebagai perwujudan dari da‟wah bi al-

ha>l.73 Metode dakwah seperti ini tentunya melibatkan tiga aktor,

yaitu masyarakat, komunitas, dan agen (pendakwah).74 Kegiatan

dakwah ekologis merupakan dakwah transformatif, yaitu kegiatan

dakwah yang dilakukan dari keprihatinan sosial menuju

kepentingan sosial.75 Formasi materi (ma>ddah) dakwah yang

berkesadaran sosial76 perlu dilakukan oleh para da‘i dalam bentuk

konkret, di ataranya turut serta memberikan bantuan harta (ma>l)

73Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kementerian Agama

Kabupaten Belitung Timur, Kamis 26 Juli 2018.

74

Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 378;

Vinna Wati Riski, ―Analisis Dakwah Ekologi Program Surabaya Green and

Clean‖, Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016, 6.

75

Deni Syahputra, ―Dakwah Transformatif (Studi Pemikiran Moeslim

Abdurrahman)‖. Disertasi, IAIN Raden Intan Lampung, 2017.

76

Wendi Parwanto dan Ridwan Rosdiawan, "Menggali Akar-Akar

Material (Maaddah) Dakwah Lingkungan‖, Al-Hikmah, 10.1 (2016).

75

untuk dana penghijauan, melarang pembalakan hutan, dan

membuat peraturan dan perundang-undangan yang ketat terhadap

perusakan ekologi (jika belum ada).

Dakwah ekologi juga dilakukan dengan kesadaran bahwa

dalam diri manusia terdapat nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual

ini menjadi daya dorong manusia untuk berhubungan dan

melestarikan ekologi. Pelestarian ekologi yang dilakukan oleh

sesorang didasarkan pada kehadiran Yang Mahahadir

(Omnipresent), sehingga alam perlu disapa dan dimanfaatkan

dengan santun dan bijaksana, tanpa berlebihan.77

77Irawan, ―Ekologi Spiritual: Solusi Krisis Lingkungan‖, Scientia,

Jurnal Hasil Penelitian, Vol. 2, No. 1 (2017): 1-21.

76

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menjelaskan eko-spiritual secara komprehensif pada

bab-bab sebelumnya, selanjutnya penelitian ini perlu disimpulkan

dan diberikan saran.

Pertama, pandangan Islam tentang ekologi-spiritual telah

dijelaskan dalam al-Qur‘an bahwa kehadiran manusia ke bumi

bukan untuk mendominasi alam. Islam mengajarkan manusia untuk

menjalin hubungan atas dasar konsep Ketuhanan, atau tri konsep

‗Tuhan, alam, dan manusia‘. Manusia adalah makhluk yang

diberikan akal dituntut untuk menghargai alam sebagai perwujudan

rasa syukur kepada Allah yang telah menitipkan kebutuhan

manusia melalui alam.

Kedua, pandangan masyarakat desa Lenggang tentang

ekologi spiritual dalam kaitannya dengan banjir dipahami secara

beragam. Namun, secara umum masyarakat di desa ini menyadari

pentingnya menjaga alam. Alam harus dilestarikan dan dijaga agar

tidak terjadi bencana banjir. Bencana banjir yang telah terjadi

bukan serta-merta takdir Tuhan, tetapi ada peran manusia yang

tidak menjaga alam.

Ketiga, solusi yang harus dilakukan agar banjir tidak terjadi

lagi dalam perpsektif eko-spiritual bagi masyarakat Desa Lenggang

Kecamatan Gantung di antaranya adalah kegiatan dakwah ekologi.

Dakwah ekologi adalah dakwah yang berorientasi pada seruan,

ajakan, dan tindakan merawat dan menjaga alam. Dakwah ekologi

berangkat dari keprihatinan sosial terhadap fenemona sosial, yaitu

fenomena rusaknya lingkungan. Materi (ma>ddah) dakwah ekologi

berisikan ayat-ayat dan hadis yang mewajibkan manusia untuk

menjaga alam.

77

B. Saran

Peneitian tentang ekologi spiritual ini bukan suatu

penelitian final. Oleh karena itu, penelitian serupa dapat

dikembangkan dan dikaji secara komprehensif agar bencana banjir

dan krisis lingkungan dapat ditangani dapat diatasi. Penelitian ini

juga diharapkan dapat dijadikan referensi untuk pengembangan

bagi pemerhati lingkungan, masyarakat, pemerintah, dan para

pembuat keputusan (decision makers) dalam mengkaji kerusakan

lingkungan.

78

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Bacaan dari Buku Abdillah, Mujiono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-

Qur‟an. Jakarta: Paramadiana, 2001. Abdul-Matin, Ibrahim. Green Deen: What Islam Teaches About

Protecting the Planet. San Francisco: Berrett-Koehler

Publishers, 2010. Adams, C. Ecofeminism and the Sacred. New York, Continuum

Publishing, 1993. Ahmad, Hanafi, Al-Tafsir Al-„Ilmi Li Al-Ayat Al-Kauniyah fi Al-

Qur‟an. Mesir: Dar AMa‘rifat, tt.

Al-Faruqi, Ismail R. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (2nd ed.). Herndon: International Institute of Islamic

Thought Al-Faruqi, 1992. Al-Ghaza>li>, The Jewels of the Qur‟an, Translation Abul Quasem.

Kuala Lumpur, Malaysia, 1977. Allaby, Michael. ―Preface‖, in Oxford Dictionary of Ecology.

Oxford: Oxford University Press, 2014. al-Qarad{a>wi>. Yu>suf. Ri‘a>yah al-Bi>’ah fi> Shari>‘ah al-Isla>m. Kairo:

Da>r al-Shuru>q, 2001. al-Ru>mi>, Jala>l al-Di>n. The Masnavi, Book One, Translated with an

Introduction and Notes By Jawid Mojaddedi. Oxford and New York: Oxford University Press, 2004.

al-S{afa>, Ikhwa>n Ikhwa>n al-S{afa>, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa> wa-Khulla>n al-Wafa>. T{ahra>n, Maktab al-I‘la>m al-Isla>mi>,

2000, Jilid III.

Asmanto, Eko. ―Eco-spirituality Values and Islamic Sustainable Development: Ethnographic Studies of Local Culture at Shrimp Farmers in Sidoarjo, East Java, Indonesia‖ in

Proceedings The ASEAN Community Conference 2015, Bangi, Malaysia, 11-12 November 2015.

Aziz, Mohammad Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004. Bakar, Osman. Environmental Wisdom for Planet Earth: The

Islamic Heritage. Kuala Lumpur: Center for Civilisational

Dialogue, University of Malaya, 2007.

79

Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama & Sains, terj. Yuliani Liputo, Cet. ke-1. Bandung: Pustaka

Hidayah, 2008. Barnhill, David L. and Gottlieb, Roger S. Deep Ecology and World

Religions: New Essays on Sacred Ground. Albany: State University of New York Press, 2001.

Baxter, Brian. A Theory of Ecological Justice. London and New

York: Routledge, 2005. Berry, T. The Great Work: Our Way into the Future. New York,

Bell Tower, 1999. Chittick, William C. Ibn al-„Arabi‟s Metaphysics of Imagination:

The Sufi Path of Knowledge. Albany, New York: State

University of New York Press, 1989. Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-ilmu

Intelektualisme Islam, terj. Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2010.

Cholil, Achmad. Al-Qur‟an dan Lingkungan Hidup. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2012. Coates, J. Ecology and Social Work: Toward a New Paradigm.

Halifax, Canada, Fernwood Press, 2003. Collin, P.H. Dictionary of Environment & Ecology, Fifth Edition.

London: Bloomsbury Publishing Plc, 2004.

Data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2016) Data Tutupan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Bangka Belitung

Tahun 2015. Devall, B. and Sessions, G. Deep Ecology. Salt Lake City:

Peregrine Smith Books, 1985.

Dien, Mawil Izzi. ―Islamic Environmental Ethics, Law and Society‖, in Ethics of Environment and Development, J.R.

Engel and J.G. Engel, eds. London, Belhaven, 1990. Eber, W. ―Morphology in Modern Ecological Research‖, in

Modern Ecology: Basic and Appllied Aspects, G. Esser

and D. Overdieck, Eds. Amsterdam: Melsevier, 1991. Faruqi, Ismail Raji. Islam and Culture. Kuala Lumpur: Angkatan

Belia Islam Malaysia, 1980. Fletcher, Angus. A New Theory for American Poetry Democracy,

the Environment, and the Future of Imagination.

Cambridge: Harvard University Press, 2004.

80

Hancock, Rosemary. Islamic Environmentalism Activism in the United States and Great Britain. London and New York:

Routledge, 2018. Haught, Jhon F. Perjumpaan Sains dan Agama, dari konflik ke

Dialog, Terj. Fransiskus Borgias. Bandung: Mizan, 2004. Ibn ‘Arabi>. Al-Futu>ha>t al-Makkiyya. Beirut: Da>r Sa>dir, 1991.

Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun

2017. Iqbal, Sir Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in

Islam,. London: Oxpord University Press, 1934.

Izutsu, Thoshihiko. Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, Cet. ke-1. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,

1993. Kartanegara, Mulyadhi. Akar Religius, Memahami Hakikat Tuhan,

Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga, 2007.

Keraf, A. Sony. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2002. Khalid F. and O‘Brien, J., eds., Islam and Ecology. New York:

Cassell, 1992. Krebs, Charles J. ―Preface‖ in The Ecological World View.

Australia: CSIRO, 2008.

Manzoor, S. P. ―Environment and Values: An Islamic Perspective‖, in Ziaudin Sardar, ed., Touch of Midas Scientific Values

and the Environment in Islam and the West. Manchester: Manchester University, 1984.

M. Fachruddin, dkk. Menanam sebelum Kiamat: Islam, Ekologi,

dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

McFague, Sallie Super. Natural Christians: How We Should Love Nature. Minneapolis: Fortress Press, 1997.

Moore, Terry. ―Introduction: The Spiritual and Intellectual Journey

of Seyyed Hossein Nasr‖, in In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life and

Thought, Seyyed Hossein Nasr with Ramin Jahanbegloo. California: Praeger, 2010.

Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Jakarta:

Nuansa Cendekia, 2010.

81

MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA), Fatwa MUI Tentang

Pertambangan Ramah Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia, 2011.

Murata, Sachiko. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, Cet. ke-5. Bandung:

Mizan, 1998 Naess, A. Ecology, Community and Lifestyle, D. Rothenberg, trans.

and ed.. Cambridge, Cambridge University Press. Nasr, Seyyed Hossein. ―Islam, The Contemporary Islamic World

and the Environmental Crisis‖, in R. C. Foltz, F. M.

Denny and A. Baharuddin, Islam and Ecology: A Bestowed Trust. Massachussets: Harvard University Press,

2003. ―The Spiritual and Religious Dimensions of the

Environmental Crisis‖ in Seeing God Everywhere: Essays

on Nature and the Sacred, Barry McDonald, ed. Indiana: World Wisdom, 2003.

Antara Manusia Tuhan dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spritual, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Islamic Environmentalism in Theory and Practice,‖ in Worldviews, Religion and the Environment: A Global

Anthology, Richard C. Foltz, ed. Belmont, CA: Wadsworth Thomson, 2002.

Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997. Knowledge and The Sacred. Albany: State University of

New York Press, 1989. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.

London: Unwin, 1990.

Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press, 1996.

The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen and Unwin, 1968.

Ozdemir, Ibrahim. ―Toward an Understanding of Environmental

Ethics from Qur‘anic Perspektive‖ dalam Research

82

Seminar “Religion and Ecology”. Yogyakarta: CRCS, August, 09-13, 2005.

Park, Robert E. Human Communities. Glencoe, IL: The Free Press, 1952.

Peraturan Bupati Belitung Timur Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Timah Sistem Rajuk Menggunakan Alat Ponton Isap Produksi (PIP) Pada Izin

Usaha Pertambangan Operasi Produksi Darat di Wilayah Kabupaten Belitung Timur.

Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; Peraturan Bupati Belitung Timur Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung Peraturan Bupati Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2014.

Pickett, S. T. A. and White, P. S. The ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press, San Diego, CA., 1985.

Plant, J. Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism. Philadelphia, New Society, 1989.

Rappaport, Roy A. Ecology, Meaning, and Religion. California: North Atlantic Books, 1979.

Rasyid, Hatamar. Makalah disampaikan dalam kegiatan Dialog

Publik ―Bencana Bukan Takdir: Memetakan Potensi dan Ancaman di Bagka Belitung serta Strategi Penguatan

Sumber Daya‖ yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka

Belitung, 25 Mei 2015. Ruether, Rosemary Radford. Integrating Ecofeminism,

Globalization, and World Religions. Rowman and Littlefield Publisher, Maryland, 2005.

Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. London:

Routledge Classics, 2010. Said, Abdul Aziz and Funk, Nathan C. Peace in Islam: An Ecology

of Spirit‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust, Richard C. Foltz, Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, eds. Cambridge, MA: Center for the Study of

World Religions, Harvard Divinity School, 2003.

83

Santra, S. C. Ecology: Basic and Applied. New Delhi: M.D.

Publications, 1994. Sardar, Ziauddin. Islamic Futures. New York: Mensell, 1985.

Seidenberg, David Mevorach. Kabbalah and Ecology: God‟s Image in the More-Than-Human World. New York: Cambridge University Press, 2015.

Shaha>tah, ‘Abdulla>h. Ru’yah al-Di>n al-Isla>mi> fi> al-H{ifa>z} ‘ala> al-Bi>’ah. Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1968.

Shariati, Ali. On the Sociology of Islam, Hamid Algar trans.

Berkeley: Mizan, 1979. Siddiq, Mohammad Yusuf. ―An Ecological Journey in Muslim

Bengal‖, in Islam and Ecology: A Bestowed Trust. Richard

C. Foltz, Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, ed. Cambridge: Harvard Divinity School, Center for the Study

of World Religions, 2003. Sonn, T. ―Tawhid‖, in Oxford Encyclopaedia of the Modern

Islamic World. Oxford: Oxford University Press, 1995.

Spretnak, C. The Resurgence of the Dead. Don Mills, Ontario, Addison-Wesley, 1997.

Spring, David and Spring, Eileen, eds. Ecology and Religion in History. New York: Harper and Row, 1974.

Sudaryoso, Satera. Etika Keseimbangan Kosmik Hubungan Alam

dan Manusia. Jakarta: Impressa, 2013. Thomas, Keith. Man and the Natural World; Changing Attitude in

England, 1500-1899. London: Allen Lane, 1983. Timm, Roger E. ―Dampak Ekologis Teologi Penciptaan Menurut

Islam‖ dalam Mary Evlyn Tucker dan Jhon A. Grim,

Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kanisius, 2003.

Vinna Wati Riski. Analisis Dakwah Ekologi Program Surabaya Green and Clean. Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Weeramantry, C. G. Islamic Jurisprudence: An International Perspective. New York: St. Martin. 1988.

Wilber, Ken. Sex, Ecology, Spirituality: The Spirit of Evolution, Second Edition. Boston and London: Shambhala, 2000.

Wilson, Edward O. Sociobiology: A New Synthesis. Cambridge:

Belknap, 1975.

84

Sumber Bacaan dari Jurnal Alexander, Richard D. ―The Evolution of Social Behavior‖. Annual

Review of Ecology and Systematics, 5 (1974): 325-383. Appolloni, Simon and Eaton, Heather. ―The Ecology of Religion:

Faith Leaders are Raising Sustainability Conserns‖. Alternatives Journal, CA, 42.1. (2016): 45.

Beyers, Jaco. ―What Does Religion Have To Say About Ecology?

A New Appraisal of Naturalism‖. Journal for the Study of Religions and Ideologies, Vol. 15, Issue 45 (Winter 2016):

96-119. Burkett, Paul. ―An Eco-Revolutionary Tipping Point?: Global

Warming, the Two Climate Denials, and the

Environmental Proletariat‖. Monthly Review, New York, 69.1 (May 2017): 1-19.

Chittick, William C. ―God Surrounds All Things: An Islamic Perspective on the Environment‖. The World And I, 1, 6 (1986): 671–678.

Coates, John, Gray, Mel, and Hetherington, Tiani. ―An ‗Ecospiritual‘ Perspective: Finally, A Place for Indigenous

Approaches‖. British Journal of Social Work , 36, (2006): 381–399.

Crowe, Jessica L. ―Transforming Environmental Attitudes and

Behaviours through Eco-spirituality and Religion‖. International Electronic Journal of Environmental

Education, Vol.3, Issue 1 (2013), 75-88. Davary, Bahar. ―Islam and Ecology: Southeast Asia, Adat, and the

Essence of Keramat‖. ASIAN Network Exchange, 20

(2012): 1–11. DeGeorge, Gail. ―Sacred Environment‖. National Catholic

Reporter, 53, 12 (March 24 – April 6, 2017): 5. Deevey, Edward S. ―The Human Population‖. Scientific American,

203 (September 1960): 195-204.

Dien, Mawil Izzi. ―Islam and the Environment: Theory and Practice‖. Journal of Beliefs & Values, Vol. 18, No. 1

(1997): 48. Duncan, Graham. ―Celtic Spirituality and Contemporary

Environmental Issues‖. Theological Studies, 71, 3 (2015):

1-10.

85

Environmental Impact of Property Development‖. HTS Teologiese

Studies/Theological Studies, 72, 3 (2016): 1-8. Evelyn, G. ―Hutchinson, Natural Selection, Social Organizations,

Hairlessness and the Australopithecine Canine‖. Evolution 17 (1963): 588-589.

Ewing, Jeffrey A. ― Hollow Ecology: Ecological Modernization

Theory and the Death of Nature‖. Journal of World-Systems Research, Vol. 23, Issue 1 (2017): 126-155.

Foster, John Bellamy and Clark, Brett. ―Rachel Ecological Critique‖. Monthly Review, 59, 9 (February 2008): 1-17.

Habibi, Ichsan. ―Implementasi Nilai-Nilai Dakwah Ekologis dalam

Program Pengembangan Kampung Wisata Matras Kelurahan Sinar Baru Kabupaten Bangka‖. Jurnal Mawa>‘izh, Jurnal dakwah dan Sosial Kemanusiaan, Vol.

2, No. 2 (2017). Hattingh, J. P. ―Towards a Shared Ethics of Global Climate

Change: Ethics‖. Current Allergy and Clinical

Immunology 24, 2 (2011): 91–96. Hope, Marjorie and Young, James. ―Islam and ecology‖. Cross

Currents, 44, 2 (Summer 1994): 180. Hrynkow, Christopher and Westlund, Stephanie. ―Wisdom

Traditions, Peace and Ecology: Mapping Some

Wellsprings of Integral Connectivity‖. Journal for the Study of Peace and Conflict (2015): 40.

Idris, J. S. ―Is man the Vicegerent of God?‖. Journal of Islamic Studies, 1 (1990): 99–110.

Interview. A Religious Nature: Philosopher Seyyed Hossein Nasr

on Islam and the Environment, Bulletin of the Atomic Scientists, 2015, Vol. 71, 5 (2015): 13–18.

Irawan. ―Ekologi Spiritual: Solusi Krisis Lingkungan‖. Scientia, Jurnal Hasil Penelitian, Vol. 2, No. 1 (2017): 1-21.

Isa, Noor Munirah and Man, Saadan. ‗‗First Things First‘‘:

Application of Islamic Principles of Priority in the Ethical Assessment of Genetically Modified Foods‖. Journal of

Agricutural and Environmental Ethics, Vol. 27, Issue 5 (2014): 857-870.

Johnston, David L. ―Intra-Muslim Debates on Ecology: Is Shari‘a

Still Relevant?‖. Worldviews 16 (2012): 218–238.

86

Jr., White, Lynn. ―The Historical Roots of Our Ecologic Crisis‖. Science, 155.3767 (1967): 1203-1207.

Karim, Abdul. ―Mengembangkan Kesadaran Melestarikan Lingkungan Hidup Berbasis Humanisme Pendidikan Agama‖. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam,

12.2 (2018): 309-330. Khalid, Fazlun. ―Guardians of the Natural Order‖. Our Planet, 8, 2

(1996): 18–25. Leff, Enrique. ―Power-Knowledge Relations in The Field of

Political Ecology‖. Ambiente and Sociedade, São Paulo,

Vol. XX (July 2017): 226. Lincoln, Valerie. ―Ecospirituality: A pattern that Connects‖.

Journal of Holistic Nursing 18.3 (2000): 227-244. Lukito, Wahyu. ―Implementasi Pelestarian Lingkungan Hidup

dalam Bidang Penegakan Hukum Pidana terhadap Kasus

Illegal Logging (Studi Kasus Polres Rembang)‖. Jurnal Hukum Khaira Ummah, 13.1 (2018): 153-160.

McElroy-Heltzel, Stacey E. ―The Role of Spiritual Fortitude and Positive Religious Coping in Meaning in Life and Spiritual Well-Being Following Hurricane Matthew‖.

Journal of Psychology and Christianity, Vol. 37, No.1 (2018): 17-27.

McKay, Jeanne E. ―Practise What You Preach: A Faith-Based Approach to Conservation in Indonesia‖. Fauna & Flora International, Oryx, 48, 1 (2013): 23–29

Merchant, Carolyn. ―Spiritual Ecology‖, in Radical Ecology: The Search for a Livable World, 2nd ed. New York:

Routledge, 2005. Naess, A. ―A Defence of the deep ecology movement‖.

Environmental Ethics, 6, 3 (1984): 265–270.

Nasr, Seyyed Hossein. Review of The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, by Dale

Riepe. Journal of the American Oriental Society, Vol. 89, No. 1 (January – March 1969): 301-302.

Nomanul Haq, S. ―Islam and Ecology: Toward Retrieval and

Reconstruction‖. Daedalus, 130, 4 (Fall 2001): 141.

87

Nugroho, Sigit Sapto. ―Legalitas Perhutanan Sosial: Sebuah Harapan Menuju Kemakmuran Masyarakat Kawasan

Hutan‖. Jurnal Yustisia Merdeka, 3.2 (2018). Parwanto, Wendi dan Rosdiawan, Ridwan. ―Menggali Akar-Akar

Material (Maaddah) Dakwah Lingkungan‖, Al-Hikmah, 10.1 (2016).

Reuter, Thomas A. ―The Green Revolution in the World‘s

Religions: Indonesian Examples in International Comparison‖. Religions, 6 (2015): 1219-1223.

Samri, Ferdinandus. ―Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Upaya Pelestarian Fungsi Hutan Lindung‖. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti (2018): 254-267.

Saniotis, Arthur. ―Reflections on Tawhid (Divine Unity): Islam and Ecology‖. Interface: Biodiversity & Ecology: An

Interdisciplinary Challenge, 7, 1 (2004): 101–108. ―Muslims and Ecology: Fostering Islamic Environmental

Ethics‖. Cont Islam, 6 (2012): 155–171.

Seidenberg, David Mevorach. Review of Kabbalah and Ecology: God‟s Image in The More-Than-Human World, by Arthur

Green, Winter 2017: 58. ―Being Here Now: This Creation is the Divine Image:

Response to Arthur Green‘s Review of Kabbalah and

Ecology: God‘s Image in the More-Than-Human World”. Tikkun (Winter 2017): 63.

Setia, Adi. ―The Inner Dimension of Going-Green: Articulating and Islamic Green-Ecology‖. Islam and Science, 5, 2 (2007): 117–150.

Setiawan, Dian, Ridho Nurrochmat, Dodik, dan Kuncahyo, Budi. ―Model Keberterimaan Kebijakan Penggunaan Kawasan

Hutan di Kepulauan Bangka Belitung (Acceptability Model Of The Use Of Forest Area Policy In Bangka Belitung)‖. Media Konservasi, Vol. 23 No. 1 (April 2018):

66. Sipon, Sapora and Others. ―Spirituality among Flood Victims: A

Comparison between Two States‖. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 185 (2015): 357-360.

Sponsel, Leslie E. ―Do Anthropologists Need Religion, and Vice

Versa? Adventures and Dangers in Spiritual Ecology‖.

88

New Directions in Anthropology and Environment:

Intersections (2001): 177-200. “Spiritual Ecology: Is It the Ultimate Solution for the

Environmental Crisis?‖. Choice (April 2014): 1339. ―Summary Article Religion and Environment Exploring

Spiritual Ecology‖. Religion and Society: Advances in

Research, 1 (2010): 131–145. Stoll, Mark. ―Review Essay: The Quest for Green Religion‖.

Religion and American Culture: A Journal of Interpretation, 22.2 (2012): 265-274.

Syafur, M. ―Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam

Islam‖. MEDIAGRO: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, 4 (2008): 44.

Tetreault, Darcy. ―Three Forms of Political Ecology‖. Ethics & The Environment, 22, No. 2 (2017): 1–23.

Victoria, L., Holly, A., and Dominic, U. ―The Psychological

Impact of Exposure to Floods. Psychology, Health & Medicine, 15, 1 (2010): 61-73.

Wagenaar, Norman and Others. ―In the spirit of the Earth (Cross-Section of Views from Five Spiritual Communities on the Relationship between Humans and the Earth)‖.

Earthkeeper (December 1994): 10-13. Wersal, L. ―Islam and Environmental Ethics: Tradition Responds to

Contemporary Challenges‖. Zygon, 30, 3. (1995): 451–459.

Zaidi, I. H. ―On the Ethics of Man‘s Interaction with the

Environment: An Islamic Approach‖. Environmental Ethics, 3, 1 (1981): 35-47.

Zolcer, Štefan. ―The Possibility of Applying Whitehead‘s Philosophy‖. Human Affairs, Vol. 26 (2016): 450–461.

Sumber Bacaan dari Disertasi

Gassing, A. Qadir. ―Perspektif Hukum Islam tentang Lingkungan

Hidup‖. Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

Irawan. ―Diskursus Pluralisme Agama dan Relevansinya dalam

Konteks Kehidupan Beragama di Indonesia‖. Disertasi,

89

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Johnston, Lucas Fiegener. ―The Religious Dimensions of Sustainability‖. Dissertation, University of Florida, 2009.

Mevorach, Ian. ―In Search of A Christian-Muslim Common Path from Desacralization to Resacralization of Nature: Sallie Mcfague and Seyyed Hossein Nasr on The Ecological

Crisis‖. Dissertation, Boston University School of Theology, 2015.

Riski, Vinna Wati. ―Analisis Dakwah Ekologi Program Surabaya Green and Clean‖. Disertasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Shiota, Hiroko. ―Cosmogenesis, Shinto, Tantra: Embodying The New Universe Story‖. Dissertation, California Institute of

Integral Studies San Francisco, CA, 2014. Syahputra, Deni. ―Dakwah Transformatif (Studi Pemikiran

Moeslim Abdurrahman). Disertasi, IAIN Raden Intan

Lampung, 2017. Wafiroh, Siti Fatimatul. ―Pengembangan Masyarakat Melalui

Program Ecovillage dalam Pelestaraian Lingkungan Hidup: Studi Deskriptif di Desa Langensari Kecamatan Solokanjeruk Kabupaten Bandung‖. Disertasi, UIN Sunan

Gunung Djati Bandung, 2018. Wegmann, Regula. ―Eco-Sophie: Thinking and Knowing in

Dynamic Harmony with the Ways of Nature‖. Dissertation, California Institute of Integral Studies, San Francisco, C A, 2008.

Sumber Bacaan dari Koran

Armstrong, Chelsey Geralda and Others. ―Anthropological Contributions to Historical Ecology: 50 Questions, Infinite Prospects‖. PLOS ONE, February 24, 2017.

Eco-Islam Movement Sees Light in Europe. Daily News Egypt, Cairo, 22 May 2009.

Hasanov, Huseyn. ―Turkmenistan Hosting Seminar on Caspian Sea Issues‖. Trend News, English; Baku 08 March 2017.

Kahera, Najma. ―Color Me Green‖. Atlanta, 5, 1 (April 2008): 35-

41.

90

Prophet: An Environmental Pioneer. The Peninsula, Doha, 7

December 2012. Public Inspectors Engage in Environmental Protection. Uzbekistan

National News Agency (UzA), English ed.; Tashkent 09 Feb 2017.

The Jakarta Post, 2011.

Sumber Bacaan dari Internet

http://Www.Muarababel .Com/Muara- Detail/ Tahun- Ini-Banjir-Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-Benar. Html, Diakses 22 September 2017.

http://Www.Muarababel.Com/ Muara- Detail/ Tahun-Ini -Banjir-Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa-

Benar.Html. https://www.voaindonesia.com/a/ banjir- landa- belitung- banyak-

buaya-masuk-kampung/3946521.html, Diakses 25

September 2017. http://Www.Muarababel.Com/ Muara-Detail/ Tahun- Ini-Banjir-

Terparah-Di-Pulau-Belitung-Siapa-Salah-Siapa- Benar.Html.

Éric Geoffroy, Human Conscience and ―Cosmism‖ of Islam, http://

www.Qscience.com/doi/pdf/10.5339/rels.2012.environment.14. Diakses 17 Agustus 2018.

http://visitbangkabelitung.com/content/ desa-lenggang. Diakses 6 Agustus 2018.

https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/.

Diakses 6 Agustus 2018. https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=4625. Diakses 6 Agustus

2018. https:// www. indonesiakaya. com/jelajah – indonesia /detail/

bendungan- pice- bendungan-bersejarah- di-kota- gantong.

Diakses 6 Agustus 2018 https://lenggangbeltim.wordpress.com/sejarah-desa-lenggang/.

Diakses 6 Agustus 2018. https://www.liputan6.com/ news/read/3027522/4000-lebih-rumah-

di-belitung-timur-masih-terendam-banjir, Diakses 22 Juli

2018.

91

https://primaedika. wordpress.com/ 2016/01/25 /mengenal-kerusakan-lingkungan-di-daerah-bangka-belitung/.

Diakses 23 September 2017. http://bangka.tribunnews.com/2017/07/20/kampung- ini-paling-

parah-diterjang-banjir-rumah-warga-porak-poranda,

Diakses 25 Juli 2018. https://www.belitungtimurkab.go.id/?p=6827, Diakses 25

September 2017. http://bangka.tribunnews.com/ 2017/07/17/4000- warga –beltim -

terdampak-banjir-kecamatan-gantung-paling-parah,

Diakses 25 September 2017.

Wawancara

Wawancara dengan Camat Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.

Wawancara dengan Genda Pratisiawan Kasi Pemerintahan Desa Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung

Timur, Rabu 25 Juli 2018. Wawancara dengan Hairyati, warga masyarakat Kecamatan

Manggar, Kamis 26 Juli 2018.

Wawancara dengan Herlita Kusumawati, warga masyarakat Kecamatan Manggar, Kamis 26 Juli 2018.

Wawancara dengan Indra Saputra, Kepala Dusun Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Timur tanggal 25 Juli 2018.

Wawancara dengan Kepala Dusun Canggu, Idris, Rabu 25 Juli 2018.

Wawancara dengan Mifta Suhni, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.

Wawancara dengan Mukhlisul Fatih, Penyuluh Kementerian

Agama Kabupaten Belitung Timur, Kamis 26 Juli 2018. Wawancara dengan Rengga Pradana Kaur Umum dan Tata Usaha

Desa Lenggang Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Rabu 25 Juli 2018.

Wawancara dengan Teguh Firmadona, Kepala Dusun Teratai Desa

Lenggang, Rabu 25 Juli 2018.

92

Wawancara dengan Toni, Kepala Dusun Jaya (RT 1 sampai RT 7) Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung

Timur tanggal 25 Juli 2018. Wawancara dengan Uri Khatansah, Tokoh Pemuda di Kecamatan

Gantung, Rabu, 26 Juli 2018. Observasi

Observasi lapangan, Selasa – Jum‘at (24 - 27 Juli 2018)

Dokumentasi

Dokumentasi Desa Lenggang 2018.

93

94

GLOSARIUM

Dakwah ekologi Dakwah yang berorientasi pada seruan, ajakan, dan tindakan merawat

dan menjaga alam. Dakwah ekologi berangkat dari keprihatinan sosial terhadap fenemona sosial, yaitu

fenomena rusaknya lingkungan. Ekologi spiritual Kajian intelektual yang dinamis dan

kegiatan praktis yang luas, berbeda, dan kompleks – antara agama dan spiritualitas dengan ekologi,

lingkungan, dan environtalisme. Al-‘Ada>lah Al-‘Ada>lah (adil) dalam hubungan

dengan alam dapat diartikan keharusan berbuat secara seimbang, tidak berlaku

aniaya terhadap alam dan lingkungan. Al-Tawa>zun Al-Tawa>zun (seimbang) dalam istilah

ekologi Harmoni dan stabilitas kehidupan yang memerlukan

keseimbangan (al-tawa>zun wa al-i’tida>l) dan kelestarian di segala

bidang. Al-Intifa‟ wa la> al-Fasad Dalam istilah ekologi, Al-Intifa’ wa la>

al-Fasad (mengambil manfaat tanpa

merusak), yakni alam dan segala isinya dapat dimanfaatkan oleh manusia tapi tidak boleh

mengeksploitasinya hingga menimbulkan kerusakan.

Al-Riayah wa la> al-Israf Al-Riayah wa la> al-Israf (memelihara tanpa berlebihan), yakni memelihara

dan merawat alam dan lingkungan, tidak berlebihan hingga merusak

kelestariannya. Al-Tahdith wa al-Istikhlaf

Kegiatan pembaruan terhadap sumberdaya alam yang

memungkinkan untuk diperbarui. Kufur ekologis Perbuatan merusak, abai, dan tidak

95

ramah terhadap alam (lingkungan)

Iman ekologis Sikap menjaga, merawat, menghormati, dan santun terhadap alam (lingkungan).

Green Deen Suatu istilah yang digunakan Ibrahim Abdul-Matin bahwa Tuhan telah

menciptakan segala sesuatu secara berimbang (balance; mi>za>n). Dalam

hal ini, manusia diciptakan untuk hidup berdampingan dengan bumi, sedangkan mengganggu keseimbangan

ini merupakan bentuk kezoliman.

96

INDEKS

A a>khirah, ix, 78

a>yat, 24, 27

akhi>rah, 23 al-h}aqq, 74

al-Qur ‘an, 22

ama>nah, ix, 23, 28, 32, 53 B

Belitung Timur, vii, ix, xi,

xiv, 15, 16, 17, 18, 30, 35, 36, 37, 38, 59, 60, 61, 64,

65, 66, 67, 71, 79, 80, 83,

86, 95, 104, 105, 120 D

deep ecology, 22, 46, 48, 99

Deep Ecology, 22, 41, 46, 48,

92 desa Lenggang, 62, 89

Desa Lenggang, 30, 31, 36,

38, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 67, 89, 104, 105, 116,

120

E eco-fiqh, 74

eco-shari>‘ah, 74

eco-us}u>l fiqh, 74 ekosopi, 74

ekosufisme, 74

ekoteologi, 20, 43, 74 environmental education, 48

F

fit}rah, 24 G

Green Deen, 23, 28, 29, 32,

33, 50, 53, 91, 107

H h}adi>th, 22, 37, 52

Hatamar Rasyid, 66

I Ibrahim Abdul-Matin, 23, 29,

50, 107

Ichsan Habibi, 1, viii, xi, 85, 113

Irawan, 1, viii, xi, 26, 87, 98,

101, 112, 113 J

Jessica L. Crowe, 48, 49

K Kecamatan Gantung, ix, xi,

30, 31, 35, 36, 37, 38, 59,

60, 61, 64, 65, 66, 67, 69,

71, 89, 104, 105, 116, 120 Khairil Anwar, vii, 67

khali>fah, ix, 23, 27, 28, 29,

52, 53, 71, 75 Kita>b al-Tadwi>ni, 81

Kita>b al-Tadwi>ni>, 81

Kita>b al-Takwi>ni>, 81 krisis lingkungan, 20, 31, 43,

44, 73, 90

L Lynn White Jr., 19, 43, 48

M

ma>ddah, 86, 89 mi>za>n, 23, 29, 107

O

organic unity, 22 Q

qadr, 74

S Satera Sudaryoso, 72

97

Seyyed Hossein Nasr, 19, 20,

21, 22, 28, 31, 32, 36, 44, 73, 75, 81, 93, 98, 102

sunnatulla>h, 74

super-organism, 22 T

Tasawuf, 112, 113

tashabbuh bi-al-ilah, 72

tawh}i>d, ix, 23, 24, 25, 27, 28,

52, 68 The image of God, 50

U

ummah, 27, 82 Y

yin dan yang, 75

Yu>suf Qarad}a>wi, 73

98

BIODATA PENULIS

Dr. Irawan, M.S.I lahir di Air Kuang, Kabupaten Bangka (sekarang Kabupaten

Bangka Barat), pada hari Sabtu, 27 Mei 1972 M atau 13 Rabiul Akhir 1392 H. Penulis lahir dari pasangan Syamsudin bin

Tuhir dan Adjisah binti Kasiman (almarhumah) sebagai anak pertama dari

enam bersaudara. Setelah menikah dengan Arnila, S.Ag pada 1 Maret 1998, penulis dikarunia anak perempuan, Rara Syifa dan Nadhofa Afla

Izdihariyah. Pendidikan formal yang telah ditempuhnya adalah SD

UPTB Jebus (1995), SMP Negeri Jebus (1998), Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Nurul Ihsan Baturusa Bangka (1991), S1 IAIN Raden Fatah Palembang (Jurusan Dakwah) 1996, S2 UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta (Konsentrasi Filsafat Islam) 2009, dan S3 (Konsentrasi Pemikiran Islam) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam bidang akademis, penulis telah melakukan berbagai penelitian dan menulis karya ilmiah baik yang berbentuk jurnal maupun buku. Dalam bidang penelitian, di antaranya: Keberadaan

Tasawuf pada Era Globalisasi dalam Usaha Meningkatkan Akhlak Manusia (Skripsi S1 1996), Islam Puritan dalam Pandangan Khaled

M. Abou El Fadl (Tesis S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009), Peranan Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Pengembangan Dakwah di Bangka (Penelitian Kolektif STAIN Syaikh

Abdurrahman Siddik Bangka Belitung 2006), Pemetaan Potensi Lembaga Dakwah di Bangka Belitung (Penelitian Kolektif STAIN

Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung 2007), Dakwah Tarekat Tijaniah Pondok Pesantren Darul Muttaqien At-Tijani Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka

(Penelitian Individual STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik 2010), Signifikansi Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Ruang

Publik: Studi Analisis Pemikiran Gender Siti Musdah Mulia (Penelitian Kelompok STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik 2012), Tasawuf Syekh Abdurrahman Siddiq dalam Mengatasi Krisis

Kerohanian Manusia Modern (Penelitian Individual STAIN Syaikh

99

Abdurrahman Siddik 2013), dan Diskursus Pluralisme Agama dan Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Beragama di Indonesia (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

Dalam bidang jurnal, antara lain: Transformasi Tasawuf dalam Kehidupan, TAWSHIYAH, Jurnal Studi Sosial Keagamaan

dan Pendidikan Islam STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Vol. 3, No. 1, 2008, Muslim Progresif: Sebuah Genre

Baru dalam Islam, Mawa>’izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan

Sosial Kemanusiaan, Vol. I, No. 1, 2011, Pandangan Islam tentang

Kependudukan dan Keluarga Berencana, Mawa>’izh: Jurnal

Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. I, No. 2, 2011, dan Guru, Orangtua, dan Kecerdasan Anak, Jurnal

TARBAWI STAI Al-Fitrah, Surabaya, Edisi 7, Vol. 1, 2014. Penulis juga menulis buku-buku, antara lain: HAM dan

Syariah (Analisis Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl dalam ―Pernak-Pernik Wacana Baru Islam‖ (2010) dan Peran Tasawuf dalam Meredam konflik SARA pada Era Reformasi di Indonesia

(Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, FORDIS STAIN SAS Babel 2011).

Ichsan Habibi, MA, Hum lahir di Pangkalpinang pada hari Rabu, 4 Februari

1987 M (5 Jumadil Akhir 1407 H), anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan H.

M. Effendi dan Hj. Soraya. Penulis mengawali pendidikannya di SDN 33 Baturusa Bangka dan tamat pada tahun 1999.

Kemudian, pada tahun yang sama (2002) penulis meneruskan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern

Darussalam Gontor dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan sarjana pada Jurusan Dakwah STAIN Syaikh

Abdurrahman Siddik Bangka Belitung dan tamat pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulus pada tahun 2014. Penulis juga aktif menulis, di antaranya Konsep Dakwah

Muhammad Fethullah Gulen (Tesis), Implementasi Nilai-Nilai

100

Dakwah Ekologis dalam Program Pengembangan Kampung Wisata Matras Kelurahan Sinar Baru Kabupaten Bangka (Jurnal Mawa>‘izh

IAIN SAS Babel), dan masih ada beberapa tulisan lainnya.

101

LAMPIRAN

Foto-Foto Pasca Banjir di Desa Lenggang

Kecamatan Gantung Kabupaten Belitung Tahun 2017

102

103

Dialog Tentang Banjir Antara Peneliti Dengan Penyuluh

Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur, Perangkat Desa,

dan Para Kadus Desa Lenggang Kecamatan Gantung Belitung Timur

Rabu, 25 Juli 2018

104

Allah menciptakan alam semesta diperuntukkan

kepada manusia dan makhluk lainnya untuk memenuhi

kehidupan sehari-hari. Selain memanfaatkan hasil alam‚

penciptaan alam sebagai bukti kebesaran-Nya agar

manusia dan seluruh makhluk bersyukur dan beriman.

Namun‚ akibat ulah tangan manusia – yang

mengelola alam secara tidak bijaksana – alam menjadi

rusak. Pembukaan lahan untuk pertanian dan

pertambahangan telah menyebabkan banjir‚ khususnya di

wilayah Desa Lenggang Kecamatan Gantung Kabupaten

Belitung Timur.

Bumi atau lingkungan (al-ard}) yang telah

mengalami pengrusakan (al-ifsa>d) harus dilakukan

pelestarian (al-is}la>h}). Konsep khali>fatullah fi al-ard} harus

dimaknai bahwa manusia sebagai wakil Allah di bumi ini

mampu memakmurkan bumi yang selaras dengan sifat-

sifat dan prilaku-Nya‚ yaitu Maha Pencipta dan Maha

Pemelihara lingkungan (Qs.al-An‘am/6:102). Doktrin

Islam mengajarkan manusia untuk beretika kepada

lingkungan, yang tertuang di dalam konsep tawh}i>d,

khali>fah, akhi>rah, ama>nah, adl, dan mi>za>n.