1. Bagaimana cara diagnosis OSA berdasarkan :
a. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis obstructive sleep apnea (OSA) dibedakan dalam
dua kelompok yaitu kelompok dominanb neuropsikiatri dan perilaku serta
kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis tersering adalah
neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk berat
di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras
yang disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode apnea
biasanya ditandai dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti
gerakan tubuh, penderita tidak menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman
tidurnya. Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau
insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala dipagi hari. Akibat
gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering merasa
mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari, termasuk
depresi, iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja
atau saatmenyetir kendaraan. Gejala klinis yang umum terjadi pada OSA
menurut Omidvari K (2000) adalah :
Secara umum dikelompokan :
a. Gejala nocturnal
a) Mendengkur, biasanya keras, dan mengganggu orang
lain
b) Menyaksikan pasangan tidur apnea, yang sering
mendengkur dan diakhiri dengan mendengus
c) Sambil terengah-engah dan tersedak yang menimbulkan
sensasi pasien dari tidur gelisah
d) Pasien sering mengalami arousals dan melempar atau
memutar pada malam hari
b. Gejala pagi hari
a) Tidak merasa segar saat bangun
b) Sakit kepala
c) Sakit atau rasa kering di tenggorokan
d) Mengantuk saat aktivitas yang memerlukan
kewaspadaan umum (misalnya, sekolah, bekerja,
mengemudi)
e) Kelelahan: letih, kurang memiliki energy Masalah
dengan memori, konsentrasi, dan fungsi kognitif,
terutama fungsi eksekutif
b. Pemeriksaan Fisik
Beberapa pemeriksaan fisik terkait OSA menurut Rinaldi (2010) dan
Kirk (2003) yaitu :
a) Lingkar leher: lebih besar dari 43 cm (17 inchi) pada pria dan 37
cm (15 inchi) pada wanita telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko OSA.
b) Mallampati skor; Skor ini telah digunakan selama bertahun-tahun
untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko untuk intubasi trakea
sulit. Klasifikasi memberikan skor 1-4 berdasarkan fitur anatomis
jalan napas terlihat saat pasien membuka mulutnya dan lidah
menonjol. Sebuah studi 2006 menunjukkan bahwa untuk setiap
peningkatan 1 unit di nilai Mallampati, rasio kemungkinan
memiliki OSA (didefinisikan oleh AHI> 5) meningkat sebanyak
2,5. Selain itu, AHI meningkat sebesar 5 Peristiwa per hour
c) Tersempitnya dinding lateral saluran pernapasan, yang merupakan
prediktor independen terhadap keberadaan OSA pada pria tapi
tidak pada wanita.
d) Pembesaran tonsil (3 + 4 +)
e) Retrognathia atau micrognathia
f) Tinggi lengkung langit-langit keras
c. Screening OSA
Ciri khas penderita OSA adalah usia pertengahan, laki–laki atau
perempuan dengan kelebihan berat badan ringan sampai sedang dan
hipertensi dengan riwayat mendengkur. Tidur tidak nyenyak, tersedak di
malam hari atau sesak napas dan mengantuk berat di siang hari. Keadaan
ini kurang terjadi pada wanita premenstruasi, anak-anak, laki–laki muda
dan tidak obesiti. Penelitian menunjukan bahwa perempuan pasca
menopause mempunyai kecenderungan 2,6 kali mempunyai 5 atau lebih
apnea atau hipopnea perjam dan 3,5 kali mempunyai 15 atau lebih apnea
atau hipopnea perjam dibandingkan perempuan premenopause dan tidak
meningkat pada perempuan perimenopause. Sedangkan pemberian
hormon pengganti pada perempuan pasca menopause dapat mencegah atau
mengurangi gangguan napas saat tidur.
Banyak penderita OSA dengan obesiti, ukuran leher lebih dari 17
inchi merupakan faktor risiko, pengukuran body mass index (BMI) dan
pengukuran tekanan darah karena prevalensi hipertensi tinggi pada
populasi ini. Pemeriksaan fisis pada lokasi obstruksi di kepala dan leher,
pemeriksaan tonsil dan posisi rahang dan hyoid. Screening OSA dapat
dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan untuk menjaring pasien
PPOK yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Telah dilakukan
penelitian di Amerika dan Eropa yang mendapatkan sensitiviti 0,86,
spesifisiti 0,77, positive predictive value 0,89 dan likelihood ratio 3,79.
Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang
apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah
sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan
setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat
berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan,
tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang
dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di
atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi (Croback correlation
dari 0,86 – 0,92).
Diagnosis pasti penderita OSA dan CSA dengan pemeriksaan
polisomnografi. Pada OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara
yang berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinue sedangkan pada
CSA untuk melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya
upaya ventilasi, gerakan napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga
dan abdomen juga aktiviti elektromiografi diafragma. (Young T, 2003).
Penafsiran yang berlaku umum Epworth sleepiness scale (ESS) adalah
sebagai berikut :
a. Skor 0-5 harus ditafsirkan sebagai luar biasa.
b. Skor 5-10 harus ditafsirkan sebagai normal.
c. Skor 10-15 harus ditafsirkan sebagai mengantuk.
d. Skor 15-20 harus ditafsirkan sebagai sangat mengantuk.
e. Skor lebih dari 20 harus ditafsirkan sebagai berbahaya kerana sangat
mudah mengantuk (Sankar, 2010 ; Judarwanto, 2009)
2. Jika kalian merujuk pasien OSA, maka akan kalian rujuk kepada spesialis apa?
Sebaiknya pasien dengan OSA dirujuk ke spesialis THT-KL (Konsultan
Gangguan Tidur). Seorang spesialis THT-KL (Konsultan Gangguan Tidur) atau pusat
gangguan tidur akan melakukan sejarah medis dan pemeriksaan fisik. Pusat harus
diakreditasi oleh American Academy of Sleep Medicine. (Simon, 2009)
3. Jelaskan bagaimana anda mendiagnosis pneumoconiosis berdasarkan :
a. Gejala Klinis
Gejala yang sering timbul sebelum kelainan radiologis seperti
batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang
mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik
penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan
jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta
abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumokoniosis tetapi tidak
spesifik untuk mendiagnosis Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit
lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan
mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic
pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung disease (ILD) yang
berhubungan dengan penyakit kolagen vascular. Beberapa pemeriksaan
penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis pneumokoniosis
yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu
penyebab (Susanto, 2011).
b. Pemeriksaan fisik
Observasi kepada pasien akan akan ditemukan napasnya memburu
pada waktu istirahat atau setelah melakukan tes fungsi paru. Mungkin juga
ditemukan jari tabuh. Pada auskultasi paru dapat ditemukan krepitasi halus
pada basal paru pasien dengan silikosis. Mungkin terdapt ronkhi atau
mengi. Manifestasi ektrapulmonar penyakit berilium kronis, kanker paru
mesoletioma ganas harus dicari jika dianggap perlu. Hal ini penting dalam
dalam menentukan diagnosis banding atau mencari kemungkinana
terjadinya komplikasi, contohnya gagal jantung atau stenosis katup mitral
yang mungkin tidak berhubungan dengan kerja.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar
menurut International Labour Organization (ILO) untuk
interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus
yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan
epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin
untuk membantu interpretasi klinis (Susanto, 2011).
b. Computed Tomography (CT) Scan
Computed Tomography (CT) Scan bukan
merupakan bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara
radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat
secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis
interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema dan
perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau
abses yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High
Resolution CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi
konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada
asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.
Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis
adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada
area percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar.
Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis
traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation.
Gambaran HRCT yang khas pada silikosis,
pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat
opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan
pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus
pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill defined fine
branching lines dan (2) well defined discrete nodules.
Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan
interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau
curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada
basal paru. (Susanto, 2011).
2. Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi
epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit
paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru memerlukan pemeriksaan
volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi
(DLco), namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga
diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada
pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa
juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun campuran. Sebagian besar
penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber hubungan
dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru.
Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi
penurunan kapasitas difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada
saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas
dapat ditemukan pada beberapa kondisi. (Susanto, 2011). Putranto
(2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa konsentrasi debu
229 μg/m³ menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru
sebanyak 31% pekerja dengan umur antara 20 sampai 45 tahun.
4. Jika anda menemukan kasus pneumokoniasis, kemana akan dirujuk ke dokter
spesialis?
Sebaiknya pasien dengan pneumokonis dirujuk ke spesialis Paru.
5. Jika anda mendapatkan rujukan baik kasus OSA edukasi apa yang akan kalian
berikan?
Melakukan edukasi kepada pasien untuk menjaga kesehatan dengan :
a. Berhenti merokok
Nikotin dalam tembakau melemaskan otot-otot yang menjaga
saluran udara terbuka. Jika tidak merokok, otot-otot cenderung tidak jatuh
pada malam hari dan mempersempit saluran udara.
b. Posisi kepala
Angkat kepala 4 – 6 inchi dengan meletakkan bantal di bawah
tempat tidur. Selain itu dapat juga digunakan bantal khusus (disebut bantal
leher rahim) ketika tidur. Sebuah bantal leher rahim dapat membantu
kepala tetap dalam posisi yang mengurangi sleep apnea. Menggunakan
bantal reguler untuk mengangkat kepala dan tubuh bagian atas tidak akan
bekerja. Segera mengobati masalah pernapasan, seperti hidung tersumbat
disebabkan oleh alergi dingin atau hal ini dapat meningkatkan risiko
mendengkur. Hindari konsumsi antihistamin, karena mereka dapat
membuat mengantuk dan membuat episode apnea parah. Sebaliknya
pengunaan dekongestan menyebabkan drainase akan menurun.
c. Makan Sehat
Cara terbaik untuk mencegah apnea adalah tetap sehat. Seperti
telah dibahas, orang gemuk lebih mungkin untuk menderita OSA. Oleh
karena itu jaringan yang berlebihan yang terbentuk di tenggorokan.
Solusinya adalah makan sehat dan berolahraga rutin untuk menjaga berat
badan terkendali.
d. Monitor Tekanan Darah
Individu dengan tekanan darah tinggi lebih mungkin untuk
menderita sleep apnea dan sekitar 30% dari individu dengan tekanan darah
tinggi juga memiliki apnea. Individu yang sudah memiliki sleep apnea
lebih cenderung mengalami tekanan darah tinggi. Menjaga tekanan darah
dan tetap sehat tidak hanya membantu mencegah apnea, malah mencegah
penyakit lain.
e. Menghindari Alkohol dan Narkoba
Konsumsi alkohol dan pil tidur dapat membuat jalan napas lebih
cenderung runtuh saat tidur. Akibatnya, periode apnea ditingkatkan.
Alkohol adalah depresan dan sementara mengkonsumsi alkohol dapat
membantu tertidur, penarikan mendatang, sementara tidur dapat
menambah masalah dan mengakibatkan OSA. Demikian pula, merokok
dapat menyebabkan saluran napas bagian atas membengkak. Hal ini dapat
menyebabkan mendengkur dan mengakibatkan OSA. Bagi mereka yang
sudah mulai, berhenti merokok merupakan langkah utama untuk
mencegah sleep apnea.
f. Mengubah Posisi Tidur Anda
Untuk seseorang yang cenderung OSA, tidur terlentang harus
dihindari. Hal ini menyebabkan jaringan longgar untuk memblokir jalan
napas. Posisi tidur terbaik untuk mencegah OSA adalah posisi samping.
Bantal dan perangkat khusus dapat digunakan untuk membantu menjaga
seseorang dari berguling ke posisi telentang dan mencegah OSA terjadi.
6. Jika anda mendapatkan rujukan baik kasus pneumokoniasis, apa yang akan anda
tindaklanjuti pada pasien tersebut?
Melakukan edukasi kepada pasien untuk menjaga kesehatan dengan :
a. Berhenti merokok
b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK)
c. Gunakan APD seperti Masker
d. Pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan.
(Susanto, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Judarwanto, W. 2009. Obstructive sleep apnea/hypopnea syndrome (OSAHS). Available from:
http://sleepclinic.wordpress.com/2009/09/03/obstructive-sleepapneahypopnea-syndrome-
osahs/
Kirk, V.G. 2003. Too Many Sleepless Nights. Available from:
http://www.stacommunications.com/journals/diagnosis/2003/05_May/drki
rksleepapnea.pdf
Omidvari K. 2000. Sleep disorders. In: Ali juzar, Summer Warren, Levitzky Michael, editors.
Pulmonary pathophysiology. New york: McGraw-Hill
Rinaldi, V. 2010. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, CPAP. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/870192-overview
Sankar, V. 2010. Mendengkur dan Sleep Apnea obstruktif, Pendekatan fisiologis. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/869941-overview
Simon, H. 2009. Obstructive sleep apnea. Available from:
http://www.umm.edu/patiented/articles/what_causes_sleep_apnea_000065 _3.htm
Susanto, A.D. 2011. Pneumokoniosis, Jurnal Indonesia Med Assoc, Volume 61,. Nomor : 12,
Desember 2011
Young T, Palta M, Dempsey J, et al. 1993. The occurrence of sleep-disordered breathing among
middle aged adults. N Engl J Med