2. 1 DEFINISI
Menurut American Diabetes Association ( ADA ) 2003, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.3
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di
mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.3
Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit
gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan
gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.1
2. 2 EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita
diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di
Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.4
Dari data ini dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan
kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan kekerapan diabetes.
Tabel 1 : Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap Diabetes terbanyak pada
penduduk dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025.1
Uruta
n
Negara 1995 (juta) urutan Negara 2025 (juta)
1 India 19,4 1 India 57,2
2 Cina 16,0 2 Cina 37,6
3 Amerika Serikat 13,9 3 Amerika Serikat 21,9
1
4 Federasi Russia 8,9 4 Pakistan 14,5
5 Jepang 6,3 5 Indonesia 12.4
6 Brazil 4,9 6 Federasi Russia 12,2
7 Indonesia 4,5 7 Meksiko 11,7
8 Pakistan 4,3 8 Brazil 11,6
9 Meksiko 3,8 9 Mesir 8,8
10 Ukraine 3,6 10 Jepang 8,5
Semua negara lain 49,7 103,6
Jumlah 135,3 300
DM Tipe 2 di Indonesia
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu
di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%.1
Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak
perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka
itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan
suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang
dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di
Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.1
Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan
prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun
2005 mencapai 12,5%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di
atas, maka dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1 atau
2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya :
a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
2
3) Urbanisasi makin tak terkendali
b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi
2) Restoran siap santap
3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life,
kurang gerak badan
c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.
2. 3 KLASIFIKASI
American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe: 5
1. Diabetes melitus tipe 1 (Insulin Dependent) yaitu diabetes melitus yang
dikarenakan oleh adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut
menyebabkan defisiensi insulin. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia
muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes melitus tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus), yaitu
diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif
dan adanya resistensi insulin. Sehingga menyebabkan insulin yang ada tidak
dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan
meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau
kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor
lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada
aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat
penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan
terapi setelah transplantasi organ).
3
4. Diabetes melitus gestasional, yaitu Diabetes yang timbul selama kehamilan,
artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa yang didapati selama masa
kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Diabetes mellitus
gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal (di
sekitarwaktu melahirkan), dan sang ibu memiliki resiko untuk dapat menderita
penyakit diabetes mellitus yang lebih besar dalam jangka waktu 5 sampai 10
tahun setelah melahirkan.
Tabel 2: Klasifikasi diabetes menurut etiologinya.3
2. 4 ETIOLOGI
Penyebab diabetes melitus yaitu: 6
Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel β pankreas telah
dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial
(sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam
urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
Diabetes Tipe II
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
4
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus
terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel β tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun
terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun
demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang
kabur.
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung
Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi
5
insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Diabetes Gestasional
Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh si Ibu :
1. Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil
2. Si ibu mengalami/menderita DM saat hamil
Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke :
Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada waktu hamil dan menghilang
setelah melahirkan.
Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu diabetes mulai sejak sebelum hamil dan berlanjut
setelah hamil.
Klas III : Pregestasional diabetes yang disertai dengan komplikasi penyakit pembuluh darah
seperti retinopati, nefropati, penyakit pembuluh darah panggul dan pembuluh darah perifer.
90% dari wanita hamil yang menderita Diabetes termasuk ke dalam kategori DM Gestasional
(Tipe II) dan DM yang tergantung pada insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus =
IDDM, tipe I). Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya.
Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormone-hormon plasenta. Sesudah
melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan
kembali normal.
Faktor Risiko terkena DM :
Keturunan
Obesitas / Kegemukan
Hipertensi
Kurang olah raga
Penyakit kronis
Kurang gizi.
2. 5 PATOFISIOLOGI
6
Tubuh manusia membutuhkan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut
diperoleh dari hasil pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam
saluran pencernaan itu, makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut.
Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam
lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam
pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan sebagai bahan
bakar. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan sangat penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar.
Pengeluaran insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar
> 70 mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel
target, akan mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa protein,
glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa ke dalam otot skelet dan jaringan
adipose dengan bantuan transporter glukosa (GLUT 4).7
Inkretin
Suatu hormone yang diproduksi di usus ( jejunum dan ileum) akibat adanya makanan dalam
usus dan dilepaskan ke darah dengan tujuan respon insulin menjadi lebih intensif.
Respon lebih intensif karena :
Adanya proliferasi dan peningkatan massa sel β Pankreas
Menghambat apoptosis sel β
Mensupresi pelepasan glukagon sel α. 7
Patofisiologi DM tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian sel beta pancreas sudah
rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meski rinciannya masih
samar. Pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan
lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi
virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu tetapi agen non infeksius juga dapat
terlibat. Ketiga, dalam rangkaian respon peradangan pankreas, disebut insulitis. Sel yang
mengifiltrasi sel beta adalah monosit atau makrofag dan limfosit T teraktivasi. Keempat,
adalah perubahan atau transformasi sel beta sehingga tidak dikenali sebagai sel sendiri, tetapi
dilihat oleh sistem imun sebagai sel. Kelima, perkembangan respon imun karena dianggap sel
asing terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.8
7
Patofisiologi DM tipe 2
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase
normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin karena
kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia. Pada fase
ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan
hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.8
Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin banyak, tetapi
jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain
kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini
disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor berikut ini turut berperan :
Obesitas terutama sentral.
Diet tinggi lemak rendah karbohidrat.
Tubuh yang kurang aktivitas.
Faktor keturunan.
Baik pada DM tipe 1 atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas ginjal,
maka glukosa itu akan keluar melalui urine. Pada DM tipe II, jumlah insulin normal atau
mungkin jumlahnya banyak, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan
sel berkurang. Akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di dalam
pembuluh darah meningkat.
8
DM TIPE II. 1
Gangguan reseptor insulin
Insulin darah tinggi tapi glukosa darah juga tinggi
Gula intrasel rendah Nafsu makan meningkat
Merangsang sel Pankreas β terus berproduksi
Kerusakan sel β Pankreas
9
Insulin darah rendah
Failed counter pada glukagon
Glukagon meningkat
Hepato Glucos Production meningkat
Gula darah meningkat
DM TIPE 1 DM TIPE 2
NAMA LAMA DM juvenile DM dewasa
UMUR Biasa < 40 tahun Biasa > 40 tahun
KEADAAN SAAT
DIAGNOSA
Berat Ringan
KADAR INSULIN Tidak ada insulin Insulin cukup tinggi
BERAT BADAN Biasanya kurus Biasanya gemuk
PENGOBATAN Insulin, Diet, Olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi
insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat.Jika
hiperglikemi berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin
(poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin,maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif sehingga berat badan berkurang. Rasa lapar yang
10
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk.9
Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan
polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama
beberapa hari atau beberapa minggu.Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis,serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera.Terapi
insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka
terhadap insulin.Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe II mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun dan diagnose hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di
laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.Pada hiperglikemia berat,pasien tersebut
mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolute namun
hanya relatif.9
Gejala akut
Pada tahap permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi: banyak makan atau polifagia,
banyak minum atau polidipsia, dan banyak kencing atau poliuria. Pada fase ini, biasanya
penderita menunjukkan berat badan yang terus naik, karena pada saat ini jumlah insulin
masih mencukupi. Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul keluhan lain
yang disebabkan oleh kurangnya insulin. Keluhan tersebut diantaranya:
- nafsu makan berkurang
- banyak minum
- banyak kencing
- berat badan turun dengan cepat
- mudah lelah
- bila tidak segera diobati,penderita akan merasa mual bahkan penderita akan jatuh koma
(koma diabetik) 10
Gejala Kronik
Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-
tusuk jarum, rasa tebal dikulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal disekitar
kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
11
menurun, pada ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan,
atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg 10
2. 7 DIAGNOSIS
Menurut Suyono (2002), diagnosis diabetes dipastikan bila :
1) Kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau lebih ditambah gejala khas diabetes.
2) Glukosa darah puasa 126 mg/dL atau lebih pada dua kali pemeriksaan pada saat berbeda.
Bila ada keraguan, perlu dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) atau yang populer
disebut OGTT (Oral Glukose Tolerance Test) dengan mengukur kadar glukosa puasa dan 2
jam setelah minum.1
Tabel 3: Kriteria diagnosis DM menurut Konsensus DM tahun 2006:
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):3
(tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
diperiksa kadar glukosa darah puasa
diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
12
diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
2. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya
(massscreening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang
mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang
mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check
up), adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat
dianjurkan. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT (toleransi
glukosa terganggu), dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu), sehingga kemudian dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan Peran aktif para pengelola
kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan sekunder dapat segera diterapkan.5
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk
DM, yaitu :
Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
Kegemukan {BB (kg)> 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
Riwayat keluarga DM
Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
Riwayat DM pada kehamilan
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl).
Pernah TGT atau GDPT
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu,
kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) standar (lihat skema langkah-langkah diagnostik DM).
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun
tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
13
Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT
akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.
Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi daripada kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu :
TTGO
GD 2 jam pasca pembebanan
Lebih dari sama dengan 200 140-199 kurang dari 140
DM TGT Normal
Tabel 4: Langkah – langkah diagnosis DM dan toleransi glukosa terganggu.5
2. 9 PENATALAKSANAAN
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya
mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin.
14
Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat
tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara
klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi
kriteria diagnosis diabetes melitus.5
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas
hidup penyandang diabetes.3
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu: 3
1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neyropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku. 3
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan
non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan
jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan
langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan
penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu
diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia
seperti yang tertera pada gambar dibawah.
15
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa
darah.11
Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang digunakan
adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan konsensus
penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun pilar
penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :
A. Edukasi.
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola
hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah:3
1. Mengikuti pola makan sehat
2. Meningkatkan kegiatan jasmani
3. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur
4. Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala
6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat
7. Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes.
8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
B. Terapi Gizi Medis.
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan
16
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.3
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:12
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
6. Memperbaiki sistem koagulasi darah
Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:12
1. Kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
2. Tekanan darah < 130/80 mmhg
3. Profil lipid yang berkisar normal
Kolesterol LDL < 100 mg/dl
Kolesterol HDL > 40 mg/dl
Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat, protein
dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.
Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut
konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006
adalah sebagai berikut :
1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari
70%jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat
kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
17
Rekomendasi pemberian karbohidrat:12
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya bersumber dari
karbohidrat
3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kalori perhari
4. Jumlah serat 25-50 gram per hari
5. Jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan
sampai lebih dari total kebutuhan kalori per hari
6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti aspartame,
acesulfam dan sucralosa
7. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram per hari
8. Fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari
2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari
total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan
suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalori/gram.12
Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut:
1. Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi kadar gula darah
3. Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-
1 mg/kgbb/hari
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan daripada hewani.
3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
18
dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA),
merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan
trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid =
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat
menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.12
Rekomendasi pemberian lemak adalah sebagai berikut:
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10 % dari total kebutuhan kalori per hari
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang.
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan
kalori per hari.
4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan
bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25
g/1000 kkal/hari.3
5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
19
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dll.3
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah
sbb:3
1. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanitadi bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
1. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. BB Normal : BB ideal ± 10 %
3. Kurus : < BBI - 10 %
4. Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam The
Asia Pacific Perspective:Redefning Obesity and its Treatment.
1. BB Kurang <18,5
2. BB Normal 18,5-22,9
3. BB Lebih >23,0
a) Dengan risiko 23,0-24,9
b) Obes I 25,0-29,9
c) Obes II ≥ 30
C. Latihan jasmani.
Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah satu
dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang
diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk diabetisi
sebagai kegiatan sehari-hari.12
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
20
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.3
Tabel 5. Aktifitas fisik sehari-hari.3
D. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja
obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.3
Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:3
1. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
21
diabsorpsi dengan cepatsetelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.
2. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
3. penghambat glukoneogenesis: metformin
Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan
tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
4. penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
2. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
3. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
4. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
5. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
6. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makansuapan pertama
7. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
22
tabel 6. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan
A1C (Hb-glikosilat).3
Tabel 7. Obat hipoglikemia oral.3
23
INSULIN
Insulin adalah hormone alami yang dikeluarkan oleh pankreas. Insulin dibutuhkan oleh sel
tubuh untuk mengubah dan menggunakan glukosa darah (gula darah), dari glukosa, sel
membuat energy yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya. Pasien diabetes mellitus
(kencing manis) tidak memiliki kemampuan untukmengambil dan menggunakan gula darah,
sehingga kadar gula darah meningkat. Pada diabetes tipe I, pancreas tidak dapat
memporduksi insulin. Sehingga pemberian insulin diperlukan. Pada diabetes tipe 2, pasien
memproduksi insulin, tetapi sel tubuh tidak meerespon insulin dengan normal. Namun
demikian, insulin juga digunakan pada diabetes tipe 2 untuk mengatasi resistensi sel terhadap
insulin.
Dengan peningkatan pengambilan glukosa oleh sel dan menurunnya kadar gula darah,
akan mencegah dan mengurangi komplikasi lebih lanjut dari diabetes, seperti kerusakan
pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf. Insulin diberikan dengan cara disuntikan di bawah
kulit (subkutan). Jaringan subkutan perut adalah yang terbaik karena penyerapan insulin lebih
konsisten dibanding tempat lainnya. Terdapat banyak bentuk insulin. Insulin dikasifikasikan
berdasarkan dari berapa cepat insulin mulai bekerja dan berapa lama insulin bekerja.13
Insulin diperlukan pada keadaan :3
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
9. yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
24
10.Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
11.Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni (PERKENI, 2006) :
1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)
Pemilihan tipe insulin tergantung pada beberapa factor, yaitu :
1. Respon tubuh individu terhadap insulin (berapa lama menyerap insulin ke dalam tubuh dan
tetap aktif di dalam tubuh sangat bervariasi dari setiap individu)
2. Pilihan gaya hidup seperti : jenis makanan, berapa banyak konsumsi alcohol, berapa
sering berolah raga, yang semuanya mempengaruhi tubuh untuk merespon insulin.
3. Berapa banyak suntikan per hari yang ingin dilakukan.
4. Berapa sering melakukan pengecekan kadar gula darah.
5. Usia
6. Target pengaturan gula darah.
Pada table didiskripsikan berbagai insulin dan cara kerjanya dalam tubuh. Sebagai
keterangan, insulin injeksi dengan data; onset (lamanya waktu yang dibutuhkan untuk insulin
mencapai darah dan mulai menurunkan kadar gula darah, peak (periode waktu dimana insulin
paling efektif menurunkan gula darah) dan duration (berapa lama insulin terus menurunkan
kadar gula darah). Ketiga factor ini mungkin bervariasi, tergantung respon tubuh seseorang.
Kolom terakhir menjelaskan bagaimana hubungan jenis insulin dengan waktu makan.
Tabel 9 : Macam-macam insulin dan cara kerjanya dalam tubuh.14
25
Jangka waktu antara memakai insulin dan makan mungkin bervariasi tergantung pada jenis
insulin yang digunakan. Pada table di atas, data onset adalah informasi yang berguna kapan
insulin bekerja di dalam tubuh bersamaan dengan waktu makan. Penentuan waktu ini
membantu mencegah kadar gula darah terlalu rendah.14
2.10 PENILAIAN HASIL TERAPI
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah (PERKENI, 2006) :
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
A. Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
26
B. Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan
glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu
hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk
menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2
kali dalam setahun.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana
dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan
pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang
dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi
maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara
siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau
ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada
tabel 10.
27
d.Kriteria pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian
DM dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kriteria pengendalian diabetes melitus.
2.11 KOMPLIKASI
A. Komplikasi akut
1. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang
ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes
melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik,
KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok (Sudoyo, Aru
W, 2006).
28
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, dan hormon pertumbuhan),
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel
tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervarisfasi
dan tidak menentukan berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:15
1. Akibat hiperglikemia
2. Akibat ketosis
Patofisiologi KAD
KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut:
1. Kadar glukosa > 250 mg%
2. pH < 7,35
3. HCO3 rendah
4. Anion gap yang tinggi
5. Keton serum positif
Begitu masalah KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD
tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi titerasi,
sehingga sebaiknya dirawat diruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD
adalah (Sudoyo, Aru W, 2006) :
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
29
2. Menekan lipolisis sel lemak dan glukoneogenesis sel hati dengan insulin
3. Mengatasi stres sebagi pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan
serta penyesuaian pengobatan.
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik15
Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau
tanpa adanya ketosis.
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa
hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,
polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus..
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi
menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis,
penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%).
Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%).
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume
intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.
Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan:
1. Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
30
5. Pencegahan.
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila
terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering
lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.3
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,
gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma). 3
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan
makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran. 3
2.6.2 Komplikasi kronik
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi komplikasi
pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan
pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri,
yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi
baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika.
31
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis
1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan.
Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan
pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal
retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan
sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan
menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.
Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai
penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein
dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul
kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.
2. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri
akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM
timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
32
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar
gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia
merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini
dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular.
Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko
koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat
gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada
paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga
pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah
beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih
hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat tidak timbul
pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita
diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering
timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya
aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia,
berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah
33
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat
terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka
akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya terjadi payah jantung.
Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal.
Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes,
penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai
fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi
merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan
gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun
kematian.
3. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada
penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa
gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di
mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal.
Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan.
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat
adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol, penurunan Na/K ATP
ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi
axonal.
2.12 PENCEGAHAN
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap, yaitu:
1. Pencegahan Primer:
Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada
individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
34
2. Pencegahan Sekunder:
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan
terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang
sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat
dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi
masih reversible.
3. Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi, meliputi:
Mencegah timbulnya komplikasi
Mencegah progresi dari pada komplikasi agar tidak terjadi kegagalan organ
Mencegah kecacatan tubuh
2.13 PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien Diabetes Melitus Tergantung Insulin yang mendapat insulin dapat
bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik,
dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.
2. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.
3. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
35
4. Persi. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008
[ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
5. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu
penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta
: balai penerbit FKUI, 2006.
6. Brunner & Suddarth. (1997). Keperawatan Medikal Bedah. alih bahasa Hartono, A.,
Kuncara, M.,Ester, M,. Edisi 8, Vol. 2. Jakarta: EGC
7. Dr Taufiq M.Waly,Sp.Pd,. Penanganan diabetes secara menyeluruh. 2010
8. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
9. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis, proses penyakit. Edisi VI. 2006. Jakarta:
EGC
10. Tjokroprawiro, Askandar. Diabetes Melitus. 2006. Jakarta: Gramedia
11. Soegondo, Sidartawan. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe
2. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.
12. Soebardi, Suharko. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar
ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006
13. Website : www.webmd.com
14. Website : www.medicinenet.com
15. Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik, Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non
Ketotik. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk,
editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006
36
Top Related