A. DEFINISI VEHIKULUM
Vehikulum adalah zat inaktif/ inert yang digunakan dalam sediaan topikal
sebagai pembawa obat/ zat aktif agar dapat berkontak dengan kulit. Meskipun inaktif,
aplikasi suatu vehikulum pada kulit dapat memberikan beberapa efek yang
menguntungkan, meliputi efek fisik misalnya efek proteksi, mendinginkan, hidrasi,
mengeringkan/ mengangkat eksudat, dan lubrikasi, serta efek kimiawi/ farmakologis,
misalnya efek analgesik, sebagai astringent, antipruritus, dan bakteriostatik.
B. KLASIFIKASI VEHIKULUM
Berdasarkan komponen penyusunnya, vehikulum dapat digolongkan dalam
monofasik, bifasik, dan trifasik. Yang termasuk vehikulum monofasik di antaranya
adalah bedak, salep, dan cairan. Bedak kocok, pasta, dan krim tergolong dalam
vehikulum bifasik. Sementara pasta pendingin merupakan contoh vehikulum trifasik.
Selain ketiga kelompok besar vehikulum di atas, terdapat vehikulum lain yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan tersebut, yaitu jel. Pembagian lain
vehikulum adalah berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu vehikulum hidrofobik
dan vehikulum hidrofilik. Vehikulum hidrofobik meliputi berbagai hidrokarbon,
silikon, alkohol, sterol, asam karboksilat, ester dan poliester, serta eter dan polieter.
Sementara vehikulum hidrofilik meliputi berbagai poliol dan poliglikol, sebagian dari
golongan ester dan poliester, serta beberapa macam eter dan polieter. Berdasarkan
konsistensinya, vehikulum dibagi menjadi cair, solid, dan semisolid. Selain berbagai
kelompok vehikulum di atas, berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk
meningkatkan penetrasi obat topikal ke dalam kulit, seperti penggunaan liposom dan
nanopartikel.
C. JENIS VEHIKULUM
1. Bedak
Bedak merupakan vehikulum solid/padat yang memiliki efek mendinginkan,
menyerap cairan serta mengurangi gesekan pada daerah aplikasi. Sebagian besar
bedak mengandung seng oksida yang memiliki efek antiseptik, magnesium silikat
dengan efek lubrikasi dan mengeringkan, serta stearat yang mampu meningkatkan
daya lekat bedak pada kulit. Ke dalam bedak juga ditambahkan bahan pengawet untuk
mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan antioksidan untuk mencegah bedak
teroksidasi udara luar. Kemampuan penetrasinya pada kulit yang rendah,
menyebabkan penggunaannya terbatas, antara lain dalam bidang kosmetik. Efek
samping yang dapat timbul pada penggunaan bedak antara lain inhalasi bedak ke
dalam saluran napas, penggumpalan bedak, iritasi, dan dapat memicu pembentukan
granuloma. Aplikasi bedak pada kulit yang iritasi juga dapat menghambat proses
penyembuhan. Para ahli telah meneliti penggunaan urea untuk menggantikan talk
sebagai bahan dasar bedak. Urea merupakan bahan non alergenik dan non toksik bagi
kulit, sehingga pemakaiannya jauh lebih aman dibanding bedak konvensional. Urea
memiliki sifat antipruritus, antiseptik, antiinflamasi, menghambat proses oksidasi, dan
dapat membantu proses penyebuhan pada kulit yang teriritasi atau mengalami
peradangan. Efek yang menguntungkan tersebut memungkinkan bedak berbahan
dasar urea dapat digunakan pada kulit yang mengalami iritasi.
2. Salep
Salep merupakan sediaan semisolid yang dapat digunakan pada kulit maupun
mukosa. Bahan dasar salep yang digunakan dalam dermatoterapi dibagi dalam empat
kelompok yaitu; 1) hidrokarbon, 2) bahan penyerapan, 3) bahan dasar emulsi, dan 4)
bahan yang larut air (watersoluble based). Salep berbahan dasar hidrokarbon
memiliki efek sebagai emolien, efek oklusi, dan mampu bertahan pada permukaan
kulit dalam waktu lama tanpa mengering. Bahan dasar hidrokarbon yang paling
banyak digunakan adalah petrolatum putih dan petrolatum kuning. Umumnya bersifat
stabil, sehingga tidak memerlukan zat pengawet. Kelemahannya adalah dapat
mewarnai pakaian. Bahan dasar penyerapan pembentuk salep terdiri atas lanolin dan
turunannya, kolesterol dan turunannya, serta sebagian ester dari alkohol polihidrat.
Kelompok bahan dasar ini memiliki efek lubrikasi, emolien, efek proteksi, serta
karena sifat hidrofiliknya, dapat digunakan sebagai vehikulum obat/ zat aktif yang
larut air. Salep dengan bahan dasar penyerapan bersifat lengket, namun lebih mudah
dicuci dibandingkan yang berbahan dasar hidrokarbon. Bahan dasar salep yang lain,
yaitu bahan dasar pengemulsi dan bahan dasar yang larut air sering digunakan untuk
membentuk sediaan semisolid yang lain, yaitu krim dan jel. Konsentrasi bahan dasar
salep dalam suatu sediaan berbentuk salep dapat ditingkatkan agar kemampuan
penetrasi bahan aktif yang terkandung di dalamnya meningkat, misalnya sediaan salep
khusus yang disebut fatty ointment. Konsentrasi bahan dasar salep dalam sediaan
tersebut mencapai lebih dari 90 persen. Sediaan tersebut dapat digunakan untuk
kelainan/ penyakit kulit pada daerah dengan stratum korneum yang tebal, misalnya
lipat siku, lutut, telapak tangan, dan telapak kaki.
3. Krim
Krim merupakan sediaan semisolid yang mengandung satu atau lebih zat aktif
yang terdispersi dalam suatu medium pendispersi dan membentuk emulsi. Untuk
kestabilan emulsi, digunakan suatu agen pengemulsi (emulsifier). Bahan pengemulsi
dapat terlarut dalam kedua fase cairan penyusun emulsi, dan mengelilingi cairan yang
terdispersi membentuk titik-titik air mikro yang terlarut dalam medium pendispersi.
Surfaktan maupun beberapa jenis polimer atau campuran keduanya dapat digunakan
sebagai bahan pengemulsi. Beberapa contoh surfaktan yang sering digunakan dalam
pembentukan emulsi adalah sodium lauril sulfat, Spans, dan Tweens.
Berdasarkan fase internalnya, krim dapat dibagi menjadi krim oil-in-water dan krim
water-in-oil. Krim water-in-oil mengandung air kurang dari 25 persen dengan minyak
sebagai medium pendispersi. Selain surfaktan, zat pengawet juga seringkali
digunakan dalam sediaan krim water-in-oil. Sediaan ini kurang lengket dibanding dua
sediaan yang disebutkan sebelumnya, sehingga relatif lebih mudah diaplikasikan.
Sediaan ini juga memiliki efek sebagai emolien karena kandungan minyaknya,
sedangkan kandungan air di dalamnya memberikan efek mendinginkan saat
diaplikasikan. Krim oil-in-water mengandung air lebih dari 31 persen. Formulasi ini
merupakan bentuk yang paling sering dipilih dalam dermatoterapi. Sediaan ini dapat
dengan mudah diaplikasikan pada kulit, mudah dicuci, kurang berminyak, dan relatif
lebih mudah dibersihkan bila mengenai pakaian. Sebagai pengawet, biasanya
digunakan paraben untuk mencegah pertumbuhan jamur. Bahan lain yang terkandung
dalam emulsi oil-in-water adalah humektan, misalnya gliserin, propilen glikol,
ataupun polietilen glikol. Fase minyak dalam sediaan ini juga menyebabkan rasa
lembut saat diaplikasikan.
4. Jel
Jel merupakan sediaan semisolid yang mengandung molekul kecil maupun
besar yang terdispersi dalam cairan dengan penambahan suatu gelling agent.
Formulasi yang dibutuhkan dalam membentuk jel adalah air, propilen glikol, dan atau
polietilen glikol ditambah dengan suatu bahan pembentuk jel. Gelling agent yang
biasa digunakan adalah carbomer 934 serta carboxymethylcellulose dan
hydroxypropylmethyl-cellulose yang merupakan turunan dari selulosa. Bahan dasar
pembentuk jel merupakan bahan yang larut air (water soluble based) dan tidak
mengandung minyak. Bahan ini sangat mudah dicuci, tidak mewarnai pakaian, tidak
memerlukan pengawet, dan kurang oklusif. Bahan dasar ini lebih sering digunakan
pada sediaan topikal agar konsentrasi pada permukaan kulit lebih tinggi dan
membatasi penyerapan ke dalam kulit, misalnya pada berbagai antifungal dan
antibiotik topikal. Jel merupakan vehikulum yang cocok untuk banyak zat aktif. Jel
juga relatif mudah diaplikasikan pada kulit, dapat digunakan pada daerah berambut,
serta memiliki penetrasi yang baik. Kekurangan dari sediaan dalam bentuk jel antara
lain efek protektifnya yang rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai emolien,
dan dapat menyebabkan kulit kering dan panas bila kandungan alkohol atau propilen
glikolnya tinggi. Selain jel berbahan dasar larut air, telah ditemukan juga formulasi jel
terbaru berbahan dasar pelarut organik yang disebut organogel. Bahan dasar yang
digunakan antara lain lesitin, jelatin, dan ester sorbitan. Jel dengan bahan dasar
tersebut umumnya digunakan untuk zat aktif yang sukar larut di dalam air.
5. Cairan/ liquid
Vehikulum berbentuk cair dapat berupa air, alkohol, minyak, dan propilen
glikol. Penambahan suatu zat aktif ke dalam berbagai vehikulum cair tersebut dapat
membentuk suatu sediaan cair yang berbeda bergantung kelarutan dan jenis zat yang
terdispersi dalam medium pendispersi, yaitu solusio, emulsi, dan suspensi.
6. Solusio atau larutan adalah sediaan cair yang mengandung bahan kimia terlarut
(solut) yang terlarut secara homogen dalam media pelarut misalnya air, alkohol,
minyak, atau propilen glikol. Contoh dari solusio adalah solusio Burrowi, yodium
tingtur, dan linimen. Suspensi atau losio adalah suatu sistem berbentuk cair yang
komponennya terdiri atas dua fase zat. Fase pertama merupakan fase eksternal/
kontinu dari suspensi, yang umumnya berbentuk cair atau semisolid, dan fase kedua
merupakan fase internal yang merupakan partikel yang tidak larut dalam fase kontinu,
namun terdispersi di dalamnya. Dalam suatu sediaan obat topikal, fase internalnya
adalah zat atau obat aktif. Karena tidak larut dalam medium pendispersinya, maka zat
aktif dalam suatu sediaan berbentuk suspensi atau losio dapat mengendap bila
didiamkan, sehingga sebelum digunakan harus dikocok terlebih dahulu agar dosis
obat aktif yang diaplikasikan merata. Losio banyak digunakan untuk pasien anak,
karena mudah diaplikasikan secara merata. Penguapan air yang terkandung dalam
sediaan ini setelah aplikasinya memberikan efek mendinginkan. Dibandingkan salep,
losio dapat menyebabkan kondisi kulit yang kering, dan dapat menyebabkan abrasi
pada kulit.
7. Pasta
Pada dasarnya pasta merupakan salep yang ke dalamnya ditambahkan bedak
dalam jumlah yang relatif besar, hingga mencapai 50 persen berat campuran.
Konsistensinya relatif lebih keras dibanding salep karena penambahan bahan padat
tersebut. Kandungan bedak yang ditambahkan ke dalamnya dapat berupa seng oksida,
kanji, kalsium karbonat, dan talk. Seperti halnya salep, pasta dapat membentuk
lapisan penutup/film di atas permukaan kulit, yang impermeabel terhadap air sehingga
dapat berfungsi sebagai protektan pada daerah popok. Komponen zat padat dalam
pasta menjadikannya dapat digunakan sebagai sunblock. Pasta relatif kurang
berminyak dibandingkan salep, karena sebagian besar komponen minyak yang
terkandung dalam salep telah berasosiasi dengan bahan padat yang ditambahkan.
8. Lacquer
Lacquer merupakan sediaan topikal yang relatif baru di bidang dermatologi.
Sediaan ini mulai digunakan untuk mengobati kasus-kasus onikomikosis. Nail lacquer
merupakan larutan yang terdiri dari etil asetat, isopropil alkohol, dan butil monoester
asam maleat. Setelah aplikasinya di atas lempeng kuku, lacquer akan membentuk
lapisan film di atas tempat aplikasi. Penelitian secara in vitro pada kuku yang telah
dilepaskan, menunjukkan sediaan ini mampu menembus lempeng kuku hingga
kedalaman 0,4 cm.
9. Foam
Foam merupakan suatu dispersi cairan dan atau zat padat dalam medium
berbentuk gas. Dibandingkan dengan sediaan topikal lain, foam merupakan sediaan
yang paling mudah diaplikasikan pada permukaan kulit tanpa memerlukan penekanan,
sehingga sediaan ini menjadi pilihan untuk digunakan pada berbagai kelainan/
penyakit kulit dengan inflamasi yang berat dan luas, karena penekanan yang
berlebihan pada kulit yang mengalami inflamasi menimbulkan rasa nyeri dan dapat
memperberat reaksi inflamasi. Sediaan topikal berbentuk foam dikemas dalam suatu
wadah bertekanan yang berkatup. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari
sediaan berbentuk foam, karena proses pembuatan wadah bertekanan merupakan hal
yang rumit dan memerlukan biaya yang tinggi, sehingga harga sediaan berbentuk
foam menjadi mahal. Suatu penelitian yang membandingkan kemampuan bentuk
sediaan foam, salep, krim, dan jel dalam melepaskan zat aktif (betametason valerat)
telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan sediaan foam memiliki kemampuan
yang sama dengan salep dan jel dalam melepaskan komponen zat aktif, namun lebih
baik dibandingkan sediaan krim. Penelitian lain dilakukan terhadap 25 orang anak dan
bayi dengan infeksi candida pada daerah popok. Ke 25 subyek diterapi dengan
sediaan berbentuk foam yang mengandung nistatin, klorheksidin, dan prednisolon.
Setelah dilakukan terapi selama 13 hari, seluruh subyek penelitian, termasuk subyek
dengan manifestasi klinis yang berat menunjukkan kesembuhan.
10. Liposom
Liposom artifisial ditemukan oleh Alec D. Bangham pada tahun 1961. Sejak
saat itu penggunaannya meluas dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang
dermatoterapi. Liposom merupakan vesikel buatan terkecil yang dibentuk dari
fosfolipid dan kolesterol. Fosfolipid yang sering digunakan dalam menyusun liposom
adalah fosfatidilkolin. Secara struktural, liposom berbentuk bulat, dengan ukuran
diameter bervariasi antara 20 nm sampai 10 μm, dan ketebalan membran 3 nm.
Susunan membran liposom sama dengan membran sel yang terdiri atas lipid bilayer
(lihat gambar 1). Liposom dapat dibedakan menjadi liposom unilamelar dan liposom
multilamelar. Liposom unilamelar berukuran 0.02-0.05 um, sedangkan liposom
multilamelar berukuran 0.1-0.5 um. Dalam bidang pengobatan, liposom dapat
digunakan sebagai pembawa obat atau bahkan molekul DNA ke
suatu sel target. Struktur unik liposom memungkinkan suatu molekul obat baik yang
bersifat hidrofilik maupun hidrofobik dan juga DNA yang dibawanya dapat
menembus lipid bilayer membran sel. Lipid bilayer pada liposom dapat bergabung
(fusi) dengan lipid bilayer membran sel, untuk kemudian molekul obat maupun DNA
yang dibawanya dilepaskan ke dalam sel target (lihat gambar 2). Dalam suatu sediaan
topikal, liposom dapat diformulasikan dalam berbagai bentuk sediaan misalnya
suspensi, losio, krim, dan jel.
Gambar 1. Liposom
Gambar 2. Mekanisme pelepasan obat dari liposom ke dalam sel target.
11. Nanopartikel
Nanopartikel adalah suatu partikel berukuran nanometer, dengan dimensi 50-
200 nm. Nanopartikel tersusun oleh makromolekul yang ke dalamnya dapat
dilarutkan atau dimasukkan suatu zat, misalnya obat aktif.
Pada beberapa dekade terakhir ini penggunaannya meluas, termasuk dalam bidang
pengobatan, baik dalam bentuk sediaan oral, parenteral, bahkan topikal. Strukturnya
menyerupai liposom, namun hanya memiliki satu lapis membran, sehingga berbeda
dengan liposom, bagian dalam nanopartikel bersifat lipofilik, sehingga berbagai
molekul yang larut dalam lemak, seperti vitamin A, vitamin D, dan vitamin E dapat
dimasukkan ke dalamnya. Karena ukurannya yang sangat kecil, sediaan topikal yang
diformulasikan dalam bentuk nanopartikel dapat berkontak dengan lebih baik pada
stratum korneum sehingga penetrasi zat aktif yang ada di dalamnya pun meningkat.
Baroli dkk. (2006) melaporkan kemampuan nanopartikel menembus masuk ke dalam
folikel rambut dan lapisan epidermis. Sementara Vogt dkk. (2006) melaporkan bahwa
hanya nanopartikel dengan ukuran 40 nm yang dapat digunakan secara efisien sebagai
pembawa vaksin melalui folikel rambut, namun tidak dengan molekul nanopartikel
dengan ukuran lebih besar yaitu 750 nm dan 1500 nm.
Gambar 3. Nanopartikel
Sumber: Vehikulum dalam dermatoterapi topikal oleh Anjas Asmara, Sjaiful Fahmi Daili, Tantien Noegrohowati, Ida Zubaedah MDVI Vol.39. No.1. Tahun 2012: 25-35