DETEKSI KEBUNTINGAN TERNAK SAPI DENGAN METODA
PUNYAKOTI
PROPOSAL
Oleh :
DEWI RAHMAYUNI
1021204016
PROGRAM STUDY ILMU TERNAK
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan
setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam
hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB,
sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan
penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau diculling. Hal ini bertujuan
untuk menekan biaya pada breeding program dan membantu manajemen ternak
secara ekonomis.
Biasanya para peternak mendeteksi kebuntingan dengan memperhatikan
tingkah ternak tersebut, apabila ternak telah dikawinkan tidak terlihat gejala estrus
maka peternak menyimpulkan bahwa ternak bunting dan sebaliknya. Namun cara
tersebut tidaklah sempurna dan sering terjadi kesalahan deteksi kebuntingan. Menurut
Partodihardjo (1992) tidak adanya gejala estrus bisa saja karena adanya corpus
luteum persistent atau gangguan hormonal lainnya, hingga siklus berahi hewan
terganggu.
Pemeriksaan kebuntingan ternak khususnya sapi umumnya dilakukan dengan
explorasi rectal atau palpasi rektum. Dalam melakukan palpasi rektum, tidak semua
orang bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang
tersebut. Namun ketersediaan orang–orang tersebut tidaklah merata di seluruh daerah
khususnya daerah Sumatera Barat. Sedangkan beternak sapi lebih banyak dilakukan
oleh rakyat yang ada di pedesaan.
Metoda punyakoti adalah sebuah metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi
menggunakan urine yang pernah dilakukan di sebuah veterinary college di Bangalore
India. Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, di mana
disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan didiagnosis kehamilannya diminta
untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut
didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam
waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak tumbuh (Istiana, 2010).
Namun untuk ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji gandum tumbuh
dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya. Uji ini
cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan
hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih. Peternak yang ada
di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa
memanfaatkan uji punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan hewan ternaknya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan metoda punyakoti
sebagai penelitian untuk deteksi kebuntingan ternak sapi dengan judul : “Uji
Kebuntingan Dini Pada Sapi Dengan Metode Punyakoti Menggunakan Gabah
Padi”.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Apakah gabah padi dapat digunakan pada uji Punyakoti untuk mendeteksi
kebuntingan ternak sapi ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui kebuntingan dini pada sapi dengan metode punyakoti dengan
menggunakan gabah padi.
2. Untuk menentukan dosis terbaik dan waktu kebuntingan terpendek yang bisa
terdeteksi dengan metode Punyakoti.
1.4 HIPOTESIS PENELITIAN
Metoda Punyakoti menggunakan gabah padi dapat mendeteksi kebuntingan
ternak sapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KEBUNTINGAN
Kebuntingan adalah suatu periode sejak terjadinya fertilisasi sampai terjadi
kelahiran (Frandson, 1992). Kebuntingan merupakan keadaan di mana anak sedang
berkembang dalam uterus seekor hewan betina (Ilawati, 2009). Menurut Salisbury
dan Van Demark (1985) selama kebuntingan terjadi pertumbuhan dan perkembangan
individu baru yang merupakan hasil dari perbanyakan, pertumbuhan, perubahan
susunan serta fungsi sel. Perubahan tersebut meliputi bertambahnya volume dan
sirkulasi darah kelenjer uterus yang tumbuh membesar dan bekelok–kelok serta
infiltrasi sel darah putih yang mempersiapkan saluran reproduksi betina untuk
kebuntingan.
Setiap individu memiliki lama bunting bervariasi, hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor genetik, faktor maternal, fetal dan lingkungan.
Contohnya sapi dara pada umur muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih
pendek dari sapi yang lebih tua (Toelihere, 1981).
2.3 METODA DETEKSI KEBUNTINGAN
Menurut Lestari (2006), ada beberapa metoda diagnosa kebuntingan pada sapi,
a. Non Return to Estrus (NR)
Pada sapi dan kerbau, ketidakhadiran estrus setelah perkawinan digunakan
secara luas oleh peternak dan sentra-sentra IB sebagai indikator terjadinya
kebuntingan, tetapi ketepatan metoda ini tergantung dari ketepatan deteksi estrusnya.
Pada kerbau, penggunaan metoda NR ini tidak dapat dipercaya karena sulitnya
mendeteksi estrus (Lestari, 2006).
b. Eksplarasi Rektal
Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan
pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus
melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan,
fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan
ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya rongga pelvic
pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus
tidak dapat dilakukan (Arthur et.al., 1996).
c. Ultrasonografi
Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe
untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat
mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri. Harga alat ini
masih sangat mahal,diperlukan operator yang terlatih untuk dapat
menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Ada resiko kehilangan
embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe.
Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada
usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas
30 hari ( Youngquist, 2003 dalam Lestari, 2006).
d. Diagnosa Imunologik
Menurut Lestari (2006) teknik Imunologik untuk diagnosa kebuntingan
berdasarkan pada pengukuran level cairan yang berasal dari konseptus, uterus atau
ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin dan air susu. Test imonologik dapat
mengukur dua macam cairan yaitu:
1. Pregnancy Specific yg hadir dalam peredaran darah maternal : eCG dan EPF.
2. Pregnancy Not Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi
dalam darah maternal,urin dan air susu, contoh : progesteron dan estrone sulfate.
Beberapa protein-like substance telah diidentifikasi dari dalam peredaran
darah maternal selama terjadi kebuntingan. Substansi ini merupakan produk yang
berasal dari konseptus yang dapat digunakan sebagai indikator adanya kebuntingan
(Jainudeen dan Hafez, 2000).
e. Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon
Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan
dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air
susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan
metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Menurut Djojosoebagjo (1987) dalam
Illawati (2009), metode RIA mempunyai kemampuan untuk menentukan zat-zat
fisiologis sampai konsentrasi yang sangat rendah sekali mencapai konsentrasi
pictogram (1 pg = 10-12 gram) untuk setiap satuan ml. Dengan metode ini hampir
semua hormon dapat diukur kadarnya. Akan tertapi secara komersil, metoda RIA
terlalu mahal untuk digunakan sebagai metoda diagnosis kebuntingan (Partodihardjo,
1992).
2.3 METODE PUNYAKOTI
Metode punyakoti adalah sebuah metode deteksi kebuntingan ternak sapi
dengan menggunankan urine. Metode ini hampir sama dengan uji kebuntingan
modern pada manusia menggunakan HCG dari urine sebagai senyawa yang
menentukan kebuntingan. Pada uji Punyakoti, ada senyawa lain yang menyusun urine
yang digunakan untuk menentukan kebuntingan baik pada manusia maupun sapi
(ruminansia). Selain urea dan asam urat yang dikeluarkan oleh urine sapi, bagian
terpenting yang menentukan dalam uji Punyakoti ini adalah hormon tumbuhan yang
disebut abscisic acid (ABA) (Istiana, 2010). Sedangkan hormon progesteron dan
estrogen yang tergandung dalam urine tidak mempengaruhi uji ini, karena kedua
hormon ini tidak mempengaruhi perkecambahan biji (Nirmala, G.C., Veena, T .,
Jyothi, M.S dan Suchitra, B. R, 2008)
Pada ternak sapi dilakukan dengan mengencerkan 1 ml urine sapi dengan 14
ml air di cawan petri yang berisi kertas saring dan 15 biji gandum. Juga disiapkan
kelompok kontrol berisi air 15 ml. Setelah 5 hari dilihat pertumbuhan biji gandum
yang sudah direndam dalam larutan urine sapi tadi (Veena, T, Narendranath, R dan
Sarma, P.V, 1997 dalam Dilrukshi, 2009).
2.4 HORMON TUMBUHAN
Menurut Salisbury dan Ross (1995), hormon tanaman adalah zat pengantur
tumbuhan yang diproduksi oleh tanaman. Terdapat ratusan hormon tumbuhan atau
zat pengatur tumbuh (ZPT) yang dikenal orang, baik yang endogen maupun yang
eksogen. Pengelompokan dilakukan untuk memudahkan identifikasi, dan didasarkan
terutama berdasarkan perilaku fisiologi yang sama, bukan kemiripan struktur kimia.
Pada saat ini dikenal lima kelompok utama hormon tumbuhan, yaitu auksin (auxins),
sitokinin (cytokinins), giberelin (gibberellins, GAs), asam absisat (abscisic acid,
ABA), dan etilena (etena, ETH) (Wikipedia, 2011)..
Dalam urine sapi juga mengandung sejumlah auksin yang berasal dari
makanannya berupa tumbuhan, terutama dari ujung tanaman, dimana tumbuhan
tersebut di dalam sistem pencernaannya diolah sedemikian rupa sehingga auksin
diserap bersama dengan zat-zat yang ada pada tumbuhan tersebut, karena auksin tidak
terurai dalam tubuh, maka auksin dikeluarkan sebagai filtrat bersama-sama dengan
urine. Auksin sebagai salah satu hormon tumbuhan bagi tanaman mempunyai
peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Seiring dengan
berkembanganya ilmu pengetahuan, dari hasil penelitian ternyata rooton f juga
terdapat dalam urine sapi (air kencing sapi).
Penelitian yang telah dilakukan terhadap urine sapi diantaranya adalah Naswir
(2003) melaporkan bahwa urine sapi mengandung zat perangsang tumbuh yang dapat
digunakan sebagai pengatur tumbuh diantaranya IAA.
Fungsi auksin pada tanaman antara lain merangsang pertumbuhan dan
mempertinggi persentase timbulnya bunga dan buah, mendorong partenokarpi yaitu
suatu kondisi dimana tanaman berbuah tanpa fertilisasi atau penyerbukan,
mengurangi gugurnya buah sebelum waktunya, serta mematahkan dominasi pucuk
atau apikal yaitu suatu kondisi dimana pucuk tanaman atau akar tidak mau
berkembang (Naswir, 2003).
ABA adalah hormon tanaman yang dianggap sebagai hormon stress
diproduksi dalam jumlah besar ketika tanaman mengalami stress. Keadaan rawan
tersebut antara lain kurang air, tanah bergaram dan suhu tanah dingin atau panas.
ABA membantu tanaman mengatasi keadaan rawan tersebut (Salisbury dan Ross
1995).
2.5 URINE SAPI
Urine merupakan salah satu jenis pupuk kandang. Namun karena sulitnya
menampung urine ternak maka urine jarang digunakan sebagai pupuk, padahal
menurut Novizan (2002), kandungan hara urine lebih banyak dari kotoran padat.
Urine ternak mengandung 90-95% air dan beberapa unsur hara lainnya, sebagian
besar berbentuk urea. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Hara Urine Ternak
Sumber
Pukan
Kadar air Bahan
organik
N P2O5 K2O CaO
Sapi
Kerbau
Kambing
92
81
86,3
4,8
-
9,3
1,21
0,6
1,47
0,01
Sedikit
0,05
1,35
1,61
1,96
1,35
Sedikit
0,16
Babi
Kuda
96,6
89,6
1,5
8
0,38
1,29
0,1
0,01
1,99
1,39
0,02
0,45
Sumber : Anonimus (1993).
Namun berdasarkan penelitian Dilrukshi (2009) urine sapi bunting secara
dramatis menghambat perkecambahan dan pertumbuhan tunas dari biji kacang hijau
dibandingkan sapi non bunting. Penghambatan ini efek berlanjut selama kehamilan.
Hal ini disebabkan kosentrasi hormon asam abisik lebih tinggi dalam urine sapi
bunting yaitu 170,62 nm/ml urine dari sapi yang tidak bunting yaitu 74,46 nm/ml
urine (Veena et.al., 2003 dalam Dilrukshi, 2009).
2.6 GABAH PADI
Gabah padi adalah padi yang telah dipisahkan dari jerami. Pemisahan ini
biasanya dilakukan dengan cara memukul seikat padi sehingga gabah terlepas atau
dengan bantuan mesin pemisah gabah. Padi (bahasa latin: Oryza sativa L.) adalah
salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Padi diduga berasal dari
India dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan
Asia sekitar 1500 SM (Wikipedia, 2011).
Sumatera barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang memproduksi
padi cukup banyak, yaitu 2.105.790 ton pada tahun 2009. Oleh sebab itu padi di
Sumatera Barat cukup mudah untuk ditemukan, sehingga selain untuk dikonsumsi
padi dapat dimanfaatkan untuk hal yang mendukung pengetahuan seperti uji
kebuntingan.
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 MATERI PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan sapi bangsa Simmental Cross yang telah
diIB selama 22 hari. Jumlah sapi yang diteliti yaitu 45 ekor. Sampel yang dipilih
memiliki kondisi sama yaitu kondisi tubuh sedang. Hal ini bertujuan untuk
mengeliminasi pengaruh faktor makanan yang berbeda. Menurut Santosa (2005)
kondisi tubuh sedang ditandai sebagian tulang rusuk yaitu kurang dari delapan buah,
biasanya empat sampai lima buah tampak membayang di kulit.
Bangsa sapi Simmental Cross yang dipilih memiliki ciri-ciri berwarna kuning
muda belang dan kuning mengkilat, pada bagian muka berwarna putih, sekeliling
mata berwarna merah (Saladin, 1983). Pemilihan sampel dilakukan secara Purposive
Sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan pertimbangan
perorangan atau peneliti (Sudjana, 2005) dengan ketentuan :
1. Sapi dengan kondisi tubuh sedang
2. Telah di IB selama 22 hari
3.2 METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya
kontrol (Nazir, 2005). Metode penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu :
Tahap I. Uji Punyakoti
Bahan yang akan digunakan dalam uji ini yaitu urine sapi yang diperkirakan
bunting, air bersih, dan beberapa gabah padi. Sedangkan alat yang akan digunakan
yaitu botol minuman bekas sebagai pengganti cawan petri dish yang funsignya
sebagai wadah, dan kertas saring yang fungsinya sebagai alas gabah padi di dalam
wadah. Menurut Veena et.al. (1997) cara melakukan uji ini adalah sebagai berikut :
1. Campurkan secara homogen urine betina bunting sebanyak 1 ml dengan 14 ml
air di wadah yang berisi kertas saring dan 15 biji gabah padi.
2. Campurkan secara homogen urine betina tidak bunting sebanyak 1 ml dengan
14 ml air di wadah yang berisi kertas saring dan 15 biji gabah padi.
3. Sebagai alat kontrol, maka sediakan suatu wadah berisi kertas saring, 15 biji
gabah dan 15 ml air.
4. Lalu dilakukan pengamatan selama 5 hari.
Peubah yang diamati adalah perkecambahan padi selama 5 hari pada tiap-tiap
perlakuan.
Tahap II. Menentukan dosis terbaik dan waktu terpendek metode Punyakoti
Dalam menentukan dosis terbaik dan waktu terpendek metode punyakoti,
diasumsikan sapi yang digunakan pada pengujian ini adalah bunting. Dosis urine dan
air yang digunakan terdiri dari 3 macam yaitu 1:12 (1 ml urine : 12 ml air), 1:16 (1 ml
urine : 14 ml air), 1:16 (1 ml urine : 16 ml air). Sehingga data yang diperoleh akan
ditabulasikan seperti Tabel 1, Tabel 3 dan Tabel 2.
Tabel 1. Uji punyakoti 22 hari pasca IB
Dosis
Hasil 22 hari pasca IB
Jumlah Bunting Tidak Bunting
Jumlah % Jumlah %
A (1:12)
B (1:14)
C (1:16)
Tabel 2. Uji punyakoti 44 hari pasca IB
Dosis
Hasil 44 hari pasca IB
Jumlah Bunting Tidak Bunting
Jumlah % Jumlah %
A (1:12)
B (1:14)
C (1:16)
Tabel 3. Uji punyakot 66 hari pasca IB
Dosis
Hasil 66 hari pasca IB
Jumlah Bunting Tidak Bunting
Jumlah % Jumlah %
A (1:12)
B (1:14)
C (1:16)
Tahap III. Hasil Palpasi Rektal
Bila pada palpasi rektal ternyata ada sapi yang tidak bunting maka sapi - sapi
tersebut tidak memenuhi asumsi pada percobaan ke2 sehingga harus dikoreksi dengan
mengeluarkan sapi yang tidak bunting tersebut. Koreksi ini digunakan untuk
menghindari bahwa sapi yang diasumsikan bunting ternyata tidak bunting.
3.3 Analisis Data
Untuk memenuhi tujuan penelitian ini maka digunakan analisis uji Khai
kuadrat (Nazir, 2005), dengan rumus:
∑( )
Keterangan :
= Jumlah bunting, kategori ke i
= Jumlah bunting yang diharapkan, kategori ke i
k = Jumlah kategori
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di daerah Sumatera Barat yaitu Kodya Padang
pada bulan September 2011.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1993. Urine-A Wasted. Renewable Natural Resource. Noragric,
Norwegia.
Arthur, G. F.; Noakes, D.E.;Pearson, H. and Parkison,T.M. 1996. Veterinary
Reproduction and Obstetrics. London : W.B.Sounders.
Dilrukshi, H.N.N and Perera, A.N.F. 2009. Evaluation of an ancient technique to
diagnose the pregnancy in cattle using urine. No 1252245657 Pp (10-15).
Wayamba Journal of Animal Science.
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Illawati, R. W. 2009. Efektifitas penggunaan berbagai volume asam sulfat pekat
(H2SO4) untuk menguji kandungan estrogen dalam urine sapi Brahman Cross
bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Peternakan. Sijunjung.
Istiana, S. 2010. Pemeriksaan Kebuntingan pada Ternak dengan Menggunakan Urine.
http://drhsitiistiana.blogspot.com/2010/07/pemeriksaan-kebuntingan-pada-
ternak.html.
Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis. Dalam Hafez, E.S.E
and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia.
Lestari, D.L. 2006. Metode Deteksi Kebuntingan Pada Ternak Sapi. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.
Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi Yang Dipermentasi sebagai Nutrisi Tanaman.
Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor Selatan.
Nirmala, G.C., Veena, T., Jyothi, M.S and Suchitra, B.R. 2008. Effect of estrogen dan
progesteron an seed germination. Vol. I (8): 241-242. Veterinary World.
Novizan, 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media Pustaka, Tangerang
Partodihadjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Ternak. Edisi ke-3. Sumber Widya, Jakarta.
Salisbury,G.W dan N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan pada sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Salisbury, Frank B. dan Ross, Cleon W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Hal. 3-16 dan
156-160. Jilid I. Terjemahan ITB. Bandung.
Toelihere,M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Wikipedia. 2011. Hormon Tumbuhan. http://id.wikipedia.org/wiki/ Hormon_
tumbuhan.
Top Related