DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
BAB II BRONKOPULMONER DISPLASJA ......................................................................2
II. 1. DEFINISI........................................................................................................2
11.2. EPIDEMIOLOGI............................................................................................4
11.3. ETIOLOGI......................................................................................................5
11.4. FAKTOR RESIKO.........................................................................................6
11.5. PATOGENESIS..............................................................................................6
11.6. GEJALA KLINIS............................................................................................8
11.7. DIAGNOSIS.................................................................................................10
11.8. TATALAKSANA.........................................................................................10
11.9. PENCEGAHAN............................................................................................13
II.10.KOMPLIKASI..............................................................................................14
II.11.PROGNOSIS.................................................................................................14
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
Displasia bronkopulmoner (bronchopulmoner dysplasia, BPD) merupakan . diagnosis
klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode waktu tertentu setelah
lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu sesuai dengan kelainan anatomi.
Gambaran BPD terus berkembang sesuai dengan semakin banyaknya pemberian steroid
antenatal dan surfaktan pascanatal. Tatalaksana tersebut dapat menurunkan insiden dan derajat
sindrom distres pernapasan, serta meningkatkan angka keberhasilan bayi hidup yang sangat kecil
dan imatur (usia gestasi <30 minggu atau berat lahir <1250 gr).
Faktor resiko terjadinya BPD adalah multifaktorial. Hal ini berhubungan langsung
dengan derajat penyakit pare yang mendasarinya sebagian besar sindrom distres pernapasan),
lama pemakaian ventilator, dan lama pemberian oksigen.
Insiden BPD tampaknya akan terus berkembang dalam hubungannya dengan peningkatan
kelangsungan hidup pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah yang dirawat dan sembuh
dari sindrom distres pernapasan.
Tujuan utama dari pencegahan BPD adalah untuk menghindari atau eminimalkan
perluasan penyakit yang dapat menghasilkan konsekuensi seumur dup termasuk kelainan paru
persisten. Tatalaksana BPD saat ini untuk mengurangi erajat keparahannya.
BAB II
BRONKOPULMONER DISPLASIA
11.1 Definisi
Displasia bronkopulmoner (bronchopulmoner dysplasia, BPD) merupakan diagnosis
klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode waktu tertentu setelah
lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu sesuai dengan kelainan anatomi. Sejauh ini belum
ditemukan definisi fisiologis yang tepat. Dengan berkembangnya gejala klinis BPD selama 30
tahun terakhir, maka berkembang pula definisi BPD. Displasia bronkopulmoner pertama kali di
laporkan oleh Northway dkk. Pada tahun 1967 berdasarkan perubahan radiologis pada bayi
prematur yang menderita sindrom distres perapasan setelah bayi lahir, mendapatkan terapi
ventilator dan ketergantungan oksigen_ Meskipun penyakit respiratorik akut membaik, tetapi
kebutuhan oksigen meningkat setelah 7-10 hari, bahkan menetap hingga 28 hari setelah lahir.
Definisi BPD menurut Northway telah dimodifikasi. Bancalari menyatakan bayi prematur
dengan sindrom pernapasan yang tidak berat yang membutuhkan ventilator jangka pendek, tetapi
gejala respiratorik menetap dan membutuhkan oksigen minimal selama 28 hari setelah lahir,
disertai kelainan radiologis. Gambaran BPD terus berkembang sesuai dengan semakin
banyaknya pemberian steroid antenatal dan surfaktan pascanatal. Tatalaksana tersebut dapat
menurunkan insiden dan derajat sindrom distres pernapasan, serta meningkatkan angka
keberhasilan bayi hidup yang sangat kecil dan imatur (usia gestasi <30 minggu atau berat lahir
<1250 gr). Bayi — bayi tersebut mempunyai penyakit pare kronik yang lebih ringan. Shennan
mengatakan morbiditas. paru yang didapatkan mudah diprediksi dengan melihat kebutuhan
oksigen minimal pada usia 36 minggu pasta konsepsi (postconseptual age,PCA). Shenna
merekomendasikan bahwa ketergantungan oksigen selama 36 minggu PCA, termasuk 28 minggu
setelah lahir, digunakan sebagai definisi BPD karena lebih relevan secara klinis.
Beberapa bayi dengan berat badan sangat rendah (BBLSR), bayi prematur yang lahir
antara 23-28 minggu gestasi dan berat badan lahir <1250gr, membutuhkan oksigen lebih tinggi
selama 1-2 minggu setelah lahir, mekipun sebelumnya tidak terdapat penyakit paru dan juga
tidak mendapat ventilator atau terapi oksigen. Tipe BPD tersebut dikenal sebagai tipe BPD
atipikal. Hingga saat ini definisi BPD hanya berdasarkan kebutuhan oksigen dalam waktu
tertentu, tanpa memerhatikan terapi adjuvan seperti pemberian diuretik, retriksi cairan,
bronkodilator, atau steroid yang mempengaruhi oksigen. Masalah yang ditimbulkan adalah
kesulitan penentuan insidens dan prevalens yang akurat dari BPD, dan kesulitan membandingkan
terapi atau keluaran diantara pusat rumah sakit yang berbeda.
Usia Gestasional < 32 Minggu > 32 Minggu
Waktu penentuan36 minggu pascakonsepsi atau saat diizinkan pulang, bergantung pada yang mana yang lebih dulu
Usia > 28 hari tetapi < 56 hari, atau saat diizinkan pulang
diagnostic Terapi oksigen > 21% untuk minimal 28 hari
BPD ringan Bernapas dengan udara Bernapas dengan udara
ruangan pada usia 36
ruangan pada usia 56 hari atau saat diizinkan pulang
minggu pasca konsepsiatau saat diizinkan pulang
BPD sedangKebutuhan oksigen < 30% pada usia 36 minggu pasca konsepsi atau saat diizinkan pulang
Kebutuhan oksigen < 30% pada usia 56 hari, atau saat diizinkan pulang
BPD berat
Kebutuhan oksigen > 30% dan/ udara tekanan positif (PPV atau NCPAP) pada 36 minggu PMA atau saat diizinkan pulang
Kebutuhan oksigen >30% dan/ udara tekanan positif (PPV atau NCPAP) pada usia 56 hari atau saat diizinkan pulang
II.2 Epidemiologi
Faktor resiko terjadinya BPD adalah multifaktorial. Hal ini berhubungan langsung
dengan derajat penyakit paru yang mendasarinya sebagian besar sindrom distres pernapasan),
lama pemakaian ventilator, dan lama pemberian oksigen. Displasia bronkopulmoner terjadi pada
26% bayi hampir aterm yang menderita penyakit paru yang berat (misalnya sindrom distres
pernapasan, aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis dan 50% pada bayi yang menderita
hipoplasia pulmoner.
Insidens BPD bergantung pada definisi yang digunakan. Terdapat kurang dari 50% bayi
prematur yang membutuhkan suplementasi oksigen pada 28 hari setelah bayi lahir yang tetap
bergantung pada oksigen pada 36 minggu PCA. Pada populasi neonatus dengan BBLSR
(<1500g), insidens ketergantungan oksigen pada 28 hari setelah lahir adalah sekitar 30%
hingga 50%, pada 36 minggu PCA insidens ketergantungan oksigen pada bayi yang sama
menurun menjadi 4-30%. Sekitar 60% bayi dengan BBLSR membutuhkan ventilator dan
surfaktan, dan bergantung padaoksigen hingga 28 hari, dan 30% dan bayi dengan BBLSR tetap
bergantung pada oksigen pada 36 minggu PCA. Di Amerka Serikat, insiden BPD bervariasi
antara 17- 57%.
Beberapa studi menunjukkan bahwa sepertiga bayi dengan BBLSR mengalami bentuk
ringan dari BPD atipikal. Insidens BPD berbanding terbalik dengan usia scat bayi dilahirkan dan
berat badan lahir. Oleh karena itu, insidens BPD lebih tinggi pada bayi — bayi prematur dan
berat badan rendah. Semakin banyak bayi prematur yang bertahan hidup, maka jumlah total anak
— anak yang menderita BPD juga meningkat, meskipun secara klinis derajatnya lebih ringan.
11.3 Etiologi
Displasia bronkopulmoner terjadi pada bayi yang mendapat ventilator dan terapi oksigen
konsentrasi tinggi dalam jangka panjang. Pemberian terapi oksigen konsentrasi tinggi ini
sebenarnya bertujuan untuk mengobati sindrom gawat pernafasan pada bayi bare lahir. Cedera
paru-paru ini bisa disebabkan oleh meningkatnya tekanan dalam paru-paru karena ventilator
mekanik atau karena keracunan oksigen yang terjadi akibat paparan oksigen dalam konsentrasi
tinggi dan jangka panjang.
11.4. Faktor resiko
Prematuritas
Infeksi saluran pernafasan
Penyakit jantung bawaan
Penyakit berat lainnya pada bayi barn lahir yang memerlukan terapi
oksigen atau ventilator.
11.5 Patogenesis
Pada awalnya, BPD dipercaya sebagai akibat trauma langsung dari ventilator, dan
toksisitas oksigen. Akan tetapi dalam perkembangan nya, dengan adanya perubahan gejala klinis
dan adanya ketergantungan oksigen pada bayi tanpa sindrom distres pernapasan, atau pada bayi
yang awalnya tidak diberi oksigen, akhirnya diketahui bahwa inflamasi merupakan penyebab
utama BPD. Bukti bahwa respons inflamasi menyertai sindrom distres pernapasan adalah
ditemukan nya sel — sel inflamasi yang teraktivasi, mediator inflamasi dan sitokin — stokin
pada bayi yang menderita BPD. Faktor — faktor seperti macrophage protein-1 dan interleukin 8
(IL-8) yang ditemukan disaluran respiratorik, dan penurunan sitokin counter regulatory seperti
IL-10 menyebabkan inflamasi persisten. Sel — sel inflamasi banyak ditemukan diruang antar sel
maupun rongga udara, selain itu sel epitel paru juga mensintesis mediator — mediatr inflamasi.
Produksi radikal bebas oleh karena besi bebas pada rongga udara menyebabkan terbentuknya
TGF-f3 dan fibrosis.
Barotrauma dan volutrauma akibat repirator dapat merusak jalan napas dan parenkim
paru secara langsung ataupun tidak langsung, intubasi menyebaban kerusakan permukaan
saluran respiratorik lokal, mengganggu aktivitas silier, dan sebagai jalan masuk langsung bakteri
patogen dan gas eksogen pada saluran respiratorik. Kebocoran udara, misalnya pada emfisema
intertsisial pare, semakin merusak jaringan paru. Paparan oksigen menyebabkan timbulnya
radikal bebas toksik yang dapat menyebabkan kerusakan akut pada jaringan, dan menghambat
perbaikan dan perkembangan paru.
Bayi dengan pare yang masih imatur dapat mudah mengalami kerusakan dan lebih sulit
mengalami perbaikan. Dari hasil autopsi ditemukan abnormalitas perkembangan dan morfologi
pare pada bayi yang menderita BPD, dengan penurunan pembentukan alveoli dan septum.
Diketahui juga bahwa alveoli terus berkembang hingga usia 5 tahun, sehingga sebagian besar
bayi dengan BPD membaik secara klinis meskipun patologis dan radiologis biasa nya menetap
hingga dewasa.
II.6 Gejala klinis
Gejala klinis BPD meliputi takipnea, retraksi, mengi, dan ronki. Resiko terjadinya infeksi juga
meningkat pada akhir minggu pertama setelah lahir, lalu menetap pada awal minggu ketiga.
Eksaserbasi terjadi berhubungan dengan edeme paru, infeksi, atau gagal jantung.5
Northway menggambarkan empat stadium radiologis BPD sebagai berikut:
1. Sindrom distres pernapasan.
2. Diffusely hazy
3. Diffusely bubbly, pola intersisial
4. Hiperaerasi, hiperlusen fokal
Stadium tersebut sesuai dengan progesivitas patologi, dari sindrom distres pernapasan
akut hingga edema paru, inflamasi, metaplasia sel skuamosa, dan akhirnya emfisema, fibrosis,
atelektaksis, dan penebalan otot polos peribronkial dan perivaaskular. Akan tetapi, lesi pada
pasien BPD tergambarkan lenih baik pada CT-scan dari pada rontgen. Pada CT-scan dapat
ditemukan area hiperaerasi multifokal, beberapa opasitas linier subpleura, dan menyingkirkan
bronkielctasis jika didapatkan gambaran sekuele dari BPD.
Displasia bronkopulmoner sering disertai dengan bronkospasme, episode sianosis, dan
hipoksemia -kronik. Abnormalitas fungsi paru pada bayi BPD meliputi penurunan komplians
paru, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, serta peningkatan volume paru, tahanan saluran
repiratorik, dan air trapping. Perbaikan klinis BPD dinyatakan dengan perkembangan somatik
yang membaik.
Abnormalitas uji fungsi paru menetap pada anak usia sekolah dengan riwayat BPD.
Abnormalitas tersebut mencakup penurunan kapasitas vital paru, volume ekspirasi paksa (forced
expiratory volume, FEV), aliran ekspirasi biasa, dan peningkatan volume residu. Uji fungsi paru
biasanya membaik pada usia 7-11 tahun. Sekitar 50% anak — anak dengan riwayat BPD
mempunyai hiperreaktifitas bronkus
meskioun tidak terdapat riwayat mengi. Suatu studi kohort menyatakan bahwa
BBLSR yang menderita BPD memiliki kelemahan motorik dan berisiko lebih tinggi
terhadap retardasi menta1.
II.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan:
- Roentgen dada
- Gas darah arteri
- CT scan thorak
- oksimetri.
11.8 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana BPD adalah mengurangi keluhan repiratorik, memperbaiki fungsi
paru, meminimalkan jejas paru dan inflamasi, memberikan oksigenasi adekuat, dan memfasilitasi
perkembangan paru. Meskipun pemberian diuretik dapat mengurangi edema paru dan kebutuhan
oksigen, tetapi dapat juga menurukan elektrolit, memicu bone loss, dan nefrokalsinosis.
Kortikosteroid sistemik dosis tinggi memfasilitasi ekstubasi dan menurunkan bantuan
pernapasan dan paparan oksigen. Akan tetapi, keuntungan jangka pendek tersebut menyebabkan
komplikasi yang serius seperti hiperglikemi, hipertensi, perforasi usus halus, infeksi,
menghambat pertumbuhan otak dan somatik, serta menghambat perkembangan neuromotor
(cerebral palsy,CP). Kortikosteroid pascanatal tidak menunjukkan keuntungan jangka panjang.
Hingga saat ini belum diketahui hubungan antara efek steroid sistemik tersebut dan jenis steroid,
dosis yang digunakan atau durasi pengobatan. Penggunaan steroid aerosol menunjukkan
komplikasi yang lebih sedikit, tetapi efek terapi nya kurang efektif Karena efek samping jangka
pendek maupun jangka panjang steroid itulah maka direkomendasikan bahwa penggunaan
steroid pascanatal hanya pada keadaan klinis khusus seperti gagal napas berat dengan oksigen
maksimal. Kemungkinan pengobatan yang digunakan untuk menurunkan ketergantungan
oksigen lebih merusak dari pada oksigen itu sendiri.
Banyak bayi prematur terpapar dengan peningkatan konsentrasi oksigen, sedangkan
enzim antioksidan endogen relatif kurang saat lahir. Pemberian recombinant human superoxide
dismutase (rhSOD) dapat mengurangi jejas paru baik pada kultur sel maupun pada binatang
percobaan. Pada suatu studi, rhSOD diinstilasikan pada trakea setelah pemberian dosis awal
surfaktan eksogen dan di lanjutkan hingga 28 hari atau selama penggunaan ventilator. Dari studi
tersebut didapatkan hubungan antara pemakaian rhSOD, penurunan derajat perdarahan
intravaskular, dan leukomalasia periventrikular. Akan tetapi, pemberian antioksidan untuk
pencegahan dan terapi masih perlu dievaluasi lebih lanjut.
Perkembangan paru terjadi akibat keseimbangan antara pengaruh stimulan dan inhibitor,
yaitu glukokortikoid dan Glukokortikoid mendorong pematangan struktur parenkim,
meningkatkan surfaktan dan komplians paru, meningkatkan klirens air pada paru, menurunkan
permeabilitas vaskular. Hasil akhirnya adalah perbaikan fungsi paru, respons yang lebih baik
terhadapt surfaktan, dan peningkatan harapan hidup. Sebaliknya, TGF-I3 menghambat
perkembangan paru.
Studi yang dilakukan oleh Cole pada tahun 1999 menyatakan bahwa pemberian inhalasi
bekloinetason tidak mencegah terjadinya BPD, tetapi berhubungan dengan penurunan
glukokortikoid sistemik dan ventilator. Deksametason diberikan dengan dosis 0,2-0,5 mg/kgBB
po/iv dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,1 mg/kgBB po/iv selama 6-8 jam. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menentukan dosis dan cara pemberian glukokortikoid pada pasien BPD.
Nitric oxide (NO) merupakan regulator penting pada tonus vaskular paru, dan NO sintase dapat
di temukan pada endotel vaskular dan epitel bronkus. Inhalasi NO dapat meningkatkan aliran
darah paru, menurunkan tahanan vaskular paru, dan memperbaiki oksigenasi.
NUTRISI
Nutrisi yang optimal, termasuk energi yang cukup dan vitamin, sangat penting untuk
perkembangan dan perbaikan paru. Malnutrisi dapat menurunkan fitngsi maupun ukuran paru.
Anak yang menderita BPD biasanya mengalami gangguan pertumbuhan karena kebutuhan
nutrisi dan kalori meningkat, sementara asupan nutrisi kurang optimal. Intoleransi makanan,
refluks gastroesofagus, kesulitan makan (oral aversion), restriksi cairan, hipoksemia, dan infeksi
berulang menyulitkan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan berperan pada gagal tumbuh. Terapi di
fokuskan pada pembatasan katabolisme, peningkatan status anabolik, serta pemberian kalori dan
nutrisi tambahan untuk memperbaiki jaringan dan pertumbuhan. Setelah pulang, anak yang
menderita BPD tetap membutuhkan kalori dan nutrisi tambahan. Pemenuhan nutri tambahan
dibutuhkan anak minimal selama satu tahun PSA.
Nutrisi yang penting untuk mencegah atau mengobati BPD adalah inositol, asam lemak,
karnitin, sistein, serta vitamin A, C, dan E. Hingga saat ini hanya vitamin A parentral yang
diberikan setelah lahir. Vitamin A, C dan E adalah nutrisi antioksidan yang bisa mencegah
peroksidase lipid dan menjaga integritas dinding sel.
Akan tetapi, vitamin E dalam neonatus preterm tidak dapat mencegah BPD. Neonatus
preterm mungkin kekurangan vitamin A dan banyak penelitian tetntang penambahan vitamin A
dapat mencegah BPD dalam neonatus preterm. Memberikan energi dan nutrisi yang cukup
secepat mungkin sangat penting. Mengawali nutrisi parentral dengan protein, lemak, karbihidrat,
vitamin, dan mineral dalam 24-48 jam setelah lahir dapat mencegah kehilangan protein,
meminimalkan katabolisme, mencegah defisiensi asam lemak esensial, dan menyediakan vitamin
dan mineral.
Air susu ibu (ASI) membantu memberikan keuntungan imunologis spesifik pada bayi
yang menderita BPD. Di dalam kandungan ASI terdapat inositol yang merupakan suplemen
nutrisi yang penting untuk pertumbuhn dan perkembangan komponen surfaktan. Selain itu, ASI
juga dibutuhkan untuk memperoleh proteinyang adekuat, kalori, dan mineral pada semua bayi
dengan berat badan lahir <1500g. Susu formula dapat digunakan sebagai alternatif jika ASI tidak
tersedia. Baik ASI maupun susu formula dapat menjaga keseimbangan nutrisi, dimana kalori
dapat ditingkatkan hingga 30kkalionz jika dibutuhkan retriksi cairan untuk menurunkan edema
paru. Pengukuran parameter pertumbuhan seperti berat badan, lingkar lengan, dan lingkar kepala
dilakukan sesering mungkin untuk menetukan kebutuhan nutrisi.
11.9. Pencegahan
Terapi steroid prenatal dan surfaktan postnatal telah dibuktikan meingkatkan
kelangsungan hidup pada bronkopulmoner diplasia. Pencegahan kehamilan prematur dan
korioamnionitis dapat menurunkan insiden bronkopulmoner displasia. Dari segi pemakaian
ventilator ( ekstubasi dini, pemakaian CPAP) dan pengaturan cairan mungkin menurunkan
insiden dan keparahan dari bronkopulmoner displasia.
Memaksimalkan nutrisi , memonitor pemasukkan cairan, pemakaian diuretik untuk perbaikan
paru
II.10. Komplikasi
- infeksi post natal atau sepsis
- gangguan pendengaran
- retinopathy of prematurity yang berat
II.11 Prognosis
Sebagian bayi dengan BPD dapat bertahan hidup, tetap terdapat peningkaan -esiko
infeksi, hiperreaktifitas saluran respiratorik, disfungsi jantung, dan kelainan leurologis. Dua
puluh empat persen dari bayi dengan BPD klasik akan mempunyai celuhan respiratorik hingga
dewasa. Meskipun BPD ringan berhubungan dengan hasil tang lebih baik, tetapi anak yang
menderita BPD mempunyai reesiko dua kali lebi )esar untuk menderita mengi asma, atau infeksi
saluran respiratorik bawah, libandingkan dengan anak-anak tanpa BPD. Pada beberapa laporan,
50% dan seluruh )ayi BBLSR dengan riwayat BPD kembali masuk rumah sakit pada 12-24 bulan
)ertama setelah lahir, dan 50% mempunyai riwayat mengi atau asma pada masa anak-mak.
Resiko kejadian akut yang mengancam jjiwa (20%) atau kematian mendadak :3%) kebih tinggi
pada bayi BBLSR dengan BPD.
BAB III
KESIMPULAN
Displasia bronkopulmoner (bronchopulmoner dysplasia, BPD) merupakan diagnosis
klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode waktu tertentu setelah
lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu sesuai dengan kelainan anatomi.
Insidens BPD berbanding terbalik dengan usia saat bayi dilahirkan dan berat badan lahir.
Oleh karena itu, insidens BPD lebih tinggi pada bayi — bayi prematur dan berat badan rendah.
Semakin banyak bayi prematur yang bertahan hidup, maka jumlah total anak — anak yang
menderita BPD juga meningkat, meskipun secara klinis derajatnya lebih ringan.
Displasia bronkopulmoner terjadi pada bayi yang mendapat ventilator da.n terapi oksigen
konsentrasi tinggi dalam jangka panjang. Cedera paru-paru ini bisa disebabkan oleh
meningkatnya tekanan dalam paru-paru karena ventilator mekanik atau karena keracunan
oksigen yang terjadi akibat paparan oksigen dalam konsentrasi tinggi dan jangka panjang.
Gejala klinis BPD meliputi takipnea, retraksi, mengi, dan ronki. Resiko terjadinya infeksi juga
meningkat pada akhir minggu pertama setelah lahir, lalu menetap pada awal minggu ketiga.
Eksaserbasi terjadi berhubungan dengan edeme paru, infeksi, atau gagal jantung.
Tujuan tatalaksana BPD adalah mengurangi keluhan repiratorik, memperbaiki fungsi paru,
meminimalkan jejas paru dan inflamasi, memberikan oksigenasi adekuat, dan memfasilitasi
perkembangan paru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenhough A, Premkumar M, Patel D. Ventilatory strategies for the extremely
premature infant. Paediatric Anaesthesia 2008;18(5)371-377.
2. Baraldi E, Fillipone M. Chronic lung disease after premature birth. N Engl J Med
2007;357(19):1946-1955.
3. Ramanathan R. Optimal ventilatory strategies and surfactant to protect the preterm lungs.
Neonatology 2008;93(4):302-308.
4. Walsh MC, Yao Q, Gettner P, Hale E, Collins M, Hensman A, et al. Impact of a
physiologic definition on bronchopulmonary dysplasia rates. Pediatrics 2004;114(5)1305-
1311.
5. Tin W, Wiswell TE. Adjunctive therapies in chronic lung disease: examining the
evidence. Semin Fetal Neonatal Med 2008;13(1)44-52.
6. Ambalavanan N, Carlo W. Ventilatory strategies in the prevention and management of
bronchopulmonary dysplasia. Semin Perinatol 2006;30(4):192-199.
7. Kinsella J, Greenough A, Abman SA. Bronchopulmonary dysplasia. Lancet
2006;367(9520): 1421-1431.
8. Bhandari A, Panitch WI Pulmonary outcomes in bronchopulmonary dysplasia. Semin
Perinatol 2006;30(4)219-226.
9. Cerny L, Torda JS, Rehan VK. Prevention and treatment of bronchopulmonary dysplasia:
contemporary status and future outlook. Lung 2008;186(2):75-89.
10. Driscoll, W. Bronchopulmonary Dysplasia. 2007. Available from: www.emedicine.com.
Accessed July 17th,2012.
Top Related