BAGIAN ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN February 2016
Referat THT
BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO
Oleh :
Dwi Putri Mentari C111 09 133
Sari Azisya Fausi C111 09 275
Pembimbing
dr. Amelia
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU THT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Nama : 1. Dwi putri mentari
2. Sari azisya Fausi
Judul Referat : Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian THT Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2016
Mengetahui,
Pembimbing
dr Amalia
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan ilmu, akal, pikiran dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “ Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) “. Referat ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit
THT Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Amelia selaku pembimbing referat dan
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi
kita semua.
Makassar, Februari 201
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang........................................................................ 1
1.2. Batasan Masalah..................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan.................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3
2.1. Definisi................................................................................... 3
2.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer............ 4
2.3. Epidemiologi........................................................................... 7
2.4. Etiologi................................................................................... 8
2.5. Perjalanan penyakit................................................................. 9
2.6. Patofisiologi............................................................................. 10
2.7. Gambaran klinis...................................................................... 15
2.8. Diagnosis................................................................................ 16
2.9. Pemeriksaan penunjang.......................................................... 20
2.10. Penatalaksanaan..................................................................... 21
BAB III PENUTUP..................................................................................... 26
3.1. Kesimpulan............................................................................. 26
3.2. Saran....................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 27
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Leftt membranous labyrinth....................................................... 4
Gambar 2. Aparatus Vestibularis.................................................................. 7
Gambar 3. Patofisiologi BPPV..................................................................... 12
Gambar 4. Skema fisiologi kanalis semisirkularis posterior telinga kiri...... 14
Gambar 5. Perasat Dix-Hallpike................................................................... 17
Gambar 6. Perasat Sidelying......................................................................... 18
Gambar 7. Epley Manuver............................................................................ 22
Gambar 8. Liberatory kanan......................................................................... 23
Gambar 9. Latihan Brandt-Daroff................................................................ 24
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penyebab BPPV.......................................................................... 9
Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibuler dan non vestibuler........................ 15
Tabel 3. Perbedaan vertigo sentral dan vertigo perifer............................. 16
Tabel 4. Diagnosis banding BPPV........................................................... 19
Tabel 5. Obat vertigo................................................................................ 25
vi
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai vertigo dengan
nistagmus vertikal, horizontal atau rotatoar yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepaia.
Terdapat masa laten sebelum timbulnya nistagmus, reversibilitas, kresendo, dan fenomena
kelelahan (fatigue). Lama nistagmus terbatas, umumnya kurang dari 30 detik. BPPV dikenal
juga dengan nama vertigo postural atau kupulolitiasis, merupakan gangguan keseimbangan
perifer yang sering dijumpai (Higler, 1997).
BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik serangan
vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari
tidur, melihat ke atas, kemudian memutar kepala (IDI, 2013).
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam kehidupan seseorang.
Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi akan meningkat setiap tahunnya
berkaitan dengan meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas 60
tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki (IDI, 2013).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu gangguan
Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada populasi umum
prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%).1,2,5,6 Dari
kunjungan 5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State dengan keluhan pusing
didapatkan prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV. Dari segi onset 4 BPPV
biasanya diderita pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan
1
dengan laki-laki yaitu 2,2 : 1,5. BPPV merupakan bentuk dari vertigo posisional
(Purnamasari, 2013)
I.2. Batasan Masalah
Pembahasan tulisan ini dibatasi pada defenisi, epidemiologi, patogenesis, diagnosis
dan penatalaksanaan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).
I.3. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis
khususnya mengenai benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).
I.4. Metode Penulisan
Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi
(memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau
badan yang berputar. Keluhan yang paling sering dijumpai dalam praktek. Vertigo berasal
dari bahasa latin “vertere” yaitu memutar. Vertigo termasuk ke dalam gangguan
keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang
atau dunia seperti berjungkir balik. Vertigo paling sering ditemukan adalah Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Menurut penelitian pasien yang datang dengan
keluhan pusing berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit ini
sering disertai penyakit lainnya (Akbar, 2013).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai vertigo dengan
nistagmus vertikal, horizontal atau rotatoar yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepaia.
Terdapat masa laten sebelum timbulnya nistagmus, reversibilitas, kresendo, dan fenomena
kelelahan (fatigue). Lama nistagmus terbatas, umumnya kurang dari 30 detik. BPPV dikenal
juga dengan nama vertigo postural atau kupulolitiasis, merupakan gangguan keseimbangan
perifer yang sering dijumpai (Higler, 1997).
BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik serangan
vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari
tidur, melihat ke atas, kemudian memutar kepala (IDI, 2013).
3
Benign Paroxysmal Positional Vertigo merupakan gangguan yang terjadi di telinga
dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang dengan tipikal
nistagmus paroksimal (Purnamasari, 2013).
II.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer
Gambar 1. Left membranous labyrinth Sumber : (Parnes Lorne, 2003).
Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang paling
keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam, tetapi secara
khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan
labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir
menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin membrane dan labirin tulang terdapat perilimf,
sedang endolimf terdapat didalam labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi
daripada cairan perilimf. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung
dalam perilimf, yang berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis
semisirkularis, yaitu horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior). Selain ke tiga
kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus (Sherwood, 2007).
4
Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam pendengaran.
2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan utrikulus.
Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan sakulus sel sensoriknya
berada di makula, sedangkan di kanalis sel sensoriknya berada di krista ampulanya)
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya
tergantung kepada inputbsensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP,
sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu (Higler, 1997).
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis semisirkularis
dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis
semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut, sedangkan sel-sel
pada organ otolit peka terhadap gerak linier, khususnya percepatan inier dan terhadap
perubahan posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan
sudut dan percepatan linier ini disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta
ciri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi sel rambut (Sherwood, 2007).
1. Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut pada organ
otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang dijelaskan oleh posisi
dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan menyebabkan stereosilia
membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut akan tereksitasi. Jika gerakan dalam
arah yang berlawanan sehingga stereosilia menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan
terinhibisi (Sherwood, 2007).
2. Kanalis semisirkularis
5
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada rotasi sel-
sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus satu dengan yang
lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak hampir satu bidang yang sama
dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan
tereksitasi sementara yang satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus
normal dan terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan,
maka serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara
serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi
kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis
posterior akan terinhibisi (Parnes Lorne, 2003).
3. Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir
horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda dengan sel rambut
kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ otolit tidak semuanya sama.
Pada makula utrikulus, kinosilium terletak di bagian samping sel rambut yang terdekat
dengan daerah sentral yaitu striola. Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan
linier, sebagian serabut aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan
adanya polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang
gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula (Sherwood,
2007).
Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron
ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata dan refleks
vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang mempunyai suatu komponen
lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan suatu komponen cepat yang searah
dengan putaran kepala. Komponen lambat mengkompensasi gerakan kepala dan berfungsi
6
menstabilkan suatu bayangan pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali
mengarahkan tatapan ke bagian lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata
selama rangsangan vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.
Gambar 2. Aparatus Vestiblaris. Sumber : (Sherwood, 2007)
II.3. Epidemiologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu gangguan
Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada populasi umum
prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%). Dari kunjungan
5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State dengan keluhan pusing didapatkan
prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV. Dari segi onset BPPV biasanya diderita
7
pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu
2,2 : 1,5. BPPV merupakan bentuk dari vertigo posisional (Purnamasari, 2013).
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam kehidupan seseorang.
Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi akan meningkat setiap tahunnya
berkaitan dengan meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas 60
tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki (IDI, 2013).
Prevalensi BPPV kausa idiopatik meningkat pada usia tua dan pada wanita onset
puncaknya antara 50-60 tahun dan rasio wanita-pria 2:1 hingga 3:1 (Ji-Soo Kim, 2014).
BPPV merupakan gangguan sistem vestibular yang paling banyak. Mizukoshi dan kolega
memperkirakan insiden BPPV 10.7-17.3 per 100000 populasi per tahun di Jepang, meskipun
data ini kurang dari estimasi karena sebagian besar kasus BPPV sembuh secara spontan
dalam beberapa bulan. Beberapa penelitian menyebutkan insiden lebih tinggi pada wanita
namun pada pasien usia muda dan pasien post trauma insiden BPPV setara antara pria dan
wanita. Onset usia paling sering pada decade 5 dan decade 7 kehidupan. Semakin tua resiko
semakin meningkat, penelitian pada populasi usia tua menemukan 9% menderita BPPV.
BPPV paling sering terjadi pada satu kanalis semisirkularis, biasanya bagian posterior tapi
mungkin terjadi pada kanalis posterior dan kanalis lateral pada telinga yang sama. BPPV
kanalis posterior mungkin menjadi BPPV lateral akibat maneuver reposisi. Trauma kepala
merupakan penyebab tersering BPPV kanal posterior bilateral (Parnes Lorne, 2003).
II.4. Etiologi
Pada sekitar 50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Beberapa kasus
BPPV dijumpai setelah mengalami jejas atau trauma kepala atau leher, infeksi telinga tengah
8
atau operasi stapedektomi dan proses degenerasi pada telinga dalam juga merupakan
penyebab BPPV sehingga insiden BPPV meningkat dengan bertambahnya usia (Li, 2000).
Banyak BPPV yang timbul spontan, disebabkan oleh kelainan di otokonial berupa
deposit yang berada di kupula bejana semisirkularis posterior. Deposit ini menyebabkan
bejana menjadi sensitif terhadap perubahan gravitasi yang menyertai keadaan posisi kepala
yang berubah (Riyanto, 2004).
Primer Sekunder (30%–50%)
idiopathic (50%–70%) Head trauma (7%–17%)
Viral labyrinthitis (15%)
Ménière’s disease (5%)
Migraines (< 5%)
Inner ear surgery (< 1%)
Tabel 1. Penyebab BPPV. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).
II.5. Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit dari BPPV sangat bervariasi. Pada sebagian besar kasus
gangguan menghilang secara spontan dalam kurun waktu beberapa minggu, namun dapat
kambuh setelah beberapa waktu, bulan atau tahun kemudian. Ada pula penderita yang hanya
satu kali mengalaminya. Sesekali dijumpai penderita yang kepekaannya terhadap vertigo
posisional berlangsung lama (Li, 2000, Riyanto, 2004).
Serangan vertigo umumnya berlangsung singkat, kurang dari 1 menit. Namun, bila
ditanyakan kepada penderita, mereka menaksirnya lebih lama sampai beberapa menit. Bila
serangan vertigo datang bertubi-tubi, hal ini mengakibatkan penderitanya merasakan
kepalanya menjadi terasa ringan, merarsa tidak stabil, atau rasa mengambang yang menetap
selama beberapa jam atau hari (Li, 2000).
9
BPPV sering dijumpai pada kelompok usia menengah yaitu pada usia 40-an dan 50-an
tahun. Wanita agak lebih sering daripada pria. BPPV jarang dijumpai pada anak atau orang
yang sangat tua. Nistagmus kadang dapat disaksikan waktu terjadinya BPPV dan biasanya
bersifat torsional (rotatoar) (Li, 2000).
II.6. Patofisiologi
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis semisirkularis
tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain. Pada pangkal setiap
kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni ampula. Di dalam ampula terdapat
kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat
gerakan kepala. Sebagai contoh, bila seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka
cairan dalam kanalis semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami
defleksi ke arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak
sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis
semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke arah
sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan sinyal yang tidak
sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa vertigo (Parnes Lorne,
2003, Riyanto, 2004).
Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori kupulolitiasis dan
kanalolitiasis.
1. Teori Kupulolitiasis
Pada tahun 1962, Schuknecht mengajukan teori kupulolitiasis untuk menjelaskan
patofisiologi BPPV. Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang melekat pada kupula krista
ampularis. Schuknecht menemukan partikel basofilik yang melekat pada kupula melalui
pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya partikel ini maka kanalis semisirkularis menjadi
10
lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini dapat dianalogikan sebagai adanya suatu benda
berat yang melekat pada puncak sebuah tiang. Karena berat benda tersebut, maka posisi tiang
menjadi sulit untuk tetap dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan lebih
mengarah ke sisi benda yang melekat. Oleh karena itu kupula sulit untuk kembali ke posisi
netral. Akibatnya timbul nistagmus dan pening (dizziness) (Li, 2000, Parnes Lorne, 2003).
2. Teori Kanalitiasis
Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV
disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis
semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior. Bila kepala
dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah dalam kanalis
semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi supinasi, terjadi perubahan
posisi sejauh 90°. Setelah beberapa saat, gravitasi menarik kanalit hingga posisi terendah. Hal
ini menyebabkan endolimfa dalam kanalis semisirkularis menjauhi ampula sehingga terjadi
defleksi kupula. Defleksi kupula ini menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala
dikembalikan ke awal, maka terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah
yang berlawanan (Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).
Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi kepala dengan
timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat teori ini dengan
menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis poster. Saat melakukan
operasi kanalis tersebut (Li, 2000, Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).
Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras, otokonia
yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini kemudian
memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit didalam kanalis
semisirkularis ini akan memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo pada BPPV. Hal inilah
11
yang mendasari BPPV pasca trauma kepala (Parnes Lorne, 2003, Purnamasari, 2013,
Riyanto, 2004).
Gambar 3. Patofisiologi. Cupulolithiasis pada kanalis semisirkularis lateral & canalithiasis pada kanalis semisirkularis posterior. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis ataupun
kupulolitiasis dan secara teori dapat mengenai ketiga kanalis semisirkularis, walaupun terkenanya
kanal superior (anterior) sangat jarang. Bentuk yang paling sering adalah bentuk kanal posterior,
diikuti bentuk lateral. Sedangkan bentuk kanal anterior dan bentuk polikanalikular adalah bentuk
yang paling tidak umum (Purnamasari, 2013).
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang paling sering terjadi adalah tipe kanal
posterior. Ini tercatat pada 85 sampai 90% dari kasus dari BPPV, karena itu, jika tidak
diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu pada BPPV bentuk kanal posterior. Penyebab
paling sering terjadinya BPPV kanal posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan
debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan
12
karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat
kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Parnes Lorne, 2003).
Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis semisirkularis
posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi menjadi "massa kritis" di
bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior. Kanalit tersebut bergerak ke bagian
yang paling rendah pada saat orientasi dari kanalis semisirkularis berubah karena posisi dan
gravitasi. Tarikan yang dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada
kanalis semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi
pada kupula. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia asli dari
partikel tersebut menjelaskan periode laten yang terlihat selama manuver Dix-Hallpike
(Purnamasari, 2013).
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Lateral
BPPV tipe kanal lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak kedua. BPPV tipe kanal
lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini
dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat
pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanal posterior
akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanal lateral memiliki barier kupula yang
terletak di ujung atas. Karena itu, debris bebas yang terapung di kanal lateral akan
cenderung untuk mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala
(Parnes Lorne, 2003).
Dalam kanalitiasis pada kanal lateral, partikel paling sering terdapat di lengan panjang dari
kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan pergerakan kepala menuju ke
sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat aliran endolimfe ampulopetal, yang
13
bersifat stimulasi pada kanal lateral. Nistagmus geotropik (fase cepat menuju tanah) akan
terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi yang terkena, partikel akan menciptakan arus
hambatan ampulofugal. Meskipun nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan, itu
akan tetap menjadi nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah
berlawanan. Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon
hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon terkuat (respon
stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik nistagmus. Kupulolitiasis memiliki
peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanal lateral dibandingkan tipe kanal posterior.
Karena partikel melekat pada kupula, vertigo sering kali berat dan menetap saat kepala
berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien dimiringkan ke arah sisi yang terkena,
kupula akan mengalami defleksi ampulofugal (inhibitory) yang menyebabkan nistagmus
apogeotrofik. Ketika kepala dimiringkan ke arah yang berlawanan akan menimbulkan
defleksi ampulopetal (stimulatory), menghasilkan nistagmus apogeotrofik yang lebih kuat.
Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan menimbulkan respon 10 yang
terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada 27% dari pasien yang memiliki BPPV tipe
kanal lateral (Edward, 2013, Purnamasari, 2013).
Gambar 4. Skema fisiologi kanalis semisirkularis posterior telinga kiri. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).
14
II.7. Gambaran Klinis
BPPV terjadi secara tiba-tiba. Kebanyakan pasien menyadari saat bangun tidur, ketika
berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien merasakan pusing berputar yang lama
kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat jeda waktu antara perubahan posisi kepala dengan
timbulnya perasaan pusing berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat
kuat pada awalnya dan menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya
menjadi lebih ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan (Li, 2000,
Riyanto, 2004).
Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibuler dan vertigo non vestibuler. Sumber : (IDI, 2013).
Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian hari.
Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat mengalami mual dan muntah.
Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala dikembalikan ke posisi semula, namun arah
nistagmus yang timbul adalah sebaliknya (Li, 2000, Riyanto, 2004).
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan
memprovoksi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari
kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike atau
perasat Sidelying (Purnamasari, 2013).
Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut : 1)
terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan; 2) nistagmus yang khas; 3) adanya masa
laten; 4) lamanya serangan terbatas; 5) arah nistagmus berubah bila posisi kepala
15
dikembalikan ke posisi awal; 6) adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus
diulang (Li, 2000, Riyanto, 2004).
Tabel 3. Perbedaan vertigo sentral dan vertigo perifer. Sumber : (IDI, 2013).
II.8. Diagnosis
1. Anamnesis
Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang, berputar, tujuh keliling,
rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi
timbulnya vertigo. Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan. Profil
waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronikm
progresif atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang
karakteristik. Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya
menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-
obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui
ototoksik/vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik (Akbar, 2013).
2. Pemeriksaan fisik dan Manuver diagnostik
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan cara
memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari
kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike
atau Sidelying. Perasat Dix-hallpike lebih sering digunakan karena pada perasat tersebut
16
posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment. Pada pasien BPPV
parasat Dix-Hallpike akan mencetuskan vertigo (perasaan pusing berputar) dan
nistagmus (Hain, 2003, Ji-Soo Kim, 2014).
Gambar 5. Perasat Dix-Hallpike. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).
1) Pemeriksaan perasat Dix-Hallpike
Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Perasat Dix-
Hallpike secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu perasat Dix-Hallpike kanan
pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan perasat Dix- Hallpike
kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan perasat Dix-Hallpike kanan, pasien
duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan kepala menoleh 450 ke kanan. Dengan
cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap miring 450 ke kanan sampai kepala
pasien menggantung 20-300 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai
respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama ±1 menit
atau sampai respon menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat langsung
dilanjutkan dengan canalith repositioning treatment (CRT). Bila tidak ditemukan
respon yang abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT, pasien
17
secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan perasat
Dix-Hallpike kiri dengan kepala pasien dihadapkan 450 ke kiri, tunggu maksimal 40
detik sampai respon abnormal hilang. Bila ditemukan adanya respon abnormal, dapat
dilanjutkan dengan CRT, bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila tidak
dilanjutkan dengan tindakan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali
(Ji-Soo Kim, 2014).
Gambar 6. Perasat Sidelying. Sumber : (Purnamasari, 2013).
2) Perasat Sidelying
Terdiri dari dua gerakan yaitu perasat sidelying kanan yang menempatkan
kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri/kanalis posterior kanan pada bidang
tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah, dan
perasat sidelying kiri yang menempatkan kepala pada posisi dimana kanalis anterior
kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal
posterior pada posisi paling bawah (Ji-Soo Kim, 2014, Riyanto, 2004).
Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja,
kepala ditegakkan ke sisi kanan, tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.
Pasien kembali ke posisi duduk untuk untuk dilakukan perasat sidelying kiri, pasien
18
secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 450 ke kanan. Tunggu 40
detik sampai timbul respon abnormal (Ji-Soo Kim, 2014, Riyanto, 2004).
3) Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin
dan panas. Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu air panas adalah 440C. Volume
air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik.
Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa
dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri
atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk
menghilangkan pusingnya) (Purnamasari, 2013).
Tabel 4. Diagnosis banding Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Sumber : (IDI, 2013).
RESPON ABNORMAL
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, nmun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada
pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbul lambat, ± 40 detik,
kemudian nistagmus menghilang kurang dari 1 menit jika penyebabnya kanalitiasis,
pada kupololitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari 1 menit, biasanya serangan
vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus (Riyanto, 2004).
Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan mencatat
arah fase cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap lurus ke depan.
Fase cepat ke atas, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis posterior
19
kanan
Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis posterior kiri
Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis anterior
kanan.
Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis anterior
kiri
Respon abnormal diprovokasi oleh perasat Dix-Hallpike/ sidelying pada
bidang yang sesuai dengan kanal yang terlibat (Riyanto, 2004).
Pemeriksaan elektronistagmografi (ENG) tidak dapat memperlihatkan
nistagmus jenis rotatoar yang dapat ditemukan pada penderita BPPV. ENG berguna
dalam deteksi adanya nistagmus dan waktu timbulnya pada nistagmus jenis lain. Tes
kalori akan menunjukkan hasil yang normal. BPPV dapat dijumpai pada telinga yang
tidak menunjukkan adanya respon terhadap tes kalori. Hal ini disebabkan tes kalori
menguji kanalis semisirkularis (KSS) horizontal. KSS Horizontal dan posterior
memiliki persarafan dan suplai pembuluh darah yang berbeda. Dengan demikian
BPPV yang timbul pada pasien yang tidak memberikan respon pada tes kalori
disebabkan oleh kanalit pada KSS posterior atau anterior (Riyanto, 2004).
II.9. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai
indikasi.
2) Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
3) Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem
Auditory Evoked Potential (BAEP).
4) Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI) (Akbar, 2013).
20
II.10. Penatalaksanaan
1.Non Farmakologi
Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan fungsi
vestibuler (vestibulosuppressan), reposisi kanalit dan pembedahan. Dasar pemilihan tata
laksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami resolusi sendiri dalam waktu
mingguan atau bulanan. Oleh karena itu sebagian ahli hanya menyarankan observasi. Akan
tetapi selama waktu observasi tersebut pasien tetap menderita vertigo. Akibatnya pasien
dihadapkan pada kemungkinan terjatuh bila vertigo tercetus pada saat ia sedang beraktivitas
(Ji-Soo Kim, 2014, Parnes Lorne, 2003, Salomon, 2000).
Tiga macam perasat dilakukan umtuk menanggulangi BPPV adalah CRT (Canalith
repositioning Treatment ) , perasat liberatory dan latihan Brandt-Daroff. Reposisi kanalit
dikemukakan oleh Epley. Prosedur CRT merupakan prosedur sederhana dan tidak invasif.
Dengan terapi ini diharapkan BPPV dapat disembuhkan setelah pasien menjalani 1-2 sesi
terapi. CRT sebaiknya dilakukan setelah perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon
abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasi adanya kanalithiasis pada kanal anterior atau
kanal posterior dari telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk namun
kepala pasien dirotasikan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis
menuju ke utrikulus, tempat dimana kanalith tidak lagi menimbulka gejala. Bila kanalis
posterior kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan.perasat ini dimulai
pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan
pada posisi tersebut selama 1-2menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara
perlahan kekiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien
dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap kekiri dengan sudut
450 sehingga kepala menghadap kebawah melihat lantai . akhirnya pasien kembali keposisi
21
duduk dengan menghadap kedepan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan
leher dan disarankan untuk tidak merunduk, berbaring, membungkukkan badan selama satu
hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari
(Ji-Soo Kim, 2014, Parnes Lorne, 2003, Salomon, 2000).
Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalithiasis pada kanal
anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri dan kanal posterior, CRT
kiri merupakan metode yang dapat di gunakan yaitu dimulai dengan kepala menggantung kiri
dan membalikan tubuh kekanan sebelum duduk (Li, 2000, Riyanto, 2004).
Gambar 7. Epley maneuver. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).
Perasat liberatory, yang dikembangkan oleh semont, juga dibuat untuk memindahkan
otolit ( debris/kotoran) dari kanal semisirkularis. Tipe perasat yang dilakukan tergantung dari
22
jenis kanal mana yang terlibat. Apakah kanal anterior atau posterior (Ji-Soo Kim, 2014,
Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).
Gambar 8. Liberatory kanan. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).
Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, dilakukan perasat liberatory kanan
perlu dilakukan. Perasat dimulai dengan penderita diminta untuk duduk pada meja
pemeriksaan dengan kepala diputar menghadap kekiri 450. pasien yang duduk dengan kepala
menghadap kekiri secara cepat dibaringkan ke sisi kanan dengan kepala menggantung ke
bahu kanan. Setelah 1 menit pasien digerakkan secara cepat ke posisi duduk awal dan untuk
ke posisi side lying kiri dengan kepala menoleh 450 kekiri. Pertahankan penderita dalam
posisi ini selama 1 menit dan perlahan-lahan kembali keposisi duduk. Penopang leher
kemudian dikenakan dan diberi instruksi yang sama dengan pasien yang diterapi dengan CRT
(Ji-Soo Kim, 2014, Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).
Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama , namun kepala
diputar menghadap kekanan. Bila kanal posterior kiri yang terlibat, perasat liberatory kiri
harus dilakukan (pertama pasien bergerak ke posisi sidelying kiri kemudian posisi sidelying
23
kanan) dengan kepala menghadap ke kanan. Bila kanal anterior kiri yang terlibat, perasat
liberatory kiri dilakukan dengan kepala diputar menghadap ke kiri (Salomon, 2000).
Latihan Brandt Daroff merupakan latihan yang dilakukan di rumah oleh pasien sendiri
tanpa bantuan terapis. Pasien melakukan gerakan-gerakan posisi duduk dengan kepala
menoleh 450 , lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan. Posisi ini dipertahankan
selama 30 detik. Selanjutnya pasien kembali ke posisi duduk 30 detik. Setelah itu pasien
menolehkan kepalanya 450 ke sisi yang lain, lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan
selama 30 detik. Latihan ini dilakukan secara rutin 10-20 kali. 3 seri dalam sehari
(Ferdiansyah, 2011).
Gambar 9. Latihan Brandt-Daroff. Sumber : (Purnamasari, 2013).
2. Farmakologi
Obat-obatan penekan fungsi vestibuler pada umumnya tidak menghilangkan vertigo.
Istilah “vestibulosuppresant” digunakan untuk obat-obatan yang dapat mengurangi timbulnya
nistagmus akibat ketidakseimbangan sistem vestibuler. Pada sebagian pasien pemberian obat-
obat ini memang mengurangi sensasi vertigo, namun tidak menyelesaian masalahnya. Obat-
obat ini hanya menutupi gejala vertigo. Pemberian obat-obat ini dapat menimbulkan efek
24
samping berupa rasa mengantuk. Obat-obat yang diberikan diantaranya diazepam dan
amitriptilin. Betahistin sering digunakan dalam terapi vertigo. Betahistin adalah golongan
antihistamin yang diduga meningkatkan sirkulasi darah ditelinga dalam dan mempengaruhi
fungsi vestibuler melalui reseptor H3 (Riyanto, 2004, Salomon, 2000).
Tabel 5. Obat yang digunakan untuk mengatasi vertigo. Sumber : (David Greenberg, 2012).
3. Pembedahan
Tindakan bedah hanya dilakukan bila prosedur reposisi kanalit gagal dilakukan. Terapi ini
bukan terapi utama karena terdapat risiko besar terjadinya komplikasi berupa gangguan
pendengaran dan kerusakan nervus fasialis. Tindakan yang dapat dilakukan berupa oklusi
kanalis semisirkularis posterior, pemotongan nervus vestibuler dan pemberian
aminoglikosida transtimpanik (Li, 2000, Purnamasari, 2013).
25
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
1. Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan
perifer yang datang tiba-tiba akibat perubahan posisi kepala.
2. Patofisiologi dari BPPV terdiri dari dua teori yaitu teori kupulolitiasis dan
kanalitiasis.
3. Diagnosis dari BPPV ditegakkan bila ditemukan gejala berupa pusing berputar
yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala, timbul nistagmus, terdapat masa
laten sebelum nistagmus muncul, lama serangan terbatas, arah nistagmus berubah
bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal dan nistagmus melemah bila
dirangsang terus-menerus (fatigue).
4. Penatalaksanaan dari BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan
fungsi vestibuler (vestibulosuppresant), reposisi kanalit dan pembedahan.
III.2. Saran
Perlunya pembelajaran lebih lanjut mengenai benign paroxysmal positional
vertigo (BPPV).
26
DAFTAR PUSTAKA
AKBAR, M. 2013. Diagnosis Vertigo.
DAVID GREENBERG, M. A., ROGER SIMON 2012. Clinical neurology. 8th ed.: Lange.
EDWARD, Y. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Kanalis Horizontal.
FERDIANSYAH, R. 2011. Evaluasi pasien vertigo posisi paroksismal jinak dengan terapi
reposisi kanalit dan latihan Brandt Daroff.
HAIN, T. 2003. Benign Paroxismal Positioning Vertigo [Online]. www.tchain.com.
[Accessed November 13th 2014].
HIGLER, A. B. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed.: EGC.
IDI 2013. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 270.
JI-SOO KIM, D. S. Z. 2014. Benign Paroxysmal Positional Vertigo.
LI, J. 2000. Benign Paroxysmal Positional Vertigo [Online]. www.emidicine.com.
[Accessed November 13th 2014].
PARNES LORNE, S. A., JASON ATLAS 2003. Diagnosis and Management of Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
PURNAMASARI, P. P. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Benign Paroxysmal Positional
Vertigo.
RIYANTO, B. 2004. Aspek Neurologi. Cermin Dunia Kedokteran.
SALOMON, D. 2000. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Current Treatment Options in
Neurology, 2.
SHERWOOD, L. 2007. Fisiologi Manusia Dari Sistem Ke Sel.
27
Top Related